Senin, 03 November 2014

Beautiful Slave Bab 5

CHAPTER FIVE – A VIRGIN

JUSTIN MIGUEL THADDEUS

            Saat kulihat betapa bergairahnya ia menunggangi kuda, seketika itu juga aku tahu apa yang ia suka. Ia suka menunggang kuda meski sedari tadi ia menahan diri untuk tidak tersenyum bahagia untuk menghormatiku dan Abigail. Namun gerak tubuhnya tak dapat membohongiku. Bagaimana ia memukul bokong kuda dengan cambuknya dan berteriak agar kuda itu berlari tepat di belakang kudaku dan Abigail. Tetapi sekarang—setelah aku memintanya pergi meninggalkanku dan Abigail berdua—ia pergi ke bukit yang masih terjangkau oleh penglihatan mataku. Dan dengan bebas—tanpa takut aku atau Abigail memerhatikannya—ia semakin menaiki bukit dengan tubuh dimajukan ke depan, melawan angin. Rambutnya yang terikat itu berterbangan di belakang kepalanya.
            Dengan cara ini, aku bisa memerhatikannya tanpa perlu dicurigai oleh adikku sendiri. Sedari tadi Abigail berbicara denganku namun aku tidak begitu fokus dengan apa yang ia katakan. Ia lebih sering membicarakan kekagumannya pada Ayah—yang dimana topik itu tidak begitu menarik dan penting untukku. Perhatianku terfokus pada Eleanor yang tertawa senang di atas bukit sana sambil sesekali ia melirik ke bawah melihatku dan Abigail. Kemudian adikku menceritakan betapa ia menyukai Eleanor karena Eleanor begitu cermat memerhatikan gaunnya dan memilih gaun yang tepat untuknya. Atau bagaimana Eleanor menghias rambutnya dengan cantik. Aku senang akhirnya Abigail mau menerima Eleanor, meski begitu, aku yakin pasti ada alasan lain yang membuatnya menyukai Eleanor. Sesuatu yang menurutnya tidak perlu kuketahui.
            Mataku kemudian beralih pada Abigail yang memainkan tali kekang kudanya lalu mengembus nafas panjang. Raut wajahnya murung membuatku gelisah. Rasanya tak benar tiap kali melihat wajahnya yang lembut serta polos itu harus tertekuk muram atau menangis. Setelah berlama-lama menundukkan kepalanya, ia mendongak melihatku. Kedua matanya menyipit karena matahari sore hari di belakang kepalaku menyilaukan penglihatannya.
            “Apa yang akan kaulakukan dengan pernikahanku, Justin?” Tanya Abigail penasaran, ia menjilat bibir bawahnya, tanda bahwa ia ragu-ragu menanyakan hal itu padaku.
            “Sesuatu.” Aku berkata dengan suara rendah. “Sesuatu yang pastinya akan membatalkan pernikahanmu dengan duke sialan ini.”
            “Jangan bilang seperti itu,” katanya menegurku halus. “Kau bahkan belum bertemu dengannya. Siapa tahu saja aku menyukainya sama seperti kau menyukai Eleanor,” tukasnya tiba-tiba sinis. Apakah sekentara itu sampai adikku yang polos ini tahu kalau aku tertarik pada pelayannya sendiri? Mungkin. Kujaga temperamenku agar ia tidak semakin curiga. Abigail menatapku dengan tatapan menyelidik, mencari-cari tahu sesuatu yang kusembunyikan darinya dari raut wajahku. Dan tentu saja aku tidak akan membiarkan ia tahu segala sesuatu yang berhubungan denganku atau Eleanor. Ia bukanlah pembaca pikiran orang yang ulung. Bahkan sekarang, aku yakin Abigail sedang memaki dirinya sendiri karena tak bisa membaca wajahku yang datar.
            Memang aku mencintainya karena ia adikku, namun bukan berarti ia harus menyingkirkan Eleanor jika alasannya hanya karena ia cemburu aku telah membagi dua cintaku. Bagaimana pun juga, Eleanor merupakan wanita muda pertama yang membuatku tidak dapat melupakannya. Dan Abigail, aku tak dapat membiarkannya menjadi perawan tua. Ia harus tetap menikah dengan seseorang, hanya saja, tidak sekarang.
            “Kau berkata seperti atas dasar apa?” Tanyaku dengan suara tenang. Tiba-tiba Abigail mencambuk kudanya agar berjalan pelan untuk menaiki bukit yang sebelumnya sudah Eleanor daki lebih dulu. Wanita muda itu sudah tidak kelihatan di bukit, tetapi aku bisa melihat kuda yang terduduk di atas rerumputan. Mungkin tubuh mungilnya tersembunyi di balik kuda cokelat itu. Karena tak dijawab olehnya, aku memaksanya dengan suara keras. “Abigail, aku bertanya padamu!”
            “Lihat, maksudku?” Tanya Abigail tanpa membalikkan kepalanya sama sekali. “Kau berubah semenjak ia tinggal di istana. Kau menyuruh prajurit agar ia bertemu denganmu secara diam-diam. Eleanor bilang kalau kau menceritakan apa yang kusukai dan tidak kusukai. Tetapi, aku bukanlah Abigail polos dulu, Justin. Aku tahu ia berbohong,”
            “Tidak, dia tidak berbohong padamu,” ucapku menyejajarkan kudaku dengan kudanya. “Aku memang memberitahu apa yang kau senangi atau tidak. Dan menceritakan betapa berharganya kau bagiku. Eleanor—“
            “Bahkan sekarang kau sedang berbohong,” katanya memotong ucapanku. “Aku tidak percaya Eleanor telah mengubah dirimu menjadi lebih buruk dalam waktu semalam.”
            “Abigail.” Aku berbicara dengan suara memeringatinya agar tak lancang. “Mungkin kau terguncang karena berita kau akan dinikahkan dengan seorang duke dari kerajaan terpencil. Kurasa lebih baik kita pulang setelah mencapai bukit, kulitmu yang putih itu sebentar lagi akan terbakar,” ucapku, kali ini berbicara lebih tenang. Abigail menarik kekang kudanya agar kuda itu berhenti sementara aku terus membawa kudaku melangkah mendaki bukit. Abigail tak berkata-kata, ia malah memutarbalikkan kudanya untuk turun dari bukit, padahal kami baru mendaki setengah bukit.
            Dulu, aku akan mengejarnya atau meneriaki namanya agar behenti lalu meminta maaf padanya karena telah bersikap berengsek. Kali ini, entah bagaimana bisa aku melakukannya, aku lebih tertarik bertemu dengan Eleanor dan berduaan saja dengannya. Seolah-olah ini aka menjadi pertemuan terakhirku dengannya. Aku memerintahkan Leonard untuk berhenti di perbatasan menuju bukit dan hutan. Jadi, kemungkinan besar, Abigail akan pulang dengan selamat bersama Leonard sementara aku bisa menghabiskan waktu bersama Eleanor.
            Ah, Eleanor, Eleanor. Ia begitu menakjubkan saat ia menepuk-nepuk punggung kudanya agar berdiri. Kuda itu baru bertemu dengan Eleanor—dan tidak begitu ramah dengan orang baru—namun mereka sudah begitu akrab. Yang kutahu dari Zachary, Eleanor memiliki kuda putih kesayangannya. Rambutnya yang terikat satu itu berterbangan dengan enggan begitu angin menerpa wajah cantiknya. Di bawah pencahayaan matahari, ia tidak begitu takut bila matahari membakar kulitnya. Ia tampak baik-baik saja. Justru, lebih baik dari baik-baik saja.
            Tangannya yang kecil mengelus leher kuda itu—namanya Gertrude—dan mengatakan sesuatu padanya. Hanya Tuhan yang tahu apa yang sedang dilakukan Eleanor padaku hingga aku tak dapat menahan dua sudut bibirku agar tak tertarik ke atas. Ini semua terasa begitu natural hingga aku tak perlu berpura-pura tersenyum padanya. Begitu aku hampir sampai, aku menarik tali kekang kuda dan turun cepat-cepat dari atas. Tanganku menarik talinya agar Perks—nama kudaku—ikut melangkah bersamaku. Kurasa aku mengganggu saat-saat bahagianya begitu ia melihatku melangkah mendekatinya.
            Inilah yang kumaksudkan. Ia tidak pernah membuatku bosan melihatnya yang salah tingkah. Kedua pipinya memerah padahal aku belum mengatakan apa-apa. Ia begitu sensitif sehingga aku bingung bagaimana harus memperlakukannya. Sebenarnya, aku sangat menghindari kelembutan. Dan sejak kedatangannya, aku berusaha menyikapinya dengan lembut dan halus. Ia bisa saja remuk dalam satu kali remasan di lengannya. Dan aku tidak ingin mengambil risiko menikahi seorang wanita muda dengan tangan patah—terlebih lagi jika penyebabnya adalah aku.
            “Pangeran Miguel,” katanya malu-malu. Namun raut wajah tiba-tiba berubah teringat akan sesuatu. “Oh, apakah putri Abigail sudah pergi? Kurasa aku harus menyusul—“
            “Tidak perlu.” Aku menahannya. “Kau sudah aman bersamanku dan Abigail sudah aman bersama Leonard,” kataku melepaskan kekang kuda dan menepuk leher Perks agar ia tetap diam di tempatnya.
            “Tidakkah itu akan membuat putri Abigail marah?” Tanyanya takut-takut. Aku menggeleng. Perasaan ini selalu mendatangiku saat berada di dekatnya. Perasaan dimana aku tidak tahu apakah aku harus melompat-lompat konyol di depannya karena kegirangan atau menciumnya dengan rakus namun akan membuatnya kabur dariku. Ia terlalu memikat hingga aku tidak dapat mengerti bagaimana harus mengendalikan perasaan ini. Rasanya sangat berbeda tiap detiknya. Perasaan bahagia itu meningkat tiap kali aku memerhatikan wajah dengan kecantikan murni sepertinya.
            Tangannya tampak lemas di dua sisi pinggangnya namun pandangannya tak pernah lepas dariku. Gertrude mendengus saat aku menarik tangan Eleanor untuk menjauh darinya, tanda ia cemburu. Ya, Gertrude dan Perks jantan, tak heran jika mereka langsung tertarik pada Eleanor—terlebih lagi Eleanor mahir menjinakkan kuda.
            “Inilah yang kuinginkan,” bisikku menarik pinggulnya agar bersentuhan dengan perutku. Oh, aku tak bisa menahan diriku yang sudah mengeras di bawah sana. Dengan caranya sendiri, ia dapat membuatku mengeras tanpa perlu menyentuh satu sama lain. Ia seperti pemicu seluruh indraku menjadi lebih tajam. Bagaimana aku memerhatikan bulu matanya yang terkibas tiap kali ia mengedipkan mata, atau bagaimana aku mencium aroma tubuhnya yang harum, atau saat aku mengelus kulitnya yang lembut. Segalanya terasa lebih nyata dan menyenangkan.
            Ia menarik nafas tajam saat kudekatkan wajahku dengan wajahnya. Belum, aku belum ingin mencium wajahnya. Aku hanya ingin memerhatikan matanya yang tampak begitu cerah di bawah cahaya matahari. Tidak pernah aku melihat mata selembut awan sepertinya. Ia seperti musim semi yang diperuntukkan khusus hanya untukku. Membuatku nyaman dan tak ingin lepas darinya.
            “Berduaan saja denganmu,” bisikku mengeratkan pelukanku di sekitar pinggulnya. Untuk saat ini, aku tidak peduli siapa pun yang melihat kami—kalau perlu, aku akan membunuh mereka agar mereka tak mengatakan apa pun atau menghina Eleanor. “Oh, betapa aku sangat menginginkan keintiman seperti ini.”
            “Pangeran Miguel,” bisiknya bergetar. Ia terlalu terintimidasi dan aku tak pernah bermaksud membuatnya merasa gugup seperti ini. “Kita berada di tempat terbuka. Tak baik bila salah seorang warga—“
            “Tetapi tidak ada seorang pun di sini selain kita, sayangku, Eleanor,” kataku mengambil sejumput rambutnya menutupi keningnya ke samping. Bibir bergetar, namun bagiku, itu sangat menggiurkan. Tidak, aku tidak dapat menahan diri lagi. Kuturunkan wajahku pada wajahnya hingga bibir kami menyatu. Ia mengerang tertahan begitu aku memaksa lidahku masuk ke dalam mulutnya. Oh, ya Tuhan, rasanya sangat manis hingga aku rasa aku tak akan pernah puas akan dirinya.
            Aku begitu serakah begitu ia melengkungkn tubuhnya dalam pelukanku. Ia membalas ciumanku sama bergairahnya dengan diriku, bahkan tangannya sudah berani melingkar di sekitar leherku. Memintaku lebih dalam lagi menciumnya. Tiap kali bibir kami berpisah, ia akan mengangkat kepalanya seolah-olah ia belum puas sama sepertiku. Ia mendesah begitu aku meremas bokongnya yang mungil.
            Sepertinya ia ingin menghindari sesuatu. Atau lebih tepatnya, menghindariku. Ia menarik tubuhnya dariku cepat-cepat dengan nafas tersengal-sengal. Bibirnya bengkak karena aku menggigitnya namun aku bisa melihat betapa bergairahnya dia. Mata birunya seolah-olah berusaha tidak terhipnotis akan tatapanku sehingga menyiratkan keraguan saat ia menatapku. Dengan bibir gemetaran, ia berbicara.
            “Pangeran Miguel, kurasa kita harus menahan diri di ruang terbuka seperti ini,” katanya memeringati. Aku mengangguk setuju, lalu menariknya kembali dalam pelukanku. Matanya memelototiku, membuatku memberikan seringai licik. Ia begitu berani memelototiku hingga aku dibuatnya kagum.
            “Temui aku di kamar. Satu jam setelah makan malam. Jika kau tidak datang, aku akan menyeretmu dari kamar pelayan. Mengerti?” Ia mengangguk patuh.
            Ia tidak akan menolakku sampai kapan pun. Dan aku sangat yakin dengan itu.

***

            Sejak dulu, aku memang tak ulung dalam masalah menunggu dan itu masih berlaku sampai sekarang. Lilin-lilin di kamarku semakin memendek membuatku harus mengambil lilin yang lain karena sebentar lagi aku akan melewati malam yang panjang dengan Eleanor. Aku ingin melihatnya menggelepar nikmat di bawah sentuhanku. Atau bagaimana ia menjerit tertahan bila aku membawanya mencapai kenikmatan. Ini malam keduanya di istana dan aku sudah ingin menidurinya.
            Ah, wanita muda seperti Eleanor tentu saja sudah tidak perawan. Meski ciumannya tidak dapat dikatakan luar biasa, namun bagaimana ia bereaksi akan sentuhanku seolah-olah ia pernah bersama dengan seorang pria sebelumnya. Hal itu cukup membuatku cemburu konyol karena bukan aku yang menjadi pria pertama yang memberinya kenikmatan terbaik dalam hidupnya. Maka dari itu, aku akan membuatnya melupakan segala kenangan—buruknya—saat ia diperawani oleh salah seorang bajingan yang tak aku tahu.
            Kutarik laci lemariku lalu mengeluarkan beberapa lilin dari dalam sana. Abigail bisa membuat lilin. Ia selalu membuatkan lilin yang begitu panjang untukku. Katanya, agar aku tidak perlu mengganti-gantinya tiap malam. Meski begitu, aku tidak pernah memakai lilin pemberiannya karena aku tidak ingin mengambil risiko ada sesuatu yang terbakar di kamarku. Lilinnya begitu tinggi untuk ditaruh dalam tiang lilin sehingga kemungkinan akan jatuh. Ah, Abigail dengan pikirannya yang pendek. Terkadang aku senang karena ia tidak begitu berpikir jauh sehingga ia tidak tahu apa yang kupikirkan namun di sisi lain, aku tidak ingin membuatnya kelihatan konyol.
            Begitu aku baru saja mengambil lilin pendek dari tiangnya, tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kamarku. Aku menggumamkan kata masuk, lalu kemudian pintu kamarku terbuka. Rasa girangku harus ditutupi dengan cara tak menatapnya sekarang. Jika aku melihatnya, hanya dengan satu kali tatapan singkat, aku yakin kami berdua akan berada di atas tempat tidur dengan bibir menyatu.
            “Aku sudah menunggumu,” bisikku menyalakan lilin baru lalu mematikan lilin pendek itu dan menaruhnya ke atas lemari kerjaku. Suara langkahan kakinya mendekat, penciumanku mulai menghirup aroma berbeda.
            “Menungguku?” Suara Abigail tidak membuatku terkejut. Aku sudah menduga bahwa ia yang datang karena aroma tubuhnya yang sama sekali berbeda dari Eleanor. Aroma tubuh mereka sama memabukkannya dengan anggur, namun yang kuinginkan sekarang hanyalah Eleanor. “Untuk apa?”
            “Keluarlah, Abigail,” ucapku dengan suara halus. Kudengar suara nafas tercekat sehingga aku dengan terpaksa membalikkan tubuhku. Seharusnya sekarang kelima lilin yang pendek itu sudah selesai kuganti.
            “Aku baru saja ingin mengatakan padamu kalau Ayah ingin bertemu denganmu. Ia ingin membicarkan masalah pernikahanmu dengan Margery. Apa yang salah denganmu, Justin?” Tanyanya menuduh. Abigail memang harus mengeluarkan segala pikirannya yang negatif. Ia tidak pernah sesensitif ini sebelumnya. Dua hari terakhir ini—atau lebih tepatnya sejak kedatangan Eleanor—ia bersikap seperti sedang tersaingi. Seharusnya ia tahu, aku tidak akan pernah menelantarkannya begitu saja jika aku sudah mendapatkan cintaku. Ia sungguh berlebihan hingga membuatku kesal.
            Namun tentu saja aku tidak akan memperlihatkan kekesalanku. Aku melangkah mendekatinya lalu menangkup kedua bahunya. Mata cokelatnya yang gelap menatapku tajam, marah dan kecewa. Kemudian setelahnya mata itu berkaca-kaca dengan alasan yang kuat. Ia menangis.
            “Abigail, haruskah kau menangis seperti ini? Kau tahu hal itu sungguh menyiksaku,” ucapku lembut lalu menghapus air matanya dengan ibu jariku. “Baiklah, aku akan menemui Ayah. Sekarang, pergilah ke kamarmu dan tidur.”
            “Aku tidak mau tidur!” Bentaknya tiba-tiba menyentakkan kedua bahunya agar terlepas dari genggaman tanganku. Namun ia tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia beranjak dari kamarku, mengambil langkah cepat dan kurasa ia berharap agar aku mengejarnya. Kudengar suara jeritan frustrasinya di lorong lalu suara wanita muda lain yang membuat sekujur tubuhku waspada. Eleanor!
            Ah, sial. Mengapa semuanya menjadi lebih rumit dari apa yang kubayangkan? Ini semua karena pemikiran bodoh Ayahku! Jika bukan karena masalah pernikahan, aku pasti tidak akan melangkah menuju kamarnya sekarang. Ibuku sudah jelas akan ada di sebelahnya dan membelanya. Ibu tidak pernah membelaku seperti ia membela adik-adikku yang lain. Namun aku tahu ia melakukan itu karena ia hanya ingin membuatku berdiri sendiri tiap menghadapi malasah. Ia akan menjadi orang yang kucintai.
            Kuketuk pintu kamar Ayahku begitu aku sampai di depan pintunya. Ayah menggumamkan sesuatu kemudian aku membuka pintunya. Saat aku masuk, prajurit berpindah tempat di depan pintu agar tidak ada seorang pun masuk. Begitu pintu tertutup, Ayah sedang terduduk di atas tempat tidur sambil kakinya direndam di sebuah baskom kecil yang terbuat dari logam. Ibuku duduk di sebelahnya, bergelanyut mesra di lengan Ayahku yang kokoh. Meski begitu banyak gundik yang Ayahku miliki, ia tetap mencintai Ibu. Ia tidak pernah menyakiti Ibu karena ia tahu ia akan dihadapkan dengan siapa. Sampai saat ini, aku memang belum memiliki pemikiran untuk membunuhnya. Namun aku yakin, kematiannya ada di tanganku.
            “Miguel,” ucapnya memberi kode agar duduk di kursi yang sudah disiapkan di hadapannya.
            “Ya, Yang Mulia.” Aku duduk dan menatap matanya lekat-lekat. Mata birunya sama seperti mata biruku. Mata birunya hanya diturunkan padaku dan Geoffrey, adik laki-laki yang tidak pernah bisa berdamai denganku karena ia pikir seharusnya ia yang menjadi raja. Bukan aku. Namun aku tahu ia bodoh, jadi aku mengabaikannya.
            “Mengenai pernikahanmu dengan Margery…” kalimatnya tergantung selama beberapa saat membuatku mengalihkan pandanganku pada Ibu. Namun Ibu tampak terlihat santai berarti ini berita bagus. “Akan dipercepat.”
            “Apa?” Mataku membelalak dengan pernyataannya. Pernikahanku akan dipercepat? Mengapa? Aku tak dapat menguasai amarah yang meliputi seluruh tubuhku. Darahku dengan cepat mendidih, membuat udara di sekitar terasa panas. Kepanikanku harus kututup sebaik-baiknya agar Ayah tak tersinggung. Pernikahan ini merupakan satu-satunya jalan agar pernikahan Abigail dibatalkan. Atau lebih tepatnya, penundaan.
            “Nama baik keluarga mereka diinjak-injak oleh keluarga mereka karena putri mereka yang belum menikah sama sekali. Kau satu-satunya jalan penghenti cercaan dan makian mereka terhadap keluarga Margery. Ibumu tak bisa menolak begitu surat dari kerajaan Crumple datang kemarin sore.”
            “Dan kalian tidak memberitahunya padaku kemarin? Wah, betapa hebatnya,” sindirku sarkastik. Percakapan ini tidak akan membuatku lebih baik. Aku bangkit dari tempat duduk lalu mengambil nafas dalam-dalam. “Tampaknya masa depanku dengan Margery sangat cerah, Ayah.” Aku menambah sindiran lagi. Oh, ya Tuhan, otakku tiba-tiba mengingat pertemuan pertamaku dengan Margery. Wanita itu memakai pakaian indah. Ia memakai banyak perhiasan rambut dan tubuh. Namun demi Tuhan, hal itu tidak membuatnya lebih baik. Wajahnya tampak seperti kuda namun dengan bulu mata pendek. Bibirnya begitu lebar sehingga tak memberi kesan seksi saat memperlihatkan sederetan gigi majunya.
            Ingatan itu membuatku ngeri. Sekalipun aku bisa membunuh orang, Margery-lah orang pertama yang mengancam kehidupanku untuk pertama kali.

***

             Saat itu aku sedang terbaring di atas tempat tidur dan menggeliat tak enak saat kurasakan tangan seseorang mengelus punggungnya. Begitu aku berbalik untuk melihat siapa yang mengelusnya, sederetan gigi maju hampir menyentuh hidungku. Segera aku memundurkan wajahku, lalu aku melihatnya. Melihat seluruh wajahnya. Margery dengan senyumannya yang tidak begitu menawan dan tatapannya yang berusaha menggodaku. Nmaun demi kuburan kakekku, ia benar-benar pembunuh nafsu pria! Margery menahan pinggangku agar aku tetap berada di atas tempat tidur. Ia berusaha menciumku, namun aku menarik wajahku darinya. Tangannya yang entah mengapa begitu kuat, menarik kepalaku agar bibir kami bertemu.
“Tidak!” Teriakku menolaknya. “Tidak, Margery!” Untuk pertama kalinya, aku ingin menangis saat bibir kami bertemu.
            Aku tersentak begitu saja saat kubuka mataku. Keringat membasahi keningku dan rambut menempel di pelipis. Aku menghela nafas lega karena itu hanyalah mimpi semata. Segera aku bangkit dari tempat tidur untuk menemui Eleanor. Nama wanita muda itu yang melintas di otakku saat aku terbangun dan berharap ia dapat menghapus memori mimpi burukku. Meskipun sekarang sudah larut malam, aku tak peduli.
            Eleanor harus ada dalam dekapanku. Begitu berada di luar kamar, aku menyusuri lorong menuju kamar para pelayan. Suara desahan tertahan di tiap lorong gelap tidak membuatku menghentikan langkah dan menghancurkan suasana panas mereka—siapa pun dia. Beberapa prajurit segera membungkuk begitu aku melewati mereka. Yang kuinginkan sekarang hanyalah Eleanor.
            Begitu sampai di depan pintu kamar para pelayan. Aku mengetuk pintu itu dengan kasar. “Eleanor! Eleanor!” Teriakku. Kudengar suara erangan tertahan di dalam. Tidak bisa! Aku tidak bisa tidak melihat keadaannya di dalam selama mungkin—sekalipun itu hanya 10 detik. Tanpa berpikir lagi, aku membuka pintu kamar para pelayan. Wanita muda itu baru saja bangkit dari tempat tidurnya dengan rambutnya yang acak-acakan.
            Setelah pertemuan kami dibatalkan karena Eleanor sibuk dengan Abigail dan aku sibuk dengan Ayah dan pikiranku sendiri, aku bisa menemuinya lagi. Dan itu seperti ledakan meriam di hatiku saat ia membalikkan tubuhnya. Ia tampak lelah namun ia sigap dalam waktu bersamaan. Sepertinya ia tidak terganggu dengan dua orang yang sedang panas-panasnya di atas tempat tidur—di samping tempat tidur.
            “Kalian berdua dibayar untuk apa?” Bentakku pada dua orang tidak tahu diri itu. Eleanor sudah terlanjur di hadapanku saat aku baru saja ingin memarahi dua orang itu. Bukan karena mereka berhubungan badan, namun tempat mereka yang pilih untuk berhubungan badan. Mereka bisa saja mengganggu tidur nyenyak Eleanor jika erangan mereka terlalu kencang. Perhatianku teralihkan begitu saja.
            “Ada apa, pangeran Miguel?” Tanyanya perhatian. Tak ada waktu untuk berbasa-basi, aku menarik tangannya cepat agar keluar dari kamar para pelayan lalu membanting pintunya. “Oh, pangeran Miguel, kau bisa mengganggu banyak orang di dalam.”
            “Bukan urusanku,” ucapku dingin. Eleanor hanya diam saja, mungkin ia tahu aku tidak akan peduli jika ia mengatakan apa-apa lagi. Aku membawanya ke kamarku cepat-cepat sebelum Abigail atau salah satu anggota keluargaku memerhatikan kami. Aku tidak begitu peduli dengan prajurit-prajurit yang kami lewati. Mereka tidak akan menyentuh Eleanor jika aku sudah menyentuh Eleanor lebih dulu.
            Aku ingin Eleanor mendapatkan kamarnya sendiri agar tidak ada seorang pun mengganggunya. Namun orang bodoh pun tahu itu akan memancing kecurigaan keluargaku. Abigail mungkin akan menjadi orang pertama yang membenciku jika aku ketahuan menjalani hubungan istimewa dengan pelayannya.
            “Aku mendapat mimpi buruk,” kataku saat aku membawanya masuk ke kamar dan menutup pintu lalu menguncinya. Bola mata birunya yang sekarang seperti agak beralih ke warna violet saat pencahayaan di kamarku remang-remang. Sangat cantik hingga aku terpaku selama beberapa saat. Ia mengangkat tangannya untuk mengelus pipiku yang baru saja kucukur sebelum tidur. Sentuhannya sungguh memengaruhiku, membuat hatiku terasa begitu damai. Ah, sialan, aku tidak pernah begitu terbuai seperti ini sebelumnya! Sepertinya ada sesuatu dalam diri Eleanor yang membuatku tak dapat menjauh darinya. Sesuatu yang tak dapat kumengerti. Jatuh cinta ini membuatku sulit berpikir jernih, terutama jika Eleanor sudah menyentuhkan kulitnya dengan kulitku.
            “Ibuku selalu mencium kedua mataku jika aku mimpi buruk,” katanya selembut embun. “Dan itu selalu berhasil.”
            “Benarkah?” Aku menarik tangannya dari pipiku lalu menaruhnya di dadaku. Ia mengangguk polos seperti anak kecil. Kupejamkan mataku, memberi tanda agar ia mengecup kedua kelopak mataku. Kurasakan ia menjijit karena tekanan tangannya pada dadaku namun yang kurasakan hanyalah embusan nafasnya di pipiku. Oh, tubuhnya begitu mungil. Sampai-sampai bibirnya tak dapat mencium mataku.
            “Aku tak sampai,” keluhnya layaknya anak kecil. Kubuka mataku lalu menekuk lututku agar tinggi kami sejajar.
          “Bagaimana kalau sekarang?” Tanyaku tersenyum kecil. “Ayolah, aku tidak ingin mendapat mimpi buruk lagi,” paksaku membuatnya tersenyum jahil. Oh, ia sudah nakal ternyata.
            “Memangnya kau memimpikan apa?” Ia bertanya dengan raut wajah penasaran. Aku tak ingin menjawabnya. Niatku tidak ingin mengingat-ingat kembali mimpi sialan itu, jadi, aku memilih memejamkan mataku. Dua kecupan mendarat di kedua kelopak mataku. “Sudah,” katanya lembut. Kubuka mataku kembali sehingga mata birunya dapat kulihat kembali. Ia memberi sebuah senyum bahagia yang tulus. Jika rambut merahnya yang berantakan seperti ini, ia kelihatan lebih… polos dan seksi dalam waktu bersamaan. Entahlah, aku juga tidak mengerti apa yang kurasakan sekarang.
            Tanganku menarik siku-sikunya agar kami berjalan menuju tempat tidur. Aku mendorong tubuhnya ke atas tempat tidur sehingga ia duduk dengan suara terkejut sekaligus mendesah itu. Oh, suaranya membuatku tak membutuhkan musik lagi.
            “Pangeran Miguel,” ucapnya tiba-tiba.
            “Ya?” Telapak tanganku menyentuh tengkuknya dan mengelusnya lembut. Ia memejamkan matanya seperti anak kucing yang sedang mendengkur. “Ada apa, sayangku?”
            Matanya terbuka setelahnya, kali ini ia tidak takut atau ragu-ragu berbicara denganku. “Aku tak tahu apakah ini langkah yang benar atau tidak, tetapi aku harus memberitahu padamu kalau aku tidak sama sekali berpengalaman dalam urusan pria.”
            “Untuk urusan seperti apa?” Tanyaku dengan ibu jariku mengelus pipinya dengan lembut. Ia menarik nafas dalam-dalam lalu mengembusnya dengan pelan.
            “Hubungan intim,” katanya singkat. Aku tergelak tak percaya. Ia tidak ikut tertawa denganku, justru sekarang ia menggigit bibir bawahnya takut-takut. Apakah tawaku seperti tawa orang jahat? Setelah berhenti tertawa pelan, aku menarik bibir bawahnya yang ia gigit itu dengan ibu jariku sehingga sekarang bibir bawah itu tampak lebih merah dari bibir atas.
            “Jadi, maksudmu kau masih perawan?” Tanyaku hati-hati.
            “Ya.” Saat itulah aku merasa, akulah pria terberuntung di dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar