Jumat, 02 Agustus 2013

Dominan - Submissive Bab 5

***

            “Anna, buka pintunya!” Justin berteriak dan menggedor-gedorkan pintu kamarku. Aku meringkuk dalam pelukan diri sendiri bersama dengan isak tangis yang memilukan. Tanganku masih panas saat aku menampar wajahnya. Ia tidak bergeming saat itu. Tapi saat aku beranjak dari kolam renang, ia langsung mengejarku. Aku tidak mengerti dengan Justin.
            Apa aku benar-benar terlihat seperti pelacur? Mengapa rasanya ia tidak percaya dengan kata-kataku? Maksudku, aku memang seperti ini. Aku tidak pernah berhubungan badan dengan siapa pun selain dirinya! Aku hanya diperkosa. Dan mengapa ia mengira aku akan memiliki hubungan badan dengan Logan? Aku bahkan belum mengenalnya! Hening di dalam kamar ini. Hanya isak tangis yang menemaniku. Justin sudah tidak menggedor-gedorkan pintu kamarku lagi. Kurasa ia sudah lelah. Itu lebih baik.
            Aku ingin membicarakan ini bersama dengan diriku sendiri. Apa Justin memiliki kenangan buruk? Atau karena memang gayaku seperti pelacur? Apa aku terlihat begitu murahan di saat aku merayu Justin? Apa Justin tidak percaya dengan kata-kataku? Aku sudah bilang padanya aku tidak pernah berhubungan dengan siapa pun dan atas dasar apa dia memanggilku pelacur? Begitu banyak pertanyaan yang harus dijawab. Menyesakan hatiku yang paling dalam.
            Hati kecil berkata: Tidak. Kau bukan pelacur.
            Karena aku memang bukan pelacur! Apa selama ini Justin menganggap aku hanya berpura-pura tak menerima hadiah darinya agar ia terus memberikan hadiah padaku? Aku tidak sama sekali suka hadiah yang ia berikan –kecuali Bee dan Boo. Kalung ini, gelang kaki, pakaian yang mahal, aku tidak butuh itu! Pantas saja ia bertanya bagaimana perasaanku saat mendapatkan hadiah-hadiahnya. Mungkin, submisif-submisif sebelum diriku senang saat Justin membelikan mereka. Tapi aku tak sama dengan mereka!
            Memang aku tidak memiliki banyak uang. Memang aku keturunan dari orang yang tidak mampu. Tapi apa aku melakukan pekerjaan hina seperti itu? Tidak! Masih ada jalan lain yang lebih baik. Oh, Tuhan. Mengapa lelaki itu tampak begitu takut untuk dikhianati?
            Lama berpikir, air mataku sudah berhenti mengalir. Tapi tusukan dari kata-katanya yang mengalir penuh kekejaman tak berhenti meneteskan darah dan kepedihan yang masih berada di hati ini. Aku tidak ingin mencabutnya, karena aku tahu, rasanya akan lebih sakit. Aku memutuskan untuk tidur.

***

            Aku terbangun dengan perasaan yang sama seperti tadi pagi. Sudah jam berapa ini? Aku mendengar suara gonggongan Bee dan Boo dari luar sana. Kurasa mataku membengkak. Beranjak dari tempat tidur, aku meliaht diriku dari pantulan cermin. Begitu buruk dan abstrak. Rambutku acak-acakan dan mataku benar-benar sipit. Astaga, seburuk itukah? Apa tadi aku bermimpi buruk? Tidak, tidak mimpi buruk.
            Kuhantar kakiku menuju meja rias yang berwarna putih. Semua peralatan di sini berwarna putih. Seakan-akan berada di dalam surge. Atau mungkin dalam kamar Dewa Kematian di Underworld. Aku tak peduli. Kuambil sisir yang berwarna putih juga dan menyisirkan rambutku dengan pelan. Aku mencoba untuk tidak menangis.Tapi lagi-lagi air mataku menetes.
            “Sial!” aku menggumam dan menundukan kepalaku. Mengapa kata-katanya benar-benar begitu menyakitkan? Aku tak kuat saat ia bertanya apa aku pernah tidur dengan Logan. Oh, Tuhan. Aku ini adalah miliknya. Ia seharusnya tahu itu. Aku sudah percaya padanya. Aku percaya padanya kalau ia tidak akan pernah menyakitiku. Aku percaya ia tidak akan memukulku. Bahkan ia sudah memanggilku dengan kata MINE! Sudah jelas aku adalah miliknya. Rasanya begitu menyakitkan saat orang-orang di sekitarku tak percaya dengan omonganku. Kuhapus air mataku dengan punggung tanganku lalu kembali mendongak.
            Mataku benar-benar bengkak. Ini adalah yang kedua kalinya aku menangisi lelaki. Pertama adalah karena kepergian Nicholas, pacar bayanganku. Dan Justin, suami yang tak mempercayaiku. Mungkin dalam konteks ini, Justin lebih hebat menyakitiku. Kusisir kembali rambutku dengan lembut. Mencoba untuk merapikannya. Sekarang aku berharap aku hidup dalam mimpiku. Dalam mimpi aku bisa merancang kejadian yang kumau. Aku ingin tidak ada sakit hati di sana. Mimpiku adalah Justin percaya padaku. Hidup dalam dunia nyata begitu menyesakan. Orang-orang berbaik hati karena sesuatu yang mendesak dirinya untuk meminta permintaan yang besar agar permintaannya terkabulkan. Tapi di sini aku. Tidak sama dengan orang-orang di luar sana yang haus akan uang.
            Pelacur. Mereka bahkan tidak lebih baik daripada seekor anjing.
            Kutaruh kembali sisir itu di atas meja dan berjalan untuk keluar dari kamar. Gonggongan dari Bee dan Boo sudah tak terdengar. Kubuka kunci pintu kamarku lalu membuka pintunya.
            Berjalan dengan lesu sambil melihat ke arah bawah. Semuanya berjalan dengan baik. Seakan-akan tidak ada yang salah. Kurasa sekarang sudah sore. Aku belum sarapan dan makan siang. Aku butuh makanan. Kakiku rasanya seperti baja yang sulit kuangkat. Malas, aku melangkah turun. Dan berharap Justin tidak ada di bawah. Aku berharap ia berada di ruang kerja atau di kamarnya. Kaki terus membawaku menuju dapur.
            Berkali-kali. Baiklah, sudah berkali-kali aku mencoba untuk tidak menangis. Tapi mengapa air mata ini tidak berhenti menetes? Kakiku berhenti melangkah saat aku sudah berada di ruang dapur. Kulihat Xavier dan D’aman sedang memasak sesuatu.
            “Mrs. Bieber!” sapa mereka berdua dengan aksen Perancis yang mereka miliki.
            “Apa aku bisa memakan sesuatu?”
            “Apa pun, Mrs. Bieber,” ujar D’aman dengan senyum yang sumringah. Itu membuatku ikut tersenyum dan menghapus air mataku.
            “Sandwich?”
            “Berapa banyak Mrs. Bieber?”
            “Aku tak sarapan dan makan siang, yah, yang menurutmu dapat mengenyangkan perutku,” aku berusaha untuk tersenyum padanya dan aku terduduk di atas kursi bar sarapan. Xavier melihatku tanpa senyuman. Sepertinya ia tahu dengan kejadian tadi pagi. Semua pelayan yang biasanya menyapaku dan tersenyum padaku, sudah tidak seperti itu lagi. Kurasa mereka ingin menjaga perasaanku.  
            “Mrs. Bieber, kau bisa menceritakannya padaku,” ujar Xavier ingin tahu. Aku hanya tersenyum lemah dan menggelengkan kepalaku. Aku tidak ingin menceritakannya. Itu justru membuatku ingin menangis lagi.
            “Xav –Anna! Akhirnya kau keluar juga!” teriak Justin yang tiba-tiba saja muncul dari belakang. Aku tidak membalikan tubuhku melainkan aku langsung menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku. Mendengar suaranya membuat perkataannya tadi pagi semakin kuat dalam hatiku. Semakin menusuknya lebih banyak. P-E-L-A-C-U-R. Huruf-huruf itu menusuk hatiku secara bersamaan. Dan Justin di sini. Ini memperburuk perasaanku.
            Air mataku mulai keluar dari sudut mataku. Kumohon, jangan menangis di depannya. Jangan menangis di depannya. Aku berujar pada diriku sendiri. Kudengar suara Justin duduk di sebelahku.
            “Anna, lihat aku sayang,” ujarnya menyuruhku. Aku tidak melakukannya. Aku masih pada posisiku dan tiba-tiba saja aku punya keinginan untuk mengambil pisau dan mencolok jantungku dengan cepat agar penderitaan ini selesai. Ada apa dengan Justin?! Itu pertanyaan yang harus dijawab olehnya. Aku ingin beranjak tapi tangan Justin yang seperti batu –sama seperti hatinya—itu menahan tanganku agar aku tidak beranjak dan tanganku terlepas dari wajahku. Untungnya air mataku hanya mengalir satu kali saja. Tapi aku langsung menundukan kepalaku.
            “Anna, kumohon. Lihat aku,” ujar Justin lagi, memohon. Tapi aku tidak melakukannya. Tapi jari telunjuk dan jempol Justin mulai menyentuh daguku dan menariknya. Aku langsung menutup mataku. Ia tertawa pelan. Aku tidak mungkin bisa menolak lelaki ini.
            “Anna, lihat aku. Jangan buat aku marah sayang,”
            “Mengapa aku harus melakukan itu?” tanyaku dengan suara yang parau. Aku mulai memberanikan diri.
            “Ini, minumlah,” ujar Justin memegang pipiku dengan jari telunjuk dan jempolnya hingga mulutku terbuka menjadi huruf O. Ia mengalirkan air yang kurasa ini adalah …sialan! Alkohol. Aku tersedak dan terbatuk-batuk. Justin tertawa, mataku terbuka.
            “Ternyata sekarang aku tahu bagaimana caranya membuatmu membuka matamu,” ujar Justin menyeringai. Tapi aku tidak ikut tersenyum. Benci dia. Benci dia. Benci dia! Aku terus mengucapkan kata itu pada otakku. Berusaha untuk tidak luluh padanya.
            “Mine, kita harus membicarakan ini,”
            “Terserah,”
            “Mine, serius,” ia berucap dengan serius. Xavier dan D’aman sudah tidak ada di dalam ruangan ini. Hanya aku dan Justin. Dan aku sangat yakin, ada banyak pelayan yang akan mendengar percakapan ini. Aku tidak menatap Justin, aku menatap gelas kosong yang tadi berisi anggur.
            “Mine, sayang, aku sungguh minta maaf dengan perkataanku tadi pagi,”
            “Kau memang seharusnya melakukan itu Justin,” ujarku dengan ketus. Aku memutar tubuhku dan memunggunginya. Justin tertawa pelan dan menyentuh pundakku.
            “Sebenarnya, Justin,” aku berhenti berbicara, aku ingin bertanya padanya mengapa. Apa yang terjadi dengan dirinya sehingga ia berbicara seperti itu padaku? Tapi aku terdiam.
            “Kita bisa ke kamar untuk membicarakan ini,” ujar Justin mengajakku. Tapi aku menggelengkan kepalaku.
            “Aku lapar,” ujarku masih memunggunginya.
            “D’aman! Xavier!” teriak Justin. Tidak butuh waktu lama, D’aman dan Xavier muncul lagi. Wajah mereka kali ini tidak tersenyum, melainkan ketakutan. “Buatkan sesuatu untuk ..Anna,” ia berucap, memerintah. D’aman dan Xavier menganggukan kepala mereka dan Xavier melirik padaku. Sedikit kasihan padaku. Justin menarik pundakku agar ia dapat memutar kursi ini bersama dengan badanku. Kupejamkan mataku kembali saat aku sudah berhadapan dengannya. Kemudian aku merasakan bibir Justin menyentuh bibirku dan kemudian menghilang.
            Mataku terbuka.
            “Itu dia mata biru yang kuinginkan,” ujarnya tersenyum kembali, “Mine, sungguh. Aku minta maaf dengan pertanyaanku yang konyol tadi,” tambahnya menatap mataku, intens.
            “Mengapa?”
            “Mengapa apa?” Terkadang aku berpikir, ternyata pengusaha bisnis seperti Justin sedikit bodoh.
            “Mengapa tiba-tiba aku bertanya seperti itu padaku?” tanyaku sambil mendesah pelan, kedua bahuku turun karena lesu mendengar kebodohan Justin. Ia tertawa. Apa yang lucu? Aku sedang ingin berbicara serius dengannya.
            “Aku punya kenangan buruk,”
            “Submissive-mu berselingkuh dengan pengawalnya?” tanyaku menebak. Ia menganggukan kepalanya. Sudah kuduga! Sial, mengapa ia menyamakanku dengan submissive sialannya itu? Ini sungguh salah. Dan aku rasa aku harus memaafkan Justin. Ini hanyalah kesalahpahaman Justin terhadap diriku. Ia salah tangkap. Aku bukan gadis itu. Ini adalah aku dan aku adalah aku. Mengerti? Yeah, sudah kuduga.
            “Karenanya aku tidak percaya dengan hubungan lagi,” ujar Justin. Sialan! Siapa nama wanita itu? Rasanya aku ingin menamparnya. Karenanya aku susah untuk mendapatkan seorang Justin Bieber. Dan karenanya, Justin memanggilku seorang pelacur. Bahkan ia bilang ‘YA’ tanpa berpikir.
            “Mengapa kau berpikir aku adalah seorang pelacur?” tanyaku. Kudengar Xavier berdeham. Aku ingin tertawa, tapi aku menahannya. Dasar Xavier!
            “Dengar, Anna,” ia menyebut namaku, kali ini. “Chanta adalah submissive pertamaku,” ujarnya. Aku menganggukan kepalaku dan mulai menyandarkan kepalaku pada tanganku yang siku-sikunya bertumpu pada meja bar. Aku menatap Justin yang ingin menjelaskan.
            “Chanta, ia gadis yang polos. Sama sepertimu. Ia sangat cantik. Dan aku terpikat olehnya. Kau sama sepertinya, Anna!” ia berseru dengan gemas.
            “Aku tidak sama dengannya Justin,”  
            “Well, pada akhirnya, ia tidak sama denganmu. Ia memiliki hubungan gelap dengan pengawalku,” ujarnya mempersingkat cerita, kurasa. Justin mendesah pelan dan memejamkan matanya.
            “Dan kau berpikir aku akan memiliki hubungan gelap dengan Logan?” aku berseru juga. D’aman yang sedang memasak terdengar begitu berisik. Mereka berdua tentu saja mendengar percakapan kami. Tapi tidak bisakah mereka memberi kami sedikit privasi? Setidaknya mereka seharusnya fokus untuk memasak makanan untukku.
            “Awalnya, ya,”
            “Dan mengapa kau memanggilku pelacur? Intinya,” aku menuntut.
            “Ini sungguh susah dijelaskan Anna. Chanta dan Nolan pergi dari rumahku sambil membawa uang yang banyak dan mobilku. Chanta benar-benar pelacur,” ia berseru lalu setelahnya, ia mendesah dengan pelan dan menggelengkan kepalanya.
            “Mengapa kau tidak percaya denganku? Setelah aku menceritakan kehidupan seksku yang sebenarnya. Apa kehidupan seksku terdengar seperti pelacur? Apa aku pernah hidup semewah ini Justin? Apa kau tahu apa aku pernah mendapatkan uang yang banyak karena lelaki yang kaya? Apa kau tahu?” tanyaku menyembur segala pertanyaan yang masih berada di otakku. Ia mendesah, lagi, untuk yang kesekian kalinya.
            “Anna, aku benar-benar minta maaf,” gumamnya terdengar sungguh-sungguh.
            “Mrs. Bieber,” ujar Xavier menghidang beberapa sandwich di hadapanku. Aku memberikan senyuman terima kasih padanya dan ia membalas senyumanku.
            “Kalian boleh pergi dari sini,” ujar Justin dingin pada mereka. Sontak mereka berdua berjalan terbirit-birit dari dapu. Astaga, apa orang-orang di sini benar-benar takut pada Justin? Yeah, benar. Mereka patut takut pada Justin.
            “Baiklah, aku memaafkanmu. Tapi jangan pernah samakan aku dengan orang lain!” ujarku.
            “Tentu. Sekarang makanlah.” Ucap Justin menyuruhku. Aku menurutinya.
***

            Aku melihat begitu banyak peralatan anjing di sini. Ada pakaian anjing, kandangnya, tempat tidurnya, boneka mainan yang dapat berbunyi, hairdryer khusus anjing. Astaga, mengapa aku tidak datang saja ke sini beberapa hari yang lalu? Di sini perlengkapan anjing benar-benar lengkap. Aku bahkan sulit untuk memilih yang mana. Aku butuh tempat tidur untuk Bee dan Boo, hair dryer untuk mengeringkan bulu mereka, oh dan tampon untuk Bee. Dia kan betina, jadi ia juga akan terkena menstruasi. Aku berjalan menyusuri koridor bagian tempat tidur. Mencari bantalan yang mana yang cocok untuk mereka berdua. Aku ingin mereka terurus dengan baik.
            Satu yang kuingat dari film hewan. Kutipannya “Memelihara hewan tidak boleh sembarangan. Kita harus berkomitmen untuk merawat mereka.”
            “Logan, menurutmu mana yang bagus? Apa bantalan yang ini atau yang ini?” tanyaku sambil mengambil dua bantal yang halus namun jika dipegang langsung mengempis. Yah, kurasa isinya hanyalah bola-bola kecil yang berisik jika dipegang. Logan yang menggendong Bee dan Boo menggelengkan kepalanya.
            “Kurasa tidak dua-duanya Mrs. Bieber,” ujarnya tidak setuju dengan kedua bantalan ini. Aku menganggukan kepalaku dan menaruh bantalan ini ke dalam rak lagi lalu aku kembali menyusuri koridor.
            “Logan, apa kau berpikir aku seperti pelacur?” tanyaku berhenti melangkah dan mengambil bantalan yang lain. Aku memencet-mencet bantal ini. Kau tahu, ukuran tubuh Boo dan Bee benar-benar mungil. Jadi mungkin, mereka hanya butuh bantalan. Bahkan sebenarnya anjing hanya butuh selembar karpet. Karena Boo dan Bee adalah jenis mini pom, mereka hanya butuh bantalan.
            Aku masih menunggu jawaban Logan dan terus mencari bantalan untuk anjingku. Kemudian aku meliriknya.
            “Logan?”
            “Kurasa tidak, Mrs.Bieber. Apa saya boleh tahu mengapa Anda bertanya seperti itu?” tanyanya penuh dengan rasa ingin tahu. Tapi aku terdiam sejenak, aku tidak bisa membicarakan ini dengan Logan.  Ini salah. Aku menggelengkan kepalaku padanya. Tiba-tiba saja ponsel yang berada di kantong celanaku berdering. Kurogoh kantong celanaku dan mengambil ponsel.
            Dari Justin. Tentu saja Justin. Hanya dia yang ada di kontak ponselku. Aku langsung mengangkatnya.
            “Ya, Justin?” tanyaku langsung sambil berjalan. “Yang mana?” aku berbisik sambil mengambil bantalan yang lain lalu memperlihatkannya pada Logan.
            “Kau ada di mana?” tanya Justin terdengar terengah-engah. Ada apa dengannya?
            “Aku di toko peralatan anjing bersama Logan. Ada apa?” tanyaku khawatir. Kudengar Justin terkesiap. Hening sejenak dan aku melirik pada Logan yang tidak berekspresi. Entahlah, mungkin Logan memang tidak memiliki raut wajah selain wajah datar. Logan tidak menjawab pertanyaanku, justru ia langsung membalikan diri dan berjalan menjauhiku. Tapi aku membiarkannya pergi, membawa Bee dan Boo.
            “Kau bersama Logan?”
            “Bukankah kau yang bilang padaku kalau aku ingin pergi maka Logan yang akan membawaku?” tanyaku bingung dan menaruh kembali bantalan. Aku melipat salah satu tanganku dan menatap ke segala arah. Yah, seperti pada kebiasaan orang jika sedang menelpon. Berjalan-jalan tak jelas. Entah harus melihat kemana. Atau bisa-bisa aku mengelilingi seluruh tempat toko anjing ini.
            Kutatapi lantai. Justin belum menjawab pertanyaanku.
            “Tadinya aku ingin membawamu jalan-jalan. Tapi Max bilang kau tidak ada di rumah. Untuk apa kau ke toko peralatan anjing?” tanya Justin. Aku ingin tertawa.
            Sudah kubilang. Mengapa pengusaha sesukses Justin bahkan seorang Millioner harus memberikan pertanyaan konyol seperti tadi? Rasanya benar-benar lucu. Tentu saja aku ingin membeli peralatan anjing.
            “Aku ingin membeli kasur untuk Bee dan Boo. Dan tampon untuk Bee,” ujarku. Saat aku bilang tampon, Justin terkesiap lagi. Aku ingin tertawa. Ada apa dengannya hari ini? “Justin, aku akan pulang sebentar lagi. Hanya saja, aku ingin memilih yang baik untuk Bee dan Boo,”
            “Mereka bahkan bukan anakmu,”
            “Tapi aku berharap aku memiliki anak,” ujarku refleks. Oh, sial! Bodohnya aku. Tidak, tidak di umur yang masih muda ini. Tapi mungkin ini naluri karena aku telah menjadi istri Justin dan aku mengharapkan keturunan darinya. Tapi tidak, astaga. Mungkin tujuh tahun lagi lebih bagus. Aku sudah benar-benar kuat untuk mendapatkan anak. Jika aku 27 berarti Justin 37. Aku tidak percaya Justin akan berselisih 10 tahun denganku. Rasanya kami hanya berbeda beberapa tahun saja. Asal Justin mencukur janggot dan kumisnya, ia akan masih terlihat muda.
            Hening berkepanjangan meliputi percakapan kami.
            “Semoga kau bersenang-senang,” ujar Justin mengalihkan topik pembicaraan. “Kau ..berhati-hatilah,” lanjutnya lagi. Ah, Justin memintaku untuk berhati-hati. Ini untuk yang pertama kalinya. Suaranya memang sedikit ragu-ragu. Tapi setidaknya, ia mengkhawatirkanku.
            “Justin,”
            “Ya?”
            “Semoga harimu menyenangkan,”
            “Aku bisa pastikan, Mine, hariku akan menyenangkan dengan kertas-kertas di atas mejaku,” ujarnya kali ini lebih santai. Aku tersenyum dan kudengar ia juga tersenyum. Kemudian ia mematikan ponselnya. Aku membalikan tubuhku dan menyelipkan kembali ponselku pada kantong celana. Kulihat Logan bersama dengan Bee dan Boo di atas bantalan dan peralatan lainnya bersama kereta dorong. Astaga, dia benar-benar membantuku. Semua itu benar-benar yang kubutuhkan. Dan ah, tampon Bee juga sudah ia ambilkan. Aku tersenyum padanya.
            Berjalan, aku memeluknya dengan erat.
            “Terima kasih banyak,” bisikku dan kemudian melepaskan pelukannya. Ia tersenyum padaku.
            “Sama-sama, Mrs. Bieber. Pauline tadi yang membantuku,” ujarnya sambil menggeserkan tubuhnya lalu terlihat di balik tubuh tegapnya seorang wanita setengah baya dengan seragam kerjanya. Astaga, dia tersenyum manis padaku.
            “Jika kau tidak membantuku, mungkin butuh berjam-jam untuk mencari-cari perlengkapan untuk mereka berdua,” ujarku bersyukur. Karena memang. Aku tidak begitu suka keluar dari rumah. Aku orang yang sedikit tertutup dengan alam. Mungkin aku lebih menyukai untuk membersihkan rumah atau semacamnya dibandingkan berjalan-jalan keluar. Dan apa pula yang harus kulakukan di luar sana? Aku hanya keluar dari rumah jika ada keperluan.
            “Sama-sama Mrs. Bieber. Apa ini semua yang Anda butuhkan?” tanyanya dengan ramah. Dia orang Asia. “Saya sudah memilih peralatan yang cocok untuk mini pom,” tambahnya lagi.
            “Kurasa semuanya sudah ada, terima kasih banyak. Dan kau tahu, aku juga harus membayarnya,” ujarku sambil berjalan menuju tempat kasir, meninggalkan Pauline. Logan mendorong kereta dorong bersama denganku yang berjalan lebih dulu dibandingnya.
            “Logan, apa kau tahu caranya memakaikan tampon pada anjing betina?” tanya membalikan tubuhku untuk mengambil peralatan anjing ini ke atas meja kasir. Logan melihatku, terkesiap.

***

            Ternyata tampon anjing mudah sekali dipakai untuk Bee. Hanya seperti celana bayi. Logan memperlihatkanku bagaimana cara memakainya. Ia benar-benar ahli dalam masalah anjing. Katanya kita juga harus membawa dokter 6 satu kali. Seperti sekarang, Logan membantuku untuk melipat tampon-tampon milik Bee di atas tempat tidurku. Sedangkan aku sedang merapikan barang-barang Bee yang lain. Jika dilihat-lihat, Logan seperti ibu-ibu yang handal. Entahlah, mungkin memang ia hanya tinggal bersama ibunya sehingga ia terlihat cekatan merapikan apa pun.
            “Logan, kau tinggal bersama siapa?” tanyaku ingin tahu.
            “Oh, aku tinggal dengan ibuku,” BINGO! Sudah kuduga. Aku menaruh hairdryer milik Bee dan Boo di atas meja rias. Gunanya jika Double B –baiklah itu hanya untuk mempersingkat panggilang mereka—sudah selesai mandi, aku akan mengeringkan bulu mereka agar merekah kembali. Kau tidak akan percaya jika mereka sedang dimandikan, mereka seperti tidak memiliki bulu dan kurus sekali. Justin bahkan tidak akan percaya. Dan aku tidak tahu, Justin tidak pernah menyentuh Double B.
            “Ayah?”
            “Dia sudah meninggal sejak umurku 10 tahun,” ujarnya. Sial!Mengapa aku bertanya seperti itu padanya? Rasa keingintahuanku begitu mendorongku untuk tahu latar belakangnya. “Tidak perlu meminta maaf,” lanjutnya lagi saat aku menundukan kepalaku. Sedetik kemudian aku mendongak.
            “Jadi kau tahu melipat baju karena ibumu?”
            “Aku bahkan menyetrikan bajuku, Mrs.Bieber,” ujarnya terkekeh pelan. Aku ikut tertawa. Apa Justin bisa seperti melakukan hal yang seperti Logan lakukan? Karena aku meragukannya. Pasti Justin tidak bisa memasak atau merapikan baju seperti ini. Aku sangat yakin itu.
            “Kau hebat,” ujarku, berdiri dari tempat duduk. Kuhampiri Double B yang sedang tertidur di atas bantalan mereka yang baru. Sekarang mereka terlihat lebih nyaman. Sial! Ternyata Pauline memberikan aku barang-barang yang mahal. Saat aku bertanya pada Logan mengapa Pauline memberikan aku barang yang harganya mahal, ia bilang karena aku adalah istri dari seorang Millioner. Menurutnya begitu. Dan menurutku begitu juga. Aku menjongkok di depan Double B dan mengelus kepalanya dengan lembut.
            “Mrs. Bieber, Anda ingin aku taruh ini di mana?” tanyanya. Aku menoleh padanya dan berdiri dari jongkokanku.
            “Biar aku yang taruh,” ujarku sambil mengambil tampon yang sudah tertumpuk rapi. Aku berjalan melewati keheningan di antara kami. Lalu aku membuka lemari pakaianku dan menarik keluar laci ketiga yang masih kosong.
            “Apa menurutmu aku akan merayumu?” tanyaku, akhirnya. Astaga, dari tadi aku sudah menahan pertanyaan ini sepanjang hari dan akhirnya aku menyatakannya. Aku hanya tidak ingin terlihat begitu murahan.Kudengar ia terkesiap kemudian aku mendorong kembali laci ke dalam lalu membalikan tubuhku sambil menutup pintu lemari pakaianku.
            Kutatapi Logan yang sudah berdiri dari tempat tidurku.
            “Kurasa tidak,”           
            “Kau rasa begitu?”
            “Ya. Karena aku tidak menarik, Mrs. Bieber. Kau tidak akan tertarik padaku,” ujarnya merendahkan diri. Aku menggelengkan kepalaku dan terkekeh.
            “Tidak, kau tampan Logan. Mengapa kau tidak berpikir kalau aku tidak akan tertarik padamu?” tanyaku menggodanya. Ingin mengganggunya, aku mulai mengumpulkan seluruh rambutku pada satu ikat tanganku. Tapi, eh! Sialan! Kalungku ikut tertarik ke atas. Tersangkut lebih tepatnya. Aku meringis. Bodohnya! Aku mencoba untuk mencari dimana kalungku tersangkut, meraba-rabanya.
            “Apa saya boleh membantu Mrs. Bieber?” tanya Logan was-was. Matanya melebar. Mengingatkanku pada Justin yang matanya melebar saat aku bilang ‘Hati-hati Justin’. Kuanggukan kepalaku dan mendekatkan tubuhku padanya. Ia berdiri di belakangku dan mencoba untuk melepaskan kalungku yang tersangkut itu. Aku meringis, rambutku rontok.
            “Maaf,” bisiknya mencoba untuk melepaskannya secara hati-hati.
            “Tidak apa-apa. Kumohon cepatlah,” aku menggoyang-goyangkan tubuhku lalu berhenti. Itu karena aku benar-benar gemas. Sudah merontokan beberapa helai rambutku, ia lama sekali. Seharusnya ini cepat.
            “Ah!” aku berteriak saat ia menarik kasar kalung itu hingga kurasakan rambutku rontok lebih banyak. Untuk yang rontok hanya bagian bawah kepalaku saja.
            “Setidaknya saya sudah melepaskannya, Mrs. Bieber,” ujarnya mundur. Aku berbalik dan menganggukan kepalaku sambil mengelus bagian kepala bawahku yang rambutnya rontok. Masih terasa perih karena tarikannya. Kemudian aku memeluknya.
            “Terima kasih, sekali lagi,”
            “Mine,” kudengar Justin bersuara pelan tiba-tiba saja terdengar sampai pada telingaku. Sontak aku melepaskan pelukanku dari Logan dan membalikan tubuhku. Sial! Pasti ia mengira aku ..ah, sialan! Kulihat mulutnya menganga, rambutnya acak-acakan dan ..astaga, buruk sekali. Dia baru dari mana?
            “Kau. Kupecat!” bentak Justin pada Logan. Sontak Logan terkejut. Astaga, ini semua salah.
            “Tidak, Justin. Bukan, ini salah paham,”
            “Salah paham? Kau jelas-jelas memeluknya. Apa-apaan itu?” Justin membentak padaku, matanya penuh dengan amarah. Seharusnya aku tidak membawa Logan ke kamarku. Kemudian ia beralih pada Logan yang membeku di sebelahku. “Kubilang, kau kupecat sialan!” Justin membentaknya.
            Sontak Logan membungkuk untuk menghormati Justin dan berjalan untuk keluar dari kamarku. Melewati Justin dengan kepala yang tertunduk. Saat Logan benar-benar pergi dari kamarku, Justin membanting pintu hingga tertutup. Aku terkesiap. Kulirik Double B yang sudah tidak ada di tempatnya. Kurasa mereka pergi ke dalam kolong meja riasku.
            “Kau sebut itu tadi apa?”
            “Justin, dia hanya membantuku,” aku mendesah pelan dan tiba-tiba saja tubuhku merasa lesu. Kemudian aku terjatuh di atas kasurku, terduduk sambil menundukan kepalaku.
            “Membantu untuk mendapatkan kepuasan? Kita baru saja menyelesaikan masalah ini kemarin, Anna,” ia menggertak, marah sekali. Aku mendongak dan menggelengkan kepalaku. Ia harus percaya padaku. Aku tidak akan pernah berpaling darinya. Siapa yang bisa berpaling dari Justin? Semua orang mencintai Justin –kecuali lelaki.
            “Tidak, astaga, tidak Justin,” aku kembali bangkit dari tempat tidur. Justin melepaskan dasinya secara paksa dan melemparnya ke segala tempat.
            “Kau memeluknya. Dan kau itu adalah milikku. Tak boleh ada yang menyentuhmu selain aku, Anna,” ia berseru, tangannya merobek kemejanya sendiri sehingga sekarang tubuh telanjangnya terlihat.
            “Anna, kau sangat nakal hari ini,”
            “Apa yang akan kau lakukan Justin?” tanyaku ketakutan. “Menurutmu?” ia menaikan salah satu alisnya, menyeringai penuh dengan kejahatan.

****

            “Buka bajumu,” suruh Justin dengan suara yang dingin, tapi matanya benar-benar terbakar oleh amarah. Amarah yang tak dapat ditahan olehnya. Aku ketakutan, tubuhku rasanya mati rasa. Apa yang akan ia lakukan padaku? Saat aku masih terdiam, Justin kembali mengambil dasinya. Lalu ia membuka ikat pinggang yang ia miliki. Kedua tangannya sekarang sudah memegang dua benda yang panjang itu. Aku bergidik ketakutan saat ia mendekatiku. Apa yang akan ia lakukan pada benda itu terhadapku? Apa ia akan memukulku?
            “Kubilang kubuka bajumu, sayang,” ujarnya dengan lembut, tangannya yang memegang dasi mengelus daguku. Air mataku mulai menggenang di sekitar kelopak mataku, membuatku susah melihat Justin, “jangan menangis. Sekarang, buka! Atau aku yang harus membukanya untukmu?”
            “Tidak, aku bisa melakukannya sendiri,” ujarku bergetar.
            “Seluruh pakaian yang kau pakai,” tambahnya lagi saat aku mencoba untuk membuka kaos yang kupakai. Aku melakukannya. Membukanya dengan lambat. Bibirku bergetar. Tiba-tiba saja Justin memecut kasur dengan ikat pinggangnya, membuatku terkejut dan air mataku langsung terjatuh.
            “Jangan lama-lama sialan!” ia membentakku, aku langsung membuka pakaianku secepat mungkin. “Aku sudah berusaha percaya padamu, tapi kau, kau sepertinya tidak mendengar ucapanku. Aku sudah memberimu peringatan untuk tidak mendekati Logan! Tapi apa yang tadi kaulakukan? Memeluknya? Sial, aku benar-benar marah padamu, Mine,” ujarnya menarik lenganku dengan kasar, aku merintih pelan. Tangannya benar-benar mencengkram lenganku, kurasa ia akan membuat tanda di lenganku. Kemudian ia mendorong tubuhku ke atas kasur dengan kasar.
            “Nah, sekarang, kata aman?” tanyanya. Aku tidak mengerti apa yang ia bicarakan. Apa itu kata aman? “Anna, kata aman. Cepat. Ini untuk kelangsungan hubungan kita nanti. Kata aman?”
            “Aku tidak mengerti,”
            “Kau akan berteriak kata aman itu jika kau sudah merasa sangat tersakiti,”
            “Bieber?”
            “Bagus,” ujarnya lalu mendecak pinggang di depanku.
            “Tubuhmu benar-benar indah. Tapi sayang, aku sedang marah padamu. Merasa seperti pelacur sekarang?” tanyanya memiringkan kepalanya ke salah satu sisinya. Aku benar-benar menangis. Apa salahnya jika aku hanya memeluk seseorang untuk berterima kasih? Ini benar-benar salah. Aku tahu Justin akan menyakitiku. Masalah terbesarnya adalah aku tidak pernah dipukul atau diperlakukan kasar seperti ini. Kecuali saat aku diperkosa. Ini membuatku mengingat pada Johnson Bannet. Aku yakin lelaki sialan itu masih ada di dunia ini. Dan Justin membuatku ketakutan karena tingkahnya yang tidak jauh beda dari John.
            “Menungging,”
            “Justin, apa yang akan kaulakukan?” tanyaku merintih pelan, menutupi bagian yang bawahku dengan salah satu tanganku. Aku benar-benar telanjang sekarang. Di depan Justin yang sekarang hanya memakai boxer.
            “Menungging,”
            “Justin,”
            “Kubilang menunggi sialan!” ia membentak padaku. Aku langsung melakukannya. Sekarang aku merasa benar-benar malu diperlakukan seperti ini oleh Justin. Aku merasa seperti pelacur, submissive yang benar-benar murahan. Kutundukan kepalaku sambil menangis. Merasa tersakiti oleh perlakuan Justin. Tiba-tiba saja ia mengelus bokongku yang halus oleh tangannya. Mengelusnya dengan lembut. Di samping itu juga, aku merasa terangsang. Tapi rasa sakit hatiku mengalahkannya. Aku menggigit bibirku untuk tidak terisak.
            “AH!” aku menjerit saat Justin memukul bokongku dengan tangannya. Bahkan aku bisa mendengar bunyi dari pukulannya. Aku menangis, memecah.
            “Satukan kedua tanganmu, cepat!” ia membentak. Tapi aku melakukannya, “Submissive hanya perlu diam dan melakukan apa yang dominan suruh. Gadis pintar,” ujarnya mengikat tanganku dengan dasinya. Aku hanya dapat menangis dan tidak bergerak. Ini benar-benar berlebihan. Aku tidak pernah dipukul sebelumnya. Tidak pernah.
            “Kau. Pelacur. Bajingan!” Justin memecut bokongku dengan ikat pinggangnya. Rasanya sangat perih. Aku menangis, memecah. Aku tidak tahan dengan pukulannya yang benar-benar menyakitkan.
            “Aku sudah berusaha, tapi kau membuatku lengah. Kesabaranku hilang! Kau benar-benar nakal, Anna. Kau sudah berjanji padaku untuk tidak nakal. Tapi kau yang memancingku. Kenapa? Apa kau tidak terima dengan kenyataan bahwa kau adalah calon pelacur? Karena aku akan memperlakukanmu sebagai pelacur!” teriak Justin terus memecut bokongku dengan ikat pinggangnya berkali-kali selama ia berbicara. Aku terus menjerit, mengerang dan berteriak, memintanya untuk berhenti melakukan ini.
            “BIEBER!” aku langsung meneriakan kata aman sebelum bokongku hancur karena ikat pinggang. Rasanya benar-benar perih.
            “Sekarang. Aku akan menyetubuhimu, tapi kau tidak akan mendapatkan pelepasanmu karena kau sudah berlaku nakal,” ujarnya ternyata sudah membuka celananya. Ia sudah memposisikan tubuhnya di belakangku, tiba-tiba saja ereksinya masuk ke dalam tubuhku. Membuatku mengerang, nikmat dan kesakitan.
            “Sial, kau sangat nikmat,” erangnya terus menyetubuhi tubuhku. Rambutku ia tarik ke belakang, ia menjambaknya sehingga kepalaku mendongak ke belakang. Air mataku terus mengalir, membasahi pipiku lalu sampai pada leherku. Rasanya kulit kepalaku benar-benar akan lepas dari dagingnya. Benar-benar perih.
            “Kau tahu Anna? Aku punya rahasia. Rahasia yang akan benar-benar membuatmu membenciku. Karena aku tahu, kau mencintaiku. Tapi oh, sial,” ia tersendat. Aku mengerang.
            “Aku tidak pernah menginginkanmu sebagai istriku. Tidak pernah,” ujarnya di sela-sela dorongannya. “Ah, aku tidak bisa mengatakannya sekarang, oh, sial Anna!” ia semakin mempercepat gerakannya dan tiba-tiba saja ia mendorong tubuhku lebih dalam lagi, aku tidak mendapatkan pelepasan karena perlakuannya yang benar-benar membuat alatku kesakitan. Kasar sekali permainan.
            “Oh, yah, yah. Benar begitu,” ujarnya, menyemburkan spermanya ke dalam tubuhku. Aku hanya dapat terisak dalam tangisanku dan mengerang saat Justin melepaskan tubuhnya dari tubuhku. Aku terjerembap jatuh ke atas kasur. Pipiku akhirnya menyentuh kasur. Air mataku terus mengalir. Sedangkan Justin sudah terbaring di sebelahku dengan nafas yang tak teratur. Aku rasa aku harus membersihkan tubuhku.
            Penuh dengan kesakitan, aku berjalan menuju kamar mandiku, keadaanku masih telanjang. Tentu saja, itu adalah pernyataan bodoh. Tapi kenyataannya adalah bokongku benar-benar sakit dan alatku benar-benar berdenyut kesakitan. Meminta pelepasan, maksudku. Tapi ia tidak memberikannya. Berusaha untuk tidak terisak, aku kembali menggigit bibirku dan menutup pintu kamar mandi dan menguncinya.
            Berjalan tergopoh-gopoh menuju shower dan menyalakannya. Air hangat mulai membasuhi tubuhku. Tapi bokongku masih terasa nyeri. Rasanya aku tak kuat untuk mengusapnya nanti saat aku menyabuni tubuhku.
            “Anna? Buka pintunya,” ujar Justin dengan suara yang benar-benar lemah. Oh, Tuhan. Mengapa rasanya menyakitkan sekali saat Justin berujar, memanggil namaku? Aku jadi teringat dengan teriakannya bahwa ia tidak menginginkan aku sebagai istrinya. Aku seharusnya tahu itu dari awal. Aku seharusnya tidak boleh terlalu percaya diri dengan perhatiannya tadi siang. Dia lelaki kedua yang telah membuatku jatuh cinta. Ia telah membawaku ke langit kemarin dan tadi siang. Meski, aku tahu ini begitu cepat untuk jatuh cinta.Tapi malam ini, ia membawaku kepada dewa Kematian. Rasanya benar-benar menyakitkan. Mencoba untuk mengabaikannya, aku mengambil sabun cair dan mengeluarkannya pada telapak tanganku. Perlahan aku mulai menyabuni tubuhku, tapi tidak pada bokongku. Bahkan saat busa sabun menyentuhnya, rasanya seperti tangan Justin yang menyentuhnya. Dalam bentuk negatif. Ini sungguh menyakitkan. Mencintainya adalah keputusan yang sangat salah dalam hidupku.
            “Anna, maafkan aku,” rintihnya lagi. Aku tidak ingin mendengarnya. Shower masih menyala dan terus membasuh tubuhku, bahkan aku terlihat seperti orang bodoh terus menyabuni tubuhku namun busanya akan akan terus menghilang karena air yang keluar. Air mataku menyatu dengan air mandi.
            “Anna, kumohon,” pintanya lagi. Aku mulai terisak, kusandarkan keningkan pada tembok kamar mandi dan menangis. Mencoba untuk melupakan perlakuan Justin. Mencoba untuk melupakan perkataan Justin yang begitu menyakitkan. Kemudian aku mendengar suara pintu tertutup. Justin keluar dari kamarku. Mataku melirik pada kalung yang ia berikan. Milik Bieber. Mine. B. Mr.B. Astaga, mengapa rasanya ini sangat rumit?
            Kemudian aku memutuskan untuk berada di dalam bak mandi. Meski aku tahu, bokongku masih terasa perih. Kunyalakan keran air bak mandi dan mengisinya hingga penuh. Sedangkan aku mencoba untuk membersihkan kepalaku dengan shampoo.

***

            “Anna! Sial! Buka pintunya!” teriak Justin yang terus menggedor-gedor pintu kamar mandi. Astaga, aku tertidur di dalam kamar mandi. Sudah jam berapa ini? Tapi aku belom ingin keluar dari kamar mandi ini. Airnya sudah tidak hangat lagi dan busa yang tadinya ada, sudah tidak ada lagi. Aku tak peduli. Tiba-tiba saja, pintunya terbuka. Justin mendobraknya. Sial!
            “Anna! Astaga!” teriak Justin terkejut melihat keberadaanku yang telanjang seperti ini. Lama berada di dalam bak mandi. Aku tahu tangaku telah berkerut sekarang. Aku tidak peduli. Seperti pahlawan Justin langsung menggendong tubuhku yang basah dan mendirikan tubuhku di dekat gantungan handuk. Ia mengambil handuk dan pelan-pelan ia mengelap tubuhku, tapi tidak pada bokongku. Air mataku kembali mengumpul. Mengapa sekarang aku terlihat begitu lemah? Justin membungkus tubuhku dengan handuk lalu menggendongku kembali. Bokongku sakit saat Justin menarik kakiku sehingga handuk itu terseret, melintasi bokongku. Aku mendesah pelan, berusaha untuk tidak terlihat kesakitan.
            Justin mendudukanku dengan pelan di atas kasur. Astaga, bokongku benar-benar sakit.
            “Anna, aku sungguh minta maaf,” ujarnya. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan padanya. Apa aku harus memaafkannya? Rasanya begitu sulit untuk memaafkannya setelah apa yang terjadi. Ia melakukan kekerasan terhadapku. Dan aku sudah bilang padanya berkali-kali ia telah mencoret kata ‘kekerasan’ dalam perjanjian itu.
            “Jika kau sudah selesai berganti pakaian, aku menunggumu di dapur untuk makan malam, sudah jam 9 malam,” ujarnya lagi dengan suara yang lembut. Kemudian ia melengos pergi dari kamarku. Menutup pintunya. Oh, Tuhan. Mengapa rasanya sekarang terlihat begitu sulit untuk menerimanya kembali setelah ia memukul? Memecutku? Rasanya benar-benar sakit. Pasti bokongku sudah ada tanda di sana. Tanda merah yang akan menghilang lama. Dan rasa sakit yang akan bertahan lama.

***

            “Bu, aku memukulnya,” ujar Justin pada ponselnya. Kurasa ia menghubungi ibunya. Kulihat ia sedang berada di ambang pintu menuju kolam renang. Ponsel sudah menempel pada telinganya. Ia mendesah pelan dan bahunya yang tadinya tegap tiba-tiba saja menjadi lesu.
            “Maafkan aku. Aku kesal karena ia memeluk Logan,” ujarnya lagi. Aku berdiri di ujung tangga, memegang pegangannya sambil menatap Justin. Aku baru saja ingin menemuinya.
            “Mengapa ibu menyuruhnya untuk menjadi istriku? Aku bahkan tidak ..apa? Kupikir masih ada banyak perjanjian lain. Ibu bisa membuatnya menjadi pembantuku atau semacamnya,” ujar Justin. Kata-katanya benar-benarm membuatku sakit hati tapi aku tidak menangis. Mungkin aku sudah puas menangis di dalam kamar mandi.
            “Aku memang menyukai tubuhnya. Tapi ..kau tahu aku ibu,” ujarnya mendesah. “Ah, persetan! Aku yang akan menyelesaikannya sendiri,” ujar Justin akhirnya berhenti berbicara. Dia hanya menyukai tubuhku saja. Seharusnya aku tahu ini dari awal! Dengan cepat aku langsung berjalan menuju dapur.
            “Anna,” ia memanggilku saat aku baru saja berada di dapur. Aku berbalik dan melihat Justin yang memakai pakaian yang benar-benar rapi. Ia akan pergi kemana malam-malam seperti ini?
            “Apa kau ingin makan?” tanyanya lagi menarik tanganku untuk duduk di atas kursi bar. Aku terduduk pelan agar tak menyakiti bokong. Dan meringis pelan saat bokongku sudah berciuman dengan kursi. Sial, masih terasa sakit.
            “Aku pikir kau akan mati di dalam kamar mandi,” ujar Justin terkekeh. Apa itu lucu? Kurasa tidak. Aku hanya terdiam dan melihatnya mengambil sesuatu di dalam oven. Spagethi? Dan hanya satu piring. Ia langsung menaruhnya di atas meja bar dan memberikannya padaku. Kemudian ia memberikan satu garpu padaku.
            “Makanlah dan bicara padaku,” ujarnya sambil membungkukan tubuhnya, kedua tangannya terlipat di atas meja bar. Menatapku. Tapi aku mengacuhkannya dan mulai mengaduk spagethi-ku. Kemudian aku memakannya dengan lambat.
            “Anna, aku ingin membicarakan sesuatu,” ujarnya yang membuat perutku menegang. Apa ia akan mengusirku dan menceraikanku? Aku berhenti mengunyah. Lagi pula memang makananku sudah habis di mulut.
            “Anna, aku sungguh minta maaf tentang kejadian tadi,”
            “Aku tidak tahu apa aku harus memaafkanmu atau tidak,” akhirnya aku menemukan suaraku yang tadinya tersendat di tenggorokan. Matanya bertemu dengan mataku kemudian ia langsung mengecup bibirku. Membuatku cukup terkejut dengan apa yang baru saja ia lakukan.
            “Ini soal perjanjianmu dengan orang tuaku,” ujarnya mendesah dan memejamkan matanya, mencoba untuk memberanikan diri. “Sebenarnya, banyak sekali perjanjian yang dibuat untukmu, Anna. Orang tuaku harus memilih salah satu di antara surat-surat itu. Cukup konyol, ya. Pada akhirnyapun, mereka memintamu untuk menjadi istriku. Meski kenyataannya, aku tidak menginginkanmu sebagai istriku. Ini sungguh salah.” Ujarnya.
            “Kau ingin bercerai?” tanyaku, terkejut. Apa maksudnya? Aku tidak mengerti.
            “Ya, Tuhan. Astaga, tidak. Aku tidak. Hanya saja, ini sangat salah Anna. Aku sungguh minta maaf. Tapi aku harus pergi ke rumah Maria. Kita bicarakan besok lagi.” Ujarnya pergi dari hadapanku. Sedangkan aku terdiam di dapur. Menatap makananku.

            Perjanjian-perjanjian? Aku merenung. Air mataku mulai menetes.

1 komentar: