Minggu, 10 Mei 2015

Lucky Slut Bab 17 - End

CHAPTER SEVENTEEN

            Lord Moore sangat benci bila ia menemukan dirinya tidak melakukan apa pun selain berbaring di atas tempat tidur. Ia memikirkan pekerjaan-pekerjaannya yang belum terselesaikan. Dan terutama, Grisell. Ia benci tidak bisa memerhatikan Grisell yang harus menemani Mildred selama season berlangsung. Ia tidak bisa melihat apa yang Grisell lakukan selama ia tidak ada. Sudah tiga hari, sejak Grisell mendatanginya, ia terus meminum obat-obatan sialan itu dan mengganti-ganti perban beberapa kali. Lukanya memang dalam—tapi untungnya tidak melukai salah satu organ tubuhnya—dan Lord Moore memang belum boleh melakukan apa pun yang berat. Dokter menganjurkan untuk tetap di tempat tidur sampai Lord Moore benar-benar pulih, tapi sungguh, itu bukan yang Lord Moore inginkan.
            Kesengsaraan Lord Moore bertambah saat Grisell lebih galak dibanding dokter yang menanganinya. Calon istrinya selalu panik bila Lord Moore belum makan atau belum meminum obatnya. Bahkan Grisell pernah memarahi Lord Moore saat pria itu berusaha menambah kayu di perapian—demi Tuhan, kayu-kayu itu hanya perlu didorong dengan tongkat. Tapi Grisell tidak menerima alasan apa pun. Dan yah, Lord Moore berakhir kembali di atas tempat tidur sambil membaca sebuah buku filosofi.
            Pendengarannya menajam saat ia mendengar suara langkah kaki terburu-buru, yang makin lama semakin dekat menuju pintu kamarnya. Pria itu menurunkan buku yang ia baca ke atas pahanya kemudian melihat ke pintu. Seperti dugaannya, pintu itu terketuk. Ia menggumam, mempersilakan siapa pun itu masuk. Ternyata Mildred. Adiknya yang berambut hitam itu menutup pintu kamarnya kemudian berjalan mendekatinya.
            “Ada apa, Adikku Sayang?” Tanya Lord Moore. Mildred tidak segera menjawab. Ia duduk di sisi tempat tidur Lord Moore. Rambut adiknya disanggul sedemikian rupa hingga menjadi sanggulan yang cantik. Dan jika Lord Moore perhatikan, pinggul adiknya ternyata lebih besar dibanding terakhir kali Lord Moore lihat. Mungkinkah adiknya sedang… jika memang benar, ia akan menjadi paman. Mildred menunduk, melihat jemari yang ia mainkan. “Apa ini tentang Grisell atau tentangmu?”
            “Dua-duanya, sebenarnya,” kata Mildred mengangkat tatapannya pada pria itu. Mendengar nama gadisnya, Lord Moore segera waspada. Dia memohon agar tidak ada kejadian buruk terulang kembali. Pertama, ia tidak ingin kehilangan Grisell. Kedua, ia tidak ingin tertusuk untuk yang kedua kalinya—bukan karena ia tidak ingin melindungi Grisell, ia benci masa-masa pemulihannya.
            “Yah, ada apa dengannya? Apa dia baik-baik saja?” Tanyanya sarat kekhawatiran.
            “Dia, awalnya, baik-baik saja. Sampai akhirnya… dia mendatangi Lady Henrietta di kediaman wanita itu. Begitu ia pulang, aku melihat luka di lengannya. Tidak besar memang, tapi tetap saja itu menjadi masalah. Grisell bercerita padaku kalau ia ingin mengunjungi Lady Henrietta—karena Lord Myhill memberitahunya kalau Lady Henrietta berusaha bunuh diri namun gagal—untuk mengajukan permintaan maaf. Entah ia meminta maaf untuk apa, tapi kuduga Lady Henrietta sudah...”
            “Gila?”
            “Aku tidak bilang begitu. Tapi kurasa kau benar. Dan Grisell berkata padaku untuk tidak memberitahumu tentang ini. Dan kau tahu aku tidak bisa menjaga rahasia dengan baik—oh Tuhan, itu memang kelemahanku—dan berjanjilah padaku untuk tidak membahas tentang ini atau memarahinya. Apa kau mengerti?”
            “Aku tak berjanji, tapi akan kuusahakan,” ucap Lord Moore mengembus nafas panjang. Ia ingin sekali memukul bokong Grisell sampai merah karena kenakalan wanita itu. Tapi sungguh, sekarang bukan waktu yang tepat untuk memikirkan bagaimana cara agar Grisell tidak bertindak bodoh seperti itu lagi. “Dan tentangmu?”
            Raut wajah yang khawatir dan ragu itu seketika hilang. Bibir merah muda Mildred tersenyum begitu saja. “Aku hamil,” katanya memegang perutnya sendiri lalu menekan pakaiannya sehingga bentuk perutnya yang bulat itu kelihatan.
            “Mildred! Selamat atas kehamilanmu,” ucap Lord Moore menyingkirkan buku di atas pangkuannya kemudian bergerak ke depan untuk memeluk adiknya. Luka di pinggangnya berdenyut-denyut begitu saja, tapi tidak membuat Lord Moore mengerang. “Sungguh berita yang sangat membahagiakan,”
            Mildred membalas pelukan kakaknya kemudian menarik diri. Lord Moore kembali bersandar di kepala tempat tidurnya, memerhatikan adiknya. Pantasnya pinggulnya lebih besar. Senyum Mildred seolah-olah tidak akan pernah hilang. “Aku tahu. Oh, ya ampun, sebentar lagi aku akan menjadi Ibu dan kau akan menjadi Paman,”
            “Apa Lord Paston sudah tahu?”
            “Tentu saja dia orang pertama yang kuberitahu! Dia kegirangan, kau harus melihat reaksinya,” katanya begitu senang. Lord Moore memerhatikan adiknya terdiam beberapa saat, dan lalu seperti terhantam sesuatu di kepalanya, adiknya berdeham, ragu. “Dan soal Lord Myhill dan Bridget…”
            “Kupikir hanya tentang Grisell dan kau,” ucap Lord Moore terdengar sarkastik, tapi sungguh ia tidak bermaksud. Mildred mengabaikan nada sarkastik itu lalu wanita itu mendesah nafas panjang seolah-olah enggan membicarakan tentang Lord Myhill dan adiknya. Tapi harus ada seseorang yang menyelamatkan situasi ini. Dan itu bukan dia—sudah jelas. Hanya Lord Moore yang dapat menyelesaikan masalah ini. Sejak Lord Myhill mengejek kakaknya di ruang kerja hampir seminggu yang lalu, Bridget selalu jengkel jika ada seseorang memuji Lord Myhill. Bahkan mendengar nama pria itu disebut, Bridget pasti akan selalu memutar bola matanya. Tapi penyakitnya yang belum berhenti sampai sekarang adalah ia selalu melukai tangannya bila merasa jengkel, gelisah atau ragu. Kemana pun Bridget pergi, tangannya harus dilapisi dengan sarung tangan tebal. Dan beberapa bulan terakhir ini, luka tangan Bridget berkurang sampai akhirnya gadis itu bertemu dengan Lord Myhill. Tangan Bridget harus diperban. Bukan apa-apa, tapi sepertinya Bridget harus tetap berada di dalam kamarnya agar ia tidak mendengar nama Lord Myhill.
            Bagaimana mungkin nama itu tidak disebut di dalam percakapan orang London—atau Cheshire? Pria itu sangat terkenal akan ketampanannya dan gelarnya sebagai viscount yang berdompet tebal. Dan entah mengapa tiap bajingan di London bertingkah, bukannya dijauhi oleh para gadis perawan, tapi pria itu malah selalu didatangi wanita-wanita. Jadi wajar saja jika nama pria itu disebut-sebut dalam percakapan wanita.
            “Ada apa dengan Bridget?” Tanya Lord Moore setelah lima menit pernyataannya tidak dibalas apa pun. Mildred mengerjap-kerjapkan matanya, sadar dari lamunannya.
            “Mereka berdua tidak pernah akur,” ucap Mildred dengan prihatin. “Bridget tidak pernah menyukainya sejak Lord Myhill menghinamu. Dan Lord Myhill sepertinya meladeni sikap Bridget yang defensif. Kau harus melakukan sesuatu,”
            Kedua alis Lord Moore terangkat. “Aku? Kisah cinta—maksudku, peperangan di antara mereka mungkin akan mereda jika salah satu di antara mereka melambaikan bendera putih. Begini saja. Mildred akan menetap di Cheshire dan kau boleh membawa Hope ke rumahmu di London. Aku tahu Lord Myhill akan kembali ke London setelah season selesai. Nah, sekarang kau beritahu Bridget,”
            “Kau benar. Bridget memang tidak menyukai London, ia bilang sangat bising dan udaranya tidak segar—oh, aku sangat lelah menangani Bridget,” ucap Mildred lebih pada diri sendiri dibanding kakaknya. Mildred bangkit dari sisi tempat tidur Lord Moore, lalu melangkah menuju pintu dan membukanya. “Selamat malam, My Lord.” Lalu pintu kamarnya tertutup.
            Cahaya dari jendela kamar Lord Moore semakin lama semakin menggelap. Malam sudah menjemputnya dan sepertinya ia tidak bisa berdiam terus di kamarnya, menunggu dirinya menjadi gila. Jadi ia bangkit. Persetan dengan anjuran dokter! Ia tidak mungkin melewatkan season yang ia buat sendiri sampai season berakhir—meski ia tidak menyukai season. Pria itu bangkit dari tempat tidurnya, lalu menarik tali bel untuk memanggil pelayan agar menyiapkan air hangat untuk ia mandi.
            Tapi sejujurnya, ia tidak hanya ingin kembali melihat season. Ia ingin bertemu dengan Grisell dan melihat keadaannya.

***

            “Kau keluar dari kamarmu,” ucap Grisell terperangah, tidak percaya. Wanita itu mengerjap-kerjapkan matanya beberapa kali seolah-olah ia melihat keajaiban. Lord Moore seketika diserbu oleh para tamu saat ia turun melalui tangga besar dan menghujani pria itu dengan pertanyaan-pertanyaan omong kosong. Sungguh, bagaimana mungkin orang Inggris dapat hidup dalam kemunafikan? Lord Moore sebisa mungkin menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan sopan. Tapi tujuan utama ia turun kembali ke acara adalah melihat tunangannya. Dan yah, ia mendapati Grisell sedang berdiri berbicara dengan Lord Myhill—sepertinya status Grisell sebagai adik Lord Myhill belum diketahui oleh para tamu, untungnya.
            Orang-orang kembali berbaur setelah Lord Moore mengundurkan diri untuk bertemu dengan kekasihnya. Grisell memakai sarung tangan panjang hingga siku berwarna putih, guna untuk menutupi lukanya, pikir Lord Moore. Oh, wanita itu tidak akan bisa lari dari Lord Moore sebelum ia mengaku bagaimana bisa ia mendapat luka di tangannya. Jadi Lord Moore mendatangi Grisell, berdeham sedikit kemudian Grisell berbalik. Kau keluar dari kamarmu, ucapan itu terdengar sangat aneh. Bukan seperti yang Lord Moore harapkan sejak ia memutuskan untuk turun. Ia pikir, ia akan dimarahi oleh Grisell di tengah-tengah kerumunan. Ternyata Miss Gillbride berhasil mengajar Grisell.
            “Ya, aku keluar,” ucap Lord Moore mengulang. Ia memerhatikan Grisell dari bawah hingga atas. Gaun berwarna merah gelap sangat pas untuk seorang Grisell. Di warna yang gelap seperti ini, Grisell kelihatan lebih berani, bukan polos seperti biasanya. Ia seperti seorang… Lady. Keinginan Lord Moore sejak ia membawa Grisell ke Cheshire. Ya, benar sekali, Grisell-nya telah menjadi Lady yang sangat anggun. “Kau sangat menawan, Miss Parnell,”
            “Wah, pujian klise,” ucap Grisell sangat mengejutkan Lord Moore dengan kosakata yang belum pernah Grisell katakan sebelumnya. Benarkah ini Grisell atau ternyata selama ini ia tidur selama dua minggu dan bangun tapi Grisell mengatakannya kalau ia baru terbaring di atas tempat tidur selama 5 hari? Ia tidak yakin. “Tapi terima kasih, My Lord. Aku sangat menghargainya,”
            “Kupikir kau boleh keluar dari kamar seminggu atau dua minggu lagi,” sela Lord Myhill mengganggu. Lord Moore segera menatap pria itu kemudian mengembus nafas panjang.
            “Aku harus keluar dari sana sebelum aku jadi gila,” ucap Lord Moore tanpa ada nada bercanda. Namun tiba-tiba Grisell tertawa hingga ia menepuk lengan Lord Moore.
            “Oh, Tuhan. Aku sangat menunggu saat-saat itu,” ucapnya di sela-sela tawanya. Grisell kemudian menatap Lord Myhill. “Tidakkah kau menunggu saat-saat Lord Moore seperti itu?” Tanya Grisell. Entah mengapa sepertinya Lord Moore apa yang sedang Grisell lakukan.
            “Miss Parnell, dengan segala permohonan maaf atas pertanyaannya ini, tapi sungguh, mengapa kau tiba-tiba bersikap aneh?” Tanya Lord Myhill tidak sepenuhnya merasa bersalah. Mata Grisell mengerjap-ngerjap aneh, membuat wanita itu seketika kebingungan. Ia menatap Lord Moore kemudian Lord Myhill secara bergantian. “Miss Parnell, apa kau baik-baik saja?”
            “Tentu saja,” ucap wanita itu menelan ludah.
            “Bisakah aku berbicara berdua saja dengan tunanganku?” Tanya Lord Moore pada kakak Grisell. Pria itu hanya mengangguk, lalu membungkuk memberi hormat pada Grisell, dan menghilang dari pandangan mereka berdua. Suasana di ruang dansa sepertinya tidak seperti yang diharapkan Grisell—sejak kedatangan Lord Moore ke ruang dansa, segalanya berubah. Wanita itu menunduk-nunduk tak berani melihat kekasihnya. Bagaimana mungkin Lord Moore tiba-tiba saja turun ke bawah setelah Grisell mendapat luka dari Lady Henrietta? Grisell berpikir… tidak mungkin Mildred memberitahu kakaknya karena wanita itu sudah berjanji untuk tidak memberitahu Lord Moore.
            “My Lord, tidakkah ruang dansa terlalu bising?” Padahal ruangan itu tidak bising sama sekali. Hanya terdengar musik halus dan suara orang berbicara dengan normal di sana. Lord Moore mengangkat kedua alisnya. Tidak menjawab, pria itu mengaitkan lengan Grisell ke lengannya. Saat lengan itu disentuh, Grisell meringis pelan.
            “Apa aku menyakitimu, Miss Parnell?” Tanya pria itu serius. Sungguh, Lord Moore sebenarnya ingin tertawa terbahak-bahak melihat raut wajah Grisell yang ketakutan. Tapi ia menutupi segala perasaannya begitu luar biasa.
            “Tidak, My Lord. Kemanakah kita akan pergi?”
            “Hanya ke ruang duduk, jika kau mau,”
            “Bagaimana kalau ruang kerjamu? Tidak ada siapa pun berani ke sana selain dirimu dan adik-adikmu,” ucap Grisell menelan ludah. Lagi.
            “Jika itu keinginanmu,” ucap Lord Moore tersenyum kecil. Oh, ini akan sangat menyenangkan. Pria itu melewati kerumunan orang dan sesekali berhenti untuk meladeni orang-orang yang mengajaknya berbicara. Bahkan beberapa di antara mereka ingin mendengar detail bagaimana Lord Moore dapat menyelamatkan Grisell dari si penculik. Dan beberapa di antara mereka—mantan simpanan Lord Moore—memberitahu bagimana keadaan Henrietta. Saat nama Henrietta disebut, Lord Moore dapat melihat wajah Grisell seketika menegang.
            “Dia kelihatan begitu buruk,” ucap Lady Friswell, salah satu mantan simpanan Lord Moore yang berambut merah, pada Lord Moore. “Dan dia terus menyebut nama Miss Parnell di kamarnya. Oh, My Lord, dia sangat tidak sehat,”
            “Yang kudengar seperti itu,” ucap Lord Moore dengan bijaksana, tidak ingin berkomentar apa pun.
            “Dan kukira Miss Parnell baru saja mendatangi Lady Henrietta tadi pagi?” Kali ini bukan Lady Friswell yang bersuara, tapi Lady Shovell, ratu gosip. Lord Moore harus akui, ia tidak menyukai sifat Lady Shovell yang sangat suka bergosip, tapi jika wanita itu di atas tempat tidur, Lady Shovell sangat hebat. Dan malam ini, wanita itu memakai gaun berpotongan dada rendah sehingga buah dadanya yang besar seolah-olah akan tumpah dari gaun itu. Untungnya Lady Shovell masih tahu diri untuk tidak menjadikan dirinya sebagai bahan gosip, jika wanita itu sekali saja menyinggung tentang hubungan mereka di masa lalu… tapi wanita itu tidak akan melakukannya. Wanita itu mungkin lebih memilih mati dibanding harus menjadi bahan gosip.
            Lord Moore menoleh menatap tunangannya. Grisell merasa dirinya menciut begitu saja. Oh, ya ampun, mengapa harus sekarang? Lord Moore pasti akan memarahinya. Wanita itu menyembunyikan kegugupannya cukup bagus—menurut Miss Gillbride jika wanita itu ada di sana—lalu mengangguk. “Benar sekali. Tadi pagi aku mendatanginya, dan kupikir ia sudah membaik,”
            “Oh, astaga, sarung tangan panjang itu sangat indah, Miss Parnell!” Puji Lady Shovell mengubah topik pembicaraan secara tiba-tiba, tapi Tuhan tahu apa tujuan Lady Shovell mengatakan itu. Lord Moore menarik nafas panjang, ia tidak akan membiarkan Lady Shovell mempermalukan Grisell di depan semua orang. “Baru kali ini aku melihat—“
            “Beribu maaf, Lady Shovell dan Lady Friswell, tapi aku dan Miss Parnell memiliki urusan yang harus melakukan pertemuan penting,” ucap Lord Moore tersenyum singkat kemudian membungkuk. Mulut Lady Shovell masih terbuka, terkejut karena pria itu tiba-tiba saja menyelanya dan sekarang pria itu sudah beranjak pergi darinya.  Lady Shovell tidak dapat menyalahkan siapa pun atas ketampanan dan kebugaran yang dimiliki Lord Moore. Pria itu memang sangat tampan untuk seorang bangsawan. Biasanya ia akan menemui bangsawan genduk, berkumis dan botak. Tapi siapa pun tahu, Lord Moore pria yang paling langka di Inggris. Dan mungkin hanya terdapat1 atau 2 orang yang sepertinya.
            Lord Moore membuka pintu ruang kerjanya kemudian ia mempersilakan Grisell masuk ke dalam. Beberapa detik kemudian, mereka berdua sudah berada  di dalam ruang kerja. “Mengapa kau keluar dari kamarmu?” Sembur Grisell sebelum Lord Moore sempat membuka percakapan lebih dulu.
            “Aku ingin bertemu denganmu,” katanya lembut. Sederhana, tapi berhasil membuat kekhawatiran Grisell menghilang. Wanita itu kembali datang menghampiri Lord Moore lalu memeluk pria itu. Luka di pinggangnya tertekan oleh lengan Grisell dan pria itu menarik nafas tajam. Bukannya mendorong wanita itu, Lord Moore memeluk Grisell.
            “Kau seharusnya tidak ada di sini. Tidak sampai kau sudah sembuh, Justin,” ucap Grisell kurang jelas karena suaranya teredam oleh pakaian Lord Moore. Wanita itu menarik tubuhnya dari Lord Moore, berjalan cepat-cepat menuju jendela. “Kau pasti bertanya-tanya mengapa aku memakai sarung tangan panjang ini,”
            “Sayangnya, kau benar,” ucap Lord Moore tetap berdiri di tempatnya. Ia memerhatikan Grisell yang berdiri dengan gelisah. Tangan kanan wanita itu mengelus-elus lengan kirinya, lalu perlahan-lahan Grisell membuka sarung tangan kirinya. “Mengapa aku tidak tahu kau pergi ke rumah Lady Henrietta?”
            “Karena aku tahu jika aku meminta izinmu, kau tidak akan mengizinkanku pergi ke sana,” ucap Grisell gemetar. Lord Moore melangkah perlahan-lahan ke arah Grisell, lalu mengembus nafas pendek.
            “Tentu saja, aku tidak akan mengizinkanmu, Sayang. Lady Henrietta berusaha membunuh dirinya sendiri setelah ia mengirimkanmu pada si Bajingan Jacoby. Dia membencimu sampai mendarah-daging—“
            “Karena itulah aku datang ke rumahnya!” Seru Grisell berbalik. “Aku ingin dia tidak membenciku. Aku ingin meminta maaf jika aku merebutmu darinya. Aku tidak bisa hidup dalam keadaan bersalah. Ini semua salahku. Jika aku tidak menerimamu, sudah jelas semua ini tidak akan terjadi. Nathan tidak akan datang ke sini. Kau pasti tidak akan terluka. Lady Henrietta tidak akan bunuh diri. Dan aku tidak perlu mempermalukanmu di hadapan semua orang karena aku hanya seorang pelacur,” jelas Grisell membuat Lord Moore terdiam. Wanita itu menunduk, lalu terisak.
            “Grisell,” ucap Lord Moore mendatanginya, kemudian merangkul wanita itu dengan dua tangannya. “Ini bukan salahmu,”
            “Tapi itu salahku, oh ya Tuhan!” Wanita itu berseru, lalu terisak. Lord Moore menempatkan dagunya di atas kepala Grisell. “Tidakkah kau mengerti? Aku hanya beban bagi semua orang. Pertama Ibuku, kemudian Bibiku, lalu sekarang kau. Siapa lagi selanjutnya?”
            “Lihat aku,” perintah Lord Moore tegas. Tapi Grisell tidak mendongak, ia masih menunduk, menyandarkan keningnya di dada pria itu. “Brengsek. Lihat aku, Grisell,” perintah pria itu sekali lagi, kali ini terdengar pria itu akan mengancam jika Grisell tidak mendongak. Wanita itu mendongak, menatap Lord Moore yang ternyata menatapnya dengan lembut. Oh, pasti aku sangat jelek sekarang, ujar Grisell dalam hati. Dua mata biru berkaca-kaca dan Tuhan tahu bagaimana perasaan Lord Moore tentang itu. Ia tidak bisa melihat seorang wanita menangis. Ia hanya… tidak tahu bagaimana harus menanganinya.
            “Kau adalah hal terbaik yang terjadi dalam hidupku, Grisell,” ucap Lord Moore pelan, sederhana, dan dalam. Senyum Grisell perlahan-lahan mengembang lalu ia tertawa pelan.
            “Lord Moore—oh kau sangat berbeda. Di saat pria lain akan termakan godaan mautku, kau malah menyuruhku menjauh dan tidak menyentuhku. Apa maumu sebenarnya? Karena sungguh, sekarang aku sangat ingin kau meniduriku,” ucap Grisell tidak berhenti tersenyum. Lord Moore mengelap air mata Grisell dengan kedua ibu jarinya hingga pipi itu benar-benar kering. Andai saja Grisell tahu bagaimana wanita itu selalu membuatnya bergairah setiap saat. Bahkan saat melihat Grisell saja, pria itu tidak bisa diam—dan harus memikirkan hal lain seperti pekerjaannya. Senyum Grisell menular. Pria itu tersenyum lebar lalu mengecup bibir Grisell singkat.
            “Dimana kau ingin aku menyentuhmu?”
            “Di seluruh tubuhku, tentu saja!” Wanita itu berseru kegirangan, seperti mendapatkan permohonannya selama ini. Perubahan suasana hati yang sangat tiba-tiba.
            “Dan dimana kau ingin kita melakukannya?”
            “Tidakkah meja kerjamu merupakan tempat pertama kita benar-benar berciuman? Aku ingin kau menyelesaikannya di sana,” ucap Grisell menggoda. Wanita itu mengerling, memberinya tatapan nakal lalu menarik leher Lord Moore. Pria itu pikir mereka akan berciuman, tapi Grisell ternyata hanya mempermainkannya. “Kau menginginkanku, bukan?”
            “Ya, ya. Aku sangat menginginkanmu, My Lady,” ucap Lord Moore sepenuhnya dikendalikan oleh nafsu. Grisell melepaskan kepala Lord Moore lalu ia menarik kemeja Lord Moore sambil berjalan menuju meja kerja pria itu. Wanita itu menyingkirkan segala benda di atas meja itu dalam satu kali sapuan tangan, lalu ia melompat duduk di sana. “Kau harus mengganti rugi apa pun yang kau hilangkan,”
            “Akan kutebus dengan ini,” desah Grisell begitu sensual, lalu wanita itu menarik kepala Lord Moore, mencium pria itu dengan mesra. Tidak seperti dulu, ciuman ini begitu lembut, pelan dan tidak terburu-buru. Kedua tangan Lord Moore memeluk pinggang Grisell, menyatukan tubuh mereka seperti mereka menyatukan mulut mereka. Lidah Lord Moore melesak masuk ke dalam mulut Grisell, menggoda wanita itu kemudian mengisap bibir bawah Grisell. “Mengapa tidak kau melakukan ini sejak dulu?” Tanya Grisell di sela ciuman mereka.
            “Karena aku menunggu waktu yang tepat,”
            “Saat season dan dalam keadaan kau terluka?” Tanya Grisell menggoda Lord Moore.
            “Ya Tuhan, Grisell, kau memang sesuatu yang lain.” Lord Moore tersenyum, tak habis pikir. Kemudian bibir mereka kembali menyatu.
            Sebenarnya Lord Moore ingin memarahi Grisell, tapi pria mana yang dapat menahan godaan seorang Grisell Parnell?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar