Selasa, 14 Oktober 2014

Beautiful Slave Bab 1

CHAPTER ONE – WHEN GOD MADE YOU

JUSTIN MIGUEL THADDEUS

            Mataku menatap tajam pria muda di hadapanku. Ia memohon-mohon padaku agar siksaan yang ia terima tak berkelanjutan. Berarti aku munafik jika aku membiarkannya lepas dari tanganku. Dan sayangnya, aku tidak terbiasa dengan yang namanya munafik. Darah sudah melumuri wajahnya yang sekarang hancur tetapi setitik kasihan pun tak datang mengunjungiku. Kasihan tidak pantas kuberikan untuknya. Ia berlutut di hadapanku sementara dua pengawalku memegang rambut kepalanya agar pria itu dapat mendongak, melihatku. Bola matanya hampir lenyap karena matanya yang bengkak. Ia memohon padaku, meminta belas kasihanku. Tetapi jangan panggil aku Justin Miguel Thaddeus jika aku tidak menghabisinya.
Pedangku menusuk dadanya hingga menembus punggungnya. Ada rasa puas saat aku melakukannya. Seluruh amarahku rasanya berkurang sedikit, meski aku masih menginginkan lebih dari satu orang saja. Aku menarik pedangku yang sekarang berlumuran darah lalu memasukkannya kembali ke dalam sarung. Ia lalu tergeletak jatuh ke tanah dengan wajah yang mendarat lebih dulu. Dan aku tak begitu peduli. Pecundang di hadapanku ini tidak lebih dari seekor hewan hina di hutan ini. Ia menertawakanku saat aku ingin memberi kecupan bagi Abigail namun Abigail menolaknya—adikku sedang tidak dalam keadaan bagus. Seharusnya ia tidak menertawakanku. Oh, tidak, tentu saja. Ia pelayan baru di istana tetapi kelancangannya melebihi pelacur yang berani mengecupku saat aku bilang berhenti.
            Sambil menggendongnya, aku berjalan menuju danau. Danau Mayat. Begitu orang-orang menyebutnya. Untuk yang kesekian kalinya, aku akan melempar mayat di sana. Dua pendampingku akan mengawasi keadaan sekitar. Dan siapa pun saksi mata akan dibunuh. Itu merupakan peraturan yang diturunkan Ayah untukku. Aku memakai topeng, tentu saja. Tidak baik seorang pangeran didapati membunuh seseorang di hutan seperti ini. Danau Mayat ini begitu bau karena ..mayat-mayat yang mengambang di sana. Tanah terlalu berharga bagi pecundang seperti yang satu ini.
            Aku mengayunkan tubuh pecundang ini lalu melemparnya ke danau. Saat itulah telingaku mendengar suara nafas ketiga selain dua orang di belakangku. Dan sepasang mata lain sedang memerhatikanku, tetapi aku tak tahu dimana manusia itu berada. Aku menyuruh dua orang di belakangku untuk pergi lebih dulu. Dan untuk banyak alasan, mereka mematuhi apa yang kukatakan. Mataku menyapu bersih sekitarku, kecuali danau. Ilalang-ilalang bodoh di hadapanku sepertinya tak terlalu cerdas mengelabuiku karena aku dapat melihat sepasang mata sedang memerhatikanku. Sialan. Seorang gadis berambut merah! Betapa konyolnya dia? Rambut merahnya sangat mencolok diantara ilalang-ilalang berwarna kuning. Ia sadar aku sedang memandangnya dan segera ia menundukkan kepalanya.
            Segera aku beranjak dari tempat. Aku berjalan ke arahnya, tetapi tidak melewati ilalang-ilalang bodoh itu. Sebenarnya, aku bisa saja memotong ilalang-ilalang itu dengan pedang berlumuran darah, tetapi aku ingin melihat bagaimana reaksinya mendapatiku sudah tak berada di tempat. Dari belakang, aku melihatnya mengembus nafas lega. Aku menyeringai licik melihatnya yang begitu polos. Ia bangkit dari tempat sementara aku berjalan mendekatinya, berdiri di belakangnya. Tangannya yang mungil membersihkan gaun bagian belakangnya lalu mundur satu langkah.
            Punggungnya menyentuh dadaku. Oh, ini sangat lucu. Tanganku sudah menyentuh pedangku, ingin membunuhnya. Tetapi bukan menjadi ciri khasku jika aku tidak mencium bibirnya terlebih dahulu. Dan jika ia cantik.. aku akan memperhitungkannya. Ia berani membalikkan tubuhnya dengan mata terpejam. Wajah kami begitu dekat sampai aku bisa melihat betapa ia takut padaku. Aku terperangah dengan bulu matanya yang panjang, bibir bawahnya yang memiliki tebal sesuai dengan kepalanya yang mungil, dan kulitnya terlihat sangat putih. Seputih salju. Sudah jelas ia sangat takut padaku.
            “Kumohon, jangan bunuh aku,” pintanya masih memejamkan mata. Aku penasaran dengan wanita berambut merah mencolok ini. Ia cantik tetapi malah memilih Danau Mayat menjadi tempat.. persembunyiannya? Kusentuh telapak tanganku, mengelus kelembutan kulitnya. Oh, sangat manis. Rasanya aku ingin menidurinya di sini. Tetapi aku bukan orang bodoh yang ceroboh. Dan sangat tak senonoh meniduri secantik ini di antara ilalang-ilalang ini. Ia harus mendapatkan yang lebih baik.
            “Buka matamu, sayang,” perintahku seduktif. Ibu jariku menyentuh sudut bibirnya, menginginkan bibir itu untuk kukecup. Dan ia melakukan apa yang kuperintahkan. Dua bola mata biru cerah terpampang jelas di depan mataku. Terlalu indah untuk menjadi nyata. Perasaanku meledak-ledak saat melihatnya begitu polos di hadapanku. Tidak, aku tidak akan membunuhnya.
“Mata yang indah,” pujiku memberi senyum maut. Namun ia masih ketakutan. Ia gemetaran di bawah sentuhanku. Dan aku bersumpah dalam nama Tuhan, aku akan mendapatkan gadis ini kelak dan menjadi satu-satunya yang akan kucintai—selain Abigail. Lalu ia berucap.
“Jangan bunuh aku, Tuan. Aku tidak akan memberitahu siapa pun tentang ini. Aku berjanji,” ucapnya penuh janji dan aku yakin ia akan melakukan hal itu. Dapat kupastikan, ini bukan kali pertama ia bersembunyi di sini. Kukecup pipinya dengan lembut dan dapat kurasakan ia bergetar di bawah sentuhan tanganku.
            “Berapa umurmu?” Aku bertanya sambil menyentuh bibir bawahnya. Aku menginginkannya sampai-sampai kurasa ini semua tak nyata.
            “14 tahun, Tuan,” katanya membuatku sedikit terkejut atas pernyataannya. 14 tahun dan belum menikah? Sungguh menakjubkan. Andai saja aku bukan seorang pangeran, gadis ini sudah kubawa pada Ayahku dan akan kunikahkan dia. Ayah tidak akan menyukai gadis ini, sekalipun aku menggertak padanya.
“Kau terlalu cantik untuk kubunuh, Nona. Kau boleh pergi.” Aku memerintahkannya. Ia beranjak dari tempat, namun segera aku mencengkeram lengannya dengan erat. Ia terkesiap, ketakutan. “Ini hanya di antara kita, sayang. Kujanjikan kau, kita akan bertemu lagi.” Aku berbisik seduktif. Aku bukan pria penuh omong kosong. Aku berjanji akan menemukannya lagi. Di suatu tempat dimana tempat itu akan menjadi awal hubungan kami. Aku menginginkannya, tetapi aku memiliki banyak masalah yang harus kuselesaikan. Percintaan bukan bagian utama hidupku.
Rambut merahnya lenyap dari balik pohon-pohon rindang, membuatku kecewa karena tak melihatnya lagi. Seulas seringai licik kembali menghias wajahku. Ia akan kudapatkan.
           
***

Sebelum aku diperhadapkan dengan kenyataan, aku mengaguminya. Dan setelah aku diperhadapkan dengan kenyataan—yang ternyata lebih buruk dari yang kukira—aku malah membencinya begitu mendalam. Menikahi putri kerajaan lain membuatku muak! Kerajaan Crumple merupakan kerajaan yang akan melakukan apa pun bagi kerjaaan Cardwell jika aku mau menikahi putri sulung mereka yang wajahnya jauh dari kata cantik. Aku akan menerima adiknya jika aku memilih pilihan lain. Bahkan aku sempat curiga bahwa putri raja itu bukan anak kandung raja Crumple. Margery Durham, putri kerajaan Crumple, tidak memiliki suami atau pun kekasih sekarang. Tidak ada yang menginginkannya. Banyak pria yang dijodohkan dengannya, tetapi semuanya berakhir kematian. Dan aku tentu tidak ingin berakhir seperti pria-pria pecundang seperti mereka.
            Mengapa mereka tidak menolak perjodohannya saja? Aku memang sedang melakukannya. Dan Ayah menolaknya. Tetapi itu tidak membuatku putus asa begitu saja. Aku pria yang memiliki ambisi kuat. Keinginanku harus terkabulkan. Dan Ayahku? Ia hanya memiliki gelar sebagai raja, hanya itu yang menghambatku untuk menghentikan perjodohanku. Lagi pula, aku sudah berjanji pada diriku sendiri kalau aku akan menikahi wanita yang kutemui dua tahun lalu itu. Wanita berambut merah yang masih belum kuketahui namanya. Tidak, aku tidak berusaha mencaritahu tentangnya. Jika ya, aku pasti akan lebih terfokus pada wanita itu dibanding pekerjaanku sebagai pangeran.
            Selama bertahun-tahun aku diajar bagaimana membuat strategi perang, melawan musuh dan tentunya menarik perhatian wanita-wanita dengan daya tarikku. Sungguh, aku tak perlu belajar bagaimana menarik perhatian wanita dengan karisma yang sudah kumiliki sejak aku lahir. Well, Ayah tidak bilang padaku tentang menarik perhatian wanita ‘ganas’ yang akan menjadi lawanku di masa depan. Wanita yang penuh racun dimulutnya.
Hari ini merupakan hari keduaku memerhatikan masyarakat yang membeli persediaan makanan di istana. Sekaligus Ayah ingin mencari selir baru.
            Sejak pagi hingga sore ini, tidak ada yang menarik perhatianku. Terutama karena tadi pagi Ayah memberitahu padaku bahwa dua minggu ke depan aku akan bertemu dengan calon istriku. Margery, sungguh, aku tidak ingin menyakiti perasaanmu karena mulutku yang senang berterus terang. Setelah pertemuan dengan masyarakat Cardwell, aku akan mendesak Ayah lagi akan membatalkan perjodohan bodoh ini.
            Mataku, Ibu dan Ayah tertuju pada 5 orang yang baru saja masuk dalam singgasana kami. Jantungku berpacu cepat saat kulihat salah seorang dari mereka berambut merah. Terima kasih pada panglima yang terus mengajariku bagaimana agar seluruh perasaan yang kurasakan tak tampak di penampilanku. Bibirku menipis saat kulihat yang berambut merah tidak beranjak di tempatnya. Ia menahan adik laki-lakinya sementara tiga perempuan yang lain berjalan mendekati kami. Yang paling tinggi memperkenalkan diri mereka.
            “Aku Priscilla Hughes, Yang Mulia,” ucap gadis itu membungkuk. Priscilla menundukkan kepala lalu kembali mendongak. Ayah tak pernah mengindahkan perkenalan masyarakatnya, kecuali ia memang tertarik. Dan aku juga membencinya akan itu. Ayahku berseru senang, ia bangkit dari tempatnya saat ia melihat anak kecil yang cantik berdiri di depannya.
            Wanita muda yang awalnya mengagumi singgasana kami—atau melamun—kemudian berjalan cepat ke arah kami agar Ayah tak mengambil langkah lebih banyak lagi. Namun terlambat, tangan Ayah sudah menangkup wajah mungil anak perempuan itu. Si rambut merah membungkuk bersama adiknya, namun Ayah tak mengindahkannya. Tanganku mengepal. Si gadis yang lain—yang lebih pendek dari si rambut merah—memberitahu apa saja yang mereka butuhkan. Ayahku berdiri tegap lalu sambil menatap si anak kecil itu, ia memerintah.
“Clement, berikan apa yang mereka minta!” Perintah raja tanpa sekalipun menatap pria yang berdiri tegap di sampingnya. Clement mengangguk lalu bertepuk tangan dua kali dan para prajurit segera menghambur begitu saja. Aku tidak menyukai Clement sampai kapan pun. Ia memang pelayan kesukaan Ayahku, namun aku tak menyukainya. Entah mengapa. “Siapakah nama adik kecilmu yang cantik ini?” Tanya raja menyentuh dagu si anak kecil yang mungil itu.
            “Sarah.” Si rambut merah menjawab. Ia menatap Ayahku dengan tatapan tak suka. Seharusnya aku melindungi Ayah atau apa pun, namun aku setuju dengan tatapan tak sukanya pada Ayahku. Oh, aku akan membantu Ayah jika ia membutuhkanku. Namun suatu saat, sungguh, aku akan membuat Ayah tunduk padaku.
            “Nama yang cantik,” puji Ayahku penuh omong kosong. Si rambut merah lebih cantik dibanding adiknya! Mataku tak lepas dari si rambut merah yang cantik itu. Aku sungguh penasaran siapa nama gadis cantik ini. Ia tampak sudah cukup umur untuk kunikahkan. Ah, ya benar sekali. Dia sudah berumur 16 tahun sekarang, terakhir ia mengaku umurnya masih 14 tahun. Bola mata birunya bertemu dengan mata biruku. Ah, ya Tuhan, betapa Kau sungguh hebat menciptakan gadis sesempurna dirinya. Jika tidak ada seorang pun dapat menjelaskan apa itu sempurna maka kukatakan, gadis ini menjelaskan kesempurnaan. Aku harus bertemu dengannya. Aku harus berbicara dengannya saat ia keluar dari istana.
“Yang Mulia,” ucapku mengambil alih percakapan. “Aku harus bertemu seseorang sekarang.” Mataku beralih pada Ayahku yang sudah duduk di tempatnya lagi. Ayah menoleh, ia memberi senyum padaku. Senyum yang memiliki arti tertentu. Kadang aku bingung, apakah kemiripanku dengan Ayah merupakan anugerah atau kutukan?
            “Miguel,” ucap sang raja menyebut namaku. “Bagaimana jika kau tetap di sini sampai para gadis-gadis dan anak laki-laki ini meninggalkan kita? Tidak sopan pergi dari hadapan rakyat saat mereka membutuhkan kita. Kau penerusku.” Ia menjualku pada gadis-gadis ini. Aku menarik nafas dalam-dalam tetapi tidak membalas ucapannya. Ia hanyalah raja. Ia tidak lebih baik dariku. Empat orang itu memandang Ayahku, tetapi si rambut merah memerhatikanku. Apakah ia mengenaliku? Saat itu aku mengenakan topeng dan aku ragu ia mengenali wajahku.
            Clement kembali bersama prajurit yang lain, memberitahu pada kami bahwa persediaan makanan kami sudah disiapkan di kuda mereka. Gadis yang mengaku sebagai Priscilla itu mengucapkan kata terima kasih namun Ayahku lagi-lagi tak mengindahkannya. Jadi aku mengangguk atas dasar kesopanan. Mataku memerhatikan Sarah, adiknya yang lain—karena ia tidak diperkenalkan—lalu Priscilla. Kemudian adiknya laki-laki dan terakhir si gadis berambut merah itu. Ia terkesiap saat mata kami bertemu membuatku ingin tertawa akan kepolosannya.
            Ah, masih tak berubah. Apakah aku memang menakutkan? Mereka melangkah pergi dari kami. Ayah memanggil Clement lalu berbisik sesuatu di telinganya. Clement mengangguk lalu ia menatapku. Mataku menyipit, tanda aku harus tahu apa yang Ayahku rencanakan. Clement berlari cepat keluar dari singgasana—yang dimana itu membuatku sungguh kesal dan berjanji akan memperhitungkan kehidupannya.
Baru beberapa langkah mereka ambil, Ayahku menahan mereka.
            “Eleanor,” panggil Ayah membuatku sedikit terkejut. Eleanor? Dari mana ia tahu nama si rambut merah itu? Si rambut merah berbalik tubuh lalu berjalan beberapa langkah lebih dekat.
            “Ya, Yang Mulia?”
            “Apakah Ayahmu yang bernama Henry Hughes?” Tanya Ayah membuatku tak terkejut sekarang. Ah, ternyata Hughes adalah Ayah mereka. Dia yang mengajariku bagaimana menembak dengan baik satu tahun yang lalu. “Katakan pada Ayahmu, aku menginginkan Sarah.”
            Bodoh! Raut wajah Eleanor berubah begitu saja. Air wajahnya menunjukkan bahwa ia mulai membenci Ayahku. Ia boleh-boleh saja membenci Ayahku karena aku sendiri tidak keberatan, mungkin karena aku menyukainya. Eleanor maju satu langkah lalu ia membungkuk. Beberapa saat kemudian ia mendongak, matanya kali ini penuh dengan kobaran api amarah. Oh, dia sangat menarik dengan tatapan itu. Kupikir ia gadis pemalu—mungkin memang ia gadis pemalu—yah, mungkin jika ada masalah yang berhubungan dengan keluarganya, ia akan semarah ini.
            “Aku sungguh minta maaf, Yang Tersuci, Yang Mulia. Tetapi adikku, Sarah tidak dapat kau miliki sampai kapan pun. Ibu kami meninggal dan meminta kami menjaganya semampu kami. Untuk itu, aku tidak bisa memenuhi permintaanmu, Yang Mulia Gregory,” ucapnya sebisa mungkin mengontrol amarahnya. Ayah menggeram, namun hanya Ibu dan aku yang dapat mendengarnya—aku yakin begitu. Kemudian Ayah mengangguk-angguk pasrah.
            “Baiklah, kalau begitu kau boleh pergi. Tapi, kumohon nona Eleanor, beritahu pada Ayahmu kalau aku menginginkan putrinya. Bagaimana?”
            “Akan kupastikan ucapanmu sampai di telinga Ayahku, Yang Mulia.” Eleanor membungkuk sopan lalu beranjak dari tempatnya secepat mungkin. Ayah menoleh padaku, ia bangkit dan tersenyum kemenangan. Sontak aku berdiri, waspada akan senyumannya yang bisa berarti apa pun. Kematian Eleanor? Oh, tidak. Itu tidak boleh terjadi! Aku ikut berdiri dari kursi, melangkah menuruni tahta kami. Dapat kurasakan mata Ayah memerhatikan gerak-gerikku—jelas saja, aku melewatinya.
            “Kau hendak kemana, Miguel?” Tanya Ayah membuatku berhenti melangkah.
            “Apa rencanamu?” Tanyaku dengan suara dingin. Ibu yang berada di belakang Ayah menutup mulut dengan kedua telapak tangannya. Apakah aku baru saja berbicara kotor? Ibu memang selalu berlebihan—ia dan Abigail yang sangat kucintai selain keluarga besar Thaddeus.
          “Mereka akan kembali dalam beberapa saat, Miguel. Percaya padaku, aku akan mendapatkan Sarah untukmu.” Ayah berucap yakin dan percaya akan apa yang ia ucapkan. Dan aku selalu percaya apa yang keluar dari bibirnya karena ia memang selalu berbicara jujur pada keluarganya—dan ia tidak akan mengatakan apa pun jika ia merahasiakan sesuatu.
            “Aku lebih memilih si gadis berambut merah dibanding adiknya. Aku tidak ingin menikahi perempuan kecil sepertinya,” ucapku ketus. Memang sikap ini bukan merupakan sikap terbaikku, namun aku terpaksa harus melakukannya demi mendapatkan Eleanor. Aku sudah berjanji pada diriku dan Eleanor sendiri kalau kita akan bertemu lagi. Dan pertemuan itu akan menjadi tempat dimana kita akan memulai hubungan yang lebih mendominasi dengan cinta. Oh, Eleanor, Eleanor, ia nyaris membuatku gila.
            Apa yang ada di pikiran Tuhan saat ia menciptakan Eleanor? Sedikit musim semi sebagai penampilannya, musim kemarau sebagai gairahnya, musim dingin sebagai amarahnya dan musim hujan.. tidak, tidak. Aku tidak berpikir sampai musim hujan, gadis itu tidak tampak cengeng. Tatapannya yang lembut membuatku merasa terbuai akan pemandangan yang sudah lebih dari cukup. Ia terlalu indah untuk dijadikan manusia. Dan sialnya, aku sangat menginginkannya.
            Sudah banyak pelacur cantik yang kutiduri—beberapa di antara mereka kujadikan kekasih sementara. Namun tidak ada yang bisa membuatku lebih merasa hidup saat melihat gadis itu. Eleanor Hughes. Alam memanggilku saat suara lembut Abigail memanggil-manggil namaku. Hanya dia satu-satunya yang memanggilku Justin, tidak seperti yang lainnya, Miguel.
            “Justin,” panggilnya menuruni anak tangga setelah ia selesai dibuai oleh Ayah. “Justin, apa kau akan pergi berpetualang?” Tanyanya seperti anak kecil. Kepolosannya yang murni membuatku tak sanggup melihatnya menangis—namun jika ia membuat tangisan palsu, aku tak akan membujuknya untuk berhenti menangis atau memenuhi permintaannya.
            “Tidak, adikku sayang, Abigail,” ucapku kagum. Tanganku menyentuh pipinya, mengelusnya dengan lembut. “Aku ingin pergi mengurus sesuatu. Kau.. tetaplah di sini. Tetaplah bersama Ibu,” perintahku menipiskan bibir. Perhatian kami jatuh saat pintu singgasana terbuka. 5 orang tadi masuk sambil Eleanor berteriak-teriak membantah akan sesuatu. Oh, apa gerangan yang membuatnya begitu marah? Wajahnya berubah warna, hampir menyamai warna rambutnya.
            Kepalaku menoleh ke belakang, melihat pada Ayah, meminta penjelasan. Ayah hanya membalas tatapanku dengan senyuman. Seharusnya aku duduk kembali ke kursi agar aku bisa menonton hiburan ini. Tangan Abigail memegang lenganku yang berbalut kain hitam dengan erat, wajahnya ketakutan saat ia melihat Eleanor melangkah dengan terpaksa pada Ayahku. Clement berdiri di belakang Eleanor, berjaga-jaga bila wanita muda itu kabur.
            “Aku tidak mencuri apa pun, Yang Mulia!” Seru Eleanor membuatku terkejut akan keberaniannya. Oh, ini yang kusukai.
            “Aku menemukan emas di salah satu kantong kudanya, Yang Mulia saat kudanya diperiksa sebelum keluar dari gerbang istana,” ucap Clement berpura-pura. Aku mulai tahu apa yang Ayah lakukan di sini. Menipu 5 orang polos seperti ini bukan perbuatan yang cukup cerdas untuk menarik salah satu di antara mereka. Mengapa Ayah begitu bersikeras mendapatkan si kecil Sarah?
            “Eleanor, Eleanor,” bisik Ayahku menyebut namanya. Kepalanya tertunduk sambil menggeleng tak percaya. “Apa yang harus kulakukan pada keluargamu jika perbuatan jahat kalian harus dipertanggungjawabkan?”
            “Yang Mulia, aku bisa bersumpah—“
            “Kita tidak boleh bersumpah atas nama Tuhan, Eleanor.” Ayahku memperingatinya. “Biar aku yang selesaikan masalah ini dengan mudah,”
            “Bagaimana mungkin kami harus bertanggungjawab atas apa yang kami tidak lakukan?” Amarah Eleanor meledak. Mata birunya berkilat-kilat, tak sekalipun ia melirik padaku yang berdiri beberapa langkah darinya. Remasan tangan Abigail membuatku menoleh pada adikku yang memiliki rambut cokelat panjangnya—yang dihias begitu cantik. Abigail memberi wajah penuh tanya dan aku hanya menggeleng sebagai jawabannya.
            Abigail satu-satunya adikku yang tidak setuju aku dijodohkan dengan Margery. Karena aku sudah meyakinkan Abigail sejak kecil bahwa ia milikku satu-satunya dan aku miliknya. Aku mencintainya sampai mendarah daging. Dan tidak akan ada yang bisa memisahkan kami. Aku terlalu mencintainya sampai siapa pun yang akan menikahinya akan sangat membenci keluarga kami agar ia memutuskan untuk berpisah dengan Abigail. Aku tahu perceraian tidak pernah dipandang bagus bagi siapa pun di Cardwell, kecuali aku—jika itu berhubungan dengan Abigail. Dan di sinilah ia, meremas tanganku karena takut. Telingaku kembali mendengar argumen Ayah dan Eleanor. Akhirnya wanita muda itu membuang wajah saat ia mendengar ucapan Ayah yang tak kudengar.
            “Eleanor. Sarah dapat bertumbuh menjadi gadis cantik di istana. Ia akan diurus istana seperti perawan-perawan kami yang lain. Bukankah seharusnya kau berterima kasih pada kami karena telah membuat kehidupan adikmu lebih baik?” Tanya Ayahku mendesak. Eleanor tidak menatap siapa pun, matanya terpejam. Keempat adiknya berdiri di belakang. Priscilla menggigit bibir bawahnya karena takut sekaligus gugup menunggu jawaban kakaknya. Jika Tuhan memang berada di pihakku, Eleanor pasti akan menjadi milikku apa pun itu jawabannya. Jika Eleanor menerima Sarah menjadi milik istana, dapat kupastikan kehidupan keluarganya juga akan lebih makmur. Aku bisa lebih sering bertemu Eleanor dengan berbagai alasan. Kemungkinan besar, aku menginginkan ia menjawab ‘Ya’.
            “Tidak.” Ia menjawab dengan tegas. Oh, ya Tuhan. Mengapa Eleanor mempersulit segalanya? Aku menatap tajam Eleanor. Kudengar suara tarikan nafas Ayah—begitu juga Abigail di sampingku. “Aku tidak akan membiarkan adikku tinggal sendirian di istana, tidak bersama keluarganya. Maka, ambillah aku, Yang Mulia, sebagai budakmu. Aku akan mengganti Sarah sekalipun aku harus menjadi tahanan di istana.” Jawaban Eleanor melembut. Ia menyerahkan diri. Dan aku.. tak dapat berkata apa-apa. Ia jelas tidak mempersulit keadaan, tetapi ia mempermudah segalanya. Mempermudah diriku memilikinya.
            Aku menarik diri dari Abigail dan menaiki anak tangga. Kupeluk Ayahku lalu berbisik, “jadikan ia budak di sini. Tidak, bukan budak. Pelayan di sini. Jika perlu, pelayan Abigail karena dugaanku umur mereka sama. Eleanor memiliki rambut merah, tidak seperti yang lainnya. Ia bisa kita jual pada kerajaan lain yang menginginkannya—itu pun jika ia masih perawan. Bukankah itu langkah sempurna?” dan licik untuk keuntunganku, dalam hatiku berbisik. Aku melepaskan pelukan dan berharap Ayah menyetujui permintaanku. Mata Eleanor menatapku takut-takut namun sekaligus berharap. Oh, tidak sayang, kau akan menjadi milikku setelah Ayah menyetujui ucapanku. Hatiku menggebu-gebu tak sabaran. Aku melirik Ayah dari ekor mataku dan mulutnya terbuka.
            “Baiklah, Eleanor. Kami terima tawaranmu. Clement, bawa dia ke ruang pelayan!” Aku bersorak dalam hati.

1 komentar: