Jumat, 26 Juli 2013

Rolling the Camera Bab 3



****

*Justin Bieber POV*

            Tumben sekali Theo datang pagi-pagi hanya untuk menemuiku dan membawakanku sarapan. Melihat wajahnya yang tampan membuatku merasa bersalah dengan kejadian tadi malam. Theo pasti akan sangat sakit hati dengan apa yang terjadi tadi malam jika aku memberitahunya. Dan aku tahu, Alex tidak mungkin memberitahu kejadian tadi malam pada penggemar terberatnya. Aku tidak ingin menyakiti hati lelaki yang sangat kucintai ketika ia mendengar bahwa idolanya pernah tidur denganku. Pertama kalinya dalam hidupku, aku menyukai perempuan. Alex adalah gadisku –gadis pertamaku. Ia tampak muda dan seksi. Tapi aku masih akan tetap memilih Theo dibanding dirinya.
            Dan tentang majalah. Sialan sekali dengan editor majalah itu. Untung saja Theo tidak marah karena kata-kata majalah itu. Dia bilang kalau aku itu baik telah menolong idolanya yang benar-benar mabuk. Dia hanya tahu bagian itu, tapi dia tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya saat aku membawa Alex ke dalam mobil.
            Sekarang, aku melihat malaikat indahku yang sedang meminum susu yang ia beli tadi. Ia duduk bersebelahan dengan Blake yang juga ikut sarapan bersama kami. Sebentar lagi pengambilan adegan akan segera dimulai. Aku dan kekasihku sedang berada di lantai bawah, tepatnya di ruang tamunya. Semua kru sudah siap di tempatnya. Tinggal Taylor, pengawalku, yang sedang dirias oleh Fransesco dan juga Mrs. Jones.
            “Ada apa Justin?” tanya Theo menyadari kalau pagi ini aku tampak begitu pendiam. Aku menatapnya dan tersenyum lalu menggelengkan kepalaku. Aku tidak ingin ia berpikir yang tidak-tidak tentangku dan Alexis. Rasanya aku ingin bertemu dengan gadis itu sekarang. Pasti dia sudah sangat cantik di atas sana.
            “Tidak ada. Apa kau ingin menungguku sampai selesai?” tanyaku. Aku tahu sebenarnya aku tidak akan pernah bisa pulang ke rumah untuk bermalam dengannya. Karena jadwal padatku setiap harinya selama delapan bulan ke depan bersama dengan Alex.
            “Tidak. Aku juga memiliki pekerjaan sayang, aku selalu merindukanmu. Tapi aku tahu sibuk. Jadi, tidak apa-apa jika kau tidak bisa pulang. Apa kau ingin aku datang nanti malam untuk menginap di atas mobilmu?” tanyanya mengerling padaku. Aku suka rasa kepercayaan dirinya. Dia tidak malu dengan apa yang ada pada dirinya sendiri. Entah, aku menyukainya. Mencintainya, lebih tepatnya.
            “Jika kau tidak sibuk, aku ingin kau datang,” ujarku memegang tangannya. Ia meremas tanganku dan memejamkan matanya lalu berdiri di depanku. Aku yang terduduk di atas sofa langsung mendongak untuk melihatnya. Kali ini ia mengambil kedua tanganku dan menggoyang-goyangkannya seperti anak kecil yang meminta es krim kepada ayahnya. Aku memberikan senyuman terbaikku padanya. Melihatnya seperti ini membuatku sedikit terpuruk, kelihatan sekali ia kesepian karena tidak ada aku di rumah. Kemudian ia menunduk dan mencium pipiku, tidak pada bibirku.
            “Aku akan merindukanmu, aku harus pergi ke kantor sekarang,” ujarnya memelukku dengan erat. Dengan cepat aku berdiri untuk memeluknya dengan nyaman. Dapat kurasakan nafasnya yang terhembus di atas bahuku dan ia semakin mengeratkan pelukannya.
            “Aku juga,” balasku beberapa detik kemudian. Lalu ia melepaskan pelukannya dan memegang tanganku kembali.
            “Jaga dirimu baik-baik. Jangan nakal dan aku mencintaimu,” ujarnya mencium bibirku kilat dan lalu menepuk pundakku dengan lembut. Ia membawa kotak makanan yang tadi ia bawa dan pergi dari hadapanku.
            “Aku juga,” balasku dengan suara yang kecil saat ia keluar dari rumah Christian Grey ini.
            “Semuanya baik-baik saja?” tanya Blake yang bangkit dari sofa dan menghampiriku. Kuanggukan kepalaku dan tersenyum lemah padanya. Aku hanya tidak ingin Theo sakit hati dengan perbuatanku semalam. Hanya itu.

***

            Aku berlari-lari di tempatku supaya menghasilkan keringat. Pakaian yang kupakai adalah celana training berwarna abu-abu dan singlet berwarna abu-abu gelap. Di adegan ini aku harus seperti selesai berolahraga. Taylor sepertinya senang sekali saat ia menyiramiku dengan air minum tepat di wajahku. Kelihatan sekali ia sedang bahagia. Tapi, sebentar lagi kami akan segera mengambil gambar dan aku tidak peduli jika Taylor akan bahagia menyiramiku.
            “Sudah, sudah. Sekarang kau siap di sana,” ujar Taylor menyuruhku untuk berdiri tepat di depan pintu kamarku –dalam film ini. Taylor menghilang dan aku langsung berdiri di depan pintu sambil masih berlari-lari untuk menghasilkan keringat. Dan memang sebenarnya dari tadi aku sudah berkeringat.
            “Camera!”
            “Rolling!”
            “Dan ..action!” teriak Gavin.

            Aku menunggu panduan dari George kapan aku masuk ke dalam kamar. Aku menunggu sambil menatapnya dan menganggukan kepalaku. Seperti yang kau tahu, kamar ini tidak sepenuhnya ruangan tertutup. George menganggukan kepalaku agar aku cepat masuk ke dalam kamar. Aku mulai mengganti kepribadianku.
            Kuketuk pintu kamarku dan tidak mendapatkan jawaban, beberapa detik setelahnya. Aku membuka pintu kamarku dan mendapati Anastasia yang sedang terduduk di pinggiran tempat tidur dan memunggungiku. Aku mengambil handuk yang berada di sekitar leherku dan mengelap leherku. Anastasia berbalik dan melihatku dengan wajah yang sangat gugup.
            “Selamat pagi, Anastasia. Bagaimana perasaanmu?” Dia terdiam.
            “Lebih baik dari yang pantas kurasakan,” gumamnya. “Bagaimana aku bisa sampai di sini?” tanyanya beberapa detik kemudian. Aku mendekatinya dan duduk di  tepi ranjang. Aku cukup dekat dengannya dan dia sangat seksi sekali dengan kaos yang ia pakai dan hanya celana dalam yang ia pakai. Pahanya benar-benar putih.
            “Setelah pingsan, aku tidak ingin mengambil resiko jok kulit mobilku bisa membawamu ke apartemenmu. Jadi aku membawa kau ke sini,”
            “Apakah kau yang menempatkanku ke ranjang?”
            “Ya,”
            “Apa aku muntah lagi?”
            “Tidak,”
            “Kami tidak …,”
            “Anastasia, kau koma. Necrophilia (=menyukai hubungan seks dengan mayat) bukan kesenanganku. Aku suka wanita hidup dan mau menerima,” aku menjawabnya dengan datar dan berusaha untuk tidak menatap pada pahanya yang seksi itu. Sungguh, tadi aku melihat benar-benar terekspos. Paha yang pernah kuelus untuk pertama kalinya.
            “Aku minta maaf,” aku tersenyum melihatnya.
            “Itu adalah malam yang sangat menyenangkan. Tidak akan aku lupakan untuk sementara,”
            “Kau tidak perlu melacakku dengan alat James Bond-mu yang sedang kau kembangkan untuk penawar tertinggi,” ia berkata dengan keras. Aku menatapnya dengan perasaan yang terluka. Mengapa ia berkata seperti itu? Christian Grey benar-benar hebat!
            “Pertama, teknologi untuk melacak ponsel tersedia melalui internet. Kedua, perusahaanku tidak berinvestasi atau memproduksi segala jenis perangkat pengintai, dan ketiga, jika aku tidak menjemputmu, kau mungkin akan terbangun di ranjang si fotografer itu dan dari apa yang aku ingat, kau tidaklah terlalu antusias dengan pendekatannya,” YA! BENAR BEGITU SAYANG! Aku benar-benar hafal bagian yang kuhafal. Anastasia menatapku dengan tatapan kosong. Seakan-akan ia tidak mengerti apa yang kubicarakan. Dan aku akan benar-benar tertawa jika dia lupa apa yang harus ia katakan.
            “Keempat ..aku tidak ingat apa yang harus kuhafal! Sialan! Sial, sial!” ia berteriak dengan senyuman di bibirnya yang manis itu dan langsung berdiri dari tempatnya. Sungguh seksi dan berani saat ia berkata kotor.
            “Cut!” Gavin tertawa terbahak-bahak saat Anastasia berkata seperti itu. Begitu juga dengan para kru yang tadinya terdiam sekarang tertawa terbahak-bahak. Ana meremas rambutnya dengan stress. Kita tidak akan mengambil gambar itu dari awal. Hanya saja sekarang di bagian Anastasia. Sungguh menyenangkan aku bisa bermain dengannya. Tapi yang buruk saat mengambil gambar dengannya dengan keadaannya yang setengah telanjang itu membuatku sedikit bergairah dan aku harus menahan adik kecilku yang sudah terbangun.
            Aku menatap bokong Ana yang hanya tertutup celana dalam itu. Bokong yang pernah kuremas dan sangat menggiurkan. Astaga, aku ingin meremas bokong yang terbungkus celana dalam sialan itu.
            “Baiklah, baiklah. Mari kita mulai dari awal lagi,” ujarnya akhirnya kembali ke atas tempat tidur. Menatap mataku. Sialan, aku ingin menciumnya.

---

            Aku berada di dalam lift bersama dengan Ana untuk turun ke bawah. Aku benar-benar tidak bisa berkonsentrasi karena kedekatannya denganku. Tanganku memegang dokumen dan jempolku sedikit menekannya hingga lecak. Sialan! Aku menginginkannya sekarang. Kulirik Ana dan ia menatapku. Ia menggigit bibirnya. Sialan!
            “Oh, persetan dengan dokumennya,” aku menggeram dan langsung mendorong tubuh Ana ke sisi lift. Aku mencengkram kedua tangannya. Kucium bibirnya benar-benar dalam, lidahku melesak sampai ke dalam mulutnya yang benar lembut. Ia sedikit mendesah namun ia tidak bernafas. Ini benar-benar seperti apa yang kami lakukan tadi malam dan aku menginginkan tubuhnya sekarang. Sudah kutahan-tahan supaya tanganku tidak menyentuh dadanya yang pas dengan tanganku itu, tapi hasilnya aku malah menjepitkan tanganku dengan erat pada tangannya hingga ia sedikit meringis sehingga ia menggigit bibir bawahku dengan keras. Untung saja ia tidak berdarah. Aku bisa melakukan ini selama mungkin. Lalu, TING!
            Sial! Aku langsung melepaskan ciuman panas kami. Kurasa Alex merasakan hal yang sama padaku. Dan kurasa aku biseks. Tapi hanya pada Alex.

****

*Alexis Bledel POV*

            “Apa kau bisa membawa helicopter?” tanyaku ingin tahu saat kami sedang berada di dalam mobilku lagi. Tapi kali ini kami duduk di bagian paling belakang. Aku membuka pintu mobil belakangku agar kami bisa mengambil nafas lebih enak dari udara segar malam di parkiran gedung Christian Grey, lagi. Kami terduduk di sisi mobilku dan kaki yang tidak menyentuh tanah, atau lebih tepatnya aku menyilangkan kakiku sambil memegang sekaleng coca cola. Hari ini tidak begitu melelahkan sehingga aku masih bisa pulang ke rumah sebentar untuk bertemu dengan ibuku dan kembali ke lokasi syuting. Justin terduduk di sebelahku dan ia menyandar pada sisi dalam mobilku. Salah satu kakinya diselonjorkan dan yang satunya lagi ia tekukan. Ia memegang sekaleng coca cola juga. Keheningan terbentang di antara kami.
            “Ya,” Whoa! Ini adalah sebuah berita. Gila, apa dia bercanda?
            “Kau bercanda, kan?” tanyaku tak percaya. Saat matanya menatap aspal di bawah mobilku, ia mulai menatapku. Aku terpaku. Matanya langsung menghipnotisku. Astaga, Christian Grey-ku sedang menatapku dengan gayanya yang benar-benar keren malam ini.
            “Tidak. Aku terlahir memang untuk sebagai orang kaya,” ujarnya terkesan sombong. Aku ingin menggumam atau paling tidak mendengus, tapi aku tidak berani melakukan itu. Kakinya sekarang sudah berada di atas pahaku, kakinya telanjang. Ia tidak memakai sepatu atau apa pun. Tapi bulu-bulu kakinya ..astaga, samar-samar. Beberapa detik aku menikmati pemandangan kakinya dan langsung mendongak kembali.
            “Mengapa kau terdengar begitu sombong?” tanyaku kelewat jujur. Ia terkekeh, terkekeh pelan. Kemudian ia menarik kakinya dari pahaku dan mulai menekukan kedua kakinya sambil meneguk coca cola yang ia minum.
            “Karena itu adalah sifat keturunan. Bieber. Dulu saat aku masih 18 tahun, aku pernah diajari untuk naik helicopter dengan ayahku. Pernah oleng sedikit, hampir jatuh malah. Tapi aku bisa. Sekarang sudah lancar,”
            “Apa kau punya helicopter sendiri?” Justin menggelengkan kepalanya. Mengapa? Kupikir ia orang kaya.
            “Tidak. Sebenarnya, punya. Tapi aku tidak pernah memakainya lagi,”
            “Jadi kau bisa membawa Charlie Tango?”
            “Tergantung jenisnya apa,”
            “Aku tidak ingin membicarakan jenis-jenis helicopter. Itu terkesan kau akan sombong nantinya, aku sudah sangat yakin,” ujarku langsung dengan malas. Itu memang akan menjadi kenyataannya bukan? Pasti. Justin pasti akan menguliahiku dengan kata-katanya. ‘Jadi aku menaiki helicopter yang ini. Tapi, aku mempunyai yang lebih bagus lagi.  Tapi menurutku helicopter jenis ini juga bagus, yang itu tidak cukup bagus. Kau tahulah, ayahku memiliki banyak helicopter’. Mungkin begitu kira-kira apa yang akan dia katakana nanti. Kudengar ia tertawa dan tiba-tiba ia menarik pintu belakangku yang melayang di atas sana. Dan ia banting untuk menutup pintu belakang mobil kami.
            “Sekarang lebih nyaman,” ujarnya menekan kunci mobil belakangku dengan seringai pada bibirnya. Tiba-tiba ponsel Justin berdering. Oh, baiklah. Tidak jadi, dan syukurlah. Segala ketegangan ini meleleh tiba-tiba saat ponsel Justin berdering. Dengan cepat Justin mengangkat telepon yang ia dapat.
            “Ya, sayang,” ia langsung berucap saat mendekatkan ponselnya ke telinganya. Theo.
            “Ya, tidak apa-apa. Aku mengerti …Iya, aku tahu, aku tahu. Jangan menangis,” aku tersendat. THEO MENANGIS? Aku ingin tertawa terbahak-bahak sekarang. Apa-apaan Theo menangis? Sungguh, sekarang aku sedang bertarung dengan mulutku agar tidak tertawa di depan Justin. Alhasil aku menundukan kepalaku agar ia tidak melihat senyumanku yang tertahan. Ia terus mengoceh dengan Theo dengan panggilan Sayang. Menjijikan. Tapi bagaimana pun, aku pernah bercinta dengannya.
            “Iya sayang ..Pasti.Itu pasti bisa diperbaiki lagi sayang. Aku tahu itu ..Iya, besok. Besok temui aku pagi-pagi ya,” kemudian ia menutup teleponnya. Aku mendongak dan melihat Justin yang sudah mengadahkan kepalanya pada sisi mobil. Ia terlihat putus asa sehingga membuatku simpatik dengannya. Sebenarnya, apa yang terjadi dengannya?
            “Ada apa?” tanyaku. Ia mulai melirik padaku dan kemudian kepalanya menjadi tegak. Ia duduk menyilang sekarang.
            “Theo sedang menangis dan aku tidak ada sisinya,”   
            “Apa yang terjadi?”
            “Jaket yang dijual hanya terbatas miliknya robek dan dia stress karena itu,” Aku meledak. Aku benar-benar meledak. Sungguh, aku tidak bisa menahan tawa ini. Tapi aku benar-benar tertawa di depannya hingga aku memegang perutku. Sampai-sampai air mataku bahkan keluar. Seorang Theo Calvancanti menangis hanya karena jaketnya robek? Oh, Tuhan. Ambil nyawaku sekarang! Itu sungguh berlebihan dan sangat lucu.
            “Tidak ada yang lucu,” ujar Justin tampak dingin. Kemudian aku berusaha untuk tidak tertawa. Lalu berhenti. Aku sudah tidak tertawa.
            “Jangan pernah menertawakan kekasihku,” tambahnya kali ini menatapku dengan tajam.
            “Tapi Justin, kau tidak menahanku untuk tidak tertawa. Maksudku secara normalnya, itu sebuah hal yang sangat konyol untuk ditertawakan,” ujarku menahan tawaku lagi.
            “Tanganku berkedut, Miss Steele,” ujarnya mulai berakting. Astaga, tangan Christian Grey-ku sekarang berkedut.
            “Oh, apa yang akan kita lakukan dengan itu?” tanyaku menggodanya.
            “Memukulmu, mungkin?” ia menyeringai padaku dan mulai menarikku. Aku berteriak.

***

            Rambutku diikat untuk sementara oleh Fransesco sedangkan aku terduduk di atas jok mobilku dengan pintu yang terbuka dan  Fransesco terduduk di depanku dengan kursi plastic berwarna merah sambil memegang alat-alat riasan untuk wajahku. Kupejamkan mataku sambil berpikir akting yang akan kumainkan hari ini. Tadi malam Justin hanya menggodaku dengan menggelitiki tubuhku. Dan sungguh, dia seperti tahu sekali dimana titik kelemahanku jika digelitiki. Pinggang dan tengkuk, tapi tak jarang tangannya menyenggol dadaku sehingga membuatku sedikit bergairah. Tawaannya benar-benar membuatku mabuk tadi malam. Sepertinya ia sangat menikmati melihatku menderita di bawah jari-jarinya yang panjang itu.
            Aku masih tidak bisa percaya dengan perkataan Theo tadi malam pada Justin. Menangis karena jaket edisi terbatas? Astaga, itu sangat konyol. Kalau Justin orang kaya, pasti Justin akan pergi mencari perancang jaket itu dan meminta agar perancang jaket itu membuatnya lagi untuk kekasihnya. Tapi ini? Ada yang bisa memberikanku tabung oksigen agar aku bisa bernapas dengan teratur?
            “Kau kenapa?” tanya Fransesco yang membuatku membuka mata. Ia terus mengibas-ngibas alat perona warna pada pipiku sehingga membuatku terus berkedip-kedip.
            “Tidak apa-apa. Hari ini akan menjadi hari yang melelahkan,”
            “Memang, aku tahu. Sekarang kau akan akting di dalam ruangan apa bersama Justin? Kau tahu, kemarin aku sangat kagum dengan ciuman kalian di dalam lift itu. Aku bisa melihatnya di layar Gavin. Gila, Gavin saja sampai terkejut dengan lidah kalian yang ..apa kau benar-benar meresapi peranmu sebagai Ana?”
            “Sampai lidah kami terlihatkah?” Aku terperangah sekaligus terkejut. Ia menyuruhku untuk menutup mata saat dua jarinya menekan kedua kelopak mataku. “Aku tidak percaya itu –tapi ya, aku memang meresapi peranku sebagai Ana,” lanjutku.
            “Ya, itu sangat panas. Oh ya, jadi kalian akan bermain di mana sekarang?”
            “Di dalam mobil,”
            “Tidak ada ciuman,”
            “Tidak,” aku menutupi percakapan itu saat Fransesco berdiri dari tempat duduknya. “Sudah selesai,” ujarnya beranjak dariku. Sebenarnya, aku hanya diberi riasan wajah hanya sedikit. Maksudku, bukankah Anastasia tidak sering memakai riasan selain maskara dan pelembab bibir? Aku juga begitu –kecuali jika ada acara-acara tertentu.
            Aku berdiri dari jok mobilku dan keluar lalu menutup pintu mobil. Dravin sedang berbicara dengan seorang perempuan berambut pirang, kurasa dia salah satu figuran di dalam film ini. Oh, Justin habis ini akan membawa Audi SUV berwarna hitam milik Christian Grey. Bagaimana rasanya menaiki mobil yang Justin setir? Aku tidak pernah merasakannya. Tapi aku pernah merasakan kehangatan –atau lebih tepatnya kepanasan- di dalam mobilku bersama Justin. Lagipula aku tidak perlu memikirkan itu. Aku harus berlatih menaiki mobil dengan kecepatan tinggi. Suatu saat akan ada bagian dimana aku harus menyetir mobil bersama Christian Grey dengan kecepatan 100 lebih. Aku biasa hanya membawa dengan kecepatan 40. Ini akan menjadi pengalaman yang sangat menyenangkan!
            “Dravin!” aku berteriak mengitari parkiran dan sampai di depannya yang sudah melihatku.
            “Kau sudah tahu dia?” tanya Dravin pada gadis berambut pirang itu. Dia kelihatan sangat muda dan kurasa Dravin menyukai gadis pirang ini. Gadis pirang ini memberikan senyuman menawannya padaku dan menyelipkan rambutnya ke belakang telinganya, lalu menganggukan kepalanya.
            “Aku tentu saja tahu,” ujarnya terlihat biasa saja, apa dia sudah pernah bertemu denganku sebelumnya? “Anastasia Steele, bukan? Aku sangat menyukaimu dalam buku Fifty Shades of Grey,” tambahnya seperti baru saja tersadar akan sesuatu. Bahwa dia tahu kalau aku masuk dalam buku sejarah dunia dengan predikat ‘Wanita Bermata Biru yang Terkenal Namun Tak Dikenal’.
            “Alexis Bledel,” Dravin tampak tidak menyukai respon gadis berambut pirang. Sialan! Gadis pirang ini hampir saja mendapatkan hati Dravin namun sekarang Dravin sudah ilfeel dengan gadis ini karena aku, aktrisnya tidak diketahui oleh calon gadis yang disukainya.
            “Ah, ya. Alexis Bledel,” gadis berambut pirang ini menatap ke atas, seperti dia tidak mengenalku. Baiklah, aku tidak terkenal dan aku tidak peduli.
            “Aku harus pergi menemui Justin,” ujarku setelah bertemu dengan manajerku yang mungkin sekarang sedang bergumul dengan pikirannya setelah calon gadis yang ia sukai tidak mengenalku. Dravin selalu ingin tahu semua orang tentangku. Karena Dravin ingin melihat aku terkenal di kalangan masyarakat. Maksudku, sebenarnya apa yang kau harapkan Dravin? Aku hanya wanita bermata biru yang sedang memerankan Anastasia Steele dan siaran televisi yang aku mainkan saja tidak begitu terkenal –meski rating-nya paling tinggi dibanding acara lain- dengan wajah polos. Aku benar-benar merendahkan diri.
            Kakiku mulai memasuki gedung Christian Grey. Mataku terjatuh kepada lobi utama yang dimana Justin dan Theo tampak sedang bercengkrama satu sama lain dengan susu yang mereka minum. Tapi aku bisa melihat mata Theo yang membengkak sedangkan Justin yang duduk berhadapan dengannya berusaha untuk menenangkannya. Mata mereka melihatku dengan cepat saat aku melambaikan tangan pada mereka dan memberikan senyum menawanku.
            “Alexis!” teriak Justin yang wajahnya sekarang berubah lebih ceria dan lebih cerah. Astaga, ada dengannya? Mungkin dia bosan karena mendengarkan keluhan kekasihnya yang kekanakan-kanakan.
            “Hei, Justin. Theo,” aku berjalan menghampiri mereka dan terduduk di salah satu sofa yang kosong. Dan sofa di sini hanya ada 3. Sofa untuk dua orang sekaligur dan dua sofa untuk sendiri-sendiri. Theo hanya tersenyum lemah padaku dan berusaha untuk menahan tangisannya. Aku kasihan sekali dengan lelaki ini, kuharap ia bisa mendapatkan jaketnya lagi. Maksudku, dapat menjahit jaketnya atau paling tidak membelinya lagi –kalau masih ada. Kutatapi Justin dengan mata penuh dengan jeritan ‘Aku minta maaf’ dan Justin mengangguk.
            “Kurasa aku tidak bisa bekerja hari ini,” ujar Theo tampak berlebihan. Aku ingin tertawa sekaligus aku ingin muntah. Apa yang sedang ia katakan? Hanya karena sepotong jaket dia tidak ingin bekerja? Bunuh aku sekarang! Aku menjerit dalam hati dan menahan tawaanku dengan cara menundukan kepalaku agar rambutku dapat menutupi wajahku.

*Justin Bieber POV*

            Aku tidak mengerti jalan pikir Theo sekarang. Apa maksudnya tidak ingin bekerja hanya karena jaket edisi terbatas? Siapa perancang jaket itu sih? Siapa pembuatnya? Aku akan melakukan apa saja agar Theo tidak kekanak-kanakan seperti ini. Kutatapi Theo dengan tatapan dingin karena aku sudah tidak menyukai sikapnya yang berlebihan. Dan aku sudah tak luluh lagi dengan air matanya yang mulai membendung di sekitar matanya sambil memberikan tatapan Kucing-Mata-Besar-nya padaku. Biasanya tatapan itu ampuh untuk membuatku iba padanya dan memeluknya. Tapi aku sudah tidak kuat lagi dengan tingkahnya. Apa dia memang seperti ini sebelumnya dengan lelaki-lelaki yang pernah ia pacari? Aku baru satu tahu mengenalnya.
            Kugelengkan kepalaku dengan tegas ala Christian Grey. Kutegukan susu yang ia belikan sekali dan hendak muntah sekarang. Theo langsung menangis, memecah lebih tepatnya dan itu membuat mataku melebar seketika. Kulirik Alexis yang terduduk sambil menutup mulutnya seakan-akan tak percaya.
            “Kenapa kau menangis?” tanya Alex dengan suara lembutnya. Sialan, aku ingin marah tapi setelah mendengar suaranya yang lembut aku tidak ingin marah sekarang. Suaranya dapat meredamkan amarahku. Keren.
            “Aku hanya tidak percaya Justin melakukan itu padaku,”
            “Melakukan apa?” tanya Alexis tampak bingung dan menaruh tangannya pada bahu Theo. Sekarang aku menginginkan tanganku menyentuh tubuhku sekarang. Kutarik napasku dalam-dalam dan berpikir, nanti aku akan mendapatkannya. Aku akan mendapatkannya. Aku akan mendapatkannya. Kata-kata itu terus berputar dipikiranku seakan-akan itu adalah mantra untukku.
            “Dia menggelengkan kepalanya,” aku tersinggung.
            “Lalu?”
            “Berati dia tidak setuju kalau aku tidak ingin bekerja,” Theo membentak pada Alex, membuatku marah dengan tingkahnya yang benar-benar berlebihan. Untung saja masih ada waktu 30 menit sebelum pengambilan gambar.
            “Pulanglah,” aku mengusirnya. Alexis menatapku tidak percaya dan melotot padaku. Aku tidak peduli jika sikapku benar-benar kasar padanya. Dan ini bukan sama sekali urusan Alexis. Hanya karena Theo, aku jadi marah dengan Alexis juga. Sialan.
            “Baiklah jika itu yang kaumau. Aku tidak akan datang untuk membawakanmu makan siang,” Theo mengelap wajahnya dengan sapu tangan yang kuberikan padanya dan melemparnya di sofa dengan sikap feminimnya. Terkadang, aku melihatnya marah seperti itu sungguh lucu dan menggemaskan. Bahkan membuatku bergairah. Kugelengkan kepalaku. Tidak, tidak. \
            Ia mengambil kotak makanan yang tadi ia bawa untukku dan mengambil susuku yang belum habis. Hei, aku masih mau minum susu bawaannya. Meski aku marah padanya, tapi setidaknya, susu yang ia berikan tidak ia ambil kembali. Susu itu kan pasti memimiliki bau Theo dan aku pasti akan merindukannya setelah ini.
            “Hei, kau ingin bawa itu kemana?” aku protes dan hendak berdiri.
            “Aku ingin membawanya,” Theo tampak acuh dan mulai berjalan, ingin keluar dari lobi ini.
            “Tapi aku masih haus!” aku berteriak padanya yang sudah berada di ambang pintu keluar. Kemudian ia berhenti sebentar dan membalikan badannya, astaga tadi bokongnya benar-benar menggiurkan. Sial, sial, sial! Ia menatapku dengan mata yang membengkak. Hebat sekali kekasihku bisa membuatku bergairah karena amarahnya.
            “Minum saja spermamu sendiri!” teriaknya tak tahu malu. Kurasa pipiku memerah dengan ucapannya. Astaga. Kulirik Alexis yang terkikik.
            “Kaupikir apa yang baru saja kaukatakan?” aku berteriak dan dia menghilang, mengabaikanku. Aku merosot ke dalam sofaku kembali. Apa tadi dia benar-benar berkata seperti itu? Minum sperma sendiri? Astaga, aku ingin menampar mulutnya dengan mulutku sekarang. Lucu sekali karena dia telah mempermalukanku di depan Alexis. Kulirik Alexis yang sedang terkikik pelan sambil menundukan kepalanya. Apa menurutnya itu lucu? Karena memang itu lucu bagiku.
            “Apa menurutmu itu lucu, Miss Steele?” ia mendongak dan pipinya memerah. Sangat menggemaskan.
            “Tidak,” ujarnya menahan tawanya. Gila, wanita ini benar-benar membuatku tersiksa karena aku ingin mencium bibirnya yang terkatup itu.
            “Pipimu memerah,”
            “Oh, perona pipi,” kali ini ia sudah bisa menguasai tawaannya yang tertahan itu. “Apa dia baru saja menyuruhmu untuk meminum spermamu?” tanyanya melihat ke atas sebelah kiri, tak berani menatapku. Aku jadi ingat saat aku mendapatkan pelepasan karenanya aku tidak memakai kondom sehingga aku harus mengeluarkannya di atas perutnya yang rata itu. Sekarang aku mulai berereksi mengingat kejadian itu. Sungguh, sialan benar pagi ini!
            “Ya,” jawabku singkat.
            “Tapi bagaimana caranya?”
            “Memainkan tanganmu di sekitarku?” tanyaku menggodanya. Ia makin memerah. Seharusnya Fransesco tidak perlu memberikan perona pipi pada gadis muda ini. Dia sudah tampak merah sekarang. Sudah merah, ditambah lagi dengan merah pipinya yang alami itu.
            “Tidak akan pernah,” 
            “Kau akan segera melakukannya,”
            “Bukan aku, tapi Theo,” ia menggodaku sekarang. Sial sekali gadis ini. Aku hanya tertawa pelan dan dia langsung memerah kembali. Astaga, sebenarnya ada apa dengan gadis yang mudah memerah ini? Alexis sungguh menggemaskan. Kejadian tadi malam kembali memutar di otakku. Tawaannya dan pipinya yang memerah karena aku menggelitikinya. Dia benar-benar gadis yang mudah sekali tertawa. Pantas wajahnya polos dan muda sekali.
            Aku berdiri dan mendekatinya, kemudian aku menarik ikat rambut yang ia pakai. Ia terdiam dan mataku dengan kosong. Apa yang sedang dipikirkan gadis ini? Wajahnya sangat polos, membuatku sulit menebak apa yang sedang ia pikirkan.
            “Ini lebih cantik,” pujiku padanya, kemudian ia semakin memerah, lagi. Aku tertawa.

***

            Aku menyetir Audi SUV dengan Ana yang berada di sebelahku. Kamera sudah berada di dua sudut mobil ini untuk mengambil gambar kami dengan satu kereta yang berada kami di depan juga. Sebenarnya, aku cukup tidak berkonsentrasi karena sudut kameranya dan juga Alexis yang menyentuh-sentuh bibirnya yang membuat air liurku menetes.
            “Musik apa yang kita dengarkan?” ia bertanya.
            “Ini the Flower Duet oleh Delibes dari Opera Lakme. Apa kau menyukainya?”
            “Ini sangat luar biasa, Christian,”
            “Memang, luar biasa kan?” aku menyeringai padanya. Ia terdiam seperti menilaiku tapi aku terfokus oleh jalan yang ada di depanku. Ia masih terdiam dan menikmati music yang terputar. Kemudian music itu berhenti begitu saja.
            “Bisakah aku mendengarkannya lagi?” ia menatapku dan aku menatapnya. Kemudian aku terdiam.
            “Sialan! Aku lupa! Bisakah kita mengulangnya lagi?” aku masih menjalankan mobilku dan mendengar suara teriakan ‘Cut’ di depan sana, Gavin berada di depan kami bersama dengan kamera kereta itu. Aku menatap kamera yang berada di sudut mobilku dan memberikan wajah marah.
            “Kau sangat lucu,” ujar Alexis yang sudah memegang perutnya dan tertawa-tawa. Apa yang lucu? Itu tidak lucu. Kemudian aku ikut tertawa karena ia tertawa. “Wajahmu tadi seperti orang tolol,” lanjutnya memejamkan matanya dan menyeka air mata yang keluar dari matanya. Benarkah sampai menangis seperti itu?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar