***
*Alexis Bledel POV*
Aku
disuruh oleh Gavin untuk latihan bercinta di dalam kamar Christian Grey bersama
Justin? Karena kami akan benar-benar melakukannya. Ini sangat ..aku sangat
terekspos. Kupikir ada pemeran pengganti tapi .. sialan, aku tidak bisa menolak
karena kontrak tertulis dengan peraturannya. Sial, sial, sial! Aku ingin
menjerit sekarang.
Aku
menatap ke arah kaca yang benar-benar besar sambil menatapi kota. Tubuhku
sekarang benar-benar telanjang dibalik jubah mandi berwarna putih yang kupakai
sambil menunggu Justin yang sebentar lagi menunggu.
“Apa
kau percaya apa yang baru saja Gavin katakan?” Justin bertanya, muncul dari
balik pintu kamar dan aku berbalik. Dia tersenyum. Sialan, aku pikir dia
menolak. Aku tahu aku pernah melakukannya bersama Justin di dunia nyata, tapi
akting? Oh, astaga. Aku bisa lupa diri.
“Aku
benar-benar tidak sabar!” Justin bersemangat dan langsung melemparkan dirinya
di atas tempat tidur dan menarik pinggangku sehingga aku ikut terbaring
dengannya. Ia tertawa dan mencium leherku. SIAL!
****
*Still Alexis Bledel POV*
Dengan
kasar Justin menarik tali jubah kamar mandiku. Dan sedetik kemudian tubuhku
sudah terbuka untuknya. Ia berada di atasku, hampir menindihku –tapi tidak, ia
hanya bersimpuh di depanku. Ia menyeringai padaku dengan nafas yang
terengah-engah dan mulai menindihku. Ia hanya memakai boxer berwarna abu-abu
dan aku bisa merasakan sesuatu yang keras di bawah sana saat ia menindih
tubuhku. Tangannya berada pada di ketiakku dan mengangkatku agar aku setengah
terduduk, kedua jempolnya tak sengaja menyentuh sisi dadaku yang menyembul di
depan wajahnya. Ia menahan tubuhku dengan tangannya yang siku-siku berada di
atas kasur untuk menahan berat badanku.
Kupejamkan
mataku saat bibirnya dengan pelan menyentuh tengah dadaku lalu mengeluarkan
sedikit ujung lidahnya, membuatku bergetar di bawahnya dan mendongakan kepalaku
ke belakang. Aku merintih pelan dan ia tertawa pelan di sana. Kemudian lidahnya
tidak sama sekali menyentuh dadaku, malah ia mulai menjilat tulang-tulang di
sekitar leherku dan menciumnya lalu menghisapnya membuat jari kakiku meremas
karena getaran yang ia berikan.
“Sial,”
aku mengerang pelan saat lidahnya mulai menjilat leherku yang terbuka untuknya.
Kembali ia menghisapnya dan aku mendesah
pelan. Tanganku masih berada di kepalanya dan menarik rambutnya dengan
kasar ke belakang. Dia mengerang.
“Jangan
liar dulu sayang,” ia menyarankan padaku dan mulai mendudukan tubuhku dengan
benar ke kepala tempat tidur. Salah satu tangannya melepaskan jubah mandiku
dengan cepat dan ia melemparkannya ke sembarang tempat. Aku benar-benar
telanjang di hadapannya. Ia mengerjapkan matanya berkali-kali seolah-olah ia
tidak percaya kalau aku benar-benar telanjang di depannya. Aku bisa melihatnya
yang menelan ludahnya dengan susah. Jakunnya naik-turun dan kemudian air
liurnya sedikit keluar dari sudut bibirnya. Tergiur? Bagus. “Ini lebih baik,”
ujarnya kemudian bibirnya mulai menyentuh sisi-sisi dadaku tanpa menyentuh
putingnya. Dan itu membuatku gila.
“Justin!”
aku menjerit, memohon padanya untuk menjilati dadaku dengan keras. Salah satu
tangannya sudah meremas salah satu dadaku dan mulutnya mulai menghisap puting
dadaku yang lain. Aku mengerang, keras dan mendongakan kepalaku ke belakang
lagi. Aku ingin menangis, kenikmatan ini seperti tidak ada habis-habisnya.
Kedua kakiku yang terbuka lebar langsung terkekuk saat tangannya mulai menggoda
perutku dan mengelusnya. Dia tertawa. Kemudian jari-jari panjangnya mulai
meraba-raba milikku yang sudah benar-benar basah itu.
“Selalu
siap, hanya untukku. Benar sayang?” tanyanya mulai mengelus jarinya di sekitar
bawah sana dan membuatku menganggukan kepalaku dan ujung lidahnya kembali
memainkan ujung putting dadaku. Aku menarik rambut Justin dengan kasar lagi
sehingga ia mengerang.
“Sabar
sayang!” ia memarahiku dan kemudian mulutnya langsung menemui mulutku. Aku
mengerang di dalam mulutnya saat satu jarinya meluncur di bawah sana. Aku
memejamkan mataku. Dari mana ia belajar hal-hal seperti ini jika ia gay? Dari
Theo? Aku tidak peduli. Intinya ia sangat mahir.
“Justin,
engh!” aku mengerang saat ia memasukan dua jari ke dalam diriku dan mulutnya
masih berada di mulutku. Pinggulku ikut bergoyang, mengikuti gerakan jarinya
yang semakin lama semakin cepat. Sebentar lagi aku akan meledak. Saat aku sudah
berada di ujung tanduk orgasme, tiba-tiba Justin melepaskan jarinya dari dalam
tubuhku. Membuatku gila dan ingin menamparnya sekarang. Dengan cepat tanganku
menelusuri tubuhku sendiri, tapi Justin langsung menahanku.
“Tidak
ada sentuhan dari tangan sendiri,” ujarnya langsung.
“Kumohon,”
aku gila. Aku memejamkan mataku dan mendongakan kepalaku untuk yang kesekian
kalinya. Tapi Justin langsung menahan kedua tanganku dengan satu tangannya dan
satu tangannya lagi mulai berada di belakang leherku dan menarikku ke dalam
ciumannya. Aku kembali mendesah pelan saat aku merasakan sesuatu yang keras
menyentuh milikku dan sungguh membuat frustrasi. Aku membutuhkan pelepasan.
“Gila?”
tanyanya saat ia melepaskan bibirnya dari bibirku dan mata kami langsung
bertemu. Ia menatapku dengan intens. Kuanggukan kepalaku dan menelan ludahku.
Ia tersenyum penuh dengan kemenangan.
“Kau
tahu, aku ingin mengikatmu sekarang,”
“Aku
akan diam,”
“Bagus,”
cara bicaranya sudah benar-benar seperti Christian Grey dan gila control.
Tangannya mulai melepas kedua tanganku. “Tangan diangkat ke atas,” suruhnya.
Aku melakukannya dan ketiakku mulai terekspos di depannya. Ia menyeringai
padaku dan menjilati pundakku dengan lembut.
“Anastasia
Steele,” ia menyebut nama itu, sungguh aku ingin mengubah namaku menjadi
Anastasia Steele sekarang jika ia bersedia untuk mengubah namanya menjadi
Christian Grey. Jari-jarinya mulai menyentuh milikku lagi dan membuatku
tersentak sambil memejamkan mata. “Diam, sayang,” ia menggodaku dengan suaranya
yang seksi. Ia terdiam dan mencoba untuk tidak menggerakan tubuhku. Tapi
tubuhku bergetar begitu ia memainkan jempolnya yang memutar-mutar pada pusat
milikku. Aku menelan ludahku dan mengerang setelah.
“Gah!”
aku menggerakan pinggulku dengan liar dan memintanya untuk memasukan jarinya ke
dalamku. Aku benar-benar berusaha agar
tanganku masih berada di atas kepalaku. Tiba-tiba dua jarinya sudah berada di
dalamku dan ujung telapak tangannya sudah berada di pusatku untuk menggesekku.
Aku semakin menggerakan tubuhku dan memejamkan untuk meresapi setiap kenikmatan
yang ia berikan.
“Tatap
mataku, Ana,” ia menggertak. Dan aku berusaha untuk mengedipkan mata untuk
menatapnya. Kemudian aku mengerang saat ia mulai mempercepat gerakan jarinya
dalam diriku. Aku meledak! Dan berteriak sekencang mungkin dan menatap Justin
yang rahangnya menegang. Justin mendengus saat aku keluar. “Bagus sayang,
benar-benar bagus,” ia memujiku dan mengecup bibirku sebentar lalu aku mulai
mengadahkan kepalaku ke belakang karena kelelahan.
“Kau
sangat basah,” bisiknya tepat di telingaku dan ia menggigit telingaku di sana,
membuatku mendesah pelan. Tolong beri aku istirahat, aku memohon dalam hati. Aku
bahkan tidak sanggup untuk berbicara sekarang karena orgasme hebat yang telah
ia berikan padaku. Ia memberikanku waktu untuk bernafas sedangkan ia beranjak
dari tempat tidur.
“Justin,”
aku berbisik saat ia merobek sesuatu. Kemudian aku berusaha untuk membuka
mataku yang terasa berat pada Justin. Ia memakai sebuah kondom kali ini.
Pertama kali berhubungan dengannya, ia lepas di atas perutku. Astaga, spermanya
benar-benar hangat tapi aku tidak menjilatnya. Ia mengelapnya dengan selimut
yang kupakai. Hebat. Gila, ereksinya benar-benar berdiri dan sangat keras. Aku
tidak percaya, barang itu bisa-bisanya masuk ke dalam diriku –meski sedikit
susah.
“Ini
akan masuk ke dalam ini,” ujarnya menunjuk ereksinya dan lalu ia menunjuk
milikku dan menekan jarinya sedikit ke dalam membuatku tersentak. Kuanggukan
kepalaku dengan lemah dan mataku kembali terpejam. Justin mulai menindih
tubuhku.
“Aku
akan menyetubuhimu,” bisiknya tepat di telingaku dan tangannya mulai
memposisikan ereksinya untuk masuk ke
dalam diriku, “dengan keras, sayang,” lanjutnya lagi yang membuatku bergetar.
Bersamaan dengan getaran tubuhku, ia mendengus saat ia berusaha untuk memasukan
ereksinya ke dalam tubuhku. Gila, benar-benar nikmat dan aku mendongakan
kepalaku ke belakang untuk merasakan setiap sensasinya. Ia mulai menggesek
pelan-pelan tubuhku dengan tubuhnya. Aku memekik pelan saat ia dengan kasar
memasukan seluruhnya ke dalam diriku.
“Bagaimana
rasanya?” tanyanya terdiam sebentar dan membuatku ingin menggoyangkan
pinggulku. Aku mulai menatapnya saat aku mengangkat kepalaku, posisiku sekarang
sudah setengah terduduk. Aku tersenyum padanya dan menganggukan kepalaku.
“Tak
tergambarkan dan tidak bisa dijabarkan dengan kata-kata,” balasku. Ia mendengus
kembali saat ia mulai menggerakan pinggulnya dan aku mulai mengerang.
“Bagus,”
ia mengerang dan mulai mengatur ritme gerakannya menjadi lebih cepat.
“Katakan
padaku, Ana. Apa kau suka bercinta denganku?” ia bertanya dan mulai melepaskan
tangannya yang menahan tubuhku sehingga aku terjatuh dan tanganku sudah berada
di tangannya lagi. Aku benar-benar terlentang di bawahnya sambil mengerang dan
mendesah, kadang merintih saat ia berhenti. Aku tidak menjawabnya.
“Jawab
aku!” aku memaksa dan semakin mempercepat gerakannya. Aku mengerang dan
mendongakan kepalaku, pinggulku melengkung ke atas saat aku mencoba untuk
mengimbangi gerakannya.
“Ya,
Christian,” aku berteriak dan meremas rambutnya ke belakang dan ia mengerang, dengan
kasar ia menarik kepalanya dan langsung menatap mataku dengan tatapan liar.
“Sangat
liar,” ia tersenyum penuh bangga padaku. Aku menelan ludahku.
“Aku
ingin ..Justin, yah, yah!” aku mendesah saat ia sebentar berhenti dan ia
membenarkan posisi yang nyaman untuknya. Lalu aku meledak! Benar-benar hancur
berkeping-keping saat ia menggerakan tubuhnya berkali-kali dengan cepat lalu
..aku benar-benar lemas sekarang. Tapi ia tidak berhenti, justru sekarang kedua
kakiku telah berada di atas bahunya dan aku meremas jari-jari kakiku sendiri
saat ia membangkitkan gairahku kembali. Kuku-kukuku telah membenam di dalam
punggung Justin. Justin mengerang, entah kesakitan atau kenikmatan. Namun
gerakan tubuhnya semakin cepat dan brutal. Aku berteriak, memekik dan mengerang
secara bersamaan saat ia mulai menjilati dadaku dengan rakus tanpa ampun.
“Oh
Tuhan, Tuhan, Tuhan!” aku menjerit saat Justin benar-benar brutal dan aku
hancur berkeping-keping kembali. Dan entah bagaimana kelanjutannya, tiba-tiba
saja Justin mengerang dan menyebut nama asliku keras-keras.
“Alex,
sialan! Alex!” ia terus menggerakan tubuhnya berkali-kali. Dan gerakan-gerakan
terakhir, ia menekan-nekan tubuhku semakin dalam membuat tubuhku tersentak ke
belakang terus menerus.
“Alex!”
itu adalah erangan terakhirnya dan kemudian ia benar-benar ambruk di atas
tubuhku dan kepalanya berada di atas dadaku. Tubuhku benar-benar lemas. Tiga
orgasme dalam satu permainan. Sialan, Gavin akan membuatku lupa diri karena
Justin.
Tiba-tiba
kami mendengar suara ketukan pintu.
“Justin?”
itu adalah suara Theo. Aku. Ingin. Mati. Sekarang.
***
“Apa
yang kaulakukan?” tanya Justin saat ia keluar dari kamar dan kemudian pintu
tertutup. Aku tak mendengar apa-apa lagi dari luar sana. Tubuhku sudah
tertutupi oleh selimut sekarang, aku butuh mandi. Justin cepat sekali mengganti
bajunya. Maksudku, boxer yang ia pakai. Bukankah ia memang datang ke kamar
dengan hanya memakai boxer saja? Kuharap Theo tidak kembali masuk ke kamar.
Tapi tiba-tiba knop pintu berbunyi saat aku mulai menggeser tubuhku untuk
bangkit dari tempat tidur. Jantungku berdetak kencang dan memejamkan mataku,
sebuah bisikan doa telah kuucapkan dalam hati. Jangan, jangan, jangan. Pintu
mulai terbuka sedikit. Aku tersentak dan ingin mati sekarang.
“Maafkan
aku Justin,” ujar Theo terdengar sedih dari luar. Suaranya parau dan Justin
terdiam sebentar. Mataku terbuka dan mencoba untuk tidak bergerak. Nafasku
tertahan agar Theo tidak tahu kalau aku ada di dalam kamar ini. Meski aku tidak
berpikir kalau ia adalah seorang zombie yang bisa tahu kalau ada manusia hidup
di dalam kamar ini. Aku tidak mendengar
suara Justin selain :
“Pergilah,”
Justin mengusirnya. Astaga, aku kasihan sekali dengan Theo. Tapi dengan keadaan
seperti ini aku tidak mungkin bisa meminta Justin untuk tidak bersikap jahat
seperti itu. Aku menarik ke atas selimut yang masih menutupi tubuhku dan
kuapitkan pada ketiakku.
“Aku
benar-benar maaf. Jika kau memaafkanku, telepon aku,” lirih Theo dan kemudian
aku tidak mendengar apa-apa lagi. Mataku masih terjatuh pada pintu yang terbuka
sedikit dan tiba-tiba terbuka lebar. Justin muncul dan ia langsung menghela
nafasnya dengan tenang, bersandar pada pintu yang telah ia tutup kemudian ia
merosot ke bawah hingga terduduk. Aku menatapnya dan menelan ludahku dengan
ketakutan. Maksudku, wajah Justin sekarang sudah sangat memerah. Kemudian
Justin menggelengkan kepalanya, frustrasi. Oh, kasihan sekali mereka berdua.
Theo terlalu kekanak-kanakan dan Justin tidak pengertian. Aku tidak tahu mana
yang salah. Tapi kurasa Justin harus memaafkan Theo. Bagaimana pun juga Theo
telah mencoba untuk meminta maaf akan kesalahan yang telah ia perbuat.
“Dia
sungguh menyebalkan,”
“Tapi
setidaknya ia sudah meminta maaf,” aku langsung meresponnya. Wajahnya yang
tertutup oleh kedua telapak tangannya mulai terlihat dan menatapku dengan
tatapan Kau-Tidak-Mendukungku? Aku hanya
mengangkat kedua bahuku untuk meminta maaf padanya dan ia kembali mendesah.
Tubuhnya tidak berkeringat karena aku cepat-cepat mengelapnya dengan selimut
yang sekarang kupakai. Ternyata efektif juga untuk mengeringkan tubuh Justin
yang tadinya berkeringat karena ..kau tahu sendirilah.
“Aku
tahu, tapi sungguh, apa yang sebenarnya ia harapkan?” ia bertanya.
“Kebersamaan?”
Aku menebak.
“Kebersamaan?
Dia bisa datang ke tempat syutingku jika ia mau. Jika ia ingin menungguku,
menginap di dalam mobilku. Tapi dia tidak pernah ..aku sudah meminta padanya
jika ia bisa. Tapi jika ia tidak bisa, tidak apa-apa. Aku tidak tahu apa
masalahnya,” tutur Justin tidak menatapku melainkan pada lantai yang berada di
bawah bokongnya itu.
“Aku
tidak tahu soal itu. Aku ingin mandi,”
“Mau
mandi bersamaku?”
“Tidak,”
“Mengapa?”
“Karena
kita tidak akan selesai-selesai mandi jika bersama-sama,”
“Berarti
kau mengharapkanku, ayo kita mandi,” Justin berdiri dari lantai dan kemudian
menyeringai padaku. Tangannya yang besar mulai meraup tubuhku yang mungil. Aku
mulai protes namun aku mulai terbuai oleh ciuman yang menghasutku sehingga aku
mulai tersesat.
***
“Whoa!”
aku benar-benar terkejut saat Justin benar-benar membawa sebuah helicopter
dengan seorang lelaki yang berada di sebelahnya. Aku berdiri di atap gedung
tinggi ini dan menatap helicopter yang Justin bawa itu. Dia tidak berbicara
omong kosong. Justin benar-benar bisa membawa helicopter. Well, ini hanyalah
sebuah percobaan. Dan kulihat Gavin yang terduduk di atas kursi sutradara
sambil tersenyum penuh dengan kebanggaan pada Justin. Aku tidak melihat manajer
Justin beberapa hari ini. Mengapa? Aku tidak tahu. Mungkin pertanyaan itu bisa
kusimpan sekarang.
Rambutku
berterbangan kemana-mana dengan Dravin yang berada di sebelahku dan merangkul
bahuku. Ia cukup tidak menyukai ide Gavin yang menyuruhku dan Justin untuk
berlatih bercinta. Meski aku tahu, pasti Gavin tidak percaya kalau aku dan
Justin benar-benar melakukannya tadi siang.
“Aku
tidak percaya kau benar-benar melakukannya,” Dravin berbicara dengan normal
saat kebisingan helicopter masih terdengar. Justin masih berada di langit
bersama dengan George, pemandu artis untuk ..kau tahu, kapan kita masuk atau
kapan kita keluar dari ruangan. Semacam itulah. Aku menoleh padanya dan
mengangkat kedua bahuku. Dan ternyata bukan hanya Gavin yang tak percaya,
Dravin juga. Selanjutnya siapa? Oh, ibuku tidak akan percaya.
“Apa
sebenarnya yang kauharapkan, Dravin?” aku mengeluh padanya dan menjauhkan
tubuhku dari rangkulannya sehingga sekarang aku berhadapan dengannya. Kugerakan
kepalaku ke salah satu sisi dan menatapnya dengan mata menyipit.
“Aku
hanya tidak ingin kau mendekatinya. Kau tahu, dia itu gay,”
“Kurasa
ia biseks,”
“Tidak
mungkin!” ia bersikeras. Aku memutar mataku dan melipat kedua tanganku di depan
dadaku yang menyembul sekarang. Sialan.
“Kau
tidak bisa melarangku untuk menjauhinya. Dia Christian Grey dan aku
pasangannya. Bagaimana bisa? Di mana otak sialanmu, Dravin?” aku mulai kesal
padanya yang berpikiran pendek. Rasanya aku ingin menendang wajahnya yang
seperti kuda menyebalkan ini. Dan aku tidak tahu mengapa ia begitu bersikeras
agar aku menjauhi Justin meski kenyataannya adalah tidak. Dravin melotot padaku
dan tidak percaya dengan apa yang baru saja aku katakan. Sekarang aku sangat
merasa bersalah padanya. Aku tidak pernah memarahinya seperti itu. Atau aku
tidak pernah berbicara kotor padanya –oke, mungkin pernah, tapi itu hanya untuk
candaan. Kepalanya menggeleng-geleng kemudian ia beranjak dari tempatnya dan
berjalan menuju satu pintu yang berwarna hijau yang terbuat dari besi. Aku
mendesah pelan. Mengapa ia begitu marah?
Aku
sedikit menjauh saat helicopter mulai mendarat di atas gedung ini. Rambutku
semakin berkibaran dan tiba-tiba Fransesco muncul dari belakang dan memegang
kedua pundakku. Well, aku harus berterimakasih padanya karena mungkin sebentar
lagi aku akan terbang karena angin yang benar-benar kencang ini. Saat posisinya
benar-benar pas, Justin mematikan mesin helikopternya dan langsung melompat
dari sana. Ia memakai jas yang begitu panjang sehingga seperti ia memakai gaun
yang kaku sekali. Tampan, sangat. Kakinya berjalan padaku dan bibirnya
tersenyum padaku. Ia merentangkan tangannya dan memelukku.
“Kau
akan aman,” ujarnya di telingaku dan tiba-tiba ia menarik wajahku, bibirku dan
bibirnya benar-benar bersentuhan. Fransesco menjauh.
***
“Kau
tadi sangat hebat,” ujarku mengakui kehebatannya dalam membawa helicopter. Aku
benar-benar dibawa ke Seattle dari Portland oleh Justin. Itu sangat menakjubkan
dan kami benar-benar serius saat mengambil gambar tadi. Sekarang aku dan Justin
harus tidur sekamar di dalam kamar Christian Grey sedangkan para kru tidur di
kamar yang lain. Bahkan ada yang di ruang tamu. Kami berkumpul bergerombolan di
sini karena di sini adalah tempat yang akan kami pakai untuk besok dan hari
berikutnya, berikutnya, dan berikutnya lagi.
Aku
tidur bersebelahan dengan Justin dan otakku dari tadi memikirkan Dravin yang
masih marah. Aku tidak tahu ia akan tidur di mana sekarang. Maksudku, dimana sekarang. Justin berbaring dengan kedua
tangan yang berada di bawah kepalanya. Kemudian ia menoleh padaku dan tersenyum
penuh dengan kebanggaan. Aku benar-benar menyesal karena aku telah memujinya.
Kepalanya pasti sebentar lagi akan pecah karena kesombongannya. Sial.
“Aku
tahu. Aku sudah bilang padamu hari sebelumnya, bukan?” Justin mulai bertumpu
pada siku-sikunya. Kepalanya menyentuh telapak tangannya dan tubuhnya tertidur
miring. Aku cemberut, tubuhnya mulai mendekati tubuhku.
“Apa
yang kaulakukan?” tanyaku saat tangannya mulai berada di pinggangku. Aku
tertidur miring sekarang. Ia hanya terkekeh pelan dan itu adalah suara terindah
yang pernah kudengar. Masalahnya adalah aku takut malam ini kami akan
berhubungan badan lagi. Maksudku, aku rasa aku tidak akan pernah puas dengan
lelaki. Dan ini aneh. Apa sekarang aku berada di dunia yang berbeda? Maksudku,
bukan dunia hiburan atau dunia nyata. Dunia yang berbeda. Aku tidak pernah
menyukai lawan mainku sebelumnya. Meski aku pernah berhubungan dengan salah
satu di antara mereka. Tapi ini berbeda atau hanya aku yang
melebih-lebihkannya?
“Menyentuhmu?
Kau tahu, aku senang bisa menyentuhmu. Aku janji tidak akan ada apa-apa malam
ini,” ia berujar seolah-olah ia tahu apa yang ada di pikiranku. Kuanggukan
kepalaku, membiarkan tangannya bertengger di pinggangku. Ia meremasnya dan aku
memejamkan mata. Sentuhannya menyambar pada pangkal pahaku. Sial, sial, sial!
Aku ingin menamparnya karena aku menginginkannya. Kubuka mataku kembali.
“Mengapa
kau tidak menghubungi Theo? Apa dia tahu kalau kau akan pergi ke Seattle? Aku
bukan tinggal di Portland atau Seattle, aku Atlanta. Aku juga telah memberitahu
ibuku kalau aku datang ke Seattle malam ini,” celotehku padanya, bercerita
lebih tepatnya. Memang. Aku dari Atlanta. Maksudku, ini Washington. Dan aku
tidak tahu Justin berasal dari mana.
“Aku
tinggal di Portland. Serius. Pantas saja ibumu tidak datang untuk menemuimu,”
ujar Justin mulai menaruh tangannya di leherku dan mengelusnya dengan lembut.
Dia bilang dia tidak akan melakukan apa-apa. Memang ia tidak mengajakku dengan
kata-katanya. Tapi apa yang sedang tangannya lakukan? Aku ingin mencium bibirnya
sekarang. Mataku mulai bertemu dengan matanya yang berwarna abu-abu pekat itu.
Kutelan ludahku dengan susahnya, kurasa Justin bisa merasakan leherku yang
bergerak karena ludah yang tertelan.
“Ah,
aku hampir lupa. Jadi, mengapa kau tidak menghubungi Theo?” tanyaku setelah aku
sadar kalau aku sendiri yang mengubah topik dalam beberapa kalimat dan Justin
meresponnya hanya satu topik dari tiga topik yang kuberikan. Justin tidak
memilih topik Theo. Sekarang jari-jari Justin yang panjang itu mulai menyentuh
pipiku dan mengelusnya.
“Mengapa
kau begitu mengkhawatirkannya? Aku saja tidak,” ujarnya yang membuatku memerah.
Benar juga, mengapa aku mengkhawatirkan Theo? Oh, sial. Sekarang aku seperti
wanita perebut lelaki
orang. Aku merasa bersalah pada Theo. Kupejamkan mataku dan mendesah pelan.
“Karena
aku tahu sekarang perasaannya seperti apa. Hubungi dia. Aku yakin ia sangat
menunggumu,” ujarku memohon padanya, membuka mata. Entah mengapa ini menjadi
sesuatu yang penting. Tapi aku tidak tega dengan Theo yang tadi terdengar ingin
menangis tapi ia tahan. Dan Justin seperti tidak berperasaan. Mengusir Theo
yang sudah meminta maaf padanya. Dan Justin menolaknya mentah-mentah. Justin
menggelengkan kepalanya dan memejamkan matanya.
Membuka
mata, jari jempolnya mulai mengelus sudut bibirku. Aku bergetar, tapi tidak
terlalu bergetar. Ia menautkan kedua alisnya.
“Tidak,”
ia menolak. Baiklah, aku tidak bisa memaksanya sekarang.
Ia
memajukan tubuhnya, mendekatkannya pada tubuhku. Sekarang, bagian atas tubuhku
hanya memakai selembar baju dalaman –bukan hanya bra. Tapi yang pasti ia bisa
melihat belahan dadaku atau pundakku. Aku ingin mati saat tangannya mulai
menyentuh leherku lalu menjarah masuk ke dalam dalaman yang kupakai sehingga
telapak tangannya sudah menyentuh punggungku. Kupejamkan mataku untuk merasakan
setiap sentuhannya. Akal sehatku mengalahkan gairah yang memanas.
“Kau
bilang tidak akan melakukan apa-apa,” ujarku membuka mata dan ia mulai menarik
tangannya dari punggungku. Aku ingin merintih saat tangannya tidak menyentuhku.
Ini adalah sikap munafik yang tidak bisa kulakukan. Ini tidak benar.
“Apa
yang kaulakukan Christian?” aku ingin bermain akting dengannya. Maksudku,
bersenang-senang sambil berlatih akting, hal yang sangat menyenangkan bukan?
Dia tidak pernah tahu kalau kita sebenarnya tidak berpura-pura kalau kita
menyukainya karena mereka hanya menganggap ini hanya akting semata. Justin
tersenyum padaku dan mulai menyelipkan beberapa helai rambutku ke belakang
telinga. Ia tertawa, tiba-tiba.
“Ana,
Ana, Ana. Kapan kau terus mempermainkanku seperti ini? Aku sungguh tertarik
padamu,” ujar Christian padaku dan mulai mengelus pipiku dengan lembut.
Jemarinya benar-benar membawaku pada titik api yang mulai membara. Jika ia juga
api dan kita bersatu, maka kami terbakar sekarang. Tapi belum. Belum saatnya
kami terbakar. “Kemarilah,” ia menarik wajahku dan mulai memagut bibirku dengan
lembut. Bibir kami terus mengisap satu sama lain dan mulutku mulai terbuka. Ia
melesakan lidahnya langsung ke dalam mulutku. Aku menggeram, tangannya mulai
meremas dadaku.
“Kau
bilang tidak melakukan apa-apa,”
“Justin
sudah tidak ada. Christian di sini,” ujar Justin terdengar begitu menyeramkan.
Seolah-olah ia adalah seorang yang memiliki kepribadian ganda dan aku senang ia
melakukan itu. Maksudku, aku ingin ia melakukan ini juga. Tangannya menekan
wajahku pada wajahnya untuk memperdalam ciuman ini. Menyenangkan dan ..ah,
sialan! Ponsel Justin tiba-tiba berdering dan bunyi kecipak dari bibir kami
yang terlepas terdengar. Ia mengumpat pelan dan menjauh tubuhku.
Tangannya
mengambil ponselnya yang berada di atas meja kecil, sebelah tempat tidur besar
ini. Kemudian ia melihat layarnya, ia mendesah pelan. Dengan keengganan, ia
mengangkat teleponnya.
“Ya?”
ia tidak mengucapkan kata “Halo” atau semacamnya.
“Aku
di Seattle ..Apa? Tidak! Besok ..aku tidak ingin mendengar rengekan itu
..berhenti Theo. Kubilang berhenti ..tidak, aku tidak. Sialan Theo!” Justin
menggeram dan kemudian meremas ponselnya hingga aku bisa mendengar suara retakan
di sana. Gila, Justin marah seperti melihat iblis. Wajahnya mulai memerah dan
rahang bawahnya menegang.
“Sialan
Theo. Apa maksudmu? Ini ..apa? Kau bodoh. Aku tidak pernah ..apa? Kaupikir apa
yang sedang kaubicarakan?” Justin menggeram, “Apa-apaan itu? Sial, Theo. Aku
benar-benar ..sial!” Justin melemparkan ponselnya hingga hancur
berkeping-keping. Nafasnya memburu. Aku menatapnya dengan tatapan tak percaya.
Apa Justin Bieber benar-benar marah sekarang? Matanya mulai melihat padaku. Aku
ketakutan sekarang. Saat aku ingin beranjak, tangannya menyentuh tanganku.
“Tidak,
jangan pergi. Dia hanya ..aku putus.” ia menggertak. Apa mereka benar-benar
putus?
***
Aku
termenung. Mataku menatap kosong selimut yang sekarang kupakai sedangkan
telingaku hanya bisa mendengar deru nafasku dan nafas Justin yang saling
menyahut.Sudah beberapa menit ini aku tidak dapat berpikir jernih. Theo dan
Justin putus? Maksudku, mengapa? Jangan bilang hanya karena masalah jaket itu
karena itu terdengar konyol. Tapi ini bukan urusanku. Jika mereka putus, itu
adalah akhir dari cerita Theo dan Justin. Aku hanya ..aku merasa seperti
perusak hubungan seseorang.
Ekor
mataku melirik pada Justin yang dari tadi menatapku dengan masih pada posisi
yang sama, tidur miring. Akhirnya aku menolehkan kepalaku untuk melihatnya.
“Karena
aku?” tanyaku. Justin menautkan kedua alisnya dan menatapku seperti
Jangan-Konyol. “Lalu, mengapa?” aku mulai jengkel. Maksudku, mengapa ia tidak
bisa merasakannya? Kau tahu, aku selama beberapa hari ini dekat dengan Justin.
Bahkan sudah satu minggu lebih. Dan apa dia tidak sadar kalau Theo akan
mencurigaiku? Meski terdengar tidak masuk akal karena Justin adalah seorang
yang gay. Tapi tidak. Kenyataannya dia tidak hanya gay. Ia tertarik padaku, aku
tahu itu. Kutatapi pundak Justin yang telanjang beberapa detik lalu melihat
matanya yang berwarna abu-abu.
“Bisakah
kita tidak membicarakannya sekarang?” tanya Justin tampak geram, sekarang.
Baiklah, aku tidak akan membicarakannya sekarang. “Apa kita bisa tidur sekarang?”
Aku
mengangkat kedua bahuku. Ini sangat membingungkan. Maksudku, Justin-Theo? Oh
Tuhan. Apa yang telah kuperbuat dalam hubungan mereka? Ah ya, bercinta dengan
kekasih Theo itu adalah kesalahan fatal. Majalah-majalah akan langsung kaya
karena berita yang menggemparkan Amerika –termasuk ibuku. Justin Bieber Akhirnya Putus dengan Theo Karena Alexis Bledel? Itu judul yang akan bagus untuk beberapa hari
ke depan dan siap-siap saja dengan paparazzi yang bertebaran di luar sana.
Sialan. Benar-benar sialan.
“Apa
yang ada dipikirkan oleh kepala cantikmu itu?” tanya Justin yang tangannya
mulai menarik tanganku, “kemarilah, biar kita berpelukan. Aku senang
menyentuhmu,” ujarnya mulai membawaku dalam pelukannya. Tapi kenyataannya aku
tidak mau.
“Tidak,”
aku menolak. Raut wajah Justin berubah. Ia yang tadinya menyeringai langsung
protes padaku.
“Miss
Bledel? Ini bukan sepenuhnya salahmu. Aku bisa bersumpah. Dan biarlah aku
memelukmu malam ini, aku sangat butuh itu. Tidakkah kau mengasihani lelaki yang
baru saja ditampar oleh kata-kata ini? Bunuh aku saja jika kau tidak,” Justin
memohon padaku dengan mata yang benar-benar ..sialan. Dia ternyata bisa
merengek. Dengan pasrah aku mulai merosot –telentang- dan mulai memeluk tubuh
Justin yang tidak memakai baju. “Tidurlah sayang,” suruh Justin saat kepalaku
sudah menyentuh dadanya yang telanjang. Kupejamkan mataku, berusaha untuk
tidur.
***
*Justin Bieber POV*
Ini
sungguh aneh dan ..aku tidak yakin dengan apa yang sekarang kurasakan. Aku
termenung dan tersenyum sambil menatapi keindahan Seattle melalui Escala. Ini
sangat indah. Senyumku tidak surut dari kemarin malam. Setelah aku berhasil
memeluk Alex dalam pelukanku, aku mendapatkan suatu kepuasan tersendiri. Aku
putus dengan Theo. Apa kalian percaya itu? Oh, Tuhan. Itu adalah suatu ..berkat
yang tak terkira indahnya. Dan aku sangat bersyukur karena itu. Aku tidak akan
pernah mendengar celotehannya, rengekannya, dan sifatnya yang manja itu. Aku
mengadahkan kepalaku ke belakang dan menghembuskan nafas penuh dengan rasa
kesenangan. Akhirnya aku bebas. Tapi, ini baru awal yang baru. Melalui Alex,
aku bisa menjadi lelaki normal. Meski aku tidak begitu menginginkannya, tapi
dampak Alex dalam hidupku begitu besar. Tidak pernah aku sesadar ini. Ternyata
rasa wanita pun enak dan tidak tergambarkan. Alex harus menjadi milikku.
Harus.
Dan
aku yakin, aku tidak perlu menunggu lama-lama. Alex tertarik padaku dan aku
tertarik juga padanya. Mungkin aku hanya butuh berjalan dengan lambat. Ini
adalah yang pertama kalinya aku menginginkan seorang wanita dalam hidupku. Alex
adalah gadis pertama dan bahkan akan menjadi yang terakhir. Tidak, tidak. Aku
tidak seperti aktor-aktor sialan yang lain. Mereka hanya memakai kekasih atau
istri mereka seperti pelacur, memiliki anak, dan berakhir pisah. Aku tidak
sebajingan itu.
Apa
yang menjadi milikku tidak boleh disentuh oleh orang lain. Senyuman di bibirku
semakin melebar. Yah, benar. Apa yang menjadi milikku tidak boleh disentuh oleh orang lain. Sempurna. Tidak boleh ada yang menyentuh
Alex selain diriku. Dunia ini akan menjadi milikku dan Alex tiap harinya –bukan
secara harfiah. Hanya saja, aku pasti akan lebih menikmati hidup dengan Alex.
Kubalikan
tubuhku dan melihat Alex yang masih terlelap dalam tidurnya. Bahkan dalam
keadaan tidurpun ia terlihat begitu cantik sekali. Mengapa ia terlihat begitu
sempurna? Apa yang tidak aku suka dari wanita mungil dan polos ini? Aku
menyukainya, kekurangan dan kelebihannya. Ia menggeliat di tempat tidur dan
mengerang. Oh, lucu sekali.
Pagi
ini adalah pagi yang paling bersejarah dalam kehidupanku. Aku tidak pernah
merasa sepuas ini. Entahlah, aku tidak bisa menjabarkannya dengan kata-kata.
Ini sangat sempurna. Pagi yang sempurna dan aku mengharapkan siang dan malam
yang sempurna. Khususnya malam yang sempurna. Tapi sialan! Aku mendengar suara
ketukan pintu dari luar.
“Alex?”
aku mendengar suara Dravin. Manajer Justin. Sebenarnya, apa gunanya manajer?
Aku tidak punya manajer. Aku memanajeri diriku sendiri. Itu lebih efektif dan
cepat. Hanya saja butuh keteletian semata. Aku melangkahkan kakiku menuju pintu
dan membukanya. Untung saja aku sudah berpakaian. Meski aku hanya memakai boxer
dan kaos berwarna putih. Dravin yang berdiri di depanku menatapku dengan
tatapan ..Apa yang lelaki sialan ini lakukan?
“Di
mana Alex?” tanyanya yang kepalanya langsung masuk ke dalam kamar. Tapi aku
dengan sigap mendorong bahunya untuk menjauh dari kamarku dan Alex.
“Tidur.
Jangan ganggu dia. Pengambilan gambar masih lama. Gavin bilang sore nanti kita
baru bekerja. Lalu, apa yang kau mau?” aku bertanya dengan ketus. Maksudku, apa
yang sebenarnya ia inginkan? Aku sekarang ingin menyingkirkan Dravin dari
kehidupan Alex secepatnya. Kelihatan sekali kalau Dravin adalah seorang lelaki
yang gila control. Apa pun yang ia inginkan harus berjalan dengan baik. Tapi
mana mungkin Alex bisa bertahan dengan bajingan sialan ini? Aku benci
melihatnya sekarang setelah kemarin aku melihat Alex yang kurasa bertengkar
dengan Dravin di atap gedung –saat aku membawa helicopter.
“Aku
ingin berbicara dengannya,” tukasnya dengan cepat dan hendak melangkah masuk
tapi aku langsung menahannya.
“Katakan
saja padaku,” ujarku, terdengar memaksa. Kemudian, aku melirik sebuah majalah
yang ia pegang dan merampasnya dari tangannya. Mungkin ini yang ia maksudkan.
Ia mulai protes dan aku langsung menganggukan kepalaku.
“Terima
kasih,” ucapku menutup pintu dan langsung menguncinya. Ia menendang pintu
kamarku dengan kasar. Lucu sekali orang itu. Maksudku, sepertinya ia tidak
memotong ucapanku dan sepertinya ia tidak berani denganku. Atau dia jijik
denganku? Ah tidak mungkin. Aktris-nya saja menyukaiku.
Kemudian
aku melirik pada majalah yang kupegang. Whoa. Justin Bieber Bermesraan di Dalam Mobil bersama Alexis Bledel.
Sampul majalahnya memang bukan fotoku dan Alex, tapi tetap saja di sampul
majalah terdapat dua gambar kecil dariku dan Alexis sewaktu di mobil dua hari
yang lalu. Sialan, paparazzi itu pintar benar untuk mencari berita-berita
sialan ini. Kemudian aku langsung mencari halaman dimana pasti aku dan Alex
berada di sana. Di halaman yang ke-delapan belas aku langsung mendapatkan
gambar yang lebih banyak dari pada di sampul tadi. Saat kakiku berada di paha
Alex, saat Alex tertawa-tawa, dan kami meminum coca cola. Aku tersenyum.
Akankah Theo tahu berita ini? Pasti akan sangat lucu saat ia melihatnya,
kurasa.
“Justin,”
Alex mengerang dan menggeliat di atas tempat tidur. Oh, sangat manis dan
cantik.Aku mendekatinya yang tengkurap di atas tempat tidur.
“Hey,
cantik,” aku menyapanya dengan lembut dan berjongkok di samping tempat tidur
lalu aku mengelus pipinya yang halus dan lembut. Sialan, aku menginginkannya.
Ia mengangkat kepalanya dan matanya masih terpejam. Tapi alis matanya ia
satukan –hampir- lalu ia membuka matanya dengan sayu.
“Apa?”
ia tersinggung, aku tertawa.
“Kau
cantik bukan?” aku menggodanya.
“Tidak,”
katanya langsung memalingkan wajahnya dariku. Oh, Alexis Bledel tersipu malu
karena Justin Bieber. Suatu keajaiban. Meski aku bisa membuatnya lebih dari
sekedar tersipu
malu. Kau tahu, aku Justin Bieber dan aku bisa
melakukan apa saja yang belum pernah kucoba –tapi tidak melebihi Tuhan.
Maksudku, kita harus mencoba bukan? Dan sekarang aku mencoba untuk mendapatkan
tubuhnya lagi. Terkadang Alex sangat susah untuk diraih.
“Hey,
bangun tukang tidur,” aku berdiri dan menggoyangkan tubuhnya dengan cepat. Tapi
ia menggeram, tidak mau. Aku tertawa. “Aku bangun secara halus, atau aku
membangunkan secara halus?”
aku menggodanya dan tanganku mulai mengelus pundaknya dengan lembut. Tapi
dengan cepat ia menyingkirkan tanganku dari pundaknya. Tubuhnya terbangun
dengan gerakan yang tiba-tiba, membuatku menjauh dari tubuhnya. Rambutnya
acak-acakan dan ia mulai mendesah. Ia bertumpu pada salah satu tangannya dan
tangannya yang satunya mengelap wajahnya.
“Ada
apa?” tanyanya membuka suara. Matanya kali ini benar-benar terbuka. Tuhan,
mengapa matanya begitu indah? Biru alami dan seperti laut. Sialan. Ia menatapku
dari atas sampai bawah dan mata kami kembali bertemu. Kemudian aku melempar
majalah yang kupegang. Tangannya mulai menjamah majalah itu dengan pelan dan
melihat pada sampul majalah. Ia mengeluh dan terisak –tidak menangis.
“Oh,
apalagi ini?” ia mengadahkan kepalanya ke belakang dan rambutnya yang
acak-acakan terjuntai dengan indahnya. Kemudian ia menegakan kepalanya lagi dan
mulai mencari halaman dimana kami berada. “Halaman delapan belas,” ujarku.
Tangannya langsung menggali halaman yang ia cari dan berhenti. Ia begitu
ekspresif dan aku menyukainya.
“Kau.
Jauhi aku,” ujarnya setelah membaca omong kosong sialan itu. Matanya menatapku
dengan tajam. Aku. Sakit. Hati. Ia mengusirku? Oh, aku tidak akan pernah
menjauh darinya. Kemudian aku terduduk di sisi tempat tidur, berusaha untuk
mendekatinya.
“Aku
tidak ..astaga, Justin. Pernahkah kau berpikir jernih sebelumnya?” tanyanya
mendesah, seolah-olah aku adalah anak kecil yang berumur lima tahun. Dan aku
tidak tahu apa-apa tentang menghitung angka. Tapi ini yang pertama kalinya aku
berpikir jernih. Aku menyukai seorang gadis dan aku menginginkannya agar ia
menjadi pacarku. Bukan untuk menjadikannya pelampiasan. Tapi ini benar-benar
dari dalam diriku.
“Apa
tadi Dravin datang ke sini?” tanyanya saat aku tidak menjawab. Kuanggukan
kepalaku.
“Itulah.
Itulah alasan mengapa aku tidak ingin mendekatimu,” ujarnya yang membuatku
tidak mengerti. Apa? Mengapa tiba-tiba ia berbicara seperti itu? Ini membuatku
sedikit bingung. Apa Dravin melarangnya untuk mendekatiku? Oh, tidak, tidak.
Itu tidak boleh terjadi. Justru, aku akan melarang Alex untuk tidak berdekatan
dengan Dravin saat Alex benar-benar sudah menjadi milikku.
“Maksudmu
apa?”
“Dravin
tidak ingin aku dekat denganmu karena kau adalah seorang yang gay. Reputasiku
bisa rusak kar—“
“Tunggu
dulu. Kau menjauhiku karena reputasi? Oh, sialan Alex. Itu tidak masuk akal,”
aku menggeram. Aku yakin ini bukan keinginan Alex. Dravin yang gila reputasi
dan ketenaran. Rasanya aku ingin memukul wajah lelaki sialan itu. Ia mendesah
pelan dan tangannya mulai menyentuh keningnya.
“Ya,
semacam itu. Tapi sungguh Justin, aku bukan seorang wanita yang gila tenar,”
ujarnya mengeluh pelan. Aku percaya padanya.
“Kemarilah,”
“Tidak,”
“Jangan
jauhi aku. Kau tahu, aku ini tipe lelaki yang keinginannya harus diikuti.
Serius,” ujarku mengatakan fakta. Aku memang lelaki yang seperti itu. Tapi
masalahnya aku bukan seorang lelaki yang pemaksa. Hanya saja tinggal menunggu
dan terus bermain dengan apa yang kuingini dan lihat? Sampai sekarang apa yang
kuingini terus terjadi. Awalnya Gavin tidak ingin aku membawa helicopter dan
aku terus menyinggung Gavin kalau aku itu lelaki yang bisa membawa helicopter
bahkan kapal berlayar. Serius, aku keturunan orang kaya sehingga permainanku
hampir semacam Christian Grey.
Kutarik
tangan Alex, yang kali ini ia tidak menarik diri dariku. Kemudian aku memeluknya.
Ini adalah awal. Awal yang baru. Aku ingin menjalin sebuah hubungan dengannya.
Dan aku percaya itu akan berhasil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar