***
Jantungku
berdetak dengan normal saat aku melihat E. L James yang terduduk di sofa
bersama dengan Gavin. Justin duduk bersebelahan denganku, ia tampak sibuk
dengan ponselnya. Namun aku menyikutinya agar ia berhenti bermain dengan
ponselnya. Untungnya, Justin meresponnya. Dravin terduduk di salah satu kursi
yang berada di sampingku. E. L James dari tadi tersenyum dengan sumringah
melihat kami, begitu juga dengan Gavin.
“Ada
apa?” tanya Justin yang terlihat begitu berkuasa di tempat ini, padahal Gavin
yang paling berkuasa. Ia seperti Christian Grey. Kutatapi dirinya yang melihat
pada E. L James dengan lurus. Astaga, bulu matanya. Bibirnya. Hidungnya.
Bagaimana bisa lelaki ini terlihat begitu sempurna? Aku berharap tidak ada
orang yang membangunkanku dalam mimpi ini.
“Justin,
Christian Grey. Astaga, aku sudah melihat kalian kemarin. Gavin datang ke
rumahku dan melihat perkembangan kalian yang sangat pesat. Kedekatan kalian,
aku tidak bisa berkata-kata. Terima kasih sudah cukup?” tanya James dengan
senyuman sumringah. Apa maksud kedatangannya ke sini? Hanya untuk mengucap
terima kasih? Jika Christian Grey benar-benar ada di dunia ini, pasti ia sudah
menganggap ini hanyalah buang-buang waktu. Justin menggelengkan kepalanya.
Berusaha untuk tidak melotot, aku meremas bajuku dengan erat. Mengapa ia
terlihat begitu perhitungan? Maksudku, sudah beruntung ia bisa memainkan peran
Christian Grey. Jika tidak ada E. L James yang membuat cerita ini, kami tidak
akan pernah bertemu.
“Maksudmu?”
James tersinggung akan pernyataan Justin.
“Aku
hanya ingin mengurangi kekerasan di sini,” ujar Justin berwibawa. Dravin
terkekeh dan aku langsung memelototinya. Atas dasar apa dia terkekeh seperti
itu? Tidak ada yang lucu di sini. Justin hanya ingin mengajukan permintaannya
pada Gavin atau E. L James. Sebenarnya, E. L James hanya perlu duduk, tunggu
delapan bulan, dan jadi. Filmnya akan segera keluar dan namanya akan melejit
tinggi, lebih dari pada buku yang terjual. Kurasa begitu.
“Mengapa?”
“Aku
tidak tega melihat seseorang dipukul,” ujar Justin.
“Diterima.
Sebenarnya, ada pemeran pengganti Alex –“
“Sekalipun
itu bukan Alex. Tetap saja,” potong Justin saat Gavin berujar. Kemudian Gavin
menganggukan kepalanya, mengerti. “Jadi
hanya ini yang kalian inginkan? Bertemu dengan kami untuk mengucapkan terima
kasih? Terima kasih kembali. Aku dan Alex punya urusan sebentar,”
“Justin!”
aku menegurnya. Lancang sekali ia berbicara seperti itu pada sutradara. Ada ada
dengannya?
“Tidak
apa-apa. Sekali lagi, terima kasih sudah sangat bersedia untuk memainkan
pasangan ini. Aku sangat bersyukur,”
“Aku
juga sangat bersyukur, James. Aku bisa memerankan peran Anastasia Steele,
seperti mimpi jadi kenyataan,”
“Kita
tidak bisa membicarakan omong kosong ini,” ujar Justin memotongku saat aku
ingin melanjuti ucapanku, “aku mempunyai urusan denganmu. Dravin, aku harus
meminjamnya,” ujar Justin menarik tanganku untuk bangkit dari sofa ruang tamu
Escala. Dravin hanya menganggukan kepalanya untuk mengizinkan Justin menarik
tanganku.
Kami
berjalan menuju kamarku dan Christian. Justin menutup pintu kamar kami dan
menguncinya. Tangannya sudah terlepas dari tanganku dan aku mulai melangkah
jauh darinya. Ada apa dengan Justin? Aku bersandar pada pintu kaca dan melipat
kedua tanganku dengan malas. Apa maksudnya? Ini sungguh aneh. Tadi pagi ia
sungguh manis, tapi pagi menjelang siang ini, ia tampak menyebalkan. Setelah
apa yang tadi ia katakan pada E. L James. Ia kasar dan tidak menyaring kata-katanya
sebelum berbicara.
Justin
mendekatiku, berjalan dengan perlahan. Nafasnya terengah-engah. Apa-apaan itu?
“Theo
menghubungiku,”
“Oh?”
“Ya,
dia membencimu,” ujarnya lagi. Lalu apa? Aku patut dibenci olehnya karena
mantan pacarnya selalu mendekatiku dan aku tidak keberatan.
“Kupikir
kau yang menghubunginya,”
“Dia
yang pertama menghubungiku tapi aku tidak menjawab karena begitu sibuk dengan
penggemarku. Dia akan datang,” ujar Justin yang sekarang sudah berada di
depankuj. Aku menegakan tubhuku, tidak terkejut. Sudah pasti Theo akan datang
untuk melabrakku.
“Aku
tidak mau kau bertengkar dengannya,” tambah Justin mulai mengelus pipiku. Aku
memegang tangannya untuk berhenti menyentuhku. Aku tidak ingin ia berbicara
semesra ini denganku setelah kejadian tadi. “Aku sudah melarangnya untuk tidak
datang ke sini. Tapi dia keras kepala,” ujarnya lagi. Aku mendesah pelan .
Sebenarnya, apa yang Justin harapkan? Kekasihnya tahu keberadaanku, kekasihnya
kaya, dia bisa dengan mudahnya pergi ke sini dan memarahiku, membentakiku lalu
mencium Justin sepuasnya. Menjijikan. Aku ingin muntah sekarang. Astaga.
“Oh,
Justin!” aku mendesah pelan dan membenturkan kepalaku pada dada Justin yang
begitu keras. “Apa yang kauharapkan darinya?”
“Aku
berharap agar ia menjauhiku, aku tidak ingin kau dibenci oleh lelaki
sepertinya,”
“Semua
orang berhak membenci siapa saja,”
“Dia
tidak. Alasannya sangat idiot,”
“Astaga,
Justin. Kau memintaku untuk masuk ke dalam kamar ini hanya untuk membicarakan
hal bodoh seperti ini?” aku melenguh pelan. Justin mendorong tubuhku dengan
tangannya berada pada kedua bahuku.
“Tidak.
Universal Studios sangat beruntung memiliki kita. Karena kita akan selalu
latihan,” ujarnya yang membuatku sedikit bingung akan pernyataannya. Maksudnya
apa?
“Latihan?”
“Bercinta,
sayang.” Ia mulai mengecup bibirku dengan lembut, “bercinta.” Ulangnya lagi dan
kali ini ia benar-benar mencium bibirku.
****
“Ah,
tidak Justin!” aku mendorong tubuhnya saat aku benar-benar sudah terlarut dalam
ciumannya. Sialan. Tapi ia menahanku agar bibir kami tetap bertemu. Berusaha
sekuat mungkin, aku mendorong dadanya yang sekarang sudah telanjang. Lidahnya
menjilat-jilat bibirku dengan seksi, sialan, aku benar-benar terangsang. Justin
terkekeh bagaikan psikopat yang ingin memperkosa korbannya sebelum membunuhnya.
Oh, ini sangat menyeramkan. Sekarang tangannya sudah berada pada dadaku,
meremasnya satu kali dan aku mendesah. Tubuhku terapit di antara tubuhnya dan
tembok yang berada di belakangku. Berkali-kali aku berusaha untuk menjauhinya
tapi ia selalu membuaiku dengan ciumannya. Sehingga sekarang aku hanya memakai
bra dan celana dalam. Sedangkan Justin hanya memakai boxer.
Kembali
lidahnya bermain di sekitar bibirku, membuat bibirku semakin basah saja. Aku
tak bisa menolaknya, kali ini, tidak bisa.
“Oh,
sayang, Ana. Aku benar-benar membutuhkanmu,” ujarnya melepaskan bibirnya dari
bibirku, namun hanya berjauhan satu inchi. Mataku bertemu dengan matanya,
lengannya sudah melingkar di sekitar pinggangku. Tubuhku sudah menempel dengan
tubuhnya yang berkeringat. Oh, sudah berapa lama kah aku memberontak padanya?
Aku meleleh saat matanya yang berwarna abu-abu itu menatapku dengan intens.
Kutelan ludahku untuk menahan makanan lezat yang akan kucicipi sebentar lagi.
“Apa
kau menginginkan ini juga, Ana?” tanyanya berbisik. Bibirnya tidak tersenyum,
melainkan menjadi garis lurus yang tegas. Kuanggukan kepalaku dengan pelan.
Untuk apa aku menolaknya jika sebenarnya aku menginginkannya?
“Benarkah?
Apa kau benar-benar menginginkannya?” tanyanya menggodaku saat jari-jarinya
yang berada di pinggulku memainkan pinggiran celana dalamku. Kuanggukan
kepalaku.
“Jawab
aku,” paksanya.
“Ya,”
“Ya
apa?”
“Ya
sir,” bisikku dengan pelan, bahkan mungkin hanya aku yang bisa mendengarkannya.
Nafasnya bersahut-sahutan dengan nafasku, membuat suara yang sangat
merangsangku. Dia menganggukan kepalanya dan menyeringai padaku. Dengan
hati-hati, ia menarik pinggulku ke arahnya. Dapat kurasakan ereksinya menempel
pada perutku. Sialan benar.
“Lingkarkan
kakimu di sekitar pinggangku, sekarang,” ujarnya dengan tegas. Kulakukan apa
yang baru saja ia katakan dan Justin mulai melangkah menuju tempat tidur.
Tanganku melingkar di sekitar lehernya dan daguku berada pada bahunya yang
telanjang. Oh, sungguh, aku benar-benar basah karenanya. Ia mulai menaruhku di
bawah punggungku dan di atas kasur. Kulepaskan tanganku dari lehernya dan mulai
menatapnya, kembali. Kakiku tak lepas dari pinggangnya yang benar-benar seksi.
Oh, otot-ototnya. Kutelan ludahku, menahan agar air liurku tak tertumpah keluar
dari mulutku.
Ia
mulai menindihku. Kedua siku-sikunya berada di kedua sisi kepalaku dan wajahku
benar-benar dekat dengan wajahnya. Perasaan ini ..oh, perasaan apa ini. Ia
menatapku dengan tatapan intens. Jari-jarinya yang panjang mulai mengelus
rambutku dengan lembut. Berusaha. Aku berusaha untuk menahan kepalaku untuk
tidak maju agar aku bisa menciumnya. Itu akan merusak segala momen intensitas
yang ada.
“Apa
kau tahu sekarang kau terlihat begitu menggairahkan?” tanyanya berbisik. Aku tidak
menjawabnya, tapi aku mengedip. Ia menyeringai. Salah satu tangannya mulai
pergi dari kepalaku dan mengarah pada buah dadaku yang masih tertutupi oleh bra
berwarna biru muda. Lalu tangannya mulai menangkup salah satu buah dadaku dan
meremasnya satu kali. Aku berusaha untuk tidak mendesah, tapi aku mendengus.
“Katakan
padaku, Ana,”
“Aku
tidak tahu,”
“Ya,
kau tahu. Kau selalu menggairahkan setiap saat. Oh, sialan,” Justin mengerang
saat ia mulai memajukan ereksinya pada milikku yang sudah sangat basah namun
masih tertutup celana dalamku. Aku mendesah dan memejamkan mataku, berusaha
untuk tidak merasakan kenikmatan yang benar-benar membuatku ingin menggores
tubuh Justin dengan kuku-kukuku sekarang. Justin memejamkan matanya lalu
mendengus saat ia menggerak-gerakan tubuhnya di atasku sehingga milikku semakin
basah. Aku merintih saat jari-jari tangannya meremas buah dadaku dengan lembut
kemudian ia menarik turun braku hingga mengantung tepat di bawah buah dadaku..
Mulutnya dengan buas mulai mencium leherku, pundakku dan berakhir pada buah
dadaku.
“Ini
benar-benar ..menggiurkan –mmh!” ia mulai mencium putting buah dadaku dan
memain-mainkannya dengan lidah terampilnya. Aku mengerang dan mendongakan
kepalaku ke belakang, menekan kepalaku pada kasur yang empuk. Jari-jariku mulai
meremas rambutnya yang halus. Ia menggeram.
“Alex!”
sebuah suara terdengar dari luar. Sontak Justin melepaskan mulutnya dari dadaku
dan bibirnya dilumuri oleh air liurnya sendiri. Ia terlihat begitu
menggairahkan dan sangat membuatku terangsang. Aku ingin dirinya berada dalam
diriku sekarang.
“Alex,
apa kau baik-baik saja di dalam?” tanya Gavin mengetuk-ketuk pintu kamarku.
“Y-ya,”
“Kurasa
hari ini kita bisa melanjutkan pekerjaan kita. Seluruh kru sudah siap di
apartemen, Fransesco menunggumu. Ayo cepat,” ujar Gavin yang merusak segala
momen panas ini. Aku mendesah pelan –marah- dan menatap Justin juga terlihat
marah karena acaranya untuk meniduriku gagal.
“Baiklah,”
aku berteriak sambil mendorong bahu Justin untuk menjauh dari tubuhku. Sial,
sial, sial!
****
“Subuh.
Kita baru saja menyelesaikannya subuh ini, mataku rasanya ingin ditusuk lebih
dalam lagi,” ujar seseorang dari belakang. Aku mengabaikannya sambil berjalan
tertatih-tatih menuju mobil milik Dravin. “Selamat tinggal, Ana!” teriak orang
itu yang membuatku menoleh ke belakang dan melihat Kate yang melambaikan
tangannya untuk masuk ke dalam apartemen. Ternyata dari tadi ia menggerutu tak
jelas. Aku tidak tahu tadi kalau itu adalah dia, suaranya sama seperti
wanita-wanita pada umumnya. Oh, sial. Kepalaku sekarang begitu pening. Aku
tidak percaya kalau Gavin akan memperkejakanku selama delapan bulan. Kurasa
delapan bulan tak cukup untuk hasil yang maksimal. Meski aku tahu, tidak banyak
adegan aksi di dalam film ini. Tapi tetap saja, satu hari tidak cukup untuk
mengambil beberapa adegan. Kukeluarkan kunci mobil Dravin dari kantong celanaku
dan mulai membuka kunci mobil
Kubuka
pintu mobil Dravin untuk tidur di dalamnya. Dravin kembali pergi setelah ia
meninggalkan mobilnya untukku. Entah ia harus pergi kemana, tapi katanya ia
memiliki urusan penting. Justin sedang pergi menuju Escala karena Theo ingin
menemuinya. Karena itu aku tidak datang ke Escala. Justin yang melarangku
karena ia takut Theo akan menakutiku. Tapi dari semua itu, aku sangat takut
pada Zayn. Ia tidak terlihat seharian ini setelah tadi pagi ia bertemu denganku
di kamarku dan restoran lalu menghilang begitu saja. Aku takut jika ia masih
menginginkan tubuhku dan memperkosaku. Aku tidak menyukainya. Dan mengapa tiba-tiba
ia muncul kembali dalam hidupku? Apa dia sudah tidak mendapatkan mainannya
sendiri?
Tiba-tiba
aku merasa ketakutan. Kutatapi ke sekelilingku. Jalanan kosong, mungkin hanya
beberapa mobil yang melewatinya. Kuputuskan untuk menutup kaca-kaca mobil dengan
tirai yang sudah dipasang oleh Dravin. Ia bilang tirai ini berguna untuk
menutupi diri dari paparazzi. Tapi sama saja jika paparazzi sudah mencatat
nomor polisi mobil kita, aku mendengus saat ia bilang seperti itu. Kumasukan
kunci untuk menyalakan mesin mobil agar aku menyalakan AC. Saat menyala, aku
mulai bersandar dengan tenang. Angin AC mulai menerpa tubuhku. Mmh, sangat
nikmat.
Aku
berada di kursi depan, bukan bagian kursi menyetir. Kutatapi kaca bagian depan
mobil dan tersentak saat seseorang tiba-tiba mengetuk kaca mobilku. Oh, Tuhan.
Siapa ini? Aku tidak mendengar suara.
“Alex,
buka pintunya,” ujar seorang lelaki. Bukan Justin. Dravin. Atau Gavin. Zayn,
lebih tepatnya. Oh, Tuhan, Tuhan, Tuhan! Aku ingin mati sekarang. Darah,
jambakan rambut, pukulan. Astaga, semua itu kembali padaku. Kutatapi tubuhku
yang pori-porinya mulai meremang.
“Alex,
aku janji tidak akan menyakitimu,” kudengar ucapannya sekali lagi. Bagaimana
bisa aku memercayainya? Aku takut. Sangat takut, sampai-sampai aku tidak bisa
merasakan tubuhku lagi. Aku mati rasa. Darah, darah, darah. Jeritan. Oh, tempat
itu. Ruang tata rias. Gudang. Rumah Zayn. Dalam mobil. Di mana lagi? Aku tidak
tahu. Semuanya berputar-putar kembali di otakku dan kepalaku mulai terasa
pening. Aku ingin muntah.
“Alex,
tolong buka jendelanya. Aku benar-benar merindukanmu,” suaranya menyiratkan
suatu ketakutan dan kesakitan yang mendalam. Oh, Tuhan. Apa aku harus melihat
wajahnya sekarang? Begitu menyakitkan saat ia menyeringai padaku saat itu.
Tertawa saat aku menderita. Dan ia menggeram nikmat saat aku kesakitan. Aku
telanjang tadi pagi karenanya. Ya, karenanya, aku sangat yakin dengan itu.
Dengan pelan, aku membuka tirai kaca mobil dan melihat wajahnya yang sudah
berada di depanku. Kupejamkan mataku saat aku melihatnya tersenyum. Dia bahkan
tidak lebih dari iblis. Ya, karena dia memiliki tubuh manusia. Coba dia setan,
pasti dia adalah iblis teman dari Lucifer.
“Alex,
aku tidak bisa melihatmu sayang,” Sayang.
Tidak, itu panggilan kotor darinya. “Aku janji,” kali ini berucap dengan
sungguh-sungguh. Mungkin sedikit kepercayaan bisa membuatnya sedikit lega.
Mungkin sekarang aku gila karena telah melakukan ini.
“Akhirnya,”
ia mendesah pelan dan memberikan senyuman manis padaku. “Aku sangat
merindukanmu,” lanjutnya lagi, kali ini tangannya masuk ke dalam mobilku.
Tangannya bergelanyut pada kaca mobilku yang terbuka setengah. Aku menjauh. Tak
rela jika ia menyentuh tubuhku untuk yang kesekian kalinya setelah
bertahun-tahun lamanya.
“Jangan
menyentuhku,” suaraku serak, aku benar-benar ketakutan.
“Baiklah,
aku tidak akan menyentuhmu. Maaf tentang tadi pagi,” ujarnya mulai menarik
tangannya keluar dari dalam mobil. Aku bernafas dengan lega.
“Untuk
apa kau datang menemuiku?”
“Aku
baru tahu kalau kau ternyata bermain film panas,” ujarnya tampak santai. Aku
tidak membalasnya dan berusaha untuk tidak terlihat gugup atau ketakutan. Tapi
kurasa ia tahu kalau aku benar-benar ketakutan karenanya. “Tenanglah, Alex. Aku
hanya ingin menemuimu, bercinta lalu pergi. Itu mudah untuk dijalankan,”
ujarnya lagi. Kali ini membuatku bergidik ketakutan. Bercinta? Oh, tidak. Itu
tidak boleh. Dengan cepat aku mulai menarik ke atas tombol kaca mobilku agar
tertutup.
“Tidak,
tidak! Aku hanya bercanda,” ia berusaha untuk menahanku dan aku berhenti
menaikan tombol itu. Kutelan ludahku dan menatap matanya.
“Aku
tidak percaya,”
“Kau harus percaya padaku. Aku sudah
berubah,”
“Lalu siapa yang menelanjangiku tadi pagi?”
“Alex,”
ia mendesah dan kali ini aku menurunkan kembali kaca mobilku karena tangannya
hampir terjepit. “Maafkan aku. Maafkan aku. Aku tidak berniat untuk melakukan
itu padamu. Tapi sungguh, aku justru masih memperlakukanmu dengan baik. Aku
hanya membuka bajumu untuk melihat pemandangan indah sejenak dan melihat
wajahmu yang tenang sedang tertidur. Aku menyukainya,”
“Jangan
membual,” kali ini aku tampak berani.
“Astaga,
Alex. Aku masih tidak percaya kalau kau akan bermain dengan lawan main yang
gay,”
“Dia
tidak gay!” kali ini aku tidak bisa menerima kenyataan. Ternyata seperti ini
rasanya menjadi ibuku yang tidak percaya kalau Justin adalah gay. Tapi aku
memang tidak bisa menerima kenyataan yang sebenarnya setelah ia tidur denganku
beberapa kali.
“Alex,
aku ingin sekali bercinta denganmu,” ujarnya mengalihkan topik pembicaraan.
Lancang sekali dia berbicara seperti itu.
“Jika
itu yang kaumau, aku tidak bisa melakukannya,” ujarku mulai menaikan kembali
kaca mobil. Tapi tiba-tiba Zayn menaikan kunci mobil dan membuka pintu mobil.
Sehingga ia bisa masuk ke dalam mobilku begitu cepat lalu tertutup.
Hening.
Aku ingin menjerit. Ia sudah berada di atasku, ia menekan alat untuk menuruni
kursi mobil ke belakang. Sekarang ia benar-benar berada di atasku. Aku ingin
menjerit sangat. Ia mengunci pintu mobil dan menutup kaca mobil. Zayn tersenyum
penuh kemenangan di atas. Aku ingin menangis. Tak terasa, air mata yang panas
mulai mengalir.
“Oh,
Alex. Jangan menangis sayang,” ia mulai mengelus pipiku. Aku memecah!
“Sssh,
tidak. Tidak, aku tidak akan menyakitimu,” ujarnya mulai menghapus air mataku.
Tapi aku semakin menangis karena ketakutan yang begitu mendalam.
“Sekarang
kau adalah milikku. Setidaknya untuk saat ini.” Ujarnya mulai menindih tubuhku.
Oh Tuhan! Justin, dimana kau? Oh Tuhan, tolong kirimkan dia sekarang.
***
*Author POV*
“Ssh,
sayang. Jangan menangis, kumohon,” bisik Zayn terus mengelus pipi Alex dengan
lembut. Zayn memberikan raut wajah kasihan dan khawatir, tapi dalam hatinya ia
senang karena akhirnya ia bisa mencicipi tubuh gadis yang sudah lama ia
mainkan. Setelah hampir gila selama beberapa tahun karena tidak ada gadis ini,
akhirnya ia mendapatkannya. Ia sudah tahu, gadis ini akan menangis dan
meronta-ronta padanya. Tapi kebutuhan ini telah ia tahan lama sekali. Ia
memilih waktu yang sangat tidak tepat. Disaat Alex benar-benar tengah sibuk
dalam dunia hiburan ia datang kembali. Ia dapat merusak segala kesenangan dan
fokusnya Alex saat bekerja. Bahkan mungkin, film ini tak akan ditayangkan.
“Kau
sudah berjanji padaku untuk tidak menyentuhku,”
“Aku
tidak berjanji untuk tidak bercinta denganmu sayang,” ujarnya dengan lembut dan
wajahnya sudah berhadapan dengan wajah Alex. Mata Alex benar-benar terpejam dan
bisikan doa selalu ia sebutkan. Berharap akan ada pahlawan yang akan
menyelematkannya. Itu akan menjadi sebuah keajaiban yang berarti dalam seluruh
hidupnya. Dan ia akan berhutang pada orang yang akan membantunya. Tapi itu
tidak mungkin. Malam ini sangat sepi, bukan malam ini, subuh ini. Tidak ada
orang yang berlalu lalang di sekitar sini. Tidak ada. Apa yang harus ia lakukan?!
Lelaki ini sudah mengunci tubuhnya, bahkan ia tidak bisa bernafas.
“Kumohon,
jangan,”
“Jangan
apa? Jangan berhenti?” tanya Zayn mulai memagut bibir Alex, tapi dengan cepat
Alex menggeleng-gelengkan kepalanya sehingga setiap kali Zayn mencoba untuk
menciumnya, ciumannya meleset. Ia hanya dapat mengecup pipi, rahang bahkan
hanya sudut bibir Alex. Kehilangan kesabaran, Zayn menjauh dari Alex dan
menampar wajah Alex. Alex mengerang.
“Diam
bodoh!” bentak Zayn yang membuat air mata Alex semakin mengalir. Pipinya
memerah akibat tamparan dari Zayn.
“Kaubilang
kau tidak ingin menyakitiku,” bisik Alex bersusah payah untuk berbicara. Bahkan
sekarang tenggorokannya sakit karena isak tangisnya yang memicu tenggorokannya
tersedak.
“Ikut
denganku, Alex,” ujar Zayn tiba-tiba saja berubah menjadi suara yang normal.
Namun suaranya juga tidak menyiratkan apa pun. Kebencian, kesakitan, atau
kerinduanpun tidak ada. Hanya sebuah permintaan. Alex memejamkan matanya dari
tadi, tidak sanggup untuk melihat mata Zayn yang masih dipenuhi dengan api
kemarahan. Namun Zayn berusaha untuk tidak membentak gadis ini sekali lagi.
Tamparan sudah cukup.
“Buka
matamu Alex, kita tidak punya banyak waktu. Kau akan hidup senang bersamaku
..di Swiss,” ujar Zayn berusaha selembut mungkin. Ia benar-benar ingin membawa
gadis ini pergi bersamanya. Menghilang dari apa pun. Zayn tidak peduli jika
film ini tidak akan pernah ada di dunia karena Alexis. Ia tidak peduli jika ibu
Alex mengkhawatirkannya. Yang ia pedulikan hanyalah egonya. Ia harus
mendapatkan gadis ini kembali. Gadis yang selalu memenuhi kebutuhannya tiap
hari. Mungkin Zayn memang harus meminta pelan-pelan sampai gadis ini menyerah
padanya. Ke Swiss adalah jalan yang tepat. Alex tidak mungkin dikenal di Swiss.
Mungkin hanya beratus-ratus orang yang mengenalinya, tapi itupun orang-orangnya
berpencar.
“Alex,
buka matamu,” desak Zayn meminta, lagi. Alex masih menangis dan terus
memejamkan matanya. Air mata Alex sudah membasahi rambutnya, bahkan ke
telinganya. Berusaha sebisa mungkin, Alex membuka matanya. Air matanya sudah
membasahi matanya, bahkan alisnya pun sudah basah.
“Bagus.
Bagaimana? Kau mau ikut tidak? Kita bisa pergi malam ini. Pergi denganku atau
kuperkosa kau di luar mobil ini. Bahkan jika itu maumu, aku akan membawamu ke
atas kap mobil dan menampar bokongmu yang lezat itu sesuka hatiku. Tidak akan
ada yang mendengar, karena aku akan membungkam mulutmu, dengan ..” –Zayn
membuka bajunya- “Dengan ini,” ujarnya memperlihatkan bajunya yang berwarna
hitam itu. Warna itu sama seperti warna dalam hati Zayn. Hitam, kelam dan
gelap.
Alex
masih terdiam dalam isak tangisnya. Air matanya sudah berhenti, namun isak
tangisnya membuat dadanya terus membusung ke arah Zayn. Membuat Zayn berusaha
untuk tidak langsung menyetubuhi gadis manis ini.
“Tidak
..” lirih Alex berbisik.
“Apa?”
“Tidak,
aku tidak akan pernah ikut denganmu. Bahkan jika aku harus ke surga bersamamu,
aku tidak akan pernah ikut denganmu!”
“Surga,
ternyata kau masih percaya dengan surga. Surga itu tidak ada bodoh!” Zayn
terkekeh pelan dengan ucapan konyol Alex. Dengan semampu Alex, ia menatap Zayn
dengan tatapan berani. Ia mengumpulkan segala kekuatannya untuk menampar Zayn.
Dan ..SLAP! Benar saja. Alex menampar Zayn hingga wajah Zayn menoleh ke sebelah
kanan.
“Tentu
saja kau tidak percaya bahwa surga itu ada! Karena tempatmu itu hanyalah di
neraka sialan! Kau gila!” teriak Alex sekencang mungkin. Dengan cepat Alex
mendorong tubuh Zayn ke belakang sehingga punggung Zayn terlempar pada
dashboard.Alex menarik tombol kunci mobil ke atas sehingga ia dapat membuka
pintu itu. Tangannya berusaha untuk menyingkirkan kaki Zayn sebisa mungkin. Dan
akhrinya bisa, tangan Zayn mulai meraih pinggang Alex saat kaki Alex sudah
berada di luar.
“Kau
mau kemana jalang?!” teriak Zayn berusaha untuk bangkit dari dashboard.
“Pergi
dari kau, berengsek!” Alex mulai melepaskan jari-jari Zayn yang mencengkramnya
hingga ia harus meringis kesakitan. Kemudian ia berhasil dan berusaha untuk
keluar. Sedangkan Zayn terjerembap jatuh ke lantai mobil. Tapi Alex tertawa-tawa bagaikan orang gila.
Seakan-akan apa yang Alex lakukan adalah hal yang benar-benar lucu. Seolah-olah
Alex mengajaknya untuk bermain lari-larian.
Alex
berlari dan berteriak minta tolong kepada siapa pun. Ia berusaha untuk berlari
menuju apartemen Kate yang dekat. Sejenak ia berpikir, mengapa Kate ada di
sini? Bukankah seharusnya ia rehat sebentar karena ia tidak diperlukan?
Pemikiran itu ia tepis saat ia melihat Zayn yang sudah keluar dari mobil. Alex
berlari menuju apartemen namun ia tersandung di trotoar. Ia menangis.
“Mau
kemana Alex sayang? Aku ada di sini, jangan berteriak. Kau akan membangunkan
orang-orang,” ujar Zayn berlari ke arah Alex dan HAP! Kaki Alex telah berada
dalam cengkraman Zayn.
“Lepaskan
bajingan!” teriak Alex menarik-narik kakinya dari cengkraman Zayn.
“Sialan!”
BUG!
Sebuah pukulan telah melayang.
“Justin!”
Kemudian
hening berkepanjangan.
***
*Justin Bieber POV*
Kutatapi
Alex yang berada di atas kasur. Ia terlihat begitu tenang pagi ini. Gavin
memperpanjang kontrak kami setelah kejadian subuh tadi. Katanya, Alex mungkin
harus memiliki waktu yang banyak untuk bisa bermain peran Anastasia Steele
setelah kejadian tadi. Mungkin Alex akan sedikit terguncang sehingga mungkin
kefokusan Alex menghilang. Aku menyetujuinya. Kami akan bermain film ini selama
satu setengah tahun. Bayangkan, satu setengah tahun. Aku akan bahagia.
Sialan,
Zayn mencoba untuk memperkosa Alex. Untung paparazzi tidak ada saat itu. Aku
bersyukur. Dan Zayn, dia sedang berada di kantor polisi bersama dengan Dravin.
Saat aku menghubungi Dravin kalau Zayn berusaha untuk memperkosa Alex, Dravin
muncul dalam waktu tiga puluh menit di apartemen Kate. Aku sudah memanggil
polisi saat aku memukul tengkuk Zayn. Dia pingsan kira-kira sepuluh menit dan
saat itu juga polisi datang.
Dravin
tampak begitu pucat saat ia datang. Terlihat sekali ia khawatir dengan Alex.
Tapi untungnya ada aku yang menolong Alex. Aku merasa seperti pahlawan
sekarang. Kuharap Alex berterima kasih padaku. Aku tidak ingin ucapan terima
kasih padanya. Tapi sesuatu yang lebih. Aku ingin berkencan dengan Alex. Aku
terduduk di sisi tempat tidur sambil memegang tangan Alex yang benar-benar
dingin. Aku bisa melihat dari matanya tadi subuh, ketakutan. Ketakutan yang
mendalam. Kuharap Zayn masuk penjara karena berusaha untuk memperkosa Alex. Dan
kurasa bukan hanya Alex yang telah ia perkosa. Pasti banyak sekali gadis yang
telah diperkosanya. Melihat Zayn sama seperti psikopat.
“Dravin,”
aku terkejut saat tiba-tiba saja ia membuka pintu kamarku dan Alex. Ia melihat
dengan mata yang benar-benar merah. Kurasa ia kurang tidur.
“Alex!”
desahnya bersyukur saat ia melihat Alex yang tenang dalam tidurnya. “Apa dia
baik-baik saja?”
“Dia
hanya butuh tidur,” ujarku, “bagaimana Zayn?”
“Dia
dibawa ke Rumah Sakit Jiwa,” aku ingin tertawa. Serius, mengapa? Seperti bisa
membaca pikiranku, Dravin menjawab:
“Ternyata
dia selama ini gila. Dia terobsesi pada Alex semenjak aku mengambil Alex
darinya. Intinya dia gila. Bahkan ia tertawa-tawa saat polisi bertanya-tanya
padanya. Aku kasihan dengannya,”
“Bagus,”
ujarku menyetujuinya.
“Bisakah
kau keluar sebentar? Aku ingin membicarakan sesuatu dengan Alex,” ujar Dravin,
memintaku. Aku hanya menganggukan dan beranjak pergi dari kasur. Namun aku
khawatir dengan keadaan Alex yang kurasa ia masih kurang tidur. Tapi mungkin,
Dravin memang membutuhkan privasi. Aku menutup pintu kamarku dan berjalan
menyusuri lorong untuk sampai pada ruang tamu.
“Justin!
Bagaimana Alex? Aku benar-benar kasihan dengannya,” ujar Theo yang tiba-tiba
saja berada di atas sofa dan terkejut saat aku muncul. Apa-apaan tiba-tiba ia
berada di sini? Dan mengapa ia tiba-tiba saja khawatir dengan keadaan Alex?
“Maksudmu
apa tiba-tiba datang ke sini?” tanyaku benci akan kedatangannya.
“Aku
benar-benar minta maaf Justin. Kurasa tindakanku kemarin adalah tindakan yang
bodoh. Kita sudah membicarakannya. Maaf karena aku bersikap egois. Aku hanya
ingin bertemu dengan orang yang selalu menginspirasiku,”
“Dia
sedang tidur dan dia baik-baik saja. Apa kau bisa pergi dari sini, Theo?”
tanyaku ketus padanya. Ia menelan ludahnya dan menatapku dengan pandangan tak
percaya. Sekarang aku membencinya setelah kemarin ia berteriak-teriak memalukan
di sini, Escala. Ia terus memaki-maki Alex sebagai perebut kekasih orang. Aku
bahkan tidak mengerti apa yang sedang ia katakan. Dan aku ingin ia enyah dari
hadapanku sekarang! Wajahnya benar-benar memuakan. Aku benar-benar menyesal
telah bercinta dengannya. Telah mencium bibirnya berkali-kali. Aku menyesal
telah menjadi seorang gay! Aku tidak tertarik lagi dengan lelaki. Dia yang
terakhir dan Alex adalah yang pertama dalam hidupku. Bahkan Alex akan jadi yang
pertama dan terakhir. Aku tidak akan main-main dengan perkataanku sendiri.
“Secepat
itukah kau berhenti mencintaiku?”
“Aku
muak denganmu. Aku mencintai Alex, aku sudah normal. Mengerti?”
“Ha-ha.
Normal. Kau bahkan tidak tahu bagaimana caranya bercinta dengan seorang
wanita!” ia mulai menangis dan tertawa sarkastik.
“Aku
bahkan sudah sering bercinta dengannya Theo. Oh, astaga. Desahannya,
rintihannya. Aku normal!” kali ini aku membentaknya.
“Aku
bersumpah untuk tidak pernah bertemu denganmu. Aku bahkan tidak akan pernah
ingin menonton film sialan ini! Aku membencimu!” jeritnya bagaikan perempuan.
Oh ya Tuhan, aku benar-benar sadar sekarang. Seharusnya aku menyukai wanita
sejak dulu. Dulu tidak bernar, Alex menyelamatkanku. Aku benar-benar
berterimakasih padanya.
“Kapan
pun kau tahu, kapan pun!” aku berucap saat ia melangkahkan kakinya untuk keluar
dari Escala. Kemudian ia membanting pintu. Oh, lucu sekali raut wajahnya tadi.
Merah padam dan menangis bagaikan perempuan. Aku ingin tertawa.
Hmm,
kurasa aku butuh tidur juga. Aku kurang tidur setelah tadi malam aku berdebat
dengan Theo. Ah ..akhirnya aku normal. Aku benar-benar normal. Bermain-main
dengan wanita lain, bagaimana? Bisakah aku? Hell yeah, tentu saja!
***
*Alexis Bledel POV*
Terima
kasih Tuhan! Terima kasih Tuhan! Terima kasih Tuhan! Akhirnya lelaki itu sudah
berada di tempat yang seharusnya. Oh, aku benar-benar bahagia. Dari tadi aku
tidak berhenti tersenyum di dalam kamar ini. Setelah ketakutan melandaku,
sekarang aku benar-benar tenang. Berita bahagia saat aku tahu Zayn masuk ke
dalam rumah sakit jiwa. Ya, dia itu gila! Seharusnya aku menyadarinya. Dia itu
psikopat yang gila. Tapi ia bukan psikopat yang sangat kejam. Oh, sekarang aku
merasa bebas sepenuhnya.
Dravin
harus pergi kembali ke urusan pentingnya setelah tadi pagi ia membicarakan
tentang Zayn. Dan aku langsung tidak bisa tidur kembali. Padahal aku tahu, aku
kekurangan tidur. Knop pintu bergerak, seseorang mendorong pintu kamarku, dan
itu adalah Justin. Aku tersenyum padanya saat ia menutup pintu.
“Alex,”
ia berbisik dan tersenyum. Entah mengapa ia terlihat begitu cerah pagi ini.
“Kupikir kau melanjutkan tidurmu, bagaimana perasaanmu?”
“Senang,
bahagia, aku tidak tahu,” balasku langsung. Kuulurkan kedua tanganku padanya,
seolah-olah aku adalah anak kecil yang meminta untuk digendong. Ia memberikan
kedua tangannya juga padaku. Aku sangat menyukai lelak inil. Bersamanya, aku
merasa terlindungi. Kutarik tangannya agar ia terjatuh di atas. Aku tertawa
saat tubuhnya benar-benar menindih tubuhku.
“Justin,
aku benar-benar senang!” aku berseru padanya. Kepalanya berada di atas dadaku
dan kulihat ia menelan ludahnya berkali-kali.
“Aku
senang jika kau senang,” ujarnya mendongakan kepalanya untuk melihatku. Aku
ingin mencium bibirnya sekarang. Kurasa aku benar-benar menyukai lelaki ini
sekarang. Kutarik kepalanya agar sejajar dengan kepalaku. Kemudian kepala kami
sudah berhadapan. Kukecup bibirnya dengan lembut, ia membalas kecupanku.
Perasaan ini ..oh perasaan ini kembali melanda tubuhku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar