Jumat, 26 Juli 2013

Rolling the Camera Bab 5


***

            Jantungku berdetak dengan normal saat aku melihat E. L James yang terduduk di sofa bersama dengan Gavin. Justin duduk bersebelahan denganku, ia tampak sibuk dengan ponselnya. Namun aku menyikutinya agar ia berhenti bermain dengan ponselnya. Untungnya, Justin meresponnya. Dravin terduduk di salah satu kursi yang berada di sampingku. E. L James dari tadi tersenyum dengan sumringah melihat kami, begitu juga dengan Gavin.
            “Ada apa?” tanya Justin yang terlihat begitu berkuasa di tempat ini, padahal Gavin yang paling berkuasa. Ia seperti Christian Grey. Kutatapi dirinya yang melihat pada E. L James dengan lurus. Astaga, bulu matanya. Bibirnya. Hidungnya. Bagaimana bisa lelaki ini terlihat begitu sempurna? Aku berharap tidak ada orang yang membangunkanku dalam mimpi ini.
            “Justin, Christian Grey. Astaga, aku sudah melihat kalian kemarin. Gavin datang ke rumahku dan melihat perkembangan kalian yang sangat pesat. Kedekatan kalian, aku tidak bisa berkata-kata. Terima kasih sudah cukup?” tanya James dengan senyuman sumringah. Apa maksud kedatangannya ke sini? Hanya untuk mengucap terima kasih? Jika Christian Grey benar-benar ada di dunia ini, pasti ia sudah menganggap ini hanyalah buang-buang waktu. Justin menggelengkan kepalanya. Berusaha untuk tidak melotot, aku meremas bajuku dengan erat. Mengapa ia terlihat begitu perhitungan? Maksudku, sudah beruntung ia bisa memainkan peran Christian Grey. Jika tidak ada E. L James yang membuat cerita ini, kami tidak akan pernah bertemu.
            “Maksudmu?” James tersinggung akan pernyataan Justin.
            “Aku hanya ingin mengurangi kekerasan di sini,” ujar Justin berwibawa. Dravin terkekeh dan aku langsung memelototinya. Atas dasar apa dia terkekeh seperti itu? Tidak ada yang lucu di sini. Justin hanya ingin mengajukan permintaannya pada Gavin atau E. L James. Sebenarnya, E. L James hanya perlu duduk, tunggu delapan bulan, dan jadi. Filmnya akan segera keluar dan namanya akan melejit tinggi, lebih dari pada buku yang terjual. Kurasa begitu.
            “Mengapa?”
            “Aku tidak tega melihat seseorang dipukul,” ujar Justin.
            “Diterima. Sebenarnya, ada pemeran pengganti Alex –“
            “Sekalipun itu bukan Alex. Tetap saja,” potong Justin saat Gavin berujar. Kemudian Gavin menganggukan kepalanya, mengerti.  “Jadi hanya ini yang kalian inginkan? Bertemu dengan kami untuk mengucapkan terima kasih? Terima kasih kembali. Aku dan Alex punya urusan sebentar,”
            “Justin!” aku menegurnya. Lancang sekali ia berbicara seperti itu pada sutradara. Ada ada dengannya?
            “Tidak apa-apa. Sekali lagi, terima kasih sudah sangat bersedia untuk memainkan pasangan ini. Aku sangat bersyukur,”     
            “Aku juga sangat bersyukur, James. Aku bisa memerankan peran Anastasia Steele, seperti mimpi jadi kenyataan,”
            “Kita tidak bisa membicarakan omong kosong ini,” ujar Justin memotongku saat aku ingin melanjuti ucapanku, “aku mempunyai urusan denganmu. Dravin, aku harus meminjamnya,” ujar Justin menarik tanganku untuk bangkit dari sofa ruang tamu Escala. Dravin hanya menganggukan kepalanya untuk mengizinkan Justin menarik tanganku.
            Kami berjalan menuju kamarku dan Christian. Justin menutup pintu kamar kami dan menguncinya. Tangannya sudah terlepas dari tanganku dan aku mulai melangkah jauh darinya. Ada apa dengan Justin? Aku bersandar pada pintu kaca dan melipat kedua tanganku dengan malas. Apa maksudnya? Ini sungguh aneh. Tadi pagi ia sungguh manis, tapi pagi menjelang siang ini, ia tampak menyebalkan. Setelah apa yang tadi ia katakan pada E. L James. Ia kasar dan tidak menyaring kata-katanya sebelum berbicara.
            Justin mendekatiku, berjalan dengan perlahan. Nafasnya terengah-engah. Apa-apaan itu?
            “Theo menghubungiku,”
            “Oh?”
            “Ya, dia membencimu,” ujarnya lagi. Lalu apa? Aku patut dibenci olehnya karena mantan pacarnya selalu mendekatiku dan aku tidak keberatan.
            “Kupikir kau yang menghubunginya,”
            “Dia yang pertama menghubungiku tapi aku tidak menjawab karena begitu sibuk dengan penggemarku. Dia akan datang,” ujar Justin yang sekarang sudah berada di depankuj. Aku menegakan tubhuku, tidak terkejut. Sudah pasti Theo akan datang untuk melabrakku.
            “Aku tidak mau kau bertengkar dengannya,” tambah Justin mulai mengelus pipiku. Aku memegang tangannya untuk berhenti menyentuhku. Aku tidak ingin ia berbicara semesra ini denganku setelah kejadian tadi. “Aku sudah melarangnya untuk tidak datang ke sini. Tapi dia keras kepala,” ujarnya lagi. Aku mendesah pelan . Sebenarnya, apa yang Justin harapkan? Kekasihnya tahu keberadaanku, kekasihnya kaya, dia bisa dengan mudahnya pergi ke sini dan memarahiku, membentakiku lalu mencium Justin sepuasnya. Menjijikan. Aku ingin muntah sekarang. Astaga.
            “Oh, Justin!” aku mendesah pelan dan membenturkan kepalaku pada dada Justin yang begitu keras. “Apa yang kauharapkan darinya?”
            “Aku berharap agar ia menjauhiku, aku tidak ingin kau dibenci oleh lelaki sepertinya,”
            “Semua orang berhak membenci siapa saja,”
            “Dia tidak. Alasannya sangat idiot,”
            “Astaga, Justin. Kau memintaku untuk masuk ke dalam kamar ini hanya untuk membicarakan hal bodoh seperti ini?” aku melenguh pelan. Justin mendorong tubuhku dengan tangannya berada pada kedua bahuku.
            “Tidak. Universal Studios sangat beruntung memiliki kita. Karena kita akan selalu latihan,” ujarnya yang membuatku sedikit bingung akan pernyataannya. Maksudnya apa?
            “Latihan?”
            “Bercinta, sayang.” Ia mulai mengecup bibirku dengan lembut, “bercinta.” Ulangnya lagi dan kali ini ia benar-benar mencium bibirku.

****

            “Ah, tidak Justin!” aku mendorong tubuhnya saat aku benar-benar sudah terlarut dalam ciumannya. Sialan. Tapi ia menahanku agar bibir kami tetap bertemu. Berusaha sekuat mungkin, aku mendorong dadanya yang sekarang sudah telanjang. Lidahnya menjilat-jilat bibirku dengan seksi, sialan, aku benar-benar terangsang. Justin terkekeh bagaikan psikopat yang ingin memperkosa korbannya sebelum membunuhnya. Oh, ini sangat menyeramkan. Sekarang tangannya sudah berada pada dadaku, meremasnya satu kali dan aku mendesah. Tubuhku terapit di antara tubuhnya dan tembok yang berada di belakangku. Berkali-kali aku berusaha untuk menjauhinya tapi ia selalu membuaiku dengan ciumannya. Sehingga sekarang aku hanya memakai bra dan celana dalam. Sedangkan Justin hanya memakai boxer.
            Kembali lidahnya bermain di sekitar bibirku, membuat bibirku semakin basah saja. Aku tak bisa menolaknya, kali ini, tidak bisa.
            “Oh, sayang, Ana. Aku benar-benar membutuhkanmu,” ujarnya melepaskan bibirnya dari bibirku, namun hanya berjauhan satu inchi. Mataku bertemu dengan matanya, lengannya sudah melingkar di sekitar pinggangku. Tubuhku sudah menempel dengan tubuhnya yang berkeringat. Oh, sudah berapa lama kah aku memberontak padanya? Aku meleleh saat matanya yang berwarna abu-abu itu menatapku dengan intens. Kutelan ludahku untuk menahan makanan lezat yang akan kucicipi sebentar lagi.
            “Apa kau menginginkan ini juga, Ana?” tanyanya berbisik. Bibirnya tidak tersenyum, melainkan menjadi garis lurus yang tegas. Kuanggukan kepalaku dengan pelan. Untuk apa aku menolaknya jika sebenarnya aku menginginkannya?
            “Benarkah? Apa kau benar-benar menginginkannya?” tanyanya menggodaku saat jari-jarinya yang berada di pinggulku memainkan pinggiran celana dalamku. Kuanggukan kepalaku.
            “Jawab aku,” paksanya.
            “Ya,”
            “Ya apa?”
            “Ya sir,” bisikku dengan pelan, bahkan mungkin hanya aku yang bisa mendengarkannya. Nafasnya bersahut-sahutan dengan nafasku, membuat suara yang sangat merangsangku. Dia menganggukan kepalanya dan menyeringai padaku. Dengan hati-hati, ia menarik pinggulku ke arahnya. Dapat kurasakan ereksinya menempel pada perutku. Sialan benar.
            “Lingkarkan kakimu di sekitar pinggangku, sekarang,” ujarnya dengan tegas. Kulakukan apa yang baru saja ia katakan dan Justin mulai melangkah menuju tempat tidur. Tanganku melingkar di sekitar lehernya dan daguku berada pada bahunya yang telanjang. Oh, sungguh, aku benar-benar basah karenanya. Ia mulai menaruhku di bawah punggungku dan di atas kasur. Kulepaskan tanganku dari lehernya dan mulai menatapnya, kembali. Kakiku tak lepas dari pinggangnya yang benar-benar seksi. Oh, otot-ototnya. Kutelan ludahku, menahan agar air liurku tak tertumpah keluar dari mulutku.
            Ia mulai menindihku. Kedua siku-sikunya berada di kedua sisi kepalaku dan wajahku benar-benar dekat dengan wajahnya. Perasaan ini ..oh, perasaan apa ini. Ia menatapku dengan tatapan intens. Jari-jarinya yang panjang mulai mengelus rambutku dengan lembut. Berusaha. Aku berusaha untuk menahan kepalaku untuk tidak maju agar aku bisa menciumnya. Itu akan merusak segala momen intensitas yang ada.
            “Apa kau tahu sekarang kau terlihat begitu menggairahkan?” tanyanya berbisik. Aku tidak menjawabnya, tapi aku mengedip. Ia menyeringai. Salah satu tangannya mulai pergi dari kepalaku dan mengarah pada buah dadaku yang masih tertutupi oleh bra berwarna biru muda. Lalu tangannya mulai menangkup salah satu buah dadaku dan meremasnya satu kali. Aku berusaha untuk tidak mendesah, tapi aku mendengus.
            “Katakan padaku, Ana,”
            “Aku tidak tahu,”
            “Ya, kau tahu. Kau selalu menggairahkan setiap saat. Oh, sialan,” Justin mengerang saat ia mulai memajukan ereksinya pada milikku yang sudah sangat basah namun masih tertutup celana dalamku. Aku mendesah dan memejamkan mataku, berusaha untuk tidak merasakan kenikmatan yang benar-benar membuatku ingin menggores tubuh Justin dengan kuku-kukuku sekarang. Justin memejamkan matanya lalu mendengus saat ia menggerak-gerakan tubuhnya di atasku sehingga milikku semakin basah. Aku merintih saat jari-jari tangannya meremas buah dadaku dengan lembut kemudian ia menarik turun braku hingga mengantung tepat di bawah buah dadaku.. Mulutnya dengan buas mulai mencium leherku, pundakku dan berakhir pada buah dadaku.
            “Ini benar-benar ..menggiurkan –mmh!” ia mulai mencium putting buah dadaku dan memain-mainkannya dengan lidah terampilnya. Aku mengerang dan mendongakan kepalaku ke belakang, menekan kepalaku pada kasur yang empuk. Jari-jariku mulai meremas rambutnya yang halus. Ia menggeram.
            “Alex!” sebuah suara terdengar dari luar. Sontak Justin melepaskan mulutnya dari dadaku dan bibirnya dilumuri oleh air liurnya sendiri. Ia terlihat begitu menggairahkan dan sangat membuatku terangsang. Aku ingin dirinya berada dalam diriku sekarang.
            “Alex, apa kau baik-baik saja di dalam?” tanya Gavin mengetuk-ketuk pintu kamarku.
            “Y-ya,”
            “Kurasa hari ini kita bisa melanjutkan pekerjaan kita. Seluruh kru sudah siap di apartemen, Fransesco menunggumu. Ayo cepat,” ujar Gavin yang merusak segala momen panas ini. Aku mendesah pelan –marah- dan menatap Justin juga terlihat marah karena acaranya untuk meniduriku gagal.
            “Baiklah,” aku berteriak sambil mendorong bahu Justin untuk menjauh dari tubuhku. Sial, sial, sial!


****

            “Subuh. Kita baru saja menyelesaikannya subuh ini, mataku rasanya ingin ditusuk lebih dalam lagi,” ujar seseorang dari belakang. Aku mengabaikannya sambil berjalan tertatih-tatih menuju mobil milik Dravin. “Selamat tinggal, Ana!” teriak orang itu yang membuatku menoleh ke belakang dan melihat Kate yang melambaikan tangannya untuk masuk ke dalam apartemen. Ternyata dari tadi ia menggerutu tak jelas. Aku tidak tahu tadi kalau itu adalah dia, suaranya sama seperti wanita-wanita pada umumnya. Oh, sial. Kepalaku sekarang begitu pening. Aku tidak percaya kalau Gavin akan memperkejakanku selama delapan bulan. Kurasa delapan bulan tak cukup untuk hasil yang maksimal. Meski aku tahu, tidak banyak adegan aksi di dalam film ini. Tapi tetap saja, satu hari tidak cukup untuk mengambil beberapa adegan. Kukeluarkan kunci mobil Dravin dari kantong celanaku dan mulai membuka kunci mobil
            Kubuka pintu mobil Dravin untuk tidur di dalamnya. Dravin kembali pergi setelah ia meninggalkan mobilnya untukku. Entah ia harus pergi kemana, tapi katanya ia memiliki urusan penting. Justin sedang pergi menuju Escala karena Theo ingin menemuinya. Karena itu aku tidak datang ke Escala. Justin yang melarangku karena ia takut Theo akan menakutiku. Tapi dari semua itu, aku sangat takut pada Zayn. Ia tidak terlihat seharian ini setelah tadi pagi ia bertemu denganku di kamarku dan restoran lalu menghilang begitu saja. Aku takut jika ia masih menginginkan tubuhku dan memperkosaku. Aku tidak menyukainya. Dan mengapa tiba-tiba ia muncul kembali dalam hidupku? Apa dia sudah tidak mendapatkan mainannya sendiri?
            Tiba-tiba aku merasa ketakutan. Kutatapi ke sekelilingku. Jalanan kosong, mungkin hanya beberapa mobil yang melewatinya. Kuputuskan untuk menutup kaca-kaca mobil dengan tirai yang sudah dipasang oleh Dravin. Ia bilang tirai ini berguna untuk menutupi diri dari paparazzi. Tapi sama saja jika paparazzi sudah mencatat nomor polisi mobil kita, aku mendengus saat ia bilang seperti itu. Kumasukan kunci untuk menyalakan mesin mobil agar aku menyalakan AC. Saat menyala, aku mulai bersandar dengan tenang. Angin AC mulai menerpa tubuhku. Mmh, sangat nikmat.
            Aku berada di kursi depan, bukan bagian kursi menyetir. Kutatapi kaca bagian depan mobil dan tersentak saat seseorang tiba-tiba mengetuk kaca mobilku. Oh, Tuhan. Siapa ini? Aku tidak mendengar suara.
            “Alex, buka pintunya,” ujar seorang lelaki. Bukan Justin. Dravin. Atau Gavin. Zayn, lebih tepatnya. Oh, Tuhan, Tuhan, Tuhan! Aku ingin mati sekarang. Darah, jambakan rambut, pukulan. Astaga, semua itu kembali padaku. Kutatapi tubuhku yang pori-porinya mulai meremang.
            “Alex, aku janji tidak akan menyakitimu,” kudengar ucapannya sekali lagi. Bagaimana bisa aku memercayainya? Aku takut. Sangat takut, sampai-sampai aku tidak bisa merasakan tubuhku lagi. Aku mati rasa. Darah, darah, darah. Jeritan. Oh, tempat itu. Ruang tata rias. Gudang. Rumah Zayn. Dalam mobil. Di mana lagi? Aku tidak tahu. Semuanya berputar-putar kembali di otakku dan kepalaku mulai terasa pening. Aku ingin muntah.
            “Alex, tolong buka jendelanya. Aku benar-benar merindukanmu,” suaranya menyiratkan suatu ketakutan dan kesakitan yang mendalam. Oh, Tuhan. Apa aku harus melihat wajahnya sekarang? Begitu menyakitkan saat ia menyeringai padaku saat itu. Tertawa saat aku menderita. Dan ia menggeram nikmat saat aku kesakitan. Aku telanjang tadi pagi karenanya. Ya, karenanya, aku sangat yakin dengan itu. Dengan pelan, aku membuka tirai kaca mobil dan melihat wajahnya yang sudah berada di depanku. Kupejamkan mataku saat aku melihatnya tersenyum. Dia bahkan tidak lebih dari iblis. Ya, karena dia memiliki tubuh manusia. Coba dia setan, pasti dia adalah iblis teman dari Lucifer.
           
            “Alex, aku tidak bisa melihatmu sayang,” Sayang. Tidak, itu panggilan kotor darinya. “Aku janji,” kali ini berucap dengan sungguh-sungguh. Mungkin sedikit kepercayaan bisa membuatnya sedikit lega. Mungkin sekarang aku gila karena telah melakukan ini.
            “Akhirnya,” ia mendesah pelan dan memberikan senyuman manis padaku. “Aku sangat merindukanmu,” lanjutnya lagi, kali ini tangannya masuk ke dalam mobilku. Tangannya bergelanyut pada kaca mobilku yang terbuka setengah. Aku menjauh. Tak rela jika ia menyentuh tubuhku untuk yang kesekian kalinya setelah bertahun-tahun lamanya.
            “Jangan menyentuhku,” suaraku serak, aku benar-benar ketakutan.
            “Baiklah, aku tidak akan menyentuhmu. Maaf tentang tadi pagi,” ujarnya mulai menarik tangannya keluar dari dalam mobil. Aku bernafas dengan lega.
            “Untuk apa kau datang menemuiku?”
            “Aku baru tahu kalau kau ternyata bermain film panas,” ujarnya tampak santai. Aku tidak membalasnya dan berusaha untuk tidak terlihat gugup atau ketakutan. Tapi kurasa ia tahu kalau aku benar-benar ketakutan karenanya. “Tenanglah, Alex. Aku hanya ingin menemuimu, bercinta lalu pergi. Itu mudah untuk dijalankan,” ujarnya lagi. Kali ini membuatku bergidik ketakutan. Bercinta? Oh, tidak. Itu tidak boleh. Dengan cepat aku mulai menarik ke atas tombol kaca mobilku agar tertutup.
            “Tidak, tidak! Aku hanya bercanda,” ia berusaha untuk menahanku dan aku berhenti menaikan tombol itu. Kutelan ludahku dan menatap matanya.
            “Aku tidak percaya,”
“Kau harus percaya padaku. Aku sudah berubah,”    
“Lalu siapa yang menelanjangiku tadi pagi?”
            “Alex,” ia mendesah dan kali ini aku menurunkan kembali kaca mobilku karena tangannya hampir terjepit. “Maafkan aku. Maafkan aku. Aku tidak berniat untuk melakukan itu padamu. Tapi sungguh, aku justru masih memperlakukanmu dengan baik. Aku hanya membuka bajumu untuk melihat pemandangan indah sejenak dan melihat wajahmu yang tenang sedang tertidur. Aku menyukainya,”
            “Jangan membual,” kali ini aku tampak berani.
            “Astaga, Alex. Aku masih tidak percaya kalau kau akan bermain dengan lawan main yang gay,”
            “Dia tidak gay!” kali ini aku tidak bisa menerima kenyataan. Ternyata seperti ini rasanya menjadi ibuku yang tidak percaya kalau Justin adalah gay. Tapi aku memang tidak bisa menerima kenyataan yang sebenarnya setelah ia tidur denganku beberapa kali.
            “Alex, aku ingin sekali bercinta denganmu,” ujarnya mengalihkan topik pembicaraan. Lancang sekali dia berbicara seperti itu.
            “Jika itu yang kaumau, aku tidak bisa melakukannya,” ujarku mulai menaikan kembali kaca mobil. Tapi tiba-tiba Zayn menaikan kunci mobil dan membuka pintu mobil. Sehingga ia bisa masuk ke dalam mobilku begitu cepat lalu tertutup.
            Hening. Aku ingin menjerit. Ia sudah berada di atasku, ia menekan alat untuk menuruni kursi mobil ke belakang. Sekarang ia benar-benar berada di atasku. Aku ingin menjerit sangat. Ia mengunci pintu mobil dan menutup kaca mobil. Zayn tersenyum penuh kemenangan di atas. Aku ingin menangis. Tak terasa, air mata yang panas mulai mengalir.
            “Oh, Alex. Jangan menangis sayang,” ia mulai mengelus pipiku. Aku memecah!
            “Sssh, tidak. Tidak, aku tidak akan menyakitimu,” ujarnya mulai menghapus air mataku. Tapi aku semakin menangis karena ketakutan yang begitu mendalam.
            “Sekarang kau adalah milikku. Setidaknya untuk saat ini.” Ujarnya mulai menindih tubuhku. Oh Tuhan! Justin, dimana kau? Oh Tuhan, tolong kirimkan dia sekarang.
***

*Author POV*

            “Ssh, sayang. Jangan menangis, kumohon,” bisik Zayn terus mengelus pipi Alex dengan lembut. Zayn memberikan raut wajah kasihan dan khawatir, tapi dalam hatinya ia senang karena akhirnya ia bisa mencicipi tubuh gadis yang sudah lama ia mainkan. Setelah hampir gila selama beberapa tahun karena tidak ada gadis ini, akhirnya ia mendapatkannya. Ia sudah tahu, gadis ini akan menangis dan meronta-ronta padanya. Tapi kebutuhan ini telah ia tahan lama sekali. Ia memilih waktu yang sangat tidak tepat. Disaat Alex benar-benar tengah sibuk dalam dunia hiburan ia datang kembali. Ia dapat merusak segala kesenangan dan fokusnya Alex saat bekerja. Bahkan mungkin, film ini tak akan ditayangkan.
            “Kau sudah berjanji padaku untuk tidak menyentuhku,”
            “Aku tidak berjanji untuk tidak bercinta denganmu sayang,” ujarnya dengan lembut dan wajahnya sudah berhadapan dengan wajah Alex. Mata Alex benar-benar terpejam dan bisikan doa selalu ia sebutkan. Berharap akan ada pahlawan yang akan menyelematkannya. Itu akan menjadi sebuah keajaiban yang berarti dalam seluruh hidupnya. Dan ia akan berhutang pada orang yang akan membantunya. Tapi itu tidak mungkin. Malam ini sangat sepi, bukan malam ini, subuh ini. Tidak ada orang yang berlalu lalang di sekitar sini. Tidak ada. Apa yang harus ia lakukan?! Lelaki ini sudah mengunci tubuhnya, bahkan ia tidak bisa bernafas.
            “Kumohon, jangan,”
            “Jangan apa? Jangan berhenti?” tanya Zayn mulai memagut bibir Alex, tapi dengan cepat Alex menggeleng-gelengkan kepalanya sehingga setiap kali Zayn mencoba untuk menciumnya, ciumannya meleset. Ia hanya dapat mengecup pipi, rahang bahkan hanya sudut bibir Alex. Kehilangan kesabaran, Zayn menjauh dari Alex dan menampar wajah Alex. Alex mengerang.
            “Diam bodoh!” bentak Zayn yang membuat air mata Alex semakin mengalir. Pipinya memerah akibat tamparan dari Zayn.
            “Kaubilang kau tidak ingin menyakitiku,” bisik Alex bersusah payah untuk berbicara. Bahkan sekarang tenggorokannya sakit karena isak tangisnya yang memicu tenggorokannya tersedak.
            “Ikut denganku, Alex,” ujar Zayn tiba-tiba saja berubah menjadi suara yang normal. Namun suaranya juga tidak menyiratkan apa pun. Kebencian, kesakitan, atau kerinduanpun tidak ada. Hanya sebuah permintaan. Alex memejamkan matanya dari tadi, tidak sanggup untuk melihat mata Zayn yang masih dipenuhi dengan api kemarahan. Namun Zayn berusaha untuk tidak membentak gadis ini sekali lagi. Tamparan sudah cukup.
            “Buka matamu Alex, kita tidak punya banyak waktu. Kau akan hidup senang bersamaku ..di Swiss,” ujar Zayn berusaha selembut mungkin. Ia benar-benar ingin membawa gadis ini pergi bersamanya. Menghilang dari apa pun. Zayn tidak peduli jika film ini tidak akan pernah ada di dunia karena Alexis. Ia tidak peduli jika ibu Alex mengkhawatirkannya. Yang ia pedulikan hanyalah egonya. Ia harus mendapatkan gadis ini kembali. Gadis yang selalu memenuhi kebutuhannya tiap hari. Mungkin Zayn memang harus meminta pelan-pelan sampai gadis ini menyerah padanya. Ke Swiss adalah jalan yang tepat. Alex tidak mungkin dikenal di Swiss. Mungkin hanya beratus-ratus orang yang mengenalinya, tapi itupun orang-orangnya berpencar.
            “Alex, buka matamu,” desak Zayn meminta, lagi. Alex masih menangis dan terus memejamkan matanya. Air mata Alex sudah membasahi rambutnya, bahkan ke telinganya. Berusaha sebisa mungkin, Alex membuka matanya. Air matanya sudah membasahi matanya, bahkan alisnya pun sudah basah.
            “Bagus. Bagaimana? Kau mau ikut tidak? Kita bisa pergi malam ini. Pergi denganku atau kuperkosa kau di luar mobil ini. Bahkan jika itu maumu, aku akan membawamu ke atas kap mobil dan menampar bokongmu yang lezat itu sesuka hatiku. Tidak akan ada yang mendengar, karena aku akan membungkam mulutmu, dengan ..” –Zayn membuka bajunya- “Dengan ini,” ujarnya memperlihatkan bajunya yang berwarna hitam itu. Warna itu sama seperti warna dalam hati Zayn. Hitam, kelam dan gelap.
            Alex masih terdiam dalam isak tangisnya. Air matanya sudah berhenti, namun isak tangisnya membuat dadanya terus membusung ke arah Zayn. Membuat Zayn berusaha untuk tidak langsung menyetubuhi gadis manis ini.
            “Tidak ..” lirih Alex berbisik.
            “Apa?”
            “Tidak, aku tidak akan pernah ikut denganmu. Bahkan jika aku harus ke surga bersamamu, aku tidak akan pernah ikut denganmu!”
            “Surga, ternyata kau masih percaya dengan surga. Surga itu tidak ada bodoh!” Zayn terkekeh pelan dengan ucapan konyol Alex. Dengan semampu Alex, ia menatap Zayn dengan tatapan berani. Ia mengumpulkan segala kekuatannya untuk menampar Zayn. Dan ..SLAP! Benar saja. Alex menampar Zayn hingga wajah Zayn menoleh ke sebelah kanan.
            “Tentu saja kau tidak percaya bahwa surga itu ada! Karena tempatmu itu hanyalah di neraka sialan! Kau gila!” teriak Alex sekencang mungkin. Dengan cepat Alex mendorong tubuh Zayn ke belakang sehingga punggung Zayn terlempar pada dashboard.Alex menarik tombol kunci mobil ke atas sehingga ia dapat membuka pintu itu. Tangannya berusaha untuk menyingkirkan kaki Zayn sebisa mungkin. Dan akhrinya bisa, tangan Zayn mulai meraih pinggang Alex saat kaki Alex sudah berada di luar.
            “Kau mau kemana jalang?!” teriak Zayn berusaha untuk bangkit dari dashboard.
            “Pergi dari kau, berengsek!” Alex mulai melepaskan jari-jari Zayn yang mencengkramnya hingga ia harus meringis kesakitan. Kemudian ia berhasil dan berusaha untuk keluar. Sedangkan Zayn terjerembap jatuh ke lantai mobil.  Tapi Alex tertawa-tawa bagaikan orang gila. Seakan-akan apa yang Alex lakukan adalah hal yang benar-benar lucu. Seolah-olah Alex mengajaknya untuk bermain lari-larian.
            Alex berlari dan berteriak minta tolong kepada siapa pun. Ia berusaha untuk berlari menuju apartemen Kate yang dekat. Sejenak ia berpikir, mengapa Kate ada di sini? Bukankah seharusnya ia rehat sebentar karena ia tidak diperlukan? Pemikiran itu ia tepis saat ia melihat Zayn yang sudah keluar dari mobil. Alex berlari menuju apartemen namun ia tersandung di trotoar. Ia menangis.
            “Mau kemana Alex sayang? Aku ada di sini, jangan berteriak. Kau akan membangunkan orang-orang,” ujar Zayn berlari ke arah Alex dan HAP! Kaki Alex telah berada dalam cengkraman Zayn.
            “Lepaskan bajingan!” teriak Alex menarik-narik kakinya dari cengkraman Zayn.
            “Sialan!”
            BUG! Sebuah pukulan telah melayang.
            “Justin!”
            Kemudian hening berkepanjangan.

***

*Justin Bieber POV*

            Kutatapi Alex yang berada di atas kasur. Ia terlihat begitu tenang pagi ini. Gavin memperpanjang kontrak kami setelah kejadian subuh tadi. Katanya, Alex mungkin harus memiliki waktu yang banyak untuk bisa bermain peran Anastasia Steele setelah kejadian tadi. Mungkin Alex akan sedikit terguncang sehingga mungkin kefokusan Alex menghilang. Aku menyetujuinya. Kami akan bermain film ini selama satu setengah tahun. Bayangkan, satu setengah tahun. Aku akan bahagia.
            Sialan, Zayn mencoba untuk memperkosa Alex. Untung paparazzi tidak ada saat itu. Aku bersyukur. Dan Zayn, dia sedang berada di kantor polisi bersama dengan Dravin. Saat aku menghubungi Dravin kalau Zayn berusaha untuk memperkosa Alex, Dravin muncul dalam waktu tiga puluh menit di apartemen Kate. Aku sudah memanggil polisi saat aku memukul tengkuk Zayn. Dia pingsan kira-kira sepuluh menit dan saat itu juga polisi datang.
            Dravin tampak begitu pucat saat ia datang. Terlihat sekali ia khawatir dengan Alex. Tapi untungnya ada aku yang menolong Alex. Aku merasa seperti pahlawan sekarang. Kuharap Alex berterima kasih padaku. Aku tidak ingin ucapan terima kasih padanya. Tapi sesuatu yang lebih. Aku ingin berkencan dengan Alex. Aku terduduk di sisi tempat tidur sambil memegang tangan Alex yang benar-benar dingin. Aku bisa melihat dari matanya tadi subuh, ketakutan. Ketakutan yang mendalam. Kuharap Zayn masuk penjara karena berusaha untuk memperkosa Alex. Dan kurasa bukan hanya Alex yang telah ia perkosa. Pasti banyak sekali gadis yang telah diperkosanya. Melihat Zayn sama seperti psikopat.
            “Dravin,” aku terkejut saat tiba-tiba saja ia membuka pintu kamarku dan Alex. Ia melihat dengan mata yang benar-benar merah. Kurasa ia kurang tidur.
            “Alex!” desahnya bersyukur saat ia melihat Alex yang tenang dalam tidurnya. “Apa dia baik-baik saja?”
            “Dia hanya butuh tidur,” ujarku, “bagaimana Zayn?”
            “Dia dibawa ke Rumah Sakit Jiwa,” aku ingin tertawa. Serius, mengapa? Seperti bisa membaca pikiranku, Dravin menjawab:
            “Ternyata dia selama ini gila. Dia terobsesi pada Alex semenjak aku mengambil Alex darinya. Intinya dia gila. Bahkan ia tertawa-tawa saat polisi bertanya-tanya padanya. Aku kasihan dengannya,”
            “Bagus,” ujarku menyetujuinya.
            “Bisakah kau keluar sebentar? Aku ingin membicarakan sesuatu dengan Alex,” ujar Dravin, memintaku. Aku hanya menganggukan dan beranjak pergi dari kasur. Namun aku khawatir dengan keadaan Alex yang kurasa ia masih kurang tidur. Tapi mungkin, Dravin memang membutuhkan privasi. Aku menutup pintu kamarku dan berjalan menyusuri lorong untuk sampai pada ruang tamu.
            “Justin! Bagaimana Alex? Aku benar-benar kasihan dengannya,” ujar Theo yang tiba-tiba saja berada di atas sofa dan terkejut saat aku muncul. Apa-apaan tiba-tiba ia berada di sini? Dan mengapa ia tiba-tiba saja khawatir dengan keadaan Alex?
            “Maksudmu apa tiba-tiba datang ke sini?” tanyaku benci akan kedatangannya.
            “Aku benar-benar minta maaf Justin. Kurasa tindakanku kemarin adalah tindakan yang bodoh. Kita sudah membicarakannya. Maaf karena aku bersikap egois. Aku hanya ingin bertemu dengan orang yang selalu menginspirasiku,”       
            “Dia sedang tidur dan dia baik-baik saja. Apa kau bisa pergi dari sini, Theo?” tanyaku ketus padanya. Ia menelan ludahnya dan menatapku dengan pandangan tak percaya. Sekarang aku membencinya setelah kemarin ia berteriak-teriak memalukan di sini, Escala. Ia terus memaki-maki Alex sebagai perebut kekasih orang. Aku bahkan tidak mengerti apa yang sedang ia katakan. Dan aku ingin ia enyah dari hadapanku sekarang! Wajahnya benar-benar memuakan. Aku benar-benar menyesal telah bercinta dengannya. Telah mencium bibirnya berkali-kali. Aku menyesal telah menjadi seorang gay! Aku tidak tertarik lagi dengan lelaki. Dia yang terakhir dan Alex adalah yang pertama dalam hidupku. Bahkan Alex akan jadi yang pertama dan terakhir. Aku tidak akan main-main dengan perkataanku sendiri.           
            “Secepat itukah kau berhenti mencintaiku?”
            “Aku muak denganmu. Aku mencintai Alex, aku sudah normal. Mengerti?”
            “Ha-ha. Normal. Kau bahkan tidak tahu bagaimana caranya bercinta dengan seorang wanita!” ia mulai menangis dan tertawa sarkastik.
            “Aku bahkan sudah sering bercinta dengannya Theo. Oh, astaga. Desahannya, rintihannya. Aku normal!” kali ini aku membentaknya.
            “Aku bersumpah untuk tidak pernah bertemu denganmu. Aku bahkan tidak akan pernah ingin menonton film sialan ini! Aku membencimu!” jeritnya bagaikan perempuan. Oh ya Tuhan, aku benar-benar sadar sekarang. Seharusnya aku menyukai wanita sejak dulu. Dulu tidak bernar, Alex menyelamatkanku. Aku benar-benar berterimakasih padanya.
            “Kapan pun kau tahu, kapan pun!” aku berucap saat ia melangkahkan kakinya untuk keluar dari Escala. Kemudian ia membanting pintu. Oh, lucu sekali raut wajahnya tadi. Merah padam dan menangis bagaikan perempuan. Aku ingin tertawa.
            Hmm, kurasa aku butuh tidur juga. Aku kurang tidur setelah tadi malam aku berdebat dengan Theo. Ah ..akhirnya aku normal. Aku benar-benar normal. Bermain-main dengan wanita lain, bagaimana? Bisakah aku? Hell yeah, tentu saja!

***

*Alexis Bledel POV*

            Terima kasih Tuhan! Terima kasih Tuhan! Terima kasih Tuhan! Akhirnya lelaki itu sudah berada di tempat yang seharusnya. Oh, aku benar-benar bahagia. Dari tadi aku tidak berhenti tersenyum di dalam kamar ini. Setelah ketakutan melandaku, sekarang aku benar-benar tenang. Berita bahagia saat aku tahu Zayn masuk ke dalam rumah sakit jiwa. Ya, dia itu gila! Seharusnya aku menyadarinya. Dia itu psikopat yang gila. Tapi ia bukan psikopat yang sangat kejam. Oh, sekarang aku merasa bebas sepenuhnya.
            Dravin harus pergi kembali ke urusan pentingnya setelah tadi pagi ia membicarakan tentang Zayn. Dan aku langsung tidak bisa tidur kembali. Padahal aku tahu, aku kekurangan tidur. Knop pintu bergerak, seseorang mendorong pintu kamarku, dan itu adalah Justin. Aku tersenyum padanya saat ia menutup pintu.
            “Alex,” ia berbisik dan tersenyum. Entah mengapa ia terlihat begitu cerah pagi ini. “Kupikir kau melanjutkan tidurmu, bagaimana perasaanmu?”
            “Senang, bahagia, aku tidak tahu,” balasku langsung. Kuulurkan kedua tanganku padanya, seolah-olah aku adalah anak kecil yang meminta untuk digendong. Ia memberikan kedua tangannya juga padaku. Aku sangat menyukai lelak inil. Bersamanya, aku merasa terlindungi. Kutarik tangannya agar ia terjatuh di atas. Aku tertawa saat tubuhnya benar-benar menindih tubuhku.
            “Justin, aku benar-benar senang!” aku berseru padanya. Kepalanya berada di atas dadaku dan kulihat ia menelan ludahnya berkali-kali.

            “Aku senang jika kau senang,” ujarnya mendongakan kepalanya untuk melihatku. Aku ingin mencium bibirnya sekarang. Kurasa aku benar-benar menyukai lelaki ini sekarang. Kutarik kepalanya agar sejajar dengan kepalaku. Kemudian kepala kami sudah berhadapan. Kukecup bibirnya dengan lembut, ia membalas kecupanku. Perasaan ini ..oh perasaan ini kembali melanda tubuhku. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar