*Justin Bieber POV*
“Anna,”
aku menangis. Aku benar-benar menangis melihat tubuhnya berlumuran dengan
darah. Kuelus kepalanya dengan lembut. Astaga, kumohon Tuhan, jangan ambil Gadis
Kecil Mata Biru-ku ini. Aku benar-benar mencintainya sejak aku pertama kali
bertemu dengannya. Tatapannya yang polos, tersenyum manis padaku. Rambutnya
yang pendek dan ikal terlihat begitu menggemaskan. Ia sangat cantik dan manis
saat ia berumur 2 tahun. Aku benar-benar memujanya saat itu. Dan sekarang,
dengan mudahnya aku bisa mendapatkannya.
Tapi
apa yang telah kulakukan padanya? Aku memukulnya. Astaga, Tuhan, ampunilah
segala dosaku terhadapnya. Aku tahu, aku manusia hina yang tidak dapat
menemukan cinta. Tapi dengan dia. Dengan tatapan matanya yang lembut
benar-benar membuatku jatuh cinta berkali-kali padanya.
Hatiku
pedih saat ia selalu menolakku. Aku merasa sangat bersalah padanya. Dengan
segala perkataanku padanya. Itu semua karena aku tidak tahu ia siapa. Saat ia
menolakku, hatiku hancur berkeping-keping. Saat ia menyebut kata Tidak, itu
seperti ribuan jarum yang menusuk hatiku. Dan sekarang aku memangku kepalanya
yang berlumuran darah. Aku dapat merasakan tulang punggungnya yang patah. Mobil
sialan itu! Aku akan mencari siapa pun itu pelakunya. Aku ingin membunuhnya.
“Anna,
kumohon tetap sadar,” aku memegang pipinya dengan lembut. Darahnya. Darah
istriku terus mengalir. Tuhan, ampunilah aku. Aku tidak ingin ia pergi dari
kehidupanku secepat ini. Aku mencintainya. Dengan segala kekurangannya.
Kepolosannya.
“Max,
tidak bisa kah kau membawa mobil sialan ini lebih cepat? Jika ia meninggal
karena terlambat diselamatkan, kau akan kubunuh! Aku tidak pernah bercanda
dengan itu Max,” aku berujar, membentak Max yang menyetir bagaikan siput. Sial!
Mengapa rasanya lama sekali untuk sampai ke rumah sakit? Kumohon, Anna.
Bertahanlah, sia-sia jika cinta ini tak dapat kau terima.
***
Aku
menunggu dengan penuh rasa kekhawatiran yang luar biasa. Aku tidak pernah
khawatir berlebihan seperti ini. Ini benar-benar menyakitkan. Tubuhku rasanya
disulut oleh api. Menunggu, menunggu, menunggu. Rasanya lama sekali menunggu
Anna di dalam ruang operasi. Segalanya akan kulakukan agar ia tetap bertahan
hidup. Aku ingin membagi dan menyalurkan cinta ini untuknya. Hanya untuknya.
Tapi ia telah membenciku. Anna telah membenciku dan itu sangat menyakitkan.
Kenyataannya bahwa Anna memang layak membenciku. Aku patut dibenci olehnya.
Dengan
segala yang telah kuperbuat padanya. Memintanya untuk menjadi submissive-ku.
Tapi tidak sekarang. Aku telah membakar surat perjanjian sialan itu. Dan aku
juga telah meminta ibuku untuk menghapus perjanjiannya dengan orang tua Anna.
Anna tidak menggantikan uang. Anna bukan bayaran dari apa pun. Ia hanya datang
untukku. Kami memang ditakdirkan bersama. Itu seharusnya aku tahu dari awal.
Ini benar-benar salah.
Melihatnya
menangis benar-benar membuat hatiku keluar dari dalam tubuh dan kemudian ia
menginjak-injaknya. Apa ini yang ia rasakan saat aku menolaknya? Saat aku
melarangnya untuk tidak mencintaiku. Jika ya, rasanya memang benar-benar
menyakitkan.
Kumohon,
biarkan Anna tetap hidup. Kumohon Tuhan. Hanya itu yang bisa kulakukan.
Membisikan kata doa untuk istriku yang bertaruh nyawa di sana. Merasakan
kesakitan yang pastinya sangat luar biasa sakit. Ia tertabrak oleh mobil hingga
ia terpental jatuh beberapa meter dariku. Tulang punggungnya, aku bisa
merasakan itu. Tulang punggungnya patah saat aku menggendongnya. Darahnya terus
bercucuran dan wajahnya terus memutih karena kekurangan darah.
Mendengar
cerita dari orang tuaku tadi pagi benar-benar membuka mataku lebar-lebar. Saat
mereka menyebutkan nama Anna, hatiku patah. Mengingat apa yang telah kulakukan
padanya. Oh, Tuhan. Aku tidak akan pernah berhenti membicarakan apa yang telah
kulakukan pada Anna. Karena itu telah menyakiti hati istriku. Wanita yang
kucintai. Mata Biru yang sangat kucintai. Mata birunya benar-benar membuatku
jatuh hati berkali-kali padanya. Aku berharap, ia menghirup nafas kembali, ia
akan mempercayai semua perkataanku. Aku benar-benar mencintainya.
Aku
akan mencari orang tuanya. Kalau mereka masih hidup. Aku akan mencari Johnson
Bannet dan akan memberinya balasan yang setimpal setelah ia memperkosa Anna
Muda-ku.
“Justin!”
seru seorang wanita baya. Aku mendongak dan mendapati ibuku dengan wajah yang
benar-benar khawatir. Aku berdiri dari tempat dudukku dan langsung memeluknya.
Aku mencintainya, ibu. Aku sangat mencintainya. Aku akan melakukan apa pun agar
ia tetap hidup di dunia ini. Setelah ia melewati kehidupan yang benar-benar
suram, aku ingin menjadi matahari baginya. Pencerah kehidupannya. Kupeluk ibuku
dengan sangat erat.
“Aku
sungguh mencintainya, ibu,” ujarku, menangis di bahunya. Ibuku menangis,
memecah.
“Ibu
tahu, sayang. Ibu tahu. Anna wanita yang kuat. Ia tidak mungkin bersamamu jika
ia bukan wanita yang kuat setelah ia melewati tahun-tahun penuh dengan
tantangan,” ujar ibuku mengelus punggungku dengan halus. Aku hanya menangis
tanpa bersuara dan terus menerus membisikan doa agar Anna, cintaku, istriku
tetap hidup.
***
Sudah
berapa jam ini aku menunggu dokter untuk keluar dari ruanga itu. Tapi ia tidak
keluar-keluar. Sekarang aku benar-benar putus asa. Ini sudah subuh. Orang tuaku
juga sudah pulang. Mereka membujukku untuk pulang. Bagaimana bisa aku pulang ke
rumah sedangkan istriku, di dalam sana, sedang bertaruh nyawa? Suster keluar
masuk dari ruangannya dengan darah yang terbalut oleh darah Anna. Sudah berkali-kali aku bertanya pada mereka,
tapi mereka menyuruhku untuk menunggu karena ini gawat darurat. Sehingga aku di
sini. Di ruang tunggu, menunggu Anna di dalam sana. Menggigiti kuku karena
ketakutannya aku kehilangan dirinya. Max tampak terdiam, berdiri di depan,
namun ia tidak menyandarkan tubuhnya di tembok.
Menunggu
lagi kemudian pintu ruang perawatan Anna terbuka. Seorang dokter dengan masker
yang ia pakai keluar. Aku berdiri dan menatapnya matanya dengan tatapan memohon
agar ia bilang bahwa Anna baik-baik saja.
“Tulang
punggungnya memang patah, tapi kami berhasil untuk menyembuhkannya. Tapi
sekarang ini, ia sedang mengalami masa kritis. Ia juga kekurangan darah,”
“Apa
aku bisa menemuinya?” tanyaku khawatir. Anna kekurangan darah. Pantas ada
beberapa suster yang bolak-balik membawa seplastik darah. Untuk Anna.
“Anda
bisa menemuinya di ruang pasien, Mr. Bieber. Untungnya tidak ada benturan pada
kepalanya, meski kepalanya juga harus dijahit karena robek,” aku terjerembap.
Jantungku seolah-olah diremas oleh Anna.
“Dan
tadi, jantungnya sempat berhenti berdetak,” ujarnya yang membuatku semakin
terperosok masuk ke dalam lubang hitam yang membuatku tersesat. Astaga, Anna.
Istriku. “Tapi untunglah, alat kejut jantungnya berguna sehingga ia dapat hidup
kembali,” lanjut dokter itu.
“Sekarang
kita hanya dapat menunggunya bangun dari tidur lamanya, Mr. Bieber,” ucap
dokter itu lagi. Ia mengenalku, tentu saja. Aku menganggukan kepalaku saat ia
menepuk-nepuk punggungku dan melengos pergi dari hadapanku.
Ana
hampir meninggal.
***
“Kau
bajingan! Kau yang membuatnya seperti ini! Sialan kau Justin!” teriak Kath
memukul-mukul dadaku dengan kencang. Pukulannya cukup menyakitkan. Tapi aku
layak mendapatkannya. Anna tertidur dalam komanya yang begitu lama. Pagi ini
Kathleen datang ke rumah sakit setelah ia ternyata diberitahu oleh orang tuaku
bahwa Anna masuk rumah sakit karena kecelakaan. Sam, kekasihnya yang berada di
belakangnya langsung menarik tangannya agar tidak memukulku lagi. Air matanya
benar-benar membuktikan bahwa ia benar-benar menyayangi Anna.
Aku
telah menyakiti dua hati wanita. Dan salah satu wanitanya adalah sahabat yang
mencintai istriku. Kath langsung memeluk Sam dengan erat dan menangis di dalam
pelukannya. Sedangkan aku kembali tersungkur, terjatuh ke dalam tempat duduk
yang berada di dekat tempat tidur Anna. Layar monitor denyut jantungnya
terlihat begitu stabil. Ia bernafas dengan stabil. Perban telah mengelilingi
kepalanya dengan rapi. Hebatnya tidak ada luka gores di wajahnya. Sehingga aku
masih bisa melihat wajah cantiknya yang tertidur dengan lelap.
Semua
ini kulakukan untuk Anna. Aku meminta Max untuk mencari keberadaan orang tua
Anna dan juga keberadaan Johnson. Aku memiliki detektif. Yeah, cukup
mengagumkan. Dan kuharap mereka cepat mendapatkan mereka. Orang tuaku belum
datang pagi ini.
“Ini
semua salahku. Aku seharusnya tidak memberitahu kau, bajingan sialan! Di mana
tempat kerjaku dan Anna,” teriak Kath terus menerus. Sam telah membawanya ke
atas sofa dan mereka terduduk di sana. Aku tidak berani menatap mata Kath.
Tatapannya benar-benar penuh dengan kebencian. Berbeda dengan kemarin pagi. Ia
luluh denganku. Tapi sekarang, ia benar-benar marah padaku. Seperti singa.
“Maaf,”
bisikku dengan suara yang pelan. Aku benar-benar menyesal dengan apa yang telah
kuperbuat. Ini benar-benar ..seharusnya aku tidak memberitahu Anna tentang
orang tuanya. Aku sungguh bodoh. Kumohon, Anna, bangun. Aku tersiksa di sini.
Izinkan aku melihat mata birumu yang lembut itu. Tatapan polosmu. Suaramu yang
sangat merdu di telingaku. Kumohon, bangunlah.
“Hanya
itu? Hanya itu yang bisa kau bilang bajingan sialan? Setelah apa yang telah
kaulakukan pada Anna? Apa sekarang kau senang melihatnya terbaring di atas
tempat tidur ini? Dengan alat bantu nafas? Apa kau senang?” teriak Kath padaku,
ia sudah berdiri dan aku mendongak menatapnya. Astaga, Tuhan. Holy crap! Aku
seperti melihat istri dari Lucifer sedang memarahiku. Sungguh, rambutnya mulai
acak-acakan dan menyeramkan sekali.
“Kathleen!”
tegur Sam berdiri dan menarik Kath untuk keluar dari ruangan ini. “Maaf, bro.
Kurasa kita harus pergi,” ujar Sam yang tampak tenang. Kath meronta-ronta agar ia tidak dibawa keluar dari ruangan ini.
Ia berteriak dan Sam langsung membentaknya. Lalu tidak ada suara lagi.
Sam
benar-benar sabar pada Kath. Tidak sama seperti aku yang tidak sabaran dengan
Anna. Justru Anna yang sabar dengan sikapku selama seminggu lebih. Bahkan
sekarang sudah dua minggu aku bersamanya. Dalam waktu dua minggu, aku
mencintainya. Dengan alasan yang cukup konyol.
Mataku
kembali beralih pada Anna yang masih terbaring dengan tenang. Seakan-akan tidak
ada masalah yang menghampirinya.
“Kumohon
Anna, bangunlah. Aku akan melakukan apa saja. Aku akan menebus segala
kesalahanku. Apa yang telah kuperbuat. Aku benar-benar menyesal Anna,”
“Aku
ingin memiliki anak. Memiliki keturunan darimu. Aku akan melepas spiral sialan
itu seperti yang kau minta. Seperti yang kaubilang, kau menginginkan anak,”
“Aku
juga. Aku juga ingin memiliki anak darimu Anna. Kuharap anak kita nanti memiliki
warna mata sepertimu. Kumohon Anna, bangunlah. Aku sangat mencintaimu. Kapan
kau akan bangun?” tanyaku dengan tetesan air mata yang mulai mengalir. Kumohon
Tuhan, jangan ambil Anna dariku. Ia satu-satunya orang yang benar-benar
membuatku berubah kemarin. Aku mencintainya. Tolong jangan ambil dia
daripadaku. Ia sangat berharga. Lebih dari apa pun.
“Anna,
kumohon,” ucapku lirih dan mencium tangannya yang dingin.
***
Aku
marah. Benar-benar marah pada diriku sendiri. Sudah satu minggu. Sudah satu minggu
dan Anna belum bangun dari komanya. Keadaannya juga tidak stabil. Kadang
membaik dan kadang juga tambah buruk. Bahkan ia hampir meninggal lagi. Aku juga
marah pada Anna. Mengapa sepertinya ia tidak bisa mendengar bisikan setiap
harinya untuk bangun dari tidur lamanya? Aku mencintainya maka aku
membutuhkannya. Sial, Anna! Aku menangis.
Kuhapus
air mataku. Aku benar-benar rapuh sekali tanpanya. Sudah satu minggu juga aku
tidak bekerja. Aku menunggunya, aku tidak ingin melewati kapan ia bangun.
Bunga-bungan yang tiap hari kubeli untuknya tak pernah ia endus. Aku ingin ia
tersenyum padaku, aku ingin ia mengatakan padaku kalau ia mencintaiku. Karena
selama ini ia tidak pernah mengucapkan ‘aku mencintaimu’ padaku. Tidak pernah,
sekali pun. Hanya ‘aku membencimu’ dan itu sangat menyakitkan. Aku tahu ia
mencintaiku. Aku tahu itu. Tapi aku ingin ia juga mengucapkannya.
Terduduk
di atas kursi, aku memegang tangan dingin Anna dan menangis. Membisikan setiap
doa harapan yang kuharap akan dikabulkan. Air mataku menetes ke tangannya lalu
pada kasur yang ia tempati. Berharap, berharap. Anna, kapan kau bangun sayang?
Suamimu di sini mencoba dan berusaha untuk membuatmu bangun. Tidakkah kau
kasihan padaku sayang? Aku benar-benar terpuruk tidak dapat melihat matamu yang
indah dan suaramu yang menyejukan tubuhku.
“Anna,”
aku berbisik. Dan mulai membungkukan tubuhku, mengecup bibirnya. Aku membiarkan
air mataku berada pada bibirnya. Berharap ia akan merasakan rasa asin di sana.
“Aku
marah, Anna. Kapan kau bangun sayang? Kau tahu, Dr. Connel telah mencabut
spiral itu dari tubuhmu. Kita akan memiliki anak jika kau bangun. Kumohon
Anna,” bibirku mencium tangannya terus menerus. Berusaha untuk
menghangatkannya. Tapi tetap saja. Ia seperti mayat, terdiam, tak bersuara. Setiap
detik aku menatap bibirnya, aku mendengar ia berteriak padaku. Berteriak padaku
bahwa ia membenciku.
“Anna
bangun!” aku berteriak padanya. Aku benar-benar marah. Kapan ia akan
mendengarku? Aku bosan. Aku butuh dirinya. Tawanya. Godaannya. Kepolosannya.
Aku membutuhkannya. Kemudian aku mendesah pelan dan menggelengkan kepalaku.
Menundukan kepalaku, penuh dengan perasaan yang tercabik-cabik.
“Anna,
kumohon bangun,” bisikku dengan suara kecil.
“Justin?”
kudengar suara malaikatku dan mendongak. Anna?
***
*Anna Bieber POV*
Aku
melihat dokter yang memeriksaku. Kepalaku masih terasa pening dan punggungku
luar biasa sakit. Apalagi suster sialan ini menyuruhku untuk sedikit duduk.
Tapi aku menjerit, kesakitan, kau tahu. Yeah, aku tahu. Tulang punggungku patah
tapi kata dokter tidak begitu parah. Mungkin 3 bulan lagi akan cepat sembuh.
Yeah, aku juga berharap cepat sembuh. Entah apa yang dokter bicarakan tapi
kemudian aku melihat Justin keluar dari kamar mandi. Lelaki itu benar-benar
tampan.
Setelah
saat tadi aku bangun, aku melihatnya begitu hancur. Dia tidak bersih. Kuyakin
ia tidak mandi. Sudah berapa lama aku tidak bangun? Justin tersenyum menatapku.
Rambutnya basah. Kurasa ia baru saja mandi di dalam sana. Lucu. Kemudian dokter
langsung menarik tangan Justin untuk keluar dari ruangan ini. Suster yang
berada di sebelahku terus menulis-nulis sesuatu. Entah apa yang ia tulis.
“Sudah
berapa lama aku berada di sini?” tanyaku akhirnya menemukan suaraku.
“Sekitar
satu minggu. Satu minggu lebih bahkan,” ujar suster itu dengan suara yang
lembut. Gila! Aku tidak bangun selama satu minggu. Sialan! Apa yang kulewatkan?
Di mana Kathleen? Terlalu banyak bertanya, kepalaku semakin pening.
“Bagaimana
punggungmu?” tanya suster ini menyentuh tanganku.
“Masih
sakit. Apa ini akan cepat sembuh?” tanyaku khawatir. Aku butuh keterangan dua
kali.
“Seperti
yang Dr. Selvator bilang Mrs. Bieber, Anda bisa sembuh dalam waktu 3 bulan,”
balasnya dengan senyuman. “Mr. Bieber sangat mencintai Anda, Mrs. Bieber,”
lanjutnya lagi. Mengapa tiba-tiba ia mengatakan itu padaku? Sial! Aku
menatapnya dengan tatapan bingung dan kurasa keningku telah berkerut.
“Hmm,
yeah, dia sangat mencintaiku,” aku tidak ingin melanjutkan percakapan ini
sehingga aku memejamkan mataku.
“Cepat
sembuh Mrs. Bieber,” ujarnya lagi kemudian berjalan untuk keluar dari kamarku.
Oh, apa yang baru saja Justin lakukan selama seminggu lebih ini padaku? Tadi
aku mendengarnya berteriak padaku, kurasa begitu. Tapi kurasa tidak. Dan ia
terus menciumi tanganku, meski mataku belum terbuka. Aku belum cukup kuat untuk
membuka mataku. Dan bibirku, aku merasakan asin di sana. Apa Justin baru saja
menangis? Apa dia menangisiku? Aku tidak tahu. Justin terlihat begitu
berantakan dan aku menyuruhnya untuk membersihkan dirinya. Dengan semangat ia
melakukan itu sementara ia memanggil dokter. Jadi selama aku diperiksa, Justin
sedang mandi di dalam kamar mandi.
Dan
apa Kathleen sudah datang ke sini? Aku membuka mataku dan melihat ke
sekeliling. Banyak sekali bunga yang bertebaran. Kulihat di sofa begitu banyak
bunga mawar yang layu. Apa Justin yang membawa itu? Oh, astaga. Jika aku bangun
dari dulu, pasti aku akan menghirup bunga-bunga itu. Apa Justin benar-benar
mencintaiku? Aku tidak tahu.
Aku
mencintainya, tentu saja. Tapi dengan apa yang telah ia perbuat, tidak sepadan
untuk membalas cintanya padaku. Bahkan ia tidak membalasnya. Mungkin
akhir-akhir ini ia memang perhatian padaku. Tak terasa kepalaku sudah tak
pening lagi. Bersamaan dengan itu, Justin muncul. Ia memakai celana jins berwarna
hitam dan kaos berwarna ungu. Oh, ia terlihat begitu muda dan tampan. Ia
memakai sepatu converse berwarna putih. Rambutnya masih basah. Senyumnya
benar-benar sumringah. Kakinya menghantar tubuhnya untuk mendekatiku lalu ia
membungkuk. Aku menatapnya dengan bingung. Wajah kami benar-benar dekat.
Kutelan ludahku. Oh, astaga bibir itu. Akankah ia menciumku?
“Hei,”
sapanya dengan lembut. Menyentuh pipiku dengan lembut. Tatapannya begitu lembut
namun aku bisa melihat kesakitan di sana. Aku hanya tersenyum padanya. Teringat
dengan apa yang terakhir kukatakan padanya bahwa aku membencinya. Aku tahu aku
telah mengatakan omong kosong padanya. Hah! Mana mungkin aku membencinya. Itu
hanya karena aku diliputi oleh amarah akibat orang tuaku menjualku pada Justin.
Ia menjadikanku seorang submissive dan
ia memukulku.
“Apa
yang kaupikirkan sayang?” tanya Justin lagi.
“Aku
rasa aku lapar,” ujarku dengan suara yang lemah. Kemudian ia menjauh dan
mengambil ponsel dari kantong celananya. Kurasa ia menghubungi Max.
“Tentu
saja. Kau hanya makan infuse selama seminggu ini. Kau tidak boleh tambah
sakit,” ujarnya sambil menunggu jawaban. Oh, mengapa sekarang Justin terdengar
begitu ..perhatian? Aku tidak tahu. Kemudian ia berbicara pada Max. Aku tidak
mendengarkan apa yang ia bicarakan. Mataku kembali lagi terjatuh pada lantai.
Oh, astaga. Banyak sekali bunga yang bertebaran di sini. Mengapa tidak ada yang
membersihkannya? Suster tadi bahkan tidak keberatan dengan keberadaan
bunga-bunga yang sudah layu itu.
“Mine?”
panggil Justin. Aku langsung menoleh padanya. “Apa kau bisa duduk?” tanya
Justin. Aku menggelengkan kepalaku. Ini sangat sakit. Kemudian ia tersenyum
lembut padaku dan terduduk di atas kursi.
“Kau
yang membawa semua bunga itu?” tanyaku, akhirnya. Ia menganggukan kepalanya.
Whoa! Sial, sudah kuduga ia yang membawanya. Dan itu adalah pemikiran yang
konyol. Tidak mungkin Kathleen yang membawanya.
“Jadi,
bagaimana perasaanmu Mine?” tanyanya memegang tanganku dan mengelusnya. Aku
bisa merasakan sesuatu yang berbeda dari pegangan tangan Justin. Bukan
mendramatisir tapi kali ini tangannya sangat lembut dan hangat.
“Kau
terlihat berbeda Justin,” bisikku dengan suara yang pelan. Ia terkekeh pelan.
Suara itu. Benar-benar suara yang kurindukan. Bagaimana mungkin aku bisa
bertahan dalam tidurku yang lama selama seminggu ini tanpa melihat Justin?
Rasanya begitu susah sekali untuk menerima kenyataan itu.
“Aku
benar-benar merindukanmu Mine. Aku bahkan tidak mandi tiga hari terakhir ini,”
ujarnya. Oh, Tuhan. Benarkah? Aku sulit untuk mempercayainya setelah kejadian
saat ia membawa wanita sialan itu ke rumah.
“Jadi
apa yang kaulakukan selama aku tidak bangun dari tidur?” tanyaku.
“Menangisimu.
Berharap. Berdoa. Aku mencintaimu, kau tahu itu bukan?” Justin mengucap kata-kata
itu dengan ketulusan. Oh, Tuhan. Ini benar-benar cobaan. Haruskah aku
menerimanya? Apa aku harus memberinya kesempatan yang kedua? Aku juga ingin
dicintai olehnya. Aku ingin ia percaya padaku. Jika ia percaya padaku, aku akan
percaya padanya.
“Aku
tidak tahu kau mencintaiku, Justin,” aku menggodanya. Kulihat ia merengut.
“Kumohon,
Anna. Percaya padaku. Aku benar-benar mencintaimu. Tidak mungkin aku akan
meninggalkan pekerjaanku hanya untuk menunggumu bangun. Tidak mandi. Bahkan aku
tidak makan makanan kesukaanku,”
“Apa
hubungannya dengan makanan kesukaanmu?” tanyaku bingung.
“Biasanya
itu akan membuat hatiku lebih baik,” ujarnya menatap pada selimutku. Aku
terkekeh pelan namun aku langsung berhenti tertawa. Punggungku tiba-tiba saja
sakit. Kulihat mata Justin melebar dan ia hendak berdiri. Tapi dengan cepat aku
memegang tangannya.
“Tidak,
aku tidak apa-apa,” ujarku langsung. Ia lega begitu saja.
“Apa
kau ingin memberiku kesempatan yang kedua?” tanya Justin, terdengar begitu
terpuruk. Matanya memohon padaku. Aku harus memberikan kesempatan kedua untuk
Justin. Ia telah melakukan ini untukku. Bukan karena aku juga merasa bersalah
atau merasa berutang budi pada Justin. Tapi aku memang tidak bisa menolaknya.
Justin adalah cobaan terberatku. Atau bisa kubilang, jika kau mencintai
seseorang, maka ia akan menjadi seseorang yang akan memberikan cobaan terberat
dan kebahagiaan yang sangat memuaskan. Aku tahu menangis bukanlah jalan keluar
dari segalanya, tapi air mata dapat membuktikan seberapa cintanya aku pada
Justin.
“Apa
kau berjanji untuk ti—“
“Anna,
aku sudah bersumpah dan berjanji pada Tuhan untuk tidak akan meninggalkanmu
dalam keadaan apa pun. Apa kau akan percaya padaku sama seperti sebelum aku
memukulmu?” tanyanya penuh dengan kepahitan. Oh, ini sungguh salah. Aku tidak
ingin melihatnya begitu terpuruk seperti ini.
“Aku
sudah mencabut spiral dari tubuhmu,” ujarnya. Sekarang jantungku berada di
mulutku. Apa? Benarkah? Ia tertawa dan mengelus tanganku dengan lembut.
“Yeah,
aku ingin memiliki anak darimu juga. Tapi aku juga tidak ingin cepat-cepat
memiliki anak,” ujar Justin mencium tanganku. Aku menganggukan kepalaku dan
tersenyum. “Aku juga telah membakar surat perjanjian sialan itu,” tambahnya.
Sekarang jantungku sudah benar-benar berada di luar tubuhku namun kupu-kupu
berterbangan di dalam perutku. Astaga, benarkah ia melakukan itu? Apa itu
berarti aku bukan submissive-nya lagi?
“Aku
bukan submissive-mu lagi?”
“Yeah,
kau istriku, Anna. Sejak kita menikah, itu memang sudah takdirnya,” ujarnya. “Jadi
kau menjawab Ya?” tanyanya.
“Untuk
apa?”
“Untuk
memberiku kesempatan kedua?”
“Kau
ingin menciumku setelah aku mengatak Ya?” tanyaku menggodanya. Ia tertawa,
tertawa lepas. Bahkan kepalanya sambil terdongak ke belakang. Senang melihatnya
tertawa. Aku meremas tangannya, lembut dan halus.
“Kau
benar-benar nakal, Mine. Kau baru saja bangun dan sekarang kau sudah membuatku
bergairah,”
“Kau
juga. Tidak apa bukan berbuat nakal kepada suami?” tanyaku menggodanya dan
memberikan senyuman genit padanya. Ia membungkuk dan menarik leherku lalu ia
mengecup bibirku, lama. Kulepas ciuman darinya.
“Ya,”
balasku.
“Aku
sungguh mencintaimu,” bisik Justin dengan suara kecil di telingaku lalu ia
menggigit telingaku, membuatku menjerit. Namun jeritanku terhenti saat aku
merasa punggungku kesakitan. Sial, ini benar-benar tidak nyaman. Matanya
melebar dan aku meremas tangannya. Ia hendak pergi. Sial! Ia terlalu khawatir
padaku. Padahal aku tidak begitu begitu kesakitan.
Justin
kembali terduduk di kursinya. Dan menatapku dengan penuh kelembutan yang ia
bisa. Masih dalam keheningan, tiba-tiba aku merasa ingin buang air kecil. Sial.
“Justin,
kurasa aku ingin buang air kecil,”
“Apa?”
ia tersentak, matanya melebar.
“Aku
ingin buang air kecil,” ujarku, seperti anak kecil. Sial, aku benar-benar malu.
Mata Justin semakin melebar. Oh, Tuhan. Baiklah, ini dia. Aku akan diantar
buang air kecil oleh suamiku sendiri. Oh, ini pasti akan sangat intens sekali.
***
“Bagus.
Buat dia babak belur, tapi jangan sampai mati,” ujar Justin dalam telepon. Aku
menatap Justin dengan bingung. Sekarang aku sudah bisa duduk, meski sebisa
mungkin aku tidak melakukan banyak gerakan. Karena itu benar-benar membuatku
sakit. Kathleen belum datang juga. Ini sudah siang dan aku sudah makan sarapanku.
Kemudian Justin memasukan kembali ponselnya ke dalam kantong celana dan ia
membalik badannya, mataku dan matanya langsung bertemu.
“Siapa?”
tanyaku dengan penasaran.
“Johnson
Bannet. Aku sudah menemukannya. Dia berada New York, sial. Tapi sudah dibawa ke
sini. Max –“
“Dia
ke sini?”
“Tenang
sayang, dia tidak akan pernah hidup bahagia,” ujarnya padaku. Dan ia
melangkahkan kakinya mendekati tempat tidurku. Lalu tangannya memegang tanganku
untuk yang kesekian kalinya.
“Mengapa?”
“Dia
telah merusak kebahagiaan Mata Biru-ku,”
“Kau
menyukai mata biruku?” tanyaku semangat. Aku senang jika ia menyukai mataku.
Kemungkinan besar, ia akan terus menatap mataku. Dan aku juga ingin menatap
matanya terus menerus. Ada kedamaian di sana. Dan sekarang aku merasa terlindungi
jika bersama dengannya. Mencintai seseorang memang tidak salah, tapi siapa yang
kita cintai? Itu adalah pertanyaan pertama jika kita mencintai seseorang. Dan
aku, Anna Bieber, mencintai seorang dominan yang senang sekali mengatur diriku.
Mencintai seorang yang sebenarnya kasar dan sangat keras tapi denganku, ia
lembut. Ini sebuah perubahan yang besar dalam dirinya.
“Sejak
pertama kali aku bertemu denganmu, Mine. Kau benar-benar mempesona,
menggemaskan dan polos. Sama seperti sekarang. Tatapan polosmu itu,” ujarnya
menyentuh pipiku lalu ia menarik kepalaku dan mengecup bibirku dengan lembut.
Aku menghisap bibir bawahnya dengan lembut. Aku menyukai bibirnya. Ia
mengerang.
“Tidak,
Mine. Tidak sekarang. Jangan sekarang. Aku khawatir dengan keadaanmu,” ujarnya
menolakku. Baiklah, aku tahu keadaanku memang tidak memungkinkan. Tapi aku
merindukan tubuhnya. Sekarang aku merasa begitu nakal.
“Kapan
Kathleen akan datang?” tanyaku mendesah pelan. Ia terduduk di atas kursi
sebelah tempat tidur. Mengelus tanganku lagi. Bahkan sekarang tanganku sudah
hangat karena elusan tangannya.
“Sebentar
lagi, kurasa,” balasnya.
“Mengapa
kau melakukan ini?” tanyaku.
“Mencari
Johnson Bannet? Oh, Anna. Aku tadi sudah bilang padamu, aku melakukan ini
karena ia telah merebut kebahagiaanmu. Bahkan keperawananmu yang seharusnya
untukku,”
“Justin!”
aku menegurnya, kemudian ia terkekeh pelan.
“Aku
mencari orang tuamu. Dan Anna, orang tuamu telah meninggal, aku sungguh minta
maaf,” ujarnya yang membuat jantungku seperti diremas. Oh, waktunya benar-benar
tepat sekali Justin. Tapi aku mencoba untuk terlihat tegar dan aku meremas
tangannya.
“Tidak
apa-apa, Justin,”
“Mereka
kecelakaan untuk yang kedua kalinya,” lanjut Justin. Dan sekarang aku merasa
ingin menangis. Berarti selama ini orang tuaku masih hidup. Oh, astaga. Ini
sungguh menyakitkan. Tapi aku mencoba untuk tidak menangis.
Kemudian
pintu terbuka, “Anna! Terima kasih Tuhan!” teriak Kathleen kegirangan.
****
Mataku
berair. Menatap pada kedua batu nisan yang berada di hadapanku. Oh, astaga.
Orang tuaku benar-benar sudah meninggal. Dan mereka meninggal sejak dua tahun
yang lalu. Ini sungguh menyakitkan. Justin berada di belakangku dan memegang
pundakku dengan lembut. Ia mengusapnya, berusaha untuk menenangkanku. Aku sedih
karena aku tidak dapat menghabiskan waktu remajaku bersama mereka. Aku tidak
dapat merasakan masa remaja yang seharusnya. Begitu susahnya aku untuk tidak
bergantung kepada orang lain. Karena sudah tidak ada lagi keluarga yang dapat
kudatangi. Atau lebih tepatnya, tidak ada yang mau menerimaku lagi.
Dan
yang lebih menyesakan lagi adalah orang tuaku selama ini masih berada di
Atlanta. Tapi apa yang dapat kuharapkan sekarang? Membuat mereka hidup? Tidak.
Aku harus menerima kepergian mereka. Aku yakin mereka tenang di sana. Mereka
telah melakukan yang terbaik untukku. Meski kenyataannya adalah mereka
menjualku kepada keluarga Millioner. Aku mendesah dan menyeka hidungku.
Tiga
bulan ini Justin memintaku untuk diam di rumah dan tidak pergi kemana-mana. Ini
demi kesehatanku. Maksudku, agar punggungku cepat sembuh. Dan kenyataannya,
punggungku sudah sembuh dan tidak sakit lagi. Sehingga sekarang, akhirnya, aku
bisa melihat pemakaman orang tuaku. Kepalaku pening dan aku memutuskan untuk
pulang.
“Ada
apa, sayang?” tanya Justin menarik tanganku. Aku menggelengkan kepalaku dengan
lesu. Akhir-akhir ini aku merasa begitu mual dan namun nafsu makanku bertambah.
Aku pikir aku hamil. Kurasa begitu. Tapi aku tidak begitu yakin. Tidak mungkin
secepat itu. Meski aku dan Justin memang sering melakukan hubungan badan sejak
1 bulan yang lalu. Tapi itu tidak mungkin terjadi.
“Kepalaku
pening,”
“Pening?
Mari kita pulang,” ujar Justin langsung menggendongku. Aku mau-mau saja
digendong oleh Justin. Bahkan berhubungan badan sambil berdiri seperti ini
lebih enak. Tapi ini hanyalah gendongan biasa. Aku memeluk leher Justin dan
menyandarkan kepalaku pada bahunya. Tangannya berada di bokongku dan aku
membiarkannya. Kita suami-istri. Justin berhak atas tubuhku.
“Kau
ingin ke dokter?” tanya Justin. Aku menggelengkan kepalaku dan membalikan
kepalaku pada leher Justin. Bibirku sudah berada di lehernya, aku menggodanya.
Kucium leherku dengan lembut dan ia menggeram.
“Anna,
jika kau melakukan itu, kita bisa melakukannya di dalam mobil,” tegur Justin
yang sudah keluar dari gerbang pemakaman. Justin terus berjalan melewati
trotoar. “Dan kau tambah berat,” tambahnya lagi. Aku mendongak dan menatap
wajah Justin.
“Benarkah?”
“Ya,
tapi aku tidak begitu yakin. Tapi aku senang,” ujarnya tersenyum padaku dan
mengecup bibirku. “Kau begitu kurus jadi aku senang jika kau bertambah berat
badanmu,” bisiknya kembali mengecup bibirku. Aku tertawa dan membalas
ciumannya.
***
“Tidak.
Jangan, aku ingin kau tetap di dalam kamar,” ujarku menarik tangannya agar ia
tidak meninggalkanku. Ia ingin mengambil ponselnya yang ia taruh di dalam ruang
kerjanya. Tapi aku tidak tahu apa yang merasuki diriku, tapi rasanya aku
benar-benar membutuhkannya. Tubuhku begitu lemah dan aku ingin ia memelukku.
Justin mendesah pelan.
“Aku
hanya sebentar saja, Anna. Tidak akan lama. Dan aku juga ingin mengambilmu air
minum,” ujarnya lagi, menatap mataku dengan lembut. Mendesah pelan, aku
menganggukan kepalaku dan membiarkannya keluar dari kamar. Sudah tiga kali ini,
malam ini, aku mual di kamar mandi. Benar-benar lemas sekali tubuhku. Kurasa
aku memang membutuhkan dokter. Atau mungkin aku harus pergi ke apotik untuk
mengambil alat tes kehamilan? Aku tidak tahu apa ini benar-benar terjadi atau
tidak, tapi aku juga sering buang air kecil. Bukankah itu juga tanda-tanda
kehamilan di awal-awal bulan?
Selama
tiga bulan ini Justin begitu perhatian padaku. Saat keluar dari rumah sakit, ia
merawatku penuh dengan kasih sayang. Aku tidak tahu apakah ini mimpi atau
tidak, tapi ia benar-benar menyayangiku. Dan aku berterima kasih kepada Tuhan
karena ia benar-benar telah berubah. Pintu kamar terbuka lagi dan muncul
seorang pangeran kesayanganku dengan ponsel yang berada di tangan kirinya dan
air minum di tangannya yang lain. Ia tersenyum dan aku langsung terduduk.
“Kathleen
bilang ia ingin datang ke sini besok, apa itu tidak apa-apa?” tanyaku sambil
mengambil air minumku dari tangan Justin. Yeah, Kathleen mengirimiku pesan
kemarin bahwa ia ingin datang ke sini. Tapi Justin langsung menggelengkan
kepalanya.
“Kau
harus pergi ke dokter, Mine,” balasnya. Aku mendesah pelan dan meneguk air
minumku lalu menaruh gelasnya di atas meja dekat tempat tidur kami.
“Aku
tidak apa-apa,”
“Tapi
kau mual-mual sayang. Aku tidak ingin terjadi sesuatu padamu,” katanya sambil
menaruh ponselnya di dekat gelas air minum lalu ia mulai naik ke atas tempat
tidur. Tubuhnya mulai berbaring di sebelahku. Aku ikut berbaring.
“Kathleen
bisa datang sore atau malam,” ujarku. Oh, kumohon. Aku benar-benar ingin
bertemu dengan Kathleen. Sudah seminggu lebih ini aku tidak bertemu dengannya.
Dan Justin melarangnya. Aku ingin menceritakan perkembangan Bee dan Boo
padanya. Bee dan Boo benar-benar akur. Mereka sering bermain. Oh, aku senang
sekali memiliki anjing seperti mereka.
“Mari
kita bicarakan itu besok, sekarang aku ingin mencumbui istriku,” ujar Justin
menarikku ke dalam pelukannya. Aku tertawa. Kaki Justin sudah menindih kakiku
dan salah satu tangannya sudah berada pada pinggangku. Melingkar di sekitar
tubuhku. Dia tidak langsung menciumku, melainkan ia hanya menatap mataku. Aku
terdiam, tidak tahu apa yang harus kukatakan padanya. Namun aku juga
menjatuhkan tanganku pada pinggangnya, tidak butuh waktu lama, tanganku sudah
berada di belakang kepalanya. Mengelus rambutnya yang berwarna cokelat itu
dengan lembut.
“Apa?”
tanyaku untuk mengurangi keheningan. Justin tidak memberikan ekspresi apa pun padaku.
Hanya wajah datarnya. Dia benar-benar susah ditebak.
“Aku
menyukai matamu,” bisiknya, akhirnya senyum kecilnya terlihat. Aku ingin
tertawa.
“Hanya
mataku?” tanyaku menggodanya dan aku memajukan wajahku pada wajahnya. Ia
menggelengkan kepalanya.
“Seluruh
tubuhmu, itu sebuah pemandangan yang benar-benar mengagumkan,” katanya sambil
menarik wajahku padanya dan mulai mengecup bibirku dengan lembut. Kami
berciuman dengan lembut. Lidah kami saling bertarung tanpa bernafas.
“Aku.
Mencintaimu. Anna.” Ujarnya di sela-sela ciuman kami, kemudian ia mulai berada,
melayang di atasku. “Segalanya, aku mencintaimu. Kau adalah segalanya,” lanjut
lagi dan menarik kepalaku ke atas, ia mengangkangiku. Oh,benar-benar indah. Aku
juga ingin berhubungan badan lagi dengannya.
***
“Anna
hamil?” tanya Justin terkejut. Oh, astaga. Ini bukan keterkejutan wajah yang
kuharapkan dari wajahnya. Ia bukan terkejut senang, tapi terkejut ketakutan.
Bukankah ia menginginkan anak dariku? Kupikir ia memang menginginkannya. Dr. Connel
yang berada di depan kami tersenyum dan menganggukan kepalanya.
“Umurnya
masih 1 bulan, seperti yang tadi kita sudah liat di layar monitor,” ujar Dr.
Connel. Well, bukan Justin yang lihat. Tapi hanya aku dan Dr.Connel yang
melihatnya. Dan memang aku hamil. Aku memegang tangan Justin dan menoleh
padanya lagi. Wajahnya pucat pasi. Astaga, apa dia tidak menyukai kehamilanku?
Justin lalu menganggukan kepalanya.
“Terima
kasih banyak,” ujar Justin menarik tanganku untuk berdiri dari tempat duduk.
Dr. Connel hanya menganggukan kepalanya dan kemudian kami berjalan keluar dari
ruang pemeriksaan. Justin menutup pintunya dan menarik tanganku lebih cepat
untuk keluar dari tempat praket Dr. Connel. Astaga, aku bisa melihat wajah
Justin yang mulai memerah. Astaga, bukankah ia memang menginginkan anak dariku?
Aku terdiam dan hanya mengikutinya berjalan hingga kami sudah berada di trotoar
dan Justin mulai mengarahkan kunci mobilnya pada mobil hingga kunci pintu
mobilnya terbuka saat Justin memencet tombolnya. Ia membuka pintu penumpang di
depan untukku lalu aku langsung masuk dan terduduk. Mataku melihat Justin yang
melewati mobil bagian depan dan mulai membuka pintu pengemudi.
Oh,
astaga. Aku tidak pernah melihat wajah Justin yang begitu menegang dan
menakutkan. Namun aku tahu ia berpikir sekarang. Bukankah seharusnya ia
tersenyum atau bersorak senang karena kehamilanku? Ini anaknya juga. Kemudian
Justin sudah terduduk dan memegang setir lalu ia mendesah. Ia mulai menyalakan
mobilnya dan keluar dari parkiran.
Hening
dalam mobil Justin dan aku hanya dapat menatapnya yang melihat jalan dengan
penuh konsentrasi. Oh, ini bukan reaksi yang kuharap. Well, aku yang meminta
Justin untuk membawaku ke dr. Connel untuk memeriksa diriku. Dan benar saja,
aku memang hamil. Aku senang karena aku hamil. Namun aku tak senang saat aku
melihat wajah Justin yang langsung pucat dan terlihat begitu tegang.
“Justin,
bicaralah,” akhirnya aku mengeluarkan suaraku. Justin tidak menjawabku, justru
ia semkain mempercepat kecepatan mobilnya.
“Apa
yang harus kubicarakan Anna?” tanyanya, setelah aku menunggu cukup lama untuk
mendengar suaranya. Akhirnya aku dapat mendengarnya lagi. Tapi aku tidak
menatap Justin, mataku terjatuh pada kukuku dan memain-mainkannya.
“Kehamilanku,”
bisikku dengan suara yang kecil. Aku tak berani menatapnya setelah ia
menggunakan nada dingin padaku. Oh, mengapa rasanya begitu aneh saat aku
mendengar suaranya yang dingin seperti itu? Apa ada masalah dengan kehamilanku
juga? Bagaimana pun juga ini adalah anaknya. Dan ia juga menginginkan anak ini,
benar bukan? Setelah kita menunggu selama tiga bulan. Justin juga harus berbagi
mulai dari sekarang.
“Aku
senang,”
“Tapi
kau tidak memperlihatkan kesenanganmu,” ujarku langsung membalasnya. Saat aku
mendongak, kami sudah berada di depan pintu gerbang rumah kami. Pintu gerbang
kemudian terbuka dengan sendirinya dan Justin kembali melajukan mobilnya untuk
masuk, belum menjawab mobilku.
Lalu
mobilnyaberhenti di dalam garasi. Aku turun dari mobil dan berjalan menuju
halaman rumah. Membiarkan Justin menenangkan pikirannya. Entahlah, kurasa ia
cukup terkejut dengan berita tadi. Kurasakan tangan Justin yang mulai menarik
pinggangku. Senyumanku mengembang. Aku menyukai Justin yang lembut dan tak
dingin.
“Aku
senang sayang,” bisiknya dengan suara yang lembut sekali. Aku tidak tahu, apa
Justin benar-benar mengatakan kalau ia senang atau tidak. Mungkin ia hanya
ingin membuatku senang. Pintu rumah terbuka, dibuka oleh pelayan.
Justin
melepaskan tangannya dari pinggangku lalu memegang tanganku menarikku menuju
ruang tamu. Aku telah memiliki bayi dalam perutku. Anak dari seorang Justin
Bieber. Jika ia lelaki, aku harap ia memiliki wajah seperti Justin. Pasti ia
akan menjadi lelaki yang sangat tampan seperti ayahnya. Dan memiliki mata yang
seperti ayahnya. Itu akan membuat mereka seperti kembaran. Jika ia perempuan,
aku ingin ia memiliki wajah sepertiku dan mata sepertiku. Tapi aku tidak tahu,
itu hanyalah Tuhan yang merahasiakannya.
Kami
terduduk di atas sofa. Justin mendesah pelan dan mengadahkan kepalanya pada
sisi sofa.
“Aku
takut aku tidak akan menjadi ayah yang baik,” ujar Justin akhirnya memberitahu
alasannya mengapa ia tidak begitu senang. Tapi dengan lembut, aku memegang
tangan Justin dan menaruhnya di atas perutku.
“Kau
akan menjadi ayah yang sangat baik, Justin. Aku sangat yakin itu,” ujarku
dengan senyuman. Lalu Justin mulai menarik kepalanya dan menatapku dengan
tatapan bingung dan ragu-ragu. Lalu ia menggelengkan kepalanya.
“Setelah
apa yang telah kulakukan padamu, aku hanya ..” suaranya menghilang dan ia
menggelengkan kepalanya dengan lesu. Astaga, Justin tentu saja akan mencintai
anak ini seperti ia mencintaiku. Ia tidak mungkin akan menyakiti anak dariku.
Ia mencintaiku otomatis ia akan mencintai anak ini. Anaknya dan anakku. Darah
dagingnya sendiri.
“Bagaimana
dengan punggungmu?” tanya Jutsin khawatir.
“Astaga,
Justin. Aku sudah sembuh. Anak kita tidak akan menyakitiku,”
“Baiklah.
Aku sering memukul orang, Anna. Sebelumnya, aku memang sering memukul wanita.
Bahkan kau,” aku mengangkat tanganku untuk menghentikan kata-katanya. Aku tidak
ingin mendengar itu lagi. Ini sudah aku bicarakan berkali-kali dengannya. Aku
sudah melupakan segalanya. Satu minggu yang memang penuh dengan perasaan
seperti neraka dan satu minggu dalam keheningan itu sudah kulupakan. Ia hanya
memukul satu kali dan ia sudah berjanji untuk tidak melakukannya. Dan ia memang
membuktikannya.
“Tidak
Justin. Kau sudah berubah. Kau akan menjadi ayah yang luar biasa, kau percaya
itu bukan?”
“Aku
akan mencobanya,” bisik Justin akhirnya. Aku tersenyum manis dan mulai
mengangkanginya. Kemudian aku melingkarkan tanganku di sekitar lehernya dan
mengecup bibirnya.
“Kau
akan menjadi ayah yang luar biasa Justin,”
“Iya,
Anna, iya. Aku sudah mendengarnya. Dan aku akan berusaha,” ujar Justin bosan
dengan kata-kataku. Lalu aku tertawa.
“Kau
ingin anak laki-laki atau anak perempuan?” tanyaku memiringkan kepalaku ke
salah satu sisi. Justin tertawa dan menarik pinggangku agar aku lebih maju.
Sial, ia sudah keras di bawah sana. Ternyata dari tadi ia menyembunyikan
gairahnya terhadapku.
“Perempuan,”
“Mengapa?”
“Karena
jika ia laki-laki, kau akan lebih mencintainya dibanding kau mencintaiku,”
ujarnya. Aku tertawa lepas dan mengecup bibirnya. Oh, Justin-ku yang lucu. Aku
benar-benar mencintaimu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar