CHAPTER FOUR - GUILTY
ELEANOR HUGHES
“Apakah
sekarang aku adalah salah satu skandal di istana ini?” Tanyaku menatap kedua
bola mata biru Justin. Saat ia meluncurkan kata-kata manis dari mulutnya, entah
dari mana datangnya pikiranku yang bodoh itu, aku menanyakan sesuatu yang
membuat dua garis bingung di keningnya. Pria itu hanya menutup mulut dan
melepaskan kedua pipiku dari tangannya, menjauhiku. Apakah pertanyaan itu
menyakiti perasaannya? Pangeran Miguel tentu bukan pria yang senang memakai
perasaan. Ia pasti tidak begitu tersakiti dengan candaanku terhadap
istana—baiklah, memang cukup keterlaluan.
Aku
dikenal sebagai wanita muda pendiam, pemalu dan sering menutup diri dari siapa
pun. Kupikir keberanianku hanya sebatas berbicara dengan keluarga, tetapi
keberanianku melampaui dugaanku. Aku baru saja menanyakan sesuatu yang menyengat
perasaan pangeran Miguel, bahkan ia terdiam sampai sekarang. Ia melangkahkan
kaki ke tiang lilin yang menjadi penerang di kamar ini. Terdapat 5 lilin yang
berjejer di tiang itu. Ia menjilat jari telunjuknya lalu mematikan sumbu lilin
dengan jari telunjuk dan jempolnya. Satu lilin padam namun hanya mengurangi
sedikit pencahayaan. Entah mengapa ia melakukan itu.
Setelahnya,
berjalan ke arah tempat tidur bertiangnya lalu duduk di sisi yang lain. Sisi
yang berlawanan denganku. Dengan terpaksa aku harus menoleh ke belakang untuk
melihat apa yang ia lakukan. Pertama ia membuka pembungkus pergelangan
tangannya sehingga pakaian putih dibalik bungkusan itu sekarang terlihat. Lalu
ia melepaskan rompi hitamnya sehingga kemeja putihnya yang longgar itu
terpampang. Diam-diam aku takut jika ia tiba-tiba menarikku ke atas tempat
tidur dan memerkosaku di atas ranjangnya. Tapi, aku mengingatkan diriku kalau
pangeran Miguel orang terhormat.
“Memerkosa
wanita muda sepertimu bukan kebiasaanku,” ucap pangeran Miguel tiba-tiba.
Bagaimana bisa ia membaca pikiranku? Aku bangkit dari tempat tidurnya. “Mau
kemana kau?”
“Kurasa
makan malam sudah selesai dan Jemima memintaku membantunya untuk mengangkat
piring-piring,” ucapku jujur. Memang itulah yang Jemima inginkan sewaktu aku sedang
merapikan diri di depan cermin kamar. Pangeran Miguel membalikkan tubuhnya..
dan sekarang oksigen terasa begitu sulit untuk kuhirup. Otot perut pangeran
Miguel begitu tampak dari sela-sela kerah lehernya yang terpotong hingga dada,
terlebih lagi karena pakaiannya begitu tipis.
Jika
pangeran Miguel sekarang dapat membaca pikiranku, apakah ia tahu bagaimana
berpengaruhnya ia bagiku? Ia bilang, ia mencintaiku, namun sayangnya aku tak
mengindahkan kata-kata manisnya. Aku tahu, memang belum ada seorang pun
mengatakan seperti itu padaku, namun aku harus tetap waspada. Apa yang telah
kulalui hari ini seharusnya mengguncang diriku. Seharusnya sekarang aku
meringkuk dan menangis di sudut ruangan. Namun apakah aku terlalu sinting
karena diperdaya oleh keluarga Thaddeus, aku tidak boleh membiarkan diriku
menangis. Terutama jika aku menangisi seseorang yang kucintai.
Lagi
pula, alasan kuat apa yang dapat membuatku menangisi seorang pria? Jika aku
mencintainya, aku tak perlu menangis karena aku tahu ia baik-baik saja dan
tidak mati—dan terlihat begitu sehat dan maskulin. Terakhir aku menangis saat
Ibuku meninggal. Itulah tangisan terakhirku, setelahnya, aku tidak pernah
menangis lagi. Perginya Ibuku membuat diriku lebih kuat dari sebelumnya.
Terutama karena tanggungjawab yang ia turunkan bagiku. Jadi, mengapa aku harus
menangis jika aku sudah melewati hal yang lebih menyakitkan dibanding patah
hatiku karena pria?
“Apa
kau mendengarku, Eleanor?” Tanya pangeran Miguel membuatku mengerjap-kerjapkan
mata, terbangun dari lamunanku, dan membalikkan kepalaku untuk melihatnya. Pria
itu sudah berdiri di depan pintu dengan jubah yang menutupi tubuhnya. Sudah
berapa lama aku melamun atau seberapa cepat ia mengganti pakaiannya? Pangeran
Miguel mengikat tali jubahnya dan berjalan lambat ke arahku.
“A-aku
rasa aku harus pergi, pangeran Miguel. Ini sudah malam dan keluargamu sudah
selesai. Mungkin Abigail akan datang dan kalian membutuhkan privasi kare—“
“Kau
berkata seperti itu atas dasar apa?” Tanya pangeran Miguel tampak tersinggung.
Mata birunya menatap tajam padaku, tidak begitu bersahabat. Mengapa ia
tersinggung? Apakah ada yang salah dengan pertanyaanku? Yah, baiklah, aku harus
akui, aku penasaran dengan hubungan antara pangeran Miguel dan Abigail yang
tampak tidak seperti kakak beradik.
“Tuanku,”
ucapku bersikap sopan, diam-diam aku takut harus mengatakan hal ini padanya.
“Kedekatanmu dengan adikmu melewati batas wajar. Bagaimana kau menyentuh
Abigail atau bagaimana cara Abigail menatapmu, kalian seolah-olah saling memiliki
satu sama lain,”
“Aku
menyayanginya sejak ia lahir, Eleanor,” geram pangeran Miguel dengan suara
serak. Apakah aku baru saja membuatnya marah? Tentu saja, wajahnya berubah
merah padam. “Saat ini, aku akan tetap merahasiakannya darimu, namun suatu saat
nanti aku akan memberitahu alasannya lebih rinci.”
“Berarti
kau sangat menyayanginya,” kataku menarik nafas dalam-dalam hingga dadaku
menyembul. Matanya yang berwarna biru—lebih indah dari air laut—kemudian
menatapku lembut. Ia baru saja mengatakan kata-kata manis padaku lalu ia marah
hanya karena aku mengangkat topik pembicaraan tentang adiknya yang begitu ia
sayangi. Bagaimana aku bisa yakin kalau ia benar-benar mencintaiku? Bahkan,
sekarang aku sadar dari pikiranku yang tidak meluas, aku baru bertemu dengannya
hari ini—sejak dua tahun yang lalu.
Inilah
alasan mengapa aku tak ingin jatuh hati pada pangeran Miguel. Ia pasti telah
mengatakan kata-kata itu pada wanita muda lain sebelum aku. Saat ia
meninggalkanku di taman sendirian dan meyakinkan diriku untuk tak berharap
lebih banyak lagi pada pangeran Miguel, aku menguburkan seluruh perasaanku
dalam-dalam terhadapnya. Tetapi aku tak dapat menyangkal gelenyar aneh tiap
kali kulit kami bersentuhan atau ketika ia memberi senyum padaku jantungku akan
berpacu lebih cepat tiap detiknya. Ia terlalu memikat untuk disangkal.
Pangeran
Miguel menarik pinggulku agar tubuh kami bersentuhan. Inilah yang kumaksud.
Dari sikapku yang awalnya pemberani, tiba-tiba saja aku dapat ditaklukan hanya
dalam hitungan detik. Begitu lemahnya benteng pertahananku. Saat menatap
matanya, aku bisa saja tenggelam di mata birunya yang terlalu indah—seperti ada
warna hijau mengkilat di pencahayaan tertentu.
“Apakah
itu artinya kau cemburu, Cintaku?” Bibirnya terlalu dekat dengan bibirku.
“Aku
tidak tahu, Tuanku, pangeran Miguel,” ucapku memejamkan mata. “Mungkin aku
cemburu, tapi jika aku pikir-pikir kembali.. kalian berdua hanyalah kakak
beradik yang saling menyayangi dan itu sangatlah wajar.” Seulas senyum tulus
muncul di wajahnya setelah beberapa lama ia bersikap serius.
“Dan
begitulah cara berpikir yang kusuka, Eleanor,” bisik Justin memagut bibirku
setelahnya. “Maafkan aku telah membentakmu. Aku tidak terbiasa membicarakan
adikku dengan orang lain.”
“Bukan
hakku mengetahui apa pun tentang adikmu, pangeran Miguel.” Aku sedang sibuk
mencari oksigen daripada mencari kata-kata yang tepat untuk dikatakan. Pangeran
Miguel menghela nafas pendek hingga menerpa pipiku, lalu mengecup bibirku
sekali lagi. Apakah ini berarti kita telah menjadi sepasang kekasih? Aku tak
berani bertanya. Hubungan ini bisa mungkin, bisa juga tidak. Mengetahui ia
adalah seorang pangeran membuatku takut menjalani hubungan asmara dengannya.
Lagi
pula, ia sendiri yang sudah memintaku untuk tetap merahasiakan hubungan ini
dari siapa pun. Aku tahu alasan pastinya mengapa ia melakukan itu demi hubungan
kami. Namun aku juga ragu dengan perasaannya yang seperti tak begitu
serius—demi Tuhan, ini hari pertamaku di istana dan aku sudah mendapat ciuman
pertamaku dari seorang terhomat! Tidak mungkin percintaan ini akan bertahan
lama jika aku tidak percaya padanya. Yang harus kulakukan sekarang hanyalah
menunggunya sampai ia siap memberitahu siapa pun kalau kami saling mencintai.
Setelah
menarik sejumput rambut dari keningku dan menyingkirkannya ke samping, ia
tersenyum padaku. Pangeran Miguel yang lembut dan kasar di waktu yang
bersamaan, bagaimana mungkin aku jatuh cinta padanya? Cinta ini pasti tidak
nyata! Aku ingin menampar pipiku agar cepat-cepat bangun dari mimpiku yang konyol
ini. Berada di dalam kamar sang pangeran? Hanya berdua? Apa yang akan dikatakan
orang-orang tentang ini? Sudah pasti pangeran Miguel akan diejek karena
hubungan ini dan kepalaku akan dipenggal karena sudah berani-beraninya
mendekati pangeran.
Semua
orang pasti berpikir pangeran Miguel seharusnya mendapatkan seorang yang
sederajat dengannya. Sementara aku hanyalah seorang pelayan istana dan anak
dari salah satu prajurit kerajaan—bahkan sudah pensiun.
“Jangan,”
katanya tiba-tiba. Aku mengerut bingung. “Jangan pikirkan hal-hal yang buruk
tentang hubungan ini. Aku milikmu, Eleanor, kau harus percaya. Persetan dengan
peraturan istana, aku tidak hidup bergantung pada peraturan konyol. Untuk saat
ini, kita masih harus merahasiakan hubungan ini—yang sangat berarti
untukku—sampai kau dan aku sudah siap mengatakannya pada penduduk Cardwell
bahwa kau mengandung anakku,” lanjutnya semakin membuatku bingung dan aku
melongo seperti orang bodoh.
“Mengandung
anakmu, pangeran Miguel?” Bahwa aku mengandung anaknya? Ia ingin menghamiliku
agar ia memilikiku? Ia tersenyum jahil padaku. Lalu ia tertawa kecil, tangannya
mengelus lembut pipiku.
“Aku
hanya bercanda, sayangku,” bisiknya. “Tapi aku sudah mendapat gambaran
bagaimana masa depanmu di tanganku. Jangan pernah biarkan aku melupakan
janjiku, mengerti? Aku akan meminta seseorang untuk menjagamu selama kau
melayani Abigail,”
“Pangeran
Miguel, itu sangat tidak perlu.” Aku menolak halus. Rahangnya menegang dan
menatapku marah. Aku baru saja menolaknya dengan halus dan ia marah!
“Itu
sangat perlu, Eleanor-ku, kesayanganku. Aku tidak akan membiarkan satu orang
pun menyentuhmu selain aku. Oh, aku bahkan tak bisa membayangkan sesuatu yang
buruk menimpamu dan Abigail. Bagaimana jika kalian pergi malam-malam—oh, tidak,
kalian tidak akan kubiarkan keluar malam-malam seperti pelacur mencari mangsa,”
“Pangeran
Miguel, kau berpikir sangat berlebihan. Aku bisa menjaga diriku,” ucapku
menyentuh pipinya. Dagu dan rahangnya terasa kasar karena jenggotnya yang
tercukur sehingga menggelitiki telapak tanganku. Ia memejamkan dan mendengus.
“Aku
tidak berpikir berlebihan. Ini tentang apa yang kumiliki. Jika sudah
bersangkutan denganku, aku tidak akan diam saja dan menunggu kapan kalian akan
diperkosa atau dibunuh. Pada dasarnya, aku tidak bisa berjauhan denganmu,”
katanya membuka mata. Kali ini matanya menatapku lembut—lagi, lalu menghela
nafas panjang dari mulutnya. “Tidurlah, katakan pada Jemima bahwa aku yang
memerintahkanmu karena besok kau akan melayani Abigail.”
“Akan
kulakukan,” ucapku menarik diri dari dekapannya. Tapi tangannya tak kunjung
mengendorkan dekapannya di sekitar pinggangku. Aku menatapnya protes. “Pangeran
Miguel, bagaimana bisa aku pergi jika kau terus memelukku?”
“Sudah
kukatakan, aku tidak bisa berjauhan denganmu,” katanya menggodaku. Darah mulai
mengempul di kepalaku hingga terasa panas. Aku sangat yakin rona pipiku sangat
kentara karena sekarang pangeran Miguel tersenyum geli. “Kalian begitu mirip,”
bisiknya. Apa? Antara aku dan Abigail? Kumohon jangan banding-bandingkan aku
dengan adiknya. Perasaan ini sangat tidak menyenangkan, jadi, aku harus segera
menyingkirkannya sebelum aku marah karena terbakar rasa cemburu. Bagaimana aku
tidak cemburu? Aku yakin sekali, saat pangeran Miguel memikirkanku pasti disaat
bersamaan, ia juga memikirkan Abigail.
Oh,
aku sangat egois dan sentimental. Kutarik nafasku dalam-dalam sambil
mengerjapkan mata beberapa kali. Kutarik tubuhku dari dekapan tangannya
pelan-pelan hingga akhirnya tangan itu sudah tak melingkar di pinggangku.
“Pangeran
Miguel, semoga kau tidur nyenyak,” ucapku berjalan mendekati pintu kamarnya. Tiba-tiba,
dari belakang ia menarik bahuku hingga aku berbalik kembali lalu memeluk
pinggangku hingga tubuh kami saling bersentuhan. Lalu mulut kami yang saling
menyatu. Ia menciumku dalam dan intens. Mulutku sudah terbuka, menerimanya
dengan segala sensasi yang ia berikan. Kali ini aku membalasnya. Lidahku ikut
bergerak membelai lidahnya kemudian langit-langit mulutnya hingga ia mengerang
dalam mulutku. Tubuhku bergetar hingga lututku tertekuk karena terlalu lemas
untuk berdiri. Untungnya ia menahanku dengan pelukan yang erat.
Setelah
mulut kami berpisah, sebuah senyuman puas muncul mendebarkan hatiku untuk yang
kesekian kalinya. “Lebih baik,” katanya memujiku. “Lain kali, aku mengharapkan
sisi liarmu lebih dari ini. Seringnya, kau mengejutkanku, Eleanor.”
“Aku
harus pergi,” kataku salah tingkah.
“Segera
tidur di kamarmu. Jika aku melihatmu bergerak di dalam dapur atau sedang
memberes sesuatu, maka akan ada ganjaran yang akan kau dapatkan.” Ia
mengancamku saat aku membuka pintu.
Kudengar
ia menggumamkan sesuatu namun tidak jelas. Pintu sudah tertutup lalu aku
berbalik untuk segera meninggalkan kamar itu secepat mungkin agar tidak ada
yang curiga. Namun terlambat. Abigail berdiri terpaku di ujung lorong dengan
mata berkaca-kaca. Apakah aku baru saja membuatnya cemburu? Hanya Tuhan yang
tahu.
***
Abigail tidak suka kedatanganku di
kamarnya. Ia terlalu memperlihatkannya dengan jelas. Wajahnya cemberut saat aku
masuk namun ia tidak melakukan apa pun selain pasrah. Pasti pangeran Miguel
sudah mengatakan sesuatu padanya sehingga ia terpaksa menerimaku menjadi
pelayannya. Pagi itu aku harus memakaikan gaun indah nan mewah bagi Abigail
serta menghias rambutnya. Menghias rambut? Aku sering melakukannya pada adikku.
Bagiku, memakaikan gaun bukanlah masalah besar sejauh ini. Jika Abigail
mengajakku menunggang kuda—yang kuyakin itu tidak akan terjadi—aku akan
menyayanginya seumur hidupku! Mungkin satu hal yang tidak perlu ia minta padaku;
nasihat bagaimana bertingkah dengan seorang pria.
Tidak
akan ada yang tahu apa yang ada dipikiran Abigail selain dia sendiri dan
Tuhan—mungkin pangeran Miguel atau Ayahnya bisa membaca pikirannya. Jadi,
banyak kemungkinan ia akan bertanya seperti itu padaku. Namun aku lebih
meragukannya karena kudengar dari Jemima, Abigail akan menikah dengan seorang
duke di kerajaan lain—dan kabarnya, pangeran Miguel mengamuk di meja makan
hingga raja harus menegur pangeran. Tapi itu bukan urusanku.
Abigail sudah
memakai korsetnya namun belum terikat. Ia berdiri di depan cermin panjang lalu
menatapku dari pantulan cermin. Seulas senyuman tulus muncul di wajahnya
setelah beberapa lama ia memberi ekspresi tak suka padaku.
“Bisakah
kau memakaikan gaun itu untukku, Eleanor? Ayah tidak akan membayarmu jika kau
tidak cepat-cepat. Akan ada acara keluarga siang ini dan aku harus memberikan
tampilan terbaik untuk siapa pun—terlebih Justin,” ucap Abigail membuat
pendengaranku terasa asing mendengar nama depan pangeran Miguel. Mungkinkah ia
satu-satunya orang yang memanggil pangeran Miguel dengan nama Justin? Nama
Justin tidak begitu terkenal di Cardwell, bahkan mungkin hanya pangeran Miguel
yang memiliki nama seperti itu. Dan aku bertanya-tanya mengapa raja memberikan
nama anaknya; Justin.
Aku
mendekati Abigail, berdiri di belakangnya dan mulai menarik tali-tali korset
dan mengikatnya. Setelahnya, aku mengambil gaun berwarna biru langit dengan
renda-renda di bagian leher, pinggang dan tepi rok. Gaun ini sangat mewah namun
aku tidak begitu tertarik untuk memakainya, terlalu sulit untuk bergerak,
sepertinya. Aku memakaikan gaun itu lalu mengancingnya. Rambut cokelat panjang
Abigail masih tergerai. Ia belum sepenuhnya sempurna jika belum ada sentuhan di
rambutnya.
“Duduklah,”
pintaku padanya. Abigail tidak rewel, tidak seperti adik-adikku, ia menuruti
apa yang kuminta. Ia duduk menyerong di tepi tidurnya yang besar. Di atas
tempat tidurnya sudah terdapat hiasan-hiasan rambut yang siap bekerja untuk
rambutnya.
“Eleanor,
bolehkah aku bertanya?” Tanyanya dengan suara halus yang tenang.
“Tentu
saja, Nonaku, Abigail,” ucapku mulai menyentuh rambut halusnya dan mengepangnya
dari puncak kepal. Abigail berdeham terlebih dahulu sebelum ia mengatakan
sesuatu.
“Apa
yang kaulakukan dengan pangeran Miguel kemarin sore di taman?” Tanya Abigail
membuatku membeku. Tanganku berhenti mengepang selama beberapa saat kemudian
kembali mengepangnya.
“Ia
hanya memintaku untuk menjadi pelayanmu. Meminta agar menjaga kecantikanmu
tetap awet. Hal-hal tentangmu yang tidak kuketahui,” dustaku takut-takut.
Kumohon jangan sampai ia bertanya apa yang kuketahui dari pangeran Miguel.
Kebohongan itu tidak kupikir matang-matang dan itu adalah tindakan bodoh. Dapat
kudengar seulas senyum cantik di bibir Abigail.
“Justin
memang sangat menyanyangiku,” ucapnya lebih terdengar pada dirinya sendiri
dibanding padaku. “Sejak aku lahir, ia adalah kakak kesukaanku. Aku dibuai
dengan kasih sayang dan ia meyakinkanku kalau ia adalah milikku. Ia tidak akan
membiarkanku sendirian dimana pun aku pergi—memang bukan dalam arti sebenarnya,
tapi tetap saja aku mengerti maksudnya. Hubungan kakak-adik yang kumiliki
bersamanya berbeda dari yang lain,”
“Itu
karena ia merasa kau memang berhak mendapatkan kasih sayang yang lebih dari orang
lain,” ucapku bahkan tidak mengerti apa yang baru saja kukatakan. Hatiku panas
dan terdengar konyol jika aku meyakinkan diriku kalau sekarang aku sedang
cemburu. Pangeran Miguel meyakinkan Abigail bahwa ia adalah milik Abigail, sama
seperti ia mengatakan hal itu padaku. Oh, sial, ini benar-benar di luar
dugaanku. Abigail terkekeh pelan setelah aku selesai mengepang rambutnya.
Kemudian aku menarik sebagian rambutnya yang lain—yang belum kukepang.
“Ia
bilang seperti itu padaku. Bahkan ia berkata, ‘Aku tidak akan membiarkan
suamimu bertahan lama denganmu karena aku akan membuatnya kesal dan muak
terhadap keluarga kita hingga ia memutuskan untuk menceraikanmu’. Bisakah kau
percaya itu, Eleanor? Perceraian tidak pernah dipandang bagus. Aku Khatolik,
kau juga Khatolik juga bukan?”
“Ya,
aku Khatolik. Perceraian dianggap hina selain menggugur bayi,” balasku merasa
seluruh tenaga berkurang setelah mendengar apa yang ia katakan. Bukan tentang
perceraian, tetapi bagaimana pangeran Miguel begitu melindungi Abigail sampai-sampai
ia rela menentang aturan agama. Aku menipiskan bibir untuk menahan mulutku.
Tetapi aku tak bisa. “Pangeran Miguel memang sangat mencintaimu. Tak heran
hubungan kalian berbeda dari hubungan kakak beradik lainnya.”
“Begitulah
adanya, Eleanor,” desah Abigail namun menyiratkan kebanggaan. “Kupikir kakakku
sudah gila karena meniduri seorang pelayan, Eleanor. Terlebih lagi pelayan
cantik sepertimu. Kau bisa saja dipenggal kepala karena kakakku dan kau sudah
melanggar peraturan istana. Kecantikanmu akan sia-sia karena duke dari luar
belum melihatnya. Apakah kau masih perawan?” Kata-katanya menyengat hatiku
hingga rasanya mataku tertusuk-tusuk jarum. Hubunganku dan pangeran Miguel
takkan pernah berhasil. Bahkan adiknya sudah menyiratkan ketidakberhasilan
hubungan kami. Oh, cinta memang membuatku cengeng! Aku sudah berjanji tidak
akan menangis kemarin malam karena menangis memang bukan kebiasaanku.
Pikiranku
kembali pada pertanyaannya. “Aku masih perawan, Nonaku,” bisikku dengan pipi
merona. Ah, ini mengingatkanku atas ucapan pangeran Miguel. Sampai kau dan aku sudah siap mengatakannya
pada penduduk Cardwell bahwa kau mengandung anakku. Bayang-bayang aku hamil
membuatku bergidik.
“Berarti
beruntunglah duke yang akan mendapatkanmu nanti,” ucap Abigail terdengar lebih
ceria. Ia sudah tidak membenciku lagi? Baiklah, ini adalah kemajua yang maju.
Pertemuanku tadi malam dengannya benar-benar tidak bagus. Ia menatapku penuh
benci dan beranjak dari tempatnya begitu saja saat aku ingin membungkuk memberi
hormat. “Ibu akan menjadikanmu perawan-perawannya yang akan diberikan pada duke
yang bersedia membayar Ibuku demi mendapatkanmu.”
“Perbuatan
yang sangat terpuji,” kataku terdengar tulus sekaligus menyindir. Kuharap ia
sadar akan sindiranku karena hatiku sedang panas. Pangeran Miguel
menginginkanku! Aku ingin berseru padanya, namun yang kulakukan hanyalah
memberi bunga-bungaan terakhir di atas kepalanya lalu tersenyum puas. “Sudah
selesai. Kau sempurna sekarang.”
***
Acara
keluarga Thaddeus berjalan begitu lancar. Aku berdiri sejajar bersama pelayan
anak raja yang lain. Aku tidak mengobrol dengan salah satu di antara mereka
karena mereka tampak begitu dingin dan tak bersahabat. Jadi kuputuskan untuk
menutup diri dari mereka. Pembicaraan keluarga Thaddeus berawal dari kabar
mereka, menjurus pada agama lalu politik dan masih berputar di sekitar politik.
Pangeran Miguel duduk di sebelah Abigail yang memunggungiku namun aku bisa
melihat tangannya yang memegang tangan Abigail dan ditempatkan di pahanya.
Haruskah aku mencurigai hal-hal aneh terhadap hubungan mereka sebagai
kakak-adik?
Saat
percakapan masih berlangsung, tiba-tiba saja pangeran Miguel berdiri dari
kursinya—dan diikuti Abigail, tentu saja. “Aku ingin berkuda sebentar bersama
adikku. Permisi.” Kata-katanya tegas, membuat semua orang tak dapat
mencegahnya. Bahkan Ayahnya sendiri yang sedang meminum teh. Saat berbalik,
mata pangeran Miguel tidak menatapku dan itu cukup membuatku kecewa.
Abigail
memberi kode padaku untuk ikut bersamanya. Berkuda? Oh, ini pasti akan
menyenangkan. Rasa cemburuku sudah tertindih dengan rasa antusias yang
mengaliri di seluruh tubuhku. Kami keluar dari ruang keluarga yang besar dan
tinggi itu lalu berjalan melewati lorong-lorong. Beberapa pengawal mengikuti
kami dari belakang. Lalu salah satu diantara mereka berjalan sejajar denganku.
Pria muda berambut ikal pendek, berkumis tipis dan memiliki bibir tipis. Ia
tampan karena bulu matanya yang lentik.
“Aku
Leonard,” katanya memperkenalkan diri. “Pengawal putri Abigail,” lanjutnya. Aku
mengangguk atas dasar kesopanan dan kudengar suara dengusan pangeran Miguel di
depan. Entah dari mana datangnya, aku ingin melihat apakah pangeran Miguel
cemburu atau tidak bila aku berbicara dengan pengawal Abigail.
“Berarti
sebagain besar waktu kita akan kita lalui bersama,” ucapku dengan suara yang
ramah. “Aku Eleanor Hughes, pelayan baru putri Abigail. Aku sangat senang
karena pangeran Miguel menempatkanku sebagai pelayan Abigail,”
“Oh,
ya, tentu saja.” Leonard mengangguk pasti. “Apa kau ingin menumpang di kudaku?
Biasanya pelayan putri Abigail menumpang di kudaku jika kita keluar dari
istana,” ucap Leonard membuatku merasa tak enak hati. Bukan, bukan karena tak
enak hati menolaknya. Tapi tak enak hati pada pangeran Miguel. Memang aku ingin
melihatnya cemburu atau apa, tetapi kurasa menaiki kuda yang sama dengan
seorang pengawal adiknya bukanlah langkah yang bagus. Seumur hidupku, hanya
Ayah yang pernah menaiki kuda bersamaku.
“Aku
bisa berkuda sendiri,” ucapku lembut. “Apakah akan ada kuda untukku?” Tanyaku
ragu-ragu. Leonard tampak berpikir keras, ia menjawab begitu lama sampai
membuatku meremas gaun.
“Tentu
saja,” katanya tersenyum. “Melihat dari penampilanmu yang begitu menawan, aku
tidak tahu ternyata kau bisa berkuda.”
“Bahkan
putri Abigail dapat melakukannya, Leonard. Jangan menilai kecantikan sebagai
kebodohan wanita—memang sebagian tak berotak tapi tidak semuanya. Dan aku tidak
cantik,” ucapku tersenyum miris. Ah, ya, benar sekali. Mengapa pangeran Miguel
menginginkanku sementara wajahku tak pantas dibandingkan dengan wajah malaikat
Abigail.
“Hush,”
tegur Leonard. “Tidak boleh seperti itu. Kau cantik, terlebih lagi dengan
rambut merahmu yang terikat itu. Kuharap aku bisa melihat rambutmu tergerai,”
kata Leonard membuat pipiku merona merah akibat pujiannya yang berlebihan. Aku
tak dapat mengatakan apa pun padanya.
Setelah
sampai di istal, aku melihat begitu banyak kuda berada dalam kandangnya.
Pangeran Miguel membuka pintu kandang kudanya sementara Abigail mengambil
kudanya sendiri. Saat itulah pangeran Miguel menatapku. Mata birunya gelap dan
tajam saat ia melihatku. Nafasnya memburu bahkan wajahnya berwarna merah padam.
Seharusnya aku tidak membuatnya cemburu. Saat itulah aku takut menghadapinya.
“Abigail,
Leonard, apa kalian bisa pergi lebih dulu dariku dan Eleanor? Aku membutuhkan
privasi,” kata pangeran Miguel mengangkat suara. Abigail dan Leonard tak
mengatakan apa-apa selain menarik kekang kuda mereka keluar dari istal dan
meninggalkan kami berdua. Tangan pangeran Miguel yang sedang memegang tali
kekang kuda itu menarik kudanya hingga keluar dari kandangnya. Aku mundur
beberapa langkah saat moncong kuda itu hampir menciumku.
“Percakapan
sialan macam apa itu, Eleanor?” Sembur pangeran Miguel tanpa basa-basi.
Suaranya marah—terlihat dari rahangnya yang menegang kencang. “Jika kau
berusaha membuatku cemburu, maka itu sangat berhasil. Apa yang baru saja
kukatakan padamu semalam?”
Aku
ketakutan setengah mati. Tak menyangka akan mendapat amarah meledak darinya.
“Maafkan aku,” kataku sangat tulus. Diriku berharap ia mau memaafkanku atas
sikapku yang seperti anak kecil. Seharusnya aku tak memancing amarahnya. Ini
memang salahku.
Pangeran
Miguel tak mengatakan apa-apa. Ia menutup mulut—sepertinya menghindari
kata-kata kotor lain yang akan keluar dari mulutnya—namun ia menatapku, masih
dengan tatapan marah. Segera aku menunduk takut.
“Maafkan aku,
pangeran Miguel. Ini memang salahku. Oh, ini kebodohanku.” Sebuah tangan
menyentuh siku-siku lalu menarik daguku hingga aku mendongak. Matanya yang awalnya
memancarkan api kemarahan sekarang melembut, selembut kapas. “Maafkan aku,”
bisikku untuk terakhir kalinya.
“Jangan
uji sikapku yang posesif, Eleanor. Aku bisa saja membunuh Leonard hanya karena
berbicara denganmu. Aku tak ingin orang lain mati terbunuh hanya karena cemburu
buta seperti ini.” Ia membuatku mengangguk mengerti.
“Takkan
kulakukan lagi.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar