CHAPTER ONE – WHEN
GOD MADE YOU
JUSTIN MIGUEL THADDEUS
Mataku
menatap tajam pria muda di hadapanku. Ia memohon-mohon padaku agar siksaan yang
ia terima tak berkelanjutan. Berarti aku munafik jika aku membiarkannya lepas
dari tanganku. Dan sayangnya, aku tidak terbiasa dengan yang namanya munafik.
Darah sudah melumuri wajahnya yang sekarang hancur tetapi setitik kasihan pun tak
datang mengunjungiku. Kasihan tidak pantas kuberikan untuknya. Ia berlutut di
hadapanku sementara dua pengawalku memegang rambut kepalanya agar pria itu
dapat mendongak, melihatku. Bola matanya hampir lenyap karena matanya yang
bengkak. Ia memohon padaku, meminta belas kasihanku. Tetapi jangan panggil aku
Justin Miguel Thaddeus jika aku tidak menghabisinya.
Pedangku
menusuk dadanya hingga menembus punggungnya. Ada rasa puas saat aku
melakukannya. Seluruh amarahku rasanya berkurang sedikit, meski aku masih
menginginkan lebih dari satu orang saja. Aku menarik pedangku yang sekarang
berlumuran darah lalu memasukkannya kembali ke dalam sarung. Ia lalu tergeletak
jatuh ke tanah dengan wajah yang mendarat lebih dulu. Dan aku tak begitu
peduli. Pecundang di hadapanku ini tidak lebih dari seekor hewan hina di hutan
ini. Ia menertawakanku saat aku ingin memberi kecupan bagi Abigail namun
Abigail menolaknya—adikku sedang tidak dalam keadaan bagus. Seharusnya ia tidak
menertawakanku. Oh, tidak, tentu saja. Ia pelayan baru di istana tetapi
kelancangannya melebihi pelacur yang berani mengecupku saat aku bilang
berhenti.
Sambil
menggendongnya, aku berjalan menuju danau. Danau Mayat. Begitu orang-orang
menyebutnya. Untuk yang kesekian kalinya, aku akan melempar mayat di sana. Dua
pendampingku akan mengawasi keadaan sekitar. Dan siapa pun saksi mata akan
dibunuh. Itu merupakan peraturan yang diturunkan Ayah untukku. Aku memakai
topeng, tentu saja. Tidak baik seorang pangeran didapati membunuh seseorang di
hutan seperti ini. Danau Mayat ini begitu bau karena ..mayat-mayat yang
mengambang di sana. Tanah terlalu berharga bagi pecundang seperti yang satu
ini.
Aku
mengayunkan tubuh pecundang ini lalu melemparnya ke danau. Saat itulah
telingaku mendengar suara nafas ketiga selain dua orang di belakangku. Dan
sepasang mata lain sedang memerhatikanku, tetapi aku tak tahu dimana manusia itu berada. Aku menyuruh dua
orang di belakangku untuk pergi lebih dulu. Dan untuk banyak alasan, mereka
mematuhi apa yang kukatakan. Mataku menyapu bersih sekitarku, kecuali danau.
Ilalang-ilalang bodoh di hadapanku sepertinya tak terlalu cerdas mengelabuiku
karena aku dapat melihat sepasang mata sedang memerhatikanku. Sialan. Seorang
gadis berambut merah! Betapa konyolnya dia? Rambut merahnya sangat mencolok
diantara ilalang-ilalang berwarna kuning. Ia sadar aku sedang memandangnya dan
segera ia menundukkan kepalanya.
Segera
aku beranjak dari tempat. Aku berjalan ke arahnya, tetapi tidak melewati
ilalang-ilalang bodoh itu. Sebenarnya, aku bisa saja memotong ilalang-ilalang
itu dengan pedang berlumuran darah, tetapi aku ingin melihat bagaimana
reaksinya mendapatiku sudah tak berada di tempat. Dari belakang, aku melihatnya
mengembus nafas lega. Aku menyeringai licik melihatnya yang begitu polos. Ia bangkit
dari tempat sementara aku berjalan mendekatinya, berdiri di belakangnya.
Tangannya yang mungil membersihkan gaun bagian belakangnya lalu mundur satu
langkah.
Punggungnya
menyentuh dadaku. Oh, ini sangat lucu. Tanganku sudah menyentuh pedangku, ingin
membunuhnya. Tetapi bukan menjadi ciri khasku jika aku tidak mencium bibirnya
terlebih dahulu. Dan jika ia cantik.. aku akan memperhitungkannya. Ia berani
membalikkan tubuhnya dengan mata terpejam. Wajah kami begitu dekat sampai aku
bisa melihat betapa ia takut padaku. Aku terperangah dengan bulu matanya yang
panjang, bibir bawahnya yang memiliki tebal sesuai dengan kepalanya yang
mungil, dan kulitnya terlihat sangat putih. Seputih salju. Sudah jelas ia
sangat takut padaku.
“Kumohon,
jangan bunuh aku,” pintanya masih memejamkan mata. Aku penasaran dengan wanita
berambut merah mencolok ini. Ia cantik tetapi malah memilih Danau Mayat menjadi
tempat.. persembunyiannya? Kusentuh telapak tanganku, mengelus kelembutan
kulitnya. Oh, sangat manis. Rasanya aku ingin menidurinya di sini. Tetapi aku
bukan orang bodoh yang ceroboh. Dan sangat tak senonoh meniduri secantik ini di
antara ilalang-ilalang ini. Ia harus mendapatkan yang lebih baik.
“Buka
matamu, sayang,” perintahku seduktif. Ibu jariku menyentuh sudut bibirnya,
menginginkan bibir itu untuk kukecup. Dan ia melakukan apa yang kuperintahkan.
Dua bola mata biru cerah terpampang jelas di depan mataku. Terlalu indah untuk
menjadi nyata. Perasaanku meledak-ledak saat melihatnya begitu polos di
hadapanku. Tidak, aku tidak akan membunuhnya.
“Mata yang
indah,” pujiku memberi senyum maut. Namun ia masih ketakutan. Ia gemetaran di
bawah sentuhanku. Dan aku bersumpah dalam nama Tuhan, aku akan mendapatkan
gadis ini kelak dan menjadi satu-satunya yang akan kucintai—selain Abigail.
Lalu ia berucap.
“Jangan bunuh
aku, Tuan. Aku tidak akan memberitahu siapa pun tentang ini. Aku berjanji,”
ucapnya penuh janji dan aku yakin ia akan melakukan hal itu. Dapat kupastikan,
ini bukan kali pertama ia bersembunyi di sini. Kukecup pipinya dengan lembut
dan dapat kurasakan ia bergetar di bawah sentuhan tanganku.
“Berapa
umurmu?” Aku bertanya sambil menyentuh bibir bawahnya. Aku menginginkannya
sampai-sampai kurasa ini semua tak nyata.
“14
tahun, Tuan,” katanya membuatku sedikit terkejut atas pernyataannya. 14 tahun
dan belum menikah? Sungguh menakjubkan. Andai saja aku bukan seorang pangeran,
gadis ini sudah kubawa pada Ayahku dan akan kunikahkan dia. Ayah tidak akan
menyukai gadis ini, sekalipun aku menggertak padanya.
“Kau terlalu
cantik untuk kubunuh, Nona. Kau boleh pergi.” Aku memerintahkannya. Ia beranjak
dari tempat, namun segera aku mencengkeram lengannya dengan erat. Ia terkesiap,
ketakutan. “Ini hanya di antara kita, sayang. Kujanjikan kau, kita akan bertemu
lagi.” Aku berbisik seduktif. Aku bukan pria penuh omong kosong. Aku berjanji
akan menemukannya lagi. Di suatu tempat dimana tempat itu akan menjadi awal
hubungan kami. Aku menginginkannya, tetapi aku memiliki banyak masalah yang
harus kuselesaikan. Percintaan bukan bagian utama hidupku.
Rambut
merahnya lenyap dari balik pohon-pohon rindang, membuatku kecewa karena tak
melihatnya lagi. Seulas seringai licik kembali menghias wajahku. Ia akan
kudapatkan.
***
Sebelum aku
diperhadapkan dengan kenyataan, aku mengaguminya. Dan setelah aku diperhadapkan
dengan kenyataan—yang ternyata lebih buruk dari yang kukira—aku malah
membencinya begitu mendalam. Menikahi putri kerajaan lain membuatku muak!
Kerajaan Crumple merupakan kerajaan yang akan melakukan apa pun bagi kerjaaan
Cardwell jika aku mau menikahi putri sulung mereka yang wajahnya jauh dari kata
cantik. Aku akan menerima adiknya jika aku memilih pilihan lain. Bahkan aku
sempat curiga bahwa putri raja itu bukan anak kandung raja Crumple. Margery
Durham, putri kerajaan Crumple, tidak memiliki suami atau pun kekasih sekarang.
Tidak ada yang menginginkannya. Banyak pria yang dijodohkan dengannya, tetapi
semuanya berakhir kematian. Dan aku tentu tidak ingin berakhir seperti
pria-pria pecundang seperti mereka.
Mengapa
mereka tidak menolak perjodohannya saja? Aku memang sedang melakukannya. Dan
Ayah menolaknya. Tetapi itu tidak membuatku putus asa begitu saja. Aku pria
yang memiliki ambisi kuat. Keinginanku harus terkabulkan. Dan Ayahku? Ia hanya
memiliki gelar sebagai raja, hanya itu yang menghambatku untuk menghentikan
perjodohanku. Lagi pula, aku sudah berjanji pada diriku sendiri kalau aku akan
menikahi wanita yang kutemui dua tahun lalu itu. Wanita berambut merah yang
masih belum kuketahui namanya. Tidak, aku tidak berusaha mencaritahu
tentangnya. Jika ya, aku pasti akan lebih terfokus pada wanita itu dibanding
pekerjaanku sebagai pangeran.
Selama
bertahun-tahun aku diajar bagaimana membuat strategi perang, melawan musuh dan
tentunya menarik perhatian wanita-wanita dengan daya tarikku. Sungguh, aku tak
perlu belajar bagaimana menarik perhatian wanita dengan karisma yang sudah
kumiliki sejak aku lahir. Well, Ayah tidak bilang padaku tentang menarik
perhatian wanita ‘ganas’ yang akan menjadi lawanku di masa depan. Wanita yang
penuh racun dimulutnya.
Hari ini
merupakan hari keduaku memerhatikan masyarakat yang membeli persediaan makanan
di istana. Sekaligus Ayah ingin mencari selir baru.
Sejak
pagi hingga sore ini, tidak ada yang menarik perhatianku. Terutama karena tadi
pagi Ayah memberitahu padaku bahwa dua minggu ke depan aku akan bertemu dengan
calon istriku. Margery, sungguh, aku tidak ingin menyakiti perasaanmu karena
mulutku yang senang berterus terang. Setelah pertemuan dengan masyarakat
Cardwell, aku akan mendesak Ayah lagi akan membatalkan perjodohan bodoh ini.
Mataku,
Ibu dan Ayah tertuju pada 5 orang yang baru saja masuk dalam singgasana kami.
Jantungku berpacu cepat saat kulihat salah seorang dari mereka berambut merah.
Terima kasih pada panglima yang terus mengajariku bagaimana agar seluruh
perasaan yang kurasakan tak tampak di penampilanku. Bibirku menipis saat
kulihat yang berambut merah tidak beranjak di tempatnya. Ia menahan adik
laki-lakinya sementara tiga perempuan yang lain berjalan mendekati kami. Yang
paling tinggi memperkenalkan diri mereka.
“Aku
Priscilla Hughes, Yang Mulia,” ucap gadis itu membungkuk. Priscilla menundukkan
kepala lalu kembali mendongak. Ayah tak pernah mengindahkan perkenalan
masyarakatnya, kecuali ia memang tertarik. Dan aku juga membencinya akan itu. Ayahku
berseru senang, ia bangkit dari tempatnya saat ia melihat anak kecil yang
cantik berdiri di depannya.
Wanita
muda yang awalnya mengagumi singgasana kami—atau melamun—kemudian berjalan
cepat ke arah kami agar Ayah tak mengambil langkah lebih banyak lagi. Namun
terlambat, tangan Ayah sudah menangkup wajah mungil anak perempuan itu. Si
rambut merah membungkuk bersama adiknya, namun Ayah tak mengindahkannya.
Tanganku mengepal. Si gadis yang lain—yang lebih pendek dari si rambut
merah—memberitahu apa saja yang mereka butuhkan. Ayahku berdiri tegap lalu
sambil menatap si anak kecil itu, ia memerintah.
“Clement,
berikan apa yang mereka minta!” Perintah raja tanpa sekalipun menatap pria yang
berdiri tegap di sampingnya. Clement mengangguk lalu bertepuk tangan dua kali
dan para prajurit segera menghambur begitu saja. Aku tidak menyukai Clement
sampai kapan pun. Ia memang pelayan kesukaan Ayahku, namun aku tak menyukainya.
Entah mengapa. “Siapakah nama adik kecilmu yang cantik ini?” Tanya raja menyentuh
dagu si anak kecil yang mungil itu.
“Sarah.”
Si rambut merah menjawab. Ia menatap Ayahku dengan tatapan tak suka. Seharusnya
aku melindungi Ayah atau apa pun, namun aku setuju dengan tatapan tak sukanya
pada Ayahku. Oh, aku akan membantu Ayah jika ia membutuhkanku. Namun suatu
saat, sungguh, aku akan membuat Ayah tunduk padaku.
“Nama
yang cantik,” puji Ayahku penuh omong kosong. Si rambut merah lebih cantik
dibanding adiknya! Mataku tak lepas dari si rambut merah yang cantik itu. Aku
sungguh penasaran siapa nama gadis cantik ini. Ia tampak sudah cukup umur untuk
kunikahkan. Ah, ya benar sekali. Dia sudah berumur 16 tahun sekarang, terakhir
ia mengaku umurnya masih 14 tahun. Bola mata birunya bertemu dengan mata
biruku. Ah, ya Tuhan, betapa Kau sungguh hebat menciptakan gadis sesempurna
dirinya. Jika tidak ada seorang pun dapat menjelaskan apa itu sempurna maka
kukatakan, gadis ini menjelaskan kesempurnaan. Aku harus bertemu dengannya. Aku
harus berbicara dengannya saat ia keluar dari istana.
“Yang Mulia,”
ucapku mengambil alih percakapan. “Aku harus bertemu seseorang sekarang.”
Mataku beralih pada Ayahku yang sudah duduk di tempatnya lagi. Ayah menoleh, ia
memberi senyum padaku. Senyum yang memiliki arti tertentu. Kadang aku bingung,
apakah kemiripanku dengan Ayah merupakan anugerah atau kutukan?
“Miguel,”
ucap sang raja menyebut namaku. “Bagaimana jika kau tetap di sini sampai para
gadis-gadis dan anak laki-laki ini meninggalkan kita? Tidak sopan pergi dari
hadapan rakyat saat mereka membutuhkan kita. Kau penerusku.” Ia menjualku pada
gadis-gadis ini. Aku menarik nafas dalam-dalam tetapi tidak membalas ucapannya.
Ia hanyalah raja. Ia tidak lebih baik dariku. Empat orang itu memandang Ayahku,
tetapi si rambut merah memerhatikanku. Apakah ia mengenaliku? Saat itu aku
mengenakan topeng dan aku ragu ia mengenali wajahku.
Clement
kembali bersama prajurit yang lain, memberitahu pada kami bahwa persediaan
makanan kami sudah disiapkan di kuda mereka. Gadis yang mengaku sebagai
Priscilla itu mengucapkan kata terima kasih namun Ayahku lagi-lagi tak
mengindahkannya. Jadi aku mengangguk atas dasar kesopanan. Mataku memerhatikan
Sarah, adiknya yang lain—karena ia tidak diperkenalkan—lalu Priscilla. Kemudian
adiknya laki-laki dan terakhir si gadis berambut merah itu. Ia terkesiap saat
mata kami bertemu membuatku ingin tertawa akan kepolosannya.
Ah,
masih tak berubah. Apakah aku memang menakutkan? Mereka melangkah pergi dari
kami. Ayah memanggil Clement lalu berbisik sesuatu di telinganya. Clement
mengangguk lalu ia menatapku. Mataku menyipit, tanda aku harus tahu apa yang
Ayahku rencanakan. Clement berlari cepat keluar dari singgasana—yang dimana itu
membuatku sungguh kesal dan berjanji akan memperhitungkan kehidupannya.
Baru beberapa
langkah mereka ambil, Ayahku menahan mereka.
“Eleanor,”
panggil Ayah membuatku sedikit terkejut. Eleanor? Dari mana ia tahu nama si
rambut merah itu? Si rambut merah berbalik tubuh lalu berjalan beberapa langkah
lebih dekat.
“Ya,
Yang Mulia?”
“Apakah
Ayahmu yang bernama Henry Hughes?” Tanya Ayah membuatku tak terkejut sekarang.
Ah, ternyata Hughes adalah Ayah mereka. Dia yang mengajariku bagaimana menembak
dengan baik satu tahun yang lalu. “Katakan pada Ayahmu, aku menginginkan
Sarah.”
Bodoh!
Raut wajah Eleanor berubah begitu saja. Air wajahnya menunjukkan bahwa ia mulai
membenci Ayahku. Ia boleh-boleh saja membenci Ayahku karena aku sendiri tidak
keberatan, mungkin karena aku menyukainya. Eleanor maju satu langkah lalu ia
membungkuk. Beberapa saat kemudian ia mendongak, matanya kali ini penuh dengan
kobaran api amarah. Oh, dia sangat menarik dengan tatapan itu. Kupikir ia gadis
pemalu—mungkin memang ia gadis pemalu—yah, mungkin jika ada masalah yang
berhubungan dengan keluarganya, ia akan semarah ini.
“Aku
sungguh minta maaf, Yang Tersuci, Yang Mulia. Tetapi adikku, Sarah tidak dapat
kau miliki sampai kapan pun. Ibu kami meninggal dan meminta kami menjaganya
semampu kami. Untuk itu, aku tidak bisa memenuhi permintaanmu, Yang Mulia
Gregory,” ucapnya sebisa mungkin mengontrol amarahnya. Ayah menggeram, namun
hanya Ibu dan aku yang dapat mendengarnya—aku yakin begitu. Kemudian Ayah
mengangguk-angguk pasrah.
“Baiklah,
kalau begitu kau boleh pergi. Tapi, kumohon nona Eleanor, beritahu pada Ayahmu
kalau aku menginginkan putrinya. Bagaimana?”
“Akan
kupastikan ucapanmu sampai di telinga Ayahku, Yang Mulia.” Eleanor membungkuk
sopan lalu beranjak dari tempatnya secepat mungkin. Ayah menoleh padaku, ia
bangkit dan tersenyum kemenangan. Sontak aku berdiri, waspada akan senyumannya
yang bisa berarti apa pun. Kematian Eleanor? Oh, tidak. Itu tidak boleh terjadi!
Aku ikut berdiri dari kursi, melangkah menuruni tahta kami. Dapat kurasakan
mata Ayah memerhatikan gerak-gerikku—jelas saja, aku melewatinya.
“Kau
hendak kemana, Miguel?” Tanya Ayah membuatku berhenti melangkah.
“Apa
rencanamu?” Tanyaku dengan suara dingin. Ibu yang berada di belakang Ayah
menutup mulut dengan kedua telapak tangannya. Apakah aku baru saja berbicara
kotor? Ibu memang selalu berlebihan—ia dan Abigail yang sangat kucintai selain
keluarga besar Thaddeus.
“Mereka
akan kembali dalam beberapa saat, Miguel. Percaya padaku, aku akan mendapatkan
Sarah untukmu.” Ayah berucap yakin dan percaya akan apa yang ia ucapkan. Dan
aku selalu percaya apa yang keluar dari bibirnya karena ia memang selalu
berbicara jujur pada keluarganya—dan ia tidak akan mengatakan apa pun jika ia
merahasiakan sesuatu.
“Aku
lebih memilih si gadis berambut merah dibanding adiknya. Aku tidak ingin
menikahi perempuan kecil sepertinya,” ucapku ketus. Memang sikap ini bukan
merupakan sikap terbaikku, namun aku terpaksa harus melakukannya demi
mendapatkan Eleanor. Aku sudah berjanji pada diriku dan Eleanor sendiri kalau
kita akan bertemu lagi. Dan pertemuan itu akan menjadi tempat dimana kita akan
memulai hubungan yang lebih mendominasi dengan cinta. Oh, Eleanor, Eleanor, ia
nyaris membuatku gila.
Apa
yang ada di pikiran Tuhan saat ia menciptakan Eleanor? Sedikit musim semi
sebagai penampilannya, musim kemarau sebagai gairahnya, musim dingin sebagai
amarahnya dan musim hujan.. tidak, tidak. Aku tidak berpikir sampai musim
hujan, gadis itu tidak tampak cengeng. Tatapannya yang lembut membuatku merasa
terbuai akan pemandangan yang sudah lebih dari cukup. Ia terlalu indah untuk
dijadikan manusia. Dan sialnya, aku sangat menginginkannya.
Sudah
banyak pelacur cantik yang kutiduri—beberapa di antara mereka kujadikan kekasih
sementara. Namun tidak ada yang bisa membuatku lebih merasa hidup saat melihat
gadis itu. Eleanor Hughes. Alam memanggilku saat suara lembut Abigail memanggil-manggil
namaku. Hanya dia satu-satunya yang memanggilku Justin, tidak seperti yang
lainnya, Miguel.
“Justin,”
panggilnya menuruni anak tangga setelah ia selesai dibuai oleh Ayah. “Justin,
apa kau akan pergi berpetualang?” Tanyanya seperti anak kecil. Kepolosannya
yang murni membuatku tak sanggup melihatnya menangis—namun jika ia membuat
tangisan palsu, aku tak akan membujuknya untuk berhenti menangis atau memenuhi
permintaannya.
“Tidak,
adikku sayang, Abigail,” ucapku kagum. Tanganku menyentuh pipinya, mengelusnya
dengan lembut. “Aku ingin pergi mengurus sesuatu. Kau.. tetaplah di sini.
Tetaplah bersama Ibu,” perintahku menipiskan bibir. Perhatian kami jatuh saat
pintu singgasana terbuka. 5 orang tadi masuk sambil Eleanor berteriak-teriak
membantah akan sesuatu. Oh, apa gerangan yang membuatnya begitu marah? Wajahnya
berubah warna, hampir menyamai warna rambutnya.
Kepalaku
menoleh ke belakang, melihat pada Ayah, meminta penjelasan. Ayah hanya membalas
tatapanku dengan senyuman. Seharusnya aku duduk kembali ke kursi agar aku bisa
menonton hiburan ini. Tangan Abigail memegang lenganku yang berbalut kain hitam
dengan erat, wajahnya ketakutan saat ia melihat Eleanor melangkah dengan
terpaksa pada Ayahku. Clement berdiri di belakang Eleanor, berjaga-jaga bila
wanita muda itu kabur.
“Aku
tidak mencuri apa pun, Yang Mulia!” Seru Eleanor membuatku terkejut akan
keberaniannya. Oh, ini yang kusukai.
“Aku
menemukan emas di salah satu kantong kudanya, Yang Mulia saat kudanya diperiksa
sebelum keluar dari gerbang istana,” ucap Clement berpura-pura. Aku mulai tahu
apa yang Ayah lakukan di sini. Menipu 5 orang polos seperti ini bukan perbuatan
yang cukup cerdas untuk menarik salah satu di antara mereka. Mengapa Ayah
begitu bersikeras mendapatkan si kecil Sarah?
“Eleanor,
Eleanor,” bisik Ayahku menyebut namanya. Kepalanya tertunduk sambil menggeleng
tak percaya. “Apa yang harus kulakukan pada keluargamu jika perbuatan jahat
kalian harus dipertanggungjawabkan?”
“Yang
Mulia, aku bisa bersumpah—“
“Kita
tidak boleh bersumpah atas nama Tuhan, Eleanor.” Ayahku memperingatinya. “Biar
aku yang selesaikan masalah ini dengan mudah,”
“Bagaimana
mungkin kami harus bertanggungjawab atas apa yang kami tidak lakukan?” Amarah
Eleanor meledak. Mata birunya berkilat-kilat, tak sekalipun ia melirik padaku
yang berdiri beberapa langkah darinya. Remasan tangan Abigail membuatku menoleh
pada adikku yang memiliki rambut cokelat panjangnya—yang dihias begitu cantik.
Abigail memberi wajah penuh tanya dan aku hanya menggeleng sebagai jawabannya.
Abigail
satu-satunya adikku yang tidak setuju aku dijodohkan dengan Margery. Karena aku
sudah meyakinkan Abigail sejak kecil bahwa ia milikku satu-satunya dan aku
miliknya. Aku mencintainya sampai mendarah daging. Dan tidak akan ada yang bisa
memisahkan kami. Aku terlalu mencintainya sampai siapa pun yang akan
menikahinya akan sangat membenci keluarga kami agar ia memutuskan untuk
berpisah dengan Abigail. Aku tahu perceraian tidak pernah dipandang bagus bagi
siapa pun di Cardwell, kecuali aku—jika itu berhubungan dengan Abigail. Dan di
sinilah ia, meremas tanganku karena takut. Telingaku kembali mendengar argumen
Ayah dan Eleanor. Akhirnya wanita muda itu membuang wajah saat ia mendengar
ucapan Ayah yang tak kudengar.
“Eleanor.
Sarah dapat bertumbuh menjadi gadis cantik di istana. Ia akan diurus istana
seperti perawan-perawan kami yang lain. Bukankah seharusnya kau berterima kasih
pada kami karena telah membuat kehidupan adikmu lebih baik?” Tanya Ayahku
mendesak. Eleanor tidak menatap siapa pun, matanya terpejam. Keempat adiknya
berdiri di belakang. Priscilla menggigit bibir bawahnya karena takut sekaligus
gugup menunggu jawaban kakaknya. Jika Tuhan memang berada di pihakku, Eleanor
pasti akan menjadi milikku apa pun itu jawabannya. Jika Eleanor menerima Sarah
menjadi milik istana, dapat kupastikan kehidupan keluarganya juga akan lebih
makmur. Aku bisa lebih sering bertemu Eleanor dengan berbagai alasan.
Kemungkinan besar, aku menginginkan ia menjawab ‘Ya’.
“Tidak.”
Ia menjawab dengan tegas. Oh, ya Tuhan. Mengapa Eleanor mempersulit segalanya?
Aku menatap tajam Eleanor. Kudengar suara tarikan nafas Ayah—begitu juga
Abigail di sampingku. “Aku tidak akan membiarkan adikku tinggal sendirian di
istana, tidak bersama keluarganya. Maka, ambillah aku, Yang Mulia, sebagai
budakmu. Aku akan mengganti Sarah sekalipun aku harus menjadi tahanan di
istana.” Jawaban Eleanor melembut. Ia menyerahkan diri. Dan aku.. tak dapat
berkata apa-apa. Ia jelas tidak mempersulit keadaan, tetapi ia mempermudah
segalanya. Mempermudah diriku memilikinya.
Aku
menarik diri dari Abigail dan menaiki anak tangga. Kupeluk Ayahku lalu
berbisik, “jadikan ia budak di sini. Tidak, bukan budak. Pelayan di sini. Jika
perlu, pelayan Abigail karena dugaanku umur mereka sama. Eleanor memiliki
rambut merah, tidak seperti yang lainnya. Ia bisa kita jual pada kerajaan lain
yang menginginkannya—itu pun jika ia masih perawan. Bukankah itu langkah
sempurna?” dan licik untuk keuntunganku,
dalam hatiku berbisik. Aku melepaskan pelukan dan berharap Ayah menyetujui
permintaanku. Mata Eleanor menatapku takut-takut namun sekaligus berharap. Oh,
tidak sayang, kau akan menjadi milikku setelah Ayah menyetujui ucapanku. Hatiku
menggebu-gebu tak sabaran. Aku melirik Ayah dari ekor mataku dan mulutnya terbuka.
“Baiklah,
Eleanor. Kami terima tawaranmu. Clement, bawa dia ke ruang pelayan!” Aku
bersorak dalam hati.
Kak, bneran ini ditunggu lanjutannyaaa......
BalasHapus