Jumat, 02 Agustus 2013

Dominan - Submissive Bab 6

***

            Satu yang ada di benakku. Apa yang akan Justin lakukan di rumah Maria? Apa Maria adalah mantan submissive Justin? Jika ya, Justin benar-benar keterlaluan. Setelah ia memperlakukan dengan cara yang benar-benar kejam –menurutku begitu—sekarang ia malah pergi ke rumah Maria. Tapi aku sangat yakin Maria adalah mantan submissive Justin. Aku tidak menghabiskan makananku. Xavier dan D’aman masuk ke dapur saat Justin sudah pergi dari dapur. Xavier menatapku dengan tatapan prihatin. Yeah, kehidupanku sangat memprihatinkan.
            Beranjak dari bar, aku meninggalkan dapur. Aku ingin menghubungi Justin. Aku benar-benar membutuhkan teman. Aku butuh Kathleen. Astaga, apa yang harus kubawa ke rumahnya? Pakaian-pakaian yang Justin berikan untukku. Ya, itu dia. Pasti Kathleen akan sangat senang.
            Bersemangat, aku berlari menelusuri tangga dengan bokong yang masih kesakitan. Aku tidak berharap Justin mendapatkan balasannya atau aku akan membalasnya. Aku tidak dilahirkan menjadi orang yang pendendam. Menurutku, jika kita mendendam sesuatu, kita akan cepat tua dan beruban. Dan aku tidak ingin itu terjadi. Hipotesis yang memang sedikit menggelikan. Kubuka pintu kamarku dan langsung mengambil ponselku yang berada di atas meja rias. Kuhubungi Justin.
            Satu kali nada. Dua kali nada. Tiga kali nada.
            “Ya?”
            “Justin aku ingin pergi,” ujarku dengan cepat. Tanganku membuka lemari pakaianku dan mencari gaun yang bagus untuk Kathleen. Berbagi itu sangat menyenangkan. Kudengar nafas Justin tersendat, hening di sana. Apa dia sudah sampai di rumah Maria?
            “Kau meninggalkanku?”
            “Aku hanya butuh ruang, Justin,”
            “Xav—“
            “Justin, kumohon,” aku mengerutkan kening dan berhenti mencari pakaian untuk Kathleen. Tidakkah dia mengerti perasaan wanita? Setelah apa yang ia lakukan? Ia seharusnya bertanggungjawab atas perlakuannya terhadapku. Bukan sekedar permintamaafan. Kukira ia percaya padaku, tapi ternyata tidak. Hanya karena sebuah pelukan dia marah? Bukan maksudku untuk menggoda Logan, aku hanya ingin mengganggu Logan. Tapi Justin dengan keras kepala merasa dirinya benar. Dan rasanya aku ingin menamparnya. Tapi ia seorang dominan. Aku hanyalah submissive biasa.
            “Aku hanya pergi ke rumah Kathleen,” ujarku dengan suara yang parau, aku ingin menangis. Namun sebisa mungkin aku membuat suara yang lembut. Tapi air mataku sudah mengalir. Oh, astaga, mengingat bentakannya dan hinaannya terhadapku. Kau. Pelacur. Bajingan. Apa? Apa kau bercanda? Karena kata-kata itu benar-benar menyakitkan. Butuh plester yang besar untuk menutupi kepahitannya.
            “Jika itu yang ingin kaulakukan, lakukanlah, aku tidak akan pulang malam ini. Jika kau ingin menginap di rumah Kathleen, tidak apa-apa,” ujarnya pasrah. Senyumanku mulai mengembang dan aku langsung mematikan ponselku. Dengan cepat aku mengambil tiga pasang gaun untuk Kathleen. Tapi dengan siapa aku harus pergi? Ah, Max. Kurasa Max tidak membawa Justin ke rumah Maria.

***

            “Kath!” tangisanku memecah dan aku menjatuhkan tas ranselku saat Kath membuka pintu rumahnya. Aku langsung memeluknya dan menangis padanya. Aku yakin ia benar-benar tidak percaya akan kedatanganku. Tapi sumpah, demi Tuhan, aku membutuhkan telinga Kathleen untuk mendengarkan ceritaku. Apa yang Justin lakukan padaku.
            “Ada apa, Anna? Apa yang bajingan itu lakukan padamu?” tanyanya mengelus kepalaku dengan lembut. “Ayo, masuklah,” katanya sambil melepaskan pelukanku. Tangannya langsung mengambil tas ranselku dan menarikku masuk ke dalam rumahnya. Dengan pelan, aku terduduk di atas kursi tamu miliknya. Ia mengunci pintu rumahnya dan berjalan menghampiriku. Kemudian terduduk di sebelahku juga.
            Astaga, aku benar-benar merindukan aroma rumah ini. Tidak ada yang berubah sejak aku meninggalkan rumah ini selama seminggu lebih. Ini sungguh sial. Seharusnya aku sering-sering datang ke sini dan menceritakan apa pun yang terjadi di rumah Justin kecuali hubungan badanku dengan Justin. Itu mungkin akan terdengar memalukan.
            “Cerita padaku,” ujarnya dengan lembut dan memegang pundakku. Aku mulai menceritakannya. Perjanjian itu. Hadiah-hadiah yang Justin berikan. Ia menjerit saat aku bilang bahwa aku sekarang memiliki Double B. Namun ia langsung memaki-maki Justin saat aku menceritakan kejadian tadi malam padanya. Kulirik jam dinding yang bertengger di tembok. Sudah menunjukan pukul 10 malam. Aku yakin Justin masih berada di rumah Maria.
            “Aku tidak mengerti dengan perkataan Justin. Perjanjian yang lain. Apa maksudnya perjanjian yang lain? Katanya juga, ibunya bisa memilihku untuk menjadi pembantunya. Bukan istrinya. Ini benar-benar tidak masuk akal,” ujarku kembali merenung. Terjerumus dalam tangis, kepalaku merasa pening. Kathleen telah mengambil sekotak tisu untukku dan aku rasa aku sudah menghabiskan setengahnya.
            “Aku rasa Justin sudah gila. Apa-apaan ia memintamu untuk menjadi pembantunya setelah apa yang telah ia lakukan padamu. Percaya padaku Anna, kau harus membalasnya. Kau harus membuatnya menyesal telah melakukan itu padamu,”
            “Tapi ia tidak memiliki hati!”
            “Ia punya. Aku yakin ia akan menyesal jika kau mendiamkannya atau kau ikut keras kepala. Aku tahu kau bukan gadis yang keras kepala, tapi cobalah. Ini agar ia dapat mencintaimu,” Kath memang selalu seperti ini. Ia gadis yang benar-benar suka membalas dendam. Maksudku, ia meminta keadilan. Jika keadilan itu tidak terjadi, maka ia akan melakukan apa pun untuk melakukannya agar itu adil. Semacam karma yang ia buat sendiri.
            “Aku tidak tahu,”       
            “Apa lelaki besar tadi masih ada di luar?” tanya Kathleen membahas topik lain. Aku menggelengkan kepalaku.
            “Max akan menungguku. Aku membawakan beberapa pakaian untukmu,” ujarku sambil mengambil tas yang tadi ia taruh di sebelahku. Kemudian aku membuka retsletingnya dan mengeluarkan tiga pasang gaun yang sangat kuyakin, dia akan menyukainya. Matanya melebar, senyumnya mengembang lebar, lalu ia bertepuk tangan.
            “Astaga, Anna. Kau memiliki baju-baju seperti ini? Seharusnya aku tahu ini dari awal. Astaga, ini benar-benar indah,” ujarnya sambil menyentuh ketiga baju yang sudah kukeluarkan. Ia mengelusnya dan menatapnya penuh dengan kesenangan dan kagum. Aku tidak tahu mengapa wanita-wanita seperti Kath senang sekali memakai pakain seperti ini. Aku tidak menyukainya, karena itu aku memberikannya pada Kath. Dan ia menyukainya.
            “Kath, kurasa aku harus pulang,” ujarku. Lalu aku langsung memeluknya.
            “Ingat kata-kataku. Balas dendam Anna, kau harus keras kepala,” tuntutnya. Aku hanya dapat menganggukan kepalaku. Dan entah apa aku bisa melakukannya atau tidak .
            “Aku akan mencoba,” balasku kemudian tersenyum. Lalu aku melepaskan pelukanku dan beranjak dari tempat duduknya. Aku harus kembali ke rumah dan membicarakan ini pada Justin. Situasi ini sungguh salah.

***

            Aku turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah. Kurasa Justin sudah pulang ke rumah karena aku lihat di garasi sudah ada mobilnya yang terparkir di sana. Kakiku menghantar tubuhku menuju kamar Justin. Namun jantungku berhenti berdetak saat aku mendengar suara cekikikan dari seorang wanita. Apa itu Maria? Kemudian aku mendengar Justin tertawa. Tubuhku mati rasa. Aku ingin mati. Jantungku ..oh Tuhan. Apa yang mereka lakukan di dalam kamar sana? Kudekatkan telingaku pada pintu kamar Justin dan berusaha untuk mendengarnya.
            “Apa kau yakin ia tidak akan ada di rumah?” tanya wanita itu pada Justin. Itu bukan suara Maria. Lalu siapa? Chanta? Tapi kupikir Justin membencinya. Siapa wanita itu? Rasanya aku ingin berteriak.
            “Aku sudah bilang berkali-kali padamu, ia tidak akan pulang. Ia sedang marah padaku,” ujar Justin tertawa dan aku mendengar suara ciuman yang sangat panas. Mataku membulat. Aku benar-benar tidak percaya Justin akan melakukan ini padaku. Karena kupikir ia …aku percaya padanya! Aku percaya padanya kalau ia tidak akan mencari wanita lain. Aku adalah ..submissive-nya. Aku tidak akan meninggalkannya. Tapi apa yang ia pikirkan?
            Merasa perkataan Kath ada benarnya juga, aku langsung membuka pintu kamar Justin. Ternyata tidak dikunci. Bodohnya Justin. Kalau aku jadi dia, pastinya aku akan menguncinya. Bodoh! Amarah meliputi tubuhku sekarang. Perasaanku tercabik-cabik dan terbakar. Terbakar oleh api amarah yang menghasilkan kecemburan terdalam dan terasa yang belum pernah kurasakan.
            “Anna!” Justin terkejut atas kedatanganku. Ia yang tadinya menindih wanita sialan itu langsung bangkit. Matanya benar-benar memperlihatkan kekejutannya. Wanita itu masih memakai pakaian yang lengkap. Ia bukan Maria. Aku bahkan tidak pernah bertemu dengannya! Sialan, apa dia adalah Chanta?
            “Siapa dia Justin?” aku bertanya sambil menunjuk wanita sialan itu yang masih terbaring di atas tempat tidur Justin.
            “Anna, dengarkan aku –“
            “Siapa dia?!” aku langsung berteriak, rahangku menegang. Seluruh ototku berkontraksi. Rasanya aku ingin menampar Justin sekarang. Ia benar-benar bajingan. Aku tidak tahu apa aku harus memaafkan Justin atau tidak. Yang jelas aku ingin membentur kepala Justin ke tembok agar ia sadar. Agar ia sadar kalau di sini, hidup, lahir untuk dirinya. Lahir untuk mencintainya! Tapi ia tidak merasakan itu. Ia tidak percaya padaku. Ia bajingan sialan! Aku sungguh …ya Tuhan, apa aku sanggup membencinya? Untuk sekarang, aku memang membencinya.
            “Anna –“
            “Aku pikir kau percaya padaku Justin! Aku pikir aku percaya padamu! Ini sungguh berlebihan! Sungguh sialan Justin. Sial,sial,sial!” aku berbicara kotor dan menggelengkan kepalaku. Kedua tanganku sudah berada di sisi pinggangku. Merasa frustrasi, air mataku mengalir. Wanita sialan itu beranjak dari kasur dan pergi dari hadapan kami. Aku menatapnya penuh dengan kebencian. Dan rasanya aku ingin melemparnya dari balkon ke lantai bawah.
            “Tapi aku salah,” rintihku dengan suara yang benar-benar pelan, “aku sudah tidak percaya lagi padamu Justin. Setelah tadi –“
            “Aku melakukan itu karena aku tidak tahu apa yang harus kulakukan! Saat kau bilang kau ingin meninggalkan aku, saat kau bilang kau butuh ruang, aku frustrasi! Aku tidak jadi ke rumah Maria –“
            “Apa pun itu alasanmu Justin, itu sungguh menyakiti hatiku,” ujarku dengan air mata penuh amarah.
            “Anna kau harus mendengarkan aku!” ia membentak. Mataku melebar. Dan air mataku tak berhenti mengalir. Sial, sial, sial! Mengapa rasanya aku ..Tuhan, aku benar-benar terlihat bodoh. Aku merasa seperti pelacur. Aku merasa seperti orang idiot. Mengapa Justin melakukan ini padaku? Mengapa ia hanya menginginkan aku sebagai seorang submissive? Mengapa ia hanya menginginkan tubuhku? Apa ia tidak sadar aku ada di depan matanya, bersedia untuk mencintainya. Aku yakin, banyak sekali orang yang mencintainya. Tapi karena Chanta sialan itu! Semuanya berubah. Karena dia. Ini semua karena dia.
            “Aku membenci Chanta, Justin! Aku membencinya!” aku berteriak padanya.
            “Apa yang kaubicarakan?” tanya Justin memperlihatkan wajah yang bingung. Salah satu alisnya naik.
            “Aku membencinya karena dirinya, kau tidak bisa mencintaiku! Aku berusaha untuk memaafkanmu. Aku ..aku benar-benar membencimu,” ujarku dengan suara yang kecil di akhir kalimat. Ini benar-benar menguras tenagaku. Aku tidak ingin tinggal di rumah ini. Aku rasa ini benar-benar tidak ..ya Tuhan, aku tidak tahu apa aku bisa hidup tanpanya setelah apa yang ia lakukan padaku. Segalanya. Aku mencoba untuk tidak mengingat perlakuan buruk Justin karena aku hanya ingin mengambil sisi positif dari dirinya. Jika tidak, sudah dari dulu aku tidak menjadi submissive-nya.
            “Aku sudah bilang padamu Anna, JANGAN MENCINTAIKU!” ia membentak, wajahnya memerah, rahangnya benar-benar menegang. Dia sungguh marah.
            “Bagaimana bisa aku menahan perasaan ini Justin? Kau pikir ini adalah permainan? Kau pikir dengan perlakuan manismu aku tidak jatuh cinta padamu Justin?! Apa kau memiliki otak Justin?”
            “Apa yang kaubilang? Kau tidak tahu aku siapa?”     
            “Jangan pernah membawa gelar Millioner sialanmu itu Justin! Kau bahkan tidak tahu apa yang kulakukan di toko peralatan anjing! Kau bahkan bertanya, itu adalah pertanyaan bodoh. Dan bukan hanya dalam hal itu kau bodoh. Dalam masalah asmara kau seperti orang idiot!”
            “Apa-apaan yang kaubilang?”
            “Aku bilang aku membencimu!” aku berteriak padanya. Kemudian kakiku merasa tak bertulang. Aku jatuh. Aku tersungkur di lantai. Dan tangisan yang masih membasahi pipiku.
            Hening yang berkepanjangan. Kudengar Justin terduduk di atas kasurnya, kemudian mataku terbuka. Melihatnya membungkukan tubuhnya dan ia menggelengkan kepalanya. Aku mencoba untuk tidak berteriak lagi padanya. Aku mencoba untuk tidak mengingat kedatangan wanita sialan itu tadi. Kemudian ia berbicara.
            “Aku merasa tak peduli kau ingin bilang aku bodoh atau idiot. Aku memang tidak hebat dalam hubungan asmara, Anna. Aku tidak pernah melakukan hal itu. Bahkan di bangku sekolah,” ujarnya, suaranya begitu pelan dan menyakitkan. Sedangkan aku bertumpu di salah satu tanganku dengan lesu.
            “Ini semua memang karena Chantelle. Dan kau tidak bisa melakuan apa-apa padanya, Anna. Ia sudah tidak ada,” akhirnya ia mendongak, menatap mataku langsung lalu ia menggeleng kepala.
            “Kurasa aku mencintaimu Anna.” Lanjutnya yang membuatku ingin mual.
****

            “Lucunya, kau bilang padaku untuk tidak mencintaimu. Tapi kau bilang kau mencintaiku. Jadi, ap salahnya jika kita mencintai satu sama lain Justin? Satu kesimpulan, kau hanya bilang seperti itu agar aku tidak pergi. Dan Justin, kau tahu apa? Jika kau benar-benar mencintaiku, kau tidak mungkin mencari wanita lain. Justru seharusnya kau ..ah, Tuhan, mengapa rasanya susah sekali berbicara tentang cinta padamu? Aku tidak butuh kata-katamu Justin, tapi lakukan! Jika kau mencintaiku, lakukan apa yang seharusnya pecinta lakukan,” ujarku tanpa bernafas. Aku terkekeh pelan, mencoba untuk tidak menangis. Kuhapus air mataku dan bangkit dari lantai. Kuambil nafas dalam-dalam dan menghapus air mataku hingga wajahku kering. Kemudian aku tersenyum manis pada Justin.
            “Aku ingin ruang, Justin. Aku butuh ruang, lebih tepatnya. Tolong izinkan aku pergi ke rumah Kathleen besok. Aku benar-benar butuh ruang untuk memikirkan apa yang baru saja kau katakan dan apa yang baru saja kaulakukan,” ujarku lagi. Kulihat mata Justin melebar dan ia bangkit dari duduknya. Mencoba untuk mendekatiku, aku langsung mengangkat kedua tanganku. Memperingatinya untuk tidak mendekatiku atau pun menyentuhku. Aku tidak ingin disentuh olehnya. Atau dicium olehnya. Ish! Rasanya aku tak sudi menyentuh bekas dari wanita sialan tadi. Aku akan menyentuhnya jika ia telah mandi. Aku bahkan tidak pernah mencium lelaki lain setelah aku mendapatkan Justin! Sial, aku benar-benar marah sekarang padanya.
            “Anna, tolong jangan tinggalkan aku,”
            “Setelah apa yang kaulakukan?”
            “Aku minta maaf, Anna. Ini hanya di luar pikiranku,” ujarnya berusaha terlihat begitu sedih. Sial, sekarang aku merasa kasihan padanya. Ia merengut.
            “Tidak,” aku telah memutuskan keputusan yang menurutku benar. Aku akan meninggalkan Justin. Aku benar-benar akan meninggalkan Justin. “Ini hanya salah Justin. Kau tidak akan pernah mencintaiku. Kau tidak benar-benar mencintaiku, bukan? Aku butuh ruang untuk  berpikir. Tolong? Apa pun kulakukan asal besok aku pergi dari rumah ini,” ujarku memohon padanya. Entahlah, menatap matanya terasa begitu salah.
            “Bercinta denganku?” ia bertanya, secercah harapan telah ia raih. Tapi aku tidak memberikannya. Setelah ia berciuman dengan wanita sialan itu? Tidak, tentu saja tidak. Itu benar-benar kotor. Aku menggelengkan kepalaku, menatapnya penuh dengan permohonan agar ia tidak menyentuhku. “Baiklah, asal kau harus membawa ponselmu dan kartu kreditmu. Kau bisa pulang kapan saja jika kau sudah benar-benar berpikir,” ujarnya akhirnya pasrah. Tidak memaksa.
            Oh, astaga, melihatnya seperti ini begitu menyakitkan. Ia seperti ingin menangis. Tapi aku rasa perkataan Kathleen itu benar. Aku tidak boleh terlalu mengalah pada Justin.  Ia sudah sering mendapatkan apa yang ia mau. Dan sekarang aku tidak ingin memberikan apa yang ia mau.
            Kemudian aku beranjak dari kamar Justin. Aku hanya perlu membawa ponsel dan kartu kredit.

***

            “Anna! Astaga, apa yang terjadi?” tanya Kathleen saat ia membuka pintu rumah, lagi. Ini sudah pukul 11 malam dan aku datang ke rumahnya. Sungguh mengganggu dirinya. Tapi hanya dia yang aku tahu. Dia sahabatku dan hanya dia yang merawatku juga menjagaku. Aku menangis di sepanjang perjalanan menuju rumah Kathleen. Max yang membawaku ke rumah, Justin yang menyuruhnya. Ia tampak dingin setelah aku membawa beberapa pakaian –aku memutuskan untuk membawa pakaian juga. Kathleen menarikku masuk ke dalam rumahnya lalu aku kembali terjatuh di atas kursinya dan mencoba untuk tidak menangis. Tapi saat aku mencoba untuk melupakan kejadian tadi, justru itu membuatku semakin mengingatnya. Kath pergi ke dapur dan aku mengambil kotak tisu yang tersedia di meja ruang tamu. Kuhapus air mataku yang tak dapat kutahan. Seperti air terjun saja. Kemudian Kath muncul dengan segelas air minum di tangannya dan ia langsung memberikannya padaku.
            “Apa yang Justin lakukan?” tanyanya dengan perhatian dan duduk di sebelahku. Aku mengambil gelas yang ia pegang dan meminumnya. Aku mendesah saat aku menaruh gelas itu di atas meja. Kugelengkan kepalaku dengan pasrah dan langsung menjatuhkan kepalaku pada pundak Kath. Kemudian air mataku mengalir kembali.
            “Aku memutuskan untuk tinggal di sini beberapa hari. Apakah Al masih membutuhkan pelayan? Maksudku, setelah satu minggu lebih tak ada kabar dariku,”
            “Tenang, aku sudah bilang padanya kalau kau meminta izin karena kau pergi bulan madu. Maaf, Anna, tapi aku sudah memberitahu padanya kalau kau menikah dengan Justin,”
            “Tidak apa-apa. Hanya saja, aku butuh pekerjaan untuk melupakan masalahku dengan Justin. Ini benar-benar salah. Ia membawa wanita ke dalam rumah tadi,”
            “Holy shit!” teriaknya tak percaya dan langsung mengelus kepalaku dengan lembut. “Kau sudah melakukan hal yang benar,” ujarnya menenangkanku. Kemudian aku memeluknya dan menangis, memecah begitu saja.
            “Aku benar-benar cemburu Kath. Ia bilang ia mencintaiku. Tapi aku yakin itu hanyalah omong kosong!”
            “Aku tahu perasaanmu, Anna. Sudah, menangislah sepuas yang kau mau. Kau bisa bekerja mulai besok atau lusa,” ujarnya. Kath memang yang terbaik. Hanya dia yang mengerti perasaanku. Dulu Nicholas, lelaki pertama yang mengerti diriku. Sekarang hanya tinggal satu orang. Tinggal Kath yang dapat menjadi tempat untuk mencurahkan segala isi hatiku. Kemudian aku larut dalam tangisanku.

***

            “Al!” aku berteriak dengan senang saat aku melihat Al, koki sekaligus pemilik restoran sarapan pagi ini sedang memasak telur. Aku masuk ke dalam dapur dan langsung memeluknya dengan erat. Ia juga salah satu orang yang sangat kusayang. Aku sudah menganggap Al sebagai ayahku. Ia memiliki ukuran tubuh yang besar, dengan kumis yang tebal, juga candaannya yang sangat khas. Biasanya ia akan memanggilku Baby girl. Ia juga telah menganggapku sebagai anaknya.
            “Hey, baby girl. Bagaimana bulan madumu?” tanyanya dengan suara kebapakannya. Aku melepaskan pelukanku dan tersenyum padanya. Mencoba untuk tidak menangis. Jangan ingat Justin, kau ke sini untuk bekerja. Aku menyemangati diriku sendiri.
            “Menyenangkan. Sangat. Jadi bagaimana restoranmu selama aku tidak ada?” tanyaku menggodanya. Ia tertawa dan menggelengkan kepalanya.
            “Benar-benar sepi tanpamu, baby girl. Senang kau bisa kembali lagi. Jadi kau ingin langsung bekerja atau kau ingin menceritakan bulan madumu padaku? Aku bisa mendengarnya,” ujarnya lagi penuh dengan kesenangan. “Pasti Mr.Bieber sangat hebat di ranjang,” godanya. Dalam hatiku: Yeah, sangat. Dia benar-benar hebat. Tapi aku tentunya tidak mengatakannya padanya. Kemudian aku menggelengkan kepalaku dan mengambil celemekku yang berada di gantungan celemek untuk para karyawan. Ternyata ia masih menyimpa celemek punyaku. Namaku ada di sana.
            “Aku rasa aku langsung bekerja saja,” ujarku mengikat tali celemek dan berjalan keluar mengambil buku menu makanan.

            Pagi ini begitu banyak pengunjung yang datang. Aku bahkan kewalahan untuk menampung mereka. Aku berusaha sebisa mungkin berteriak. Ini benar-benar efektif untuk melupakan Justin. Tak terasa sudah jam 11 siang. Kathleen belum datang ke restoran karena ada urusan dengan kekasihnya. Dan satu hal yang ingin kutekankan, aku tidak suka mencampuri masalah hubungan orang lain. Maksudku, aku juga mempunyai masalah sendiri yang pastinya belum kuselesaikan.
            Mendesah pelan, aku merogoh ponselku. Tidak ada panggilan tak terjawab atau satu pun pesan dari Justin. Aku rasa ia juga sedang memikirkan masalah ini. Kuharap begitu. Sebentar lagi restoran akan merubah menu. Yeah, restoran ini hampir seperti McDonald. Jam 12.30 nanti adalah menu makanan makan siang. Dan aku bekerja untuk waktu pagi dan siang. Malam itu adalah Kathleen. Kathleen siang dan malam. Aku terduduk di atas kursi kosong dan memegang kepalaku penuh dengan kelelahan. Merasa benar-benar lelah pagi ini. Bahkan aku berkeringat. Aku lelah batin dan fisik. Sekarang waktunya istirahat jadi belum ada pengunjung yang datang. Lagi pula ini masih jam 11 siang. Semua orang mencari makanan di luar sana. Kecuali aku, sendirian. Bahkan Al juga pergi keluar. Tiba-tiba saja pintu restoran terbuka, menghasilkan bunyi lonceng yang kencang. Aku terkesiap dan melihat lelaki memakai seragam salah satu restoran terkenal.
            Ia melihat padaku dan menghampiriku. Ia juga membawa bunga. Sial. Apa ini?
            “Apa kau Anna Bieber?” tanyanya menghampiriku. Aku menggelengkan kepalaku.
            “Aku Anna Whitford,” ujarku dengan acuh. Ia menyeringai padaku dan memberikan sekotak makanan padaku dan segelas kopi dari Starbucks untukku. Aku menggelengkan kepalaku. Apa-apaan ini?
            “Ini kiriman dari Mr. Bieber untuk Anda. Dan ini juga bunga untuk Anda,” ujarnya lagi. Kemudian ia bergerak pergi dari hadapanku. Apa? Justin memberikanku makan siang dan bunga? Sial. Mengapa ia ..oh Tuhan. Apa ini caranya agar aku dapat kembali ke rumahnya? Aku tidak tahu.
            Kuambil setangkai bunga. Hanya setangkai bunga mawar merah yang tentunya berduri. Ini adalah mawar asli dan aku bisa mencium aromanya. Ada kartu yang tertempel di plastiknya, tentu saja aku mengambil kartu itu.
            Maafkan aku. Hanya setangkai bunga yang dapat kuberikan untuk orang spesial. Hidup tanpamu seperti ini Anna. Hanya seperti setangkai bunga yang berduri. Aku tak dapat pergi kemana-mana jika duri ini masih berada di tubuhku. Pulanglah, aku mengharapkan kedatanganmu. Suamimu, Bieber xx
            Isinya sangat panjang dan aku tidak tahu apa itu benar-benar dari hatinya atau tidak. Tapi cukup menyentuh. Apa dia tidak pergi bekerja? Aku mengambil sekotak makanan dan membukanya. Sandwich. Banyak sekali. Dia tahu kesukaanku. Dan yang sangat membuatku terkejut adalah saat di akhir kartu itu, ia bilang ‘Suamimu, Bieber’. Itu benar-benar dari hatinya atau ada saran dari wanita sialan yang lain untuk memanggilku kembali ke rumahnya?
            Aku merogoh kantong celana jinsku dan mengambil ponselku. Menghubungi Justin secepatnya. Satu kali nada. Dua kali nada. Tiga kali nada. Empat kali nada. Kemana dia? Apa dia sedang rapat atau semacamnya? Enam kali nada. Aku menunggu.
            “Anna,” suaranya parau, penuh dengan kesakitan. Oh, astaga. Apa yang terjadi padanya? “Mine, apa kau baik-baik saja? Ada apa?” tanyanya, kali ini suaranya lebih bersemangat.
            “Terima kasih untuk makan siangnya,”
            “Itu tidak seberapa Anna, aku ingin memintamaaf dengan cara yang pantas,” ujarnya yang membuat hatiku ciut. Membuatku merasa bersalah padanya. Astaga, tidak-tidak. Justin belum mendapatkan balasan yang seharusnya ia dapatkan.
            “Bagaimana kau tahu kalau aku bekerja di restoran?” tanyaku mengalihkan topik pembicaraan.
            “Aku tahu dari Kath, tadi pagi aku menemuinya di rumahnya,” ujarnya. Astaga, aku menganga. Dia datang ke rumah Kath. Untungnya aku tidak ada di rumah Kath. Syukurlah. Tapi kurasa malam ini aku ingin menemuinya. Tapi aku tidak yakin.
            “Anna, pulanglah,” ujarnya, memohon. Bahkan aku bisa merasakan kesepian yang menghampiri dirinya melalui suaranya yang begitu putus asa. “Aku tidak akan pernah mencari wanita lain lagi, Anna. Kumohon, pulanglah,” ujarnya lagi. Aku terdiam. Tidak tahu harus berbuat apa.
            “Aku tidak bisa membicarakan ini lewat telepon. Apa nanti malam kita bisa bertemu?” tanya Justin. Aku berpikir. Apa aku bisa? Apa aku bisa menemuinya tanpa ada air mata yang mengalir? Tentu saja aku bisa! Aku akan membuktikan padanya kalau aku tidak selemah yang ia kira. Aku tidak boleh larut dalam kesedihanku terus menerus.
            “Nanti sore. Jam 6 aku sudah pulang. Datanglah ke restorannya, jangan ke rumah Kath,” ujarku akhirnya pasrah. Kudengar Justin tersenyum di sana. Kemudian ia tertawa penuh dengan kesenangan. Aku ikut tersenyum mendengarnya tertawa. Benar-benar simfoni yang indah.
            “Aku akan menjemputmu,”
            “Aku tidak ingin pulang ke rumah,” ujarku langsung. Kudengar senyumannya surut.
            “Ya,” suaranya melemah, “tidak apa-apa. Setidaknya aku bisa bertemu denganmu,” ujarnya lagi. Aku menganggukan kepalaku dan mematikan ponselku. Kemudian aku mulai mengambil salah satu potong sandwich yang Justin kirimkan.

***

            “Terima kasih baby girl, kau tampak bersemangat hari ini,” ujar Al memelukku saat aku berpamitan untuk pulang. Aku hanya mendesah dan melepaskan pelukannya. Kemudian aku menganggukan kepalaku.
            “Yeah, itu karena aku begitu rindu untuk bekerja,” ujarku dengan senyuman yang melebar. Aku sudah ingin pulang dan kurasa Justin sudah berada di luar sana. Karena dari kaca aku bisa melihat Max berdiri di depan restoran Al.
            “Pulanglah, kau terlihat lelah sekarang. Istirahat dan janji padaku untuk kembali ke sini lagi,” katanya sambil menepuk-nepuk pundakku dengan lembut. Aku menganggukan kepalaku dan beranjak dari restoran.
            Kubuka pintu restorannya dan aku melihat Max langsung menarik tanganku untuk menyeberang. Astaga, kasar sekali dia. Aku meringis. Mobil Justin sudah berada di seberang sana. Dan tiba-tiba saja Justin keluar dari mobilnya. Malaikat sekaligus iblis itu terlihat begitu seksi dan tampan. Bagaimana bisa aku menolaknya? Aku mencintainya dan dengan ini ..astaga, bagaiamana bisa aku tidak menerima permintamaafannya? Tapi permainan ini harus berlanjut. Ia harus mendapatkan yang sepadan.
            Saat aku sudah menyeberang, Justin langsung memelukku dan mencium rambutku. “Aku benar-benar merindukanmu Anna,” ujarnya. Kemudian ia menarik wajahku dan mengecup bibirku.
            “Dan kau jangan kasar-kasar dengan istriku!” bentak Justin pada Max, “Ada yang ingin kubicarakan denganmu,” katanya memegang tanganku.
            “Membicarakan sesuatu?” tanyaku penasaran. Tentang ‘perjanjian yang lain’ ? Aku tak tahu.
***

            Hening dalam mobil Justin. Aku tidak berbicara dengannya. Bahkan dari tadi memalingkan kepalaku pada jendela, mengabaikan Justin. Aku tidak tahu ia akan membawaku kemana tapi aku ini bukan jalan menuju rumah Justin. Kurasa begitu. Kurasakan tangan Justin mulai menarik tanganku, membuatku berpaling padanya. Kathleen sialan! Aku ingin sekali menjambak rambutnya tadi siang. Dia memberitahu tentang keberadaan tempat kerjaku. Kau tahu apa alasannya? Karena Justin membuatnya luluh hanya karena apa yang dilakukan Justin benar-benar romantic. Kau tahu, menghampiriku ke rumah Kathleen pagi-pagi. Tadi aku telah memukulnya. Kadang ia konyol sekali.
            “Kau benar-benar tak ingin pulang?” tanya Justin, menatapku penuh dengan kesakitan. Oh, astaga. Tatapan matanya benar-benar gelap. Aku menganggukan kepalaku. Aku belum ingin tinggal di rumah itu. Meski aku merindukan Bee dan Boo.
            “Bee dan Boo merindukanmu,” bujuknya lagi. Tapi aku menggelengkan kepalaku.
            “Tidak, aku masih butuh ruang Justin,” ucapku dengan tegas. Justin menganggukan kepalanya.
            Kemudian hening. Hening yang sangat panjang sampai pada akhirnya mobil ini berhenti di depan restoran milik Justin. Kembali lagi ke tempat ini. Aku menghelakan nafasku sambil keluar dari mobil Justin. Justin menjulurkan tangannya untuk membantuku keluar dari mobil. Tapi aku mengabaikannya lagi. Kudengar ia menghelakan nafasnya, mencoba untuk sabar. Aku tahu ini berat. Tapi Justin, aku melakukan ini untuk kelangsungan hubungan kita. Kita tidak bisa terus menerus jalan di tempat. Membuatmu menganggapku istri itu sangat susah rasanya.
            Lalu ia memegang tanganku dan menariknya untuk masuk ke dalam restorannya. Seperti biasa, tentunya, para pelayan menyapa Justin dengan kesopanan. Dan mereka mengabaikanku, seakan-akan aku tidak ada. Well, aku tidak begitu peduli. Aku tidak gila hormat. Ketua pelayan di restoran ini langsung menunjukan tempat yang nyaman untuk kami. Dan kami langsung terduduk, berhadapan.
            “Seperti biasa,” ujar Justin pada pelayan itu. Dengan ramah, pelayan yang berseragam itu menganggukan kepalanya. Semua orang yang berada di restoran ini menatapku dan Justin. Namun dengan berwibawa, Justin menganggukan kepalanya pada mereka semua. Lalu seperti Justin membisikan sesuatu, mereka kembali berurusan dengan urusan mereka.
            Kuhelakan nafasku, menatap pada garpu yang berada di hadapanku. Tidak mau menatap mata Justin. Karena ia selalu menyiratkan tatapan gelap padaku. Misterius namun menyakitkan. Seperti ia hilang, masuk ke dalam sebuah lubang hitam yang membuatnya panik.
            “Apa yang ingin kaubicarakan Justin?” tanyaku akhirnya mendongak. Ia menelan ludahnya dan menarik nafasnya.
            “Ini tentang perjanjianmu dan orang tuaku,” ujarnya akhirnya.
            “Ceritakanlah,” ujarku menyuruhnya.
            Ia menarik nafasnya kembali.
            “Kita pernah bertemu sebelumnya Anna, itu setelah ibuku menceritakannya tadi pagi dan aku sadar,” ujarnya yang membuat jantungku keluar dari tubuhku. Apa-apaan? Aku tidak pernah bertemu dengannya. Kurasa ia sedang menghayal. Ia menganggukan kepalanya, mencoba untuk meyakinkanku. Aku menganggukan kepalaku, akhirnya.
            “Kau masih berumur 2 tahun saat itu. Aku sudah berumur 12 tahun. Orang tuamu adalah pengurus rumahku. Orang tuaku sangat menganggap keluarga kalian menjadi bagian dari keluarga kami tapi yah, orang tuaku juga memiliki batas. Aku tidak tahu, itu hanya ibuku saja. Aku dan ayahku tidak peduli dengan orang tuamu,” ujarnya lagi, tampak acuh. Aku menganggukan kepalaku. Oh, astaga, ternyata selama ini orang tuaku bekerja di rumah Justin.
            “Well, saat ibumu melahirkanmu, orang tuamu meminjam uang yang sangat besar pada orang tuaku untuk kelangsungan kelahiranmu. Ternyata kau dicaesar sehingga bayarannya lebih mahal. Terlebih lagi Anna, ibumu, hampir meninggal karena melahirkanmu. Apa kau ingat kau tidak pernah meminum asi ibumu?” tanya Justin. Aku menganggukan kepalaku. Yeah, aku tidak meminum asi ibuku. Tapi orang tuaku tidak pernah membicarakan tentang ini. Astaga, sial sekali.
            “Ia kanker payudara. Astaga, aku sungguh jahat saat itu. Aku bilang pada ibuku untuk tidak meminjamkan uang lagi pada keluargamu. Tapi ibuku, kau tahu, dia mudah sekali iba. Sehingga ia meminjamkan uang lagi untuk orang tuamu. Uang yang orang tuamu pinjam benar-benar tidak bisa dibayar untuk beberapa tahun ke depan,”
            “Sistem kehidupan orang tuaku adalah memakai jasa pembantu selama sepuluh tahun satu kali ganti. Kuharap kau mengerti. Sehingga saat kau berumur sepuluh tahun, orang tua kalian sudah berhenti bekerja di rumahku. Sungguh susah untuk mencari pembantu seperti orang tua kalian,”
            “Tapi sebelum orang tuamu berhenti dari pekerjaannya, mereka ingin membuat perjanjian untuk membayar segala hutangnya. Mereka ingin kau bekerja untuk keluargaku kelak. Entah dijadikan sebagai apa. Tapi orang tuamu mengharapkanmu menjadi seorang pembantu. Orang tua yang aneh,” ujar Justin terkekeh pelan. Tapi aku diam tak dapat menjawab ucapan Justin. Ini benar-benar menyakitkan. Ini seperti mereka menukarku atau lebih tepatnya menjualku pada orang tua Justin menutupi hutang mereka.
            “Ibuku menyetujuinya. Ia senang sekali. Kita pernah bertemu saat kau berumur 2 tahun. Itu sebelum orang tuamu meminta orang tuaku untuk membuat perjanjian. Aku suka padamu karena kau lucu. Matamu benar-benar cantik. Seperti sekarang,”
            “Singkat ceritanya adalah akhirnya orang tuamu dan orang tuaku membuat perjanjian itu. Mereka telah menanda tanganinya. Perjanjian yang cukup konyol. Dan ibuku, oh, Tuhan. Setelah ia bertemu denganmu diumurmu yang terbilang masih muda, ia terperangah. Kau cantik. Kau manis. Dan kau benar-benar berhati-hati untuk mengambil langkah yang benar, orang tuaku menginginkanmu menjadi istriku. Tapi untuk kali ini kau salah. Kau menanda tangani perjanjian itu juga, yeah, tuntutan orang tua,” ia berhenti sejenak.
            “Bingung menjadi istriku? Aku juga. Alasan ibuku benar-benar tak masuk akal. Katanya kau cantik dan tampaknya kau benar-benar tipeku. Yeah, dia benar. Kau benar-benar wanita idamanku. Menurutku –“
            “Kau menjadikanku submissive,” aku memotongnya.
            “Yeah, itu karena kau menurutku, pasrah dan benar-benar polos. Awalnya aku tidak percaya aku akan menikah denganmu. Sungguh, Demi Tuhan, aku benar-benar tak percaya kalau aku akan melihat mata birumu lagi. Dalam hal ini, orang tuaku telah menghapus segala hutang orang tuamu. Karena kau, aku telah mendapatkan kekasih,” ujarnya, “seumur hidup,” lanjutnya lagi. Aku memerah. Sial! Apa dia benar-benar mengatakan itu?
            “Jadi dalam hal ini aku seperti telah membayar seluruh hutang orang tuaku dengan cara menikah denganmu?” tanyaku bingung. Aku hanyalah anak sepasang pengurus rumah Justin dan menikah dengan Justin, pada akhirnya. Apa orang tua Justin tak pernah berpikir kalau Justin menginginkan wanita yang lebih berkualitas?
            “Yeah. Cukup menyedihkan karena aku tidak pernah mendapatkan kekasih yang benar –maksudku, submissive- untuk pendamping hidupku. Jadi orang tuaku mengambil cara yang lebih singkat. Denganmu, aku menikah. Aku anak tunggal, jelas mereka menginginkan yang terbaik untukku. Tapi mereka memberikanmu,”
            “Aku memang bukan yang terbaik,” ujarku dengan lesu. Mata Justin melebar dan menggelengkan kepalanya.
            “Astaga, tidak Anna. Justru kau lebih dari yang terbaik. Aku tidak tahu bagaimana cara mengungkapkannya. Tapi rasanya benar-benar sepadan dengan memberikanmu padaku untuk membayar seluruh hutang orang tuamu. Maksudku kau sangat berbeda, setelah orang tuaku menceritakannya padaku,”
            “Benarkah?”
            “Aku akhirnya bertemu dengan mata biru itu lagi,” ujarnya menyeringai. Cerita yang benar-benar panjang. Ia mulai memegang tanganku lagi. Tapi kesenanganku karena Justin memujiku pudar setelah aku sadar. Aku telah dijual oleh orang tuaku. Kepada lelaki malaikat sekaligus iblis ini. Yang sedang berhadapan denganku. Sepadan. Ia bilang aku sepadan dengan uang yang telah orang tuaku pinjam pada orang tuanya. Apa hargaku semahal itu? Aku yakin aku lebih mahal dari uang yang dipinjamkan orang tuaku. Air mataku mulai mengumpul di kelopak mataku.
            Aku benar-benar merasa seperti pelacur tanpa bayaran. Dan aku teringat dengan perkataan Justin kemarin malam. Saat ia menghubungi ibunya untuk menjadikanku sebagai pembantunya saja. Mengapa perasaan Justin susah sekali untuk ditebak? Tak terasa air mataku menangis.
            “Oh, tidak Anna. Jangan menangis,” pintanya padaku. Aku menggelengkan kepalaku.
            “Aku tidak mengerti Justin. Pertama kau tidak menginginkan aku menjadi istrimu, lalu kemudian kau bilang kau menyakitiku, lalu kau bilang kau mencintaiku. Mengapa perasaanmu susah sekali di tebak?”
            “Aku juga tidak mengerti Anna. Perasaanku terlalu mendominan kepada masalahmu bersama Logan. Sehingga tadi malam –oh astaga, Anna. Tidak. Aku tidak benar-benar menginginkanmu menjadi pembantuku,”
            “Tapi kurasa kau mau,”
            “Tidak, astaga tidak. Itu karena aku marah sekali padamu, Anna,” ujarnya lagi, mengelak. Aku menggelengkan kepalaku. Ini sudah sangat jelas. Kehidupanku tidak akan pernah bahagia!
            Orang tuaku memiliki rahasia. Aku dijual kepada seorang Millioner. Aku menjadi submissive. Aku tidak tahu di mana orang tuaku berada. Aku mengalami kecelakaan. Aku mengalami perkosaan. Aku hanya memiliki Kathleen dan Justin yang mempedulikanku –untuk sekarang ini. Suamiku tidak mencintaiku. Aku juga kehilangan Nicholas! Aku menundukan kepalaku untuk menutupi kesedihanku yang sungguh mendalam. Ini benar-benar tidak adil.
            “Aku benar-benar butuh ruang Justin,” ujarku lagi. Ini sungguh berlebihan. Aku tidak bisa menampung segala masalah yang kuhadapi. Justin mencari wanita lain dan sekarang ..orang tuaku mempunyai rahasia yang seharusnya sudah kuduga dari awal! Sial, sial, sial! Ini sungguh menyakitkan.  Aku menggelengkan kepalaku lalu mendongakan kepalaku. Ternyata makan telah dihidangkan.
            “Makanlah Anna, jangan menangis,”
            “Bagaimana bisa aku tidak menangis? Orang tuaku sendiri menjualku kepadamu. Seorang dominan. Suamiku tidak mencintaiku. Aku diperkosa. Nicholas meninggal. Aku mengalami kecelakaan. Kau baru-baru ini memukulku. Apa kau pikir aku bisa menampungnya? Tidak! Ini sangat berlebihan Justin,” aku membodohi diriku sendiri. Aku tidak benar. Aku tidak memenuhi janjiku tadi siang. Aku bukan wanita yang kuat. Aku benar-benar lemah. Aku ..kepalaku sangat pening sekarang. Aku jatuh ke dalam lubangku sendiri dengan tubuhku yang hancur berkeping-keping.
            “Anna,” Justin membuat suara yang pelan, “tolong jangan pergi,” ujarnya memohon. Aku menggelengkan kepalaku dan mengambil serbet lalu mengelap wajahku yang terbanjiri oleh air mata. Perasaan ini tak dapat kutahan.
            “Kau memintaku untuk menjadi pembantumu Justin,” aku berbisik pelan.
            “Astaga, Anna. Apa aku harus membentakmu? Aku sudah bilang padamu, itu karena perasaanku yang mendominan akibat cemburu!” ia berseru, tidak berteriak. Aku menatap matanya. Tiba-tiba saja matanya berubah menjadi tatapan yang lembut. “Mata biru itu,” bisiknya. Aku tidak percaya kalau sebelumnya aku pernah bertemu dengan Justin.
            “Aku tidak lapar. Aku harus pergi,” ujarku, “suamiku bahkan menginginkan aku menjadi pembantunya,” ujarku lagi. “Dan ia bilang aku sepadan dengan bayaran hutang orang tuaku,”  kataku berdiri dari tempat duduk dan menghapus air mataku terus menerus. Mata Justin melebar, ia tidak percaya dengan kata-kataku dan ia memegang tanganku.
            “Anna, jangan pergi,” ucapnya, kali ini lebih tegas. Kemudian ia ikut berdiri. Tapi dengan cepat aku menarik tanganku untuk lepas dari genggaman tangannya. Berjalan melewati meja-meja yang berada di dalam restoran ini.
            “Anna!” teriak Justin mengejarku dari belakang. Aku membuka pintu restorannya dan benar-benar sudah berada di luar.
            “Mrs. Bieber,” suara berat dari Max langsung terdengar di telingaku. Ia menghalangi Justin dengan hanya berdiri di depanku. Tapi aku langsung mendorongnya, menyingkirkan tubuhnya dari hadapanku. Aku langsung berjalan untuk menyeberang. Tapi Max menahan tubuhku. Aku menjerit.
            “Anna!” teriak Justin yang sudah keluar dari restorannya. Aku menatap Justin dengan tatapan yang buram akibat air mataku yang mulai menggenang di kelopak mataku lagi. Ini sungguh menyedihkan. Tetap kuat, tetap kuat! Aku menyemangati diriku sendiri. Tapi tidak, aku jatuh berkeping-keping lagi. Air mataku mengalir kembali.
            “Lepaskan tanganmu darinya, Max,” ujar Justin. Sontak Max menjauh dariku dan aku memejamkan mataku .Tangan Justin mulai melingkar di pinggangku. Memelukku dengan erat.
            “Anna, aku tidak pernah menginginkanmu menjadi pembantuku. Kau lebih dari apa pun. Baiklah, aku harus benar-benar jujur,” ujarnya melepaskan pelukannya dan memegang bahuku langsung agar aku tidak langsung kabur darinya.
            “Anna Bieber, aku mencintaimu. Aku menyukaimu sejak aku bertemu dengan mata birumu. Aku tidak sadar selama seminggu lebih ini, aku telah menemukan si Mata Biru yang Manis. Dan sekarang aku bertemu denganmu lagi Anna. Semuanya berubah sejak orang tuaku menceritakan kehidupanmu tadi pagi padaku,” ujarnya menghelakan nafasnya dan menggelengkan kepalanya.
            “Aku benar-benar mencintaimu Anna. Dengan segala kekuranganmu. Aku akan melakukan apa pun agar kau tetap bersamaku, Anna,” ujar Justin, “Aku ingin pergi,” tukasku langsung.
            “Tidak Anna. Bukan itu. Aku ingin memperbaiki hubungan ini. Hatiku benar-benar hancur saat kau selalu mengatakan tidak padaku,”
            “Itu karena kau tidak pernah terbiasa dengan jawaban: Tidak,” ujarku melepaskan pengangan tangannya dari bahuku.
            “Aku mencintaimu Anna,”
            “Aku membencimu Justin Bieber sang Millioner!” aku berteriak padanya dan berlari sambil menangis melewati jalan raya. Ini benar-benar ..BRAK! Aku tersungkur terjatuh jauh di jalan.

            “Anna!!” aku mendengar Justin berteriak, tapi aku tidak mendengar apa-apa lagi. Kegelapan melingkupiku. Dan tenang sekali. 

1 komentar:

  1. "Yang jelas aku ingin membentur kepala Justin ke tembok agar ia sadar. Agar ia sadar kalau di sini, hidup, lahir untuk dirinya. Lahir untuk mencintainya! Tapi ia tidak merasakan itu. Ia tidak percaya padaku. Ia bajingan sialan! Aku sungguh …ya Tuhan, apa aku sanggup membencinya?"

    nyesek bener dah ah .-. sukses bikin gue benci sama Justin wakakak, Justin di JD ini loh ya :3 kalau di kehidupan nyata mah, ehem, gue cinta mati hihi~

    BalasHapus