Sabtu, 09 Mei 2015

Lucky Slut Bab 16



CHAPTER SIXTEEN

            Seharusnya Miss Gillbride menjadi pendamping Grisell malam itu, bukan Eunice. Namun keadaan tubuhnya sedang tak mendukung, 1 minggu terakhir ini ia lebih banyak melakukan aktivitas di kamarnya karena flu yang menyerang. Ia tidak ingin orang lain tertular dan merusak season kali ini. Hujan di luar membuat kepalanya semakin pening. Pintu kamarnya terketuk dan ia menyahut dari dalam dengan hidung tersumbat. Mungkin hanya pelayan. Tapi saat pintunya terbuka, Hope muncul sambil menggendong Mr. Phee. Miss Gillbride tidak tahu harus ditaruh dimana wajahnya sekarang tapi keadaannya malam ini begitu buruk sampai-sampai majikannya pun tidak boleh melihatnya. Hidungnya yang merah segera ia tutupi dengan sapu tangan yang sedari tadi ia pegang. Rambut hitamnya acak-acakan dan lembap. Oh, sungguh, Hope seharusnya tidak perlu melihatnya sekarang.
            Namun jika dipikir lagi, sudah terlambat. Gadis ini sudah muncul dan telah menutup pintu kamarnya. Miss Gillbride segera menggeser tubuhnya agar duduk di kepala tempat tidur yang ditumpuk begitu banyak bantal. Ia bersandar sambil memandangai Hope yang melangkah pelan-pelan ke arahnya. “Apa ada yang bisa kubantu, Miss Moore?”
            “Hope saja, Miss Gillbride. Hanya kita berdua yang ada di sini,”
            “Tentu saja,” ucap Miss Gillbride serak. “Apa ada yang bisa kubantu, Hope?” Tanyanya kemudian berdeham. Kepala Hope tertunduk, ia duduk di pinggir tempat tidur Miss Gillbride dan tangan kanannya mengelus-elus kepala Mr. Phee. Jadi, apa yang membawa gadis ini masuk ke dalam kamarnya? Hope menggigit-gigit bibir bawahnya, takut mengatakan sesuatu pada Miss Gillbride. Tapi akhirnya gadis itu mendongak.
            “Grisell diculik,” ucap Hope singkat. Dari kepala tempat tidur, Miss Gillbride menarik nafas tajam, terkejut setengah mati atas kabar buruk ini. Muridnya diculik? Oleh siapa? Kepalanya yang sudah pening, semakin pening karena kabar ini. Bagaimana mungkin? Mengapa tidak ada yang menjaga pintu gerbang di depan? Kemana Eunice, penggantinya, yang seharusnya menjadi pendampingnya? Ini masih membuat Miss Gillbride sampai-sampai ia tidak mendengar apa yang tengah dikatakan Hope. “…khawatir . Dan kakakku, kakak Grisell dan kakak iparku sedang mencari dimana keberadaannya sekarang. Mildred sebenarnya memintaku agar tetap berada di kamar, tapi kurasa kau perlu mengetahui ini,” lanjut gadis itu semakin membuat Miss Gillbride bingung. Kakak Grisell? Rahasia apa lagi yang disembunyikan oleh muridnya?
            “Kakak Grisell?”
            “Lord Myhill. Aku tak menyangkanya, tapi sungguh, Grisell memiliki setengah darah biru. Oh, aku sangat khawatir, Miss Gillbride. Bagaimana jika Grisell diculik dan tidak akan pernah kembali lagi? Kakakku sangat mencintainya. Dia tidak pernah terlihat sebahagia ini sebelumnya dengan mantan-mantan kekasihnya yang dulu. Bagaimana jika Grisell tidak kembali, Miss Gillbride? Aku tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada kakakku,” ucap Hope mengerutkan kening, suaranya serak sekarang. Miss Gillbride menurunkan tangannya dari hidungnya kemudian mencondongkan tubuhnya ke arah Hope, memeluknya.
            “Jangan membicarakan hal-hal yang belum pasti, Hope. Percayalah kakakmu pasti akan menemukan Grisell. Yang kita perlu lakukan adalah berdoa.”

***

            Hujan semakin deras.
            Kusir kuda yang disewa Nathaniel turun, ia membukakan pintu bagi dua penumpang di belakang. Pria berumur awal 40-an itu keluar dari kereta kuda, titik-titik hujan yang deras membasahi pakaiannya dalam hitungan detik. Grisell diseret keluar dari kereta kuda dengan kedua tangan telah dilepas. Ikatan di kakinya juga sengaja dilepaskan agar wanita itu dapat berjalan, begitu juga dengan mulutnya agar Grisell tidak kelihatan seperti sedang diculik. Nathaniel melihat tempat penginapan yang berada di seberang jalan yang lebar. Di bawah pencahayaan yang sangat kurang, Nathaniel menatap kereta kudanya dan kusir itu. Mengapa aku menyewa kusir ini? Nathaniel sangat menyesal. Tapi tidak ada waktu lagi. Kerinduan Nathaniel harus dilepaskan malam ini dan Grisell harus memenuhi kebutuhan nafsu binatangnya.
            Wanita itu memberontak, menahan kakinya di tanah saat Nathaniel menariknya. Titik-titik hujan membuat Nathaniel sulit melihat wanita itu. Cahaya dari kereta kuda tidak berhasil membuat mata Nathaniel melihat dengan jelas, ia bahkan perlu memegang tangan Grisell dengan erat agar wanita itu tidak lari dan membuat Nathaniel terpaksa mengejarnya dengan penglihatan yang kurang. Grisell masih berusaha memberontak, ia sampai terjongkok untuk menarik tangannya dari genggaman tangan Nathaniel.
            “Lepaskan aku, Brengsek!” Teriak wanita itu sambil memejamkan mata. Rambut cokelatnya yang sudah terlepas dari sanggulan hancur begitu saja karena hujan deras. Bibirnya menjadi mengilap terkena air hujan dan gaun ungu yang ia kenakan mencetak lekuk tubuhnya. Kusir kuda itu bingung apa yang harus ia perbuat, melihat kedua penumpangnya yang bertengkar. Pria yang menyewanya mengaku, pria itu menjemput istrinya yang berselingkuh dengan pria lain. Kusir itu harus akui, rumah yang ia datangi tadi luar biasa indah dan besar. Tidak heran mengapa wanita ini mau dengan si pemilik rumah dan tak ingin pergi kembali pada suaminya. Namun ia tidak melihat cincin di jemari keduanya.
            “Apa kau ingin kubantu, Milord?” Tanyanya melangkah mendekat.
            “Menjauh!” Geram pria itu akhirnya menendang betis Grisell hingga wanita itu terpeleset. Sebelum ia jatuh, Nathaniel telah menggendongnya dan menempatkannya ke atas bahunya. Grisell terus memberontak, ia memukul-mukul punggung keras Nathaniel. Namun, tentu saja, pria itu tidak merasakan kekuatan lemah Grisell. Mengapa kusir kuda itu begitu bodoh menghentikan kereta kudanya di sana? Rumah penginapan memang tidak sampai sejauh 1 mil, tapi tetap saja, ia perlu melangkah lebih daripada seharusnya jika kusir itu menghentikan kereta kudanya tepat di depan penginapan itu. Grisell melemas, ia tidak memiliki cara lain selain menggoda pria itu. Tapi sudah lama ia tidak menggoda pria lain selain Lord Moore. Dan rasanya pasti akan janggal—mengetahui ia sekarang sudah menjadi tunangan orang lain.
            “Nathan,” teriaknya melawan suara derasnya hujan. Nathaniel berhenti melangkah sesaat begitu namanya dipanggil, lalu melangkah kembali. “Kumohon, berhenti menggendongku seperti ini. Perutku sakit tertekan bahumu. Bagaimana mungkin aku bisa memuaskanmu jika perutku kesakitan?” Tanyanya dengan suara lebih kencang lagi. Mendengar suara penuh permohonan itu, Nathaniel merasa iba.
            “Kau berjanji tidak akan lari dariku, Manis?” Tanyanya.
            “Ya, kumohon, Nathan,” ucap wanita muda itu terisak. Nathaniel terdiam sejenak, membiarkan air hujan sedikit lebih lama membasahi dirinya. Apa pun akan ia berikan untuk kekasihnya, selama itu menguntungkannya juga. Sekaligus juga melihat apakah wanita itu benar-benar menepati janjinya. Jika kali ini Grisell kabur darinya, Nathaniel terpaksa menggunakan kekerasan. Perlahan-lahan, ia menurunkan Grisell dari gendongannya, membiarkan kedua kaki telanjang Grisell menyentuh tanah. Dengan sigap, Nathaniel menahan pinggang Grisell agar wanita itu tidak pergi kemana-mana. Berbeda dengan perkiraannya, wanita itu justru melingkarkan kedua tangannya di sekitar leher Nathaniel.
            Grisell menjinjit, membuat pipi wanita itu menyentuh lehernya. “Sebaiknya kita melakukannya di dalam, Manisku,”
            “Mengapa tidak kau cium aku sekarang?” Tanya wanita itu menjauhkan wajahnya dari leher Nathaniel. Wajah mereka begitu dekat sampai Grisell dapat melihat raut wajah penuh harap. Pria ini memang pernah dicintai Grisell. Pria ini memang memenuhi janjinya dulu. Pria ini memang bertindak romantis, jika Grisell masih mengharapkannya. Sayangnya, Grisell sudah mencintai pria lain. Dan apa yang Miss Gillbride pernah katakan benar. Obsesi itu bukan cinta.
            Tanpa Grisell sadari, pria itu sudah menyentuh pipinya. “Jika itu yang kauinginkan, Cintaku,” ucapnya mencondongkan wajahnya ke wajah Grisell. Saat bibir basah mereka hampir bersentuhan, Grisell menyentak lututnya ke kejantanan Nathaniel dengan keras hingga pria itu mengerang. Pria itu mundur beberapa langkah, kedua tangannya memegang kejantanannya yang baru saja mendapat tendangan lutut yang menyakitkan. Tidak ingin membuang-buang waktu, Grisell segera berlari secepat mungkin menjauh dari Nathaniel. Kusir itu sudah pergi membawa kereta kudanya ke dekat tempat penginapan—mereka diturunkan karena jalanan tidak rata dan hujan membuat jalanan menjadi licin.
            Grisell berlari tanpa sekalipun menoleh ke belakang. Ia melihat ke depan, namun ia tidak dapat melihat apa pun selain jalan yang lebar yang gelap. Tapi ia tidak punya pilihan lain selain kabur dan lepas dari pandangan pria itu. Ia tidak ingin pergi ke Paris bersama buronan Irlandia itu. Ia tidak ingin memiliki suami yang ternyata selama ini adalah buronan. Tapi satu-satunya alasan kuat mengapa ia tidak ingin pergi bersama pria itu adalah; Justin Moore adalah rumahnya. Ia tidak ingin pergi dari pria itu sampai kapan pun. Jadi, jika ini adalah kesempatan terakhir yang ia miliki untuk kabur dari pria itu, ia tidak akan menyia-nyiakannya sedetik pun.
            Kakinya berlari tanpa alas kaki dan tanah yang ia pijaki begitu licin. Sesekali ia terpeleset, tapi itu tidak menghentikannya berlari. Begitu ia menoleh ke belakang untuk memastikan apakah ia sudah jauh, ia tidak melihat siapa pun di belakang selain cahaya dari rumah penginapan yang redup karena air hujan. Seluruh pori-pori tubuh meremang begitu ia mendengar suara gesekan pakaian dan nafas berat orang lain. Ia terus berlari sambil berputar-putar melihat ke sekeliling apakah ia sudah jauh dari pria itu atau belum. Suara gesekan pakaian dan nafas berat orang itu sudah menghilang. Grisell kembali berlari ke arah kegelapan di depannya. Jika ia dimakan oleh serigala atau binatang berbahaya apa pun, ia lebih memilih itu dibanding harus bertemu kembali dengan Nathaniel.
            Dari jarak jauh, Grisell melihat lentera melayang-layang dengan suara lari kuda. Secercah harapan muncul, seolah-olah membuat jiwa Grisell terbebas dari penjara. Tapi sebelum Grisell berhasil berteriak, kaki kanannya tertarik begitu saja hingga tubuhnya terjungkal jatuh ke atas tanah berlumpur. Tangan itu terus menarik tubuh Grisell mundur ke belakang, ke arah orang itu. Suara Nathaniel menggeram terdengar begitu saja hingga membuat Grisell nekat menendang kaki kanannya hingga genggaman tangan itu lepas. Tapi hanya untuk satu detik saja, lalu kemudian tangan itu kembali menangkap kaki Grisell. Gadis itu tengkurap, gaun ungu yang ia pakai sudah benar-benar kotor, begitu juga dengan lehernya. Tapi ia tidak peduli lagi. Gadis itu menancapkan jari-jari kedua tangannya ke dalam tanah yang berlumpur, berharap ia dapat menahan dirinya.
            “Kemari kau, Jalang!”
            “Lepaskan aku!” Teriak Grisell terus menyentak-nyentakkan kakinya. “Nathaniel, kumohon, lepaskan aku. Biarkan aku pergi!” Tapi balasan yang Grisell terima adalah kaki kirinya tertangkap oleh tangan Nathaniel yang satu lagi. Pria itu sepertinya sulit bergerak dalam balutan pakaian pria terhormat yang berat dan rumit karena hujan. Nathaniel bangkit—ia melepaskan kedua kaki itu sesaat—dan kemudian segera menindih tubuh Grisell agar gadis itu tidak pergi kemana-mana.
            “Sepertinya jika aku tidak mengikatmu, kau tidak akan jadi anak penurut,” ucap pria itu menarik paksa kedua tangan Grisell ke belakang punggung gadis itu sendiri. Nathaniel menarik cravat-nya dan mengikat kedua tangan Grisell dengan cekatan. “Bagaimana kalau kita melakukannya sekarang? Di tengah jalan yang gelap. Tidak akan ada yang melihat kita, bukan?” Tanya pria itu kemudian memutar tubuh Grisell sehingga wanita itu telentang di hadapannya. Mata Grisell terpejam, tak ingin, tak sudi, merasa jijik jika ia melihat pria itu. Dirasakannya sentakan kuat dari tangan pria itu saat pakaian bagian atasnya yang sudah robek, sekarang makin robek.
            “Tidak!” Jerit Grisell panjang. “Tidak! Tidak! Kumohon jangan!” Serunya menjerit melengking sampai-sampai Nathaniel mengerut wajah. Tapi tidak ada yang dapat Grisell lakukan selain menjerit. Tangannya terikat, kedua kakinya tertindih oleh tubuh pria itu. Bagaimana mungkin ia dapat lari dari situasi ini? Saat Nathaniel mengangkat tubuhnya dari atas tubuh Grisell, pria itu menaikkan rok bagian dalam Grisell sehingga paha putih Grisell tampak begitu saja. Sangat menggiur. Tetap mulus dan tidak berubah. Stoking hitamnya membuat betis wanita itu kelihatan lebih seksi lagi.
            “Kau tidak pernah mengecewakanku, Manis,” ucap pria itu seperti penjahat kelamin. Tubuh Grisell bergetar karena takut. Suara kaki kuda berlari menuju ke arah mereka semakin dekat. Nathaniel mendongak melihat siapa yang datang—dan ternyata orang yang ingin ia temui mendatanginya juga. Dalam satu gerakan sigap, Nathaniel menarik tubuh Grisell berdiri bersama-sama dengan dia.  Nathaniel mengeluarkan sebuah pisau dari kantong celananya, mengapit leher Grisell dengan tangan yang memegang pisau itu.
            Nafas Grisell tercekat. Ia berusaha mencerna apa yang sedang terjadi sekarang. Pria yang dulu ia cintai sedang mengacungkan pisau ke lehernya sambil menyeret Grisell ke belakang bersama-sama dengan pria itu. Suara larian kuda semakin dekat ke arah mereka kemudian sebelum kuda itu benar-benar berhenti di hadapan mereka, Justin segera melompat turun kemudian berlari ke arah mereka. Dan itu dia. Pangeran berkuda Grisell. Pria itu datang dengan tangan memegang lentera, tanpa senjata lain. Tentu saja Justin tidak akan menggunakan senjata apa pun jika senjata yang ia miliki adalah tangan kuatnya.
            Justin berhenti berlari, membiarkan jarak membentang diantara mereka. Melihat kedua tangan tunangannya diikat dan diacungkan pisau di lehernya. Dia tidak membawa apa pun selain lentera sialan yang sedang ia pegang. Wajah mereka berdua terlihat samar-samar di bawah pencahanyaan bulan, ditambah lagi hujan deras. Ada perasaan dalam tubuh Justin yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Ia tidak pernah membenci siapa pun dalam hidupnya karena ia bukan orang yang menghakimi orang lain dan memedulikan apa yang orang lakukan. Tapi Tuhan tahu kalau pria itu sedang diliputi oleh amarah dan kebencian. Setelah apa yang telah dilakukan pria tua itu pada Grisell, Justin berpikir, ia tidak akan membiarkan Grisell kembali ke dalam dekapan pria itu.
            “Lepaskan gadisku. Dan mari kita selesaikan seperti laki-laki sejati,” ucap Justin dengan suara lantang dan tegas. Grisell dapat melihat dari cahaya lentera itu, rahang pria itu menegang dan ia tidak pernah melihat urat di kepalanya tercetak begitu jelas seperti ini. Nenek-nekek tua pun tahu, pria itu sedang dalam keadaan marah tak tertolong. Justin berjalan mendekat ke arah mereka dengan langkah yang besar, sementara Nathaniel kesulitan menyeret dirinya dan Grisell menjauh dari pria itu. Tapi pisau tajam itu tetap berada di bawah kulit Grisell.
            “Dia bukan gadis-mu, Brengsek!” Seru Nathaniel seperti orang gila. Siapa pun yang melihatnya sekarang pasti akan menganggap pria itu sakit jiwa. Pria itu berhenti menyeret Grisell. “Biar kuberikan ia pilihan. Bukankah kita berhak untuk memilih?”
            “Jacoby,” ucap Justin menyebut nama belakangnya. Mata hitam Nathaniel menatap Justin waspada. Kemudian lengannya yang mengapit leher Grisell semakin mengencang. “Lepaskan Grisell, sekarang dan—“
            “Diam, Brengsek! Diam!” Teriak Nathanie lagi. Dalam hati Grisell bersumpah jika ia tuli karena teriakan pria itu, ia akan memotong kejantanannya. “Biar dia kuberi pilihan,” ucap pria itu melanjutkan. Nathaniel menunduk, melirik Grisell yang masih memejamkan matanya. Bibir pria itu berada di atas telinga Grisell, terbuka namun tidak mengatakan apa-apa.
            “Jacoby. Kumohon, jangan sakiti aku,” ucap Grisell terisak. Pisau yang berada di bawah kulit lehernya sesekali menekan leher itu saat Grisell berbicara. Dan tampaknya pria itu tak mengindahkan apa yang dikatakan Grisell.
            “Pilihannya seperti ini: kau pilih dia, tapi kubunuh kau terlebih dahulu,” ucap Nathaniel di tengah-tengah hujan. “Atau, kau pilih ikut denganku dan—jangan berani-berani mendekat, Brengsek!” Bentaknya saat melihat Justin mengambil langkah pelan. Seketika Nathaniel bingung harus mengacungkan pisau itu kepada siapa. Tangannya mengacung ke depan, ke arah Justin yang pelan-pelan melangkahkan kakinya ke arahnya. Seperti harimau yang akan memakan rusa. Tapi tidak dengan mengendap-endap. Hanya berjalan pelan, tapi sungguh, darah Justin bergemuruh. Justin bersitatap dengan pria itu sambil berharap Grisell dapat melakukan apa pun agar dapat keluar dari dekapan pria itu. Karena sungguh, selain demi keselamatan Grisell, Justin tak bisa melihat Grisell dalam dekapan pria lain.
            Nathaniel menarik nafas tajam saat Justin melempar lenteranya ke samping. “Menjauh atau akan kubunuh dia!” Seru Nathaniel kembali mengacungkan pisau itu ke leher Grisell. Tapi kembali lagi ke arah Justin saat pria itu terus melangkah mendekat pada mereka. “Brengsek!” Teriak Nathaniel kemudian membenturkan keningnya ke belakang kepala Grisell. Gadis itu jatuh ke atas tanah dalam hitungan detik. Sepersekian detik setelah Grisell jatuh, mata Justin dibutakan oleh amarah yang membabi buta. Pria itu bergerak begitu lincah. Ia segera meninju wajah Nathaniel dengan tangan kiri, kemudian menunduk saat Nathaniel berusaha membalasnya dengan tangan yang tak memegang pisau.
            Justin bergerak ke kanan saat Nathaniel berusaha menusuknya. Dalam kesempatan itu, Justin menyikuti punggung pria itu dari belakang sehingga Nathaniel jatuh. Pria tua itu ternyata lebih bugar dari yang Justin pikir. Seolah-olah ini adalah pertandingan tinju, Nathaniel segera bangkit kembali.
            “Aku tidak mengira kau akan bergerak secepat itu,” ucap Justin hendak maju. Ejekan itu semakin membakar amarah Nathaniel.
            “Bajingan!” Seru pria itu meninju, tapi tinjuan itu meleset. Justin segera meninju rahang bawah pria itu dengan kekuatan di tangan kirinya. Nathaniel tumbang begitu saja akibat tinjuan itu. Jika saja Grisell sadar saat itu, ia pasti melihat perbedaan tatapan Justin yang normal dengan tatapan Justin yang ini. Matanya seperti tatapan gila. Nathaniel tidak bangun. Seperti matanya baru saja dapat melihat, Justin tersadar bahwa Grisell masih pingsan.
            Pria itu berjalan dengan perasaan khawatir. Sudah jelas kepala Grisell berdarah dan jika… jika… Justin tidak dapat melanjutkannya. Ia tidak bisa membayangkan Grisell kekuarangan darah dan berakhir kematian. Terdengar mustahil, tapi selalu ada kemungkinan. Justin mendekati Grisell yang telentang di atas tanah berlumpur kemudian berjongkok. Pria itu menjulurkan tangannya ke belakang kepala Grisell kemudian menariknya kembali. Darah. Justin tersentak saat melihat Grisell menggerakan kepalanya. Gadisnya merengek kesakitan.
            “Jangan khawatir, semuanya akan baik-baik saja,” ucap Justin setenang mungkin, seperti biasanya. Grisell hanya menganggukkan kepalanya. Ia lelah akan apa yang terjadi sepanjang malam ini. Mungkin sekarang sudah subuh. Ia tidak yakin. Ia ingin pulang dan tidur dalam pelukan Justin. Telinga pria itu mendengar suara kaki kuda. Kali ini beberapa kuda. Berarti Benjamin sudah memanggil bantuan. Kepala Grisell juga menoleh ke arah datangnya suara kuda, kemudian membuka matanya untuk melihat.
            “Aku ingin pulang,” bisik Grisell, lebih mengarah pada rengekan seperti anak kecil. Dan Justin sangat mengerti mengapa Grisell bertingkah demikian. Wanita itu akhirnya menoleh menatap Justin. Tapi matanya semakin membesar dan membulat. “Justin, awas!”
            “Sial!”
            Kemudian terdengar suara tembakan. Terlalu banyak yang terjadi. Grisell tidak dapat mencernanya dengan baik. Terakhirnya yang ia tahu adalah tubuhnya diangkat oleh seseorang dan Justin baru saja tertusuk pisau Nathaniel. Ia tidak tahu apa lagi yang lebih buruk.

***

            Grisell tahu seharusnya ia kabur dari rumah Lord Moore sejak ia dibeli oleh pria itu. Jika saja ia kabur, mungkin pria itu tidak mungkin akan terbaring lemah di atas tempat tidurnya sendiri. Kulit pria itu pucat, tidak seperti biasanya. Terutama bibirnya yang berwarna putih keabu-abuan itu. Setelah insiden penculikan itu, Grisell harus beristirahat di kamarnya selama dua hari sebelum ia bisa keluar dari kamarnya. Kepala Grisell diperban oleh dokter dan untuk menutupi perban itu, ia memakai bonnet konyol selama di rumah. Tapi ia tidak pernah pergi kemana-mana selain kamar tunangannya.
            Tidak pernah seorang pun di keluarga Moore pernah melihat Justin sekarat seperti ini. Nathaniel menusuk Justin di pinggang kiri pria itu. Dan selama dua hari penuh siksaan di kamar, Grisell tidak bisa tidak memikirkan Justin. Ia harus melihat Justin meski keadaannya sendiri pun belum pulih total. Ia memaksa padahal dokter menganjurkan agar ia beristirahat selama beberapa hari. Dan Justin baru akan sembuh dalam beberapa minggu ke depan. Meski begitu, Justin telah sadar setelah sehari penuh—sejak ia ditusuk pisau—tidak bangun sedetik pun.
            Tapi pria itu sedang menatapnya sekarang. Oh, andai saja ia boleh berbicara. “Aku butuh hiburan,” ucap Lord Moore datar. Entah mengapa ucapan itu terdengar seperti lelucon. Wanita itu tersenyum mendengar permintaannya. Tapi sepertinya Justin memang bersungguh-sungguh membutuhkan hiburan. Jadi Grisell memutuskan memanggil Lord Myhill ke kamar Lord Moore. Ada situasi canggung saat Lord Myhill masuk ke dalam kamar Justin karena… yah, kedua Ayah mereka pernah mencintai—atau hanya memakai tubuh—Ibu Grisell.
            “Mengapa kau membawanya, Grisell?” Tanya Justin bingung. Tapi apa boleh buat, pria itu sudah masuk dan Grisell tak memberikan pertanyaan yang pastinya tidak akan membuat pria itu berhenti mengoceh. Tunangannya menanyakan bagaimana Nathaniel berakhir.
            “Aku memukul kepalanya dengan batu,” ucap Lord Myhill setengah polos, setengah tidak merasa bersalah. “Setelah dia ditembak,” lanjut Lord Myhill lebih condong pada perasaan puas dibanding prihatin. Tapi Justin tidak terhibur. Ia ingin memeluk Grisell. Atau paling tidak mengecup kepala Grisell. Apa pun untuk membuatnya merasa tetap hidup.
            Banyak yang memberikan kartu ucapan pada Grisell setelah berita penculikan itu terdengar sampai ke London. Dan yah, setelah kejadian penculikan itu, Lady Paston harus memecat beberapa penjaga rumahnya karena lalai. Lady Paston harus memperketat penjagaan dan perawatan Grisell atas permintaan Lord Moore. Perlakuan itu membuat Grisell cukup jengkel terhadap Justin karena ia ingin bertemu dengan Lord Myhill dan Bibi Millicent. Tapi ia melanggarnya. Dan entah bagaimana bisa, Justin tidak bisa memarahi Grisell.
            Dan yah, Grisell dapat bertemu dengan kakak tirinya. Saat menceritakan tentang nasib malang Nathaniel, Lord Myhill duduk di atas kursi di samping tempat tidur Lord Mooredengan posisi badannya duduk bersandar. Jika Grisell bukan adiknya, sudah jelas Grisell menyukai Lord Myhill. Ia ingin mengatakan itu, tapi sulit. Dokter memberitahu Grisell agar ia tidak berbicara selama beberapa hari ke depan. Tak heran mengapa dokter menyarankan Grisell melakukan itu karena ia terus berteriak pada… bajingan itu. Jadi percakapan dengan kakaknya—atau Justin—bisa dikatakan tidak berlangsung begitu efisien. Grisell menulis di atas kertas yang dilapisi papan agar ia dapat menuliskan apa yang ia ingin katakan. Meski Lord Myhill harus akui tulisan Grisell tidak begitu bagus, setidaknya, ia mengerti mengapa itu terjadi.
            Kemudian Grisell menulis kembali. Dimana dia sekarang?
            “Dipenjara seumur hidup,” ucap Lord Myhill pada Grisell, kemudian kepada Justin. “Kurasa dia akan tertimbun di antara mayat para tahanan. Kembali ke kehidupan lamanya. Kehidupan yang layak untuknya setelah apa yang ia lakukan padamu, Dik,” ucap Lord Myhill mengelus kepala Grisell. “Jika kau sudah menikah dengan Moore, aku akan datang ke sini lebih sering lagi untuk melihat keadaanmu.”
            Terima kasih, tulis Grisell.
            “Hey, kau tahu apa masalah Miss Bridget Moore? Tiap kali aku berpas-pasan dengannya, aku melihatnya seolah-olah ingin membunuhku. Dan sungguh, aku tidak pernah ditatap seperti itu oleh seorang wanita. Ini pertama kalinya,” ucap kakak tirinya dengan pengalihan topik pembicaraan yang tiba-tiba. Pria itu menatap Grisell kemudian pada Justin secara bergantian.             Grisell tidak tahu harus merespon seperti apa karena… jujur saja, ia bingung.
            “Jangan pernah sekalipun kau berpikir aku akan merestui hubungan kalian,” ucap Justin ketus.
            Kedua alis Lord Myhil terangkat. “Aku tidak menginginkan adikmu, Moore,”
            “Bagus,” ucap Justin mengangguk satu kali. “Aku tidak ingin reputasinya rusak karena berdekatan denganmu. Aku ingin kau berpikir dua kali jika kau menginginkannya,”
            “Tidak perlu berpikir dua kali saja aku sudah tidak menginginkannya,” ujar Lord Myhill memutar bola matanya. “Maafkan aku, Moore, dia itu aneh,”
            Justin menatap tajam pria itu. Namun Grisell terbatuk, membuat kedua kepala pria itu berbalik melihat Grisell. Hentikan! tulis gadis itu di papannya. Justin hanya membacanya, meski tidak mengindahkannya, Justin mengalihkan topik pembicaraan. “Bagaimana dengan Henrietta?”
            “Kau pasti akan terkejut jika aku memberitahumu,”
            “Aku akan bertemu dengannya secepat mungkin setelah aku sembuh,” ucap Lord Moore tegas. “Dia hampir membawa Grisell pada kematian,”
            “Yah, Henrietta mencoba untuk bunuh diri. Tapi dia tidak meninggal,” balas Lord Myhill acuh tak acuh. “Sayangnya.” Grisell memelototinya.
            “Baiklah,” tukas Justin. “Bisakah kau memberikan kami sedikit privasi?” Lord Myhill tidak perlu diminta dua kali. Pria itu segera melesat pergi, berharap ia tidak bertemu dengan Bridget dimana-mana tempat. Setelah pintu kamar Justin tertutup, pria itu menepuk-nepuk kasurnya di daerah yang kosong. “Berbaringlah bersamaku.”
            Tapi Grisell tetap diam di tempatnya. Aku takut menyakitimu, tulisnya secepat yang ia bisa. Justin ingin tertawa membacanya. Ia teringat akan kakinya yang bengkak karena diinjak oleh Grisell. Oh, saat-saat paling bahagia.
            “Kau tidak akan menyakitiku, Sayang,” bujuk Justin. “Ayo, berbaringlah. Aku ingin menghabiskan soreku bersamamu.”
            Sebelum Grisell menurutinya, ia memerhatikan Justin sejenak. Pria itu hanya memakai kemeja putih dan selimut menutupi tubuhnya sampai sebatas pinggang. Ia belum melihat perban di pinggang pria itu dan tidak berniat untuk melakukannya. Ia yang menyebabkan luka itu ada. Wanita itu melepaskan bonnet-nya sehingga perban itu kelihatan sekarang. Tapi ia segera memberi kode agar Justin tidak berkomentar. Ia merangkak perlahan-lahan ke sebelah Justin dan berbaring. Tangan Justin segera merangkul wanita itu—dan meringis pelan—kemudian menempatkan pipinya di atas kepala wanita itu.
            Tadi itu menghibur. Tapi sekarang ia merasa lebih hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar