CHAPTER FIVE – A VIRGIN
JUSTIN MIGUEL THADDEUS
Saat
kulihat betapa bergairahnya ia menunggangi kuda, seketika itu juga aku tahu apa
yang ia suka. Ia suka menunggang kuda meski sedari tadi ia menahan diri untuk
tidak tersenyum bahagia untuk menghormatiku dan Abigail. Namun gerak tubuhnya
tak dapat membohongiku. Bagaimana ia memukul bokong kuda dengan cambuknya dan
berteriak agar kuda itu berlari tepat di belakang kudaku dan Abigail. Tetapi
sekarang—setelah aku memintanya pergi meninggalkanku dan Abigail berdua—ia
pergi ke bukit yang masih terjangkau oleh penglihatan mataku. Dan dengan
bebas—tanpa takut aku atau Abigail memerhatikannya—ia semakin menaiki bukit
dengan tubuh dimajukan ke depan, melawan angin. Rambutnya yang terikat itu
berterbangan di belakang kepalanya.
Dengan
cara ini, aku bisa memerhatikannya tanpa perlu dicurigai oleh adikku sendiri.
Sedari tadi Abigail berbicara denganku namun aku tidak begitu fokus dengan apa
yang ia katakan. Ia lebih sering membicarakan kekagumannya pada Ayah—yang
dimana topik itu tidak begitu menarik dan penting untukku. Perhatianku terfokus
pada Eleanor yang tertawa senang di atas bukit sana sambil sesekali ia melirik ke
bawah melihatku dan Abigail. Kemudian adikku menceritakan betapa ia menyukai
Eleanor karena Eleanor begitu cermat memerhatikan gaunnya dan memilih gaun yang
tepat untuknya. Atau bagaimana Eleanor menghias rambutnya dengan cantik. Aku
senang akhirnya Abigail mau menerima Eleanor, meski begitu, aku yakin pasti ada
alasan lain yang membuatnya menyukai Eleanor. Sesuatu yang menurutnya tidak
perlu kuketahui.
Mataku
kemudian beralih pada Abigail yang memainkan tali kekang kudanya lalu mengembus
nafas panjang. Raut wajahnya murung membuatku gelisah. Rasanya tak benar tiap
kali melihat wajahnya yang lembut serta polos itu harus tertekuk muram atau
menangis. Setelah berlama-lama menundukkan kepalanya, ia mendongak melihatku.
Kedua matanya menyipit karena matahari sore hari di belakang kepalaku
menyilaukan penglihatannya.
“Apa
yang akan kaulakukan dengan pernikahanku, Justin?” Tanya Abigail penasaran, ia
menjilat bibir bawahnya, tanda bahwa ia ragu-ragu menanyakan hal itu padaku.
“Sesuatu.”
Aku berkata dengan suara rendah. “Sesuatu yang pastinya akan membatalkan
pernikahanmu dengan duke sialan ini.”
“Jangan
bilang seperti itu,” katanya menegurku halus. “Kau bahkan belum bertemu
dengannya. Siapa tahu saja aku menyukainya sama seperti kau menyukai Eleanor,” tukasnya
tiba-tiba sinis. Apakah sekentara itu sampai adikku yang polos ini tahu kalau aku
tertarik pada pelayannya sendiri? Mungkin. Kujaga temperamenku agar ia tidak
semakin curiga. Abigail menatapku dengan tatapan menyelidik, mencari-cari tahu
sesuatu yang kusembunyikan darinya dari raut wajahku. Dan tentu saja aku tidak
akan membiarkan ia tahu segala sesuatu yang berhubungan denganku atau Eleanor.
Ia bukanlah pembaca pikiran orang yang ulung. Bahkan sekarang, aku yakin
Abigail sedang memaki dirinya sendiri karena tak bisa membaca wajahku yang
datar.
Memang
aku mencintainya karena ia adikku, namun bukan berarti ia harus menyingkirkan
Eleanor jika alasannya hanya karena ia cemburu aku telah membagi dua cintaku.
Bagaimana pun juga, Eleanor merupakan wanita muda pertama yang membuatku tidak
dapat melupakannya. Dan Abigail, aku tak dapat membiarkannya menjadi perawan
tua. Ia harus tetap menikah dengan seseorang, hanya saja, tidak sekarang.
“Kau
berkata seperti atas dasar apa?” Tanyaku dengan suara tenang. Tiba-tiba Abigail
mencambuk kudanya agar berjalan pelan untuk menaiki bukit yang sebelumnya sudah
Eleanor daki lebih dulu. Wanita muda itu sudah tidak kelihatan di bukit, tetapi
aku bisa melihat kuda yang terduduk di atas rerumputan. Mungkin tubuh mungilnya
tersembunyi di balik kuda cokelat itu. Karena tak dijawab olehnya, aku
memaksanya dengan suara keras. “Abigail, aku bertanya padamu!”
“Lihat,
maksudku?” Tanya Abigail tanpa membalikkan kepalanya sama sekali. “Kau berubah
semenjak ia tinggal di istana. Kau menyuruh prajurit agar ia bertemu denganmu
secara diam-diam. Eleanor bilang kalau kau menceritakan apa yang kusukai dan
tidak kusukai. Tetapi, aku bukanlah Abigail polos dulu, Justin. Aku tahu ia
berbohong,”
“Tidak,
dia tidak berbohong padamu,” ucapku menyejajarkan kudaku dengan kudanya. “Aku
memang memberitahu apa yang kau senangi atau tidak. Dan menceritakan betapa
berharganya kau bagiku. Eleanor—“
“Bahkan
sekarang kau sedang berbohong,” katanya memotong ucapanku. “Aku tidak percaya
Eleanor telah mengubah dirimu menjadi lebih buruk dalam waktu semalam.”
“Abigail.”
Aku berbicara dengan suara memeringatinya agar tak lancang. “Mungkin kau
terguncang karena berita kau akan dinikahkan dengan seorang duke dari kerajaan
terpencil. Kurasa lebih baik kita pulang setelah mencapai bukit, kulitmu yang
putih itu sebentar lagi akan terbakar,” ucapku, kali ini berbicara lebih
tenang. Abigail menarik kekang kudanya agar kuda itu berhenti sementara aku
terus membawa kudaku melangkah mendaki bukit. Abigail tak berkata-kata, ia
malah memutarbalikkan kudanya untuk turun dari bukit, padahal kami baru mendaki
setengah bukit.
Dulu,
aku akan mengejarnya atau meneriaki namanya agar behenti lalu meminta maaf
padanya karena telah bersikap berengsek. Kali ini, entah bagaimana bisa aku
melakukannya, aku lebih tertarik bertemu dengan Eleanor dan berduaan saja
dengannya. Seolah-olah ini aka menjadi pertemuan terakhirku dengannya. Aku
memerintahkan Leonard untuk berhenti di perbatasan menuju bukit dan hutan.
Jadi, kemungkinan besar, Abigail akan pulang dengan selamat bersama Leonard
sementara aku bisa menghabiskan waktu bersama Eleanor.
Ah,
Eleanor, Eleanor. Ia begitu menakjubkan saat ia menepuk-nepuk punggung kudanya
agar berdiri. Kuda itu baru bertemu dengan Eleanor—dan tidak begitu ramah
dengan orang baru—namun mereka sudah begitu akrab. Yang kutahu dari Zachary,
Eleanor memiliki kuda putih kesayangannya. Rambutnya yang terikat satu itu
berterbangan dengan enggan begitu angin menerpa wajah cantiknya. Di bawah
pencahayaan matahari, ia tidak begitu takut bila matahari membakar kulitnya. Ia
tampak baik-baik saja. Justru, lebih baik dari baik-baik saja.
Tangannya
yang kecil mengelus leher kuda itu—namanya Gertrude—dan mengatakan sesuatu
padanya. Hanya Tuhan yang tahu apa yang sedang dilakukan Eleanor padaku hingga
aku tak dapat menahan dua sudut bibirku agar tak tertarik ke atas. Ini semua
terasa begitu natural hingga aku tak perlu berpura-pura tersenyum padanya.
Begitu aku hampir sampai, aku menarik tali kekang kuda dan turun cepat-cepat
dari atas. Tanganku menarik talinya agar Perks—nama kudaku—ikut melangkah
bersamaku. Kurasa aku mengganggu saat-saat bahagianya begitu ia melihatku
melangkah mendekatinya.
Inilah
yang kumaksudkan. Ia tidak pernah membuatku bosan melihatnya yang salah tingkah.
Kedua pipinya memerah padahal aku belum mengatakan apa-apa. Ia begitu sensitif
sehingga aku bingung bagaimana harus memperlakukannya. Sebenarnya, aku sangat
menghindari kelembutan. Dan sejak kedatangannya, aku berusaha menyikapinya
dengan lembut dan halus. Ia bisa saja remuk dalam satu kali remasan di
lengannya. Dan aku tidak ingin mengambil risiko menikahi seorang wanita muda
dengan tangan patah—terlebih lagi jika penyebabnya adalah aku.
“Pangeran
Miguel,” katanya malu-malu. Namun raut wajah tiba-tiba berubah teringat akan
sesuatu. “Oh, apakah putri Abigail sudah pergi? Kurasa aku harus menyusul—“
“Tidak
perlu.” Aku menahannya. “Kau sudah aman bersamanku dan Abigail sudah aman
bersama Leonard,” kataku melepaskan kekang kuda dan menepuk leher Perks agar ia
tetap diam di tempatnya.
“Tidakkah
itu akan membuat putri Abigail marah?” Tanyanya takut-takut. Aku menggeleng.
Perasaan ini selalu mendatangiku saat berada di dekatnya. Perasaan dimana aku
tidak tahu apakah aku harus melompat-lompat konyol di depannya karena
kegirangan atau menciumnya dengan rakus namun akan membuatnya kabur dariku. Ia
terlalu memikat hingga aku tidak dapat mengerti bagaimana harus mengendalikan
perasaan ini. Rasanya sangat berbeda tiap detiknya. Perasaan bahagia itu
meningkat tiap kali aku memerhatikan wajah dengan kecantikan murni sepertinya.
Tangannya
tampak lemas di dua sisi pinggangnya namun pandangannya tak pernah lepas
dariku. Gertrude mendengus saat aku menarik tangan Eleanor untuk menjauh
darinya, tanda ia cemburu. Ya, Gertrude dan Perks jantan, tak heran jika mereka
langsung tertarik pada Eleanor—terlebih lagi Eleanor mahir menjinakkan kuda.
“Inilah
yang kuinginkan,” bisikku menarik pinggulnya agar bersentuhan dengan perutku.
Oh, aku tak bisa menahan diriku yang sudah mengeras di bawah sana. Dengan
caranya sendiri, ia dapat membuatku mengeras tanpa perlu menyentuh satu sama
lain. Ia seperti pemicu seluruh indraku menjadi lebih tajam. Bagaimana aku
memerhatikan bulu matanya yang terkibas tiap kali ia mengedipkan mata, atau
bagaimana aku mencium aroma tubuhnya yang harum, atau saat aku mengelus
kulitnya yang lembut. Segalanya terasa lebih nyata dan menyenangkan.
Ia
menarik nafas tajam saat kudekatkan wajahku dengan wajahnya. Belum, aku belum
ingin mencium wajahnya. Aku hanya ingin memerhatikan matanya yang tampak begitu
cerah di bawah cahaya matahari. Tidak pernah aku melihat mata selembut awan
sepertinya. Ia seperti musim semi yang diperuntukkan khusus hanya untukku.
Membuatku nyaman dan tak ingin lepas darinya.
“Berduaan
saja denganmu,” bisikku mengeratkan pelukanku di sekitar pinggulnya. Untuk saat
ini, aku tidak peduli siapa pun yang melihat kami—kalau perlu, aku akan
membunuh mereka agar mereka tak mengatakan apa pun atau menghina Eleanor. “Oh,
betapa aku sangat menginginkan keintiman seperti ini.”
“Pangeran
Miguel,” bisiknya bergetar. Ia terlalu terintimidasi dan aku tak pernah
bermaksud membuatnya merasa gugup seperti ini. “Kita berada di tempat terbuka.
Tak baik bila salah seorang warga—“
“Tetapi
tidak ada seorang pun di sini selain kita, sayangku, Eleanor,” kataku mengambil
sejumput rambutnya menutupi keningnya ke samping. Bibir bergetar, namun bagiku,
itu sangat menggiurkan. Tidak, aku tidak dapat menahan diri lagi. Kuturunkan
wajahku pada wajahnya hingga bibir kami menyatu. Ia mengerang tertahan begitu
aku memaksa lidahku masuk ke dalam mulutnya. Oh, ya Tuhan, rasanya sangat manis
hingga aku rasa aku tak akan pernah puas akan dirinya.
Aku
begitu serakah begitu ia melengkungkn tubuhnya dalam pelukanku. Ia membalas
ciumanku sama bergairahnya dengan diriku, bahkan tangannya sudah berani
melingkar di sekitar leherku. Memintaku lebih dalam lagi menciumnya. Tiap kali
bibir kami berpisah, ia akan mengangkat kepalanya seolah-olah ia belum puas
sama sepertiku. Ia mendesah begitu aku meremas bokongnya yang mungil.
Sepertinya
ia ingin menghindari sesuatu. Atau lebih tepatnya, menghindariku. Ia menarik
tubuhnya dariku cepat-cepat dengan nafas tersengal-sengal. Bibirnya bengkak
karena aku menggigitnya namun aku bisa melihat betapa bergairahnya dia. Mata
birunya seolah-olah berusaha tidak terhipnotis akan tatapanku sehingga
menyiratkan keraguan saat ia menatapku. Dengan bibir gemetaran, ia berbicara.
“Pangeran
Miguel, kurasa kita harus menahan diri di ruang terbuka seperti ini,” katanya
memeringati. Aku mengangguk setuju, lalu menariknya kembali dalam pelukanku.
Matanya memelototiku, membuatku memberikan seringai licik. Ia begitu berani
memelototiku hingga aku dibuatnya kagum.
“Temui
aku di kamar. Satu jam setelah makan malam. Jika kau tidak datang, aku akan
menyeretmu dari kamar pelayan. Mengerti?” Ia mengangguk patuh.
Ia
tidak akan menolakku sampai kapan pun. Dan aku sangat yakin dengan itu.
***
Sejak
dulu, aku memang tak ulung dalam masalah menunggu dan itu masih berlaku sampai
sekarang. Lilin-lilin di kamarku semakin memendek membuatku harus mengambil
lilin yang lain karena sebentar lagi aku akan melewati malam yang panjang
dengan Eleanor. Aku ingin melihatnya menggelepar nikmat di bawah sentuhanku.
Atau bagaimana ia menjerit tertahan bila aku membawanya mencapai kenikmatan.
Ini malam keduanya di istana dan aku sudah ingin menidurinya.
Ah,
wanita muda seperti Eleanor tentu saja sudah tidak perawan. Meski ciumannya
tidak dapat dikatakan luar biasa, namun bagaimana ia bereaksi akan sentuhanku
seolah-olah ia pernah bersama dengan seorang pria sebelumnya. Hal itu cukup
membuatku cemburu konyol karena bukan aku yang menjadi pria pertama yang
memberinya kenikmatan terbaik dalam hidupnya. Maka dari itu, aku akan
membuatnya melupakan segala kenangan—buruknya—saat ia diperawani oleh salah
seorang bajingan yang tak aku tahu.
Kutarik
laci lemariku lalu mengeluarkan beberapa lilin dari dalam sana. Abigail bisa
membuat lilin. Ia selalu membuatkan lilin yang begitu panjang untukku. Katanya,
agar aku tidak perlu mengganti-gantinya tiap malam. Meski begitu, aku tidak
pernah memakai lilin pemberiannya karena aku tidak ingin mengambil risiko ada
sesuatu yang terbakar di kamarku. Lilinnya begitu tinggi untuk ditaruh dalam
tiang lilin sehingga kemungkinan akan jatuh. Ah, Abigail dengan pikirannya yang
pendek. Terkadang aku senang karena ia tidak begitu berpikir jauh sehingga ia
tidak tahu apa yang kupikirkan namun di sisi lain, aku tidak ingin membuatnya
kelihatan konyol.
Begitu
aku baru saja mengambil lilin pendek dari tiangnya, tiba-tiba seseorang
mengetuk pintu kamarku. Aku menggumamkan kata masuk, lalu kemudian pintu
kamarku terbuka. Rasa girangku harus ditutupi dengan cara tak menatapnya
sekarang. Jika aku melihatnya, hanya dengan satu kali tatapan singkat, aku
yakin kami berdua akan berada di atas tempat tidur dengan bibir menyatu.
“Aku
sudah menunggumu,” bisikku menyalakan lilin baru lalu mematikan lilin pendek
itu dan menaruhnya ke atas lemari kerjaku. Suara langkahan kakinya mendekat,
penciumanku mulai menghirup aroma berbeda.
“Menungguku?”
Suara Abigail tidak membuatku terkejut. Aku sudah menduga bahwa ia yang datang
karena aroma tubuhnya yang sama sekali berbeda dari Eleanor. Aroma tubuh mereka
sama memabukkannya dengan anggur, namun yang kuinginkan sekarang hanyalah
Eleanor. “Untuk apa?”
“Keluarlah,
Abigail,” ucapku dengan suara halus. Kudengar suara nafas tercekat sehingga aku
dengan terpaksa membalikkan tubuhku. Seharusnya sekarang kelima lilin yang
pendek itu sudah selesai kuganti.
“Aku
baru saja ingin mengatakan padamu kalau Ayah ingin bertemu denganmu. Ia ingin
membicarkan masalah pernikahanmu dengan Margery. Apa yang salah denganmu,
Justin?” Tanyanya menuduh. Abigail memang harus mengeluarkan segala pikirannya
yang negatif. Ia tidak pernah sesensitif ini sebelumnya. Dua hari terakhir
ini—atau lebih tepatnya sejak kedatangan Eleanor—ia bersikap seperti sedang
tersaingi. Seharusnya ia tahu, aku tidak akan pernah menelantarkannya begitu
saja jika aku sudah mendapatkan cintaku. Ia sungguh berlebihan hingga membuatku
kesal.
Namun
tentu saja aku tidak akan memperlihatkan kekesalanku. Aku melangkah
mendekatinya lalu menangkup kedua bahunya. Mata cokelatnya yang gelap menatapku
tajam, marah dan kecewa. Kemudian setelahnya mata itu berkaca-kaca dengan
alasan yang kuat. Ia menangis.
“Abigail,
haruskah kau menangis seperti ini? Kau tahu hal itu sungguh menyiksaku,” ucapku
lembut lalu menghapus air matanya dengan ibu jariku. “Baiklah, aku akan menemui
Ayah. Sekarang, pergilah ke kamarmu dan tidur.”
“Aku
tidak mau tidur!” Bentaknya tiba-tiba menyentakkan kedua bahunya agar terlepas
dari genggaman tanganku. Namun ia tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia beranjak
dari kamarku, mengambil langkah cepat dan kurasa ia berharap agar aku mengejarnya.
Kudengar suara jeritan frustrasinya di lorong lalu suara wanita muda lain yang
membuat sekujur tubuhku waspada. Eleanor!
Ah,
sial. Mengapa semuanya menjadi lebih rumit dari apa yang kubayangkan? Ini semua
karena pemikiran bodoh Ayahku! Jika bukan karena masalah pernikahan, aku pasti
tidak akan melangkah menuju kamarnya sekarang. Ibuku sudah jelas akan ada di
sebelahnya dan membelanya. Ibu tidak pernah membelaku seperti ia membela
adik-adikku yang lain. Namun aku tahu ia melakukan itu karena ia hanya ingin
membuatku berdiri sendiri tiap menghadapi malasah. Ia akan menjadi orang yang
kucintai.
Kuketuk
pintu kamar Ayahku begitu aku sampai di depan pintunya. Ayah menggumamkan
sesuatu kemudian aku membuka pintunya. Saat aku masuk, prajurit berpindah
tempat di depan pintu agar tidak ada seorang pun masuk. Begitu pintu tertutup,
Ayah sedang terduduk di atas tempat tidur sambil kakinya direndam di sebuah
baskom kecil yang terbuat dari logam. Ibuku duduk di sebelahnya, bergelanyut
mesra di lengan Ayahku yang kokoh. Meski begitu banyak gundik yang Ayahku
miliki, ia tetap mencintai Ibu. Ia tidak pernah menyakiti Ibu karena ia tahu ia
akan dihadapkan dengan siapa. Sampai saat ini, aku memang belum memiliki
pemikiran untuk membunuhnya. Namun aku yakin, kematiannya ada di tanganku.
“Miguel,”
ucapnya memberi kode agar duduk di kursi yang sudah disiapkan di hadapannya.
“Ya,
Yang Mulia.” Aku duduk dan menatap matanya lekat-lekat. Mata birunya sama
seperti mata biruku. Mata birunya hanya diturunkan padaku dan Geoffrey, adik
laki-laki yang tidak pernah bisa berdamai denganku karena ia pikir seharusnya
ia yang menjadi raja. Bukan aku. Namun aku tahu ia bodoh, jadi aku
mengabaikannya.
“Mengenai
pernikahanmu dengan Margery…” kalimatnya tergantung selama beberapa saat membuatku
mengalihkan pandanganku pada Ibu. Namun Ibu tampak terlihat santai berarti ini
berita bagus. “Akan dipercepat.”
“Apa?”
Mataku membelalak dengan pernyataannya. Pernikahanku akan dipercepat? Mengapa?
Aku tak dapat menguasai amarah yang meliputi seluruh tubuhku. Darahku dengan
cepat mendidih, membuat udara di sekitar terasa panas. Kepanikanku harus
kututup sebaik-baiknya agar Ayah tak tersinggung. Pernikahan ini merupakan
satu-satunya jalan agar pernikahan Abigail dibatalkan. Atau lebih tepatnya,
penundaan.
“Nama
baik keluarga mereka diinjak-injak oleh keluarga mereka karena putri mereka
yang belum menikah sama sekali. Kau satu-satunya jalan penghenti cercaan dan
makian mereka terhadap keluarga Margery. Ibumu tak bisa menolak begitu surat
dari kerajaan Crumple datang kemarin sore.”
“Dan
kalian tidak memberitahunya padaku kemarin? Wah, betapa hebatnya,” sindirku
sarkastik. Percakapan ini tidak akan membuatku lebih baik. Aku bangkit dari
tempat duduk lalu mengambil nafas dalam-dalam. “Tampaknya masa depanku dengan
Margery sangat cerah, Ayah.” Aku menambah sindiran lagi. Oh, ya Tuhan, otakku
tiba-tiba mengingat pertemuan pertamaku dengan Margery. Wanita itu memakai
pakaian indah. Ia memakai banyak perhiasan rambut dan tubuh. Namun demi Tuhan,
hal itu tidak membuatnya lebih baik. Wajahnya tampak seperti kuda namun dengan
bulu mata pendek. Bibirnya begitu lebar sehingga tak memberi kesan seksi saat
memperlihatkan sederetan gigi majunya.
Ingatan
itu membuatku ngeri. Sekalipun aku bisa membunuh orang, Margery-lah orang
pertama yang mengancam kehidupanku untuk pertama kali.
***
Saat itu
aku sedang terbaring di atas tempat tidur dan menggeliat tak enak saat
kurasakan tangan seseorang mengelus punggungnya. Begitu aku berbalik untuk
melihat siapa yang mengelusnya, sederetan gigi maju hampir menyentuh hidungku.
Segera aku memundurkan wajahku, lalu aku melihatnya. Melihat seluruh wajahnya.
Margery dengan senyumannya yang tidak begitu menawan dan tatapannya yang
berusaha menggodaku. Nmaun demi kuburan kakekku, ia benar-benar pembunuh nafsu
pria! Margery menahan pinggangku agar aku tetap berada di atas tempat tidur. Ia
berusaha menciumku, namun aku menarik wajahku darinya. Tangannya yang entah
mengapa begitu kuat, menarik kepalaku agar bibir kami bertemu.
“Tidak!” Teriakku menolaknya. “Tidak,
Margery!” Untuk pertama kalinya, aku ingin menangis saat bibir kami bertemu.
Aku
tersentak begitu saja saat kubuka mataku. Keringat membasahi keningku dan rambut
menempel di pelipis. Aku menghela nafas lega karena itu hanyalah mimpi semata.
Segera aku bangkit dari tempat tidur untuk menemui Eleanor. Nama wanita muda
itu yang melintas di otakku saat aku terbangun dan berharap ia dapat menghapus
memori mimpi burukku. Meskipun sekarang sudah larut malam, aku tak peduli.
Eleanor
harus ada dalam dekapanku. Begitu berada di luar kamar, aku menyusuri lorong
menuju kamar para pelayan. Suara desahan tertahan di tiap lorong gelap tidak
membuatku menghentikan langkah dan menghancurkan suasana panas mereka—siapa pun
dia. Beberapa prajurit segera membungkuk begitu aku melewati mereka. Yang
kuinginkan sekarang hanyalah Eleanor.
Begitu
sampai di depan pintu kamar para pelayan. Aku mengetuk pintu itu dengan kasar.
“Eleanor! Eleanor!” Teriakku. Kudengar suara erangan tertahan di dalam. Tidak
bisa! Aku tidak bisa tidak melihat keadaannya di dalam selama mungkin—sekalipun
itu hanya 10 detik. Tanpa berpikir lagi, aku membuka pintu kamar para pelayan.
Wanita muda itu baru saja bangkit dari tempat tidurnya dengan rambutnya yang
acak-acakan.
Setelah
pertemuan kami dibatalkan karena Eleanor sibuk dengan Abigail dan aku sibuk
dengan Ayah dan pikiranku sendiri, aku bisa menemuinya lagi. Dan itu seperti
ledakan meriam di hatiku saat ia membalikkan tubuhnya. Ia tampak lelah namun ia
sigap dalam waktu bersamaan. Sepertinya ia tidak terganggu dengan dua orang
yang sedang panas-panasnya di atas tempat tidur—di samping tempat tidur.
“Kalian
berdua dibayar untuk apa?” Bentakku pada dua orang tidak tahu diri itu. Eleanor
sudah terlanjur di hadapanku saat aku baru saja ingin memarahi dua orang itu.
Bukan karena mereka berhubungan badan, namun tempat mereka yang pilih untuk
berhubungan badan. Mereka bisa saja mengganggu tidur nyenyak Eleanor jika
erangan mereka terlalu kencang. Perhatianku teralihkan begitu saja.
“Ada
apa, pangeran Miguel?” Tanyanya perhatian. Tak ada waktu untuk berbasa-basi,
aku menarik tangannya cepat agar keluar dari kamar para pelayan lalu membanting
pintunya. “Oh, pangeran Miguel, kau bisa mengganggu banyak orang di dalam.”
“Bukan
urusanku,” ucapku dingin. Eleanor hanya diam saja, mungkin ia tahu aku tidak
akan peduli jika ia mengatakan apa-apa lagi. Aku membawanya ke kamarku
cepat-cepat sebelum Abigail atau salah satu anggota keluargaku memerhatikan
kami. Aku tidak begitu peduli dengan prajurit-prajurit yang kami lewati. Mereka
tidak akan menyentuh Eleanor jika aku sudah menyentuh Eleanor lebih dulu.
Aku
ingin Eleanor mendapatkan kamarnya sendiri agar tidak ada seorang pun
mengganggunya. Namun orang bodoh pun tahu itu akan memancing kecurigaan
keluargaku. Abigail mungkin akan menjadi orang pertama yang membenciku jika aku
ketahuan menjalani hubungan istimewa dengan pelayannya.
“Aku
mendapat mimpi buruk,” kataku saat aku membawanya masuk ke kamar dan menutup
pintu lalu menguncinya. Bola mata birunya yang sekarang seperti agak beralih ke
warna violet saat pencahayaan di kamarku remang-remang. Sangat cantik hingga
aku terpaku selama beberapa saat. Ia mengangkat tangannya untuk mengelus pipiku
yang baru saja kucukur sebelum tidur. Sentuhannya sungguh memengaruhiku,
membuat hatiku terasa begitu damai. Ah, sialan, aku tidak pernah begitu terbuai
seperti ini sebelumnya! Sepertinya ada sesuatu dalam diri Eleanor yang
membuatku tak dapat menjauh darinya. Sesuatu yang tak dapat kumengerti. Jatuh
cinta ini membuatku sulit berpikir jernih, terutama jika Eleanor sudah
menyentuhkan kulitnya dengan kulitku.
“Ibuku
selalu mencium kedua mataku jika aku mimpi buruk,” katanya selembut embun. “Dan
itu selalu berhasil.”
“Benarkah?”
Aku menarik tangannya dari pipiku lalu menaruhnya di dadaku. Ia mengangguk
polos seperti anak kecil. Kupejamkan mataku, memberi tanda agar ia mengecup
kedua kelopak mataku. Kurasakan ia menjijit karena tekanan tangannya pada
dadaku namun yang kurasakan hanyalah embusan nafasnya di pipiku. Oh, tubuhnya
begitu mungil. Sampai-sampai bibirnya tak dapat mencium mataku.
“Aku
tak sampai,” keluhnya layaknya anak kecil. Kubuka mataku lalu menekuk lututku
agar tinggi kami sejajar.
“Bagaimana
kalau sekarang?” Tanyaku tersenyum kecil. “Ayolah, aku tidak ingin mendapat
mimpi buruk lagi,” paksaku membuatnya tersenyum jahil. Oh, ia sudah nakal
ternyata.
“Memangnya
kau memimpikan apa?” Ia bertanya dengan raut wajah penasaran. Aku tak ingin
menjawabnya. Niatku tidak ingin mengingat-ingat kembali mimpi sialan itu, jadi,
aku memilih memejamkan mataku. Dua kecupan mendarat di kedua kelopak mataku.
“Sudah,” katanya lembut. Kubuka mataku kembali sehingga mata birunya dapat
kulihat kembali. Ia memberi sebuah senyum bahagia yang tulus. Jika rambut
merahnya yang berantakan seperti ini, ia kelihatan lebih… polos dan seksi dalam
waktu bersamaan. Entahlah, aku juga tidak mengerti apa yang kurasakan sekarang.
Tanganku
menarik siku-sikunya agar kami berjalan menuju tempat tidur. Aku mendorong
tubuhnya ke atas tempat tidur sehingga ia duduk dengan suara terkejut sekaligus
mendesah itu. Oh, suaranya membuatku tak membutuhkan musik lagi.
“Pangeran
Miguel,” ucapnya tiba-tiba.
“Ya?”
Telapak tanganku menyentuh tengkuknya dan mengelusnya lembut. Ia memejamkan
matanya seperti anak kucing yang sedang mendengkur. “Ada apa, sayangku?”
Matanya
terbuka setelahnya, kali ini ia tidak takut atau ragu-ragu berbicara denganku.
“Aku tak tahu apakah ini langkah yang benar atau tidak, tetapi aku harus
memberitahu padamu kalau aku tidak sama sekali berpengalaman dalam urusan
pria.”
“Untuk
urusan seperti apa?” Tanyaku dengan ibu jariku mengelus pipinya dengan lembut.
Ia menarik nafas dalam-dalam lalu mengembusnya dengan pelan.
“Hubungan
intim,” katanya singkat. Aku tergelak tak percaya. Ia tidak ikut tertawa
denganku, justru sekarang ia menggigit bibir bawahnya takut-takut. Apakah
tawaku seperti tawa orang jahat? Setelah berhenti tertawa pelan, aku menarik
bibir bawahnya yang ia gigit itu dengan ibu jariku sehingga sekarang bibir bawah
itu tampak lebih merah dari bibir atas.
“Jadi,
maksudmu kau masih perawan?” Tanyaku hati-hati.
“Ya.”
Saat itulah aku merasa, akulah pria terberuntung di dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar