Senin, 03 November 2014

Beautiful Slave Bab 4

CHAPTER FOUR - GUILTY

ELEANOR HUGHES

            “Apakah sekarang aku adalah salah satu skandal di istana ini?” Tanyaku menatap kedua bola mata biru Justin. Saat ia meluncurkan kata-kata manis dari mulutnya, entah dari mana datangnya pikiranku yang bodoh itu, aku menanyakan sesuatu yang membuat dua garis bingung di keningnya. Pria itu hanya menutup mulut dan melepaskan kedua pipiku dari tangannya, menjauhiku. Apakah pertanyaan itu menyakiti perasaannya? Pangeran Miguel tentu bukan pria yang senang memakai perasaan. Ia pasti tidak begitu tersakiti dengan candaanku terhadap istana—baiklah, memang cukup keterlaluan.
            Aku dikenal sebagai wanita muda pendiam, pemalu dan sering menutup diri dari siapa pun. Kupikir keberanianku hanya sebatas berbicara dengan keluarga, tetapi keberanianku melampaui dugaanku. Aku baru saja menanyakan sesuatu yang menyengat perasaan pangeran Miguel, bahkan ia terdiam sampai sekarang. Ia melangkahkan kaki ke tiang lilin yang menjadi penerang di kamar ini. Terdapat 5 lilin yang berjejer di tiang itu. Ia menjilat jari telunjuknya lalu mematikan sumbu lilin dengan jari telunjuk dan jempolnya. Satu lilin padam namun hanya mengurangi sedikit pencahayaan. Entah mengapa ia melakukan itu.
            Setelahnya, berjalan ke arah tempat tidur bertiangnya lalu duduk di sisi yang lain. Sisi yang berlawanan denganku. Dengan terpaksa aku harus menoleh ke belakang untuk melihat apa yang ia lakukan. Pertama ia membuka pembungkus pergelangan tangannya sehingga pakaian putih dibalik bungkusan itu sekarang terlihat. Lalu ia melepaskan rompi hitamnya sehingga kemeja putihnya yang longgar itu terpampang. Diam-diam aku takut jika ia tiba-tiba menarikku ke atas tempat tidur dan memerkosaku di atas ranjangnya. Tapi, aku mengingatkan diriku kalau pangeran Miguel orang terhormat.
            “Memerkosa wanita muda sepertimu bukan kebiasaanku,” ucap pangeran Miguel tiba-tiba. Bagaimana bisa ia membaca pikiranku? Aku bangkit dari tempat tidurnya. “Mau kemana kau?”
            “Kurasa makan malam sudah selesai dan Jemima memintaku membantunya untuk mengangkat piring-piring,” ucapku jujur. Memang itulah yang Jemima inginkan sewaktu aku sedang merapikan diri di depan cermin kamar. Pangeran Miguel membalikkan tubuhnya.. dan sekarang oksigen terasa begitu sulit untuk kuhirup. Otot perut pangeran Miguel begitu tampak dari sela-sela kerah lehernya yang terpotong hingga dada, terlebih lagi karena pakaiannya begitu tipis.
            Jika pangeran Miguel sekarang dapat membaca pikiranku, apakah ia tahu bagaimana berpengaruhnya ia bagiku? Ia bilang, ia mencintaiku, namun sayangnya aku tak mengindahkan kata-kata manisnya. Aku tahu, memang belum ada seorang pun mengatakan seperti itu padaku, namun aku harus tetap waspada. Apa yang telah kulalui hari ini seharusnya mengguncang diriku. Seharusnya sekarang aku meringkuk dan menangis di sudut ruangan. Namun apakah aku terlalu sinting karena diperdaya oleh keluarga Thaddeus, aku tidak boleh membiarkan diriku menangis. Terutama jika aku menangisi seseorang yang kucintai.
            Lagi pula, alasan kuat apa yang dapat membuatku menangisi seorang pria? Jika aku mencintainya, aku tak perlu menangis karena aku tahu ia baik-baik saja dan tidak mati—dan terlihat begitu sehat dan maskulin. Terakhir aku menangis saat Ibuku meninggal. Itulah tangisan terakhirku, setelahnya, aku tidak pernah menangis lagi. Perginya Ibuku membuat diriku lebih kuat dari sebelumnya. Terutama karena tanggungjawab yang ia turunkan bagiku. Jadi, mengapa aku harus menangis jika aku sudah melewati hal yang lebih menyakitkan dibanding patah hatiku karena pria?
            “Apa kau mendengarku, Eleanor?” Tanya pangeran Miguel membuatku mengerjap-kerjapkan mata, terbangun dari lamunanku, dan membalikkan kepalaku untuk melihatnya. Pria itu sudah berdiri di depan pintu dengan jubah yang menutupi tubuhnya. Sudah berapa lama aku melamun atau seberapa cepat ia mengganti pakaiannya? Pangeran Miguel mengikat tali jubahnya dan berjalan lambat ke arahku.
            “A-aku rasa aku harus pergi, pangeran Miguel. Ini sudah malam dan keluargamu sudah selesai. Mungkin Abigail akan datang dan kalian membutuhkan privasi kare—“
            “Kau berkata seperti itu atas dasar apa?” Tanya pangeran Miguel tampak tersinggung. Mata birunya menatap tajam padaku, tidak begitu bersahabat. Mengapa ia tersinggung? Apakah ada yang salah dengan pertanyaanku? Yah, baiklah, aku harus akui, aku penasaran dengan hubungan antara pangeran Miguel dan Abigail yang tampak tidak seperti kakak beradik.
            “Tuanku,” ucapku bersikap sopan, diam-diam aku takut harus mengatakan hal ini padanya. “Kedekatanmu dengan adikmu melewati batas wajar. Bagaimana kau menyentuh Abigail atau bagaimana cara Abigail menatapmu, kalian seolah-olah saling memiliki satu sama lain,”
            “Aku menyayanginya sejak ia lahir, Eleanor,” geram pangeran Miguel dengan suara serak. Apakah aku baru saja membuatnya marah? Tentu saja, wajahnya berubah merah padam. “Saat ini, aku akan tetap merahasiakannya darimu, namun suatu saat nanti aku akan memberitahu alasannya lebih rinci.”
            “Berarti kau sangat menyayanginya,” kataku menarik nafas dalam-dalam hingga dadaku menyembul. Matanya yang berwarna biru—lebih indah dari air laut—kemudian menatapku lembut. Ia baru saja mengatakan kata-kata manis padaku lalu ia marah hanya karena aku mengangkat topik pembicaraan tentang adiknya yang begitu ia sayangi. Bagaimana aku bisa yakin kalau ia benar-benar mencintaiku? Bahkan, sekarang aku sadar dari pikiranku yang tidak meluas, aku baru bertemu dengannya hari ini—sejak dua tahun yang lalu.
            Inilah alasan mengapa aku tak ingin jatuh hati pada pangeran Miguel. Ia pasti telah mengatakan kata-kata itu pada wanita muda lain sebelum aku. Saat ia meninggalkanku di taman sendirian dan meyakinkan diriku untuk tak berharap lebih banyak lagi pada pangeran Miguel, aku menguburkan seluruh perasaanku dalam-dalam terhadapnya. Tetapi aku tak dapat menyangkal gelenyar aneh tiap kali kulit kami bersentuhan atau ketika ia memberi senyum padaku jantungku akan berpacu lebih cepat tiap detiknya. Ia terlalu memikat untuk disangkal.
            Pangeran Miguel menarik pinggulku agar tubuh kami bersentuhan. Inilah yang kumaksud. Dari sikapku yang awalnya pemberani, tiba-tiba saja aku dapat ditaklukan hanya dalam hitungan detik. Begitu lemahnya benteng pertahananku. Saat menatap matanya, aku bisa saja tenggelam di mata birunya yang terlalu indah—seperti ada warna hijau mengkilat di pencahayaan tertentu.
            “Apakah itu artinya kau cemburu, Cintaku?” Bibirnya terlalu dekat dengan bibirku.
            “Aku tidak tahu, Tuanku, pangeran Miguel,” ucapku memejamkan mata. “Mungkin aku cemburu, tapi jika aku pikir-pikir kembali.. kalian berdua hanyalah kakak beradik yang saling menyayangi dan itu sangatlah wajar.” Seulas senyum tulus muncul di wajahnya setelah beberapa lama ia bersikap serius.
            “Dan begitulah cara berpikir yang kusuka, Eleanor,” bisik Justin memagut bibirku setelahnya. “Maafkan aku telah membentakmu. Aku tidak terbiasa membicarakan adikku dengan orang lain.”
            “Bukan hakku mengetahui apa pun tentang adikmu, pangeran Miguel.” Aku sedang sibuk mencari oksigen daripada mencari kata-kata yang tepat untuk dikatakan. Pangeran Miguel menghela nafas pendek hingga menerpa pipiku, lalu mengecup bibirku sekali lagi. Apakah ini berarti kita telah menjadi sepasang kekasih? Aku tak berani bertanya. Hubungan ini bisa mungkin, bisa juga tidak. Mengetahui ia adalah seorang pangeran membuatku takut menjalani hubungan asmara dengannya.
            Lagi pula, ia sendiri yang sudah memintaku untuk tetap merahasiakan hubungan ini dari siapa pun. Aku tahu alasan pastinya mengapa ia melakukan itu demi hubungan kami. Namun aku juga ragu dengan perasaannya yang seperti tak begitu serius—demi Tuhan, ini hari pertamaku di istana dan aku sudah mendapat ciuman pertamaku dari seorang terhomat! Tidak mungkin percintaan ini akan bertahan lama jika aku tidak percaya padanya. Yang harus kulakukan sekarang hanyalah menunggunya sampai ia siap memberitahu siapa pun kalau kami saling mencintai.
            Setelah menarik sejumput rambut dari keningku dan menyingkirkannya ke samping, ia tersenyum padaku. Pangeran Miguel yang lembut dan kasar di waktu yang bersamaan, bagaimana mungkin aku jatuh cinta padanya? Cinta ini pasti tidak nyata! Aku ingin menampar pipiku agar cepat-cepat bangun dari mimpiku yang konyol ini. Berada di dalam kamar sang pangeran? Hanya berdua? Apa yang akan dikatakan orang-orang tentang ini? Sudah pasti pangeran Miguel akan diejek karena hubungan ini dan kepalaku akan dipenggal karena sudah berani-beraninya mendekati pangeran.
            Semua orang pasti berpikir pangeran Miguel seharusnya mendapatkan seorang yang sederajat dengannya. Sementara aku hanyalah seorang pelayan istana dan anak dari salah satu prajurit kerajaan—bahkan sudah pensiun.
            “Jangan,” katanya tiba-tiba. Aku mengerut bingung. “Jangan pikirkan hal-hal yang buruk tentang hubungan ini. Aku milikmu, Eleanor, kau harus percaya. Persetan dengan peraturan istana, aku tidak hidup bergantung pada peraturan konyol. Untuk saat ini, kita masih harus merahasiakan hubungan ini—yang sangat berarti untukku—sampai kau dan aku sudah siap mengatakannya pada penduduk Cardwell bahwa kau mengandung anakku,” lanjutnya semakin membuatku bingung dan aku melongo seperti orang bodoh.
“Mengandung anakmu, pangeran Miguel?” Bahwa aku mengandung anaknya? Ia ingin menghamiliku agar ia memilikiku? Ia tersenyum jahil padaku. Lalu ia tertawa kecil, tangannya mengelus lembut pipiku.
            “Aku hanya bercanda, sayangku,” bisiknya. “Tapi aku sudah mendapat gambaran bagaimana masa depanmu di tanganku. Jangan pernah biarkan aku melupakan janjiku, mengerti? Aku akan meminta seseorang untuk menjagamu selama kau melayani Abigail,”
            “Pangeran Miguel, itu sangat tidak perlu.” Aku menolak halus. Rahangnya menegang dan menatapku marah. Aku baru saja menolaknya dengan halus dan ia marah!
            “Itu sangat perlu, Eleanor-ku, kesayanganku. Aku tidak akan membiarkan satu orang pun menyentuhmu selain aku. Oh, aku bahkan tak bisa membayangkan sesuatu yang buruk menimpamu dan Abigail. Bagaimana jika kalian pergi malam-malam—oh, tidak, kalian tidak akan kubiarkan keluar malam-malam seperti pelacur mencari mangsa,”
            “Pangeran Miguel, kau berpikir sangat berlebihan. Aku bisa menjaga diriku,” ucapku menyentuh pipinya. Dagu dan rahangnya terasa kasar karena jenggotnya yang tercukur sehingga menggelitiki telapak tanganku. Ia memejamkan dan mendengus.
            “Aku tidak berpikir berlebihan. Ini tentang apa yang kumiliki. Jika sudah bersangkutan denganku, aku tidak akan diam saja dan menunggu kapan kalian akan diperkosa atau dibunuh. Pada dasarnya, aku tidak bisa berjauhan denganmu,” katanya membuka mata. Kali ini matanya menatapku lembut—lagi, lalu menghela nafas panjang dari mulutnya. “Tidurlah, katakan pada Jemima bahwa aku yang memerintahkanmu karena besok kau akan melayani Abigail.”
            “Akan kulakukan,” ucapku menarik diri dari dekapannya. Tapi tangannya tak kunjung mengendorkan dekapannya di sekitar pinggangku. Aku menatapnya protes. “Pangeran Miguel, bagaimana bisa aku pergi jika kau terus memelukku?”
            “Sudah kukatakan, aku tidak bisa berjauhan denganmu,” katanya menggodaku. Darah mulai mengempul di kepalaku hingga terasa panas. Aku sangat yakin rona pipiku sangat kentara karena sekarang pangeran Miguel tersenyum geli. “Kalian begitu mirip,” bisiknya. Apa? Antara aku dan Abigail? Kumohon jangan banding-bandingkan aku dengan adiknya. Perasaan ini sangat tidak menyenangkan, jadi, aku harus segera menyingkirkannya sebelum aku marah karena terbakar rasa cemburu. Bagaimana aku tidak cemburu? Aku yakin sekali, saat pangeran Miguel memikirkanku pasti disaat bersamaan, ia juga memikirkan Abigail.
           Oh, aku sangat egois dan sentimental. Kutarik nafasku dalam-dalam sambil mengerjapkan mata beberapa kali. Kutarik tubuhku dari dekapan tangannya pelan-pelan hingga akhirnya tangan itu sudah tak melingkar di pinggangku.
            “Pangeran Miguel, semoga kau tidur nyenyak,” ucapku berjalan mendekati pintu kamarnya. Tiba-tiba, dari belakang ia menarik bahuku hingga aku berbalik kembali lalu memeluk pinggangku hingga tubuh kami saling bersentuhan. Lalu mulut kami yang saling menyatu. Ia menciumku dalam dan intens. Mulutku sudah terbuka, menerimanya dengan segala sensasi yang ia berikan. Kali ini aku membalasnya. Lidahku ikut bergerak membelai lidahnya kemudian langit-langit mulutnya hingga ia mengerang dalam mulutku. Tubuhku bergetar hingga lututku tertekuk karena terlalu lemas untuk berdiri. Untungnya ia menahanku dengan pelukan yang erat.
            Setelah mulut kami berpisah, sebuah senyuman puas muncul mendebarkan hatiku untuk yang kesekian kalinya. “Lebih baik,” katanya memujiku. “Lain kali, aku mengharapkan sisi liarmu lebih dari ini. Seringnya, kau mengejutkanku, Eleanor.”
            “Aku harus pergi,” kataku salah tingkah.
            “Segera tidur di kamarmu. Jika aku melihatmu bergerak di dalam dapur atau sedang memberes sesuatu, maka akan ada ganjaran yang akan kau dapatkan.” Ia mengancamku saat aku membuka pintu.
            Kudengar ia menggumamkan sesuatu namun tidak jelas. Pintu sudah tertutup lalu aku berbalik untuk segera meninggalkan kamar itu secepat mungkin agar tidak ada yang curiga. Namun terlambat. Abigail berdiri terpaku di ujung lorong dengan mata berkaca-kaca. Apakah aku baru saja membuatnya cemburu? Hanya Tuhan yang tahu.

***

                        Abigail tidak suka kedatanganku di kamarnya. Ia terlalu memperlihatkannya dengan jelas. Wajahnya cemberut saat aku masuk namun ia tidak melakukan apa pun selain pasrah. Pasti pangeran Miguel sudah mengatakan sesuatu padanya sehingga ia terpaksa menerimaku menjadi pelayannya. Pagi itu aku harus memakaikan gaun indah nan mewah bagi Abigail serta menghias rambutnya. Menghias rambut? Aku sering melakukannya pada adikku. Bagiku, memakaikan gaun bukanlah masalah besar sejauh ini. Jika Abigail mengajakku menunggang kuda—yang kuyakin itu tidak akan terjadi—aku akan menyayanginya seumur hidupku! Mungkin satu hal yang tidak perlu ia minta padaku; nasihat bagaimana bertingkah dengan seorang pria.
            Tidak akan ada yang tahu apa yang ada dipikiran Abigail selain dia sendiri dan Tuhan—mungkin pangeran Miguel atau Ayahnya bisa membaca pikirannya. Jadi, banyak kemungkinan ia akan bertanya seperti itu padaku. Namun aku lebih meragukannya karena kudengar dari Jemima, Abigail akan menikah dengan seorang duke di kerajaan lain—dan kabarnya, pangeran Miguel mengamuk di meja makan hingga raja harus menegur pangeran. Tapi itu bukan urusanku.
Abigail sudah memakai korsetnya namun belum terikat. Ia berdiri di depan cermin panjang lalu menatapku dari pantulan cermin. Seulas senyuman tulus muncul di wajahnya setelah beberapa lama ia memberi ekspresi tak suka padaku.
            “Bisakah kau memakaikan gaun itu untukku, Eleanor? Ayah tidak akan membayarmu jika kau tidak cepat-cepat. Akan ada acara keluarga siang ini dan aku harus memberikan tampilan terbaik untuk siapa pun—terlebih Justin,” ucap Abigail membuat pendengaranku terasa asing mendengar nama depan pangeran Miguel. Mungkinkah ia satu-satunya orang yang memanggil pangeran Miguel dengan nama Justin? Nama Justin tidak begitu terkenal di Cardwell, bahkan mungkin hanya pangeran Miguel yang memiliki nama seperti itu. Dan aku bertanya-tanya mengapa raja memberikan nama anaknya; Justin.
            Aku mendekati Abigail, berdiri di belakangnya dan mulai menarik tali-tali korset dan mengikatnya. Setelahnya, aku mengambil gaun berwarna biru langit dengan renda-renda di bagian leher, pinggang dan tepi rok. Gaun ini sangat mewah namun aku tidak begitu tertarik untuk memakainya, terlalu sulit untuk bergerak, sepertinya. Aku memakaikan gaun itu lalu mengancingnya. Rambut cokelat panjang Abigail masih tergerai. Ia belum sepenuhnya sempurna jika belum ada sentuhan di rambutnya.
            “Duduklah,” pintaku padanya. Abigail tidak rewel, tidak seperti adik-adikku, ia menuruti apa yang kuminta. Ia duduk menyerong di tepi tidurnya yang besar. Di atas tempat tidurnya sudah terdapat hiasan-hiasan rambut yang siap bekerja untuk rambutnya.
            “Eleanor, bolehkah aku bertanya?” Tanyanya dengan suara halus yang tenang.
            “Tentu saja, Nonaku, Abigail,” ucapku mulai menyentuh rambut halusnya dan mengepangnya dari puncak kepal. Abigail berdeham terlebih dahulu sebelum ia mengatakan sesuatu.
            “Apa yang kaulakukan dengan pangeran Miguel kemarin sore di taman?” Tanya Abigail membuatku membeku. Tanganku berhenti mengepang selama beberapa saat kemudian kembali mengepangnya.
            “Ia hanya memintaku untuk menjadi pelayanmu. Meminta agar menjaga kecantikanmu tetap awet. Hal-hal tentangmu yang tidak kuketahui,” dustaku takut-takut. Kumohon jangan sampai ia bertanya apa yang kuketahui dari pangeran Miguel. Kebohongan itu tidak kupikir matang-matang dan itu adalah tindakan bodoh. Dapat kudengar seulas senyum cantik di bibir Abigail.
            “Justin memang sangat menyanyangiku,” ucapnya lebih terdengar pada dirinya sendiri dibanding padaku. “Sejak aku lahir, ia adalah kakak kesukaanku. Aku dibuai dengan kasih sayang dan ia meyakinkanku kalau ia adalah milikku. Ia tidak akan membiarkanku sendirian dimana pun aku pergi—memang bukan dalam arti sebenarnya, tapi tetap saja aku mengerti maksudnya. Hubungan kakak-adik yang kumiliki bersamanya berbeda dari yang lain,”
            “Itu karena ia merasa kau memang berhak mendapatkan kasih sayang yang lebih dari orang lain,” ucapku bahkan tidak mengerti apa yang baru saja kukatakan. Hatiku panas dan terdengar konyol jika aku meyakinkan diriku kalau sekarang aku sedang cemburu. Pangeran Miguel meyakinkan Abigail bahwa ia adalah milik Abigail, sama seperti ia mengatakan hal itu padaku. Oh, sial, ini benar-benar di luar dugaanku. Abigail terkekeh pelan setelah aku selesai mengepang rambutnya. Kemudian aku menarik sebagian rambutnya yang lain—yang belum kukepang.
            “Ia bilang seperti itu padaku. Bahkan ia berkata, ‘Aku tidak akan membiarkan suamimu bertahan lama denganmu karena aku akan membuatnya kesal dan muak terhadap keluarga kita hingga ia memutuskan untuk menceraikanmu’. Bisakah kau percaya itu, Eleanor? Perceraian tidak pernah dipandang bagus. Aku Khatolik, kau juga Khatolik juga bukan?”
            “Ya, aku Khatolik. Perceraian dianggap hina selain menggugur bayi,” balasku merasa seluruh tenaga berkurang setelah mendengar apa yang ia katakan. Bukan tentang perceraian, tetapi bagaimana pangeran Miguel begitu melindungi Abigail sampai-sampai ia rela menentang aturan agama. Aku menipiskan bibir untuk menahan mulutku. Tetapi aku tak bisa. “Pangeran Miguel memang sangat mencintaimu. Tak heran hubungan kalian berbeda dari hubungan kakak beradik lainnya.”
            “Begitulah adanya, Eleanor,” desah Abigail namun menyiratkan kebanggaan. “Kupikir kakakku sudah gila karena meniduri seorang pelayan, Eleanor. Terlebih lagi pelayan cantik sepertimu. Kau bisa saja dipenggal kepala karena kakakku dan kau sudah melanggar peraturan istana. Kecantikanmu akan sia-sia karena duke dari luar belum melihatnya. Apakah kau masih perawan?” Kata-katanya menyengat hatiku hingga rasanya mataku tertusuk-tusuk jarum. Hubunganku dan pangeran Miguel takkan pernah berhasil. Bahkan adiknya sudah menyiratkan ketidakberhasilan hubungan kami. Oh, cinta memang membuatku cengeng! Aku sudah berjanji tidak akan menangis kemarin malam karena menangis memang bukan kebiasaanku.
            Pikiranku kembali pada pertanyaannya. “Aku masih perawan, Nonaku,” bisikku dengan pipi merona. Ah, ini mengingatkanku atas ucapan pangeran Miguel. Sampai kau dan aku sudah siap mengatakannya pada penduduk Cardwell bahwa kau mengandung anakku. Bayang-bayang aku hamil membuatku bergidik.
            “Berarti beruntunglah duke yang akan mendapatkanmu nanti,” ucap Abigail terdengar lebih ceria. Ia sudah tidak membenciku lagi? Baiklah, ini adalah kemajua yang maju. Pertemuanku tadi malam dengannya benar-benar tidak bagus. Ia menatapku penuh benci dan beranjak dari tempatnya begitu saja saat aku ingin membungkuk memberi hormat. “Ibu akan menjadikanmu perawan-perawannya yang akan diberikan pada duke yang bersedia membayar Ibuku demi mendapatkanmu.”
            “Perbuatan yang sangat terpuji,” kataku terdengar tulus sekaligus menyindir. Kuharap ia sadar akan sindiranku karena hatiku sedang panas. Pangeran Miguel menginginkanku! Aku ingin berseru padanya, namun yang kulakukan hanyalah memberi bunga-bungaan terakhir di atas kepalanya lalu tersenyum puas. “Sudah selesai. Kau sempurna sekarang.”

***

            Acara keluarga Thaddeus berjalan begitu lancar. Aku berdiri sejajar bersama pelayan anak raja yang lain. Aku tidak mengobrol dengan salah satu di antara mereka karena mereka tampak begitu dingin dan tak bersahabat. Jadi kuputuskan untuk menutup diri dari mereka. Pembicaraan keluarga Thaddeus berawal dari kabar mereka, menjurus pada agama lalu politik dan masih berputar di sekitar politik. Pangeran Miguel duduk di sebelah Abigail yang memunggungiku namun aku bisa melihat tangannya yang memegang tangan Abigail dan ditempatkan di pahanya. Haruskah aku mencurigai hal-hal aneh terhadap hubungan mereka sebagai kakak-adik?
            Saat percakapan masih berlangsung, tiba-tiba saja pangeran Miguel berdiri dari kursinya—dan diikuti Abigail, tentu saja. “Aku ingin berkuda sebentar bersama adikku. Permisi.” Kata-katanya tegas, membuat semua orang tak dapat mencegahnya. Bahkan Ayahnya sendiri yang sedang meminum teh. Saat berbalik, mata pangeran Miguel tidak menatapku dan itu cukup membuatku kecewa.
            Abigail memberi kode padaku untuk ikut bersamanya. Berkuda? Oh, ini pasti akan menyenangkan. Rasa cemburuku sudah tertindih dengan rasa antusias yang mengaliri di seluruh tubuhku. Kami keluar dari ruang keluarga yang besar dan tinggi itu lalu berjalan melewati lorong-lorong. Beberapa pengawal mengikuti kami dari belakang. Lalu salah satu diantara mereka berjalan sejajar denganku. Pria muda berambut ikal pendek, berkumis tipis dan memiliki bibir tipis. Ia tampan karena bulu matanya yang lentik.
            “Aku Leonard,” katanya memperkenalkan diri. “Pengawal putri Abigail,” lanjutnya. Aku mengangguk atas dasar kesopanan dan kudengar suara dengusan pangeran Miguel di depan. Entah dari mana datangnya, aku ingin melihat apakah pangeran Miguel cemburu atau tidak bila aku berbicara dengan pengawal Abigail.
            “Berarti sebagain besar waktu kita akan kita lalui bersama,” ucapku dengan suara yang ramah. “Aku Eleanor Hughes, pelayan baru putri Abigail. Aku sangat senang karena pangeran Miguel menempatkanku sebagai pelayan Abigail,”
            “Oh, ya, tentu saja.” Leonard mengangguk pasti. “Apa kau ingin menumpang di kudaku? Biasanya pelayan putri Abigail menumpang di kudaku jika kita keluar dari istana,” ucap Leonard membuatku merasa tak enak hati. Bukan, bukan karena tak enak hati menolaknya. Tapi tak enak hati pada pangeran Miguel. Memang aku ingin melihatnya cemburu atau apa, tetapi kurasa menaiki kuda yang sama dengan seorang pengawal adiknya bukanlah langkah yang bagus. Seumur hidupku, hanya Ayah yang pernah menaiki kuda bersamaku.
            “Aku bisa berkuda sendiri,” ucapku lembut. “Apakah akan ada kuda untukku?” Tanyaku ragu-ragu. Leonard tampak berpikir keras, ia menjawab begitu lama sampai membuatku meremas gaun.
            “Tentu saja,” katanya tersenyum. “Melihat dari penampilanmu yang begitu menawan, aku tidak tahu ternyata kau bisa berkuda.”
            “Bahkan putri Abigail dapat melakukannya, Leonard. Jangan menilai kecantikan sebagai kebodohan wanita—memang sebagian tak berotak tapi tidak semuanya. Dan aku tidak cantik,” ucapku tersenyum miris. Ah, ya, benar sekali. Mengapa pangeran Miguel menginginkanku sementara wajahku tak pantas dibandingkan dengan wajah malaikat Abigail.
            “Hush,” tegur Leonard. “Tidak boleh seperti itu. Kau cantik, terlebih lagi dengan rambut merahmu yang terikat itu. Kuharap aku bisa melihat rambutmu tergerai,” kata Leonard membuat pipiku merona merah akibat pujiannya yang berlebihan. Aku tak dapat mengatakan apa pun padanya.
            Setelah sampai di istal, aku melihat begitu banyak kuda berada dalam kandangnya. Pangeran Miguel membuka pintu kandang kudanya sementara Abigail mengambil kudanya sendiri. Saat itulah pangeran Miguel menatapku. Mata birunya gelap dan tajam saat ia melihatku. Nafasnya memburu bahkan wajahnya berwarna merah padam. Seharusnya aku tidak membuatnya cemburu. Saat itulah aku takut menghadapinya.
            “Abigail, Leonard, apa kalian bisa pergi lebih dulu dariku dan Eleanor? Aku membutuhkan privasi,” kata pangeran Miguel mengangkat suara. Abigail dan Leonard tak mengatakan apa-apa selain menarik kekang kuda mereka keluar dari istal dan meninggalkan kami berdua. Tangan pangeran Miguel yang sedang memegang tali kekang kuda itu menarik kudanya hingga keluar dari kandangnya. Aku mundur beberapa langkah saat moncong kuda itu hampir menciumku.
            “Percakapan sialan macam apa itu, Eleanor?” Sembur pangeran Miguel tanpa basa-basi. Suaranya marah—terlihat dari rahangnya yang menegang kencang. “Jika kau berusaha membuatku cemburu, maka itu sangat berhasil. Apa yang baru saja kukatakan padamu semalam?”
            Aku ketakutan setengah mati. Tak menyangka akan mendapat amarah meledak darinya. “Maafkan aku,” kataku sangat tulus. Diriku berharap ia mau memaafkanku atas sikapku yang seperti anak kecil. Seharusnya aku tak memancing amarahnya. Ini memang salahku.
Pangeran Miguel tak mengatakan apa-apa. Ia menutup mulut—sepertinya menghindari kata-kata kotor lain yang akan keluar dari mulutnya—namun ia menatapku, masih dengan tatapan marah. Segera aku menunduk takut.
“Maafkan aku, pangeran Miguel. Ini memang salahku. Oh, ini kebodohanku.” Sebuah tangan menyentuh siku-siku lalu menarik daguku hingga aku mendongak. Matanya yang awalnya memancarkan api kemarahan sekarang melembut, selembut kapas. “Maafkan aku,” bisikku untuk terakhir kalinya.
            “Jangan uji sikapku yang posesif, Eleanor. Aku bisa saja membunuh Leonard hanya karena berbicara denganmu. Aku tak ingin orang lain mati terbunuh hanya karena cemburu buta seperti ini.” Ia membuatku mengangguk mengerti.
            “Takkan kulakukan lagi.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar