Satu
yang ada di benakku. Apa yang akan Justin lakukan di rumah Maria? Apa Maria
adalah mantan submissive Justin? Jika ya, Justin benar-benar keterlaluan.
Setelah ia memperlakukan dengan cara yang benar-benar kejam –menurutku
begitu—sekarang ia malah pergi ke rumah Maria. Tapi aku sangat yakin Maria
adalah mantan submissive Justin. Aku tidak menghabiskan makananku. Xavier dan
D’aman masuk ke dapur saat Justin sudah pergi dari dapur. Xavier menatapku
dengan tatapan prihatin. Yeah, kehidupanku sangat memprihatinkan.
Beranjak
dari bar, aku meninggalkan dapur. Aku ingin menghubungi Justin. Aku benar-benar
membutuhkan teman. Aku butuh Kathleen. Astaga, apa yang harus kubawa ke
rumahnya? Pakaian-pakaian yang Justin berikan untukku. Ya, itu dia. Pasti
Kathleen akan sangat senang.
Bersemangat,
aku berlari menelusuri tangga dengan bokong yang masih kesakitan. Aku tidak
berharap Justin mendapatkan balasannya atau aku akan membalasnya. Aku tidak
dilahirkan menjadi orang yang pendendam. Menurutku, jika kita mendendam
sesuatu, kita akan cepat tua dan beruban. Dan aku tidak ingin itu terjadi.
Hipotesis yang memang sedikit menggelikan. Kubuka pintu kamarku dan langsung
mengambil ponselku yang berada di atas meja rias. Kuhubungi Justin.
Satu
kali nada. Dua kali nada. Tiga kali nada.
“Ya?”
“Justin
aku ingin pergi,” ujarku dengan cepat. Tanganku membuka lemari pakaianku dan
mencari gaun yang bagus untuk Kathleen. Berbagi itu sangat menyenangkan.
Kudengar nafas Justin tersendat, hening di sana. Apa dia sudah sampai di rumah
Maria?
“Kau
meninggalkanku?”
“Aku
hanya butuh ruang, Justin,”
“Xav—“
“Justin,
kumohon,” aku mengerutkan kening dan berhenti mencari pakaian untuk Kathleen.
Tidakkah dia mengerti perasaan wanita? Setelah apa yang ia lakukan? Ia
seharusnya bertanggungjawab atas perlakuannya terhadapku. Bukan sekedar permintamaafan.
Kukira ia percaya padaku, tapi ternyata tidak. Hanya karena sebuah pelukan dia
marah? Bukan maksudku untuk menggoda Logan, aku hanya ingin mengganggu Logan.
Tapi Justin dengan keras kepala merasa dirinya benar. Dan rasanya aku ingin
menamparnya. Tapi ia seorang dominan. Aku hanyalah submissive biasa.
“Aku
hanya pergi ke rumah Kathleen,” ujarku dengan suara yang parau, aku ingin
menangis. Namun sebisa mungkin aku membuat suara yang lembut. Tapi air mataku
sudah mengalir. Oh, astaga, mengingat bentakannya dan hinaannya terhadapku.
Kau. Pelacur. Bajingan. Apa? Apa kau bercanda? Karena kata-kata itu benar-benar
menyakitkan. Butuh plester yang besar untuk menutupi kepahitannya.
“Jika
itu yang ingin kaulakukan, lakukanlah, aku tidak akan pulang malam ini. Jika
kau ingin menginap di rumah Kathleen, tidak apa-apa,” ujarnya pasrah.
Senyumanku mulai mengembang dan aku langsung mematikan ponselku. Dengan cepat
aku mengambil tiga pasang gaun untuk Kathleen. Tapi dengan siapa aku harus
pergi? Ah, Max. Kurasa Max tidak membawa Justin ke rumah Maria.
***
“Kath!”
tangisanku memecah dan aku menjatuhkan tas ranselku saat Kath membuka pintu
rumahnya. Aku langsung memeluknya dan menangis padanya. Aku yakin ia
benar-benar tidak percaya akan kedatanganku. Tapi sumpah, demi Tuhan, aku
membutuhkan telinga Kathleen untuk mendengarkan ceritaku. Apa yang Justin
lakukan padaku.
“Ada
apa, Anna? Apa yang bajingan itu lakukan padamu?” tanyanya mengelus kepalaku
dengan lembut. “Ayo, masuklah,” katanya sambil melepaskan pelukanku. Tangannya
langsung mengambil tas ranselku dan menarikku masuk ke dalam rumahnya. Dengan
pelan, aku terduduk di atas kursi tamu miliknya. Ia mengunci pintu rumahnya dan
berjalan menghampiriku. Kemudian terduduk di sebelahku juga.
Astaga,
aku benar-benar merindukan aroma rumah ini. Tidak ada yang berubah sejak aku
meninggalkan rumah ini selama seminggu lebih. Ini sungguh sial. Seharusnya aku
sering-sering datang ke sini dan menceritakan apa pun yang terjadi di rumah
Justin kecuali hubungan badanku dengan Justin. Itu mungkin akan terdengar
memalukan.
“Cerita
padaku,” ujarnya dengan lembut dan memegang pundakku. Aku mulai
menceritakannya. Perjanjian itu. Hadiah-hadiah yang Justin berikan. Ia menjerit
saat aku bilang bahwa aku sekarang memiliki Double B. Namun ia langsung
memaki-maki Justin saat aku menceritakan kejadian tadi malam padanya. Kulirik
jam dinding yang bertengger di tembok. Sudah menunjukan pukul 10 malam. Aku
yakin Justin masih berada di rumah Maria.
“Aku
tidak mengerti dengan perkataan Justin. Perjanjian yang lain. Apa maksudnya
perjanjian yang lain? Katanya juga, ibunya bisa memilihku untuk menjadi
pembantunya. Bukan istrinya. Ini benar-benar tidak masuk akal,” ujarku kembali
merenung. Terjerumus dalam tangis, kepalaku merasa pening. Kathleen telah
mengambil sekotak tisu untukku dan aku rasa aku sudah menghabiskan setengahnya.
“Aku
rasa Justin sudah gila. Apa-apaan ia memintamu untuk menjadi pembantunya
setelah apa yang telah ia lakukan padamu. Percaya padaku Anna, kau harus membalasnya.
Kau harus membuatnya menyesal telah melakukan itu padamu,”
“Tapi
ia tidak memiliki hati!”
“Ia
punya. Aku yakin ia akan menyesal jika kau mendiamkannya atau kau ikut keras
kepala. Aku tahu kau bukan gadis yang keras kepala, tapi cobalah. Ini agar ia
dapat mencintaimu,” Kath memang selalu seperti ini. Ia gadis yang benar-benar
suka membalas dendam. Maksudku, ia meminta keadilan. Jika keadilan itu tidak
terjadi, maka ia akan melakukan apa pun untuk melakukannya agar itu adil.
Semacam karma yang ia buat sendiri.
“Aku
tidak tahu,”
“Apa
lelaki besar tadi masih ada di luar?” tanya Kathleen membahas topik lain. Aku
menggelengkan kepalaku.
“Max
akan menungguku. Aku membawakan beberapa pakaian untukmu,” ujarku sambil
mengambil tas yang tadi ia taruh di sebelahku. Kemudian aku membuka
retsletingnya dan mengeluarkan tiga pasang gaun yang sangat kuyakin, dia akan
menyukainya. Matanya melebar, senyumnya mengembang lebar, lalu ia bertepuk
tangan.
“Astaga,
Anna. Kau memiliki baju-baju seperti ini? Seharusnya aku tahu ini dari awal.
Astaga, ini benar-benar indah,” ujarnya sambil menyentuh ketiga baju yang sudah
kukeluarkan. Ia mengelusnya dan menatapnya penuh dengan kesenangan dan kagum.
Aku tidak tahu mengapa wanita-wanita seperti Kath senang sekali memakai pakain
seperti ini. Aku tidak menyukainya, karena itu aku memberikannya pada Kath. Dan
ia menyukainya.
“Kath,
kurasa aku harus pulang,” ujarku. Lalu aku langsung memeluknya.
“Ingat
kata-kataku. Balas dendam Anna, kau harus keras kepala,” tuntutnya. Aku hanya
dapat menganggukan kepalaku. Dan entah apa aku bisa melakukannya atau tidak .
“Aku
akan mencoba,” balasku kemudian tersenyum. Lalu aku melepaskan pelukanku dan
beranjak dari tempat duduknya. Aku harus kembali ke rumah dan membicarakan ini
pada Justin. Situasi ini sungguh salah.
***
Aku
turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah. Kurasa Justin sudah pulang ke rumah
karena aku lihat di garasi sudah ada mobilnya yang terparkir di sana. Kakiku
menghantar tubuhku menuju kamar Justin. Namun jantungku berhenti berdetak saat
aku mendengar suara cekikikan dari seorang wanita. Apa itu Maria? Kemudian aku
mendengar Justin tertawa. Tubuhku mati rasa. Aku ingin mati. Jantungku ..oh
Tuhan. Apa yang mereka lakukan di dalam kamar sana? Kudekatkan telingaku pada pintu
kamar Justin dan berusaha untuk mendengarnya.
“Apa
kau yakin ia tidak akan ada di rumah?” tanya wanita itu pada Justin. Itu bukan
suara Maria. Lalu siapa? Chanta? Tapi kupikir Justin membencinya. Siapa wanita
itu? Rasanya aku ingin berteriak.
“Aku
sudah bilang berkali-kali padamu, ia tidak akan pulang. Ia sedang marah
padaku,” ujar Justin tertawa dan aku mendengar suara ciuman yang sangat panas.
Mataku membulat. Aku benar-benar tidak percaya Justin akan melakukan ini
padaku. Karena kupikir ia …aku percaya padanya! Aku percaya padanya kalau ia
tidak akan mencari wanita lain. Aku adalah ..submissive-nya. Aku tidak akan
meninggalkannya. Tapi apa yang ia pikirkan?
Merasa
perkataan Kath ada benarnya juga, aku langsung membuka pintu kamar Justin.
Ternyata tidak dikunci. Bodohnya Justin. Kalau aku jadi dia, pastinya aku akan
menguncinya. Bodoh! Amarah meliputi tubuhku sekarang. Perasaanku tercabik-cabik
dan terbakar. Terbakar oleh api amarah yang menghasilkan kecemburan terdalam
dan terasa yang belum pernah kurasakan.
“Anna!”
Justin terkejut atas kedatanganku. Ia yang tadinya menindih wanita sialan itu
langsung bangkit. Matanya benar-benar memperlihatkan kekejutannya. Wanita itu
masih memakai pakaian yang lengkap. Ia bukan Maria. Aku bahkan tidak pernah
bertemu dengannya! Sialan, apa dia adalah Chanta?
“Siapa
dia Justin?” aku bertanya sambil menunjuk wanita sialan itu yang masih
terbaring di atas tempat tidur Justin.
“Anna,
dengarkan aku –“
“Siapa
dia?!” aku langsung berteriak, rahangku menegang. Seluruh ototku berkontraksi.
Rasanya aku ingin menampar Justin sekarang. Ia benar-benar bajingan. Aku tidak
tahu apa aku harus memaafkan Justin atau tidak. Yang jelas aku ingin membentur
kepala Justin ke tembok agar ia sadar. Agar ia sadar kalau di sini, hidup,
lahir untuk dirinya. Lahir untuk mencintainya! Tapi ia tidak merasakan itu. Ia
tidak percaya padaku. Ia bajingan sialan! Aku sungguh …ya Tuhan, apa aku
sanggup membencinya? Untuk sekarang, aku memang membencinya.
“Anna
–“
“Aku
pikir kau percaya padaku Justin! Aku pikir aku percaya padamu! Ini sungguh
berlebihan! Sungguh sialan Justin. Sial,sial,sial!” aku berbicara kotor dan
menggelengkan kepalaku. Kedua tanganku sudah berada di sisi pinggangku. Merasa
frustrasi, air mataku mengalir. Wanita sialan itu beranjak dari kasur dan pergi
dari hadapan kami. Aku menatapnya penuh dengan kebencian. Dan rasanya aku ingin
melemparnya dari balkon ke lantai bawah.
“Tapi
aku salah,” rintihku dengan suara yang benar-benar pelan, “aku sudah tidak
percaya lagi padamu Justin. Setelah tadi –“
“Aku
melakukan itu karena aku tidak tahu apa yang harus kulakukan! Saat kau bilang
kau ingin meninggalkan aku, saat kau bilang kau butuh ruang, aku frustrasi! Aku
tidak jadi ke rumah Maria –“
“Apa
pun itu alasanmu Justin, itu sungguh menyakiti hatiku,” ujarku dengan air mata
penuh amarah.
“Anna
kau harus mendengarkan aku!” ia membentak. Mataku melebar. Dan air mataku tak
berhenti mengalir. Sial, sial, sial! Mengapa rasanya aku ..Tuhan, aku
benar-benar terlihat bodoh. Aku merasa seperti pelacur. Aku merasa seperti
orang idiot. Mengapa Justin melakukan ini padaku? Mengapa ia hanya menginginkan
aku sebagai seorang submissive? Mengapa ia hanya menginginkan tubuhku? Apa ia
tidak sadar aku ada di depan matanya, bersedia untuk mencintainya. Aku yakin,
banyak sekali orang yang mencintainya. Tapi karena Chanta sialan itu! Semuanya
berubah. Karena dia. Ini semua karena dia.
“Aku
membenci Chanta, Justin! Aku membencinya!” aku berteriak padanya.
“Apa
yang kaubicarakan?” tanya Justin memperlihatkan wajah yang bingung. Salah satu
alisnya naik.
“Aku
membencinya karena dirinya, kau tidak bisa mencintaiku! Aku berusaha untuk
memaafkanmu. Aku ..aku benar-benar membencimu,” ujarku dengan suara yang kecil
di akhir kalimat. Ini benar-benar menguras tenagaku. Aku tidak ingin tinggal di
rumah ini. Aku rasa ini benar-benar tidak ..ya Tuhan, aku tidak tahu apa aku
bisa hidup tanpanya setelah apa yang ia lakukan padaku. Segalanya. Aku mencoba
untuk tidak mengingat perlakuan buruk Justin karena aku hanya ingin mengambil
sisi positif dari dirinya. Jika tidak, sudah dari dulu aku tidak menjadi
submissive-nya.
“Aku
sudah bilang padamu Anna, JANGAN MENCINTAIKU!” ia membentak, wajahnya memerah,
rahangnya benar-benar menegang. Dia sungguh marah.
“Bagaimana
bisa aku menahan perasaan ini Justin? Kau pikir ini adalah permainan? Kau pikir
dengan perlakuan manismu aku tidak jatuh cinta padamu Justin?! Apa kau memiliki
otak Justin?”
“Apa
yang kaubilang? Kau tidak tahu aku siapa?”
“Jangan
pernah membawa gelar Millioner sialanmu itu Justin! Kau bahkan tidak tahu apa
yang kulakukan di toko peralatan anjing! Kau bahkan bertanya, itu adalah
pertanyaan bodoh. Dan bukan hanya dalam hal itu kau bodoh. Dalam masalah asmara
kau seperti orang idiot!”
“Apa-apaan
yang kaubilang?”
“Aku
bilang aku membencimu!” aku berteriak padanya. Kemudian kakiku merasa tak
bertulang. Aku jatuh. Aku tersungkur di lantai. Dan tangisan yang masih
membasahi pipiku.
Hening
yang berkepanjangan. Kudengar Justin terduduk di atas kasurnya, kemudian mataku
terbuka. Melihatnya membungkukan tubuhnya dan ia menggelengkan kepalanya. Aku
mencoba untuk tidak berteriak lagi padanya. Aku mencoba untuk tidak mengingat
kedatangan wanita sialan itu tadi. Kemudian ia berbicara.
“Aku
merasa tak peduli kau ingin bilang aku bodoh atau idiot. Aku memang tidak hebat
dalam hubungan asmara, Anna. Aku tidak pernah melakukan hal itu. Bahkan di
bangku sekolah,” ujarnya, suaranya begitu pelan dan menyakitkan. Sedangkan aku
bertumpu di salah satu tanganku dengan lesu.
“Ini
semua memang karena Chantelle. Dan kau tidak bisa melakuan apa-apa padanya,
Anna. Ia sudah tidak ada,” akhirnya ia mendongak, menatap mataku langsung lalu
ia menggeleng kepala.
“Kurasa
aku mencintaimu Anna.” Lanjutnya yang membuatku ingin mual.
****
“Lucunya,
kau bilang padaku untuk tidak mencintaimu. Tapi kau bilang kau mencintaiku.
Jadi, ap salahnya jika kita mencintai satu sama lain Justin? Satu kesimpulan,
kau hanya bilang seperti itu agar aku tidak pergi. Dan Justin, kau tahu apa?
Jika kau benar-benar mencintaiku, kau tidak mungkin mencari wanita lain. Justru
seharusnya kau ..ah, Tuhan, mengapa rasanya susah sekali berbicara tentang
cinta padamu? Aku tidak butuh kata-katamu Justin, tapi lakukan! Jika kau
mencintaiku, lakukan apa yang seharusnya pecinta lakukan,” ujarku tanpa
bernafas. Aku terkekeh pelan, mencoba untuk tidak menangis. Kuhapus air mataku
dan bangkit dari lantai. Kuambil nafas dalam-dalam dan menghapus air mataku
hingga wajahku kering. Kemudian aku tersenyum manis pada Justin.
“Aku
ingin ruang, Justin. Aku butuh ruang, lebih tepatnya. Tolong izinkan aku pergi
ke rumah Kathleen besok. Aku benar-benar butuh ruang untuk memikirkan apa yang
baru saja kau katakan dan apa yang baru saja kaulakukan,” ujarku lagi. Kulihat
mata Justin melebar dan ia bangkit dari duduknya. Mencoba untuk mendekatiku,
aku langsung mengangkat kedua tanganku. Memperingatinya untuk tidak mendekatiku
atau pun menyentuhku. Aku tidak ingin disentuh olehnya. Atau dicium olehnya.
Ish! Rasanya aku tak sudi menyentuh bekas dari wanita sialan tadi. Aku akan
menyentuhnya jika ia telah mandi. Aku bahkan tidak pernah mencium lelaki lain
setelah aku mendapatkan Justin! Sial, aku benar-benar marah sekarang padanya.
“Anna,
tolong jangan tinggalkan aku,”
“Setelah
apa yang kaulakukan?”
“Aku
minta maaf, Anna. Ini hanya di luar pikiranku,” ujarnya berusaha terlihat
begitu sedih. Sial, sekarang aku merasa kasihan padanya. Ia merengut.
“Tidak,”
aku telah memutuskan keputusan yang menurutku benar. Aku akan meninggalkan
Justin. Aku benar-benar akan meninggalkan Justin. “Ini hanya salah Justin. Kau
tidak akan pernah mencintaiku. Kau tidak benar-benar mencintaiku, bukan? Aku
butuh ruang untuk berpikir. Tolong? Apa
pun kulakukan asal besok aku pergi dari rumah ini,” ujarku memohon padanya.
Entahlah, menatap matanya terasa begitu salah.
“Bercinta
denganku?” ia bertanya, secercah harapan telah ia raih. Tapi aku tidak
memberikannya. Setelah ia berciuman dengan wanita sialan itu? Tidak, tentu saja
tidak. Itu benar-benar kotor. Aku menggelengkan kepalaku, menatapnya penuh
dengan permohonan agar ia tidak menyentuhku. “Baiklah, asal kau harus membawa
ponselmu dan kartu kreditmu. Kau bisa pulang kapan saja jika kau sudah
benar-benar berpikir,” ujarnya akhirnya pasrah. Tidak memaksa.
Oh,
astaga, melihatnya seperti ini begitu menyakitkan. Ia seperti ingin menangis.
Tapi aku rasa perkataan Kathleen itu benar. Aku tidak boleh terlalu mengalah
pada Justin. Ia sudah sering mendapatkan
apa yang ia mau. Dan sekarang aku tidak ingin memberikan apa yang ia mau.
Kemudian
aku beranjak dari kamar Justin. Aku hanya perlu membawa ponsel dan kartu
kredit.
***
“Anna!
Astaga, apa yang terjadi?” tanya Kathleen saat ia membuka pintu rumah, lagi.
Ini sudah pukul 11 malam dan aku datang ke rumahnya. Sungguh mengganggu
dirinya. Tapi hanya dia yang aku tahu. Dia sahabatku dan hanya dia yang
merawatku juga menjagaku. Aku menangis di sepanjang perjalanan menuju rumah
Kathleen. Max yang membawaku ke rumah, Justin yang menyuruhnya. Ia tampak
dingin setelah aku membawa beberapa pakaian –aku memutuskan untuk membawa
pakaian juga. Kathleen menarikku masuk ke dalam rumahnya lalu aku kembali
terjatuh di atas kursinya dan mencoba untuk tidak menangis. Tapi saat aku
mencoba untuk melupakan kejadian tadi, justru itu membuatku semakin
mengingatnya. Kath pergi ke dapur dan aku mengambil kotak tisu yang tersedia di
meja ruang tamu. Kuhapus air mataku yang tak dapat kutahan. Seperti air terjun
saja. Kemudian Kath muncul dengan segelas air minum di tangannya dan ia
langsung memberikannya padaku.
“Apa
yang Justin lakukan?” tanyanya dengan perhatian dan duduk di sebelahku. Aku
mengambil gelas yang ia pegang dan meminumnya. Aku mendesah saat aku menaruh
gelas itu di atas meja. Kugelengkan kepalaku dengan pasrah dan langsung
menjatuhkan kepalaku pada pundak Kath. Kemudian air mataku mengalir kembali.
“Aku
memutuskan untuk tinggal di sini beberapa hari. Apakah Al masih membutuhkan
pelayan? Maksudku, setelah satu minggu lebih tak ada kabar dariku,”
“Tenang,
aku sudah bilang padanya kalau kau meminta izin karena kau pergi bulan madu.
Maaf, Anna, tapi aku sudah memberitahu padanya kalau kau menikah dengan
Justin,”
“Tidak
apa-apa. Hanya saja, aku butuh pekerjaan untuk melupakan masalahku dengan
Justin. Ini benar-benar salah. Ia membawa wanita ke dalam rumah tadi,”
“Holy
shit!” teriaknya tak percaya dan langsung mengelus kepalaku dengan lembut. “Kau
sudah melakukan hal yang benar,” ujarnya menenangkanku. Kemudian aku memeluknya
dan menangis, memecah begitu saja.
“Aku
benar-benar cemburu Kath. Ia bilang ia mencintaiku. Tapi aku yakin itu hanyalah
omong kosong!”
“Aku
tahu perasaanmu, Anna. Sudah, menangislah sepuas yang kau mau. Kau bisa bekerja
mulai besok atau lusa,” ujarnya. Kath memang yang terbaik. Hanya dia yang
mengerti perasaanku. Dulu Nicholas, lelaki pertama yang mengerti diriku.
Sekarang hanya tinggal satu orang. Tinggal Kath yang dapat menjadi tempat untuk
mencurahkan segala isi hatiku. Kemudian aku larut dalam tangisanku.
***
“Al!”
aku berteriak dengan senang saat aku melihat Al, koki sekaligus pemilik
restoran sarapan pagi ini sedang memasak telur. Aku masuk ke dalam dapur dan
langsung memeluknya dengan erat. Ia juga salah satu orang yang sangat kusayang.
Aku sudah menganggap Al sebagai ayahku. Ia memiliki ukuran tubuh yang besar,
dengan kumis yang tebal, juga candaannya yang sangat khas. Biasanya ia akan
memanggilku Baby girl. Ia juga telah menganggapku sebagai anaknya.
“Hey,
baby girl. Bagaimana bulan madumu?” tanyanya dengan suara kebapakannya. Aku
melepaskan pelukanku dan tersenyum padanya. Mencoba untuk tidak menangis.
Jangan ingat Justin, kau ke sini untuk bekerja. Aku menyemangati diriku
sendiri.
“Menyenangkan.
Sangat. Jadi bagaimana restoranmu selama aku tidak ada?” tanyaku menggodanya.
Ia tertawa dan menggelengkan kepalanya.
“Benar-benar
sepi tanpamu, baby girl. Senang kau bisa kembali lagi. Jadi kau ingin langsung
bekerja atau kau ingin menceritakan bulan madumu padaku? Aku bisa
mendengarnya,” ujarnya lagi penuh dengan kesenangan. “Pasti Mr.Bieber sangat
hebat di ranjang,” godanya. Dalam hatiku: Yeah, sangat. Dia benar-benar hebat.
Tapi aku tentunya tidak mengatakannya padanya. Kemudian aku menggelengkan
kepalaku dan mengambil celemekku yang berada di gantungan celemek untuk para
karyawan. Ternyata ia masih menyimpa celemek punyaku. Namaku ada di sana.
“Aku
rasa aku langsung bekerja saja,” ujarku mengikat tali celemek dan berjalan
keluar mengambil buku menu makanan.
Pagi
ini begitu banyak pengunjung yang datang. Aku bahkan kewalahan untuk menampung
mereka. Aku berusaha sebisa mungkin berteriak. Ini benar-benar efektif untuk
melupakan Justin. Tak terasa sudah jam 11 siang. Kathleen belum datang ke
restoran karena ada urusan dengan kekasihnya. Dan satu hal yang ingin
kutekankan, aku tidak suka mencampuri masalah hubungan orang lain. Maksudku, aku
juga mempunyai masalah sendiri yang pastinya belum kuselesaikan.
Mendesah
pelan, aku merogoh ponselku. Tidak ada panggilan tak terjawab atau satu pun
pesan dari Justin. Aku rasa ia juga sedang memikirkan masalah ini. Kuharap
begitu. Sebentar lagi restoran akan merubah menu. Yeah, restoran ini hampir
seperti McDonald. Jam 12.30 nanti adalah menu makanan makan siang. Dan aku
bekerja untuk waktu pagi dan siang. Malam itu adalah Kathleen. Kathleen siang
dan malam. Aku terduduk di atas kursi kosong dan memegang kepalaku penuh dengan
kelelahan. Merasa benar-benar lelah pagi ini. Bahkan aku berkeringat. Aku lelah
batin dan fisik. Sekarang waktunya istirahat jadi belum ada pengunjung yang
datang. Lagi pula ini masih jam 11 siang. Semua orang mencari makanan di luar
sana. Kecuali aku, sendirian. Bahkan Al juga pergi keluar. Tiba-tiba saja pintu
restoran terbuka, menghasilkan bunyi lonceng yang kencang. Aku terkesiap dan
melihat lelaki memakai seragam salah satu restoran terkenal.
Ia
melihat padaku dan menghampiriku. Ia juga membawa bunga. Sial. Apa ini?
“Apa
kau Anna Bieber?” tanyanya menghampiriku. Aku menggelengkan kepalaku.
“Aku
Anna Whitford,” ujarku dengan acuh. Ia menyeringai padaku dan memberikan
sekotak makanan padaku dan segelas kopi dari Starbucks untukku. Aku
menggelengkan kepalaku. Apa-apaan ini?
“Ini
kiriman dari Mr. Bieber untuk Anda. Dan ini juga bunga untuk Anda,” ujarnya
lagi. Kemudian ia bergerak pergi dari hadapanku. Apa? Justin memberikanku makan
siang dan bunga? Sial. Mengapa ia ..oh Tuhan. Apa ini caranya agar aku dapat
kembali ke rumahnya? Aku tidak tahu.
Kuambil
setangkai bunga. Hanya setangkai bunga mawar merah yang tentunya berduri. Ini
adalah mawar asli dan aku bisa mencium aromanya. Ada kartu yang tertempel di
plastiknya, tentu saja aku mengambil kartu itu.
Maafkan aku. Hanya setangkai bunga yang
dapat kuberikan untuk orang spesial. Hidup tanpamu seperti ini Anna. Hanya
seperti setangkai bunga yang berduri. Aku tak dapat pergi kemana-mana jika duri
ini masih berada di tubuhku. Pulanglah, aku mengharapkan kedatanganmu. Suamimu,
Bieber xx
Isinya
sangat panjang dan aku tidak tahu apa itu benar-benar dari hatinya atau tidak.
Tapi cukup menyentuh. Apa dia tidak pergi bekerja? Aku mengambil sekotak
makanan dan membukanya. Sandwich. Banyak sekali. Dia tahu kesukaanku. Dan yang
sangat membuatku terkejut adalah saat di akhir kartu itu, ia bilang ‘Suamimu,
Bieber’. Itu benar-benar dari hatinya atau ada saran dari wanita sialan yang
lain untuk memanggilku kembali ke rumahnya?
Aku
merogoh kantong celana jinsku dan mengambil ponselku. Menghubungi Justin
secepatnya. Satu kali nada. Dua kali nada. Tiga kali nada. Empat kali nada.
Kemana dia? Apa dia sedang rapat atau semacamnya? Enam kali nada. Aku menunggu.
“Anna,”
suaranya parau, penuh dengan kesakitan. Oh, astaga. Apa yang terjadi padanya?
“Mine, apa kau baik-baik saja? Ada apa?” tanyanya, kali ini suaranya lebih
bersemangat.
“Terima
kasih untuk makan siangnya,”
“Itu
tidak seberapa Anna, aku ingin memintamaaf dengan cara yang pantas,” ujarnya
yang membuat hatiku ciut. Membuatku merasa bersalah padanya. Astaga,
tidak-tidak. Justin belum mendapatkan balasan yang seharusnya ia dapatkan.
“Bagaimana
kau tahu kalau aku bekerja di restoran?” tanyaku mengalihkan topik pembicaraan.
“Aku
tahu dari Kath, tadi pagi aku menemuinya di rumahnya,” ujarnya. Astaga, aku
menganga. Dia datang ke rumah Kath. Untungnya aku tidak ada di rumah Kath.
Syukurlah. Tapi kurasa malam ini aku ingin menemuinya. Tapi aku tidak yakin.
“Anna,
pulanglah,” ujarnya, memohon. Bahkan aku bisa merasakan kesepian yang
menghampiri dirinya melalui suaranya yang begitu putus asa. “Aku tidak akan
pernah mencari wanita lain lagi, Anna. Kumohon, pulanglah,” ujarnya lagi. Aku
terdiam. Tidak tahu harus berbuat apa.
“Aku
tidak bisa membicarakan ini lewat telepon. Apa nanti malam kita bisa bertemu?”
tanya Justin. Aku berpikir. Apa aku bisa? Apa aku bisa menemuinya tanpa ada air
mata yang mengalir? Tentu saja aku bisa! Aku akan membuktikan padanya kalau aku
tidak selemah yang ia kira. Aku tidak boleh larut dalam kesedihanku terus
menerus.
“Nanti
sore. Jam 6 aku sudah pulang. Datanglah ke restorannya, jangan ke rumah Kath,”
ujarku akhirnya pasrah. Kudengar Justin tersenyum di sana. Kemudian ia tertawa
penuh dengan kesenangan. Aku ikut tersenyum mendengarnya tertawa. Benar-benar
simfoni yang indah.
“Aku
akan menjemputmu,”
“Aku
tidak ingin pulang ke rumah,” ujarku langsung. Kudengar senyumannya surut.
“Ya,”
suaranya melemah, “tidak apa-apa. Setidaknya aku bisa bertemu denganmu,” ujarnya
lagi. Aku menganggukan kepalaku dan mematikan ponselku. Kemudian aku mulai
mengambil salah satu potong sandwich yang Justin kirimkan.
***
“Terima
kasih baby girl, kau tampak bersemangat hari ini,” ujar Al memelukku saat aku
berpamitan untuk pulang. Aku hanya mendesah dan melepaskan pelukannya. Kemudian
aku menganggukan kepalaku.
“Yeah,
itu karena aku begitu rindu untuk bekerja,” ujarku dengan senyuman yang
melebar. Aku sudah ingin pulang dan kurasa Justin sudah berada di luar sana.
Karena dari kaca aku bisa melihat Max berdiri di depan restoran Al.
“Pulanglah,
kau terlihat lelah sekarang. Istirahat dan janji padaku untuk kembali ke sini
lagi,” katanya sambil menepuk-nepuk pundakku dengan lembut. Aku menganggukan
kepalaku dan beranjak dari restoran.
Kubuka
pintu restorannya dan aku melihat Max langsung menarik tanganku untuk
menyeberang. Astaga, kasar sekali dia. Aku meringis. Mobil Justin sudah berada
di seberang sana. Dan tiba-tiba saja Justin keluar dari mobilnya. Malaikat
sekaligus iblis itu terlihat begitu seksi dan tampan. Bagaimana bisa aku
menolaknya? Aku mencintainya dan dengan ini ..astaga, bagaiamana bisa aku tidak
menerima permintamaafannya? Tapi permainan ini harus berlanjut. Ia harus
mendapatkan yang sepadan.
Saat
aku sudah menyeberang, Justin langsung memelukku dan mencium rambutku. “Aku
benar-benar merindukanmu Anna,” ujarnya. Kemudian ia menarik wajahku dan
mengecup bibirku.
“Dan
kau jangan kasar-kasar dengan istriku!” bentak Justin pada Max, “Ada yang ingin
kubicarakan denganmu,” katanya memegang tanganku.
“Membicarakan
sesuatu?” tanyaku penasaran. Tentang ‘perjanjian yang lain’ ? Aku tak tahu.
***
Hening
dalam mobil Justin. Aku tidak berbicara dengannya. Bahkan dari tadi memalingkan
kepalaku pada jendela, mengabaikan Justin. Aku tidak tahu ia akan membawaku
kemana tapi aku ini bukan jalan menuju rumah Justin. Kurasa begitu. Kurasakan
tangan Justin mulai menarik tanganku, membuatku berpaling padanya. Kathleen
sialan! Aku ingin sekali menjambak rambutnya tadi siang. Dia memberitahu
tentang keberadaan tempat kerjaku. Kau tahu apa alasannya? Karena Justin
membuatnya luluh hanya karena apa yang dilakukan Justin benar-benar romantic.
Kau tahu, menghampiriku ke rumah Kathleen pagi-pagi. Tadi aku telah memukulnya.
Kadang ia konyol sekali.
“Kau
benar-benar tak ingin pulang?” tanya Justin, menatapku penuh dengan kesakitan.
Oh, astaga. Tatapan matanya benar-benar gelap. Aku menganggukan kepalaku. Aku
belum ingin tinggal di rumah itu. Meski aku merindukan Bee dan Boo.
“Bee
dan Boo merindukanmu,” bujuknya lagi. Tapi aku menggelengkan kepalaku.
“Tidak,
aku masih butuh ruang Justin,” ucapku dengan tegas. Justin menganggukan
kepalanya.
Kemudian
hening. Hening yang sangat panjang sampai pada akhirnya mobil ini berhenti di
depan restoran milik Justin. Kembali lagi ke tempat ini. Aku menghelakan
nafasku sambil keluar dari mobil Justin. Justin menjulurkan tangannya untuk
membantuku keluar dari mobil. Tapi aku mengabaikannya lagi. Kudengar ia
menghelakan nafasnya, mencoba untuk sabar. Aku tahu ini berat. Tapi Justin, aku
melakukan ini untuk kelangsungan hubungan kita. Kita tidak bisa terus menerus
jalan di tempat. Membuatmu menganggapku istri itu sangat susah rasanya.
Lalu
ia memegang tanganku dan menariknya untuk masuk ke dalam restorannya. Seperti
biasa, tentunya, para pelayan menyapa Justin dengan kesopanan. Dan mereka
mengabaikanku, seakan-akan aku tidak ada. Well, aku tidak begitu peduli. Aku
tidak gila hormat. Ketua pelayan di restoran ini langsung menunjukan tempat
yang nyaman untuk kami. Dan kami langsung terduduk, berhadapan.
“Seperti
biasa,” ujar Justin pada pelayan itu. Dengan ramah, pelayan yang berseragam itu
menganggukan kepalanya. Semua orang yang berada di restoran ini menatapku dan
Justin. Namun dengan berwibawa, Justin menganggukan kepalanya pada mereka
semua. Lalu seperti Justin membisikan sesuatu, mereka kembali berurusan dengan
urusan mereka.
Kuhelakan
nafasku, menatap pada garpu yang berada di hadapanku. Tidak mau menatap mata
Justin. Karena ia selalu menyiratkan tatapan gelap padaku. Misterius namun
menyakitkan. Seperti ia hilang, masuk ke dalam sebuah lubang hitam yang
membuatnya panik.
“Apa
yang ingin kaubicarakan Justin?” tanyaku akhirnya mendongak. Ia menelan
ludahnya dan menarik nafasnya.
“Ini
tentang perjanjianmu dan orang tuaku,” ujarnya akhirnya.
“Ceritakanlah,”
ujarku menyuruhnya.
Ia
menarik nafasnya kembali.
“Kita
pernah bertemu sebelumnya Anna, itu setelah ibuku menceritakannya tadi pagi dan
aku sadar,” ujarnya yang membuat jantungku keluar dari tubuhku. Apa-apaan? Aku
tidak pernah bertemu dengannya. Kurasa ia sedang menghayal. Ia menganggukan
kepalanya, mencoba untuk meyakinkanku. Aku menganggukan kepalaku, akhirnya.
“Kau
masih berumur 2 tahun saat itu. Aku sudah berumur 12 tahun. Orang tuamu adalah
pengurus rumahku. Orang tuaku sangat menganggap keluarga kalian menjadi bagian
dari keluarga kami tapi yah, orang tuaku juga memiliki batas. Aku tidak tahu,
itu hanya ibuku saja. Aku dan ayahku tidak peduli dengan orang tuamu,” ujarnya
lagi, tampak acuh. Aku menganggukan kepalaku. Oh, astaga, ternyata selama ini
orang tuaku bekerja di rumah Justin.
“Well,
saat ibumu melahirkanmu, orang tuamu meminjam uang yang sangat besar pada orang
tuaku untuk kelangsungan kelahiranmu. Ternyata kau dicaesar sehingga bayarannya
lebih mahal. Terlebih lagi Anna, ibumu, hampir meninggal karena melahirkanmu.
Apa kau ingat kau tidak pernah meminum asi ibumu?” tanya Justin. Aku
menganggukan kepalaku. Yeah, aku tidak meminum asi ibuku. Tapi orang tuaku
tidak pernah membicarakan tentang ini. Astaga, sial sekali.
“Ia
kanker payudara. Astaga, aku sungguh jahat saat itu. Aku bilang pada ibuku
untuk tidak meminjamkan uang lagi pada keluargamu. Tapi ibuku, kau tahu, dia
mudah sekali iba. Sehingga ia meminjamkan uang lagi untuk orang tuamu. Uang
yang orang tuamu pinjam benar-benar tidak bisa dibayar untuk beberapa tahun ke
depan,”
“Sistem
kehidupan orang tuaku adalah memakai jasa pembantu selama sepuluh tahun satu
kali ganti. Kuharap kau mengerti. Sehingga saat kau berumur sepuluh tahun, orang
tua kalian sudah berhenti bekerja di rumahku. Sungguh susah untuk mencari
pembantu seperti orang tua kalian,”
“Tapi
sebelum orang tuamu berhenti dari pekerjaannya, mereka ingin membuat perjanjian
untuk membayar segala hutangnya. Mereka ingin kau bekerja untuk keluargaku
kelak. Entah dijadikan sebagai apa. Tapi orang tuamu mengharapkanmu menjadi
seorang pembantu. Orang tua yang aneh,” ujar Justin terkekeh pelan. Tapi aku
diam tak dapat menjawab ucapan Justin. Ini benar-benar menyakitkan. Ini seperti
mereka menukarku atau lebih tepatnya menjualku pada orang tua Justin menutupi
hutang mereka.
“Ibuku
menyetujuinya. Ia senang sekali. Kita pernah bertemu saat kau berumur 2 tahun.
Itu sebelum orang tuamu meminta orang tuaku untuk membuat perjanjian. Aku suka
padamu karena kau lucu. Matamu benar-benar cantik. Seperti sekarang,”
“Singkat
ceritanya adalah akhirnya orang tuamu dan orang tuaku membuat perjanjian itu.
Mereka telah menanda tanganinya. Perjanjian yang cukup konyol. Dan ibuku, oh,
Tuhan. Setelah ia bertemu denganmu diumurmu yang terbilang masih muda, ia
terperangah. Kau cantik. Kau manis. Dan kau benar-benar berhati-hati untuk
mengambil langkah yang benar, orang tuaku menginginkanmu menjadi istriku. Tapi
untuk kali ini kau salah. Kau menanda tangani perjanjian itu juga, yeah,
tuntutan orang tua,” ia berhenti sejenak.
“Bingung
menjadi istriku? Aku juga. Alasan ibuku benar-benar tak masuk akal. Katanya kau
cantik dan tampaknya kau benar-benar tipeku. Yeah, dia benar. Kau benar-benar
wanita idamanku. Menurutku –“
“Kau
menjadikanku submissive,” aku memotongnya.
“Yeah,
itu karena kau menurutku, pasrah dan benar-benar polos. Awalnya aku tidak
percaya aku akan menikah denganmu. Sungguh, Demi Tuhan, aku benar-benar tak
percaya kalau aku akan melihat mata birumu lagi. Dalam hal ini, orang tuaku
telah menghapus segala hutang orang tuamu. Karena kau, aku telah mendapatkan
kekasih,” ujarnya, “seumur hidup,” lanjutnya lagi. Aku memerah. Sial! Apa dia
benar-benar mengatakan itu?
“Jadi
dalam hal ini aku seperti telah membayar seluruh hutang orang tuaku dengan cara
menikah denganmu?” tanyaku bingung. Aku hanyalah anak sepasang pengurus rumah
Justin dan menikah dengan Justin, pada akhirnya. Apa orang tua Justin tak
pernah berpikir kalau Justin menginginkan wanita yang lebih berkualitas?
“Yeah.
Cukup menyedihkan karena aku tidak pernah mendapatkan kekasih yang benar
–maksudku, submissive- untuk pendamping hidupku. Jadi orang tuaku mengambil
cara yang lebih singkat. Denganmu, aku menikah. Aku anak tunggal, jelas mereka
menginginkan yang terbaik untukku. Tapi mereka memberikanmu,”
“Aku
memang bukan yang terbaik,” ujarku dengan lesu. Mata Justin melebar dan
menggelengkan kepalanya.
“Astaga,
tidak Anna. Justru kau lebih dari yang terbaik. Aku tidak tahu bagaimana cara
mengungkapkannya. Tapi rasanya benar-benar sepadan dengan memberikanmu padaku
untuk membayar seluruh hutang orang tuamu. Maksudku kau sangat berbeda, setelah
orang tuaku menceritakannya padaku,”
“Benarkah?”
“Aku
akhirnya bertemu dengan mata biru itu lagi,” ujarnya menyeringai. Cerita yang
benar-benar panjang. Ia mulai memegang tanganku lagi. Tapi kesenanganku karena
Justin memujiku pudar setelah aku sadar. Aku telah dijual oleh orang tuaku.
Kepada lelaki malaikat sekaligus iblis ini. Yang sedang berhadapan denganku.
Sepadan. Ia bilang aku sepadan dengan uang yang telah orang tuaku pinjam pada
orang tuanya. Apa hargaku semahal itu? Aku yakin aku lebih mahal dari uang yang
dipinjamkan orang tuaku. Air mataku mulai mengumpul di kelopak mataku.
Aku
benar-benar merasa seperti pelacur tanpa bayaran. Dan aku teringat dengan
perkataan Justin kemarin malam. Saat ia menghubungi ibunya untuk menjadikanku
sebagai pembantunya saja. Mengapa perasaan Justin susah sekali untuk ditebak?
Tak terasa air mataku menangis.
“Oh,
tidak Anna. Jangan menangis,” pintanya padaku. Aku menggelengkan kepalaku.
“Aku
tidak mengerti Justin. Pertama kau tidak menginginkan aku menjadi istrimu, lalu
kemudian kau bilang kau menyakitiku, lalu kau bilang kau mencintaiku. Mengapa
perasaanmu susah sekali di tebak?”
“Aku
juga tidak mengerti Anna. Perasaanku terlalu mendominan kepada masalahmu
bersama Logan. Sehingga tadi malam –oh astaga, Anna. Tidak. Aku tidak benar-benar
menginginkanmu menjadi pembantuku,”
“Tapi
kurasa kau mau,”
“Tidak,
astaga tidak. Itu karena aku marah sekali padamu, Anna,” ujarnya lagi,
mengelak. Aku menggelengkan kepalaku. Ini sudah sangat jelas. Kehidupanku tidak
akan pernah bahagia!
Orang
tuaku memiliki rahasia. Aku dijual kepada seorang Millioner. Aku menjadi submissive.
Aku tidak tahu di mana orang tuaku berada. Aku mengalami kecelakaan. Aku
mengalami perkosaan. Aku hanya memiliki Kathleen dan Justin yang mempedulikanku
–untuk sekarang ini. Suamiku tidak mencintaiku. Aku juga kehilangan Nicholas!
Aku menundukan kepalaku untuk menutupi kesedihanku yang sungguh mendalam. Ini
benar-benar tidak adil.
“Aku
benar-benar butuh ruang Justin,” ujarku lagi. Ini sungguh berlebihan. Aku tidak
bisa menampung segala masalah yang kuhadapi. Justin mencari wanita lain dan
sekarang ..orang tuaku mempunyai rahasia yang seharusnya sudah kuduga dari
awal! Sial, sial, sial! Ini sungguh menyakitkan. Aku menggelengkan kepalaku lalu mendongakan
kepalaku. Ternyata makan telah dihidangkan.
“Makanlah
Anna, jangan menangis,”
“Bagaimana
bisa aku tidak menangis? Orang tuaku sendiri menjualku kepadamu. Seorang
dominan. Suamiku tidak mencintaiku. Aku diperkosa. Nicholas meninggal. Aku
mengalami kecelakaan. Kau baru-baru ini memukulku. Apa kau pikir aku bisa
menampungnya? Tidak! Ini sangat berlebihan Justin,” aku membodohi diriku
sendiri. Aku tidak benar. Aku tidak memenuhi janjiku tadi siang. Aku bukan
wanita yang kuat. Aku benar-benar lemah. Aku ..kepalaku sangat pening sekarang.
Aku jatuh ke dalam lubangku sendiri dengan tubuhku yang hancur berkeping-keping.
“Anna,”
Justin membuat suara yang pelan, “tolong jangan pergi,” ujarnya memohon. Aku
menggelengkan kepalaku dan mengambil serbet lalu mengelap wajahku yang
terbanjiri oleh air mata. Perasaan ini tak dapat kutahan.
“Kau
memintaku untuk menjadi pembantumu Justin,” aku berbisik pelan.
“Astaga,
Anna. Apa aku harus membentakmu? Aku sudah bilang padamu, itu karena perasaanku
yang mendominan akibat cemburu!” ia berseru, tidak berteriak. Aku menatap
matanya. Tiba-tiba saja matanya berubah menjadi tatapan yang lembut. “Mata biru
itu,” bisiknya. Aku tidak percaya kalau sebelumnya aku pernah bertemu dengan
Justin.
“Aku
tidak lapar. Aku harus pergi,” ujarku, “suamiku bahkan menginginkan aku menjadi
pembantunya,” ujarku lagi. “Dan ia bilang aku sepadan dengan bayaran hutang
orang tuaku,” kataku berdiri dari tempat
duduk dan menghapus air mataku terus menerus. Mata Justin melebar, ia tidak
percaya dengan kata-kataku dan ia memegang tanganku.
“Anna,
jangan pergi,” ucapnya, kali ini lebih tegas. Kemudian ia ikut berdiri. Tapi
dengan cepat aku menarik tanganku untuk lepas dari genggaman tangannya.
Berjalan melewati meja-meja yang berada di dalam restoran ini.
“Anna!”
teriak Justin mengejarku dari belakang. Aku membuka pintu restorannya dan
benar-benar sudah berada di luar.
“Mrs.
Bieber,” suara berat dari Max langsung terdengar di telingaku. Ia menghalangi
Justin dengan hanya berdiri di depanku. Tapi aku langsung mendorongnya,
menyingkirkan tubuhnya dari hadapanku. Aku langsung berjalan untuk menyeberang.
Tapi Max menahan tubuhku. Aku menjerit.
“Anna!”
teriak Justin yang sudah keluar dari restorannya. Aku menatap Justin dengan
tatapan yang buram akibat air mataku yang mulai menggenang di kelopak mataku
lagi. Ini sungguh menyedihkan. Tetap kuat, tetap kuat! Aku menyemangati diriku
sendiri. Tapi tidak, aku jatuh berkeping-keping lagi. Air mataku mengalir
kembali.
“Lepaskan
tanganmu darinya, Max,” ujar Justin. Sontak Max menjauh dariku dan aku
memejamkan mataku .Tangan Justin mulai melingkar di pinggangku. Memelukku
dengan erat.
“Anna,
aku tidak pernah menginginkanmu menjadi pembantuku. Kau lebih dari apa pun.
Baiklah, aku harus benar-benar jujur,” ujarnya melepaskan pelukannya dan
memegang bahuku langsung agar aku tidak langsung kabur darinya.
“Anna
Bieber, aku mencintaimu. Aku menyukaimu sejak aku bertemu dengan mata birumu.
Aku tidak sadar selama seminggu lebih ini, aku telah menemukan si Mata Biru
yang Manis. Dan sekarang aku bertemu denganmu lagi Anna. Semuanya berubah sejak
orang tuaku menceritakan kehidupanmu tadi pagi padaku,” ujarnya menghelakan
nafasnya dan menggelengkan kepalanya.
“Aku
benar-benar mencintaimu Anna. Dengan segala kekuranganmu. Aku akan melakukan
apa pun agar kau tetap bersamaku, Anna,” ujar Justin, “Aku ingin pergi,”
tukasku langsung.
“Tidak
Anna. Bukan itu. Aku ingin memperbaiki hubungan ini. Hatiku benar-benar hancur
saat kau selalu mengatakan tidak padaku,”
“Itu
karena kau tidak pernah terbiasa dengan jawaban: Tidak,” ujarku melepaskan
pengangan tangannya dari bahuku.
“Aku
mencintaimu Anna,”
“Aku
membencimu Justin Bieber sang Millioner!” aku berteriak padanya dan berlari
sambil menangis melewati jalan raya. Ini benar-benar ..BRAK! Aku tersungkur
terjatuh jauh di jalan.
“Anna!!”
aku mendengar Justin berteriak, tapi aku tidak mendengar apa-apa lagi. Kegelapan
melingkupiku. Dan tenang sekali.
"Yang jelas aku ingin membentur kepala Justin ke tembok agar ia sadar. Agar ia sadar kalau di sini, hidup, lahir untuk dirinya. Lahir untuk mencintainya! Tapi ia tidak merasakan itu. Ia tidak percaya padaku. Ia bajingan sialan! Aku sungguh …ya Tuhan, apa aku sanggup membencinya?"
BalasHapusnyesek bener dah ah .-. sukses bikin gue benci sama Justin wakakak, Justin di JD ini loh ya :3 kalau di kehidupan nyata mah, ehem, gue cinta mati hihi~