CHAPTER TWO – FIRST DAY, FIRST KISS
ELEANOR HUGHES
Aku
memasukkan diriku ke dalam gerombolan serigala. Tatapan-tatapan dari para
prajurit yang kulewati seolah-olah mereka akan memakanku hidup-hidup. Apakah
aku memang harus melakukan ini? Ya, tentu saja. Aku tidak ingin Sarah berada
dalam posisiku sekarang. Adik-adikku menangis saat aku ditarik paksa masuk ke
ruangan yang tersembunyi di balik singgasana. Lucas, aku masih bisa melihat
wajahnya yang memerah saat aku terakhir melihatnya. Priscilla sempat memaki
istana namun segera raja meredakan mereka. Setelahnya, aku tidak tahu apa yang
terjadi karena aku sudah diseret-seret berjalan melewati lorong panjang yang
berkelok-kelok.
Pikiranku terbang kemana-mana, memikirkan
kemungkinan apa saja yang bisa terjadi padaku. Pemerkosaan? Itu bisa terjadi kapan
pun. Skandal kerajaan? Aku meragukan hal itu. Pembunuhan? Oh, tentu saja itu
akan terjadi. Mengetahui pangeran Miguel termasuk orang yang kejam tentu
membuatku merinding. Mungkin.. err, pernikahan? Hal itu bahkan tidak mendekati
kata ‘bisa’. Jika aku melakukan satu kesalahan pada keluarganya, maka dari itu
aku akan menyampaikan permintaan terakhirku seperti saat aku hampir dibunuh di
Danau Mayat; jangan jual kuda kesayanganku.
Sempat
aku berpikir, jika aku melayani pangeran Miguel, aku akan meracuni makanannya.
Dan ya, otakku tak begitu berpikir jauh sampai pada ramuan apa yang harus
kuberikan. Pada dasarnya, aku tak tahu bagaimana membuat racun makanan. Namun
hal yang paling mengganggu pikiranku sekarang adalah pangeran Miguel. Apa yang
ada di pikirannya sewaktu ia membiarkanku masuk ke dalam istananya? Kupikir ia
sebaik yang teman-temanku katakan. Selain terkenal akan kekejamannya, pangeran
Miguel juga terkenal akan kebaikannya pada masyarakatnya—yang saat itu aku
tidak sama sekali percaya akan ucapan teman-temanku karena dua fakta itu sangat
berbanding terbalik.
Raja
menerima tawaranku karena pangeran Miguel memberi saran yang aku tak berhak
tahu—itu kata Abigail, adik pangeran Miguel. Aku akan dibawa ke ruang para
pelayan—yang tempatnya berada paling belakang istana. Katanya istana
membutuhkan banyak pelayan. Sebagian besar pelayan berhenti dari istana karena
keluarga mereka membutuhkan mereka lebih sering dibanding istana membutuhkan
mereka. Upah yang mereka terima pun tidak begitu banyak. Dan sialnya, aku tidak
akan sepeser pun uang menjadi pelayan di sini.
Sebuah
pintu besar membuatku dan prajurit yang membawaku ke sini berhenti melangkah.
Prajurit yang lain mendorong pintu besar itu dan saat itu aku tahu aku
diperhadapkan dengan siapa saja. Para pelayan istana sekaligus pelayan
prajurit. Aku tak dapat menutupi perasaan terkejutku saat melihatnya. Seorang
pelayan sedang disetubuhi prajurit di dekat pintu yang lain—pintunya
tertutup—dengan keadaan berdiri. Kugigit bibir bawahku, ragu-ragu untuk
melangkah masuk. Namun sebuah dorongan besar dari belakang membuatku terperosok
masuk ke dalam. Hentakan pintu dari belakang membuatku terperanjat. Dapat
kurasakan beberapa pasang mata memerhatikanku yang tersungkur di atas lantai
abu-abu ini. Namun tak ada yang kunjung membantuku. Sial. Secepat mungkin aku
bangkit dari lantai untuk membersihkan pakaianku dan siku-sikuku yang terasa
sakit.
“Oh,
sayangku, apakah kau baik-baik saja?” Seorang Ibu yang kira-kira umurnya sudah
menginjak 50 tahun mendekatiku. Ia muncul dari pintu lain—yang kuduga
menghubungkan ruang para pelayan dengan dapur. Aku mengangguk bohong. Suara
desahan dua manusia di dekat pintu dapur itu menarik perhatianku. Ibu yang
perhatian ini mengikuti pandanganku lalu ia menggeleng kepala. “Cari tempat
lain!” Serunya tegas. Namun prajurit dan pelayan itu sedang ‘panas-panasnya’.
Si perempuan itu menjerit kencang lalu diikuti dengan prajurit itu. Detik
setelahnya mereka berhenti bergerak. Apakah sudah selesai? Pemandangan tadi
memberikanku perasaan aneh. Bagian bawahku berdenyut-denyut tak menentu, tak
seperti biasanya.
Si
prajurit akhirnya memisahkan tubuhnya dengan pelayan itu lalu memunggungi para
pelayan yang lain. Mereka berdua merapikan pakaian secepat mungkin dan lalu si
perempuan berjalan masuk ke dalam dapur. Kembali aku menggigit bibir bawahku
karena jijik. Apakah para penghuni istana memakan makanan yang dibumbui tangan
kotor mereka—keringat persetubuhan? Tubuhku menggigil membayangkannya.
Prajurit
itu selesai merapikan pakaiannya lalu membalikkan tubuhnya. Ia terdiam di
tempat saat melihatku. Wajahnya masih muda, janggut-janggut halus menghiasi
rahang bawahnya dan ia memiliki mata secokelat batang pohon. Ibu tua itu
langsung mengusir pria itu dari ruang pelayan. Sambil berjalan keluar, si
prajurit terus memerhatikanku. Apakah ada yang salah dengan penampilanku? Si
Ibu tua mulai mengalihkan perhatiannya padaku.
“Oh,
sayangku. Maafkan kejadian tadi. Hal itu sering terjadi di sini. Kau harus
terbiasa melihat pemandangan itu. Kuharap kau tidak seperti pelayan-pelayan
yang lain, sayang,” ucapnya dengan suara serak. Aku mengangguk. Aku masih
perawan dan belum ingin melakukan persetubuhan—terutama dengan para prajurit.
Melihatnya saja aku sudah jijik, bagaimana melakukannya?
“Aku
Eleanor Hughes,” kataku memperkenalkan diri. Ibu tua itu menarik tanganku dan
mengangguk. Senyumannya tampak damai saat ia menarik kedua sudut bibirnya
menjadi sebuah lengkungan yang cantik.
“Oh,
ya.. ya. Aku sudah diberitahu Francis di dapur tadi kalau kami akan kedatangan
orang baru,” ucap Ibu tua itu. “Aku Jemima, pendamping barumu yang akan
mengajarimu bagaimana menjadi pelayan di sini. Kepala pelayan kami sedang sibuk
mengatur persediaan makanan istana dengan persediaan makanan untuk masyarakat,
jadi ia belum bisa bertemu denganmu.” Ia membawaku ke tempat tidur paling ujung
di ruangan ini. Kira-kira terdapat 20 tempat tidur yang saling berhadapan satu
sama lain dan sebuah lemari besar—di dekat tempat tidur paling ujung—yang
kuyakini itu adalah lemari pakaian kami.
Jemima
menepuk-nepuk tempat tidur itu, memberitahu tanpa suara kalau tempat tidur ini
untukku. Aku duduk di atasnya, mengelus sprei putihnya lalu tersenyum. Tidak
seburuk yang kukira. Kurasa, aku masih bisa bertahan hidup di istana ini. Yang
perlu kujauhi hanyalah kesalahan fatal yang bisa terjadi kapan saja. Terutama
jika kesalahan itu berhubungan dengan keluarga Thaddeus. Suara ribut di dapur
mengalihkan perhatian kami berdua. Jemima memberi tanda agar aku duduk tenang
sementara ia berjalan menuju pintu dapur. Aku berusaha bersikap tak peduli
dengan suara ribut itu dan ternyata berhasil.
Menghilangnya
Jemima membuatku mengembus nafas lega. Beberapa pelayan yang sedang
berbaring-baring di atas tempat tidur tampak acuh tak acuh atas kedatanganku.
Yah, membuatku cukup senang karena aku tak suka menjadi pusat perhatian. Itu
akan membuatku sangat gugup. Aku bertanya-tanya, apa yang dilakukan adik-adikku
sekarang? Apa yang akan Ayahku lakukan jika ia tahu aku berada di istana?
Priscilla yang akan menjadi pengurus rumah selama aku tidak ada. Aku tidak
ingin memberi tanggungjawabku pada Isabel yang tidak lebih dewasa dibanding
Priscilla. Ayah akan setuju dengan pendapatku.
Jari-jariku
memainkan ujung rambut merahku. Diam-diam aku mengingat bagaimana cara pangeran
Miguel menatapku. Ia tampak tak tenang saat aku kembali masuk ke singgasana.
Mata birunya mengingatkanku pada pria yang kutemui dua tahun lalu. Pria yang
berjanji padaku kalau ia akan menemuiku kembali. Tidak, aku tidak mengharapkan
kedatangan pria itu lagi. Dari semua kemungkinan yang ada, aku mengambang di
Danau Mayat akan menjadi kemungkinan yang pasti terjadi. Jelas saja pria itu
akan membunuhku jika kita bertemu lagi. Namun sungguh, aku penasaran dengan
wajahnya. Aku curiga kalau ternyata pangeran Miguel-lah yang kutemui dua tahun
lalu. Dari warna matanya yang sama lalu pakaiannya. Rambutnya? Tidak, rambutnya
tidak sama seperti pria itu. Kecurigaanku meningkat saat kudengar suaranya yang
hampir sama dengan suara pria yang kutemui di Danau Mayat.
Mungkinkah
ia pria itu? Jika ya, aku lebih baik bunuh diri dari sekarang. Ketakutanku
menyeruak ke seluruh tubuh sampai membuat bulu tanganku berdiri. Ia yang
memberi saran pada raja agar raja menerima tawaranku! Oh, tidak, tidak. Ini
sangat tidak benar. Ia akan membunuhku! Setelah ini ia akan memintaku untuk
bertemu dengannya lalu.. sampai jumpa kuda kesayanganku, aku akan bertemu Tuhan
malam ini.
Pintu
ruang pelayan terbuka. Seorang prajurit lain muncul. Kali ini ia lebih tua dari
prajurit yang pernah kulihat. Ia tinggi, wajahnya tampak garang dan dingin,
rambutnya panjang—membuatku tak yakin kalau ia seorang prajurit. Ia memakai
pakaian hitam, hampir sama seperti pakaian pangeran Miguel dan sebuah pedang
tersangkut di pinggangnya. Ia berjalan cepat ke arahku lalu menarik tanganku
dengan kasar. Sebuah erangan kecil keluar dari mulutku.
“Aku
akan dibawa kemana?” Tanyaku ketakutan. Ia menyeret-nyeretku keluar dari ruang
pelayan. Jemima, bantu aku! “Jemima!”
“Pangeran
Miguel meminta kau untuk bertemu dengannya.” Suaranya yang tegas berhasil membungkam
mulutku. Oh, apa yang ada di pikiranku sekarang benar-benar terjadi. Pangeran
Miguel akan membunuhku sebentar lagi. Kumohon
jangan jual kuda kesayanganku.
Ia
menarikku keluar dari lorong panjang yang berliku-liku, menaiki tangga, keluar
dari pintu ke pintu yang lain. Tiba-tiba saja kami sudah berada di sebuah taman
yang.. tampak seperti awal musim semi. Langit-langit berwarna jingga kemerahan.
Matahari sebentar lagi tenggelam. Tidak ada rumput-rumput nakal yang mencuat,
bunga-bunga yang tumbuh tak berseri-seri, dan sebuah patung seorang wanita
telanjang yang berwarna putih berada di tengah-tengahnya. Dan seorang pria
berpakaian serba hitam berdiri di sampingnya. Kali ini, pria itu memakai topi
baret berwarna merah.
“Pangeran
Miguel,” ucap pria yang sedari tadi menggenggam lenganku dengan erat. “Dia
sudah di sini.” Akhirnya tangan pria itu lepas dari lenganku. Cepat-cepat aku
mengelus lenganku yang terasa nyeri. Tangan kirinya terangkat dan pria itu
dengan segera pergi dari hadapanku dan pangeran Miguel. Aku penasaran bagaimana
rasanya menjadi seorang pangeran yang hanya mengangkat satu tangannya lalu
membuat orang pergi dari hadapannya detik itu juga.
Kuhentikan
pikiranku secepat mungkin saat pangeran Miguel membalikkan tubuhnya. Sebagian
jiwaku terbang entah kemana saat kulihat separuh wajahnya berada dalam balutan
topeng. Topeng yang dipakai pria dua tahun lalu itu, di Danau Mayat. Seluruh
kakiku melemas. Jadi.. memang dia pria yang berjanji akan bertemu denganku
lagi. Ya, untuk membunuhku. Kakiku seolah-olah terpaku dengan tanah rumput yang
kupijak sementara hatiku memohon-mohon berlari dari tempat. Pangeran Miguel
berjalan lambat mendekatiku. Seulas senyuman yang sama ia berikan padaku. Tanpa
diminta otakku, bulu romaku berdiri begitu saja. Jantungku berpacu lebih cepat
tiap kali ia mengambil satu langkah mendekatiku. Dan ia berhenti saat jarak
kami hanya tinggal satu langkah. Yah, baiklah, inilah saat-saat terakhir di
dunia. Sampai jumpa Ayah, ternyata aku bertemu Tuhan lebih cepat darimu.
Namun
sedari tadi aku tak melihat tangannya menyentuh pedang yang menempel di
pinggangnya. Oh, apakah ia akan membunuhku dengan tangan kosongnya? Memutar
kepalaku, mungkin? Aku pernah melihat pembunuhan seperti itu. Kepala orang itu
akan diputar hingga terdengar suara tulang patah di lehernya, lalu orang itu
mati begitu saja.
“Apa
kau pernah menduga bahwa ternyata aku yang kautemui di Danau Mayat?” Mata
birunya tampak lebih terang dalam pencahayaan yang remang-remang ini. Matahari
dalam beberapa detik lagi akan lenyap dari pandanganku.
“Tidak
pernah sampai aku mendengar suaramu di singgasana,” ucapku kelewat jujur.
“J-jika kau ingin membunuhku sekara—“
“Ssh.”
Jari telunjuknya menyentuh bibirku. Sontak aku berhenti berbicara. Tangannya
yang besar menangkup pipi kiriku. Sentuhannya tak berbeda seperti sentuhannya
dua tahun lalu. Pangeran Miguel seolah-olah tahu apa yang sedang ia lakukan
dengan sentuhan itu. Ia tahu apa pengaruh sentuhannya. Matanya yang sekarang
tampak berkilat-kilat dalam topengnya itu menatap mataku dalam-dalam. Aku
hanyut entah kemana. Bibirku bergetar ingin mengatakan sesuatu sebelum aku
benar-benar jatuh karena kakiku sendiri.
“Pangeran
Miguel,” bisikku, sejenak menelan ludah. “Aku tak pernah memberitahu siapa pun
tentang pembunuhan itu,”
“Aku
tahu.. aku tahu, Eleanor.” Bibirnya mengeluarkan suara bisikan yang terdengar
begitu.. aku tak bisa menjabarkannya dengan kata-kata. Suaranya membuat darahku
bernyanyi. Mulutku tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun padanya. Lidahku
seolah-olah membeku dan bibirku terasa kering. Bagian bawahku berdenyut-denyut
saat jari-jarinya mulai menyentuh bibir bawahku. Perasaan ini benar-benar aneh
dan aku tidak ingin berlama-lama dengan perasaan itu.
Pangeran
Miguel menarik sentuhannya dari pipiku. Sebebas mungkin aku menarik nafas
dalam-dalam. Ia sungguh mengintimidasiku—bahkan sekarang masih mengintimidasi.
Kedua tangannya berlari ke belakang kepala kemudian topengnya jatuh begitu saja
dari wajahnya. Sekarang aku bisa melihat karya Tuhan yang tak terelakkan
keelokannya dalam jarak dekat. Mata birunya sekarang tak memberi kilatan-kilatan
seperti tadi, bulu matanya panjang dan begitu lentik—oh sangat indah—dan
bibirnya membuatku ingin merasakan bagaimana manisnya.
Aku
menggigit pipi bagian dalamku karena pikiranku yang begitu kotor. Mengapa
bisa-bisa aku memikirkan hal itu? Apa yang pangeran Miguel lakukan padaku?
Nafasku tercekat saat kedua tangannya menarik pinggangku agar tubuh kami
menempel satu sama lain. Ini merupakan jarak terdekatku bersama pria—bahkan
jarak satu langkah tadi adalah yang pertama kalinya. Aku terpaksa mendongak
karena pangeran Miguel terlalu tinggi untukku. Ia memberi senyum miring yang
berhasil membuat kedua kakiku tak sanggup menopan beban tubuhku.
“Kau
tak tahu betapa aku sangat menginginkan bibir itu sekarang,” bisiknya menjilat
bibirnya. Tiba-tiba aku tak tahu harus bertingkah seperti apa di hadapannya.
Ucapannya menggetarkan hatiku, memberikan denyut-denyut nikmat yang tak dapat
kujelaskan dengan kata-kata. Kekasih-kekasihku tak pernah memberikan perasaan
bahagia seperti ini. “Aku suka melihatmu tersenyum.”
“Pangeran
Miguel, kau sangat manis,” ucapku gugup. Benarkah aku tadi tersenyum? Aku
menggigit pipi bagian dalamku lagi. “Tapi posisi ini sangat tak pantas,”
“Apa
bibirmu itu pernah dikecup oleh pria lain?” Tanyanya dengan nada suara waspada.
Mataku mengerjap-kerjap berkali-kali saat mendengar pertanyaan itu keluar dari
mulutnya. Ia menginginkan bibirku dan ia bertanya apakah pria pernah
mengecupnya? Benjamin—mantan kekasihku—pernah berusaha mengecup bibirku namun
dengan refleks, aku menamparnya. Ia terlalu lancang.
Bahkan
aku tak tahu apa yang terjadi dengan diriku sekarang. Mengapa aku membiarkan
pangeran Miguel memelukku seerat ini dan tidak berlari darinya? Karena
berteriak tidak akan menarik perhatian siapa pun. Berlari darinya mengantarku
pada kematian.
“Apa
kau akan membunuhku jika aku lari darimu?” Pertanyaan itu meluncur dengan bebas
dari mulutku. Oh, mulutku begitu bodoh. Salah satu alisnya terangkat dan seulas
senyuman mengejek tampak di wajahnya.
“Membunuh
wanita muda secantik dirimu? Betapa konyolnya dirimu, Eleanor,” ucapnya
berbisik di akhir kalimat. Tangan kirinya menangkup pinggulku sementara tangan
kananya memainkan rambut merahku. Ia menatap rambutku penuh kagum kemudian
jatuh kembali pada mataku.
“Tapi
kau memiliki pedang. Aku baru mengambil dua langkah saja kau bisa memotong
kedua kakiku.” Oh, mulut sialan!
Hentikan! Pangeran Miguel tertawa kecil—lebih terdengar nyanyian di
telingaku. Tangannya yang memegang rambutku berlari ke pipiku, menangkupnya
seperti sebelumnya.
“Wanita
muda pemberani,” ucapnya menjilat bibir itu lagi. “Sayangnya, aku tidak ingin
melihatmu tanpa kaki, Eleanor, sayangku. Bisakah kita memotong percakapan ini
dengan sebuah ciuman?” Pertanyaan itu tak sempat kujawab karena ia menarik
pipiku agar mendongak lebih lagi untuknya. Kepalanya tertunduk agar mulut kami
menyatu. Tak ada perlawanan dariku. Bahkan aku memejamkan untuk merasakan
kecupan pertamaku dari seorang pangeran. Kecupan pertamaku dari seorang
pangeran! Dan pangeran itu tidak lain dan tidak bukan adalah pangeran Miguel.
Lidahnya
memaksa masuk ke dalam mulutku. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan selain
mengikuti permainan mulutku. Ia sangat lembut sampai aku terbuai dibuatnya.
Bibirnya terasa seperti madu dan kapas. Sangat manis dan begitu lembut.
Beberapa detik kemudian ia menarik mulutnya dari mulutku. Kedua matanya
sekarang seperti air laut yang jernih, begitu bening dan tampak.. bergairah?
Aku tak tahu.
“Ciuman
yang buruk,” bisiknya membuat kedua bahuku melemas. Kupikir aku sudah melakukan
yang baik untuknya—dan memang sebenarnya aku tak melakukan apa pun selain
membiarkan lidahnya bermain dalam mulutku. “Tapi akan menjadi waktu yang
menyenangkan jika aku mengajarimu berciuman, bukan?” Apa ia masih waras?
“Tidak.
Aku tidak bisa melakukan itu lagi.” Aku menggeleng kepala. Kedua alisnya
bertaut bingung atas ucapanku lalu menghilang beberapa saat kemudian. “Pangeran
Miguel, kau baru saja mencium seorang pelayan,”
“Pelayan
yang cantik, tentu saja,” sangkalnya mencari alasan. Alasannya membuat pipiku
terbakar begitu, bahkan memanas. “Tidak penting apakah aku seorang pangeran
atau kau seorang pelayan. Tetapi kau menikmatinya bukan?” Tanya pangeran Miguel
menatapku dengan mata sayunya. Apa ia sedang menggodaku? Apakah ia tak sadar
kalau ia menggoda seorang pelayan? Jika raja tahu tentang ini, pasti ia akan
memenggal kepalaku. Kata Ayahku, seorang pelayan yang berani menggoda raja atau
pangeran, itu berarti pelayan sudah merusak nama baik kerajaan. Kecuali, jika
raja atau pangeran itu yang menginginkan sang pelayan. Hal itu sah-sah saja.
Dan
ini memang sah. Tapi apa yang akan dikatakan pelayan lain jika mereka melihatku
bersama dengan pangeran? Aku pasti diadukan pada sang raja karena menggoda
pangeran. Apalagi, aku adalah anak baru di istana ini. Ini membuatku merasa
jijik pada diriku sendiri. Apakah sekarang aku seorang pelacur?
“Eleanor,
aku berjanji kita akan bertemu lagi. Sekarang, kuminta kau untuk menjaga dirimu
di istana. Jangan biarkan siapa pun berani melecehkanmu. Tidak ada yang boleh
menyentuh dirimu selain diriku. Sejak dua tahun lalu, kau sudah menjadi
milikku,”
“Bagaimana
bisa itu terjadi?” Aku memberi pandangan bingung. Apa ia masih waras?
“Sekarang,
bukan saatnya menjelaskan bagaimana bisa itu terjadi. Aku akan menyarankan Ayah
agar kau menjadi pelayan bagi Abigail supaya kita bisa bertemu lebih sering
lagi. Kuharap kau bisa menutupi hubungan ini dari siapa pun. Mengerti?”
“Dengan
nyawaku, pangeran Miguel,” bisikku kaku. Pangeran Miguel mengembus nafas lega
lalu mengecup ringan bibirku. Apakah ia masih waras? Pertanyaan itu terus
berputar-putar di kepalaku dan akhirnya meluncur dengan bebas. Lagi. “Apakah
kau masih waras, pangeran Miguel?”
“Maaf?”
Tampaknya ia tak begitu mendengar. Namun buru-buru ia berbicara. “Apakah aku
masih waras? Eleanor, aku sendiri tidak tahu apakah perasaan ini adalah
perasaan sehat, namun aku sangat menginginkanmu. Anggap saja, aku sudah gila
karena menginginkanmu.” Oh, dia tidak gila. Karena ia mengaku kalau dirinya
gila. Di balik sikapku yang—berusaha—terlihat kaku, sesungguhnya, hatiku
meledak-ledak bahagia. Seolah-olah bunga musim semi sekarang berpindah di
hatiku dan kupu-kupu berterbangan di sekitarnya.
Ia
baru saja memajukan kepala, namun suara pintu membuat ia menjauhkan diri
dariku. Sontak aku mundur beberapa langkah darinya untuk mengantisipasi apa pun
yang bisa terjadi. Kepalaku menoleh ke pintu yang terbuka itu. Seorang wanita
muda yang tampaknya seumuran denganku berdiri di sana. Tangannya memegang
erat-erat sisi pintu dan ia menggigit bibir bawahnya. Ia memakai gaun yang
begitu mewah, berwarna kuning keemasan dan perhiasan di leher dan kepalanya.
Bagaimana tidak? Ia seorang putri raja. Putri Abigail Thaddeus melangkah
mendekati kami dengan mulut tertutup rapat-rapat. Matanya tak sekalipun melirik
padaku. Aku akan melayaninya? Semoga Tuhan memberikan kesabaran lebih untukku.
“Justin!”
Serunya berjalan cepat sambil mengangkat-angkat rok gaunnya, ia berhenti di
depan pangeran Miguel. “Bukankah seharusnya kau ada di ruang makan? Kami semua
sudah menunggu dirimu.” Suara Abigail berusaha terdengar marah, namun sungguh,
aku mendengarnya seperti sedang berbicara biasa saja pada pangeran Miguel.
Suaranya terlalu lembut untuk marah. Nafasku tertahan saat kedua tangan
pangeran Miguel menangkup pipi adiknya.
“Bukankah
kau yang paling menggemaskan saat marah seperti ini?” Goda pangeran Miguel
tersenyum konyol. Jadi, inilah yang dibicarakan teman-temanku? Hubungan
pangeran Miguel dengan Abigail yang tak wajar itu? Yah, memang tampak tak
wajar. Justru terlihat seperti sepasang kekasih. Entah perasaan apa yang
menyerang hatiku, namun aku sungguh tak suka perasaan ini.
“Jangan
cubit pipiku seperti itu, Justin,” erang Abigail mengerucutkan bibirnya.
“Ayolah, Ayah sudah menunggumu. Ia pikir kau bunuh diri karena kau dijodohkan
dengan Margery.” Abigail menarik tangan pangeran Miguel, meninggalkanku di
dekat patung setengah badan ini. Pangeran Miguel memerhatikanku selama Abigail
menarik tangannya lalu sebelah matanya mengedip. Sontak aku membuang wajah
darinya. Apa yang baru saja ia lakukan? Mengedipkan sebelah matanya padaku?
Pipiku terbakar kembali.
Saat
mereka menghilang dari pintu, aku mengembus nafas panjang. Keakraban mereka
menimbulkan beberapa pertanyaan di otakku. Tetapi aku tak berani menanyakan hal
itu pada diriku sendiri. Jika ya, berarti aku baru saja berpikir yang tidak
baik pada keluarga Thaddeus—sebenarnya mereka memang bukan keluarga yang baik.
Pikiranku terfokus pada ucapan terakhir Abigail. Tentang.. err, Margery? Siapa
dia? Oh, wanita akan dijodohkan dengan pangeran Miguel.
Jantungku
berpacu cepat saat sadar bahwa pangeran Miguel sebentar lagi akan menjadi milik
orang lain. Sejak dua tahun lalu, kau
sudah menjadi milikku. Kalimat itu terus memutar-mutar di otakku bahkan
sekarang berubah menjadi kalimat yang tak masuk akal. Pria itu sebentar lagi
akan menjadi milik orang lain! Dan aku tidak ingin menjadi orang ketiga dalam
sebuah hubungan. Tidak pernah.
Kedua
bahuku merosot memikirkan itu. Ia baru saja membawaku terbang tinggi dengan
ucapan-ucapannya yang manis. Kemudian ternyata ia menyembunyikan hal yang
begitu besar—yang sebenarnya aku juga tak berhak tahu—dan menjatuhkanku begitu
saja. Mata terpaku pada topeng yang ia buang tadi. Topeng yang ia pakai dua
tahun lalu. Seluruh pikiran burukku tentangnya terhapus begitu saja, seperti
ingatan yang hilang. Aku membungkuk untuk meraih topeng hitam itu dan
menggenggamnya. Haruskah aku menyimpannya? Jika istana tahu tentang ini, apakah
itu berarti aku akan dipenggal?
Aku
berdiri tegak, menggeleng kepala tegas sembari mengambil langkah cepat menuju
pintu. Matahari sudah tenggelam dan keadaan sekitar gelap. Segera aku berlari,
meninggalkan tempat ciuman pertamaku. Tempat yang tidak akan pernah kulupakan
seumur hidupku. Namun sungguh, aku harus melupakan apa pun yang pangeran Miguel
katakan padaku. Aku tak ingin berangan-angan lebih tinggi lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar