CHAPTER THREE – I’M TRULY IN LOVE WITH YOU
JUSTIN MIGUEL THADDEUS
Dari seluruh wanita di pelosok Cardwell, aku memilihnya. Aku jatuh hati
padanya dan membuatku nyaris gila. Bodohnya, aku baru saja melemparnya
pada gerombolan serigala. Perasaan ini tak sehat sampai aku harus
mengorbankannya agar aku bisa melihatnya lebih sering. Akan kuminta
seorang pelayan lain, yang dapat kupercaya, menjadi pengawal Eleanor.
Hatiku tak tenang jika aku tidak melihat keadaannya secara langsung.
Eleanor akan dicap sebagai pelacur jika aku mendatanginya ke ruang
pelayan jika aku hanya ingin melihat keadaannya. Bibir-bibir para
pelayan istana tak pernah bisa dijaga. Sangat mengundang punggung
tanganku menampar pipi mereka satu per satu. Tak ada yang bisa
kupercayai di istana ini selain keluargaku sendiri.
Jauhkan Eleanor dari segala syarat standar kerajaan. Mungkin ia memang
seorang pelayan, namun wanita muda itu akan tepat dimana pun ia berada.
Dan mulutnya, ia memiliki mulut yang terkunci rapat jika kau memberitahu
rahasia padanya. Wajahnya yang datar dan mulutnya yang tak begitu
banyak bicara sudah jelas menyembunyikan banyak kejadian hebat yang
orang lain tak pernah lihat. Tanganku mengepal berkerigat karena tak
sabaran. Oh, sialan, aku tak dapat menunggu lebih lama lagi.
Apa yang Zachary lakukan hingga ia begitu lama menjemput Eleanor? Ia
tentu tak perlu berkenalan terlebih dahulu dengan Eleanor. Selama
bertahun-tahun bersama Zachary, ia tidak pernah ingin mengikut campur
urusanku dengan orang lain—kecuali jika aku sendiri yang memberitahunya.
Untuk tahun-tahun rawan seperti ini, akan sangat sulit mencari orang
seperti Zachary—yang setia dan dapat dipercaya. Dan tidak seperti
biasanya, Zachary begitu lama menjemput Eleanor dari ruang pelayan.
Diam-diam rasa resah mulai menyeruak dalam tubuhku, menimbulkan perasaan
tak enak.
Kepalaku mendongak memerhatikan langit
jingga kemerahan yang tak berawan. Biasanya aku akan menikmati
pemandangan ini bersama Abigail dari dalam kamarnya yang sekarang lebih
luas dibanding kamarnya sebelum ia menginjak umur 16 tahun. Oh, terima
kasih Tuhan atas umur mereka yang sama! Aku akan menjadikan Eleanor
sebagai pelayan baru Abigail. Mengetahui bagaimana hubungan antara
prajurit dan pelayan yang dapat dikatakan terlalu ‘intim’ dibanding
pasangan suami-istri membuatku was-was. Aku—tentu saja—tidak ingin
Eleanor disentuh oleh orang lain selain diriku. Abigail dan Eleanor
milikku dan tidak akan ada yang memiliki mereka berdua selain aku!
Dengan kebersamaan mereka di istana—yang akan sering kulihat—aku pasti
akan lebih senang berada di sini dibanding aku harus pergi bekerja sama
dengan kerajaan atau negara lain. Mereka akan mengubah istana menjadi
tempat kesukaanku. Mereka berdua akan menjadi wanita kesukaanku di
istana! Sedikit penghiburan membuat keresahanku berkurang sedikit demi
sedikit. Kembali aku menatap lurus bunga-bungaan yang dirawat Ibuku.
Suara deritan pintu mengambil seluruh perhatianku namun aku tetap diam.
Jemariku membuka kepalan tanganku lalu mengibas kecil di dekat
celanaku. Suara erangan kecil dari mulut Eleanor membuatku penasaran apa
yang Zachary lakukan padanya. Kutarik nafas dalam-dalam untuk
menenangkan diri. Memarahi Zachary? Aku jarang melakukannya, hampir apa
pun yang dilakukan Zachary selalu benar.
“Pangeran
Miguel,” suaranya yang serak mengingatkanku kalau ia sedang sakit. “Dia
sudah di sini,” lanjutnya membuatku mengangguk kecil. Kuangkat tangan
kiriku, memberi tanda untuknya segera pergi dari taman agar aku dan
Eleanor memiliki waktu privasi. Kubalikkan tubuhku saat suara tutupan
pintu taman terdengar dan langkahan kaki Zachary semakin menjauh.
Telingaku mendengar suara nafas yang tercekat. Aku marah pada diriku
karena selalu membuatnya kehilangan nafas tiap kali aku berada di
dekatnya. Sungguh, aku tak pernah bermaksud membuatnya takut seperti
ini. Mengapa ia tak percaya padaku kalau aku tidak akan membunuhnya? Oh
ya, benar sekali, ia belum tahu kalau aku pria yang ia temui di Danau
Mayat, dua tahun lalu. Sepasang mata biru cerah itu berkaca-kaca namun
tak muncul tanda-tanda ia akan menangis. Sepertinya topeng hitam yang
melingkar di kepalaku sedikit membuatnya terkejut. Perubahan warna
wajahnya tampak begitu jelas. Ia terlalu putih sehingga aku tahu kapan
ia malu dan takut. Pilihan terakhirku, aku memberikannya senyum mautku
agar ia tak tegang—tetapi aku salah menilainya. Ia malah gemetaran.
Kakiku mengambil langkah pelan ke arahnya sambil mataku memerhatikan
apakah ia sungguh baik-baik saja. Dua bola mata birunya membesar dan
kedua alisnya bertaut takut. Reaksinya terhadapku sangat berbanding
terbalik dengan wanita-wanita muda yang bertemu denganku. Seharusnya ia
senang karena aku menginginkannya. Atau lebih tepatnya, aku jatuh cinta
padanya. Seluruh masyarakat Cardwell, di pelosok mana pun—bahkan di desa
sekalipun—tahu, jika seorang pangeran menjalin cinta dengan seorang
pelayan, hal itu sangat menghina dan menjatuhkan standar kerajaan.
Tapi, siapalah aku, Justin Miguel Thaddeus yang tak peduli dengan
peraturan konyol itu? Tidak ada yang dapat memerintahku jika aku sendiri
yang mengiyakannya. Tanyakan satu per satu rakyat Cardwell bagaimana
sikapku saat aku tahu, aku akan dijodohkan dengan putri Crumple. Aku
memberontak pada Ayahku sendiri—bahkan aku sempat mengacungkan pedangku
di lehernya dan lima prajurit mulai mengepungku, bersiap membunuhku
kapan saja. Namun tampaknya, wanita muda yang satu ini belum tahu apa
pun tentangku. Kepalanya yang kecil diisi penuh oleh ketakutan akan
diriku. Kakiku berhenti melangkah saat aku hanya menyisakan satu langkah
untukku memeluknya nanti.
“Apa kau pernah menduga
bahwa ternyata aku yang kautemui di Danau Mayat?” Tanyaku membuat kedua
bola matanya semakin membesar. Hatiku seakan-akan meleleh akan
kepolosannya yang hampir sama dengan Abigail. Apakah karena kesamaan
Eleanor dan Abigail membuatku tertarik pada Eleanor? Tidak, aku tak
menduga Eleanor akan sepolos ini.
“Tidak pernah sampai
aku mendengar suaramu di singgasana,” ucapnya membuat hatiku
berbunga-bunga. Berarti ia mengingat suaraku dua tahun lalu. Tanpa
diduga ia melanjutkan ucapannya yang membuat emosiku tersulut. “J-jika
kau ingin membunuhku sekara—“
“Ssh.” Cepat-cepat aku
menaruh jari telunjukku di atas mulutnya agar ia menutup mulut sebelum
aku kesal. Tanganku lalu menangkup pipinya, merasakan betapa lucunya
pipi tembamnya yang sama seperti milik Abigail. Aku mendesah dalam hati.
Mengapa ia selalu berpikir kalau aku membunuhnya? Gosip-gosip yang
beredar—dan memang bukan sekedar gosip, itu fakta—aku sering membunuh
orang. Dan Eleanor sendiri pernah melihat aku membawa mayat. Tentu saja
ia akan setakut ini berada di dekatku. Terutama sekarang, hanya kami
berdua saja yang berada di tengah-tengah taman ini, sendirian. Bukankah
seharusnya aku mengeluarkan pedang dan menusuknya?
“Pangeran Miguel,” bisiknya gugup. “Aku tak pernah memberitahu siapa pun
tentang pembunuhan itu,” lanjutnya membuatku tertawa dalam hati.
“Aku tahu.. aku tahu, Eleanor,” bisikku mengelus-elus pipinya. Dari
mata laut biru jernihnya, mataku memerhatikan bibirnya yang belum pernah
kukecup. Diam-diam aku penasaran apakah bibir itu pernah dikecup oleh
orang lain selain diriku? Jika ya, orang itu sungguh beruntung. Bibir
itu tampak seperti buah manis, sangat menggiurkan. Kutarik tanganku dari
pipinya yang lembut. Berada dalam balutan topeng seperti ini
seolah-olah aku akan membunuhnya. Lagi pula, alasan kuat apa yang dapat
membuatku ingin menelanjangi pedangku dan menghunusnya pada dada
Eleanor? Andai saja Eleanor tahu betapa aku menggila-gilainya sekarang,
ia pasti tidak akan berpikir aku akan membunuhnya. Setelah menunggu dua
tahun, ia sekarang sudah ada di hadapanku. Siap kapan pun untuk kucium.
Siap kapan pun untuk kubuai. Dan siap kapan pun untuk kunikahkan.
Setelah topeng yang kupakai terlepas dari wajahku, aku menarik
pinggangnya. Ia terkesiap dalam pelukanku, bahkan suara nafas
tertahannya membuatku tak tahan untuk tak tersenyum. “Kau tak tahu
betapa aku sangat menginginkan bibir itu sekarang,” bisikku menjilat
bibir bawahku. Suara nafas tertahan kembali kudengar. Pipinya yang
awalnya seputih salju sekarang berubah menjadi warna sup tomat yang
pernah dibuat pelayan untukku—saat aku sakit. Sebuah senyuman yang
menggetarkan hatiku muncul di wajahnya yang bening.
“Aku suka melihatmu tersenyum.” Tanganku semakin mengeratkan pelukanku
di pinggangnya. Mungkin gaun Eleanor memang tak seindah milik Abigail,
namun dalam gaun seperti ini saja, ia sudah tampak menakjubkan. Dan buah
dadanya yang tampak penuh dalam gaunnya benar-benar mengganggu
pikiranku. Aku tak ingin rasa cintaku ia anggap hanya sekedar
persetubuhan semata. Jika ia berpikir seperti itu, maka aku harus
berusaha sekeras mungkin untuk meyakinkannya betapa aku sangat
menginginkannya menjadi milikku sepenuhnya, bukan hanya karena
berlandaskan seks. Bahkan aku berasumsi, ia sudah menjadi milikku sejak
dua tahun lalu. Sejak aku berjanji padanya kalau aku akan bertemu
dengannya lagi, berarti pertemuan kedua itu—pertemuan ini—akan menjadi
awal dari hubungan kita. Hanya saja, ia belum sadar betul bahwa aku
memilikinya selama dua tahun itu.
“Pangeran Miguel,
kau sangat manis,” ucapnya dengan bibir bergetar. Senyumnya menghilang,
membuat hatiku kecewa. “Tapi posisi ini sangat tak pantas,”
“Apa bibirmu itu pernah dikecup oleh pria lain?” Percakapan apa pun
akan kuangkat agar ia tetap berada dalam pelukanku. Lagi pula, aku
memang ingin tahu, pria mana yang bisa-bisanya mendapatkan bibir manis
itu lebih dulu dariku? Matanya mengerjap-kerjap tak percaya akan
pertanyaanku. Dapat kulihat ia menggigit bagian dalam bibir bawahnya. Ia
ragu-ragu ingin menjawabnya seolah-olah sedang berpikir keras, apakah
ia pernah dikecup sebelumnya?
Menunggu bukan
keahlianku. Ia menatapku ragu-ragu seolah-olah ia ingin mengatakan
sesuatu yang akan membuatku marah. Bibirnya menipis selama beberapa saat
sementara kesabaranku mulai menipis.
“Apa kau akan
membunuhku jika aku lari darimu?” Pertanyaan itu meluncur dari mulutnya.
Rasanya jantungku keluar dari dadaku dan siap untuk disayat. Sungguh,
aku tak menduga ia akan bertanya seperti itu. Ia terlalu berharga
untukku kubunuh! Pertanyaan itu memancing salah satu alisku terangkat,
dan kuberikan senyuman mengejek padanya.
“Membunuh
wanita muda secantik dirimu? Betapa konyolnya dirimu, Eleanor,” bisikku
di akhir kalimat. Mataku memandangi rambut merahnya yang menggantung
indah di samping pipinya. Tangan kiriku memegang pinggulnya sekuat
mungkin agar ia tak lari, sementara tangan kananku memainkan ujung
rambut merahnya yang terasa halus. Ini pertama kalinya aku menyentuh
rambut merah Eleanor dan aku semakin jatuh cinta padanya.
“Tapi kau memiliki pedang. Aku baru mengambil dua langkah saja kau bisa
memotong kedua kakiku.” Pernyataannya membuatku harus tertawa kecil
atas keluguannya. Mengapa oh mengapa ia begitu polos? Harus berapa kali
kukatakan padanya ia terlalu cantik untuk kubunuh? Rambutnya yang
melingkar di ujung jari telunjukku langsung kutarik, lalu kutangkupkan
pipinya dalam telapak tanganku.
“Wanita muda
pemberani,” ucapku menjilat bibir bawahku yang kering. Demi Tuhan, aku
tak sanggup menahan diri untuk tidak menciumnya. Anggaplah, kecupan ini
merupakan tanda bahwa ia milikku sepenuhnya. “Sayangnya, aku tidak ingin
melihatmu tanpa kaki, Eleanor, sayangku. Bisakah kita memotong
percakapan ini dengan sebuah ciuman?” Aku tak akan memberikan kesempatan
padanya untuk berbicara lagi dan membuatku nyaris gila terus menerus
karena kesabaranku yang cepat habis. Kutarik pipinya agar lebih
mendongak ke arahku lalu kepalaku menunduk untuk merasakan mulutnya yang
pasti terasa manis.
Saat bibir kami bertemu, seluruh
tubuhku merinding karena bibirnya begitu lembut. Nafsuku tersulut namun
aku berusaha menekannya agar aku tak melewati batas. Ia membuka mulutnya
untukku agar aku bisa memainkan lidahku di dalamnya. Bunyi cepakan
ciuman kami membuat darah di bawah kulitku bernyanyi. Ia begitu pasif,
tak membalas ciumanku yang mengharapkan balasan. Setelah mengisap bibir
bawahnya yang manis, aku tersenyum padanya.
“Ciuman
yang buruk,” komentarku mengejek. Kedua bahunya merosot begitu saja,
membuatku merasa bersalah. “Tapi akan menjadi waktu yang menyenangkan
jika aku mengajarimu berciuman, bukan?” Godaku memberi senyum nakal
padanya. Ah, sialan, apa yang sedang kau lakukan Justin Miguel Thaddeus?
Apa yang ia lakukan padamu hingga kau bersikap seperti pria putus
asa—yang membutuhkan cinta?
Ia menggeleng kepala.
“Tidak. Aku tidak bisa melakukan itu lagi.” Kedua alisku bertaut bingung
karena ucapannya yang tak berdasar, lalu aku mengingat apa yang
Panglima katakan padaku. Segera aku menghilangkan kerutan di keningku.
“Pangeran Miguel, kau baru saja mencium seorang pelayan,”
“Pelayan yang cantik, tentu saja,” ucapku berusaha menyemangati suasana
hatinya. Aku tahu betul bagaimana perasaannya sekarang. Ia pasti merasa
bersalah karena aku sudah jatuh cinta padanya. “Tidak penting apakah
aku seorang pangeran atau kau seorang pelayan. Tetapi kau menikmatinya
bukan?” Godaku mengelus lehernya. Ia tak menyadarinya dan itu membuat
elusan jariku di lehernya semakin melembut. Tidak ada sepatah kata pun
keluar dari mulutnya. Kuperhatikan wajahnya yang tampak berpikir
keras—lagi. Apa yang membuatnya begitu resah? Jika ia mengatakannya
padaku, tentu aku akan segera menghilangkan perasaan itu agar ia tidak
takut padaku dan semuanya akan baik-baik saja. Sentuhanku di lehernya
kuhentikan begitu saja.
“Eleanor, aku berjanji kita
akan bertemu lagi. Sekarang, kuminta kau untuk menjaga dirimu di istana.
Jangan biarkan siapa pun berani melecehkanmu. Tidak ada yang boleh
menyentuh dirimu selain diriku. Sejak dua tahun lalu, kau sudah menjadi
milikku.” Aku angkat bicara. Kening mengerut bingung.
“Bagaimana bisa itu terjadi?”
“Sekarang, bukan saatnya menjelaskan bagaimana bisa itu terjadi. Aku
akan menyarankan Ayah agar kau menjadi pelayan bagi Abigail supaya kita
bisa bertemu lebih sering lagi. Kuharap kau bisa menutupi hubungan ini
dari siapa pun. Mengerti?”
“Dengan nyawaku, pangeran
Miguel,” ucapnya tulus sekaligus kaku. Ah, dengan ia berkata seperti itu
berarti aku memegang kata-katanya. Ucapannya membuatku mengembus nafas
lega. Hubungan ini tidak boleh diketahui oleh siapa pun sebelum aku
sendiri yang mengatakannya. Kukecup ringan bibir Eleanor agar aku
semakin yakin kalau ia sepenuhnya milikku. Aku tak akan segan mengotori
pedangku dengan darah seorang bajingan yang berani menyentuh Eleanor-ku.
Ini gila, tapi begitulah kenyataannya. “Apakah kau masih waras,
pangeran Miguel?” Tanyanya tiba-tiba. Aku mengerjapkan mataku beberapa
kali untuk mencerna apa yang baru saja ia tanya.
“Maaf?” Aku masih berusaha berpikir mengapa ia bertanya seperti itu.
Namun segera aku menjawabnya. “Apakah aku masih waras? Eleanor, aku
sendiri tidak tahu apakah perasaan ini adalah perasaan sehat, namun aku
sangat menginginkanmu. Anggap saja, aku sudah gila karena
menginginkanmu,” kataku tersenyum padanya. Eleanor tentu bukan wanita
muda yang senang berekspresi. Wajahnya tampak datar sedari tadi—mungkin
hanya rona di pipinya yang menjadi tanda kalau ia gugup berada di
dekatku sekaligus senang. Bibirnya yang ia gigit membuat aku terpaksa
menarik nafas.
Haruskah aku mengecupnya sekali lagi?
Ya, tentu saja. Aku menundukkan kepalaku, berniat untuk mengecupnya.
Suara pintu terbuka membuatku waspada. Segera aku menarik tubuhku
darinya dan mundur beberapa langkah dari Eleanor. Tidak boleh ada yang tahu tentang hubungan ini sebelum aku sendiri yang mengatakannya. Kepalaku menoleh ke arah pintu taman lalu mengembus nafas lega. Hanya Abigail.
Adikku yang menawan itu tampak marah. Sudah kuduga ia akan
mendatangiku—aku sadar betul seharusnya sekarang aku berada di ruang
makan bersama keluargaku. Dan seperti yang sering Abigail lakukan, ia
akan datang menjemputku sambil memarahiku terlebih dahulu. Sambil
mengangkat-angkat roknya yang membuatnya kesulitan berjalan, ia menatap
marah padaku.
“Justin!” Serunya hampir tak terdengar
seperti teriakan. Abigail terlahir sebagai wanita lemah lembut, ia tidak
mudah marah. Seluruh Cardwell menyukainya karena sikapnya yang lemah
lembut pada siapa pun. Namun sedari tadi aku tak melihat keramahannya
pada Eleanor. “Bukankah seharusnya kau ada di ruang makan? Kami semua
sudah menunggu dirimu.” Ia menatapku lekat-lekat saat ia berhenti di
depanku, bibir bawahnya menyembul seperti anak kecil. Oh, ia sangat
menggemaskan dari kecil sampai sekarang. Pantas saja ia menjadi orang
kesukaanku. Karena ingin menggodanya, aku membungkuk lalu mencubit kedua
pipinya.
“Bukankah kau yang paling menggemaskan saat
marah seperti ini?” Godaku mencubit-cubit pelan pipinya. Wajahnya
semakin dibuat-buat tak suka. Ia mengangkat tangan untuk menyingkirkan
tanganku dari pipinya.
“Jangan cubit pipiku seperti
itu, Justin,” erang Abigail mengerucutkan bibirnya. “Ayolah, Ayah sudah
menunggumu. Ia pikir kau bunuh diri karena kau dijodohkan dengan
Margery,” ucap Abigail membuatku mengingat akan perjodohan sialan itu.
Cepat-cepat Abigail menarik tanganku agar segera beranjak dari tempat.
Sambil ia berusaha menarik tubuhku—yang sengaja aku beratkan agar ia
sulit menarik tubuhku—mataku memerhatikan Eleanor yang ternyata dari
tadi masih berdiri di tempatnya. Wajahnya yang datar membuatku semakin
tak suka. Bisakah sekali saja ia memberitahu bagaimana perasaannya
melalui ekspresi wajahnya?
Kukedipkan sebelah mataku
padanya, menggoda wanita muda itu. Biasanya berhasil membuat kedua pipi
perempuan memerah, terutama jika aku melakukannya pada Abigail. Eleanor
terkesiap. Baru saja aku ingin menikmati pipinya yang memerah, tubuhnya
menghilang dari pandanganku karena kami sudah masuk ke dalam istana.
***
Aku kesal sampai membutuhkan orang yang bersedia untuk kubunuh. Berita
ini seperti bom yang dijatuhkan ke arahku dan aku sudah meledak.
Ledakanku terpendam dalam diriku sendiri sehingga aku berusaha untuk
tidak mengepulkan asap dari mulutku. Bisakah Ayahku sekali saja tidak
membuatku marah padanya? Sepertinya menjodohkanku dengan Margery belum
cukup membuatnya puas. Ia harus menjodohkan Abigail dengan anak sepupu
dari raja Louboutin. Kerajaan yang dikenal dengan kekayaan tambangnya
dan istananya yang terpencil entah dimana. Aku tidak bisa menerima
perjodohan Abigail! Tidak akan pernah.
Itu sama saja
aku membawa diriku pada kesengsaraan tak berujung. Abigail akan
dinikahkan dengan seorang duke di sebuah daerah terpencil. Akan butuh
berminggu-minggu untuk sampai ke istana Louboutin. Ini semua berlebihan
sampai nafsu makanku hilang begitu saja. Ayahku tak pernah memikirkan
bagaimana perasaanku sampai aku benar-benar marah padanya. Oh, tidak,
tidak. Ayahku berpura-pura tak pernah memikirkan bagaimana perasaanku.
Sepasang mata cokelat Abigail memerhatikanku—ia duduk berhadapan
denganku—lembut. Keningnya berkerut mengasihaniku dan aku tak suka
dikasihani.
“Aku sudah cukup,” ucapku tegas, bangkit
berdiri dari kursi. Mata Abigail mengikuti gerakanku. “Aku sudah cukup,
Ayah.” Kepalaku menoleh padanya yang duduk dua kursi dariku.
Geoffrey—adik laki-lakiku yang terakhir—duduk di sebelahku dan Ibu di
antara Ayah dan Geoffrey. Ayah dengan sikap tenang berusaha menahanku.
“Miguel,” ucapnya menyebut namaku. “Bukankah sebaiknya kau menunggu
kami selesai dengan makanan ini sambil membicarakan masa depan kelima
anakku yang berharga?” Lagi-lagi omong kosong keluar dari mulut Ayahku.
Masa depan untukku? Menikah dengan Margery? Tolonglah, jangan buat aku
mual di ruang makan keluargaku. Mataku jatuh pada sepasang mata cokelat
Ibuku—yang ia turunkan pada Abigail—yang memohon padaku agar aku
mengalah. Aku duduk kembali di kursiku dan bersandar.
“Mengapa harus dengan pria itu?” Tanyaku, dingin. Ayah meminum anggur terlebih dahulu sebelum ia menjawabku.
“Karena aku sudah mengaturnya, Miguel,” ucap Ayahku menyembunyikan
rahasia yang terpaksa aku harus mencari tahu sendiri. “Abigail akan
bahagia bersama dengannya, Miguel. Lagi pula, pernikahannya baru akan
diselenggarakan 4 bulan ke depan. Kau masih memiliki waktu bersama
Abigail,”
“Bagaimana dengan Eleanor? Aku ingin ia
menjadi pelayan Abigail. Apakah ia akan ikut bersama Abigail?” Tanyaku
teringat akan pujaan hatiku. Jika ia menjadi pelayan Abigail, berarti ia
harus ikut kemana pun Abigail pergi. Demi Tuhan, bayangan-bayangan yang
sebelumnya indah tiba-tiba rusak menjadi mimpi buruk.
Ayah mengangguk. “Tentu saja. Jika kau memang ingin menempatkan Eleanor
sebagai pelayannya, maka Eleanor akan ikut bersama Abigail,” katanya
terlalu santai untuk berbicara seperti itu. Aku sudah tak tahan. Jika
pernikahan Abigail benar-benar diselenggarakan 4 bulan lagi, aku harus
merencanakan sesuatu agar pernikahan sialan itu dibatalkan. Ini semua
harus melibatkan pernikahanku. Ya, aku bisa saja menerima Margery
sebagai istriku dalam waktu singkat, setelahnya, aku akan menempatkan
keadaan sesuai dengan keinginanku.
“Mengapa Eleanor akan menjadi pelayanku?” Tanya Abigail tiba-tiba membuka mulut.
“Karena aku ingin kau memiliki pelayan yang sebaya denganmu, Abigail,”
ucapku menyela Ayahku yang tadinya akan menjawab pertanyaan Abigail.
Raut wajah Abigail berubah tak suka. Tak seperti biasanya. Abigail
menyukai semua orang, bahkan orang ternista sekalipun. Tapi mengapa ia
tak menyukai Eleanor?
“Aku tak begitu yakin itu adalah
keputusan yang bagus,” ucapnya ragu-ragu. Matanya menatap ke bawah, ke
makanannya yang ia mainkan. Apakah ia sedang menguji kesabaranku? Tidak
di sini Abigail. Kuangkat satu tanganku ke atas meja.
“Abigail, sekarang bukan saatnya kau mengeluh siapa pelayanmu sekarang.
Percakapan selesai, aku sudah membuat keputusan.” Aku mengepalkan tangan
di atas meja—yang aku yakini sekarang, Ibuku sedang melihatnya
seolah-olah ia melihat orang yang baru saja terbunuh. Segera aku menarik
tanganku dari atas meja lalu mengembus nafas panjang. Dua adikku yang
lain—yang paling kecil senang duduk di kursi yang seharusnya Ibuku
tempati—memerhatikanku dengan mulut terkatup. Tidak ada yang berani
meredakan amarahku jika aku sudah mengeluarkannya. Bahkan Ayah akan
lebih memilih menggeleng-geleng kepala atas sikapku.
Kutatap Abigail lagi. Sempat rasa iba menyengatku karena aku baru saja
membentaknya di depan keluarga tetapi aku segera menyingkirkan perasaan
kasihanku itu. Ia menatapku dengan tatapan takut, seperti Eleanor di
taman tadi. Sekarang bukan waktunya untuk memedulikan perasaannya. Semua
rasa iba padanya harus kusingkirkan karena sekarang aku sedang berpikir
keras untuk menyingkirkan rencana-rencana bodoh Ayahku. Aku bangkit
dari kursi lagi, membuat Abigail terkesiap.
“Aku harus
pergi menemui seseorang,” ucapku tegas lalu beranjak dari tempat. Suara
Ayah yang menegurku tak kuindahkan—sama seperti ia sering tak
mengindahkan perkenalan masyarakatnya.
Aku keluar dari
ruang makan. Zachary yang sedang membersihkan pedangnya itu segera
berdiri tegak. Sambil terus berjalan, aku memberi tanda agar ia
mengikuti.
“Bawa Eleanor ke kamarku. Sekarang.”
***
Aku tak sanggup menutup mulutku lebih lama lagi. Ia harus tahu
bagaimana perasaanku terhadapnya agar ia dapat membantuku untuk
menjalani rencanaku agar berjalan semulus bulu kudaku. Wanita muda itu
duduk di atas tempat tidurku—yang belum pernah diduduki oleh orang asing
mana pun. Tapi Eleanor bukanlah orang asing bagiku. Hanya dengan
pertemuan pertama saja, ia sudah membuatku jatuh cinta. Wanita muda itu
sudah mengganti pakaiannya menjadi pakaian pelayan. Gaun berwarna hitam
panjang yang menutupi seluruh tubuhnya, begitu juga dengan lengannya
yang panjang. Namun hal itu tidak mengurangi kesempurnaannya. Ia selalu
sempurna. Dan ia milikku.
Jika Ayah tahu aku berdua
bersama Eleanor di kamar, ia sudah pasti menegurku sampai telingaku
panas. Ini semua karena perjodohanku yang bodoh itu. Ayah memintaku
untuk tidak kelihatan bersama wanita mana pun di Cardwell agar kerajaan
Crumple tahu betapa seriusnya aku ingin menjadi suaminya. Dan apakah aku
melakukannya? Lihat apa yang kulakukan sekarang. Ayah lebih menyayangi
adik-adikku karena mereka terlalu patuh akan apa yang Ayahku katakan.
Aku tahu apa yang Ayah lakukan untuk kami adalah demi masa depan yang
sempurna. Tapi tidak denganku. Aku akan menciptakan masa depanku
sendiri.
“Eleanor,” panggilku. Kepalanya mendongak
setelah beberapa lama ia terus menundukkan kepalanya, membuatku tak
dapat melihat wajahnya yang akan selalu ingat.
“Pangeran Miguel, bolehkah aku mengatakan sesuatu padamu?” Tanyanya
menggigit bibir bawahnya. Aku mengangguk cepat. “Ap-apa ini tidak akan
ketahuan? A-aku takut jika—“
“Ssh.” Aku mengangkat
tanganku. “Selama kau bersamaku, tidak akan ada yang berani
membicarakanmu di istana. Jika mulut kotor mereka membicarakanmu,
beritahu aku agar aku segera menyumpal mulut mereka dengan pedang,”
“Pangeran Miguel, kurasa itu bukan langkah yang bagus.” Ia menunduk
tapi aku tahu ia melirik padaku. Sebelumnya, tidak ada yang berani
mengatakan hal itu padaku selain Ayahku sendiri. Dan sekarang, di
sinilah wanita muda yang kucintai mengatakannya padaku. Hanya saja, ia
tidak tahu betapa berpengaruhnya setiap kata yang ia keluarkan. Aku
melangkah ke arahnya lalu berhenti saat lututku menyentuh lututnya yang
tertekuk karena duduk.
Tanganku meraih tangannya lalu
mengelus punggung tangannya dengan lembut. “Jika kau bilang seperti itu,
maka itu bukanlah langkah yang bagus,” kataku membuatnya mendongak.
Seulas senyuman yang sedari tadi kuinginkan akhirnya muncul. Tanganku
yang lain menyentuh pipinya—untuk yang kesekian kalinya—lalu menunduk
mengecup bibirnya.
“Pangeran Miguel, aku tidak ingin
berharap terlalu tinggi padamu. Aku tidak ingin menjadi wanita muda yang
menyedihkan karena mengharapkan sesuatu yang tak akan terjadi. Kumohon
jangan siksa aku seperti ini,”
“Maksudmu?” Tanyaku bingung. Mengharapkan sesuatu yang tak akan terjadi?
“Aku tidak ingin jatuh cinta pada seseorang yang tidak mencintaiku.”
“Kau bercanda atau apa?” Tanyaku terkekeh pelan. Kedua tanganku
sekarang menangkup pipinya. “Aku terlalu mencintaimu, Eleanor Hughes.
Aku berjanji padamu, akulah pria terakhir yang akan membuat hidupmu
lebih nyata.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar