Jumat, 26 Juli 2013

Rolling the Camera Bab 4


***

*Alexis Bledel POV*

            Aku disuruh oleh Gavin untuk latihan bercinta di dalam kamar Christian Grey bersama Justin? Karena kami akan benar-benar melakukannya. Ini sangat ..aku sangat terekspos. Kupikir ada pemeran pengganti tapi .. sialan, aku tidak bisa menolak karena kontrak tertulis dengan peraturannya. Sial, sial, sial! Aku ingin menjerit sekarang.
            Aku menatap ke arah kaca yang benar-benar besar sambil menatapi kota. Tubuhku sekarang benar-benar telanjang dibalik jubah mandi berwarna putih yang kupakai sambil menunggu Justin yang sebentar lagi menunggu.
            “Apa kau percaya apa yang baru saja Gavin katakan?” Justin bertanya, muncul dari balik pintu kamar dan aku berbalik. Dia tersenyum. Sialan, aku pikir dia menolak. Aku tahu aku pernah melakukannya bersama Justin di dunia nyata, tapi akting? Oh, astaga. Aku bisa lupa diri.
            “Aku benar-benar tidak sabar!” Justin bersemangat dan langsung melemparkan dirinya di atas tempat tidur dan menarik pinggangku sehingga aku ikut terbaring dengannya. Ia tertawa dan mencium leherku. SIAL!


****

*Still Alexis Bledel POV*

            Dengan kasar Justin menarik tali jubah kamar mandiku. Dan sedetik kemudian tubuhku sudah terbuka untuknya. Ia berada di atasku, hampir menindihku –tapi tidak, ia hanya bersimpuh di depanku. Ia menyeringai padaku dengan nafas yang terengah-engah dan mulai menindihku. Ia hanya memakai boxer berwarna abu-abu dan aku bisa merasakan sesuatu yang keras di bawah sana saat ia menindih tubuhku. Tangannya berada pada di ketiakku dan mengangkatku agar aku setengah terduduk, kedua jempolnya tak sengaja menyentuh sisi dadaku yang menyembul di depan wajahnya. Ia menahan tubuhku dengan tangannya yang siku-siku berada di atas kasur untuk menahan berat badanku.
            Kupejamkan mataku saat bibirnya dengan pelan menyentuh tengah dadaku lalu mengeluarkan sedikit ujung lidahnya, membuatku bergetar di bawahnya dan mendongakan kepalaku ke belakang. Aku merintih pelan dan ia tertawa pelan di sana. Kemudian lidahnya tidak sama sekali menyentuh dadaku, malah ia mulai menjilat tulang-tulang di sekitar leherku dan menciumnya lalu menghisapnya membuat jari kakiku meremas karena getaran yang ia berikan.
            “Sial,” aku mengerang pelan saat lidahnya mulai menjilat leherku yang terbuka untuknya. Kembali ia menghisapnya dan aku mendesah  pelan. Tanganku masih berada di kepalanya dan menarik rambutnya dengan kasar ke belakang. Dia mengerang.
            “Jangan liar dulu sayang,” ia menyarankan padaku dan mulai mendudukan tubuhku dengan benar ke kepala tempat tidur. Salah satu tangannya melepaskan jubah mandiku dengan cepat dan ia melemparkannya ke sembarang tempat. Aku benar-benar telanjang di hadapannya. Ia mengerjapkan matanya berkali-kali seolah-olah ia tidak percaya kalau aku benar-benar telanjang di depannya. Aku bisa melihatnya yang menelan ludahnya dengan susah. Jakunnya naik-turun dan kemudian air liurnya sedikit keluar dari sudut bibirnya. Tergiur? Bagus. “Ini lebih baik,” ujarnya kemudian bibirnya mulai menyentuh sisi-sisi dadaku tanpa menyentuh putingnya. Dan itu membuatku gila.
            “Justin!” aku menjerit, memohon padanya untuk menjilati dadaku dengan keras. Salah satu tangannya sudah meremas salah satu dadaku dan mulutnya mulai menghisap puting dadaku yang lain. Aku mengerang, keras dan mendongakan kepalaku ke belakang lagi. Aku ingin menangis, kenikmatan ini seperti tidak ada habis-habisnya. Kedua kakiku yang terbuka lebar langsung terkekuk saat tangannya mulai menggoda perutku dan mengelusnya. Dia tertawa. Kemudian jari-jari panjangnya mulai meraba-raba milikku yang sudah benar-benar basah itu.
            “Selalu siap, hanya untukku. Benar sayang?” tanyanya mulai mengelus jarinya di sekitar bawah sana dan membuatku menganggukan kepalaku dan ujung lidahnya kembali memainkan ujung putting dadaku. Aku menarik rambut Justin dengan kasar lagi sehingga ia mengerang.
            “Sabar sayang!” ia memarahiku dan kemudian mulutnya langsung menemui mulutku. Aku mengerang di dalam mulutnya saat satu jarinya meluncur di bawah sana. Aku memejamkan mataku. Dari mana ia belajar hal-hal seperti ini jika ia gay? Dari Theo? Aku tidak peduli. Intinya ia sangat mahir.
            “Justin, engh!” aku mengerang saat ia memasukan dua jari ke dalam diriku dan mulutnya masih berada di mulutku. Pinggulku ikut bergoyang, mengikuti gerakan jarinya yang semakin lama semakin cepat. Sebentar lagi aku akan meledak. Saat aku sudah berada di ujung tanduk orgasme, tiba-tiba Justin melepaskan jarinya dari dalam tubuhku. Membuatku gila dan ingin menamparnya sekarang. Dengan cepat tanganku menelusuri tubuhku sendiri, tapi Justin langsung menahanku.
            “Tidak ada sentuhan dari tangan sendiri,” ujarnya langsung.
            “Kumohon,” aku gila. Aku memejamkan mataku dan mendongakan kepalaku untuk yang kesekian kalinya. Tapi Justin langsung menahan kedua tanganku dengan satu tangannya dan satu tangannya lagi mulai berada di belakang leherku dan menarikku ke dalam ciumannya. Aku kembali mendesah pelan saat aku merasakan sesuatu yang keras menyentuh milikku dan sungguh membuat frustrasi. Aku membutuhkan pelepasan.
            “Gila?” tanyanya saat ia melepaskan bibirnya dari bibirku dan mata kami langsung bertemu. Ia menatapku dengan intens. Kuanggukan kepalaku dan menelan ludahku. Ia tersenyum penuh dengan kemenangan.
            “Kau tahu, aku ingin mengikatmu sekarang,”
            “Aku akan diam,”
            “Bagus,” cara bicaranya sudah benar-benar seperti Christian Grey dan gila control. Tangannya mulai melepas kedua tanganku. “Tangan diangkat ke atas,” suruhnya. Aku melakukannya dan ketiakku mulai terekspos di depannya. Ia menyeringai padaku dan menjilati pundakku dengan lembut.
            “Anastasia Steele,” ia menyebut nama itu, sungguh aku ingin mengubah namaku menjadi Anastasia Steele sekarang jika ia bersedia untuk mengubah namanya menjadi Christian Grey. Jari-jarinya mulai menyentuh milikku lagi dan membuatku tersentak sambil memejamkan mata. “Diam, sayang,” ia menggodaku dengan suaranya yang seksi. Ia terdiam dan mencoba untuk tidak menggerakan tubuhku. Tapi tubuhku bergetar begitu ia memainkan jempolnya yang memutar-mutar pada pusat milikku. Aku menelan ludahku dan mengerang setelah.
            “Gah!” aku menggerakan pinggulku dengan liar dan memintanya untuk memasukan jarinya ke dalamku.  Aku benar-benar berusaha agar tanganku masih berada di atas kepalaku. Tiba-tiba dua jarinya sudah berada di dalamku dan ujung telapak tangannya sudah berada di pusatku untuk menggesekku. Aku semakin menggerakan tubuhku dan memejamkan untuk meresapi setiap kenikmatan yang ia berikan.
            “Tatap mataku, Ana,” ia menggertak. Dan aku berusaha untuk mengedipkan mata untuk menatapnya. Kemudian aku mengerang saat ia mulai mempercepat gerakan jarinya dalam diriku. Aku meledak! Dan berteriak sekencang mungkin dan menatap Justin yang rahangnya menegang. Justin mendengus saat aku keluar. “Bagus sayang, benar-benar bagus,” ia memujiku dan mengecup bibirku sebentar lalu aku mulai mengadahkan kepalaku ke belakang karena kelelahan.
            “Kau sangat basah,” bisiknya tepat di telingaku dan ia menggigit telingaku di sana, membuatku mendesah pelan. Tolong beri aku istirahat, aku memohon dalam hati. Aku bahkan tidak sanggup untuk berbicara sekarang karena orgasme hebat yang telah ia berikan padaku. Ia memberikanku waktu untuk bernafas sedangkan ia beranjak dari tempat tidur.
            “Justin,” aku berbisik saat ia merobek sesuatu. Kemudian aku berusaha untuk membuka mataku yang terasa berat pada Justin. Ia memakai sebuah kondom kali ini. Pertama kali berhubungan dengannya, ia lepas di atas perutku. Astaga, spermanya benar-benar hangat tapi aku tidak menjilatnya. Ia mengelapnya dengan selimut yang kupakai. Hebat. Gila, ereksinya benar-benar berdiri dan sangat keras. Aku tidak percaya, barang itu bisa-bisanya masuk ke dalam diriku –meski sedikit susah.
            “Ini akan masuk ke dalam ini,” ujarnya menunjuk ereksinya dan lalu ia menunjuk milikku dan menekan jarinya sedikit ke dalam membuatku tersentak. Kuanggukan kepalaku dengan lemah dan mataku kembali terpejam. Justin mulai menindih tubuhku.
            “Aku akan menyetubuhimu,” bisiknya tepat di telingaku dan tangannya mulai memposisikan ereksinya untuk masuk  ke dalam diriku, “dengan keras, sayang,” lanjutnya lagi yang membuatku bergetar. Bersamaan dengan getaran tubuhku, ia mendengus saat ia berusaha untuk memasukan ereksinya ke dalam tubuhku. Gila, benar-benar nikmat dan aku mendongakan kepalaku ke belakang untuk merasakan setiap sensasinya. Ia mulai menggesek pelan-pelan tubuhku dengan tubuhnya. Aku memekik pelan saat ia dengan kasar memasukan seluruhnya ke dalam diriku.
            “Bagaimana rasanya?” tanyanya terdiam sebentar dan membuatku ingin menggoyangkan pinggulku. Aku mulai menatapnya saat aku mengangkat kepalaku, posisiku sekarang sudah setengah terduduk. Aku tersenyum padanya dan menganggukan kepalaku.
            “Tak tergambarkan dan tidak bisa dijabarkan dengan kata-kata,” balasku. Ia mendengus kembali saat ia mulai menggerakan pinggulnya dan aku mulai mengerang.
            “Bagus,” ia mengerang dan mulai mengatur ritme gerakannya menjadi lebih cepat.
            “Katakan padaku, Ana. Apa kau suka bercinta denganku?” ia bertanya dan mulai melepaskan tangannya yang menahan tubuhku sehingga aku terjatuh dan tanganku sudah berada di tangannya lagi. Aku benar-benar terlentang di bawahnya sambil mengerang dan mendesah, kadang merintih saat ia berhenti. Aku tidak menjawabnya.
            “Jawab aku!” aku memaksa dan semakin mempercepat gerakannya. Aku mengerang dan mendongakan kepalaku, pinggulku melengkung ke atas saat aku mencoba untuk mengimbangi gerakannya.
            “Ya, Christian,” aku berteriak dan meremas rambutnya ke belakang dan ia mengerang, dengan kasar ia menarik kepalanya dan langsung menatap mataku dengan tatapan liar.
            “Sangat liar,” ia tersenyum penuh bangga padaku. Aku menelan ludahku.
            “Aku ingin ..Justin, yah, yah!” aku mendesah saat ia sebentar berhenti dan ia membenarkan posisi yang nyaman untuknya. Lalu aku meledak! Benar-benar hancur berkeping-keping saat ia menggerakan tubuhnya berkali-kali dengan cepat lalu ..aku benar-benar lemas sekarang. Tapi ia tidak berhenti, justru sekarang kedua kakiku telah berada di atas bahunya dan aku meremas jari-jari kakiku sendiri saat ia membangkitkan gairahku kembali. Kuku-kukuku telah membenam di dalam punggung Justin. Justin mengerang, entah kesakitan atau kenikmatan. Namun gerakan tubuhnya semakin cepat dan brutal. Aku berteriak, memekik dan mengerang secara bersamaan saat ia mulai menjilati dadaku dengan rakus tanpa ampun.
            “Oh Tuhan, Tuhan, Tuhan!” aku menjerit saat Justin benar-benar brutal dan aku hancur berkeping-keping kembali. Dan entah bagaimana kelanjutannya, tiba-tiba saja Justin mengerang dan menyebut nama asliku keras-keras.
            “Alex, sialan! Alex!” ia terus menggerakan tubuhnya berkali-kali. Dan gerakan-gerakan terakhir, ia menekan-nekan tubuhku semakin dalam membuat tubuhku tersentak ke belakang terus menerus.
            “Alex!” itu adalah erangan terakhirnya dan kemudian ia benar-benar ambruk di atas tubuhku dan kepalanya berada di atas dadaku. Tubuhku benar-benar lemas. Tiga orgasme dalam satu permainan. Sialan, Gavin akan membuatku lupa diri karena Justin.
            Tiba-tiba kami mendengar suara ketukan pintu.
            “Justin?” itu adalah suara Theo. Aku. Ingin. Mati. Sekarang.
           
***

            “Apa yang kaulakukan?” tanya Justin saat ia keluar dari kamar dan kemudian pintu tertutup. Aku tak mendengar apa-apa lagi dari luar sana. Tubuhku sudah tertutupi oleh selimut sekarang, aku butuh mandi. Justin cepat sekali mengganti bajunya. Maksudku, boxer yang ia pakai. Bukankah ia memang datang ke kamar dengan hanya memakai boxer saja? Kuharap Theo tidak kembali masuk ke kamar. Tapi tiba-tiba knop pintu berbunyi saat aku mulai menggeser tubuhku untuk bangkit dari tempat tidur. Jantungku berdetak kencang dan memejamkan mataku, sebuah bisikan doa telah kuucapkan dalam hati. Jangan, jangan, jangan. Pintu mulai terbuka sedikit. Aku tersentak dan ingin mati sekarang.
            “Maafkan aku Justin,” ujar Theo terdengar sedih dari luar. Suaranya parau dan Justin terdiam sebentar. Mataku terbuka dan mencoba untuk tidak bergerak. Nafasku tertahan agar Theo tidak tahu kalau aku ada di dalam kamar ini. Meski aku tidak berpikir kalau ia adalah seorang zombie yang bisa tahu kalau ada manusia hidup di dalam kamar ini.  Aku tidak mendengar suara Justin selain :
            “Pergilah,” Justin mengusirnya. Astaga, aku kasihan sekali dengan Theo. Tapi dengan keadaan seperti ini aku tidak mungkin bisa meminta Justin untuk tidak bersikap jahat seperti itu. Aku menarik ke atas selimut yang masih menutupi tubuhku dan kuapitkan pada ketiakku.
            “Aku benar-benar maaf. Jika kau memaafkanku, telepon aku,” lirih Theo dan kemudian aku tidak mendengar apa-apa lagi. Mataku masih terjatuh pada pintu yang terbuka sedikit dan tiba-tiba terbuka lebar. Justin muncul dan ia langsung menghela nafasnya dengan tenang, bersandar pada pintu yang telah ia tutup kemudian ia merosot ke bawah hingga terduduk. Aku menatapnya dan menelan ludahku dengan ketakutan. Maksudku, wajah Justin sekarang sudah sangat memerah. Kemudian Justin menggelengkan kepalanya, frustrasi. Oh, kasihan sekali mereka berdua. Theo terlalu kekanak-kanakan dan Justin tidak pengertian. Aku tidak tahu mana yang salah. Tapi kurasa Justin harus memaafkan Theo. Bagaimana pun juga Theo telah mencoba untuk meminta maaf akan kesalahan yang telah ia perbuat.
            “Dia sungguh menyebalkan,”
            “Tapi setidaknya ia sudah meminta maaf,” aku langsung meresponnya. Wajahnya yang tertutup oleh kedua telapak tangannya mulai terlihat dan menatapku dengan tatapan Kau-Tidak-Mendukungku?  Aku hanya mengangkat kedua bahuku untuk meminta maaf padanya dan ia kembali mendesah. Tubuhnya tidak berkeringat karena aku cepat-cepat mengelapnya dengan selimut yang sekarang kupakai. Ternyata efektif juga untuk mengeringkan tubuh Justin yang tadinya berkeringat karena ..kau tahu sendirilah.
            “Aku tahu, tapi sungguh, apa yang sebenarnya ia harapkan?” ia bertanya.
            “Kebersamaan?” Aku menebak.
            “Kebersamaan? Dia bisa datang ke tempat syutingku jika ia mau. Jika ia ingin menungguku, menginap di dalam mobilku. Tapi dia tidak pernah ..aku sudah meminta padanya jika ia bisa. Tapi jika ia tidak bisa, tidak apa-apa. Aku tidak tahu apa masalahnya,” tutur Justin tidak menatapku melainkan pada lantai yang berada di bawah bokongnya itu.
            “Aku tidak tahu soal itu. Aku ingin mandi,”
            “Mau mandi bersamaku?”
            “Tidak,”
            “Mengapa?”
            “Karena kita tidak akan selesai-selesai mandi jika bersama-sama,”
            “Berarti kau mengharapkanku, ayo kita mandi,” Justin berdiri dari lantai dan kemudian menyeringai padaku. Tangannya yang besar mulai meraup tubuhku yang mungil. Aku mulai protes namun aku mulai terbuai oleh ciuman yang menghasutku sehingga aku mulai tersesat.

***

            “Whoa!” aku benar-benar terkejut saat Justin benar-benar membawa sebuah helicopter dengan seorang lelaki yang berada di sebelahnya. Aku berdiri di atap gedung tinggi ini dan menatap helicopter yang Justin bawa itu. Dia tidak berbicara omong kosong. Justin benar-benar bisa membawa helicopter. Well, ini hanyalah sebuah percobaan. Dan kulihat Gavin yang terduduk di atas kursi sutradara sambil tersenyum penuh dengan kebanggaan pada Justin. Aku tidak melihat manajer Justin beberapa hari ini. Mengapa? Aku tidak tahu. Mungkin pertanyaan itu bisa kusimpan sekarang.
            Rambutku berterbangan kemana-mana dengan Dravin yang berada di sebelahku dan merangkul bahuku. Ia cukup tidak menyukai ide Gavin yang menyuruhku dan Justin untuk berlatih bercinta. Meski aku tahu, pasti Gavin tidak percaya kalau aku dan Justin benar-benar melakukannya tadi siang.
            “Aku tidak percaya kau benar-benar melakukannya,” Dravin berbicara dengan normal saat kebisingan helicopter masih terdengar. Justin masih berada di langit bersama dengan George, pemandu artis untuk ..kau tahu, kapan kita masuk atau kapan kita keluar dari ruangan. Semacam itulah. Aku menoleh padanya dan mengangkat kedua bahuku. Dan ternyata bukan hanya Gavin yang tak percaya, Dravin juga. Selanjutnya siapa? Oh, ibuku tidak akan percaya.
            “Apa sebenarnya yang kauharapkan, Dravin?” aku mengeluh padanya dan menjauhkan tubuhku dari rangkulannya sehingga sekarang aku berhadapan dengannya. Kugerakan kepalaku ke salah satu sisi dan menatapnya dengan mata menyipit.
            “Aku hanya tidak ingin kau mendekatinya. Kau tahu, dia itu gay,”
            “Kurasa ia biseks,”
            “Tidak mungkin!” ia bersikeras. Aku memutar mataku dan melipat kedua tanganku di depan dadaku yang menyembul sekarang. Sialan.
            “Kau tidak bisa melarangku untuk menjauhinya. Dia Christian Grey dan aku pasangannya. Bagaimana bisa? Di mana otak sialanmu, Dravin?” aku mulai kesal padanya yang berpikiran pendek. Rasanya aku ingin menendang wajahnya yang seperti kuda menyebalkan ini. Dan aku tidak tahu mengapa ia begitu bersikeras agar aku menjauhi Justin meski kenyataannya adalah tidak. Dravin melotot padaku dan tidak percaya dengan apa yang baru saja aku katakan. Sekarang aku sangat merasa bersalah padanya. Aku tidak pernah memarahinya seperti itu. Atau aku tidak pernah berbicara kotor padanya –oke, mungkin pernah, tapi itu hanya untuk candaan. Kepalanya menggeleng-geleng kemudian ia beranjak dari tempatnya dan berjalan menuju satu pintu yang berwarna hijau yang terbuat dari besi. Aku mendesah pelan. Mengapa ia begitu marah?
            Aku sedikit menjauh saat helicopter mulai mendarat di atas gedung ini. Rambutku semakin berkibaran dan tiba-tiba Fransesco muncul dari belakang dan memegang kedua pundakku. Well, aku harus berterimakasih padanya karena mungkin sebentar lagi aku akan terbang karena angin yang benar-benar kencang ini. Saat posisinya benar-benar pas, Justin mematikan mesin helikopternya dan langsung melompat dari sana. Ia memakai jas yang begitu panjang sehingga seperti ia memakai gaun yang kaku sekali. Tampan, sangat. Kakinya berjalan padaku dan bibirnya tersenyum padaku. Ia merentangkan tangannya dan memelukku.
            “Kau akan aman,” ujarnya di telingaku dan tiba-tiba ia menarik wajahku, bibirku dan bibirnya benar-benar bersentuhan. Fransesco menjauh.

***

            “Kau tadi sangat hebat,” ujarku mengakui kehebatannya dalam membawa helicopter. Aku benar-benar dibawa ke Seattle dari Portland oleh Justin. Itu sangat menakjubkan dan kami benar-benar serius saat mengambil gambar tadi. Sekarang aku dan Justin harus tidur sekamar di dalam kamar Christian Grey sedangkan para kru tidur di kamar yang lain. Bahkan ada yang di ruang tamu. Kami berkumpul bergerombolan di sini karena di sini adalah tempat yang akan kami pakai untuk besok dan hari berikutnya, berikutnya, dan berikutnya lagi.
            Aku tidur bersebelahan dengan Justin dan otakku dari tadi memikirkan Dravin yang masih marah. Aku tidak tahu ia akan tidur di mana sekarang. Maksudku, dimana sekarang. Justin berbaring dengan kedua tangan yang berada di bawah kepalanya. Kemudian ia menoleh padaku dan tersenyum penuh dengan kebanggaan. Aku benar-benar menyesal karena aku telah memujinya. Kepalanya pasti sebentar lagi akan pecah karena kesombongannya. Sial.
            “Aku tahu. Aku sudah bilang padamu hari sebelumnya, bukan?” Justin mulai bertumpu pada siku-sikunya. Kepalanya menyentuh telapak tangannya dan tubuhnya tertidur miring. Aku cemberut, tubuhnya mulai mendekati tubuhku.
            “Apa yang kaulakukan?” tanyaku saat tangannya mulai berada di pinggangku. Aku tertidur miring sekarang. Ia hanya terkekeh pelan dan itu adalah suara terindah yang pernah kudengar. Masalahnya adalah aku takut malam ini kami akan berhubungan badan lagi. Maksudku, aku rasa aku tidak akan pernah puas dengan lelaki. Dan ini aneh. Apa sekarang aku berada di dunia yang berbeda? Maksudku, bukan dunia hiburan atau dunia nyata. Dunia yang berbeda. Aku tidak pernah menyukai lawan mainku sebelumnya. Meski aku pernah berhubungan dengan salah satu di antara mereka. Tapi ini berbeda atau hanya aku yang melebih-lebihkannya?
            “Menyentuhmu? Kau tahu, aku senang bisa menyentuhmu. Aku janji tidak akan ada apa-apa malam ini,” ia berujar seolah-olah ia tahu apa yang ada di pikiranku. Kuanggukan kepalaku, membiarkan tangannya bertengger di pinggangku. Ia meremasnya dan aku memejamkan mata. Sentuhannya menyambar pada pangkal pahaku. Sial, sial, sial! Aku ingin menamparnya karena aku menginginkannya. Kubuka mataku kembali.
            “Mengapa kau tidak menghubungi Theo? Apa dia tahu kalau kau akan pergi ke Seattle? Aku bukan tinggal di Portland atau Seattle, aku Atlanta. Aku juga telah memberitahu ibuku kalau aku datang ke Seattle malam ini,” celotehku padanya, bercerita lebih tepatnya. Memang. Aku dari Atlanta. Maksudku, ini Washington. Dan aku tidak tahu Justin berasal dari mana.
            “Aku tinggal di Portland. Serius. Pantas saja ibumu tidak datang untuk menemuimu,” ujar Justin mulai menaruh tangannya di leherku dan mengelusnya dengan lembut. Dia bilang dia tidak akan melakukan apa-apa. Memang ia tidak mengajakku dengan kata-katanya. Tapi apa yang sedang tangannya lakukan? Aku ingin mencium bibirnya sekarang. Mataku mulai bertemu dengan matanya yang berwarna abu-abu pekat itu. Kutelan ludahku dengan susahnya, kurasa Justin bisa merasakan leherku yang bergerak karena ludah yang tertelan.
            “Ah, aku hampir lupa. Jadi, mengapa kau tidak menghubungi Theo?” tanyaku setelah aku sadar kalau aku sendiri yang mengubah topik dalam beberapa kalimat dan Justin meresponnya hanya satu topik dari tiga topik yang kuberikan. Justin tidak memilih topik Theo. Sekarang jari-jari Justin yang panjang itu mulai menyentuh pipiku dan mengelusnya.
            “Mengapa kau begitu mengkhawatirkannya? Aku saja tidak,” ujarnya yang membuatku memerah. Benar juga, mengapa aku mengkhawatirkan Theo? Oh, sial. Sekarang aku seperti wanita perebut lelaki orang. Aku merasa bersalah pada Theo. Kupejamkan mataku dan mendesah pelan.
            “Karena aku tahu sekarang perasaannya seperti apa. Hubungi dia. Aku yakin ia sangat menunggumu,” ujarku memohon padanya, membuka mata. Entah mengapa ini menjadi sesuatu yang penting. Tapi aku tidak tega dengan Theo yang tadi terdengar ingin menangis tapi ia tahan. Dan Justin seperti tidak berperasaan. Mengusir Theo yang sudah meminta maaf padanya. Dan Justin menolaknya mentah-mentah. Justin menggelengkan kepalanya dan memejamkan matanya.
            Membuka mata, jari jempolnya mulai mengelus sudut bibirku. Aku bergetar, tapi tidak terlalu bergetar. Ia menautkan kedua alisnya.
            “Tidak,” ia menolak. Baiklah, aku tidak bisa memaksanya sekarang.

            Ia memajukan tubuhnya, mendekatkannya pada tubuhku. Sekarang, bagian atas tubuhku hanya memakai selembar baju dalaman –bukan hanya bra. Tapi yang pasti ia bisa melihat belahan dadaku atau pundakku. Aku ingin mati saat tangannya mulai menyentuh leherku lalu menjarah masuk ke dalam dalaman yang kupakai sehingga telapak tangannya sudah menyentuh punggungku. Kupejamkan mataku untuk merasakan setiap sentuhannya. Akal sehatku mengalahkan gairah yang memanas.
            “Kau bilang tidak akan melakukan apa-apa,” ujarku membuka mata dan ia mulai menarik tangannya dari punggungku. Aku ingin merintih saat tangannya tidak menyentuhku. Ini adalah sikap munafik yang tidak bisa kulakukan. Ini tidak benar.
            “Apa yang kaulakukan Christian?” aku ingin bermain akting dengannya. Maksudku, bersenang-senang sambil berlatih akting, hal yang sangat menyenangkan bukan? Dia tidak pernah tahu kalau kita sebenarnya tidak berpura-pura kalau kita menyukainya karena mereka hanya menganggap ini hanya akting semata. Justin tersenyum padaku dan mulai menyelipkan beberapa helai rambutku ke belakang telinga. Ia tertawa, tiba-tiba.
            “Ana, Ana, Ana. Kapan kau terus mempermainkanku seperti ini? Aku sungguh tertarik padamu,” ujar Christian padaku dan mulai mengelus pipiku dengan lembut. Jemarinya benar-benar membawaku pada titik api yang mulai membara. Jika ia juga api dan kita bersatu, maka kami terbakar sekarang. Tapi belum. Belum saatnya kami terbakar. “Kemarilah,” ia menarik wajahku dan mulai memagut bibirku dengan lembut. Bibir kami terus mengisap satu sama lain dan mulutku mulai terbuka. Ia melesakan lidahnya langsung ke dalam mulutku. Aku menggeram, tangannya mulai meremas dadaku.
            “Kau bilang tidak melakukan apa-apa,”
            “Justin sudah tidak ada. Christian di sini,” ujar Justin terdengar begitu menyeramkan. Seolah-olah ia adalah seorang yang memiliki kepribadian ganda dan aku senang ia melakukan itu. Maksudku, aku ingin ia melakukan ini juga. Tangannya menekan wajahku pada wajahnya untuk memperdalam ciuman ini. Menyenangkan dan ..ah, sialan! Ponsel Justin tiba-tiba berdering dan bunyi kecipak dari bibir kami yang terlepas terdengar. Ia mengumpat pelan dan menjauh tubuhku.
            Tangannya mengambil ponselnya yang berada di atas meja kecil, sebelah tempat tidur besar ini. Kemudian ia melihat layarnya, ia mendesah pelan. Dengan keengganan, ia mengangkat teleponnya.
            “Ya?” ia tidak mengucapkan kata “Halo” atau semacamnya.
            “Aku di Seattle ..Apa? Tidak! Besok ..aku tidak ingin mendengar rengekan itu ..berhenti Theo. Kubilang berhenti ..tidak, aku tidak. Sialan Theo!” Justin menggeram dan kemudian meremas ponselnya hingga aku bisa mendengar suara retakan di sana. Gila, Justin marah seperti melihat iblis. Wajahnya mulai memerah dan rahang bawahnya menegang.
            “Sialan Theo. Apa maksudmu? Ini ..apa? Kau bodoh. Aku tidak pernah ..apa? Kaupikir apa yang sedang kaubicarakan?” Justin menggeram, “Apa-apaan itu? Sial, Theo. Aku benar-benar ..sial!” Justin melemparkan ponselnya hingga hancur berkeping-keping. Nafasnya memburu. Aku menatapnya dengan tatapan tak percaya. Apa Justin Bieber benar-benar marah sekarang? Matanya mulai melihat padaku. Aku ketakutan sekarang. Saat aku ingin beranjak, tangannya menyentuh tanganku.
            “Tidak, jangan pergi. Dia hanya ..aku putus.” ia menggertak. Apa mereka benar-benar putus?


***

            Aku termenung. Mataku menatap kosong selimut yang sekarang kupakai sedangkan telingaku hanya bisa mendengar deru nafasku dan nafas Justin yang saling menyahut.Sudah beberapa menit ini aku tidak dapat berpikir jernih. Theo dan Justin putus? Maksudku, mengapa? Jangan bilang hanya karena masalah jaket itu karena itu terdengar konyol. Tapi ini bukan urusanku. Jika mereka putus, itu adalah akhir dari cerita Theo dan Justin. Aku hanya ..aku merasa seperti perusak hubungan seseorang.
            Ekor mataku melirik pada Justin yang dari tadi menatapku dengan masih pada posisi yang sama, tidur miring. Akhirnya aku menolehkan kepalaku untuk melihatnya.
            “Karena aku?” tanyaku. Justin menautkan kedua alisnya dan menatapku seperti Jangan-Konyol. “Lalu, mengapa?” aku mulai jengkel. Maksudku, mengapa ia tidak bisa merasakannya? Kau tahu, aku selama beberapa hari ini dekat dengan Justin. Bahkan sudah satu minggu lebih. Dan apa dia tidak sadar kalau Theo akan mencurigaiku? Meski terdengar tidak masuk akal karena Justin adalah seorang yang gay. Tapi tidak. Kenyataannya dia tidak hanya gay. Ia tertarik padaku, aku tahu itu. Kutatapi pundak Justin yang telanjang beberapa detik lalu melihat matanya yang berwarna abu-abu.
            “Bisakah kita tidak membicarakannya sekarang?” tanya Justin tampak geram, sekarang. Baiklah, aku tidak akan membicarakannya sekarang. “Apa kita bisa tidur sekarang?”
            Aku mengangkat kedua bahuku. Ini sangat membingungkan. Maksudku, Justin-Theo? Oh Tuhan. Apa yang telah kuperbuat dalam hubungan mereka? Ah ya, bercinta dengan kekasih Theo itu adalah kesalahan fatal. Majalah-majalah akan langsung kaya karena berita yang menggemparkan Amerika –termasuk ibuku. Justin Bieber Akhirnya Putus dengan Theo Karena Alexis Bledel?  Itu judul yang akan bagus untuk beberapa hari ke depan dan siap-siap saja dengan paparazzi yang bertebaran di luar sana. Sialan. Benar-benar sialan.
            “Apa yang ada dipikirkan oleh kepala cantikmu itu?” tanya Justin yang tangannya mulai menarik tanganku, “kemarilah, biar kita berpelukan. Aku senang menyentuhmu,” ujarnya mulai membawaku dalam pelukannya. Tapi kenyataannya aku tidak mau.
            “Tidak,” aku menolak. Raut wajah Justin berubah. Ia yang tadinya menyeringai langsung protes padaku.
            “Miss Bledel? Ini bukan sepenuhnya salahmu. Aku bisa bersumpah. Dan biarlah aku memelukmu malam ini, aku sangat butuh itu. Tidakkah kau mengasihani lelaki yang baru saja ditampar oleh kata-kata ini? Bunuh aku saja jika kau tidak,” Justin memohon padaku dengan mata yang benar-benar ..sialan. Dia ternyata bisa merengek. Dengan pasrah aku mulai merosot –telentang- dan mulai memeluk tubuh Justin yang tidak memakai baju. “Tidurlah sayang,” suruh Justin saat kepalaku sudah menyentuh dadanya yang telanjang. Kupejamkan mataku, berusaha untuk tidur.

***

*Justin Bieber POV*

            Ini sungguh aneh dan ..aku tidak yakin dengan apa yang sekarang kurasakan. Aku termenung dan tersenyum sambil menatapi keindahan Seattle melalui Escala. Ini sangat indah. Senyumku tidak surut dari kemarin malam. Setelah aku berhasil memeluk Alex dalam pelukanku, aku mendapatkan suatu kepuasan tersendiri. Aku putus dengan Theo. Apa kalian percaya itu? Oh, Tuhan. Itu adalah suatu ..berkat yang tak terkira indahnya. Dan aku sangat bersyukur karena itu. Aku tidak akan pernah mendengar celotehannya, rengekannya, dan sifatnya yang manja itu. Aku mengadahkan kepalaku ke belakang dan menghembuskan nafas penuh dengan rasa kesenangan. Akhirnya aku bebas. Tapi, ini baru awal yang baru. Melalui Alex, aku bisa menjadi lelaki normal. Meski aku tidak begitu menginginkannya, tapi dampak Alex dalam hidupku begitu besar. Tidak pernah aku sesadar ini. Ternyata rasa wanita pun enak dan tidak tergambarkan. Alex harus menjadi milikku.
            Harus.
            Dan aku yakin, aku tidak perlu menunggu lama-lama. Alex tertarik padaku dan aku tertarik juga padanya. Mungkin aku hanya butuh berjalan dengan lambat. Ini adalah yang pertama kalinya aku menginginkan seorang wanita dalam hidupku. Alex adalah gadis pertama dan bahkan akan menjadi yang terakhir. Tidak, tidak. Aku tidak seperti aktor-aktor sialan yang lain. Mereka hanya memakai kekasih atau istri mereka seperti pelacur, memiliki anak, dan berakhir pisah. Aku tidak sebajingan itu.
            Apa yang menjadi milikku tidak boleh disentuh oleh orang lain. Senyuman di bibirku semakin melebar. Yah, benar. Apa yang menjadi milikku tidak boleh disentuh oleh orang lain. Sempurna. Tidak boleh ada yang menyentuh Alex selain diriku. Dunia ini akan menjadi milikku dan Alex tiap harinya –bukan secara harfiah. Hanya saja, aku pasti akan lebih menikmati hidup dengan Alex.
            Kubalikan tubuhku dan melihat Alex yang masih terlelap dalam tidurnya. Bahkan dalam keadaan tidurpun ia terlihat begitu cantik sekali. Mengapa ia terlihat begitu sempurna? Apa yang tidak aku suka dari wanita mungil dan polos ini? Aku menyukainya, kekurangan dan kelebihannya. Ia menggeliat di tempat tidur dan mengerang. Oh, lucu sekali.
            Pagi ini adalah pagi yang paling bersejarah dalam kehidupanku. Aku tidak pernah merasa sepuas ini. Entahlah, aku tidak bisa menjabarkannya dengan kata-kata. Ini sangat sempurna. Pagi yang sempurna dan aku mengharapkan siang dan malam yang sempurna. Khususnya malam yang sempurna. Tapi sialan! Aku mendengar suara ketukan pintu dari luar.
            “Alex?” aku mendengar suara Dravin. Manajer Justin. Sebenarnya, apa gunanya manajer? Aku tidak punya manajer. Aku memanajeri diriku sendiri. Itu lebih efektif dan cepat. Hanya saja butuh keteletian semata. Aku melangkahkan kakiku menuju pintu dan membukanya. Untung saja aku sudah berpakaian. Meski aku hanya memakai boxer dan kaos berwarna putih. Dravin yang berdiri di depanku menatapku dengan tatapan ..Apa yang lelaki sialan ini lakukan?
            “Di mana Alex?” tanyanya yang kepalanya langsung masuk ke dalam kamar. Tapi aku dengan sigap mendorong bahunya untuk menjauh dari kamarku dan Alex.
            “Tidur. Jangan ganggu dia. Pengambilan gambar masih lama. Gavin bilang sore nanti kita baru bekerja. Lalu, apa yang kau mau?” aku bertanya dengan ketus. Maksudku, apa yang sebenarnya ia inginkan? Aku sekarang ingin menyingkirkan Dravin dari kehidupan Alex secepatnya. Kelihatan sekali kalau Dravin adalah seorang lelaki yang gila control. Apa pun yang ia inginkan harus berjalan dengan baik. Tapi mana mungkin Alex bisa bertahan dengan bajingan sialan ini? Aku benci melihatnya sekarang setelah kemarin aku melihat Alex yang kurasa bertengkar dengan Dravin di atap gedung –saat aku membawa helicopter.
            “Aku ingin berbicara dengannya,” tukasnya dengan cepat dan hendak melangkah masuk tapi aku langsung menahannya.
            “Katakan saja padaku,” ujarku, terdengar memaksa. Kemudian, aku melirik sebuah majalah yang ia pegang dan merampasnya dari tangannya. Mungkin ini yang ia maksudkan. Ia mulai protes dan aku langsung menganggukan kepalaku.
            “Terima kasih,” ucapku menutup pintu dan langsung menguncinya. Ia menendang pintu kamarku dengan kasar. Lucu sekali orang itu. Maksudku, sepertinya ia tidak memotong ucapanku dan sepertinya ia tidak berani denganku. Atau dia jijik denganku? Ah tidak mungkin. Aktris-nya saja menyukaiku.
           
            Kemudian aku melirik pada majalah yang kupegang. Whoa. Justin Bieber Bermesraan di Dalam Mobil bersama Alexis Bledel. Sampul majalahnya memang bukan fotoku dan Alex, tapi tetap saja di sampul majalah terdapat dua gambar kecil dariku dan Alexis sewaktu di mobil dua hari yang lalu. Sialan, paparazzi itu pintar benar untuk mencari berita-berita sialan ini. Kemudian aku langsung mencari halaman dimana pasti aku dan Alex berada di sana. Di halaman yang ke-delapan belas aku langsung mendapatkan gambar yang lebih banyak dari pada di sampul tadi. Saat kakiku berada di paha Alex, saat Alex tertawa-tawa, dan kami meminum coca cola. Aku tersenyum. Akankah Theo tahu berita ini? Pasti akan sangat lucu saat ia melihatnya, kurasa.
            “Justin,” Alex mengerang dan menggeliat di atas tempat tidur. Oh, sangat manis dan cantik.Aku mendekatinya yang tengkurap di atas tempat tidur.
            “Hey, cantik,” aku menyapanya dengan lembut dan berjongkok di samping tempat tidur lalu aku mengelus pipinya yang halus dan lembut. Sialan, aku menginginkannya. Ia mengangkat kepalanya dan matanya masih terpejam. Tapi alis matanya ia satukan –hampir- lalu ia membuka matanya dengan sayu.
            “Apa?” ia tersinggung, aku tertawa.
            “Kau cantik bukan?” aku menggodanya.
            “Tidak,” katanya langsung memalingkan wajahnya dariku. Oh, Alexis Bledel tersipu malu karena Justin Bieber. Suatu keajaiban. Meski aku bisa membuatnya lebih dari sekedar tersipu malu. Kau tahu, aku Justin Bieber dan aku bisa melakukan apa saja yang belum pernah kucoba –tapi tidak melebihi Tuhan. Maksudku, kita harus mencoba bukan? Dan sekarang aku mencoba untuk mendapatkan tubuhnya lagi. Terkadang Alex sangat susah untuk diraih.
            “Hey, bangun tukang tidur,” aku berdiri dan menggoyangkan tubuhnya dengan cepat. Tapi ia menggeram, tidak mau. Aku tertawa. “Aku bangun secara halus, atau aku membangunkan secara halus?” aku menggodanya dan tanganku mulai mengelus pundaknya dengan lembut. Tapi dengan cepat ia menyingkirkan tanganku dari pundaknya. Tubuhnya terbangun dengan gerakan yang tiba-tiba, membuatku menjauh dari tubuhnya. Rambutnya acak-acakan dan ia mulai mendesah. Ia bertumpu pada salah satu tangannya dan tangannya yang satunya mengelap wajahnya.
            “Ada apa?” tanyanya membuka suara. Matanya kali ini benar-benar terbuka. Tuhan, mengapa matanya begitu indah? Biru alami dan seperti laut. Sialan. Ia menatapku dari atas sampai bawah dan mata kami kembali bertemu. Kemudian aku melempar majalah yang kupegang. Tangannya mulai menjamah majalah itu dengan pelan dan melihat pada sampul majalah. Ia mengeluh dan terisak –tidak menangis.
            “Oh, apalagi ini?” ia mengadahkan kepalanya ke belakang dan rambutnya yang acak-acakan terjuntai dengan indahnya. Kemudian ia menegakan kepalanya lagi dan mulai mencari halaman dimana kami berada. “Halaman delapan belas,” ujarku. Tangannya langsung menggali halaman yang ia cari dan berhenti. Ia begitu ekspresif dan aku menyukainya.
            “Kau. Jauhi aku,” ujarnya setelah membaca omong kosong sialan itu. Matanya menatapku dengan tajam. Aku. Sakit. Hati. Ia mengusirku? Oh, aku tidak akan pernah menjauh darinya. Kemudian aku terduduk di sisi tempat tidur, berusaha untuk mendekatinya.
            “Aku tidak ..astaga, Justin. Pernahkah kau berpikir jernih sebelumnya?” tanyanya mendesah, seolah-olah aku adalah anak kecil yang berumur lima tahun. Dan aku tidak tahu apa-apa tentang menghitung angka. Tapi ini yang pertama kalinya aku berpikir jernih. Aku menyukai seorang gadis dan aku menginginkannya agar ia menjadi pacarku. Bukan untuk menjadikannya pelampiasan. Tapi ini benar-benar dari dalam diriku.
            “Apa tadi Dravin datang ke sini?” tanyanya saat aku tidak menjawab. Kuanggukan kepalaku.
            “Itulah. Itulah alasan mengapa aku tidak ingin mendekatimu,” ujarnya yang membuatku tidak mengerti. Apa? Mengapa tiba-tiba ia berbicara seperti itu? Ini membuatku sedikit bingung. Apa Dravin melarangnya untuk mendekatiku? Oh, tidak, tidak. Itu tidak boleh terjadi. Justru, aku akan melarang Alex untuk tidak berdekatan dengan Dravin saat Alex benar-benar sudah menjadi milikku.
            “Maksudmu apa?”
            “Dravin tidak ingin aku dekat denganmu karena kau adalah seorang yang gay. Reputasiku bisa rusak kar—“
            “Tunggu dulu. Kau menjauhiku karena reputasi? Oh, sialan Alex. Itu tidak masuk akal,” aku menggeram. Aku yakin ini bukan keinginan Alex. Dravin yang gila reputasi dan ketenaran. Rasanya aku ingin memukul wajah lelaki sialan itu. Ia mendesah pelan dan tangannya mulai menyentuh keningnya.
            “Ya, semacam itu. Tapi sungguh Justin, aku bukan seorang wanita yang gila tenar,” ujarnya mengeluh pelan. Aku percaya padanya.
            “Kemarilah,”
            “Tidak,”
            “Jangan jauhi aku. Kau tahu, aku ini tipe lelaki yang keinginannya harus diikuti. Serius,” ujarku mengatakan fakta. Aku memang lelaki yang seperti itu. Tapi masalahnya aku bukan seorang lelaki yang pemaksa. Hanya saja tinggal menunggu dan terus bermain dengan apa yang kuingini dan lihat? Sampai sekarang apa yang kuingini terus terjadi. Awalnya Gavin tidak ingin aku membawa helicopter dan aku terus menyinggung Gavin kalau aku itu lelaki yang bisa membawa helicopter bahkan kapal berlayar. Serius, aku keturunan orang kaya sehingga permainanku hampir semacam Christian Grey.

            Kutarik tangan Alex, yang kali ini ia tidak menarik diri dariku. Kemudian aku memeluknya. Ini adalah awal. Awal yang baru. Aku ingin menjalin sebuah hubungan dengannya. Dan aku percaya itu akan berhasil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar