Sabtu, 25 Oktober 2014

Beautiful Slave Bab 2




CHAPTER TWO – FIRST DAY, FIRST KISS

ELEANOR HUGHES

            Aku memasukkan diriku ke dalam gerombolan serigala. Tatapan-tatapan dari para prajurit yang kulewati seolah-olah mereka akan memakanku hidup-hidup. Apakah aku memang harus melakukan ini? Ya, tentu saja. Aku tidak ingin Sarah berada dalam posisiku sekarang. Adik-adikku menangis saat aku ditarik paksa masuk ke ruangan yang tersembunyi di balik singgasana. Lucas, aku masih bisa melihat wajahnya yang memerah saat aku terakhir melihatnya. Priscilla sempat memaki istana namun segera raja meredakan mereka. Setelahnya, aku tidak tahu apa yang terjadi karena aku sudah diseret-seret berjalan melewati lorong panjang yang berkelok-kelok.
 Pikiranku terbang kemana-mana, memikirkan kemungkinan apa saja yang bisa terjadi padaku. Pemerkosaan? Itu bisa terjadi kapan pun. Skandal kerajaan? Aku meragukan hal itu. Pembunuhan? Oh, tentu saja itu akan terjadi. Mengetahui pangeran Miguel termasuk orang yang kejam tentu membuatku merinding. Mungkin.. err, pernikahan? Hal itu bahkan tidak mendekati kata ‘bisa’. Jika aku melakukan satu kesalahan pada keluarganya, maka dari itu aku akan menyampaikan permintaan terakhirku seperti saat aku hampir dibunuh di Danau Mayat; jangan jual kuda kesayanganku.
            Sempat aku berpikir, jika aku melayani pangeran Miguel, aku akan meracuni makanannya. Dan ya, otakku tak begitu berpikir jauh sampai pada ramuan apa yang harus kuberikan. Pada dasarnya, aku tak tahu bagaimana membuat racun makanan. Namun hal yang paling mengganggu pikiranku sekarang adalah pangeran Miguel. Apa yang ada di pikirannya sewaktu ia membiarkanku masuk ke dalam istananya? Kupikir ia sebaik yang teman-temanku katakan. Selain terkenal akan kekejamannya, pangeran Miguel juga terkenal akan kebaikannya pada masyarakatnya—yang saat itu aku tidak sama sekali percaya akan ucapan teman-temanku karena dua fakta itu sangat berbanding terbalik.
           Raja menerima tawaranku karena pangeran Miguel memberi saran yang aku tak berhak tahu—itu kata Abigail, adik pangeran Miguel. Aku akan dibawa ke ruang para pelayan—yang tempatnya berada paling belakang istana. Katanya istana membutuhkan banyak pelayan. Sebagian besar pelayan berhenti dari istana karena keluarga mereka membutuhkan mereka lebih sering dibanding istana membutuhkan mereka. Upah yang mereka terima pun tidak begitu banyak. Dan sialnya, aku tidak akan sepeser pun uang menjadi pelayan di sini.
            Sebuah pintu besar membuatku dan prajurit yang membawaku ke sini berhenti melangkah. Prajurit yang lain mendorong pintu besar itu dan saat itu aku tahu aku diperhadapkan dengan siapa saja. Para pelayan istana sekaligus pelayan prajurit. Aku tak dapat menutupi perasaan terkejutku saat melihatnya. Seorang pelayan sedang disetubuhi prajurit di dekat pintu yang lain—pintunya tertutup—dengan keadaan berdiri. Kugigit bibir bawahku, ragu-ragu untuk melangkah masuk. Namun sebuah dorongan besar dari belakang membuatku terperosok masuk ke dalam. Hentakan pintu dari belakang membuatku terperanjat. Dapat kurasakan beberapa pasang mata memerhatikanku yang tersungkur di atas lantai abu-abu ini. Namun tak ada yang kunjung membantuku. Sial. Secepat mungkin aku bangkit dari lantai untuk membersihkan pakaianku dan siku-sikuku yang terasa sakit.
            “Oh, sayangku, apakah kau baik-baik saja?” Seorang Ibu yang kira-kira umurnya sudah menginjak 50 tahun mendekatiku. Ia muncul dari pintu lain—yang kuduga menghubungkan ruang para pelayan dengan dapur. Aku mengangguk bohong. Suara desahan dua manusia di dekat pintu dapur itu menarik perhatianku. Ibu yang perhatian ini mengikuti pandanganku lalu ia menggeleng kepala. “Cari tempat lain!” Serunya tegas. Namun prajurit dan pelayan itu sedang ‘panas-panasnya’. Si perempuan itu menjerit kencang lalu diikuti dengan prajurit itu. Detik setelahnya mereka berhenti bergerak. Apakah sudah selesai? Pemandangan tadi memberikanku perasaan aneh. Bagian bawahku berdenyut-denyut tak menentu, tak seperti biasanya.
            Si prajurit akhirnya memisahkan tubuhnya dengan pelayan itu lalu memunggungi para pelayan yang lain. Mereka berdua merapikan pakaian secepat mungkin dan lalu si perempuan berjalan masuk ke dalam dapur. Kembali aku menggigit bibir bawahku karena jijik. Apakah para penghuni istana memakan makanan yang dibumbui tangan kotor mereka—keringat persetubuhan? Tubuhku menggigil membayangkannya.
            Prajurit itu selesai merapikan pakaiannya lalu membalikkan tubuhnya. Ia terdiam di tempat saat melihatku. Wajahnya masih muda, janggut-janggut halus menghiasi rahang bawahnya dan ia memiliki mata secokelat batang pohon. Ibu tua itu langsung mengusir pria itu dari ruang pelayan. Sambil berjalan keluar, si prajurit terus memerhatikanku. Apakah ada yang salah dengan penampilanku? Si Ibu tua mulai mengalihkan perhatiannya padaku.
            “Oh, sayangku. Maafkan kejadian tadi. Hal itu sering terjadi di sini. Kau harus terbiasa melihat pemandangan itu. Kuharap kau tidak seperti pelayan-pelayan yang lain, sayang,” ucapnya dengan suara serak. Aku mengangguk. Aku masih perawan dan belum ingin melakukan persetubuhan—terutama dengan para prajurit. Melihatnya saja aku sudah jijik, bagaimana melakukannya?
            “Aku Eleanor Hughes,” kataku memperkenalkan diri. Ibu tua itu menarik tanganku dan mengangguk. Senyumannya tampak damai saat ia menarik kedua sudut bibirnya menjadi sebuah lengkungan yang cantik.
            “Oh, ya.. ya. Aku sudah diberitahu Francis di dapur tadi kalau kami akan kedatangan orang baru,” ucap Ibu tua itu. “Aku Jemima, pendamping barumu yang akan mengajarimu bagaimana menjadi pelayan di sini. Kepala pelayan kami sedang sibuk mengatur persediaan makanan istana dengan persediaan makanan untuk masyarakat, jadi ia belum bisa bertemu denganmu.” Ia membawaku ke tempat tidur paling ujung di ruangan ini. Kira-kira terdapat 20 tempat tidur yang saling berhadapan satu sama lain dan sebuah lemari besar—di dekat tempat tidur paling ujung—yang kuyakini itu adalah lemari pakaian kami.
            Jemima menepuk-nepuk tempat tidur itu, memberitahu tanpa suara kalau tempat tidur ini untukku. Aku duduk di atasnya, mengelus sprei putihnya lalu tersenyum. Tidak seburuk yang kukira. Kurasa, aku masih bisa bertahan hidup di istana ini. Yang perlu kujauhi hanyalah kesalahan fatal yang bisa terjadi kapan saja. Terutama jika kesalahan itu berhubungan dengan keluarga Thaddeus. Suara ribut di dapur mengalihkan perhatian kami berdua. Jemima memberi tanda agar aku duduk tenang sementara ia berjalan menuju pintu dapur. Aku berusaha bersikap tak peduli dengan suara ribut itu dan ternyata berhasil.
            Menghilangnya Jemima membuatku mengembus nafas lega. Beberapa pelayan yang sedang berbaring-baring di atas tempat tidur tampak acuh tak acuh atas kedatanganku. Yah, membuatku cukup senang karena aku tak suka menjadi pusat perhatian. Itu akan membuatku sangat gugup. Aku bertanya-tanya, apa yang dilakukan adik-adikku sekarang? Apa yang akan Ayahku lakukan jika ia tahu aku berada di istana? Priscilla yang akan menjadi pengurus rumah selama aku tidak ada. Aku tidak ingin memberi tanggungjawabku pada Isabel yang tidak lebih dewasa dibanding Priscilla. Ayah akan setuju dengan pendapatku.
            Jari-jariku memainkan ujung rambut merahku. Diam-diam aku mengingat bagaimana cara pangeran Miguel menatapku. Ia tampak tak tenang saat aku kembali masuk ke singgasana. Mata birunya mengingatkanku pada pria yang kutemui dua tahun lalu. Pria yang berjanji padaku kalau ia akan menemuiku kembali. Tidak, aku tidak mengharapkan kedatangan pria itu lagi. Dari semua kemungkinan yang ada, aku mengambang di Danau Mayat akan menjadi kemungkinan yang pasti terjadi. Jelas saja pria itu akan membunuhku jika kita bertemu lagi. Namun sungguh, aku penasaran dengan wajahnya. Aku curiga kalau ternyata pangeran Miguel-lah yang kutemui dua tahun lalu. Dari warna matanya yang sama lalu pakaiannya. Rambutnya? Tidak, rambutnya tidak sama seperti pria itu. Kecurigaanku meningkat saat kudengar suaranya yang hampir sama dengan suara pria yang kutemui di Danau Mayat.
            Mungkinkah ia pria itu? Jika ya, aku lebih baik bunuh diri dari sekarang. Ketakutanku menyeruak ke seluruh tubuh sampai membuat bulu tanganku berdiri. Ia yang memberi saran pada raja agar raja menerima tawaranku! Oh, tidak, tidak. Ini sangat tidak benar. Ia akan membunuhku! Setelah ini ia akan memintaku untuk bertemu dengannya lalu.. sampai jumpa kuda kesayanganku, aku akan bertemu Tuhan malam ini.
            Pintu ruang pelayan terbuka. Seorang prajurit lain muncul. Kali ini ia lebih tua dari prajurit yang pernah kulihat. Ia tinggi, wajahnya tampak garang dan dingin, rambutnya panjang—membuatku tak yakin kalau ia seorang prajurit. Ia memakai pakaian hitam, hampir sama seperti pakaian pangeran Miguel dan sebuah pedang tersangkut di pinggangnya. Ia berjalan cepat ke arahku lalu menarik tanganku dengan kasar. Sebuah erangan kecil keluar dari mulutku.
            “Aku akan dibawa kemana?” Tanyaku ketakutan. Ia menyeret-nyeretku keluar dari ruang pelayan. Jemima, bantu aku! “Jemima!”
            “Pangeran Miguel meminta kau untuk bertemu dengannya.” Suaranya yang tegas berhasil membungkam mulutku. Oh, apa yang ada di pikiranku sekarang benar-benar terjadi. Pangeran Miguel akan membunuhku sebentar lagi. Kumohon jangan jual kuda kesayanganku.
            Ia menarikku keluar dari lorong panjang yang berliku-liku, menaiki tangga, keluar dari pintu ke pintu yang lain. Tiba-tiba saja kami sudah berada di sebuah taman yang.. tampak seperti awal musim semi. Langit-langit berwarna jingga kemerahan. Matahari sebentar lagi tenggelam. Tidak ada rumput-rumput nakal yang mencuat, bunga-bunga yang tumbuh tak berseri-seri, dan sebuah patung seorang wanita telanjang yang berwarna putih berada di tengah-tengahnya. Dan seorang pria berpakaian serba hitam berdiri di sampingnya. Kali ini, pria itu memakai topi baret berwarna merah.
            “Pangeran Miguel,” ucap pria yang sedari tadi menggenggam lenganku dengan erat. “Dia sudah di sini.” Akhirnya tangan pria itu lepas dari lenganku. Cepat-cepat aku mengelus lenganku yang terasa nyeri. Tangan kirinya terangkat dan pria itu dengan segera pergi dari hadapanku dan pangeran Miguel. Aku penasaran bagaimana rasanya menjadi seorang pangeran yang hanya mengangkat satu tangannya lalu membuat orang pergi dari hadapannya detik itu juga.
            Kuhentikan pikiranku secepat mungkin saat pangeran Miguel membalikkan tubuhnya. Sebagian jiwaku terbang entah kemana saat kulihat separuh wajahnya berada dalam balutan topeng. Topeng yang dipakai pria dua tahun lalu itu, di Danau Mayat. Seluruh kakiku melemas. Jadi.. memang dia pria yang berjanji akan bertemu denganku lagi. Ya, untuk membunuhku. Kakiku seolah-olah terpaku dengan tanah rumput yang kupijak sementara hatiku memohon-mohon berlari dari tempat. Pangeran Miguel berjalan lambat mendekatiku. Seulas senyuman yang sama ia berikan padaku. Tanpa diminta otakku, bulu romaku berdiri begitu saja. Jantungku berpacu lebih cepat tiap kali ia mengambil satu langkah mendekatiku. Dan ia berhenti saat jarak kami hanya tinggal satu langkah. Yah, baiklah, inilah saat-saat terakhir di dunia. Sampai jumpa Ayah, ternyata aku bertemu Tuhan lebih cepat darimu.
            Namun sedari tadi aku tak melihat tangannya menyentuh pedang yang menempel di pinggangnya. Oh, apakah ia akan membunuhku dengan tangan kosongnya? Memutar kepalaku, mungkin? Aku pernah melihat pembunuhan seperti itu. Kepala orang itu akan diputar hingga terdengar suara tulang patah di lehernya, lalu orang itu mati begitu saja.
            “Apa kau pernah menduga bahwa ternyata aku yang kautemui di Danau Mayat?” Mata birunya tampak lebih terang dalam pencahayaan yang remang-remang ini. Matahari dalam beberapa detik lagi akan lenyap dari pandanganku.
            “Tidak pernah sampai aku mendengar suaramu di singgasana,” ucapku kelewat jujur. “J-jika kau ingin membunuhku sekara—“
            “Ssh.” Jari telunjuknya menyentuh bibirku. Sontak aku berhenti berbicara. Tangannya yang besar menangkup pipi kiriku. Sentuhannya tak berbeda seperti sentuhannya dua tahun lalu. Pangeran Miguel seolah-olah tahu apa yang sedang ia lakukan dengan sentuhan itu. Ia tahu apa pengaruh sentuhannya. Matanya yang sekarang tampak berkilat-kilat dalam topengnya itu menatap mataku dalam-dalam. Aku hanyut entah kemana. Bibirku bergetar ingin mengatakan sesuatu sebelum aku benar-benar jatuh karena kakiku sendiri.
            “Pangeran Miguel,” bisikku, sejenak menelan ludah. “Aku tak pernah memberitahu siapa pun tentang pembunuhan itu,”
            “Aku tahu.. aku tahu, Eleanor.” Bibirnya mengeluarkan suara bisikan yang terdengar begitu.. aku tak bisa menjabarkannya dengan kata-kata. Suaranya membuat darahku bernyanyi. Mulutku tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun padanya. Lidahku seolah-olah membeku dan bibirku terasa kering. Bagian bawahku berdenyut-denyut saat jari-jarinya mulai menyentuh bibir bawahku. Perasaan ini benar-benar aneh dan aku tidak ingin berlama-lama dengan perasaan itu.
            Pangeran Miguel menarik sentuhannya dari pipiku. Sebebas mungkin aku menarik nafas dalam-dalam. Ia sungguh mengintimidasiku—bahkan sekarang masih mengintimidasi. Kedua tangannya berlari ke belakang kepala kemudian topengnya jatuh begitu saja dari wajahnya. Sekarang aku bisa melihat karya Tuhan yang tak terelakkan keelokannya dalam jarak dekat. Mata birunya sekarang tak memberi kilatan-kilatan seperti tadi, bulu matanya panjang dan begitu lentik—oh sangat indah—dan bibirnya membuatku ingin merasakan bagaimana manisnya.
            Aku menggigit pipi bagian dalamku karena pikiranku yang begitu kotor. Mengapa bisa-bisa aku memikirkan hal itu? Apa yang pangeran Miguel lakukan padaku? Nafasku tercekat saat kedua tangannya menarik pinggangku agar tubuh kami menempel satu sama lain. Ini merupakan jarak terdekatku bersama pria—bahkan jarak satu langkah tadi adalah yang pertama kalinya. Aku terpaksa mendongak karena pangeran Miguel terlalu tinggi untukku. Ia memberi senyum miring yang berhasil membuat kedua kakiku tak sanggup menopan beban tubuhku.
            “Kau tak tahu betapa aku sangat menginginkan bibir itu sekarang,” bisiknya menjilat bibirnya. Tiba-tiba aku tak tahu harus bertingkah seperti apa di hadapannya. Ucapannya menggetarkan hatiku, memberikan denyut-denyut nikmat yang tak dapat kujelaskan dengan kata-kata. Kekasih-kekasihku tak pernah memberikan perasaan bahagia seperti ini. “Aku suka melihatmu tersenyum.”
            “Pangeran Miguel, kau sangat manis,” ucapku gugup. Benarkah aku tadi tersenyum? Aku menggigit pipi bagian dalamku lagi. “Tapi posisi ini sangat tak pantas,”
            “Apa bibirmu itu pernah dikecup oleh pria lain?” Tanyanya dengan nada suara waspada. Mataku mengerjap-kerjap berkali-kali saat mendengar pertanyaan itu keluar dari mulutnya. Ia menginginkan bibirku dan ia bertanya apakah pria pernah mengecupnya? Benjamin—mantan kekasihku—pernah berusaha mengecup bibirku namun dengan refleks, aku menamparnya. Ia terlalu lancang.
            Bahkan aku tak tahu apa yang terjadi dengan diriku sekarang. Mengapa aku membiarkan pangeran Miguel memelukku seerat ini dan tidak berlari darinya? Karena berteriak tidak akan menarik perhatian siapa pun. Berlari darinya mengantarku pada kematian.
            “Apa kau akan membunuhku jika aku lari darimu?” Pertanyaan itu meluncur dengan bebas dari mulutku. Oh, mulutku begitu bodoh. Salah satu alisnya terangkat dan seulas senyuman mengejek tampak di wajahnya.
            “Membunuh wanita muda secantik dirimu? Betapa konyolnya dirimu, Eleanor,” ucapnya berbisik di akhir kalimat. Tangan kirinya menangkup pinggulku sementara tangan kananya memainkan rambut merahku. Ia menatap rambutku penuh kagum kemudian jatuh kembali pada mataku.
            “Tapi kau memiliki pedang. Aku baru mengambil dua langkah saja kau bisa memotong kedua kakiku.” Oh, mulut sialan! Hentikan! Pangeran Miguel tertawa kecil—lebih terdengar nyanyian di telingaku. Tangannya yang memegang rambutku berlari ke pipiku, menangkupnya seperti sebelumnya.
            “Wanita muda pemberani,” ucapnya menjilat bibir itu lagi. “Sayangnya, aku tidak ingin melihatmu tanpa kaki, Eleanor, sayangku. Bisakah kita memotong percakapan ini dengan sebuah ciuman?” Pertanyaan itu tak sempat kujawab karena ia menarik pipiku agar mendongak lebih lagi untuknya. Kepalanya tertunduk agar mulut kami menyatu. Tak ada perlawanan dariku. Bahkan aku memejamkan untuk merasakan kecupan pertamaku dari seorang pangeran. Kecupan pertamaku dari seorang pangeran! Dan pangeran itu tidak lain dan tidak bukan adalah pangeran Miguel.
            Lidahnya memaksa masuk ke dalam mulutku. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan selain mengikuti permainan mulutku. Ia sangat lembut sampai aku terbuai dibuatnya. Bibirnya terasa seperti madu dan kapas. Sangat manis dan begitu lembut. Beberapa detik kemudian ia menarik mulutnya dari mulutku. Kedua matanya sekarang seperti air laut yang jernih, begitu bening dan tampak.. bergairah? Aku tak tahu.
            “Ciuman yang buruk,” bisiknya membuat kedua bahuku melemas. Kupikir aku sudah melakukan yang baik untuknya—dan memang sebenarnya aku tak melakukan apa pun selain membiarkan lidahnya bermain dalam mulutku. “Tapi akan menjadi waktu yang menyenangkan jika aku mengajarimu berciuman, bukan?” Apa ia masih waras?
            “Tidak. Aku tidak bisa melakukan itu lagi.” Aku menggeleng kepala. Kedua alisnya bertaut bingung atas ucapanku lalu menghilang beberapa saat kemudian. “Pangeran Miguel, kau baru saja mencium seorang pelayan,”
            “Pelayan yang cantik, tentu saja,” sangkalnya mencari alasan. Alasannya membuat pipiku terbakar begitu, bahkan memanas. “Tidak penting apakah aku seorang pangeran atau kau seorang pelayan. Tetapi kau menikmatinya bukan?” Tanya pangeran Miguel menatapku dengan mata sayunya. Apa ia sedang menggodaku? Apakah ia tak sadar kalau ia menggoda seorang pelayan? Jika raja tahu tentang ini, pasti ia akan memenggal kepalaku. Kata Ayahku, seorang pelayan yang berani menggoda raja atau pangeran, itu berarti pelayan sudah merusak nama baik kerajaan. Kecuali, jika raja atau pangeran itu yang menginginkan sang pelayan. Hal itu sah-sah saja.
            Dan ini memang sah. Tapi apa yang akan dikatakan pelayan lain jika mereka melihatku bersama dengan pangeran? Aku pasti diadukan pada sang raja karena menggoda pangeran. Apalagi, aku adalah anak baru di istana ini. Ini membuatku merasa jijik pada diriku sendiri. Apakah sekarang aku seorang pelacur?
            “Eleanor, aku berjanji kita akan bertemu lagi. Sekarang, kuminta kau untuk menjaga dirimu di istana. Jangan biarkan siapa pun berani melecehkanmu. Tidak ada yang boleh menyentuh dirimu selain diriku. Sejak dua tahun lalu, kau sudah menjadi milikku,”
            “Bagaimana bisa itu terjadi?” Aku memberi pandangan bingung. Apa ia masih waras?
            “Sekarang, bukan saatnya menjelaskan bagaimana bisa itu terjadi. Aku akan menyarankan Ayah agar kau menjadi pelayan bagi Abigail supaya kita bisa bertemu lebih sering lagi. Kuharap kau bisa menutupi hubungan ini dari siapa pun. Mengerti?”
            “Dengan nyawaku, pangeran Miguel,” bisikku kaku. Pangeran Miguel mengembus nafas lega lalu mengecup ringan bibirku. Apakah ia masih waras? Pertanyaan itu terus berputar-putar di kepalaku dan akhirnya meluncur dengan bebas. Lagi. “Apakah kau masih waras, pangeran Miguel?”
            “Maaf?” Tampaknya ia tak begitu mendengar. Namun buru-buru ia berbicara. “Apakah aku masih waras? Eleanor, aku sendiri tidak tahu apakah perasaan ini adalah perasaan sehat, namun aku sangat menginginkanmu. Anggap saja, aku sudah gila karena menginginkanmu.” Oh, dia tidak gila. Karena ia mengaku kalau dirinya gila. Di balik sikapku yang—berusaha—terlihat kaku, sesungguhnya, hatiku meledak-ledak bahagia. Seolah-olah bunga musim semi sekarang berpindah di hatiku dan kupu-kupu berterbangan di sekitarnya.
            Ia baru saja memajukan kepala, namun suara pintu membuat ia menjauhkan diri dariku. Sontak aku mundur beberapa langkah darinya untuk mengantisipasi apa pun yang bisa terjadi. Kepalaku menoleh ke pintu yang terbuka itu. Seorang wanita muda yang tampaknya seumuran denganku berdiri di sana. Tangannya memegang erat-erat sisi pintu dan ia menggigit bibir bawahnya. Ia memakai gaun yang begitu mewah, berwarna kuning keemasan dan perhiasan di leher dan kepalanya. Bagaimana tidak? Ia seorang putri raja. Putri Abigail Thaddeus melangkah mendekati kami dengan mulut tertutup rapat-rapat. Matanya tak sekalipun melirik padaku. Aku akan melayaninya? Semoga Tuhan memberikan kesabaran lebih untukku.
            “Justin!” Serunya berjalan cepat sambil mengangkat-angkat rok gaunnya, ia berhenti di depan pangeran Miguel. “Bukankah seharusnya kau ada di ruang makan? Kami semua sudah menunggu dirimu.” Suara Abigail berusaha terdengar marah, namun sungguh, aku mendengarnya seperti sedang berbicara biasa saja pada pangeran Miguel. Suaranya terlalu lembut untuk marah. Nafasku tertahan saat kedua tangan pangeran Miguel menangkup pipi adiknya.
           “Bukankah kau yang paling menggemaskan saat marah seperti ini?” Goda pangeran Miguel tersenyum konyol. Jadi, inilah yang dibicarakan teman-temanku? Hubungan pangeran Miguel dengan Abigail yang tak wajar itu? Yah, memang tampak tak wajar. Justru terlihat seperti sepasang kekasih. Entah perasaan apa yang menyerang hatiku, namun aku sungguh tak suka perasaan ini.
            “Jangan cubit pipiku seperti itu, Justin,” erang Abigail mengerucutkan bibirnya. “Ayolah, Ayah sudah menunggumu. Ia pikir kau bunuh diri karena kau dijodohkan dengan Margery.” Abigail menarik tangan pangeran Miguel, meninggalkanku di dekat patung setengah badan ini. Pangeran Miguel memerhatikanku selama Abigail menarik tangannya lalu sebelah matanya mengedip. Sontak aku membuang wajah darinya. Apa yang baru saja ia lakukan? Mengedipkan sebelah matanya padaku? Pipiku terbakar kembali.
            Saat mereka menghilang dari pintu, aku mengembus nafas panjang. Keakraban mereka menimbulkan beberapa pertanyaan di otakku. Tetapi aku tak berani menanyakan hal itu pada diriku sendiri. Jika ya, berarti aku baru saja berpikir yang tidak baik pada keluarga Thaddeus—sebenarnya mereka memang bukan keluarga yang baik. Pikiranku terfokus pada ucapan terakhir Abigail. Tentang.. err, Margery? Siapa dia? Oh, wanita akan dijodohkan dengan pangeran Miguel.
            Jantungku berpacu cepat saat sadar bahwa pangeran Miguel sebentar lagi akan menjadi milik orang lain. Sejak dua tahun lalu, kau sudah menjadi milikku. Kalimat itu terus memutar-mutar di otakku bahkan sekarang berubah menjadi kalimat yang tak masuk akal. Pria itu sebentar lagi akan menjadi milik orang lain! Dan aku tidak ingin menjadi orang ketiga dalam sebuah hubungan. Tidak pernah.
            Kedua bahuku merosot memikirkan itu. Ia baru saja membawaku terbang tinggi dengan ucapan-ucapannya yang manis. Kemudian ternyata ia menyembunyikan hal yang begitu besar—yang sebenarnya aku juga tak berhak tahu—dan menjatuhkanku begitu saja. Mata terpaku pada topeng yang ia buang tadi. Topeng yang ia pakai dua tahun lalu. Seluruh pikiran burukku tentangnya terhapus begitu saja, seperti ingatan yang hilang. Aku membungkuk untuk meraih topeng hitam itu dan menggenggamnya. Haruskah aku menyimpannya? Jika istana tahu tentang ini, apakah itu berarti aku akan dipenggal?
            Aku berdiri tegak, menggeleng kepala tegas sembari mengambil langkah cepat menuju pintu. Matahari sudah tenggelam dan keadaan sekitar gelap. Segera aku berlari, meninggalkan tempat ciuman pertamaku. Tempat yang tidak akan pernah kulupakan seumur hidupku. Namun sungguh, aku harus melupakan apa pun yang pangeran Miguel katakan padaku. Aku tak ingin berangan-angan lebih tinggi lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar