Rabu, 29 Oktober 2014

Beautiful Slave Bab 3

CHAPTER THREE – I’M TRULY IN LOVE WITH YOU

JUSTIN MIGUEL THADDEUS

           Dari seluruh wanita di pelosok Cardwell, aku memilihnya. Aku jatuh hati padanya dan membuatku nyaris gila. Bodohnya, aku baru saja melemparnya pada gerombolan serigala. Perasaan ini tak sehat sampai aku harus mengorbankannya agar aku bisa melihatnya lebih sering. Akan kuminta seorang pelayan lain, yang dapat kupercaya, menjadi pengawal Eleanor. Hatiku tak tenang jika aku tidak melihat keadaannya secara langsung. Eleanor akan dicap sebagai pelacur jika aku mendatanginya ke ruang pelayan jika aku hanya ingin melihat keadaannya. Bibir-bibir para pelayan istana tak pernah bisa dijaga. Sangat mengundang punggung tanganku menampar pipi mereka satu per satu. Tak ada yang bisa kupercayai di istana ini selain keluargaku sendiri.
            Jauhkan Eleanor dari segala syarat standar kerajaan. Mungkin ia memang seorang pelayan, namun wanita muda itu akan tepat dimana pun ia berada. Dan mulutnya, ia memiliki mulut yang terkunci rapat jika kau memberitahu rahasia padanya. Wajahnya yang datar dan mulutnya yang tak begitu banyak bicara sudah jelas menyembunyikan banyak kejadian hebat yang orang lain tak pernah lihat. Tanganku mengepal berkerigat karena tak sabaran. Oh, sialan, aku tak dapat menunggu lebih lama lagi.
            Apa yang Zachary lakukan hingga ia begitu lama menjemput Eleanor? Ia tentu tak perlu berkenalan terlebih dahulu dengan Eleanor. Selama bertahun-tahun bersama Zachary, ia tidak pernah ingin mengikut campur urusanku dengan orang lain—kecuali jika aku sendiri yang memberitahunya. Untuk tahun-tahun rawan seperti ini, akan sangat sulit mencari orang seperti Zachary—yang setia dan dapat dipercaya. Dan tidak seperti biasanya, Zachary begitu lama menjemput Eleanor dari ruang pelayan. Diam-diam rasa resah mulai menyeruak dalam tubuhku, menimbulkan perasaan tak enak.
            Kepalaku mendongak memerhatikan langit jingga kemerahan yang tak berawan. Biasanya aku akan menikmati pemandangan ini bersama Abigail dari dalam kamarnya yang sekarang lebih luas dibanding kamarnya sebelum ia menginjak umur 16 tahun. Oh, terima kasih Tuhan atas umur mereka yang sama! Aku akan menjadikan Eleanor sebagai pelayan baru Abigail. Mengetahui bagaimana hubungan antara prajurit dan pelayan yang dapat dikatakan terlalu ‘intim’ dibanding pasangan suami-istri membuatku was-was. Aku—tentu saja—tidak ingin Eleanor disentuh oleh orang lain selain diriku. Abigail dan Eleanor milikku dan tidak akan ada yang memiliki mereka berdua selain aku! Dengan kebersamaan mereka di istana—yang akan sering kulihat—aku pasti akan lebih senang berada di sini dibanding aku harus pergi bekerja sama dengan kerajaan atau negara lain. Mereka akan mengubah istana menjadi tempat kesukaanku. Mereka berdua akan menjadi wanita kesukaanku di istana! Sedikit penghiburan membuat keresahanku berkurang sedikit demi sedikit. Kembali aku menatap lurus bunga-bungaan yang dirawat Ibuku.
            Suara deritan pintu mengambil seluruh perhatianku namun aku tetap diam. Jemariku membuka kepalan tanganku lalu mengibas kecil di dekat celanaku. Suara erangan kecil dari mulut Eleanor membuatku penasaran apa yang Zachary lakukan padanya. Kutarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Memarahi Zachary? Aku jarang melakukannya, hampir apa pun yang dilakukan Zachary selalu benar.
            “Pangeran Miguel,” suaranya yang serak mengingatkanku kalau ia sedang sakit. “Dia sudah di sini,” lanjutnya membuatku mengangguk kecil. Kuangkat tangan kiriku, memberi tanda untuknya segera pergi dari taman agar aku dan Eleanor memiliki waktu privasi. Kubalikkan tubuhku saat suara tutupan pintu taman terdengar dan langkahan kaki Zachary semakin menjauh.
            Telingaku mendengar suara nafas yang tercekat. Aku marah pada diriku karena selalu membuatnya kehilangan nafas tiap kali aku berada di dekatnya. Sungguh, aku tak pernah bermaksud membuatnya takut seperti ini. Mengapa ia tak percaya padaku kalau aku tidak akan membunuhnya? Oh ya, benar sekali, ia belum tahu kalau aku pria yang ia temui di Danau Mayat, dua tahun lalu. Sepasang mata biru cerah itu berkaca-kaca namun tak muncul tanda-tanda ia akan menangis. Sepertinya topeng hitam yang melingkar di kepalaku sedikit membuatnya terkejut. Perubahan warna wajahnya tampak begitu jelas. Ia terlalu putih sehingga aku tahu kapan ia malu dan takut. Pilihan terakhirku, aku memberikannya senyum mautku agar ia tak tegang—tetapi aku salah menilainya. Ia malah gemetaran.
            Kakiku mengambil langkah pelan ke arahnya sambil mataku memerhatikan apakah ia sungguh baik-baik saja. Dua bola mata birunya membesar dan kedua alisnya bertaut takut. Reaksinya terhadapku sangat berbanding terbalik dengan wanita-wanita muda yang bertemu denganku. Seharusnya ia senang karena aku menginginkannya. Atau lebih tepatnya, aku jatuh cinta padanya. Seluruh masyarakat Cardwell, di pelosok mana pun—bahkan di desa sekalipun—tahu, jika seorang pangeran menjalin cinta dengan seorang pelayan, hal itu sangat menghina dan menjatuhkan standar kerajaan.
            Tapi, siapalah aku, Justin Miguel Thaddeus yang tak peduli dengan peraturan konyol itu? Tidak ada yang dapat memerintahku jika aku sendiri yang mengiyakannya. Tanyakan satu per satu rakyat Cardwell bagaimana sikapku saat aku tahu, aku akan dijodohkan dengan putri Crumple. Aku memberontak pada Ayahku sendiri—bahkan aku sempat mengacungkan pedangku di lehernya dan lima prajurit mulai mengepungku, bersiap membunuhku kapan saja. Namun tampaknya, wanita muda yang satu ini belum tahu apa pun tentangku. Kepalanya yang kecil diisi penuh oleh ketakutan akan diriku. Kakiku berhenti melangkah saat aku hanya menyisakan satu langkah untukku memeluknya nanti.
            “Apa kau pernah menduga bahwa ternyata aku yang kautemui di Danau Mayat?” Tanyaku membuat kedua bola matanya semakin membesar. Hatiku seakan-akan meleleh akan kepolosannya yang hampir sama dengan Abigail. Apakah karena kesamaan Eleanor dan Abigail membuatku tertarik pada Eleanor? Tidak, aku tak menduga Eleanor akan sepolos ini.
            “Tidak pernah sampai aku mendengar suaramu di singgasana,” ucapnya membuat hatiku berbunga-bunga. Berarti ia mengingat suaraku dua tahun lalu. Tanpa diduga ia melanjutkan ucapannya yang membuat emosiku tersulut. “J-jika kau ingin membunuhku sekara—“
            “Ssh.” Cepat-cepat aku menaruh jari telunjukku di atas mulutnya agar ia menutup mulut sebelum aku kesal. Tanganku lalu menangkup pipinya, merasakan betapa lucunya pipi tembamnya yang sama seperti milik Abigail. Aku mendesah dalam hati. Mengapa ia selalu berpikir kalau aku membunuhnya? Gosip-gosip yang beredar—dan memang bukan sekedar gosip, itu fakta—aku sering membunuh orang. Dan Eleanor sendiri pernah melihat aku membawa mayat. Tentu saja ia akan setakut ini berada di dekatku. Terutama sekarang, hanya kami berdua saja yang berada di tengah-tengah taman ini, sendirian. Bukankah seharusnya aku mengeluarkan pedang dan menusuknya?
            “Pangeran Miguel,” bisiknya gugup. “Aku tak pernah memberitahu siapa pun tentang pembunuhan itu,” lanjutnya membuatku tertawa dalam hati.
            “Aku tahu.. aku tahu, Eleanor,” bisikku mengelus-elus pipinya. Dari mata laut biru jernihnya, mataku memerhatikan bibirnya yang belum pernah kukecup. Diam-diam aku penasaran apakah bibir itu pernah dikecup oleh orang lain selain diriku? Jika ya, orang itu sungguh beruntung. Bibir itu tampak seperti buah manis, sangat menggiurkan. Kutarik tanganku dari pipinya yang lembut. Berada dalam balutan topeng seperti ini seolah-olah aku akan membunuhnya. Lagi pula, alasan kuat apa yang dapat membuatku ingin menelanjangi pedangku dan menghunusnya pada dada Eleanor? Andai saja Eleanor tahu betapa aku menggila-gilainya sekarang, ia pasti tidak akan berpikir aku akan membunuhnya. Setelah menunggu dua tahun, ia sekarang sudah ada di hadapanku. Siap kapan pun untuk kucium. Siap kapan pun untuk kubuai. Dan siap kapan pun untuk kunikahkan.
            Setelah topeng yang kupakai terlepas dari wajahku, aku menarik pinggangnya. Ia terkesiap dalam pelukanku, bahkan suara nafas tertahannya membuatku tak tahan untuk tak tersenyum. “Kau tak tahu betapa aku sangat menginginkan bibir itu sekarang,” bisikku menjilat bibir bawahku. Suara nafas tertahan kembali kudengar. Pipinya yang awalnya seputih salju sekarang berubah menjadi warna sup tomat yang pernah dibuat pelayan untukku—saat aku sakit. Sebuah senyuman yang menggetarkan hatiku muncul di wajahnya yang bening.
            “Aku suka melihatmu tersenyum.” Tanganku semakin mengeratkan pelukanku di pinggangnya. Mungkin gaun Eleanor memang tak seindah milik Abigail, namun dalam gaun seperti ini saja, ia sudah tampak menakjubkan. Dan buah dadanya yang tampak penuh dalam gaunnya benar-benar mengganggu pikiranku. Aku tak ingin rasa cintaku ia anggap hanya sekedar persetubuhan semata. Jika ia berpikir seperti itu, maka aku harus berusaha sekeras mungkin untuk meyakinkannya betapa aku sangat menginginkannya menjadi milikku sepenuhnya, bukan hanya karena berlandaskan seks. Bahkan aku berasumsi, ia sudah menjadi milikku sejak dua tahun lalu. Sejak aku berjanji padanya kalau aku akan bertemu dengannya lagi, berarti pertemuan kedua itu—pertemuan ini—akan menjadi awal dari hubungan kita. Hanya saja, ia belum sadar betul bahwa aku memilikinya selama dua tahun itu.
            “Pangeran Miguel, kau sangat manis,” ucapnya dengan bibir bergetar. Senyumnya menghilang, membuat hatiku kecewa. “Tapi posisi ini sangat tak pantas,”
            “Apa bibirmu itu pernah dikecup oleh pria lain?” Percakapan apa pun akan kuangkat agar ia tetap berada dalam pelukanku. Lagi pula, aku memang ingin tahu, pria mana yang bisa-bisanya mendapatkan bibir manis itu lebih dulu dariku? Matanya mengerjap-kerjap tak percaya akan pertanyaanku. Dapat kulihat ia menggigit bagian dalam bibir bawahnya. Ia ragu-ragu ingin menjawabnya seolah-olah sedang berpikir keras, apakah ia pernah dikecup sebelumnya?
            Menunggu bukan keahlianku. Ia menatapku ragu-ragu seolah-olah ia ingin mengatakan sesuatu yang akan membuatku marah. Bibirnya menipis selama beberapa saat sementara kesabaranku mulai menipis.
            “Apa kau akan membunuhku jika aku lari darimu?” Pertanyaan itu meluncur dari mulutnya. Rasanya jantungku keluar dari dadaku dan siap untuk disayat. Sungguh, aku tak menduga ia akan bertanya seperti itu. Ia terlalu berharga untukku kubunuh! Pertanyaan itu memancing salah satu alisku terangkat, dan kuberikan senyuman mengejek padanya.
            “Membunuh wanita muda secantik dirimu? Betapa konyolnya dirimu, Eleanor,” bisikku di akhir kalimat. Mataku memandangi rambut merahnya yang menggantung indah di samping pipinya. Tangan kiriku memegang pinggulnya sekuat mungkin agar ia tak lari, sementara tangan kananku memainkan ujung rambut merahnya yang terasa halus. Ini pertama kalinya aku menyentuh rambut merah Eleanor dan aku semakin jatuh cinta padanya.
            “Tapi kau memiliki pedang. Aku baru mengambil dua langkah saja kau bisa memotong kedua kakiku.” Pernyataannya membuatku harus tertawa kecil atas keluguannya. Mengapa oh mengapa ia begitu polos? Harus berapa kali kukatakan padanya ia terlalu cantik untuk kubunuh? Rambutnya yang melingkar di ujung jari telunjukku langsung kutarik, lalu kutangkupkan pipinya dalam telapak tanganku.
            “Wanita muda pemberani,” ucapku menjilat bibir bawahku yang kering. Demi Tuhan, aku tak sanggup menahan diri untuk tidak menciumnya. Anggaplah, kecupan ini merupakan tanda bahwa ia milikku sepenuhnya. “Sayangnya, aku tidak ingin melihatmu tanpa kaki, Eleanor, sayangku. Bisakah kita memotong percakapan ini dengan sebuah ciuman?” Aku tak akan memberikan kesempatan padanya untuk berbicara lagi dan membuatku nyaris gila terus menerus karena kesabaranku yang cepat habis. Kutarik pipinya agar lebih mendongak ke arahku lalu kepalaku menunduk untuk merasakan mulutnya yang pasti terasa manis.
            Saat bibir kami bertemu, seluruh tubuhku merinding karena bibirnya begitu lembut. Nafsuku tersulut namun aku berusaha menekannya agar aku tak melewati batas. Ia membuka mulutnya untukku agar aku bisa memainkan lidahku di dalamnya. Bunyi cepakan ciuman kami membuat darah di bawah kulitku bernyanyi. Ia begitu pasif, tak membalas ciumanku yang mengharapkan balasan. Setelah mengisap bibir bawahnya yang manis, aku tersenyum padanya.
            “Ciuman yang buruk,” komentarku mengejek. Kedua bahunya merosot begitu saja, membuatku merasa bersalah. “Tapi akan menjadi waktu yang menyenangkan jika aku mengajarimu berciuman, bukan?” Godaku memberi senyum nakal padanya. Ah, sialan, apa yang sedang kau lakukan Justin Miguel Thaddeus? Apa yang ia lakukan padamu hingga kau bersikap seperti pria putus asa—yang membutuhkan cinta?
            Ia menggeleng kepala. “Tidak. Aku tidak bisa melakukan itu lagi.” Kedua alisku bertaut bingung karena ucapannya yang tak berdasar, lalu aku mengingat apa yang Panglima katakan padaku. Segera aku menghilangkan kerutan di keningku. “Pangeran Miguel, kau baru saja mencium seorang pelayan,”
            “Pelayan yang cantik, tentu saja,” ucapku berusaha menyemangati suasana hatinya. Aku tahu betul bagaimana perasaannya sekarang. Ia pasti merasa bersalah karena aku sudah jatuh cinta padanya. “Tidak penting apakah aku seorang pangeran atau kau seorang pelayan. Tetapi kau menikmatinya bukan?” Godaku mengelus lehernya. Ia tak menyadarinya dan itu membuat elusan jariku di lehernya semakin melembut. Tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Kuperhatikan wajahnya yang tampak berpikir keras—lagi. Apa yang membuatnya begitu resah? Jika ia mengatakannya padaku, tentu aku akan segera menghilangkan perasaan itu agar ia tidak takut padaku dan semuanya akan baik-baik saja. Sentuhanku di lehernya kuhentikan begitu saja.
            “Eleanor, aku berjanji kita akan bertemu lagi. Sekarang, kuminta kau untuk menjaga dirimu di istana. Jangan biarkan siapa pun berani melecehkanmu. Tidak ada yang boleh menyentuh dirimu selain diriku. Sejak dua tahun lalu, kau sudah menjadi milikku.” Aku angkat bicara. Kening mengerut bingung.
            “Bagaimana bisa itu terjadi?”
            “Sekarang, bukan saatnya menjelaskan bagaimana bisa itu terjadi. Aku akan menyarankan Ayah agar kau menjadi pelayan bagi Abigail supaya kita bisa bertemu lebih sering lagi. Kuharap kau bisa menutupi hubungan ini dari siapa pun. Mengerti?”
            “Dengan nyawaku, pangeran Miguel,” ucapnya tulus sekaligus kaku. Ah, dengan ia berkata seperti itu berarti aku memegang kata-katanya. Ucapannya membuatku mengembus nafas lega. Hubungan ini tidak boleh diketahui oleh siapa pun sebelum aku sendiri yang mengatakannya. Kukecup ringan bibir Eleanor agar aku semakin yakin kalau ia sepenuhnya milikku. Aku tak akan segan mengotori pedangku dengan darah seorang bajingan yang berani menyentuh Eleanor-ku. Ini gila, tapi begitulah kenyataannya. “Apakah kau masih waras, pangeran Miguel?” Tanyanya tiba-tiba. Aku mengerjapkan mataku beberapa kali untuk mencerna apa yang baru saja ia tanya.
            “Maaf?” Aku masih berusaha berpikir mengapa ia bertanya seperti itu. Namun segera aku menjawabnya. “Apakah aku masih waras? Eleanor, aku sendiri tidak tahu apakah perasaan ini adalah perasaan sehat, namun aku sangat menginginkanmu. Anggap saja, aku sudah gila karena menginginkanmu,” kataku tersenyum padanya. Eleanor tentu bukan wanita muda yang senang berekspresi. Wajahnya tampak datar sedari tadi—mungkin hanya rona di pipinya yang menjadi tanda kalau ia gugup berada di dekatku sekaligus senang. Bibirnya yang ia gigit membuat aku terpaksa menarik nafas.
            Haruskah aku mengecupnya sekali lagi? Ya, tentu saja. Aku menundukkan kepalaku, berniat untuk mengecupnya. Suara pintu terbuka membuatku waspada. Segera aku menarik tubuhku darinya dan mundur beberapa langkah dari Eleanor. Tidak boleh ada yang tahu tentang hubungan ini sebelum aku sendiri yang mengatakannya. Kepalaku menoleh ke arah pintu taman lalu mengembus nafas lega. Hanya Abigail.
            Adikku yang menawan itu tampak marah. Sudah kuduga ia akan mendatangiku—aku sadar betul seharusnya sekarang aku berada di ruang makan bersama keluargaku. Dan seperti yang sering Abigail lakukan, ia akan datang menjemputku sambil memarahiku terlebih dahulu. Sambil mengangkat-angkat roknya yang membuatnya kesulitan berjalan, ia menatap marah padaku.
            “Justin!” Serunya hampir tak terdengar seperti teriakan. Abigail terlahir sebagai wanita lemah lembut, ia tidak mudah marah. Seluruh Cardwell menyukainya karena sikapnya yang lemah lembut pada siapa pun. Namun sedari tadi aku tak melihat keramahannya pada Eleanor. “Bukankah seharusnya kau ada di ruang makan? Kami semua sudah menunggu dirimu.” Ia menatapku lekat-lekat saat ia berhenti di depanku, bibir bawahnya menyembul seperti anak kecil. Oh, ia sangat menggemaskan dari kecil sampai sekarang. Pantas saja ia menjadi orang kesukaanku. Karena ingin menggodanya, aku membungkuk lalu mencubit kedua pipinya.
            “Bukankah kau yang paling menggemaskan saat marah seperti ini?” Godaku mencubit-cubit pelan pipinya. Wajahnya semakin dibuat-buat tak suka. Ia mengangkat tangan untuk menyingkirkan tanganku dari pipinya.
            “Jangan cubit pipiku seperti itu, Justin,” erang Abigail mengerucutkan bibirnya. “Ayolah, Ayah sudah menunggumu. Ia pikir kau bunuh diri karena kau dijodohkan dengan Margery,” ucap Abigail membuatku mengingat akan perjodohan sialan itu. Cepat-cepat Abigail menarik tanganku agar segera beranjak dari tempat. Sambil ia berusaha menarik tubuhku—yang sengaja aku beratkan agar ia sulit menarik tubuhku—mataku memerhatikan Eleanor yang ternyata dari tadi masih berdiri di tempatnya. Wajahnya yang datar membuatku semakin tak suka. Bisakah sekali saja ia memberitahu bagaimana perasaannya melalui ekspresi wajahnya?
            Kukedipkan sebelah mataku padanya, menggoda wanita muda itu. Biasanya berhasil membuat kedua pipi perempuan memerah, terutama jika aku melakukannya pada Abigail. Eleanor terkesiap. Baru saja aku ingin menikmati pipinya yang memerah, tubuhnya menghilang dari pandanganku karena kami sudah masuk ke dalam istana.

***

            Aku kesal sampai membutuhkan orang yang bersedia untuk kubunuh. Berita ini seperti bom yang dijatuhkan ke arahku dan aku sudah meledak. Ledakanku terpendam dalam diriku sendiri sehingga aku berusaha untuk tidak mengepulkan asap dari mulutku. Bisakah Ayahku sekali saja tidak membuatku marah padanya? Sepertinya menjodohkanku dengan Margery belum cukup membuatnya puas. Ia harus menjodohkan Abigail dengan anak sepupu dari raja Louboutin. Kerajaan yang dikenal dengan kekayaan tambangnya dan istananya yang terpencil entah dimana. Aku tidak bisa menerima perjodohan Abigail! Tidak akan pernah.
            Itu sama saja aku membawa diriku pada kesengsaraan tak berujung. Abigail akan dinikahkan dengan seorang duke di sebuah daerah terpencil. Akan butuh berminggu-minggu untuk sampai ke istana Louboutin. Ini semua berlebihan sampai nafsu makanku hilang begitu saja. Ayahku tak pernah memikirkan bagaimana perasaanku sampai aku benar-benar marah padanya. Oh, tidak, tidak. Ayahku berpura-pura tak pernah memikirkan bagaimana perasaanku. Sepasang mata cokelat Abigail memerhatikanku—ia duduk berhadapan denganku—lembut. Keningnya berkerut mengasihaniku dan aku tak suka dikasihani.
            “Aku sudah cukup,” ucapku tegas, bangkit berdiri dari kursi. Mata Abigail mengikuti gerakanku. “Aku sudah cukup, Ayah.” Kepalaku menoleh padanya yang duduk dua kursi dariku. Geoffrey—adik laki-lakiku yang terakhir—duduk di sebelahku dan Ibu di antara Ayah dan Geoffrey. Ayah dengan sikap tenang berusaha menahanku.
            “Miguel,” ucapnya menyebut namaku. “Bukankah sebaiknya kau menunggu kami selesai dengan makanan ini sambil membicarakan masa depan kelima anakku yang berharga?” Lagi-lagi omong kosong keluar dari mulut Ayahku. Masa depan untukku? Menikah dengan Margery? Tolonglah, jangan buat aku mual di ruang makan keluargaku. Mataku jatuh pada sepasang mata cokelat Ibuku—yang ia turunkan pada Abigail—yang memohon padaku agar aku mengalah. Aku duduk kembali di kursiku dan bersandar.
            “Mengapa harus dengan pria itu?” Tanyaku, dingin. Ayah meminum anggur terlebih dahulu sebelum ia menjawabku.
            “Karena aku sudah mengaturnya, Miguel,” ucap Ayahku menyembunyikan rahasia yang terpaksa aku harus mencari tahu sendiri. “Abigail akan bahagia bersama dengannya, Miguel. Lagi pula, pernikahannya baru akan diselenggarakan 4 bulan ke depan. Kau masih memiliki waktu bersama Abigail,”
            “Bagaimana dengan Eleanor? Aku ingin ia menjadi pelayan Abigail. Apakah ia akan ikut bersama Abigail?” Tanyaku teringat akan pujaan hatiku. Jika ia menjadi pelayan Abigail, berarti ia harus ikut kemana pun Abigail pergi. Demi Tuhan, bayangan-bayangan yang sebelumnya indah tiba-tiba rusak menjadi mimpi buruk.
            Ayah mengangguk. “Tentu saja. Jika kau memang ingin menempatkan Eleanor sebagai pelayannya, maka Eleanor akan ikut bersama Abigail,” katanya terlalu santai untuk berbicara seperti itu. Aku sudah tak tahan. Jika pernikahan Abigail benar-benar diselenggarakan 4 bulan lagi, aku harus merencanakan sesuatu agar pernikahan sialan itu dibatalkan. Ini semua harus melibatkan pernikahanku. Ya, aku bisa saja menerima Margery sebagai istriku dalam waktu singkat, setelahnya, aku akan menempatkan keadaan sesuai dengan keinginanku.
            “Mengapa Eleanor akan menjadi pelayanku?” Tanya Abigail tiba-tiba membuka mulut.
            “Karena aku ingin kau memiliki pelayan yang sebaya denganmu, Abigail,” ucapku menyela Ayahku yang tadinya akan menjawab pertanyaan Abigail. Raut wajah Abigail berubah tak suka. Tak seperti biasanya. Abigail menyukai semua orang, bahkan orang ternista sekalipun. Tapi mengapa ia tak menyukai Eleanor?
            “Aku tak begitu yakin itu adalah keputusan yang bagus,” ucapnya ragu-ragu. Matanya menatap ke bawah, ke makanannya yang ia mainkan. Apakah ia sedang menguji kesabaranku? Tidak di sini Abigail. Kuangkat satu tanganku ke atas meja.
            “Abigail, sekarang bukan saatnya kau mengeluh siapa pelayanmu sekarang. Percakapan selesai, aku sudah membuat keputusan.” Aku mengepalkan tangan di atas meja—yang aku yakini sekarang, Ibuku sedang melihatnya seolah-olah ia melihat orang yang baru saja terbunuh. Segera aku menarik tanganku dari atas meja lalu mengembus nafas panjang. Dua adikku yang lain—yang paling kecil senang duduk di kursi yang seharusnya Ibuku tempati—memerhatikanku dengan mulut terkatup. Tidak ada yang berani meredakan amarahku jika aku sudah mengeluarkannya. Bahkan Ayah akan lebih memilih menggeleng-geleng kepala atas sikapku.
            Kutatap Abigail lagi. Sempat rasa iba menyengatku karena aku baru saja membentaknya di depan keluarga tetapi aku segera menyingkirkan perasaan kasihanku itu. Ia menatapku dengan tatapan takut, seperti Eleanor di taman tadi. Sekarang bukan waktunya untuk memedulikan perasaannya. Semua rasa iba padanya harus kusingkirkan karena sekarang aku sedang berpikir keras untuk menyingkirkan rencana-rencana bodoh Ayahku. Aku bangkit dari kursi lagi, membuat Abigail terkesiap.
            “Aku harus pergi menemui seseorang,” ucapku tegas lalu beranjak dari tempat. Suara Ayah yang menegurku tak kuindahkan—sama seperti ia sering tak mengindahkan perkenalan masyarakatnya.
            Aku keluar dari ruang makan. Zachary yang sedang membersihkan pedangnya itu segera berdiri tegak. Sambil terus berjalan, aku memberi tanda agar ia mengikuti.
            “Bawa Eleanor ke kamarku. Sekarang.”

***

            Aku tak sanggup menutup mulutku lebih lama lagi. Ia harus tahu bagaimana perasaanku terhadapnya agar ia dapat membantuku untuk menjalani rencanaku agar berjalan semulus bulu kudaku. Wanita muda itu duduk di atas tempat tidurku—yang belum pernah diduduki oleh orang asing mana pun. Tapi Eleanor bukanlah orang asing bagiku. Hanya dengan pertemuan pertama saja, ia sudah membuatku jatuh cinta. Wanita muda itu sudah mengganti pakaiannya menjadi pakaian pelayan. Gaun berwarna hitam panjang yang menutupi seluruh tubuhnya, begitu juga dengan lengannya yang panjang. Namun hal itu tidak mengurangi kesempurnaannya. Ia selalu sempurna. Dan ia milikku.
            Jika Ayah tahu aku berdua bersama Eleanor di kamar, ia sudah pasti menegurku sampai telingaku panas. Ini semua karena perjodohanku yang bodoh itu. Ayah memintaku untuk tidak kelihatan bersama wanita mana pun di Cardwell agar kerajaan Crumple tahu betapa seriusnya aku ingin menjadi suaminya. Dan apakah aku melakukannya? Lihat apa yang kulakukan sekarang. Ayah lebih menyayangi adik-adikku karena mereka terlalu patuh akan apa yang Ayahku katakan. Aku tahu apa yang Ayah lakukan untuk kami adalah demi masa depan yang sempurna. Tapi tidak denganku. Aku akan menciptakan masa depanku sendiri.
            “Eleanor,” panggilku. Kepalanya mendongak setelah beberapa lama ia terus menundukkan kepalanya, membuatku tak dapat melihat wajahnya yang akan selalu ingat.
            “Pangeran Miguel, bolehkah aku mengatakan sesuatu padamu?” Tanyanya menggigit bibir bawahnya. Aku mengangguk cepat. “Ap-apa ini tidak akan ketahuan? A-aku takut jika—“
            “Ssh.” Aku mengangkat tanganku. “Selama kau bersamaku, tidak akan ada yang berani membicarakanmu di istana. Jika mulut kotor mereka membicarakanmu, beritahu aku agar aku segera menyumpal mulut mereka dengan pedang,”
            “Pangeran Miguel, kurasa itu bukan langkah yang bagus.” Ia menunduk tapi aku tahu ia melirik padaku. Sebelumnya, tidak ada yang berani mengatakan hal itu padaku selain Ayahku sendiri. Dan sekarang, di sinilah wanita muda yang kucintai mengatakannya padaku. Hanya saja, ia tidak tahu betapa berpengaruhnya setiap kata yang ia keluarkan. Aku melangkah ke arahnya lalu berhenti saat lututku menyentuh lututnya yang tertekuk karena duduk.
            Tanganku meraih tangannya lalu mengelus punggung tangannya dengan lembut. “Jika kau bilang seperti itu, maka itu bukanlah langkah yang bagus,” kataku membuatnya mendongak. Seulas senyuman yang sedari tadi kuinginkan akhirnya muncul. Tanganku yang lain menyentuh pipinya—untuk yang kesekian kalinya—lalu menunduk mengecup bibirnya.
            “Pangeran Miguel, aku tidak ingin berharap terlalu tinggi padamu. Aku tidak ingin menjadi wanita muda yang menyedihkan karena mengharapkan sesuatu yang tak akan terjadi. Kumohon jangan siksa aku seperti ini,”
            “Maksudmu?” Tanyaku bingung. Mengharapkan sesuatu yang tak akan terjadi?
            “Aku tidak ingin jatuh cinta pada seseorang yang tidak mencintaiku.”
            “Kau bercanda atau apa?” Tanyaku terkekeh pelan. Kedua tanganku sekarang menangkup pipinya. “Aku terlalu mencintaimu, Eleanor Hughes. Aku berjanji padamu, akulah pria terakhir yang akan membuat hidupmu lebih nyata.”





Tidak ada komentar:

Posting Komentar