Jumat, 02 Agustus 2013

Dominan - Submissive Bab 7

***

*Justin Bieber POV*

            “Anna,” aku menangis. Aku benar-benar menangis melihat tubuhnya berlumuran dengan darah. Kuelus kepalanya dengan lembut. Astaga, kumohon Tuhan, jangan ambil Gadis Kecil Mata Biru-ku ini. Aku benar-benar mencintainya sejak aku pertama kali bertemu dengannya. Tatapannya yang polos, tersenyum manis padaku. Rambutnya yang pendek dan ikal terlihat begitu menggemaskan. Ia sangat cantik dan manis saat ia berumur 2 tahun. Aku benar-benar memujanya saat itu. Dan sekarang, dengan mudahnya aku bisa mendapatkannya.
            Tapi apa yang telah kulakukan padanya? Aku memukulnya. Astaga, Tuhan, ampunilah segala dosaku terhadapnya. Aku tahu, aku manusia hina yang tidak dapat menemukan cinta. Tapi dengan dia. Dengan tatapan matanya yang lembut benar-benar membuatku jatuh cinta berkali-kali padanya.
            Hatiku pedih saat ia selalu menolakku. Aku merasa sangat bersalah padanya. Dengan segala perkataanku padanya. Itu semua karena aku tidak tahu ia siapa. Saat ia menolakku, hatiku hancur berkeping-keping. Saat ia menyebut kata Tidak, itu seperti ribuan jarum yang menusuk hatiku. Dan sekarang aku memangku kepalanya yang berlumuran darah. Aku dapat merasakan tulang punggungnya yang patah. Mobil sialan itu! Aku akan mencari siapa pun itu pelakunya. Aku ingin membunuhnya.
            “Anna, kumohon tetap sadar,” aku memegang pipinya dengan lembut. Darahnya. Darah istriku terus mengalir. Tuhan, ampunilah aku. Aku tidak ingin ia pergi dari kehidupanku secepat ini. Aku mencintainya. Dengan segala kekurangannya. Kepolosannya.
            “Max, tidak bisa kah kau membawa mobil sialan ini lebih cepat? Jika ia meninggal karena terlambat diselamatkan, kau akan kubunuh! Aku tidak pernah bercanda dengan itu Max,” aku berujar, membentak Max yang menyetir bagaikan siput. Sial! Mengapa rasanya lama sekali untuk sampai ke rumah sakit? Kumohon, Anna. Bertahanlah, sia-sia jika cinta ini tak dapat kau terima.

***

            Aku menunggu dengan penuh rasa kekhawatiran yang luar biasa. Aku tidak pernah khawatir berlebihan seperti ini. Ini benar-benar menyakitkan. Tubuhku rasanya disulut oleh api. Menunggu, menunggu, menunggu. Rasanya lama sekali menunggu Anna di dalam ruang operasi. Segalanya akan kulakukan agar ia tetap bertahan hidup. Aku ingin membagi dan menyalurkan cinta ini untuknya. Hanya untuknya. Tapi ia telah membenciku. Anna telah membenciku dan itu sangat menyakitkan. Kenyataannya bahwa Anna memang layak membenciku. Aku patut dibenci olehnya.
            Dengan segala yang telah kuperbuat padanya. Memintanya untuk menjadi submissive-ku. Tapi tidak sekarang. Aku telah membakar surat perjanjian sialan itu. Dan aku juga telah meminta ibuku untuk menghapus perjanjiannya dengan orang tua Anna. Anna tidak menggantikan uang. Anna bukan bayaran dari apa pun. Ia hanya datang untukku. Kami memang ditakdirkan bersama. Itu seharusnya aku tahu dari awal. Ini benar-benar salah.
            Melihatnya menangis benar-benar membuat hatiku keluar dari dalam tubuh dan kemudian ia menginjak-injaknya. Apa ini yang ia rasakan saat aku menolaknya? Saat aku melarangnya untuk tidak mencintaiku. Jika ya, rasanya memang benar-benar menyakitkan.
            Kumohon, biarkan Anna tetap hidup. Kumohon Tuhan. Hanya itu yang bisa kulakukan. Membisikan kata doa untuk istriku yang bertaruh nyawa di sana. Merasakan kesakitan yang pastinya sangat luar biasa sakit. Ia tertabrak oleh mobil hingga ia terpental jatuh beberapa meter dariku. Tulang punggungnya, aku bisa merasakan itu. Tulang punggungnya patah saat aku menggendongnya. Darahnya terus bercucuran dan wajahnya terus memutih karena kekurangan darah.
            Mendengar cerita dari orang tuaku tadi pagi benar-benar membuka mataku lebar-lebar. Saat mereka menyebutkan nama Anna, hatiku patah. Mengingat apa yang telah kulakukan padanya. Oh, Tuhan. Aku tidak akan pernah berhenti membicarakan apa yang telah kulakukan pada Anna. Karena itu telah menyakiti hati istriku. Wanita yang kucintai. Mata Biru yang sangat kucintai. Mata birunya benar-benar membuatku jatuh hati berkali-kali padanya. Aku berharap, ia menghirup nafas kembali, ia akan mempercayai semua perkataanku. Aku benar-benar mencintainya.
            Aku akan mencari orang tuanya. Kalau mereka masih hidup. Aku akan mencari Johnson Bannet dan akan memberinya balasan yang setimpal setelah ia memperkosa Anna Muda-ku.
            “Justin!” seru seorang wanita baya. Aku mendongak dan mendapati ibuku dengan wajah yang benar-benar khawatir. Aku berdiri dari tempat dudukku dan langsung memeluknya. Aku mencintainya, ibu. Aku sangat mencintainya. Aku akan melakukan apa pun agar ia tetap hidup di dunia ini. Setelah ia melewati kehidupan yang benar-benar suram, aku ingin menjadi matahari baginya. Pencerah kehidupannya. Kupeluk ibuku dengan sangat erat.
            “Aku sungguh mencintainya, ibu,” ujarku, menangis di bahunya. Ibuku menangis, memecah.
            “Ibu tahu, sayang. Ibu tahu. Anna wanita yang kuat. Ia tidak mungkin bersamamu jika ia bukan wanita yang kuat setelah ia melewati tahun-tahun penuh dengan tantangan,” ujar ibuku mengelus punggungku dengan halus. Aku hanya menangis tanpa bersuara dan terus menerus membisikan doa agar Anna, cintaku, istriku tetap hidup.

***

            Sudah berapa jam ini aku menunggu dokter untuk keluar dari ruanga itu. Tapi ia tidak keluar-keluar. Sekarang aku benar-benar putus asa. Ini sudah subuh. Orang tuaku juga sudah pulang. Mereka membujukku untuk pulang. Bagaimana bisa aku pulang ke rumah sedangkan istriku, di dalam sana, sedang bertaruh nyawa? Suster keluar masuk dari ruangannya dengan darah yang terbalut oleh darah Anna.  Sudah berkali-kali aku bertanya pada mereka, tapi mereka menyuruhku untuk menunggu karena ini gawat darurat. Sehingga aku di sini. Di ruang tunggu, menunggu Anna di dalam sana. Menggigiti kuku karena ketakutannya aku kehilangan dirinya. Max tampak terdiam, berdiri di depan, namun ia tidak menyandarkan tubuhnya di tembok.
            Menunggu lagi kemudian pintu ruang perawatan Anna terbuka. Seorang dokter dengan masker yang ia pakai keluar. Aku berdiri dan menatapnya matanya dengan tatapan memohon agar ia bilang bahwa Anna baik-baik saja.
            “Tulang punggungnya memang patah, tapi kami berhasil untuk menyembuhkannya. Tapi sekarang ini, ia sedang mengalami masa kritis. Ia juga kekurangan darah,”
            “Apa aku bisa menemuinya?” tanyaku khawatir. Anna kekurangan darah. Pantas ada beberapa suster yang bolak-balik membawa seplastik darah. Untuk Anna.
            “Anda bisa menemuinya di ruang pasien, Mr. Bieber. Untungnya tidak ada benturan pada kepalanya, meski kepalanya juga harus dijahit karena robek,” aku terjerembap. Jantungku seolah-olah diremas oleh Anna.
            “Dan tadi, jantungnya sempat berhenti berdetak,” ujarnya yang membuatku semakin terperosok masuk ke dalam lubang hitam yang membuatku tersesat. Astaga, Anna. Istriku. “Tapi untunglah, alat kejut jantungnya berguna sehingga ia dapat hidup kembali,” lanjut dokter itu.
            “Sekarang kita hanya dapat menunggunya bangun dari tidur lamanya, Mr. Bieber,” ucap dokter itu lagi. Ia mengenalku, tentu saja. Aku menganggukan kepalaku saat ia menepuk-nepuk punggungku dan melengos pergi dari hadapanku.
            Ana hampir meninggal.

***

            “Kau bajingan! Kau yang membuatnya seperti ini! Sialan kau Justin!” teriak Kath memukul-mukul dadaku dengan kencang. Pukulannya cukup menyakitkan. Tapi aku layak mendapatkannya. Anna tertidur dalam komanya yang begitu lama. Pagi ini Kathleen datang ke rumah sakit setelah ia ternyata diberitahu oleh orang tuaku bahwa Anna masuk rumah sakit karena kecelakaan. Sam, kekasihnya yang berada di belakangnya langsung menarik tangannya agar tidak memukulku lagi. Air matanya benar-benar membuktikan bahwa ia benar-benar menyayangi Anna.
            Aku telah menyakiti dua hati wanita. Dan salah satu wanitanya adalah sahabat yang mencintai istriku. Kath langsung memeluk Sam dengan erat dan menangis di dalam pelukannya. Sedangkan aku kembali tersungkur, terjatuh ke dalam tempat duduk yang berada di dekat tempat tidur Anna. Layar monitor denyut jantungnya terlihat begitu stabil. Ia bernafas dengan stabil. Perban telah mengelilingi kepalanya dengan rapi. Hebatnya tidak ada luka gores di wajahnya. Sehingga aku masih bisa melihat wajah cantiknya yang tertidur dengan lelap.
            Semua ini kulakukan untuk Anna. Aku meminta Max untuk mencari keberadaan orang tua Anna dan juga keberadaan Johnson. Aku memiliki detektif. Yeah, cukup mengagumkan. Dan kuharap mereka cepat mendapatkan mereka. Orang tuaku belum datang pagi ini.
            “Ini semua salahku. Aku seharusnya tidak memberitahu kau, bajingan sialan! Di mana tempat kerjaku dan Anna,” teriak Kath terus menerus. Sam telah membawanya ke atas sofa dan mereka terduduk di sana. Aku tidak berani menatap mata Kath. Tatapannya benar-benar penuh dengan kebencian. Berbeda dengan kemarin pagi. Ia luluh denganku. Tapi sekarang, ia benar-benar marah padaku. Seperti singa.
            “Maaf,” bisikku dengan suara yang pelan. Aku benar-benar menyesal dengan apa yang telah kuperbuat. Ini benar-benar ..seharusnya aku tidak memberitahu Anna tentang orang tuanya. Aku sungguh bodoh. Kumohon, Anna, bangun. Aku tersiksa di sini. Izinkan aku melihat mata birumu yang lembut itu. Tatapan polosmu. Suaramu yang sangat merdu di telingaku. Kumohon, bangunlah.
            “Hanya itu? Hanya itu yang bisa kau bilang bajingan sialan? Setelah apa yang telah kaulakukan pada Anna? Apa sekarang kau senang melihatnya terbaring di atas tempat tidur ini? Dengan alat bantu nafas? Apa kau senang?” teriak Kath padaku, ia sudah berdiri dan aku mendongak menatapnya. Astaga, Tuhan. Holy crap! Aku seperti melihat istri dari Lucifer sedang memarahiku. Sungguh, rambutnya mulai acak-acakan dan menyeramkan sekali.
            “Kathleen!” tegur Sam berdiri dan menarik Kath untuk keluar dari ruangan ini. “Maaf, bro. Kurasa kita harus pergi,” ujar Sam yang tampak tenang. Kath meronta-ronta  agar ia tidak dibawa keluar dari ruangan ini. Ia berteriak dan Sam langsung membentaknya. Lalu tidak ada suara lagi.
            Sam benar-benar sabar pada Kath. Tidak sama seperti aku yang tidak sabaran dengan Anna. Justru Anna yang sabar dengan sikapku selama seminggu lebih. Bahkan sekarang sudah dua minggu aku bersamanya. Dalam waktu dua minggu, aku mencintainya. Dengan alasan yang cukup konyol.
            Mataku kembali beralih pada Anna yang masih terbaring dengan tenang. Seakan-akan tidak ada masalah yang menghampirinya.
            “Kumohon Anna, bangunlah. Aku akan melakukan apa saja. Aku akan menebus segala kesalahanku. Apa yang telah kuperbuat. Aku benar-benar menyesal Anna,”
            “Aku ingin memiliki anak. Memiliki keturunan darimu. Aku akan melepas spiral sialan itu seperti yang kau minta. Seperti yang kaubilang, kau menginginkan anak,”
            “Aku juga. Aku juga ingin memiliki anak darimu Anna. Kuharap anak kita nanti memiliki warna mata sepertimu. Kumohon Anna, bangunlah. Aku sangat mencintaimu. Kapan kau akan bangun?” tanyaku dengan tetesan air mata yang mulai mengalir. Kumohon Tuhan, jangan ambil Anna dariku. Ia satu-satunya orang yang benar-benar membuatku berubah kemarin. Aku mencintainya. Tolong jangan ambil dia daripadaku. Ia sangat berharga. Lebih dari apa pun.
            “Anna, kumohon,” ucapku lirih dan mencium tangannya yang dingin.

***

            Aku marah. Benar-benar marah pada diriku sendiri. Sudah satu minggu. Sudah satu minggu dan Anna belum bangun dari komanya. Keadaannya juga tidak stabil. Kadang membaik dan kadang juga tambah buruk. Bahkan ia hampir meninggal lagi. Aku juga marah pada Anna. Mengapa sepertinya ia tidak bisa mendengar bisikan setiap harinya untuk bangun dari tidur lamanya? Aku mencintainya maka aku membutuhkannya. Sial, Anna! Aku menangis.
            Kuhapus air mataku. Aku benar-benar rapuh sekali tanpanya. Sudah satu minggu juga aku tidak bekerja. Aku menunggunya, aku tidak ingin melewati kapan ia bangun. Bunga-bungan yang tiap hari kubeli untuknya tak pernah ia endus. Aku ingin ia tersenyum padaku, aku ingin ia mengatakan padaku kalau ia mencintaiku. Karena selama ini ia tidak pernah mengucapkan ‘aku mencintaimu’ padaku. Tidak pernah, sekali pun. Hanya ‘aku membencimu’ dan itu sangat menyakitkan. Aku tahu ia mencintaiku. Aku tahu itu. Tapi aku ingin ia juga mengucapkannya.
            Terduduk di atas kursi, aku memegang tangan dingin Anna dan menangis. Membisikan setiap doa harapan yang kuharap akan dikabulkan. Air mataku menetes ke tangannya lalu pada kasur yang ia tempati. Berharap, berharap. Anna, kapan kau bangun sayang? Suamimu di sini mencoba dan berusaha untuk membuatmu bangun. Tidakkah kau kasihan padaku sayang? Aku benar-benar terpuruk tidak dapat melihat matamu yang indah dan suaramu yang menyejukan tubuhku.
            “Anna,” aku berbisik. Dan mulai membungkukan tubuhku, mengecup bibirnya. Aku membiarkan air mataku berada pada bibirnya. Berharap ia akan merasakan rasa asin di sana.
            “Aku marah, Anna. Kapan kau bangun sayang? Kau tahu, Dr. Connel telah mencabut spiral itu dari tubuhmu. Kita akan memiliki anak jika kau bangun. Kumohon Anna,” bibirku mencium tangannya terus menerus. Berusaha untuk menghangatkannya. Tapi tetap saja. Ia seperti mayat, terdiam, tak bersuara. Setiap detik aku menatap bibirnya, aku mendengar ia berteriak padaku. Berteriak padaku bahwa ia membenciku.
            “Anna bangun!” aku berteriak padanya. Aku benar-benar marah. Kapan ia akan mendengarku? Aku bosan. Aku butuh dirinya. Tawanya. Godaannya. Kepolosannya. Aku membutuhkannya. Kemudian aku mendesah pelan dan menggelengkan kepalaku. Menundukan kepalaku, penuh dengan perasaan yang tercabik-cabik.
            “Anna, kumohon bangun,” bisikku dengan suara kecil.
            “Justin?” kudengar suara malaikatku dan mendongak. Anna?
***

*Anna Bieber POV*

            Aku melihat dokter yang memeriksaku. Kepalaku masih terasa pening dan punggungku luar biasa sakit. Apalagi suster sialan ini menyuruhku untuk sedikit duduk. Tapi aku menjerit, kesakitan, kau tahu. Yeah, aku tahu. Tulang punggungku patah tapi kata dokter tidak begitu parah. Mungkin 3 bulan lagi akan cepat sembuh. Yeah, aku juga berharap cepat sembuh. Entah apa yang dokter bicarakan tapi kemudian aku melihat Justin keluar dari kamar mandi. Lelaki itu benar-benar tampan.
            Setelah saat tadi aku bangun, aku melihatnya begitu hancur. Dia tidak bersih. Kuyakin ia tidak mandi. Sudah berapa lama aku tidak bangun? Justin tersenyum menatapku. Rambutnya basah. Kurasa ia baru saja mandi di dalam sana. Lucu. Kemudian dokter langsung menarik tangan Justin untuk keluar dari ruangan ini. Suster yang berada di sebelahku terus menulis-nulis sesuatu. Entah apa yang ia tulis.
            “Sudah berapa lama aku berada di sini?” tanyaku akhirnya menemukan suaraku.
            “Sekitar satu minggu. Satu minggu lebih bahkan,” ujar suster itu dengan suara yang lembut. Gila! Aku tidak bangun selama satu minggu. Sialan! Apa yang kulewatkan? Di mana Kathleen? Terlalu banyak bertanya, kepalaku semakin pening.
            “Bagaimana punggungmu?” tanya suster ini menyentuh tanganku.
            “Masih sakit. Apa ini akan cepat sembuh?” tanyaku khawatir. Aku butuh keterangan dua kali.
            “Seperti yang Dr. Selvator bilang Mrs. Bieber, Anda bisa sembuh dalam waktu 3 bulan,” balasnya dengan senyuman. “Mr. Bieber sangat mencintai Anda, Mrs. Bieber,” lanjutnya lagi. Mengapa tiba-tiba ia mengatakan itu padaku? Sial! Aku menatapnya dengan tatapan bingung dan kurasa keningku telah berkerut.
            “Hmm, yeah, dia sangat mencintaiku,” aku tidak ingin melanjutkan percakapan ini sehingga aku memejamkan mataku.
            “Cepat sembuh Mrs. Bieber,” ujarnya lagi kemudian berjalan untuk keluar dari kamarku. Oh, apa yang baru saja Justin lakukan selama seminggu lebih ini padaku? Tadi aku mendengarnya berteriak padaku, kurasa begitu. Tapi kurasa tidak. Dan ia terus menciumi tanganku, meski mataku belum terbuka. Aku belum cukup kuat untuk membuka mataku. Dan bibirku, aku merasakan asin di sana. Apa Justin baru saja menangis? Apa dia menangisiku? Aku tidak tahu. Justin terlihat begitu berantakan dan aku menyuruhnya untuk membersihkan dirinya. Dengan semangat ia melakukan itu sementara ia memanggil dokter. Jadi selama aku diperiksa, Justin sedang mandi di dalam kamar mandi.
            Dan apa Kathleen sudah datang ke sini? Aku membuka mataku dan melihat ke sekeliling. Banyak sekali bunga yang bertebaran. Kulihat di sofa begitu banyak bunga mawar yang layu. Apa Justin yang membawa itu? Oh, astaga. Jika aku bangun dari dulu, pasti aku akan menghirup bunga-bunga itu. Apa Justin benar-benar mencintaiku? Aku tidak tahu.
            Aku mencintainya, tentu saja. Tapi dengan apa yang telah ia perbuat, tidak sepadan untuk membalas cintanya padaku. Bahkan ia tidak membalasnya. Mungkin akhir-akhir ini ia memang perhatian padaku. Tak terasa kepalaku sudah tak pening lagi. Bersamaan dengan itu, Justin muncul. Ia memakai celana jins berwarna hitam dan kaos berwarna ungu. Oh, ia terlihat begitu muda dan tampan. Ia memakai sepatu converse berwarna putih. Rambutnya masih basah. Senyumnya benar-benar sumringah. Kakinya menghantar tubuhnya untuk mendekatiku lalu ia membungkuk. Aku menatapnya dengan bingung. Wajah kami benar-benar dekat. Kutelan ludahku. Oh, astaga bibir itu. Akankah ia menciumku?
            “Hei,” sapanya dengan lembut. Menyentuh pipiku dengan lembut. Tatapannya begitu lembut namun aku bisa melihat kesakitan di sana. Aku hanya tersenyum padanya. Teringat dengan apa yang terakhir kukatakan padanya bahwa aku membencinya. Aku tahu aku telah mengatakan omong kosong padanya. Hah! Mana mungkin aku membencinya. Itu hanya karena aku diliputi oleh amarah akibat orang tuaku menjualku pada Justin. Ia menjadikanku seorang submissive dan  ia memukulku.
            “Apa yang kaupikirkan sayang?” tanya Justin lagi.
            “Aku rasa aku lapar,” ujarku dengan suara yang lemah. Kemudian ia menjauh dan mengambil ponsel dari kantong celananya. Kurasa ia menghubungi Max.
            “Tentu saja. Kau hanya makan infuse selama seminggu ini. Kau tidak boleh tambah sakit,” ujarnya sambil menunggu jawaban. Oh, mengapa sekarang Justin terdengar begitu ..perhatian? Aku tidak tahu. Kemudian ia berbicara pada Max. Aku tidak mendengarkan apa yang ia bicarakan. Mataku kembali lagi terjatuh pada lantai. Oh, astaga. Banyak sekali bunga yang bertebaran di sini. Mengapa tidak ada yang membersihkannya? Suster tadi bahkan tidak keberatan dengan keberadaan bunga-bunga yang sudah layu itu.
            “Mine?” panggil Justin. Aku langsung menoleh padanya. “Apa kau bisa duduk?” tanya Justin. Aku menggelengkan kepalaku. Ini sangat sakit. Kemudian ia tersenyum lembut padaku dan terduduk di atas kursi.
            “Kau yang membawa semua bunga itu?” tanyaku, akhirnya. Ia menganggukan kepalanya. Whoa! Sial, sudah kuduga ia yang membawanya. Dan itu adalah pemikiran yang konyol. Tidak mungkin Kathleen yang membawanya.
            “Jadi, bagaimana perasaanmu Mine?” tanyanya memegang tanganku dan mengelusnya. Aku bisa merasakan sesuatu yang berbeda dari pegangan tangan Justin. Bukan mendramatisir tapi kali ini tangannya sangat lembut dan hangat.
            “Kau terlihat berbeda Justin,” bisikku dengan suara yang pelan. Ia terkekeh pelan. Suara itu. Benar-benar suara yang kurindukan. Bagaimana mungkin aku bisa bertahan dalam tidurku yang lama selama seminggu ini tanpa melihat Justin? Rasanya begitu susah sekali untuk menerima kenyataan itu.
            “Aku benar-benar merindukanmu Mine. Aku bahkan tidak mandi tiga hari terakhir ini,” ujarnya. Oh, Tuhan. Benarkah? Aku sulit untuk mempercayainya setelah kejadian saat ia membawa wanita sialan itu ke rumah.
            “Jadi apa yang kaulakukan selama aku tidak bangun dari tidur?” tanyaku.
            “Menangisimu. Berharap. Berdoa. Aku mencintaimu, kau tahu itu bukan?” Justin mengucap kata-kata itu dengan ketulusan. Oh, Tuhan. Ini benar-benar cobaan. Haruskah aku menerimanya? Apa aku harus memberinya kesempatan yang kedua? Aku juga ingin dicintai olehnya. Aku ingin ia percaya padaku. Jika ia percaya padaku, aku akan percaya padanya.
            “Aku tidak tahu kau mencintaiku, Justin,” aku menggodanya. Kulihat ia merengut.
            “Kumohon, Anna. Percaya padaku. Aku benar-benar mencintaimu. Tidak mungkin aku akan meninggalkan pekerjaanku hanya untuk menunggumu bangun. Tidak mandi. Bahkan aku tidak makan makanan kesukaanku,”
            “Apa hubungannya dengan makanan kesukaanmu?” tanyaku bingung.
            “Biasanya itu akan membuat hatiku lebih baik,” ujarnya menatap pada selimutku. Aku terkekeh pelan namun aku langsung berhenti tertawa. Punggungku tiba-tiba saja sakit. Kulihat mata Justin melebar dan ia hendak berdiri. Tapi dengan cepat aku memegang tangannya.
            “Tidak, aku tidak apa-apa,” ujarku langsung. Ia lega begitu saja.
            “Apa kau ingin memberiku kesempatan yang kedua?” tanya Justin, terdengar begitu terpuruk. Matanya memohon padaku. Aku harus memberikan kesempatan kedua untuk Justin. Ia telah melakukan ini untukku. Bukan karena aku juga merasa bersalah atau merasa berutang budi pada Justin. Tapi aku memang tidak bisa menolaknya. Justin adalah cobaan terberatku. Atau bisa kubilang, jika kau mencintai seseorang, maka ia akan menjadi seseorang yang akan memberikan cobaan terberat dan kebahagiaan yang sangat memuaskan. Aku tahu menangis bukanlah jalan keluar dari segalanya, tapi air mata dapat membuktikan seberapa cintanya aku pada Justin.
            “Apa kau berjanji untuk ti—“
            “Anna, aku sudah bersumpah dan berjanji pada Tuhan untuk tidak akan meninggalkanmu dalam keadaan apa pun. Apa kau akan percaya padaku sama seperti sebelum aku memukulmu?” tanyanya penuh dengan kepahitan. Oh, ini sungguh salah. Aku tidak ingin melihatnya begitu terpuruk seperti ini.
            “Aku sudah mencabut spiral dari tubuhmu,” ujarnya. Sekarang jantungku berada di mulutku. Apa? Benarkah? Ia tertawa dan mengelus tanganku dengan lembut.
            “Yeah, aku ingin memiliki anak darimu juga. Tapi aku juga tidak ingin cepat-cepat memiliki anak,” ujar Justin mencium tanganku. Aku menganggukan kepalaku dan tersenyum. “Aku juga telah membakar surat perjanjian sialan itu,” tambahnya. Sekarang jantungku sudah benar-benar berada di luar tubuhku namun kupu-kupu berterbangan di dalam perutku. Astaga, benarkah ia melakukan itu? Apa itu berarti aku bukan submissive-nya lagi?
            “Aku bukan submissive-mu lagi?”
            “Yeah, kau istriku, Anna. Sejak kita menikah, itu memang sudah takdirnya,” ujarnya. “Jadi kau menjawab Ya?” tanyanya.
            “Untuk apa?”
            “Untuk memberiku kesempatan kedua?”
            “Kau ingin menciumku setelah aku mengatak Ya?” tanyaku menggodanya. Ia tertawa, tertawa lepas. Bahkan kepalanya sambil terdongak ke belakang. Senang melihatnya tertawa. Aku meremas tangannya, lembut dan halus.
            “Kau benar-benar nakal, Mine. Kau baru saja bangun dan sekarang kau sudah membuatku bergairah,”
            “Kau juga. Tidak apa bukan berbuat nakal kepada suami?” tanyaku menggodanya dan memberikan senyuman genit padanya. Ia membungkuk dan menarik leherku lalu ia mengecup bibirku, lama. Kulepas ciuman darinya.
            “Ya,” balasku.
            “Aku sungguh mencintaimu,” bisik Justin dengan suara kecil di telingaku lalu ia menggigit telingaku, membuatku menjerit. Namun jeritanku terhenti saat aku merasa punggungku kesakitan. Sial, ini benar-benar tidak nyaman. Matanya melebar dan aku meremas tangannya. Ia hendak pergi. Sial! Ia terlalu khawatir padaku. Padahal aku tidak begitu begitu kesakitan.
            Justin kembali terduduk di kursinya. Dan menatapku dengan penuh kelembutan yang ia bisa. Masih dalam keheningan, tiba-tiba aku merasa ingin buang air kecil. Sial.
            “Justin, kurasa aku ingin buang air kecil,”
            “Apa?” ia tersentak, matanya melebar.
            “Aku ingin buang air kecil,” ujarku, seperti anak kecil. Sial, aku benar-benar malu. Mata Justin semakin melebar. Oh, Tuhan. Baiklah, ini dia. Aku akan diantar buang air kecil oleh suamiku sendiri. Oh, ini pasti akan sangat intens sekali.

***

            “Bagus. Buat dia babak belur, tapi jangan sampai mati,” ujar Justin dalam telepon. Aku menatap Justin dengan bingung. Sekarang aku sudah bisa duduk, meski sebisa mungkin aku tidak melakukan banyak gerakan. Karena itu benar-benar membuatku sakit. Kathleen belum datang juga. Ini sudah siang dan aku sudah makan sarapanku. Kemudian Justin memasukan kembali ponselnya ke dalam kantong celana dan ia membalik badannya, mataku dan matanya langsung bertemu.
            “Siapa?” tanyaku dengan penasaran.
            “Johnson Bannet. Aku sudah menemukannya. Dia berada New York, sial. Tapi sudah dibawa ke sini. Max –“
            “Dia ke sini?”
            “Tenang sayang, dia tidak akan pernah hidup bahagia,” ujarnya padaku. Dan ia melangkahkan kakinya mendekati tempat tidurku. Lalu tangannya memegang tanganku untuk yang kesekian kalinya.
            “Mengapa?”
            “Dia telah merusak kebahagiaan Mata Biru-ku,”
            “Kau menyukai mata biruku?” tanyaku semangat. Aku senang jika ia menyukai mataku. Kemungkinan besar, ia akan terus menatap mataku. Dan aku juga ingin menatap matanya terus menerus. Ada kedamaian di sana. Dan sekarang aku merasa terlindungi jika bersama dengannya. Mencintai seseorang memang tidak salah, tapi siapa yang kita cintai? Itu adalah pertanyaan pertama jika kita mencintai seseorang. Dan aku, Anna Bieber, mencintai seorang dominan yang senang sekali mengatur diriku. Mencintai seorang yang sebenarnya kasar dan sangat keras tapi denganku, ia lembut. Ini sebuah perubahan yang besar dalam dirinya.
            “Sejak pertama kali aku bertemu denganmu, Mine. Kau benar-benar mempesona, menggemaskan dan polos. Sama seperti sekarang. Tatapan polosmu itu,” ujarnya menyentuh pipiku lalu ia menarik kepalaku dan mengecup bibirku dengan lembut. Aku menghisap bibir bawahnya dengan lembut. Aku menyukai bibirnya. Ia mengerang.
            “Tidak, Mine. Tidak sekarang. Jangan sekarang. Aku khawatir dengan keadaanmu,” ujarnya menolakku. Baiklah, aku tahu keadaanku memang tidak memungkinkan. Tapi aku merindukan tubuhnya. Sekarang aku merasa begitu nakal.
            “Kapan Kathleen akan datang?” tanyaku mendesah pelan. Ia terduduk di atas kursi sebelah tempat tidur. Mengelus tanganku lagi. Bahkan sekarang tanganku sudah hangat karena elusan tangannya.
            “Sebentar lagi, kurasa,” balasnya.
            “Mengapa kau melakukan ini?” tanyaku.
            “Mencari Johnson Bannet? Oh, Anna. Aku tadi sudah bilang padamu, aku melakukan ini karena ia telah merebut kebahagiaanmu. Bahkan keperawananmu yang seharusnya untukku,”
            “Justin!” aku menegurnya, kemudian ia terkekeh pelan.
            “Aku mencari orang tuamu. Dan Anna, orang tuamu telah meninggal, aku sungguh minta maaf,” ujarnya yang membuat jantungku seperti diremas. Oh, waktunya benar-benar tepat sekali Justin. Tapi aku mencoba untuk terlihat tegar dan aku meremas tangannya.
            “Tidak apa-apa, Justin,”
            “Mereka kecelakaan untuk yang kedua kalinya,” lanjut Justin. Dan sekarang aku merasa ingin menangis. Berarti selama ini orang tuaku masih hidup. Oh, astaga. Ini sungguh menyakitkan. Tapi aku mencoba untuk tidak menangis.
            Kemudian pintu terbuka, “Anna! Terima kasih Tuhan!” teriak Kathleen kegirangan.
****

            Mataku berair. Menatap pada kedua batu nisan yang berada di hadapanku. Oh, astaga. Orang tuaku benar-benar sudah meninggal. Dan mereka meninggal sejak dua tahun yang lalu. Ini sungguh menyakitkan. Justin berada di belakangku dan memegang pundakku dengan lembut. Ia mengusapnya, berusaha untuk menenangkanku. Aku sedih karena aku tidak dapat menghabiskan waktu remajaku bersama mereka. Aku tidak dapat merasakan masa remaja yang seharusnya. Begitu susahnya aku untuk tidak bergantung kepada orang lain. Karena sudah tidak ada lagi keluarga yang dapat kudatangi. Atau lebih tepatnya, tidak ada yang mau menerimaku lagi.
            Dan yang lebih menyesakan lagi adalah orang tuaku selama ini masih berada di Atlanta. Tapi apa yang dapat kuharapkan sekarang? Membuat mereka hidup? Tidak. Aku harus menerima kepergian mereka. Aku yakin mereka tenang di sana. Mereka telah melakukan yang terbaik untukku. Meski kenyataannya adalah mereka menjualku kepada keluarga Millioner. Aku mendesah dan menyeka hidungku.
            Tiga bulan ini Justin memintaku untuk diam di rumah dan tidak pergi kemana-mana. Ini demi kesehatanku. Maksudku, agar punggungku cepat sembuh. Dan kenyataannya, punggungku sudah sembuh dan tidak sakit lagi. Sehingga sekarang, akhirnya, aku bisa melihat pemakaman orang tuaku. Kepalaku pening dan aku memutuskan untuk pulang.
            “Ada apa, sayang?” tanya Justin menarik tanganku. Aku menggelengkan kepalaku dengan lesu. Akhir-akhir ini aku merasa begitu mual dan namun nafsu makanku bertambah. Aku pikir aku hamil. Kurasa begitu. Tapi aku tidak begitu yakin. Tidak mungkin secepat itu. Meski aku dan Justin memang sering melakukan hubungan badan sejak 1 bulan yang lalu. Tapi itu tidak mungkin terjadi.
            “Kepalaku pening,”
            “Pening? Mari kita pulang,” ujar Justin langsung menggendongku. Aku mau-mau saja digendong oleh Justin. Bahkan berhubungan badan sambil berdiri seperti ini lebih enak. Tapi ini hanyalah gendongan biasa. Aku memeluk leher Justin dan menyandarkan kepalaku pada bahunya. Tangannya berada di bokongku dan aku membiarkannya. Kita suami-istri. Justin berhak atas tubuhku.
            “Kau ingin ke dokter?” tanya Justin. Aku menggelengkan kepalaku dan membalikan kepalaku pada leher Justin. Bibirku sudah berada di lehernya, aku menggodanya. Kucium leherku dengan lembut dan ia menggeram.
            “Anna, jika kau melakukan itu, kita bisa melakukannya di dalam mobil,” tegur Justin yang sudah keluar dari gerbang pemakaman. Justin terus berjalan melewati trotoar. “Dan kau tambah berat,” tambahnya lagi. Aku mendongak dan menatap wajah Justin.
            “Benarkah?”
            “Ya, tapi aku tidak begitu yakin. Tapi aku senang,” ujarnya tersenyum padaku dan mengecup bibirku. “Kau begitu kurus jadi aku senang jika kau bertambah berat badanmu,” bisiknya kembali mengecup bibirku. Aku tertawa dan membalas ciumannya.

***

            “Tidak. Jangan, aku ingin kau tetap di dalam kamar,” ujarku menarik tangannya agar ia tidak meninggalkanku. Ia ingin mengambil ponselnya yang ia taruh di dalam ruang kerjanya. Tapi aku tidak tahu apa yang merasuki diriku, tapi rasanya aku benar-benar membutuhkannya. Tubuhku begitu lemah dan aku ingin ia memelukku. Justin mendesah pelan.
            “Aku hanya sebentar saja, Anna. Tidak akan lama. Dan aku juga ingin mengambilmu air minum,” ujarnya lagi, menatap mataku dengan lembut. Mendesah pelan, aku menganggukan kepalaku dan membiarkannya keluar dari kamar. Sudah tiga kali ini, malam ini, aku mual di kamar mandi. Benar-benar lemas sekali tubuhku. Kurasa aku memang membutuhkan dokter. Atau mungkin aku harus pergi ke apotik untuk mengambil alat tes kehamilan? Aku tidak tahu apa ini benar-benar terjadi atau tidak, tapi aku juga sering buang air kecil. Bukankah itu juga tanda-tanda kehamilan di awal-awal bulan?
            Selama tiga bulan ini Justin begitu perhatian padaku. Saat keluar dari rumah sakit, ia merawatku penuh dengan kasih sayang. Aku tidak tahu apakah ini mimpi atau tidak, tapi ia benar-benar menyayangiku. Dan aku berterima kasih kepada Tuhan karena ia benar-benar telah berubah. Pintu kamar terbuka lagi dan muncul seorang pangeran kesayanganku dengan ponsel yang berada di tangan kirinya dan air minum di tangannya yang lain. Ia tersenyum dan aku langsung terduduk.
            “Kathleen bilang ia ingin datang ke sini besok, apa itu tidak apa-apa?” tanyaku sambil mengambil air minumku dari tangan Justin. Yeah, Kathleen mengirimiku pesan kemarin bahwa ia ingin datang ke sini. Tapi Justin langsung menggelengkan kepalanya.
            “Kau harus pergi ke dokter, Mine,” balasnya. Aku mendesah pelan dan meneguk air minumku lalu menaruh gelasnya di atas meja dekat tempat tidur kami.
            “Aku tidak apa-apa,”
            “Tapi kau mual-mual sayang. Aku tidak ingin terjadi sesuatu padamu,” katanya sambil menaruh ponselnya di dekat gelas air minum lalu ia mulai naik ke atas tempat tidur. Tubuhnya mulai berbaring di sebelahku. Aku ikut berbaring.
            “Kathleen bisa datang sore atau malam,” ujarku. Oh, kumohon. Aku benar-benar ingin bertemu dengan Kathleen. Sudah seminggu lebih ini aku tidak bertemu dengannya. Dan Justin melarangnya. Aku ingin menceritakan perkembangan Bee dan Boo padanya. Bee dan Boo benar-benar akur. Mereka sering bermain. Oh, aku senang sekali memiliki anjing seperti mereka.
            “Mari kita bicarakan itu besok, sekarang aku ingin mencumbui istriku,” ujar Justin menarikku ke dalam pelukannya. Aku tertawa. Kaki Justin sudah menindih kakiku dan salah satu tangannya sudah berada pada pinggangku. Melingkar di sekitar tubuhku. Dia tidak langsung menciumku, melainkan ia hanya menatap mataku. Aku terdiam, tidak tahu apa yang harus kukatakan padanya. Namun aku juga menjatuhkan tanganku pada pinggangnya, tidak butuh waktu lama, tanganku sudah berada di belakang kepalanya. Mengelus rambutnya yang berwarna cokelat itu dengan lembut.
            “Apa?” tanyaku untuk mengurangi keheningan. Justin tidak memberikan ekspresi apa pun padaku. Hanya wajah datarnya. Dia benar-benar susah ditebak.
            “Aku menyukai matamu,” bisiknya, akhirnya senyum kecilnya terlihat. Aku ingin tertawa.
            “Hanya mataku?” tanyaku menggodanya dan aku memajukan wajahku pada wajahnya. Ia menggelengkan kepalanya.
            “Seluruh tubuhmu, itu sebuah pemandangan yang benar-benar mengagumkan,” katanya sambil menarik wajahku padanya dan mulai mengecup bibirku dengan lembut. Kami berciuman dengan lembut. Lidah kami saling bertarung tanpa bernafas.
            “Aku. Mencintaimu. Anna.” Ujarnya di sela-sela ciuman kami, kemudian ia mulai berada, melayang di atasku. “Segalanya, aku mencintaimu. Kau adalah segalanya,” lanjut lagi dan menarik kepalaku ke atas, ia mengangkangiku. Oh,benar-benar indah. Aku juga ingin berhubungan badan lagi dengannya.

***


            “Anna hamil?” tanya Justin terkejut. Oh, astaga. Ini bukan keterkejutan wajah yang kuharapkan dari wajahnya. Ia bukan terkejut senang, tapi terkejut ketakutan. Bukankah ia menginginkan anak dariku? Kupikir ia memang menginginkannya. Dr. Connel yang berada di depan kami tersenyum dan menganggukan kepalanya.
            “Umurnya masih 1 bulan, seperti yang tadi kita sudah liat di layar monitor,” ujar Dr. Connel. Well, bukan Justin yang lihat. Tapi hanya aku dan Dr.Connel yang melihatnya. Dan memang aku hamil. Aku memegang tangan Justin dan menoleh padanya lagi. Wajahnya pucat pasi. Astaga, apa dia tidak menyukai kehamilanku? Justin lalu menganggukan kepalanya.
            “Terima kasih banyak,” ujar Justin menarik tanganku untuk berdiri dari tempat duduk. Dr. Connel hanya menganggukan kepalanya dan kemudian kami berjalan keluar dari ruang pemeriksaan. Justin menutup pintunya dan menarik tanganku lebih cepat untuk keluar dari tempat praket Dr. Connel. Astaga, aku bisa melihat wajah Justin yang mulai memerah. Astaga, bukankah ia memang menginginkan anak dariku? Aku terdiam dan hanya mengikutinya berjalan hingga kami sudah berada di trotoar dan Justin mulai mengarahkan kunci mobilnya pada mobil hingga kunci pintu mobilnya terbuka saat Justin memencet tombolnya. Ia membuka pintu penumpang di depan untukku lalu aku langsung masuk dan terduduk. Mataku melihat Justin yang melewati mobil bagian depan dan mulai membuka pintu pengemudi.
            Oh, astaga. Aku tidak pernah melihat wajah Justin yang begitu menegang dan menakutkan. Namun aku tahu ia berpikir sekarang. Bukankah seharusnya ia tersenyum atau bersorak senang karena kehamilanku? Ini anaknya juga. Kemudian Justin sudah terduduk dan memegang setir lalu ia mendesah. Ia mulai menyalakan mobilnya dan keluar dari parkiran.
            Hening dalam mobil Justin dan aku hanya dapat menatapnya yang melihat jalan dengan penuh konsentrasi. Oh, ini bukan reaksi yang kuharap. Well, aku yang meminta Justin untuk membawaku ke dr. Connel untuk memeriksa diriku. Dan benar saja, aku memang hamil. Aku senang karena aku hamil. Namun aku tak senang saat aku melihat wajah Justin yang langsung pucat dan terlihat begitu tegang.
            “Justin, bicaralah,” akhirnya aku mengeluarkan suaraku. Justin tidak menjawabku, justru ia semkain mempercepat kecepatan mobilnya.
            “Apa yang harus kubicarakan Anna?” tanyanya, setelah aku menunggu cukup lama untuk mendengar suaranya. Akhirnya aku dapat mendengarnya lagi. Tapi aku tidak menatap Justin, mataku terjatuh pada kukuku dan memain-mainkannya.
            “Kehamilanku,” bisikku dengan suara yang kecil. Aku tak berani menatapnya setelah ia menggunakan nada dingin padaku. Oh, mengapa rasanya begitu aneh saat aku mendengar suaranya yang dingin seperti itu? Apa ada masalah dengan kehamilanku juga? Bagaimana pun juga ini adalah anaknya. Dan ia juga menginginkan anak ini, benar bukan? Setelah kita menunggu selama tiga bulan. Justin juga harus berbagi mulai dari sekarang.
            “Aku senang,”
            “Tapi kau tidak memperlihatkan kesenanganmu,” ujarku langsung membalasnya. Saat aku mendongak, kami sudah berada di depan pintu gerbang rumah kami. Pintu gerbang kemudian terbuka dengan sendirinya dan Justin kembali melajukan mobilnya untuk masuk, belum menjawab mobilku.
            Lalu mobilnyaberhenti di dalam garasi. Aku turun dari mobil dan berjalan menuju halaman rumah. Membiarkan Justin menenangkan pikirannya. Entahlah, kurasa ia cukup terkejut dengan berita tadi. Kurasakan tangan Justin yang mulai menarik pinggangku. Senyumanku mengembang. Aku menyukai Justin yang lembut dan tak dingin.
            “Aku senang sayang,” bisiknya dengan suara yang lembut sekali. Aku tidak tahu, apa Justin benar-benar mengatakan kalau ia senang atau tidak. Mungkin ia hanya ingin membuatku senang. Pintu rumah terbuka, dibuka oleh pelayan.
            Justin melepaskan tangannya dari pinggangku lalu memegang tanganku menarikku menuju ruang tamu. Aku telah memiliki bayi dalam perutku. Anak dari seorang Justin Bieber. Jika ia lelaki, aku harap ia memiliki wajah seperti Justin. Pasti ia akan menjadi lelaki yang sangat tampan seperti ayahnya. Dan memiliki mata yang seperti ayahnya. Itu akan membuat mereka seperti kembaran. Jika ia perempuan, aku ingin ia memiliki wajah sepertiku dan mata sepertiku. Tapi aku tidak tahu, itu hanyalah Tuhan yang merahasiakannya.
            Kami terduduk di atas sofa. Justin mendesah pelan dan mengadahkan kepalanya pada sisi sofa.
            “Aku takut aku tidak akan menjadi ayah yang baik,” ujar Justin akhirnya memberitahu alasannya mengapa ia tidak begitu senang. Tapi dengan lembut, aku memegang tangan Justin dan menaruhnya di atas perutku.
            “Kau akan menjadi ayah yang sangat baik, Justin. Aku sangat yakin itu,” ujarku dengan senyuman. Lalu Justin mulai menarik kepalanya dan menatapku dengan tatapan bingung dan ragu-ragu. Lalu ia menggelengkan kepalanya.
            “Setelah apa yang telah kulakukan padamu, aku hanya ..” suaranya menghilang dan ia menggelengkan kepalanya dengan lesu. Astaga, Justin tentu saja akan mencintai anak ini seperti ia mencintaiku. Ia tidak mungkin akan menyakiti anak dariku. Ia mencintaiku otomatis ia akan mencintai anak ini. Anaknya dan anakku. Darah dagingnya sendiri.
            “Bagaimana dengan punggungmu?” tanya Jutsin khawatir.
            “Astaga, Justin. Aku sudah sembuh. Anak kita tidak akan menyakitiku,”
            “Baiklah. Aku sering memukul orang, Anna. Sebelumnya, aku memang sering memukul wanita. Bahkan kau,” aku mengangkat tanganku untuk menghentikan kata-katanya. Aku tidak ingin mendengar itu lagi. Ini sudah aku bicarakan berkali-kali dengannya. Aku sudah melupakan segalanya. Satu minggu yang memang penuh dengan perasaan seperti neraka dan satu minggu dalam keheningan itu sudah kulupakan. Ia hanya memukul satu kali dan ia sudah berjanji untuk tidak melakukannya. Dan ia memang membuktikannya.
            “Tidak Justin. Kau sudah berubah. Kau akan menjadi ayah yang luar biasa, kau percaya itu bukan?”
            “Aku akan mencobanya,” bisik Justin akhirnya. Aku tersenyum manis dan mulai mengangkanginya. Kemudian aku melingkarkan tanganku di sekitar lehernya dan mengecup bibirnya.
            “Kau akan menjadi ayah yang luar biasa Justin,”
            “Iya, Anna, iya. Aku sudah mendengarnya. Dan aku akan berusaha,” ujar Justin bosan dengan kata-kataku. Lalu aku tertawa.
            “Kau ingin anak laki-laki atau anak perempuan?” tanyaku memiringkan kepalaku ke salah satu sisi. Justin tertawa dan menarik pinggangku agar aku lebih maju. Sial, ia sudah keras di bawah sana. Ternyata dari tadi ia menyembunyikan gairahnya terhadapku.
            “Perempuan,”
            “Mengapa?”

            “Karena jika ia laki-laki, kau akan lebih mencintainya dibanding kau mencintaiku,” ujarnya. Aku tertawa lepas dan mengecup bibirnya. Oh, Justin-ku yang lucu. Aku benar-benar mencintaimu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar