“Anna,
buka pintunya!” Justin berteriak dan menggedor-gedorkan pintu kamarku. Aku
meringkuk dalam pelukan diri sendiri bersama dengan isak tangis yang memilukan.
Tanganku masih panas saat aku menampar wajahnya. Ia tidak bergeming saat itu.
Tapi saat aku beranjak dari kolam renang, ia langsung mengejarku. Aku tidak
mengerti dengan Justin.
Apa
aku benar-benar terlihat seperti pelacur? Mengapa rasanya ia tidak percaya
dengan kata-kataku? Maksudku, aku memang seperti ini. Aku tidak pernah
berhubungan badan dengan siapa pun selain dirinya! Aku hanya diperkosa. Dan
mengapa ia mengira aku akan memiliki hubungan badan dengan Logan? Aku bahkan
belum mengenalnya! Hening di dalam kamar ini. Hanya isak tangis yang
menemaniku. Justin sudah tidak menggedor-gedorkan pintu kamarku lagi. Kurasa ia
sudah lelah. Itu lebih baik.
Aku
ingin membicarakan ini bersama dengan diriku sendiri. Apa Justin memiliki
kenangan buruk? Atau karena memang gayaku seperti pelacur? Apa aku terlihat
begitu murahan di saat aku merayu Justin? Apa Justin tidak percaya dengan
kata-kataku? Aku sudah bilang padanya aku tidak pernah berhubungan dengan siapa
pun dan atas dasar apa dia memanggilku pelacur? Begitu banyak pertanyaan yang
harus dijawab. Menyesakan hatiku yang paling dalam.
Hati
kecil berkata: Tidak. Kau bukan pelacur.
Karena
aku memang bukan pelacur! Apa selama ini Justin menganggap aku hanya
berpura-pura tak menerima hadiah darinya agar ia terus memberikan hadiah
padaku? Aku tidak sama sekali suka hadiah yang ia berikan –kecuali Bee dan Boo.
Kalung ini, gelang kaki, pakaian yang mahal, aku tidak butuh itu! Pantas saja
ia bertanya bagaimana perasaanku saat mendapatkan hadiah-hadiahnya. Mungkin,
submisif-submisif sebelum diriku senang saat Justin membelikan mereka. Tapi aku
tak sama dengan mereka!
Memang
aku tidak memiliki banyak uang. Memang aku keturunan dari orang yang tidak
mampu. Tapi apa aku melakukan pekerjaan hina seperti itu? Tidak! Masih ada
jalan lain yang lebih baik. Oh, Tuhan. Mengapa lelaki itu tampak begitu takut
untuk dikhianati?
Lama
berpikir, air mataku sudah berhenti mengalir. Tapi tusukan dari kata-katanya
yang mengalir penuh kekejaman tak berhenti meneteskan darah dan kepedihan yang
masih berada di hati ini. Aku tidak ingin mencabutnya, karena aku tahu, rasanya
akan lebih sakit. Aku memutuskan untuk tidur.
***
Aku
terbangun dengan perasaan yang sama seperti tadi pagi. Sudah jam berapa ini?
Aku mendengar suara gonggongan Bee dan Boo dari luar sana. Kurasa mataku
membengkak. Beranjak dari tempat tidur, aku meliaht diriku dari pantulan
cermin. Begitu buruk dan abstrak. Rambutku acak-acakan dan mataku benar-benar
sipit. Astaga, seburuk itukah? Apa tadi aku bermimpi buruk? Tidak, tidak mimpi
buruk.
Kuhantar
kakiku menuju meja rias yang berwarna putih. Semua peralatan di sini berwarna
putih. Seakan-akan berada di dalam surge. Atau mungkin dalam kamar Dewa
Kematian di Underworld. Aku tak peduli. Kuambil sisir yang berwarna putih juga
dan menyisirkan rambutku dengan pelan. Aku mencoba untuk tidak menangis.Tapi
lagi-lagi air mataku menetes.
“Sial!”
aku menggumam dan menundukan kepalaku. Mengapa kata-katanya benar-benar begitu
menyakitkan? Aku tak kuat saat ia bertanya apa aku pernah tidur dengan Logan.
Oh, Tuhan. Aku ini adalah miliknya. Ia seharusnya tahu itu. Aku sudah percaya
padanya. Aku percaya padanya kalau ia tidak akan pernah menyakitiku. Aku
percaya ia tidak akan memukulku. Bahkan ia sudah memanggilku dengan kata MINE!
Sudah jelas aku adalah miliknya. Rasanya begitu menyakitkan saat orang-orang di
sekitarku tak percaya dengan omonganku. Kuhapus air mataku dengan punggung
tanganku lalu kembali mendongak.
Mataku
benar-benar bengkak. Ini adalah yang kedua kalinya aku menangisi lelaki.
Pertama adalah karena kepergian Nicholas, pacar bayanganku. Dan Justin, suami yang
tak mempercayaiku. Mungkin dalam konteks ini, Justin lebih hebat menyakitiku.
Kusisir kembali rambutku dengan lembut. Mencoba untuk merapikannya. Sekarang
aku berharap aku hidup dalam mimpiku. Dalam mimpi aku bisa merancang kejadian
yang kumau. Aku ingin tidak ada sakit hati di sana. Mimpiku adalah Justin
percaya padaku. Hidup dalam dunia nyata begitu menyesakan. Orang-orang berbaik
hati karena sesuatu yang mendesak dirinya untuk meminta permintaan yang besar
agar permintaannya terkabulkan. Tapi di sini aku. Tidak sama dengan orang-orang
di luar sana yang haus akan uang.
Pelacur.
Mereka bahkan tidak lebih baik daripada seekor anjing.
Kutaruh
kembali sisir itu di atas meja dan berjalan untuk keluar dari kamar. Gonggongan
dari Bee dan Boo sudah tak terdengar. Kubuka kunci pintu kamarku lalu membuka
pintunya.
Berjalan
dengan lesu sambil melihat ke arah bawah. Semuanya berjalan dengan baik.
Seakan-akan tidak ada yang salah. Kurasa sekarang sudah sore. Aku belum sarapan
dan makan siang. Aku butuh makanan. Kakiku rasanya seperti baja yang sulit
kuangkat. Malas, aku melangkah turun. Dan berharap Justin tidak ada di bawah.
Aku berharap ia berada di ruang kerja atau di kamarnya. Kaki terus membawaku
menuju dapur.
Berkali-kali.
Baiklah, sudah berkali-kali aku mencoba untuk tidak menangis. Tapi mengapa air
mata ini tidak berhenti menetes? Kakiku berhenti melangkah saat aku sudah
berada di ruang dapur. Kulihat Xavier dan D’aman sedang memasak sesuatu.
“Mrs.
Bieber!” sapa mereka berdua dengan aksen Perancis yang mereka miliki.
“Apa
aku bisa memakan sesuatu?”
“Apa
pun, Mrs. Bieber,” ujar D’aman dengan senyum yang sumringah. Itu membuatku ikut
tersenyum dan menghapus air mataku.
“Sandwich?”
“Berapa
banyak Mrs. Bieber?”
“Aku
tak sarapan dan makan siang, yah, yang menurutmu dapat mengenyangkan perutku,”
aku berusaha untuk tersenyum padanya dan aku terduduk di atas kursi bar
sarapan. Xavier melihatku tanpa senyuman. Sepertinya ia tahu dengan kejadian
tadi pagi. Semua pelayan yang biasanya menyapaku dan tersenyum padaku, sudah
tidak seperti itu lagi. Kurasa mereka ingin menjaga perasaanku.
“Mrs.
Bieber, kau bisa menceritakannya padaku,” ujar Xavier ingin tahu. Aku hanya
tersenyum lemah dan menggelengkan kepalaku. Aku tidak ingin menceritakannya.
Itu justru membuatku ingin menangis lagi.
“Xav
–Anna! Akhirnya kau keluar juga!” teriak Justin yang tiba-tiba saja muncul dari
belakang. Aku tidak membalikan tubuhku melainkan aku langsung menutup wajahku
dengan kedua telapak tanganku. Mendengar suaranya membuat perkataannya tadi
pagi semakin kuat dalam hatiku. Semakin menusuknya lebih banyak. P-E-L-A-C-U-R.
Huruf-huruf itu menusuk hatiku secara bersamaan. Dan Justin di sini. Ini
memperburuk perasaanku.
Air
mataku mulai keluar dari sudut mataku. Kumohon, jangan menangis di depannya.
Jangan menangis di depannya. Aku berujar pada diriku sendiri. Kudengar suara
Justin duduk di sebelahku.
“Anna,
lihat aku sayang,” ujarnya menyuruhku. Aku tidak melakukannya. Aku masih pada
posisiku dan tiba-tiba saja aku punya keinginan untuk mengambil pisau dan
mencolok jantungku dengan cepat agar penderitaan ini selesai. Ada apa dengan
Justin?! Itu pertanyaan yang harus dijawab olehnya. Aku ingin beranjak tapi
tangan Justin yang seperti batu –sama seperti hatinya—itu menahan tanganku agar
aku tidak beranjak dan tanganku terlepas dari wajahku. Untungnya air mataku
hanya mengalir satu kali saja. Tapi aku langsung menundukan kepalaku.
“Anna,
kumohon. Lihat aku,” ujar Justin lagi, memohon. Tapi aku tidak melakukannya.
Tapi jari telunjuk dan jempol Justin mulai menyentuh daguku dan menariknya. Aku
langsung menutup mataku. Ia tertawa pelan. Aku tidak mungkin bisa menolak
lelaki ini.
“Anna,
lihat aku. Jangan buat aku marah sayang,”
“Mengapa
aku harus melakukan itu?” tanyaku dengan suara yang parau. Aku mulai
memberanikan diri.
“Ini,
minumlah,” ujar Justin memegang pipiku dengan jari telunjuk dan jempolnya
hingga mulutku terbuka menjadi huruf O. Ia mengalirkan air yang kurasa ini
adalah …sialan! Alkohol. Aku tersedak dan terbatuk-batuk. Justin tertawa,
mataku terbuka.
“Ternyata
sekarang aku tahu bagaimana caranya membuatmu membuka matamu,” ujar Justin
menyeringai. Tapi aku tidak ikut tersenyum. Benci dia. Benci dia. Benci dia!
Aku terus mengucapkan kata itu pada otakku. Berusaha untuk tidak luluh padanya.
“Mine,
kita harus membicarakan ini,”
“Terserah,”
“Mine,
serius,” ia berucap dengan serius. Xavier dan D’aman sudah tidak ada di dalam
ruangan ini. Hanya aku dan Justin. Dan aku sangat yakin, ada banyak pelayan
yang akan mendengar percakapan ini. Aku tidak menatap Justin, aku menatap gelas
kosong yang tadi berisi anggur.
“Mine,
sayang, aku sungguh minta maaf dengan perkataanku tadi pagi,”
“Kau
memang seharusnya melakukan itu Justin,” ujarku dengan ketus. Aku memutar
tubuhku dan memunggunginya. Justin tertawa pelan dan menyentuh pundakku.
“Sebenarnya,
Justin,” aku berhenti berbicara, aku ingin bertanya padanya mengapa. Apa yang
terjadi dengan dirinya sehingga ia berbicara seperti itu padaku? Tapi aku
terdiam.
“Kita
bisa ke kamar untuk membicarakan ini,” ujar Justin mengajakku. Tapi aku
menggelengkan kepalaku.
“Aku
lapar,” ujarku masih memunggunginya.
“D’aman!
Xavier!” teriak Justin. Tidak butuh waktu lama, D’aman dan Xavier muncul lagi.
Wajah mereka kali ini tidak tersenyum, melainkan ketakutan. “Buatkan sesuatu
untuk ..Anna,” ia berucap, memerintah. D’aman dan Xavier menganggukan kepala
mereka dan Xavier melirik padaku. Sedikit kasihan padaku. Justin menarik
pundakku agar ia dapat memutar kursi ini bersama dengan badanku. Kupejamkan mataku
kembali saat aku sudah berhadapan dengannya. Kemudian aku merasakan bibir
Justin menyentuh bibirku dan kemudian menghilang.
Mataku
terbuka.
“Itu
dia mata biru yang kuinginkan,” ujarnya tersenyum kembali, “Mine, sungguh. Aku
minta maaf dengan pertanyaanku yang konyol tadi,” tambahnya menatap mataku,
intens.
“Mengapa?”
“Mengapa
apa?” Terkadang aku berpikir, ternyata pengusaha bisnis seperti Justin sedikit
bodoh.
“Mengapa
tiba-tiba aku bertanya seperti itu padaku?” tanyaku sambil mendesah pelan, kedua
bahuku turun karena lesu mendengar kebodohan Justin. Ia tertawa. Apa yang lucu?
Aku sedang ingin berbicara serius dengannya.
“Aku
punya kenangan buruk,”
“Submissive-mu
berselingkuh dengan pengawalnya?” tanyaku menebak. Ia menganggukan kepalanya.
Sudah kuduga! Sial, mengapa ia menyamakanku dengan submissive sialannya itu?
Ini sungguh salah. Dan aku rasa aku harus memaafkan Justin. Ini hanyalah
kesalahpahaman Justin terhadap diriku. Ia salah tangkap. Aku bukan gadis itu.
Ini adalah aku dan aku adalah aku. Mengerti? Yeah, sudah kuduga.
“Karenanya
aku tidak percaya dengan hubungan lagi,” ujar Justin. Sialan! Siapa nama wanita
itu? Rasanya aku ingin menamparnya. Karenanya aku susah untuk mendapatkan
seorang Justin Bieber. Dan karenanya, Justin memanggilku seorang pelacur.
Bahkan ia bilang ‘YA’ tanpa berpikir.
“Mengapa
kau berpikir aku adalah seorang pelacur?” tanyaku. Kudengar Xavier berdeham.
Aku ingin tertawa, tapi aku menahannya. Dasar Xavier!
“Dengar,
Anna,” ia menyebut namaku, kali ini. “Chanta adalah submissive pertamaku,”
ujarnya. Aku menganggukan kepalaku dan mulai menyandarkan kepalaku pada
tanganku yang siku-sikunya bertumpu pada meja bar. Aku menatap Justin yang
ingin menjelaskan.
“Chanta,
ia gadis yang polos. Sama sepertimu. Ia sangat cantik. Dan aku terpikat
olehnya. Kau sama sepertinya, Anna!” ia berseru dengan gemas.
“Aku
tidak sama dengannya Justin,”
“Well,
pada akhirnya, ia tidak sama denganmu. Ia memiliki hubungan gelap dengan
pengawalku,” ujarnya mempersingkat cerita, kurasa. Justin mendesah pelan dan
memejamkan matanya.
“Dan
kau berpikir aku akan memiliki hubungan gelap dengan Logan?” aku berseru juga.
D’aman yang sedang memasak terdengar begitu berisik. Mereka berdua tentu saja
mendengar percakapan kami. Tapi tidak bisakah mereka memberi kami sedikit
privasi? Setidaknya mereka seharusnya fokus untuk memasak makanan untukku.
“Awalnya,
ya,”
“Dan
mengapa kau memanggilku pelacur? Intinya,” aku menuntut.
“Ini
sungguh susah dijelaskan Anna. Chanta dan Nolan pergi dari rumahku sambil
membawa uang yang banyak dan mobilku. Chanta benar-benar pelacur,” ia berseru
lalu setelahnya, ia mendesah dengan pelan dan menggelengkan kepalanya.
“Mengapa
kau tidak percaya denganku? Setelah aku menceritakan kehidupan seksku yang
sebenarnya. Apa kehidupan seksku terdengar seperti pelacur? Apa aku pernah
hidup semewah ini Justin? Apa kau tahu apa aku pernah mendapatkan uang yang
banyak karena lelaki yang kaya? Apa kau tahu?” tanyaku menyembur segala
pertanyaan yang masih berada di otakku. Ia mendesah, lagi, untuk yang kesekian
kalinya.
“Anna,
aku benar-benar minta maaf,” gumamnya terdengar sungguh-sungguh.
“Mrs.
Bieber,” ujar Xavier menghidang beberapa sandwich di hadapanku. Aku memberikan
senyuman terima kasih padanya dan ia membalas senyumanku.
“Kalian
boleh pergi dari sini,” ujar Justin dingin pada mereka. Sontak mereka berdua
berjalan terbirit-birit dari dapu. Astaga, apa orang-orang di sini benar-benar
takut pada Justin? Yeah, benar. Mereka patut takut pada Justin.
“Baiklah,
aku memaafkanmu. Tapi jangan pernah samakan aku dengan orang lain!” ujarku.
“Tentu.
Sekarang makanlah.” Ucap Justin menyuruhku. Aku menurutinya.
***
Aku
melihat begitu banyak peralatan anjing di sini. Ada pakaian anjing, kandangnya,
tempat tidurnya, boneka mainan yang dapat berbunyi, hairdryer khusus anjing.
Astaga, mengapa aku tidak datang saja ke sini beberapa hari yang lalu? Di sini
perlengkapan anjing benar-benar lengkap. Aku bahkan sulit untuk memilih yang
mana. Aku butuh tempat tidur untuk Bee dan Boo, hair dryer untuk mengeringkan
bulu mereka, oh dan tampon untuk Bee. Dia kan betina, jadi ia juga akan terkena
menstruasi. Aku berjalan menyusuri koridor bagian tempat tidur. Mencari
bantalan yang mana yang cocok untuk mereka berdua. Aku ingin mereka terurus
dengan baik.
Satu
yang kuingat dari film hewan. Kutipannya “Memelihara hewan tidak boleh
sembarangan. Kita harus berkomitmen untuk merawat mereka.”
“Logan,
menurutmu mana yang bagus? Apa bantalan yang ini atau yang ini?” tanyaku sambil
mengambil dua bantal yang halus namun jika dipegang langsung mengempis. Yah,
kurasa isinya hanyalah bola-bola kecil yang berisik jika dipegang. Logan yang
menggendong Bee dan Boo menggelengkan kepalanya.
“Kurasa
tidak dua-duanya Mrs. Bieber,” ujarnya tidak setuju dengan kedua bantalan ini.
Aku menganggukan kepalaku dan menaruh bantalan ini ke dalam rak lagi lalu aku
kembali menyusuri koridor.
“Logan,
apa kau berpikir aku seperti pelacur?” tanyaku berhenti melangkah dan mengambil
bantalan yang lain. Aku memencet-mencet bantal ini. Kau tahu, ukuran tubuh Boo
dan Bee benar-benar mungil. Jadi mungkin, mereka hanya butuh bantalan. Bahkan
sebenarnya anjing hanya butuh selembar karpet. Karena Boo dan Bee adalah jenis
mini pom, mereka hanya butuh bantalan.
Aku
masih menunggu jawaban Logan dan terus mencari bantalan untuk anjingku.
Kemudian aku meliriknya.
“Logan?”
“Kurasa
tidak, Mrs.Bieber. Apa saya boleh tahu mengapa Anda bertanya seperti itu?”
tanyanya penuh dengan rasa ingin tahu. Tapi aku terdiam sejenak, aku tidak bisa
membicarakan ini dengan Logan. Ini
salah. Aku menggelengkan kepalaku padanya. Tiba-tiba saja ponsel yang berada di
kantong celanaku berdering. Kurogoh kantong celanaku dan mengambil ponsel.
Dari
Justin. Tentu saja Justin. Hanya dia yang ada di kontak ponselku. Aku langsung
mengangkatnya.
“Ya,
Justin?” tanyaku langsung sambil berjalan. “Yang mana?” aku berbisik sambil
mengambil bantalan yang lain lalu memperlihatkannya pada Logan.
“Kau
ada di mana?” tanya Justin terdengar terengah-engah. Ada apa dengannya?
“Aku
di toko peralatan anjing bersama Logan. Ada apa?” tanyaku khawatir. Kudengar
Justin terkesiap. Hening sejenak dan aku melirik pada Logan yang tidak
berekspresi. Entahlah, mungkin Logan memang tidak memiliki raut wajah selain
wajah datar. Logan tidak menjawab pertanyaanku, justru ia langsung membalikan
diri dan berjalan menjauhiku. Tapi aku membiarkannya pergi, membawa Bee dan
Boo.
“Kau
bersama Logan?”
“Bukankah
kau yang bilang padaku kalau aku ingin pergi maka Logan yang akan membawaku?”
tanyaku bingung dan menaruh kembali bantalan. Aku melipat salah satu tanganku
dan menatap ke segala arah. Yah, seperti pada kebiasaan orang jika sedang
menelpon. Berjalan-jalan tak jelas. Entah harus melihat kemana. Atau bisa-bisa
aku mengelilingi seluruh tempat toko anjing ini.
Kutatapi
lantai. Justin belum menjawab pertanyaanku.
“Tadinya
aku ingin membawamu jalan-jalan. Tapi Max bilang kau tidak ada di rumah. Untuk
apa kau ke toko peralatan anjing?” tanya Justin. Aku ingin tertawa.
Sudah
kubilang. Mengapa pengusaha sesukses Justin bahkan seorang Millioner harus
memberikan pertanyaan konyol seperti tadi? Rasanya benar-benar lucu. Tentu saja
aku ingin membeli peralatan anjing.
“Aku
ingin membeli kasur untuk Bee dan Boo. Dan tampon untuk Bee,” ujarku. Saat aku
bilang tampon, Justin terkesiap lagi. Aku ingin tertawa. Ada apa dengannya hari
ini? “Justin, aku akan pulang sebentar lagi. Hanya saja, aku ingin memilih yang
baik untuk Bee dan Boo,”
“Mereka
bahkan bukan anakmu,”
“Tapi
aku berharap aku memiliki anak,” ujarku refleks. Oh, sial! Bodohnya aku. Tidak,
tidak di umur yang masih muda ini. Tapi mungkin ini naluri karena aku telah
menjadi istri Justin dan aku mengharapkan keturunan darinya. Tapi tidak,
astaga. Mungkin tujuh tahun lagi lebih bagus. Aku sudah benar-benar kuat untuk
mendapatkan anak. Jika aku 27 berarti Justin 37. Aku tidak percaya Justin akan
berselisih 10 tahun denganku. Rasanya kami hanya berbeda beberapa tahun saja.
Asal Justin mencukur janggot dan kumisnya, ia akan masih terlihat muda.
Hening
berkepanjangan meliputi percakapan kami.
“Semoga
kau bersenang-senang,” ujar Justin mengalihkan topik pembicaraan. “Kau
..berhati-hatilah,” lanjutnya lagi. Ah, Justin memintaku untuk berhati-hati.
Ini untuk yang pertama kalinya. Suaranya memang sedikit ragu-ragu. Tapi
setidaknya, ia mengkhawatirkanku.
“Justin,”
“Ya?”
“Semoga
harimu menyenangkan,”
“Aku
bisa pastikan, Mine, hariku akan menyenangkan dengan kertas-kertas di atas
mejaku,” ujarnya kali ini lebih santai. Aku tersenyum dan kudengar ia juga
tersenyum. Kemudian ia mematikan ponselnya. Aku membalikan tubuhku dan
menyelipkan kembali ponselku pada kantong celana. Kulihat Logan bersama dengan
Bee dan Boo di atas bantalan dan peralatan lainnya bersama kereta dorong.
Astaga, dia benar-benar membantuku. Semua itu benar-benar yang kubutuhkan. Dan
ah, tampon Bee juga sudah ia ambilkan. Aku tersenyum padanya.
Berjalan,
aku memeluknya dengan erat.
“Terima
kasih banyak,” bisikku dan kemudian melepaskan pelukannya. Ia tersenyum padaku.
“Sama-sama,
Mrs. Bieber. Pauline tadi yang membantuku,” ujarnya sambil menggeserkan
tubuhnya lalu terlihat di balik tubuh tegapnya seorang wanita setengah baya
dengan seragam kerjanya. Astaga, dia tersenyum manis padaku.
“Jika
kau tidak membantuku, mungkin butuh berjam-jam untuk mencari-cari perlengkapan
untuk mereka berdua,” ujarku bersyukur. Karena memang. Aku tidak begitu suka
keluar dari rumah. Aku orang yang sedikit tertutup dengan alam. Mungkin aku
lebih menyukai untuk membersihkan rumah atau semacamnya dibandingkan
berjalan-jalan keluar. Dan apa pula yang harus kulakukan di luar sana? Aku
hanya keluar dari rumah jika ada keperluan.
“Sama-sama
Mrs. Bieber. Apa ini semua yang Anda butuhkan?” tanyanya dengan ramah. Dia
orang Asia. “Saya sudah memilih peralatan yang cocok untuk mini pom,” tambahnya
lagi.
“Kurasa
semuanya sudah ada, terima kasih banyak. Dan kau tahu, aku juga harus
membayarnya,” ujarku sambil berjalan menuju tempat kasir, meninggalkan Pauline.
Logan mendorong kereta dorong bersama denganku yang berjalan lebih dulu
dibandingnya.
“Logan,
apa kau tahu caranya memakaikan tampon pada anjing betina?” tanya membalikan
tubuhku untuk mengambil peralatan anjing ini ke atas meja kasir. Logan
melihatku, terkesiap.
***
Ternyata
tampon anjing mudah sekali dipakai untuk Bee. Hanya seperti celana bayi. Logan
memperlihatkanku bagaimana cara memakainya. Ia benar-benar ahli dalam masalah
anjing. Katanya kita juga harus membawa dokter 6 satu kali. Seperti sekarang,
Logan membantuku untuk melipat tampon-tampon milik Bee di atas tempat tidurku.
Sedangkan aku sedang merapikan barang-barang Bee yang lain. Jika dilihat-lihat,
Logan seperti ibu-ibu yang handal. Entahlah, mungkin memang ia hanya tinggal
bersama ibunya sehingga ia terlihat cekatan merapikan apa pun.
“Logan,
kau tinggal bersama siapa?” tanyaku ingin tahu.
“Oh,
aku tinggal dengan ibuku,” BINGO! Sudah kuduga. Aku menaruh hairdryer milik Bee
dan Boo di atas meja rias. Gunanya jika Double B –baiklah itu hanya untuk
mempersingkat panggilang mereka—sudah selesai mandi, aku akan mengeringkan bulu
mereka agar merekah kembali. Kau tidak akan percaya jika mereka sedang
dimandikan, mereka seperti tidak memiliki bulu dan kurus sekali. Justin bahkan
tidak akan percaya. Dan aku tidak tahu, Justin tidak pernah menyentuh Double B.
“Ayah?”
“Dia
sudah meninggal sejak umurku 10 tahun,” ujarnya. Sial!Mengapa aku bertanya
seperti itu padanya? Rasa keingintahuanku begitu mendorongku untuk tahu latar
belakangnya. “Tidak perlu meminta maaf,” lanjutnya lagi saat aku menundukan
kepalaku. Sedetik kemudian aku mendongak.
“Jadi
kau tahu melipat baju karena ibumu?”
“Aku
bahkan menyetrikan bajuku, Mrs.Bieber,” ujarnya terkekeh pelan. Aku ikut
tertawa. Apa Justin bisa seperti melakukan hal yang seperti Logan lakukan?
Karena aku meragukannya. Pasti Justin tidak bisa memasak atau merapikan baju
seperti ini. Aku sangat yakin itu.
“Kau
hebat,” ujarku, berdiri dari tempat duduk. Kuhampiri Double B yang sedang
tertidur di atas bantalan mereka yang baru. Sekarang mereka terlihat lebih
nyaman. Sial! Ternyata Pauline memberikan aku barang-barang yang mahal. Saat
aku bertanya pada Logan mengapa Pauline memberikan aku barang yang harganya
mahal, ia bilang karena aku adalah istri dari seorang Millioner. Menurutnya
begitu. Dan menurutku begitu juga. Aku menjongkok di depan Double B dan
mengelus kepalanya dengan lembut.
“Mrs.
Bieber, Anda ingin aku taruh ini di mana?” tanyanya. Aku menoleh padanya dan
berdiri dari jongkokanku.
“Biar
aku yang taruh,” ujarku sambil mengambil tampon yang sudah tertumpuk rapi. Aku
berjalan melewati keheningan di antara kami. Lalu aku membuka lemari pakaianku
dan menarik keluar laci ketiga yang masih kosong.
“Apa
menurutmu aku akan merayumu?” tanyaku, akhirnya. Astaga, dari tadi aku sudah
menahan pertanyaan ini sepanjang hari dan akhirnya aku menyatakannya. Aku hanya
tidak ingin terlihat begitu murahan.Kudengar ia terkesiap kemudian aku
mendorong kembali laci ke dalam lalu membalikan tubuhku sambil menutup pintu lemari
pakaianku.
Kutatapi
Logan yang sudah berdiri dari tempat tidurku.
“Kurasa
tidak,”
“Kau
rasa begitu?”
“Ya.
Karena aku tidak menarik, Mrs. Bieber. Kau tidak akan tertarik padaku,” ujarnya
merendahkan diri. Aku menggelengkan kepalaku dan terkekeh.
“Tidak,
kau tampan Logan. Mengapa kau tidak berpikir kalau aku tidak akan tertarik
padamu?” tanyaku menggodanya. Ingin mengganggunya, aku mulai mengumpulkan
seluruh rambutku pada satu ikat tanganku. Tapi, eh! Sialan! Kalungku ikut
tertarik ke atas. Tersangkut lebih tepatnya. Aku meringis. Bodohnya! Aku
mencoba untuk mencari dimana kalungku tersangkut, meraba-rabanya.
“Apa
saya boleh membantu Mrs. Bieber?” tanya Logan was-was. Matanya melebar.
Mengingatkanku pada Justin yang matanya melebar saat aku bilang ‘Hati-hati
Justin’. Kuanggukan kepalaku dan mendekatkan tubuhku padanya. Ia berdiri di
belakangku dan mencoba untuk melepaskan kalungku yang tersangkut itu. Aku
meringis, rambutku rontok.
“Maaf,”
bisiknya mencoba untuk melepaskannya secara hati-hati.
“Tidak
apa-apa. Kumohon cepatlah,” aku menggoyang-goyangkan tubuhku lalu berhenti. Itu
karena aku benar-benar gemas. Sudah merontokan beberapa helai rambutku, ia lama
sekali. Seharusnya ini cepat.
“Ah!”
aku berteriak saat ia menarik kasar kalung itu hingga kurasakan rambutku rontok
lebih banyak. Untuk yang rontok hanya bagian bawah kepalaku saja.
“Setidaknya
saya sudah melepaskannya, Mrs. Bieber,” ujarnya mundur. Aku berbalik dan
menganggukan kepalaku sambil mengelus bagian kepala bawahku yang rambutnya rontok.
Masih terasa perih karena tarikannya. Kemudian aku memeluknya.
“Terima
kasih, sekali lagi,”
“Mine,”
kudengar Justin bersuara pelan tiba-tiba saja terdengar sampai pada telingaku.
Sontak aku melepaskan pelukanku dari Logan dan membalikan tubuhku. Sial! Pasti
ia mengira aku ..ah, sialan! Kulihat mulutnya menganga, rambutnya acak-acakan
dan ..astaga, buruk sekali. Dia baru dari mana?
“Kau.
Kupecat!” bentak Justin pada Logan. Sontak Logan terkejut. Astaga, ini semua
salah.
“Tidak,
Justin. Bukan, ini salah paham,”
“Salah
paham? Kau jelas-jelas memeluknya. Apa-apaan itu?” Justin membentak padaku,
matanya penuh dengan amarah. Seharusnya aku tidak membawa Logan ke kamarku.
Kemudian ia beralih pada Logan yang membeku di sebelahku. “Kubilang, kau
kupecat sialan!” Justin membentaknya.
Sontak
Logan membungkuk untuk menghormati Justin dan berjalan untuk keluar dari
kamarku. Melewati Justin dengan kepala yang tertunduk. Saat Logan benar-benar
pergi dari kamarku, Justin membanting pintu hingga tertutup. Aku terkesiap.
Kulirik Double B yang sudah tidak ada di tempatnya. Kurasa mereka pergi ke
dalam kolong meja riasku.
“Kau
sebut itu tadi apa?”
“Justin,
dia hanya membantuku,” aku mendesah pelan dan tiba-tiba saja tubuhku merasa
lesu. Kemudian aku terjatuh di atas kasurku, terduduk sambil menundukan
kepalaku.
“Membantu
untuk mendapatkan kepuasan? Kita baru saja menyelesaikan masalah ini kemarin,
Anna,” ia menggertak, marah sekali. Aku mendongak dan menggelengkan kepalaku.
Ia harus percaya padaku. Aku tidak akan pernah berpaling darinya. Siapa yang
bisa berpaling dari Justin? Semua orang mencintai Justin –kecuali lelaki.
“Tidak,
astaga, tidak Justin,” aku kembali bangkit dari tempat tidur. Justin melepaskan
dasinya secara paksa dan melemparnya ke segala tempat.
“Kau
memeluknya. Dan kau itu adalah milikku. Tak boleh ada yang menyentuhmu selain
aku, Anna,” ia berseru, tangannya merobek kemejanya sendiri sehingga sekarang
tubuh telanjangnya terlihat.
“Anna,
kau sangat nakal hari ini,”
“Apa
yang akan kau lakukan Justin?” tanyaku ketakutan. “Menurutmu?” ia menaikan
salah satu alisnya, menyeringai penuh dengan kejahatan.
****
“Buka
bajumu,” suruh Justin dengan suara yang dingin, tapi matanya benar-benar
terbakar oleh amarah. Amarah yang tak dapat ditahan olehnya. Aku ketakutan,
tubuhku rasanya mati rasa. Apa yang akan ia lakukan padaku? Saat aku masih
terdiam, Justin kembali mengambil dasinya. Lalu ia membuka ikat pinggang yang
ia miliki. Kedua tangannya sekarang sudah memegang dua benda yang panjang itu. Aku
bergidik ketakutan saat ia mendekatiku. Apa yang akan ia lakukan pada benda itu
terhadapku? Apa ia akan memukulku?
“Kubilang
kubuka bajumu, sayang,” ujarnya dengan lembut, tangannya yang memegang dasi
mengelus daguku. Air mataku mulai menggenang di sekitar kelopak mataku,
membuatku susah melihat Justin, “jangan menangis. Sekarang, buka! Atau aku yang
harus membukanya untukmu?”
“Tidak,
aku bisa melakukannya sendiri,” ujarku bergetar.
“Seluruh
pakaian yang kau pakai,” tambahnya lagi saat aku mencoba untuk membuka kaos
yang kupakai. Aku melakukannya. Membukanya dengan lambat. Bibirku bergetar.
Tiba-tiba saja Justin memecut kasur dengan ikat pinggangnya, membuatku terkejut
dan air mataku langsung terjatuh.
“Jangan
lama-lama sialan!” ia membentakku, aku langsung membuka pakaianku secepat
mungkin. “Aku sudah berusaha percaya padamu, tapi kau, kau sepertinya tidak
mendengar ucapanku. Aku sudah memberimu peringatan untuk tidak mendekati Logan!
Tapi apa yang tadi kaulakukan? Memeluknya? Sial, aku benar-benar marah padamu,
Mine,” ujarnya menarik lenganku dengan kasar, aku merintih pelan. Tangannya benar-benar
mencengkram lenganku, kurasa ia akan membuat tanda di lenganku. Kemudian ia
mendorong tubuhku ke atas kasur dengan kasar.
“Nah,
sekarang, kata aman?” tanyanya. Aku tidak mengerti apa yang ia bicarakan. Apa
itu kata aman? “Anna, kata aman. Cepat. Ini untuk kelangsungan hubungan kita
nanti. Kata aman?”
“Aku
tidak mengerti,”
“Kau
akan berteriak kata aman itu jika kau sudah merasa sangat tersakiti,”
“Bieber?”
“Bagus,”
ujarnya lalu mendecak pinggang di depanku.
“Tubuhmu
benar-benar indah. Tapi sayang, aku sedang marah padamu. Merasa seperti pelacur
sekarang?” tanyanya memiringkan kepalanya ke salah satu sisinya. Aku
benar-benar menangis. Apa salahnya jika aku hanya memeluk seseorang untuk
berterima kasih? Ini benar-benar salah. Aku tahu Justin akan menyakitiku.
Masalah terbesarnya adalah aku tidak pernah dipukul atau diperlakukan kasar
seperti ini. Kecuali saat aku diperkosa. Ini membuatku mengingat pada Johnson
Bannet. Aku yakin lelaki sialan itu masih ada di dunia ini. Dan Justin
membuatku ketakutan karena tingkahnya yang tidak jauh beda dari John.
“Menungging,”
“Justin,
apa yang akan kaulakukan?” tanyaku merintih pelan, menutupi bagian yang bawahku
dengan salah satu tanganku. Aku benar-benar telanjang sekarang. Di depan Justin
yang sekarang hanya memakai boxer.
“Menungging,”
“Justin,”
“Kubilang
menunggi sialan!” ia membentak padaku. Aku langsung melakukannya. Sekarang aku
merasa benar-benar malu diperlakukan seperti ini oleh Justin. Aku merasa
seperti pelacur, submissive yang benar-benar murahan. Kutundukan kepalaku
sambil menangis. Merasa tersakiti oleh perlakuan Justin. Tiba-tiba saja ia
mengelus bokongku yang halus oleh tangannya. Mengelusnya dengan lembut. Di
samping itu juga, aku merasa terangsang. Tapi rasa sakit hatiku mengalahkannya.
Aku menggigit bibirku untuk tidak terisak.
“AH!”
aku menjerit saat Justin memukul bokongku dengan tangannya. Bahkan aku bisa
mendengar bunyi dari pukulannya. Aku menangis, memecah.
“Satukan
kedua tanganmu, cepat!” ia membentak. Tapi aku melakukannya, “Submissive hanya
perlu diam dan melakukan apa yang dominan suruh. Gadis pintar,” ujarnya
mengikat tanganku dengan dasinya. Aku hanya dapat menangis dan tidak bergerak.
Ini benar-benar berlebihan. Aku tidak pernah dipukul sebelumnya. Tidak pernah.
“Kau.
Pelacur. Bajingan!” Justin memecut bokongku dengan ikat pinggangnya. Rasanya
sangat perih. Aku menangis, memecah. Aku tidak tahan dengan pukulannya yang
benar-benar menyakitkan.
“Aku
sudah berusaha, tapi kau membuatku lengah. Kesabaranku hilang! Kau benar-benar
nakal, Anna. Kau sudah berjanji padaku untuk tidak nakal. Tapi kau yang
memancingku. Kenapa? Apa kau tidak terima dengan kenyataan bahwa kau adalah
calon pelacur? Karena aku akan memperlakukanmu sebagai pelacur!” teriak Justin
terus memecut bokongku dengan ikat pinggangnya berkali-kali selama ia berbicara.
Aku terus menjerit, mengerang dan berteriak, memintanya untuk berhenti
melakukan ini.
“BIEBER!”
aku langsung meneriakan kata aman sebelum bokongku hancur karena ikat pinggang.
Rasanya benar-benar perih.
“Sekarang.
Aku akan menyetubuhimu, tapi kau tidak akan mendapatkan pelepasanmu karena kau
sudah berlaku nakal,” ujarnya ternyata sudah membuka celananya. Ia sudah
memposisikan tubuhnya di belakangku, tiba-tiba saja ereksinya masuk ke dalam
tubuhku. Membuatku mengerang, nikmat dan kesakitan.
“Sial,
kau sangat nikmat,” erangnya terus menyetubuhi tubuhku. Rambutku ia tarik ke
belakang, ia menjambaknya sehingga kepalaku mendongak ke belakang. Air mataku
terus mengalir, membasahi pipiku lalu sampai pada leherku. Rasanya kulit
kepalaku benar-benar akan lepas dari dagingnya. Benar-benar perih.
“Kau
tahu Anna? Aku punya rahasia. Rahasia yang akan benar-benar membuatmu
membenciku. Karena aku tahu, kau mencintaiku. Tapi oh, sial,” ia tersendat. Aku
mengerang.
“Aku
tidak pernah menginginkanmu sebagai istriku. Tidak pernah,” ujarnya di
sela-sela dorongannya. “Ah, aku tidak bisa mengatakannya sekarang, oh, sial
Anna!” ia semakin mempercepat gerakannya dan tiba-tiba saja ia mendorong
tubuhku lebih dalam lagi, aku tidak mendapatkan pelepasan karena perlakuannya
yang benar-benar membuat alatku kesakitan. Kasar sekali permainan.
“Oh,
yah, yah. Benar begitu,” ujarnya, menyemburkan spermanya ke dalam tubuhku. Aku
hanya dapat terisak dalam tangisanku dan mengerang saat Justin melepaskan
tubuhnya dari tubuhku. Aku terjerembap jatuh ke atas kasur. Pipiku akhirnya
menyentuh kasur. Air mataku terus mengalir. Sedangkan Justin sudah terbaring di
sebelahku dengan nafas yang tak teratur. Aku rasa aku harus membersihkan
tubuhku.
Penuh
dengan kesakitan, aku berjalan menuju kamar mandiku, keadaanku masih telanjang.
Tentu saja, itu adalah pernyataan bodoh. Tapi kenyataannya adalah bokongku
benar-benar sakit dan alatku benar-benar berdenyut kesakitan. Meminta
pelepasan, maksudku. Tapi ia tidak memberikannya. Berusaha untuk tidak terisak,
aku kembali menggigit bibirku dan menutup pintu kamar mandi dan menguncinya.
Berjalan
tergopoh-gopoh menuju shower dan menyalakannya. Air hangat mulai membasuhi
tubuhku. Tapi bokongku masih terasa nyeri. Rasanya aku tak kuat untuk
mengusapnya nanti saat aku menyabuni tubuhku.
“Anna?
Buka pintunya,” ujar Justin dengan suara yang benar-benar lemah. Oh, Tuhan.
Mengapa rasanya menyakitkan sekali saat Justin berujar, memanggil namaku? Aku
jadi teringat dengan teriakannya bahwa ia tidak menginginkan aku sebagai
istrinya. Aku seharusnya tahu itu dari awal. Aku seharusnya tidak boleh terlalu
percaya diri dengan perhatiannya tadi siang. Dia lelaki kedua yang telah
membuatku jatuh cinta. Ia telah membawaku ke langit kemarin dan tadi siang.
Meski, aku tahu ini begitu cepat untuk jatuh cinta.Tapi malam ini, ia membawaku
kepada dewa Kematian. Rasanya benar-benar menyakitkan. Mencoba untuk
mengabaikannya, aku mengambil sabun cair dan mengeluarkannya pada telapak
tanganku. Perlahan aku mulai menyabuni tubuhku, tapi tidak pada bokongku.
Bahkan saat busa sabun menyentuhnya, rasanya seperti tangan Justin yang
menyentuhnya. Dalam bentuk negatif. Ini sungguh menyakitkan. Mencintainya
adalah keputusan yang sangat salah dalam hidupku.
“Anna,
maafkan aku,” rintihnya lagi. Aku tidak ingin mendengarnya. Shower masih
menyala dan terus membasuh tubuhku, bahkan aku terlihat seperti orang bodoh
terus menyabuni tubuhku namun busanya akan akan terus menghilang karena air
yang keluar. Air mataku menyatu dengan air mandi.
“Anna,
kumohon,” pintanya lagi. Aku mulai terisak, kusandarkan keningkan pada tembok
kamar mandi dan menangis. Mencoba untuk melupakan perlakuan Justin. Mencoba
untuk melupakan perkataan Justin yang begitu menyakitkan. Kemudian aku
mendengar suara pintu tertutup. Justin keluar dari kamarku. Mataku melirik pada
kalung yang ia berikan. Milik Bieber. Mine. B. Mr.B. Astaga, mengapa rasanya
ini sangat rumit?
Kemudian
aku memutuskan untuk berada di dalam bak mandi. Meski aku tahu, bokongku masih
terasa perih. Kunyalakan keran air bak mandi dan mengisinya hingga penuh.
Sedangkan aku mencoba untuk membersihkan kepalaku dengan shampoo.
***
“Anna!
Sial! Buka pintunya!” teriak Justin yang terus menggedor-gedor pintu kamar
mandi. Astaga, aku tertidur di dalam kamar mandi. Sudah jam berapa ini? Tapi
aku belom ingin keluar dari kamar mandi ini. Airnya sudah tidak hangat lagi dan
busa yang tadinya ada, sudah tidak ada lagi. Aku tak peduli. Tiba-tiba saja,
pintunya terbuka. Justin mendobraknya. Sial!
“Anna!
Astaga!” teriak Justin terkejut melihat keberadaanku yang telanjang seperti
ini. Lama berada di dalam bak mandi. Aku tahu tangaku telah berkerut sekarang.
Aku tidak peduli. Seperti pahlawan Justin langsung menggendong tubuhku yang
basah dan mendirikan tubuhku di dekat gantungan handuk. Ia mengambil handuk dan
pelan-pelan ia mengelap tubuhku, tapi tidak pada bokongku. Air mataku kembali
mengumpul. Mengapa sekarang aku terlihat begitu lemah? Justin membungkus
tubuhku dengan handuk lalu menggendongku kembali. Bokongku sakit saat Justin
menarik kakiku sehingga handuk itu terseret, melintasi bokongku. Aku mendesah
pelan, berusaha untuk tidak terlihat kesakitan.
Justin
mendudukanku dengan pelan di atas kasur. Astaga, bokongku benar-benar sakit.
“Anna,
aku sungguh minta maaf,” ujarnya. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan
padanya. Apa aku harus memaafkannya? Rasanya begitu sulit untuk memaafkannya
setelah apa yang terjadi. Ia melakukan kekerasan terhadapku. Dan aku sudah
bilang padanya berkali-kali ia telah mencoret kata ‘kekerasan’ dalam perjanjian
itu.
“Jika
kau sudah selesai berganti pakaian, aku menunggumu di dapur untuk makan malam,
sudah jam 9 malam,” ujarnya lagi dengan suara yang lembut. Kemudian ia melengos
pergi dari kamarku. Menutup pintunya. Oh, Tuhan. Mengapa rasanya sekarang
terlihat begitu sulit untuk menerimanya kembali setelah ia memukul? Memecutku?
Rasanya benar-benar sakit. Pasti bokongku sudah ada tanda di sana. Tanda merah
yang akan menghilang lama. Dan rasa sakit yang akan bertahan lama.
***
“Bu,
aku memukulnya,” ujar Justin pada ponselnya. Kurasa ia menghubungi ibunya.
Kulihat ia sedang berada di ambang pintu menuju kolam renang. Ponsel sudah
menempel pada telinganya. Ia mendesah pelan dan bahunya yang tadinya tegap
tiba-tiba saja menjadi lesu.
“Maafkan
aku. Aku kesal karena ia memeluk Logan,” ujarnya lagi. Aku berdiri di ujung
tangga, memegang pegangannya sambil menatap Justin. Aku baru saja ingin
menemuinya.
“Mengapa
ibu menyuruhnya untuk menjadi istriku? Aku bahkan tidak ..apa? Kupikir masih
ada banyak perjanjian lain. Ibu bisa membuatnya menjadi pembantuku atau
semacamnya,” ujar Justin. Kata-katanya benar-benarm membuatku sakit hati tapi
aku tidak menangis. Mungkin aku sudah puas menangis di dalam kamar mandi.
“Aku
memang menyukai tubuhnya. Tapi ..kau tahu aku ibu,” ujarnya mendesah. “Ah,
persetan! Aku yang akan menyelesaikannya sendiri,” ujar Justin akhirnya
berhenti berbicara. Dia hanya menyukai tubuhku saja. Seharusnya aku tahu ini
dari awal! Dengan cepat aku langsung berjalan menuju dapur.
“Anna,”
ia memanggilku saat aku baru saja berada di dapur. Aku berbalik dan melihat
Justin yang memakai pakaian yang benar-benar rapi. Ia akan pergi kemana
malam-malam seperti ini?
“Apa
kau ingin makan?” tanyanya lagi menarik tanganku untuk duduk di atas kursi bar.
Aku terduduk pelan agar tak menyakiti bokong. Dan meringis pelan saat bokongku
sudah berciuman dengan kursi. Sial, masih terasa sakit.
“Aku
pikir kau akan mati di dalam kamar mandi,” ujar Justin terkekeh. Apa itu lucu?
Kurasa tidak. Aku hanya terdiam dan melihatnya mengambil sesuatu di dalam oven.
Spagethi? Dan hanya satu piring. Ia langsung menaruhnya di atas meja bar dan
memberikannya padaku. Kemudian ia memberikan satu garpu padaku.
“Makanlah
dan bicara padaku,” ujarnya sambil membungkukan tubuhnya, kedua tangannya
terlipat di atas meja bar. Menatapku. Tapi aku mengacuhkannya dan mulai
mengaduk spagethi-ku. Kemudian aku memakannya dengan lambat.
“Anna,
aku ingin membicarakan sesuatu,” ujarnya yang membuat perutku menegang. Apa ia
akan mengusirku dan menceraikanku? Aku berhenti mengunyah. Lagi pula memang
makananku sudah habis di mulut.
“Anna,
aku sungguh minta maaf tentang kejadian tadi,”
“Aku
tidak tahu apa aku harus memaafkanmu atau tidak,” akhirnya aku menemukan
suaraku yang tadinya tersendat di tenggorokan. Matanya bertemu dengan mataku
kemudian ia langsung mengecup bibirku. Membuatku cukup terkejut dengan apa yang
baru saja ia lakukan.
“Ini
soal perjanjianmu dengan orang tuaku,” ujarnya mendesah dan memejamkan matanya,
mencoba untuk memberanikan diri. “Sebenarnya, banyak sekali perjanjian yang
dibuat untukmu, Anna. Orang tuaku harus memilih salah satu di antara
surat-surat itu. Cukup konyol, ya. Pada akhirnyapun, mereka memintamu untuk
menjadi istriku. Meski kenyataannya, aku tidak menginginkanmu sebagai istriku.
Ini sungguh salah.” Ujarnya.
“Kau
ingin bercerai?” tanyaku, terkejut. Apa maksudnya? Aku tidak mengerti.
“Ya,
Tuhan. Astaga, tidak. Aku tidak. Hanya saja, ini sangat salah Anna. Aku sungguh
minta maaf. Tapi aku harus pergi ke rumah Maria. Kita bicarakan besok lagi.”
Ujarnya pergi dari hadapanku. Sedangkan aku terdiam di dapur. Menatap
makananku.
Perjanjian-perjanjian?
Aku merenung. Air mataku mulai menetes.
kasian anna huaaaaa :'(
BalasHapus