*Justin Bieber POV*
Tumben
sekali Theo datang pagi-pagi hanya untuk menemuiku dan membawakanku sarapan.
Melihat wajahnya yang tampan membuatku merasa bersalah dengan kejadian tadi
malam. Theo pasti akan sangat sakit hati dengan apa yang terjadi tadi malam
jika aku memberitahunya. Dan aku tahu, Alex tidak mungkin memberitahu kejadian
tadi malam pada penggemar terberatnya. Aku tidak ingin menyakiti hati lelaki
yang sangat kucintai ketika ia mendengar bahwa idolanya pernah tidur denganku.
Pertama kalinya dalam hidupku, aku menyukai perempuan. Alex adalah gadisku
–gadis pertamaku. Ia tampak muda dan seksi. Tapi aku masih akan tetap memilih
Theo dibanding dirinya.
Dan
tentang majalah. Sialan sekali dengan editor majalah itu. Untung saja Theo
tidak marah karena kata-kata majalah itu. Dia bilang kalau aku itu baik telah
menolong idolanya yang benar-benar mabuk. Dia hanya tahu bagian itu, tapi dia
tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya saat aku membawa Alex ke dalam mobil.
Sekarang,
aku melihat malaikat indahku yang sedang meminum susu yang ia beli tadi. Ia
duduk bersebelahan dengan Blake yang juga ikut sarapan bersama kami. Sebentar
lagi pengambilan adegan akan segera dimulai. Aku dan kekasihku sedang berada di
lantai bawah, tepatnya di ruang tamunya. Semua kru sudah siap di tempatnya.
Tinggal Taylor, pengawalku, yang sedang dirias oleh Fransesco dan juga Mrs.
Jones.
“Ada
apa Justin?” tanya Theo menyadari kalau pagi ini aku tampak begitu pendiam. Aku
menatapnya dan tersenyum lalu menggelengkan kepalaku. Aku tidak ingin ia
berpikir yang tidak-tidak tentangku dan Alexis. Rasanya aku ingin bertemu
dengan gadis itu sekarang. Pasti dia sudah sangat cantik di atas sana.
“Tidak
ada. Apa kau ingin menungguku sampai selesai?” tanyaku. Aku tahu sebenarnya aku
tidak akan pernah bisa pulang ke rumah untuk bermalam dengannya. Karena jadwal
padatku setiap harinya selama delapan bulan ke depan bersama dengan Alex.
“Tidak.
Aku juga memiliki pekerjaan sayang, aku selalu merindukanmu. Tapi aku tahu
sibuk. Jadi, tidak apa-apa jika kau tidak bisa pulang. Apa kau ingin aku datang
nanti malam untuk menginap di atas mobilmu?” tanyanya mengerling padaku. Aku
suka rasa kepercayaan dirinya. Dia tidak malu dengan apa yang ada pada dirinya
sendiri. Entah, aku menyukainya. Mencintainya, lebih tepatnya.
“Jika
kau tidak sibuk, aku ingin kau datang,” ujarku memegang tangannya. Ia meremas
tanganku dan memejamkan matanya lalu berdiri di depanku. Aku yang terduduk di
atas sofa langsung mendongak untuk melihatnya. Kali ini ia mengambil kedua
tanganku dan menggoyang-goyangkannya seperti anak kecil yang meminta es krim
kepada ayahnya. Aku memberikan senyuman terbaikku padanya. Melihatnya seperti
ini membuatku sedikit terpuruk, kelihatan sekali ia kesepian karena tidak ada
aku di rumah. Kemudian ia menunduk dan mencium pipiku, tidak pada bibirku.
“Aku
akan merindukanmu, aku harus pergi ke kantor sekarang,” ujarnya memelukku
dengan erat. Dengan cepat aku berdiri untuk memeluknya dengan nyaman. Dapat
kurasakan nafasnya yang terhembus di atas bahuku dan ia semakin mengeratkan
pelukannya.
“Aku
juga,” balasku beberapa detik kemudian. Lalu ia melepaskan pelukannya dan
memegang tanganku kembali.
“Jaga
dirimu baik-baik. Jangan nakal dan aku mencintaimu,” ujarnya mencium bibirku
kilat dan lalu menepuk pundakku dengan lembut. Ia membawa kotak makanan yang
tadi ia bawa dan pergi dari hadapanku.
“Aku
juga,” balasku dengan suara yang kecil saat ia keluar dari rumah Christian Grey
ini.
“Semuanya
baik-baik saja?” tanya Blake yang bangkit dari sofa dan menghampiriku.
Kuanggukan kepalaku dan tersenyum lemah padanya. Aku hanya tidak ingin Theo
sakit hati dengan perbuatanku semalam. Hanya itu.
***
Aku
berlari-lari di tempatku supaya menghasilkan keringat. Pakaian yang kupakai
adalah celana training berwarna abu-abu dan singlet berwarna abu-abu gelap. Di
adegan ini aku harus seperti selesai berolahraga. Taylor sepertinya senang
sekali saat ia menyiramiku dengan air minum tepat di wajahku. Kelihatan sekali
ia sedang bahagia. Tapi, sebentar lagi kami akan segera mengambil gambar dan
aku tidak peduli jika Taylor akan bahagia menyiramiku.
“Sudah,
sudah. Sekarang kau siap di sana,” ujar Taylor menyuruhku untuk berdiri tepat
di depan pintu kamarku –dalam film ini. Taylor menghilang dan aku langsung
berdiri di depan pintu sambil masih berlari-lari untuk menghasilkan keringat.
Dan memang sebenarnya dari tadi aku sudah berkeringat.
“Camera!”
“Rolling!”
“Dan
..action!” teriak Gavin.
Aku
menunggu panduan dari George kapan aku masuk ke dalam kamar. Aku menunggu
sambil menatapnya dan menganggukan kepalaku. Seperti yang kau tahu, kamar ini
tidak sepenuhnya ruangan tertutup. George menganggukan kepalaku agar aku cepat
masuk ke dalam kamar. Aku mulai mengganti kepribadianku.
Kuketuk
pintu kamarku dan tidak mendapatkan jawaban, beberapa detik setelahnya. Aku
membuka pintu kamarku dan mendapati Anastasia yang sedang terduduk di pinggiran
tempat tidur dan memunggungiku. Aku mengambil handuk yang berada di sekitar
leherku dan mengelap leherku. Anastasia berbalik dan melihatku dengan wajah
yang sangat gugup.
“Selamat
pagi, Anastasia. Bagaimana perasaanmu?” Dia terdiam.
“Lebih
baik dari yang pantas kurasakan,” gumamnya. “Bagaimana aku bisa sampai di
sini?” tanyanya beberapa detik kemudian. Aku mendekatinya dan duduk di tepi ranjang. Aku cukup dekat dengannya dan
dia sangat seksi sekali dengan kaos yang ia pakai dan hanya celana dalam yang
ia pakai. Pahanya benar-benar putih.
“Setelah
pingsan, aku tidak ingin mengambil resiko jok kulit mobilku bisa membawamu ke
apartemenmu. Jadi aku membawa kau ke sini,”
“Apakah
kau yang menempatkanku ke ranjang?”
“Ya,”
“Apa
aku muntah lagi?”
“Tidak,”
“Kami
tidak …,”
“Anastasia,
kau koma. Necrophilia (=menyukai hubungan seks dengan mayat) bukan
kesenanganku. Aku suka wanita hidup dan mau menerima,” aku menjawabnya dengan
datar dan berusaha untuk tidak menatap pada pahanya yang seksi itu. Sungguh,
tadi aku melihat benar-benar terekspos. Paha yang pernah kuelus untuk pertama
kalinya.
“Aku
minta maaf,” aku tersenyum melihatnya.
“Itu
adalah malam yang sangat menyenangkan. Tidak akan aku lupakan untuk sementara,”
“Kau
tidak perlu melacakku dengan alat James Bond-mu yang sedang kau kembangkan
untuk penawar tertinggi,” ia berkata dengan keras. Aku menatapnya dengan
perasaan yang terluka. Mengapa ia berkata seperti itu? Christian Grey
benar-benar hebat!
“Pertama,
teknologi untuk melacak ponsel tersedia melalui internet. Kedua, perusahaanku
tidak berinvestasi atau memproduksi segala jenis perangkat pengintai, dan
ketiga, jika aku tidak menjemputmu, kau mungkin akan terbangun di ranjang si
fotografer itu dan dari apa yang aku ingat, kau tidaklah terlalu antusias
dengan pendekatannya,” YA! BENAR BEGITU SAYANG! Aku benar-benar hafal bagian
yang kuhafal. Anastasia menatapku dengan tatapan kosong. Seakan-akan ia tidak
mengerti apa yang kubicarakan. Dan aku akan benar-benar tertawa jika dia lupa
apa yang harus ia katakan.
“Keempat
..aku tidak ingat apa yang harus kuhafal! Sialan! Sial, sial!” ia berteriak
dengan senyuman di bibirnya yang manis itu dan langsung berdiri dari tempatnya.
Sungguh seksi dan berani saat ia berkata kotor.
“Cut!”
Gavin tertawa terbahak-bahak saat Anastasia berkata seperti itu. Begitu juga
dengan para kru yang tadinya terdiam sekarang tertawa terbahak-bahak. Ana
meremas rambutnya dengan stress. Kita tidak akan mengambil gambar itu dari
awal. Hanya saja sekarang di bagian Anastasia. Sungguh menyenangkan aku bisa
bermain dengannya. Tapi yang buruk saat mengambil gambar dengannya dengan
keadaannya yang setengah telanjang itu membuatku sedikit bergairah dan aku
harus menahan adik kecilku yang sudah terbangun.
Aku
menatap bokong Ana yang hanya tertutup celana dalam itu. Bokong yang pernah
kuremas dan sangat menggiurkan. Astaga, aku ingin meremas bokong yang
terbungkus celana dalam sialan itu.
“Baiklah,
baiklah. Mari kita mulai dari awal lagi,” ujarnya akhirnya kembali ke atas
tempat tidur. Menatap mataku. Sialan, aku ingin menciumnya.
---
Aku
berada di dalam lift bersama dengan Ana untuk turun ke bawah. Aku benar-benar
tidak bisa berkonsentrasi karena kedekatannya denganku. Tanganku memegang
dokumen dan jempolku sedikit menekannya hingga lecak. Sialan! Aku menginginkannya
sekarang. Kulirik Ana dan ia menatapku. Ia menggigit bibirnya. Sialan!
“Oh,
persetan dengan dokumennya,” aku menggeram dan langsung mendorong tubuh Ana ke
sisi lift. Aku mencengkram kedua tangannya. Kucium bibirnya benar-benar dalam,
lidahku melesak sampai ke dalam mulutnya yang benar lembut. Ia sedikit mendesah
namun ia tidak bernafas. Ini benar-benar seperti apa yang kami lakukan tadi
malam dan aku menginginkan tubuhnya sekarang. Sudah kutahan-tahan supaya
tanganku tidak menyentuh dadanya yang pas dengan tanganku itu, tapi hasilnya
aku malah menjepitkan tanganku dengan erat pada tangannya hingga ia sedikit
meringis sehingga ia menggigit bibir bawahku dengan keras. Untung saja ia tidak
berdarah. Aku bisa melakukan ini selama mungkin. Lalu, TING!
Sial!
Aku langsung melepaskan ciuman panas kami. Kurasa Alex merasakan hal yang sama
padaku. Dan kurasa aku biseks. Tapi hanya pada Alex.
****
*Alexis Bledel POV*
“Apa
kau bisa membawa helicopter?” tanyaku ingin tahu saat kami sedang berada di dalam
mobilku lagi. Tapi kali ini kami duduk di bagian paling belakang. Aku membuka
pintu mobil belakangku agar kami bisa mengambil nafas lebih enak dari udara
segar malam di parkiran gedung Christian Grey, lagi. Kami terduduk di sisi
mobilku dan kaki yang tidak menyentuh tanah, atau lebih tepatnya aku
menyilangkan kakiku sambil memegang sekaleng coca cola. Hari ini tidak begitu
melelahkan sehingga aku masih bisa pulang ke rumah sebentar untuk bertemu
dengan ibuku dan kembali ke lokasi syuting. Justin terduduk di sebelahku dan ia
menyandar pada sisi dalam mobilku. Salah satu kakinya diselonjorkan dan yang
satunya lagi ia tekukan. Ia memegang sekaleng coca cola juga. Keheningan
terbentang di antara kami.
“Ya,”
Whoa! Ini adalah sebuah berita. Gila, apa dia bercanda?
“Kau
bercanda, kan?” tanyaku tak percaya. Saat matanya menatap aspal di bawah
mobilku, ia mulai menatapku. Aku terpaku. Matanya langsung menghipnotisku.
Astaga, Christian Grey-ku sedang menatapku dengan gayanya yang benar-benar
keren malam ini.
“Tidak.
Aku terlahir memang untuk sebagai orang kaya,” ujarnya terkesan sombong. Aku
ingin menggumam atau paling tidak mendengus, tapi aku tidak berani melakukan
itu. Kakinya sekarang sudah berada di atas pahaku, kakinya telanjang. Ia tidak
memakai sepatu atau apa pun. Tapi bulu-bulu kakinya ..astaga, samar-samar.
Beberapa detik aku menikmati pemandangan kakinya dan langsung mendongak
kembali.
“Mengapa
kau terdengar begitu sombong?” tanyaku kelewat jujur. Ia terkekeh, terkekeh
pelan. Kemudian ia menarik kakinya dari pahaku dan mulai menekukan kedua
kakinya sambil meneguk coca cola yang ia minum.
“Karena
itu adalah sifat keturunan. Bieber. Dulu saat aku masih 18 tahun, aku pernah
diajari untuk naik helicopter dengan ayahku. Pernah oleng sedikit, hampir jatuh
malah. Tapi aku bisa. Sekarang sudah lancar,”
“Apa
kau punya helicopter sendiri?” Justin menggelengkan kepalanya. Mengapa? Kupikir
ia orang kaya.
“Tidak.
Sebenarnya, punya. Tapi aku tidak pernah memakainya lagi,”
“Jadi
kau bisa membawa Charlie Tango?”
“Tergantung
jenisnya apa,”
“Aku
tidak ingin membicarakan jenis-jenis helicopter. Itu terkesan kau akan sombong
nantinya, aku sudah sangat yakin,” ujarku langsung dengan malas. Itu memang
akan menjadi kenyataannya bukan? Pasti. Justin pasti akan menguliahiku dengan
kata-katanya. ‘Jadi aku menaiki helicopter yang ini. Tapi, aku mempunyai yang
lebih bagus lagi. Tapi menurutku
helicopter jenis ini juga bagus, yang itu tidak cukup bagus. Kau tahulah,
ayahku memiliki banyak helicopter’. Mungkin begitu kira-kira apa yang akan dia
katakana nanti. Kudengar ia tertawa dan tiba-tiba ia menarik pintu belakangku
yang melayang di atas sana. Dan ia banting untuk menutup pintu belakang mobil
kami.
“Sekarang
lebih nyaman,” ujarnya menekan kunci mobil belakangku dengan seringai pada
bibirnya. Tiba-tiba ponsel Justin berdering. Oh, baiklah. Tidak jadi, dan
syukurlah. Segala ketegangan ini meleleh tiba-tiba saat ponsel Justin
berdering. Dengan cepat Justin mengangkat telepon yang ia dapat.
“Ya,
sayang,” ia langsung berucap saat mendekatkan ponselnya ke telinganya. Theo.
“Ya,
tidak apa-apa. Aku mengerti …Iya, aku tahu, aku tahu. Jangan menangis,” aku
tersendat. THEO MENANGIS? Aku ingin tertawa terbahak-bahak sekarang. Apa-apaan
Theo menangis? Sungguh, sekarang aku sedang bertarung dengan mulutku agar tidak
tertawa di depan Justin. Alhasil aku menundukan kepalaku agar ia tidak melihat
senyumanku yang tertahan. Ia terus mengoceh dengan Theo dengan panggilan
Sayang. Menjijikan. Tapi bagaimana pun, aku pernah bercinta dengannya.
“Iya
sayang ..Pasti.Itu pasti bisa diperbaiki lagi sayang. Aku tahu itu ..Iya,
besok. Besok temui aku pagi-pagi ya,” kemudian ia menutup teleponnya. Aku
mendongak dan melihat Justin yang sudah mengadahkan kepalanya pada sisi mobil.
Ia terlihat putus asa sehingga membuatku simpatik dengannya. Sebenarnya, apa
yang terjadi dengannya?
“Ada
apa?” tanyaku. Ia mulai melirik padaku dan kemudian kepalanya menjadi tegak. Ia
duduk menyilang sekarang.
“Theo
sedang menangis dan aku tidak ada sisinya,”
“Apa
yang terjadi?”
“Jaket
yang dijual hanya terbatas miliknya robek dan dia stress karena itu,” Aku
meledak. Aku benar-benar meledak. Sungguh, aku tidak bisa menahan tawa ini.
Tapi aku benar-benar tertawa di depannya hingga aku memegang perutku.
Sampai-sampai air mataku bahkan keluar. Seorang Theo Calvancanti menangis hanya
karena jaketnya robek? Oh, Tuhan. Ambil nyawaku sekarang! Itu sungguh
berlebihan dan sangat lucu.
“Tidak
ada yang lucu,” ujar Justin tampak dingin. Kemudian aku berusaha untuk tidak
tertawa. Lalu berhenti. Aku sudah tidak tertawa.
“Jangan
pernah menertawakan kekasihku,” tambahnya kali ini menatapku dengan tajam.
“Tapi
Justin, kau tidak menahanku untuk tidak tertawa. Maksudku secara normalnya, itu
sebuah hal yang sangat konyol untuk ditertawakan,” ujarku menahan tawaku lagi.
“Tanganku
berkedut, Miss Steele,” ujarnya mulai berakting. Astaga, tangan Christian
Grey-ku sekarang berkedut.
“Oh,
apa yang akan kita lakukan dengan itu?” tanyaku menggodanya.
“Memukulmu,
mungkin?” ia menyeringai padaku dan mulai menarikku. Aku berteriak.
***
Rambutku
diikat untuk sementara oleh Fransesco sedangkan aku terduduk di atas jok
mobilku dengan pintu yang terbuka dan Fransesco
terduduk di depanku dengan kursi plastic berwarna merah sambil memegang
alat-alat riasan untuk wajahku. Kupejamkan mataku sambil berpikir akting yang
akan kumainkan hari ini. Tadi malam Justin hanya menggodaku dengan menggelitiki
tubuhku. Dan sungguh, dia seperti tahu sekali dimana titik kelemahanku jika
digelitiki. Pinggang dan tengkuk, tapi tak jarang tangannya menyenggol dadaku
sehingga membuatku sedikit bergairah. Tawaannya benar-benar membuatku mabuk
tadi malam. Sepertinya ia sangat menikmati melihatku menderita di bawah
jari-jarinya yang panjang itu.
Aku
masih tidak bisa percaya dengan perkataan Theo tadi malam pada Justin. Menangis
karena jaket edisi terbatas? Astaga, itu sangat konyol. Kalau Justin orang
kaya, pasti Justin akan pergi mencari perancang jaket itu dan meminta agar
perancang jaket itu membuatnya lagi untuk kekasihnya. Tapi ini? Ada yang bisa
memberikanku tabung oksigen agar aku bisa bernapas dengan teratur?
“Kau
kenapa?” tanya Fransesco yang membuatku membuka mata. Ia terus mengibas-ngibas
alat perona warna pada pipiku sehingga membuatku terus berkedip-kedip.
“Tidak
apa-apa. Hari ini akan menjadi hari yang melelahkan,”
“Memang,
aku tahu. Sekarang kau akan akting di dalam ruangan apa bersama Justin? Kau
tahu, kemarin aku sangat kagum dengan ciuman kalian di dalam lift itu. Aku bisa
melihatnya di layar Gavin. Gila, Gavin saja sampai terkejut dengan lidah kalian
yang ..apa kau benar-benar meresapi peranmu sebagai Ana?”
“Sampai
lidah kami terlihatkah?” Aku terperangah sekaligus terkejut. Ia menyuruhku
untuk menutup mata saat dua jarinya menekan kedua kelopak mataku. “Aku tidak
percaya itu –tapi ya, aku memang meresapi peranku sebagai Ana,” lanjutku.
“Ya,
itu sangat panas. Oh ya, jadi kalian akan bermain di mana sekarang?”
“Di
dalam mobil,”
“Tidak
ada ciuman,”
“Tidak,”
aku menutupi percakapan itu saat Fransesco berdiri dari tempat duduknya. “Sudah
selesai,” ujarnya beranjak dariku. Sebenarnya, aku hanya diberi riasan wajah
hanya sedikit. Maksudku, bukankah Anastasia tidak sering memakai riasan selain
maskara dan pelembab bibir? Aku juga begitu –kecuali jika ada acara-acara
tertentu.
Aku
berdiri dari jok mobilku dan keluar lalu menutup pintu mobil. Dravin sedang
berbicara dengan seorang perempuan berambut pirang, kurasa dia salah satu
figuran di dalam film ini. Oh, Justin habis ini akan membawa Audi SUV berwarna
hitam milik Christian Grey. Bagaimana rasanya menaiki mobil yang Justin setir?
Aku tidak pernah merasakannya. Tapi aku pernah merasakan kehangatan –atau lebih
tepatnya kepanasan- di dalam mobilku bersama Justin. Lagipula aku tidak perlu
memikirkan itu. Aku harus berlatih menaiki mobil dengan kecepatan tinggi. Suatu
saat akan ada bagian dimana aku harus menyetir mobil bersama Christian Grey
dengan kecepatan 100 lebih. Aku biasa hanya membawa dengan kecepatan 40. Ini
akan menjadi pengalaman yang sangat menyenangkan!
“Dravin!”
aku berteriak mengitari parkiran dan sampai di depannya yang sudah melihatku.
“Kau
sudah tahu dia?” tanya Dravin pada gadis berambut pirang itu. Dia kelihatan
sangat muda dan kurasa Dravin menyukai gadis pirang ini. Gadis pirang ini
memberikan senyuman menawannya padaku dan menyelipkan rambutnya ke belakang
telinganya, lalu menganggukan kepalanya.
“Aku
tentu saja tahu,” ujarnya terlihat biasa saja, apa dia sudah pernah bertemu
denganku sebelumnya? “Anastasia Steele, bukan? Aku sangat menyukaimu dalam buku
Fifty Shades of Grey,” tambahnya seperti baru saja tersadar akan sesuatu. Bahwa
dia tahu kalau aku masuk dalam buku sejarah dunia dengan predikat ‘Wanita
Bermata Biru yang Terkenal Namun Tak Dikenal’.
“Alexis
Bledel,” Dravin tampak tidak menyukai respon gadis berambut pirang. Sialan!
Gadis pirang ini hampir saja mendapatkan hati Dravin namun sekarang Dravin
sudah ilfeel dengan gadis ini karena
aku, aktrisnya tidak diketahui oleh calon gadis yang disukainya.
“Ah,
ya. Alexis Bledel,” gadis berambut pirang ini menatap ke atas, seperti dia
tidak mengenalku. Baiklah, aku tidak terkenal dan aku tidak peduli.
“Aku
harus pergi menemui Justin,” ujarku setelah bertemu dengan manajerku yang
mungkin sekarang sedang bergumul dengan pikirannya setelah calon gadis yang ia
sukai tidak mengenalku. Dravin selalu ingin tahu semua orang tentangku. Karena
Dravin ingin melihat aku terkenal di kalangan masyarakat. Maksudku, sebenarnya
apa yang kau harapkan Dravin? Aku hanya wanita bermata biru yang sedang memerankan
Anastasia Steele dan siaran televisi yang aku mainkan saja tidak begitu
terkenal –meski rating-nya paling tinggi dibanding acara lain- dengan wajah
polos. Aku benar-benar merendahkan diri.
Kakiku
mulai memasuki gedung Christian Grey. Mataku terjatuh kepada lobi utama yang
dimana Justin dan Theo tampak sedang bercengkrama satu sama lain dengan susu
yang mereka minum. Tapi aku bisa melihat mata Theo yang membengkak sedangkan
Justin yang duduk berhadapan dengannya berusaha untuk menenangkannya. Mata mereka
melihatku dengan cepat saat aku melambaikan tangan pada mereka dan memberikan
senyum menawanku.
“Alexis!”
teriak Justin yang wajahnya sekarang berubah lebih ceria dan lebih cerah.
Astaga, ada dengannya? Mungkin dia bosan karena mendengarkan keluhan kekasihnya
yang kekanakan-kanakan.
“Hei,
Justin. Theo,” aku berjalan menghampiri mereka dan terduduk di salah satu sofa
yang kosong. Dan sofa di sini hanya ada 3. Sofa untuk dua orang sekaligur dan
dua sofa untuk sendiri-sendiri. Theo hanya tersenyum lemah padaku dan berusaha
untuk menahan tangisannya. Aku kasihan sekali dengan lelaki ini, kuharap ia
bisa mendapatkan jaketnya lagi. Maksudku, dapat menjahit jaketnya atau paling
tidak membelinya lagi –kalau masih ada. Kutatapi Justin dengan mata penuh dengan
jeritan ‘Aku minta maaf’ dan Justin mengangguk.
“Kurasa
aku tidak bisa bekerja hari ini,” ujar Theo tampak berlebihan. Aku ingin
tertawa sekaligus aku ingin muntah. Apa yang sedang ia katakan? Hanya karena
sepotong jaket dia tidak ingin bekerja? Bunuh aku sekarang! Aku menjerit dalam
hati dan menahan tawaanku dengan cara menundukan kepalaku agar rambutku dapat
menutupi wajahku.
*Justin Bieber POV*
Aku
tidak mengerti jalan pikir Theo sekarang. Apa maksudnya tidak ingin bekerja
hanya karena jaket edisi terbatas? Siapa perancang jaket itu sih? Siapa
pembuatnya? Aku akan melakukan apa saja agar Theo tidak kekanak-kanakan seperti
ini. Kutatapi Theo dengan tatapan dingin karena aku sudah tidak menyukai
sikapnya yang berlebihan. Dan aku sudah tak luluh lagi dengan air matanya yang
mulai membendung di sekitar matanya sambil memberikan tatapan
Kucing-Mata-Besar-nya padaku. Biasanya tatapan itu ampuh untuk membuatku iba
padanya dan memeluknya. Tapi aku sudah tidak kuat lagi dengan tingkahnya. Apa
dia memang seperti ini sebelumnya dengan lelaki-lelaki yang pernah ia pacari?
Aku baru satu tahu mengenalnya.
Kugelengkan
kepalaku dengan tegas ala Christian Grey. Kutegukan susu yang ia belikan sekali
dan hendak muntah sekarang. Theo langsung menangis, memecah lebih tepatnya dan
itu membuat mataku melebar seketika. Kulirik Alexis yang terduduk sambil
menutup mulutnya seakan-akan tak percaya.
“Kenapa
kau menangis?” tanya Alex dengan suara lembutnya. Sialan, aku ingin marah tapi
setelah mendengar suaranya yang lembut aku tidak ingin marah sekarang. Suaranya
dapat meredamkan amarahku. Keren.
“Aku
hanya tidak percaya Justin melakukan itu padaku,”
“Melakukan
apa?” tanya Alexis tampak bingung dan menaruh tangannya pada bahu Theo.
Sekarang aku menginginkan tanganku menyentuh tubuhku sekarang. Kutarik napasku
dalam-dalam dan berpikir, nanti aku akan mendapatkannya. Aku akan
mendapatkannya. Aku akan mendapatkannya. Kata-kata itu terus berputar
dipikiranku seakan-akan itu adalah mantra untukku.
“Dia
menggelengkan kepalanya,” aku tersinggung.
“Lalu?”
“Berati
dia tidak setuju kalau aku tidak ingin bekerja,” Theo membentak pada Alex,
membuatku marah dengan tingkahnya yang benar-benar berlebihan. Untung saja
masih ada waktu 30 menit sebelum pengambilan gambar.
“Pulanglah,”
aku mengusirnya. Alexis menatapku tidak percaya dan melotot padaku. Aku tidak
peduli jika sikapku benar-benar kasar padanya. Dan ini bukan sama sekali urusan
Alexis. Hanya karena Theo, aku jadi marah dengan Alexis juga. Sialan.
“Baiklah
jika itu yang kaumau. Aku tidak akan datang untuk membawakanmu makan siang,”
Theo mengelap wajahnya dengan sapu tangan yang kuberikan padanya dan
melemparnya di sofa dengan sikap feminimnya. Terkadang, aku melihatnya marah
seperti itu sungguh lucu dan menggemaskan. Bahkan membuatku bergairah.
Kugelengkan kepalaku. Tidak, tidak. \
Ia
mengambil kotak makanan yang tadi ia bawa untukku dan mengambil susuku yang
belum habis. Hei, aku masih mau minum susu bawaannya. Meski aku marah padanya,
tapi setidaknya, susu yang ia berikan tidak ia ambil kembali. Susu itu kan
pasti memimiliki bau Theo dan aku pasti akan merindukannya setelah ini.
“Hei,
kau ingin bawa itu kemana?” aku protes dan hendak berdiri.
“Aku
ingin membawanya,” Theo tampak acuh dan mulai berjalan, ingin keluar dari lobi
ini.
“Tapi
aku masih haus!” aku berteriak padanya yang sudah berada di ambang pintu
keluar. Kemudian ia berhenti sebentar dan membalikan badannya, astaga tadi
bokongnya benar-benar menggiurkan. Sial, sial, sial! Ia menatapku dengan mata
yang membengkak. Hebat sekali kekasihku bisa membuatku bergairah karena
amarahnya.
“Minum
saja spermamu sendiri!” teriaknya tak tahu malu. Kurasa pipiku memerah dengan
ucapannya. Astaga. Kulirik Alexis yang terkikik.
“Kaupikir
apa yang baru saja kaukatakan?” aku berteriak dan dia menghilang,
mengabaikanku. Aku merosot ke dalam sofaku kembali. Apa tadi dia benar-benar
berkata seperti itu? Minum sperma sendiri? Astaga, aku ingin menampar mulutnya
dengan mulutku sekarang. Lucu sekali karena dia telah mempermalukanku di depan
Alexis. Kulirik Alexis yang sedang terkikik pelan sambil menundukan kepalanya.
Apa menurutnya itu lucu? Karena memang itu lucu bagiku.
“Apa
menurutmu itu lucu, Miss Steele?” ia mendongak dan pipinya memerah. Sangat
menggemaskan.
“Tidak,”
ujarnya menahan tawanya. Gila, wanita ini benar-benar membuatku tersiksa karena
aku ingin mencium bibirnya yang terkatup itu.
“Pipimu
memerah,”
“Oh,
perona pipi,” kali ini ia sudah bisa menguasai tawaannya yang tertahan itu.
“Apa dia baru saja menyuruhmu untuk meminum spermamu?” tanyanya melihat ke atas
sebelah kiri, tak berani menatapku. Aku jadi ingat saat aku mendapatkan
pelepasan karenanya aku tidak memakai kondom sehingga aku harus mengeluarkannya
di atas perutnya yang rata itu. Sekarang aku mulai berereksi mengingat kejadian
itu. Sungguh, sialan benar pagi ini!
“Ya,”
jawabku singkat.
“Tapi
bagaimana caranya?”
“Memainkan
tanganmu di sekitarku?” tanyaku menggodanya. Ia makin memerah. Seharusnya
Fransesco tidak perlu memberikan perona pipi pada gadis muda ini. Dia sudah
tampak merah sekarang. Sudah merah, ditambah lagi dengan merah pipinya yang
alami itu.
“Tidak
akan pernah,”
“Kau
akan segera melakukannya,”
“Bukan
aku, tapi Theo,” ia menggodaku sekarang. Sial sekali gadis ini. Aku hanya
tertawa pelan dan dia langsung memerah kembali. Astaga, sebenarnya ada apa
dengan gadis yang mudah memerah ini? Alexis sungguh menggemaskan. Kejadian tadi
malam kembali memutar di otakku. Tawaannya dan pipinya yang memerah karena aku
menggelitikinya. Dia benar-benar gadis yang mudah sekali tertawa. Pantas
wajahnya polos dan muda sekali.
Aku
berdiri dan mendekatinya, kemudian aku menarik ikat rambut yang ia pakai. Ia
terdiam dan mataku dengan kosong. Apa yang sedang dipikirkan gadis ini?
Wajahnya sangat polos, membuatku sulit menebak apa yang sedang ia pikirkan.
“Ini
lebih cantik,” pujiku padanya, kemudian ia semakin memerah, lagi. Aku tertawa.
***
Aku
menyetir Audi SUV dengan Ana yang berada di sebelahku. Kamera sudah berada di
dua sudut mobil ini untuk mengambil gambar kami dengan satu kereta yang berada
kami di depan juga. Sebenarnya, aku cukup tidak berkonsentrasi karena sudut
kameranya dan juga Alexis yang menyentuh-sentuh bibirnya yang membuat air
liurku menetes.
“Musik
apa yang kita dengarkan?” ia bertanya.
“Ini
the Flower Duet oleh Delibes dari Opera Lakme. Apa kau menyukainya?”
“Ini
sangat luar biasa, Christian,”
“Memang,
luar biasa kan?” aku menyeringai padanya. Ia terdiam seperti menilaiku tapi aku
terfokus oleh jalan yang ada di depanku. Ia masih terdiam dan menikmati music
yang terputar. Kemudian music itu berhenti begitu saja.
“Bisakah
aku mendengarkannya lagi?” ia menatapku dan aku menatapnya. Kemudian aku
terdiam.
“Sialan!
Aku lupa! Bisakah kita mengulangnya lagi?” aku masih menjalankan mobilku dan
mendengar suara teriakan ‘Cut’ di depan sana, Gavin berada di depan kami
bersama dengan kamera kereta itu. Aku menatap kamera yang berada di sudut
mobilku dan memberikan wajah marah.
“Kau
sangat lucu,” ujar Alexis yang sudah memegang perutnya dan tertawa-tawa. Apa
yang lucu? Itu tidak lucu. Kemudian aku ikut tertawa karena ia tertawa.
“Wajahmu tadi seperti orang tolol,” lanjutnya memejamkan matanya dan menyeka
air mata yang keluar dari matanya. Benarkah sampai menangis seperti itu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar