CHAPTER NINE –
POISON
ELEANOR HUGHES
Dapat kurasakan kedatangannya begitu ia keluar dari pintu belakang
istana. Katakanlah sekarang, aku memang munafik. Di satu sisi aku sangat
menginginkannya dan menciumnya, di satu sisi lagi aku ingin ia menjauh dariku
karena bencana yang ia buat didasari oleh sikapnya yang posesif terhadapku. Ia
muncul dengan baju berwarna putih namun tali kancingnya sengaja terbuka di
bagian leher ke bawah sehingga dadanya terlihat keras di balik bajunya. Ia
memakai celana hitam dengan sepatu bot. Dari penampilannya dari atas sampai
bawah, hanya sepasang mata biru yang indahnya melebihi warna langit yang dapat
menghipnotis.
Sebelum jariku tertusuk jarum yang kupegang, segera aku merapikan barang-barang
baawaanku ke dalam wadah yang terbuat dari rotan—pemberian Jemima. Aku bangkit
dari bawah pohon rindang ini lalu berjalan ke arahnya, tetapi berniat untuk
masuk kembali ke dalam istana. Tentu saja ia tidak akan membiarkanku pergi
begitu saja. Ia menghalangiku dengan tubuh tingginya hingga kepalaku mendongak.
Ia tampak sangat kacau. Janggut dan kumisnya tak tercukur dan kantong matanya membuatku
ingin menyuruhnya lebih sering beristirahat.
Tidak mengatakan apa-apa, aku menyingkir darinya. Namun tangannya yang besar
mencengkeram lenganku hingga wadah yang kubawah terjatuh ke atas rumput. Mata
birunya menatapku tajam dan rahangnya menegang. Merasakan cengkeraman tangannya
di lenganku seolah akan mematahkan tanganku, aku mengerang kesakitan. Matanya
melebar dan tatapannya berubah menjadi khawatir. Cengkeraman itu tergantikan
oleh sebuah pelukan sekitar pinggangku sehingga tubuh kami saling bersentuhan.
Kepalaku mendongak sehingga aku dapat melihat wajahnya yang sangat
tampan—bahkan dengan janggut dan kumis itu.
“Kesabaranku sudah habis Eleanor,” katanya tegas. “Aku akan mengakhiri
permainan ini hanya dengan satu langkah lagi. Setelah itu, tidak akan ada yang
bisa membatasi hubungan kita,” lanjutnya membuatku ingin tertawa. Aku
mengerucutkan bibirku ke samping lalu melirik ke atas kanan.
“Biar kutebak. Kau akan membunuh seseorang lagi, bukan? Wah, pangeran Miguel!
Sudah berapa kali kau datang ke gereja untuk pengakuan dosamu pada pastur?” Ia
mendengus kesal mendengar pertanyaanku yang menyindir. Sepertinya aku melewati
batas wilayahnya.
“Aku tidak membutuhkan pastur untuk mengakui dosaku,” katanya tegas. Aku
terengah. Ia lebih terihat seperti iblis bila marah seperti ini. Aku…
sebenarnya takut sekarang. Mataku terpejam agar aku dapat membayangkan wajah
tampannya yang lembut saat ia mengatakan kata-kata yang manis lalu keningku
berkerut. Tidak bisa. Yang terlintas di otakku adalah pernikahan
pangeran Miguel dan kematian istrinya. Dia kematian istrinya didatangkan dari
suaminya sendiri. Kedua alisku bertaut khawatir dan mulutku mengeluarkan
desahan putus asa.
“Kau adalah pria yang baru saja kehilangan istri,” bisikku.
“Yang tidak sama sekali kucintai,” tambahnya. Mataku terbuka. “Sekarang,
biarkan aku meluruskan hal ini, Eleanor. Kau… tidak akan pernah membenciku
karena kau menginginkanku. Kau juga tidak akan peduli siapa pun yang mati
sekarang karena yang kaupedulikan hanyalah keinginanmu mendapatkanku. Dan kau—“
“—Itu tidak benar!”
“—selalu menyangkalnya. Mengapa? Biarkan aku mewujudkan keinginanmu, Eleanor.
Apakah kau tidak lelah bermain di arena permainan ini? Di bawah pohon rindang
bodoh ini? Aku lelah dan aku ingin semua ini berakhir. Setelahnya, biarkan aku
yang mengurusmu dan segalanya. Kau tahu mengapa? Karena kau milikku.” Kalimat
yang ia keluarkan begitu percaya diri dan tidak ragu-ragu. Dan aku ia memang
benar. Aku selalu menyangkal… keinginanku. Tidak, bukan keinginanku. Pangeran
Miguel kebutuhanku. Aku tidak dapat tidak melihat. Mungkin aku bisa
bertahan tidak berbicara dengannya, tetapi tidak melihatnya? Aku mungkin aku
beringas seperti babi kerasukan.
Tetapi jika aku tidak menjual mahal padanya lagi—setelah ia menikah, aku mulai
menjual mahal padanya. Hanya saja, aku merasa bersalah pada Margery yang selalu
baik padaku. “Aku bukan milikmu lagi setelah apa yang kaulakukan pada Margery!”
“Kau ingin bertaruh?” Mulutku menganga mendengar tawarannya. Bertaruh? Siapa
takut! Aku tidak mungkin kalah bertaruh, bahkan dengan seorang seperti pangeran
Miguel. Wajah tertunduk sehingga jarak wajah kami dapat dikatakan akan
berciuman. “Aku akan menciummu dalam dan penuh perasaan. Jika kau membalasnya,
kau tidak boleh menyangkal apa pun yang kukatakan—karena aku selalu benar dan
jujur. Mengerti?”
Mulutku semakin menganga dan mataku melotot tak percaya. “Itu tidak adil!” Aku
tentu saja tidak bisa mengalahkannya! Ia adalah pencium ulung dan aku terlalu
lemah untuk menolak ciumannya yang manis.
“Berarti kau pengecut, bukankah kau, Eleanor?” Aku menelan ludah. Ia baru saja
menghinaku dengan kata pengecut. Dan aku bukanlah pengecut. Aku menarik
tangannya dari pinggangku namun ia malah menahannya dengan kuat sehingga aku
tak dapat lepas dari pelukannya. Sesungguhnya, sekarang ia dapat menciumku
sambil meremas buah dadaku sesuka hatinya—mengingat kekuatannya hampir sama seperti
kekuatan beruang.
“Coba saja,” tantangku angkuh. Pangeran Miguel tertawa kecil namun sekarang
hanya satu tangannya saja yang melingkar di sekitar pinggangku. Tangannya yang
lain menyingkirkan rambut merahku yang tergerai dari bahuku sehingga menjadi
satu ikatan di jarinya. Kepalanya tertunduk lalu mengecup bibirku. Aku menahan
diri agar tak membalas kecupannya. Justru sekarang ia menggodaku. Bibirku
dihujani oleh ciuman singkat sesekali jilatan di sekitar bibir.
Ia menggigit bibir bawahku sehingga bibir bawahku tertarik namun segera aku
membuang wajahku dari ciumannya. Melihat perlawanan lemahku, tangannya yang
awalnya berada di pinggangku sekarang sudah berada di bokongku lalu ia
mengangkat bokongku sehingga satu pahaku terangkat. Tangannya mulai memasuki
rok hitamku sehingga kulit pahaku bersentuhan dengan kulit telapak tangannya
yang kasar.
“Taruhan ini hanyalah ciuman, bukan rabaan erotis,” desahku memejamkan mata.
Ternyata pangeran Miguel tidak menyia-nyiakan kesempatan begitu mulutku sedang
terbuka, ia menyergap mulutku begitu keras. Lidahnya bermain di mulutku begitu
liar hingga aku sendiri yang berusaha tidak membalas ciumannya tak dapat
menahan lagi. Bentengku runtuh begitu. Kubalas ciumannya dan merasakan mulutnya
yang terasa seperti anggur. Tangannya yang ada di leherku kemudian menjambak
rambutku dengan lembut hingga aku tak dapat menahan jeritan kenikmatan ini.
Tanganku bergelanyut di lehernya sementara aku terus mengisap bibir bawahnya
yang terasa sangat manis. Aku bisa pingsan hanya karena ciuman yang memabukkan
ini. Ia tidak terburu-buru kali ini. Ia memperlakukanku begitu lembut
sampai-sampai aku nyaris gila.
Ketika sedang menikmati bibir manisnya, tiba-tiba pangeran Miguel menarik
bibirnya dari bibir. Oh, sekarang aku seperti pelacur yang membutuhkan ciuman
panas. Sebuah senyuman nakal sekaligus mengejek itu membuat pipiku terasa
panas. Bahkan panasnya menyebar ke leher dan ke buah dadaku.
“Kau tidak menginginkanku, bukan?” Aku menggeleng.
“Aku tidak menginginkanmu, pangeran Miguel,” bisikku menatapnya dalam-dalam.
“Aku membutuhkanmu.” Sederetan gigi putihnya muncul begitu kedua sudut
bibirnya terangkat. Ia tidak tampan, ia rupawan. Kemudian ia mencium bibirku
singkat.
“Karena kau sudah mengakui kebenaran yang selama ini kau sangkal, aku akan
memberikan apa pun yang kau mau—kecuali pergi dariku. Mengerti?” Aku
mengangguk. Inilah saat yang tepat. Selama ini aku terlalu takut untuk
mengatakan padanya, tetapi kurasa suasana hatinya sedang baik.
“Aku merindukan rumahku, pangeran Miguel,” bisikku saat kedua mata birunya
memerhatikanku lekat-lekat. “Aku rindu keluargaku. Aku rindu kuda putihku. Aku
ingin melihat keadaan Ayahku,”
“Dia baik-baik saja. Prajurit yang membawa makanan ke rumahmu tidak hanya
datang dan pergi. Mereka mengurusi pengobatan Ayahmu agar ia cepat sembuh. Ayah
tidak tahu tentang itu karena aku sendiri yang membiayainya. Aku melakukan itu
karena Ayahmu yang mengajarku bagaimana cara menembak yang baik dan kedua ia
adalah calon mertuaku,” ucap pangeran Miguel. Mendengar pengakuannya, aku akan
memberikannya ciuman terbaikku atau bahkan, jika ia ingin bercinta denganku di
sini, aku akan melakukannya.
“Boleh aku menciummu lagi, pangeran Miguel?”
“Aku tidak pernah mengatakan tidak padamu, Eleanor,” bisiknya memelukku. Aku
menjijit sementara tangannya menahan punggungku. Kucium bibirnya dengan lembut
dan bunyi kecipak dari ciuman kami membuat seluruh tubuhku bergetar akibat
gairah yang menggebu-gebu. Sebelum aku gila dibuatnya, aku segera menarik
wajahku darinya. Oh, sialan! Mengapa ia harus menjadi seorang pangeran dan aku
harus menjadi seorang pelayan? Hubungan ini tidak akan pernah berhasil! Jika
aku tidak menjauh darinya seperti kemarin-kemarin, aku akan semakin
mencintainya dan melukai diriku sendiri karena telah mengorbankan perasaanku
yang akan dibuang sia-sia.
“Cukup,” bisikku. “Pangeran Miguel, aku rasa seharusnya kita berhenti,”
lanjutku menelan ludah. Matanya melebar dan dua garis melintang di keningnya,
ia jelas kebingungan. “Aku mungkin memang membutuhkanmu tetapi hubungan ini
tidak akan pernah berhasil. Tidak di mata Ayahmu, Ibumu atau putri Abigail atau
bahkan masyarakat Cardwell.”
“Persetan dengan mereka, Eleanor! Aku membutuhkanmu sebagai pasangan, partner,
istriku, sahabatku seumur hidup. Mengapa kau harus memikirkan orang lain?
Apakah aku harus menjatuhkan harga diriku terlebih dahulu untuk mendapatkanmu?”
“Kau sudah menjatuhkan harga dirimu saat kau menyatakan cinta padaku, pangeran
Miguel,” bisikku menunduk, tak sanggup melihat wajahnya yang kecewa atas
ucapanku.
“Kau boleh menyerah, tetapi aku tidak. Kau lihat saja dalam waktu dekat ini,
kau akan mendapati dirimu sebagai ratu Cardwell. Dan tidak akan ada yang berani
mengejekmu,” tukasnya marah. Bibirku menipis, berniat untuk tidak mengatakan
apa pun.
Kurasa aku tak dapat menahan diri. “Maafkan aku bersikap tak jelas seperti ini.
Tetapi tiap kali kita menjalin kebersamaan seperti ini, yang terlintas di
otakku adalah; hubungan ini tidak akan berjalan dengan baik.”
“Siapa yang membuatmu merasa seperti ini, Eleanor? Tidak peduli siapa pun itu,
kau harus memberitahunya padaku,” katanya memaksa. Kedua tangannya sudah
memegang bahuku lalu aku mendongak.
“Alam bawah sadarku dan Abigail. Sebenarnya kejadiannya sudah lama, tetapi itu
sudah tidak penting lagi. Jangan marahi dia karena ia sudah—“
“Apa yang ia katakan padamu?” Tanya pangeran Miguel. Mata birunya sepertinya
terbakar oleh amarah dan wajahnya semerah rambutku. Oh, tidak dengan amarah
gila seperti ini. Aku sangat takut bila melihatnya marah. Seolah-olah ia akan
membunuhku dengan tangan kosong—meski aku sangat ragu ia akan membunuhku.
“Ia pikir, kau sudah gila karena telah meniduri seorang pelayan dan kepalaku
akan dipenggal bila hubungan kita ketahuan oleh istana,” kataku melipat bibir
ke dalam. Tidak, jangan katakan apa pun lagi, Eleanor! “Bolehkah aku
masuk ke dalam istana, pangeran Miguel?”
“Tidak!” Sergahnya menahan tanganku yang ingin menyingkirkan tangannya dari
bahuku. Begitu ia melihat wajahku—dan aku tidak tahu apa yang tiba-tiba
merasukinya, wajahnya melembut. Ia melepas tanganku dalam cengkeramannya lalu
ia mendesah. “Masuklah. Jangan pikirkan apa pun yang dikatakan orang lain,
mengerti? Aku berjanji akan melamarmu.”
“Tidak, kau tidak perlu melamarku,” kataku tak kunjung menyeret kakiku pergi
dari hadapannya.
“Kau tidak akan bisa menahanku, Eleanor. Mau tidak mau, kau harus mau. Kali ini
aku memaksa. Dan begitu aku melamarmu, aku telah menjadi raja,”
“Apa yang kaulakukan, pangeran Miguel?” Serangan panik tiba-tiba menyergap
tubuhku begitu ia mengatakan; aku telah menjadi raja. Berarti, raja akan segera
meninggal? Kutelan ludahku dan menahan diri untuk tidak langsung menuduhnya. Ia
terkenal karena kekejamannya. Tetapi ia juga terkenal keakrabannya dengan sang
raja. Maksudku, bila ia membunuh sang raja, tidak akan ada yang mencurigai
pangeran Miguel karena pangeran Miguel tak pernah mengecewakan raja.
“Membunuh Ayahku, tentu saja,” katanya kelewat santai. Mulutku menganga lalu
kupukul dadanya dengan pelan. Salah satu ujung bibirnya terangkat hingga
membuat tingkah terkesan begitu licik. “Kau tidak mau aku membunuhnya? Baiklah,
aku tidak akan membunuhnya. Aku akan mengambil langkah yang lebih bijaksana.”
“Tentu saja aku tidak ingin kau membunuhnya, pangeran Miguel yang terhormat! Ia
Ayahmu! Bagaimana pun juga kau adalah anaknya—“
“Oh, Eleanor, kau memang menggemaskan sejak pertama kali kita bertemu. Tetapi
percayalah padaku, Eleanor, kau akan berterima kasih padaku kelak.” Aku tidak
percaya dalam suaranya ada kesan menggelikan. Aku tidak akan menahannya lagi.
Jika ia ingin membunuh Ayahnya, silakan. Aku tidak akan bertanggungjawab atas
apa pun. Kupikir ia ingin mengubah caranya menyelesaikan masalah, tetapi aku
bahkan sekarang tak dapat berkata-kata lagi.
“Ya, di neraka!”
***
Kini aku bertanya-tanya, apakah ia yang layak untukku? Pertanyaan itu akan
membuat orang di luar sana berpikir aku adalah orang tak tahu diuntung dan
kurang ajar. Terutama jika Abigail sebagai orang pertama yang mendengar
pertanyaan itu dariku, ia pasti meminta kepalaku dipenggal. Pangeran Miguel
memang tidak pernah berlaku jahat padaku, justru ia berusaha melindungiku dan
ia begitu posesif. Aku tahu, ia berniat baik untuk menjagaku namun kupikir,
bagaimana cara ia melindungiku yang salah. Pembunuhan terhadap istri dan salah
seorang yang tak kukenal itu membuatku gusar beberapa hari terakhir ini. Tentu
saja pangeran Miguel yang melakukan pembunuhan itu—anehnya, Ayah dari mantan
istri pangeran Miguel semakin bermurah hati pada Cardwell. Haruskah aku
bertepuk tangan atas tindakannya?
Setelah keluarga Durham—kerajaan Crumple—pulang kembali ke istana mereka,
keadaan Cardwell kembali normal seperti hari-hari biasanya. Beberapa kali
diadakan acara pesta dalam bentuk pertemanan atau perkumpulan di istana.
Pangeran Miguel sering terlihat di tengah ruang pesta bersama Abigail atau tamu
undangan yang berwajah cantik dan elegan untuk menari. Sementara aku hanya
mengamati acara pesta sambil sesekali ditawari segelas anggur terbaik milik
raja. Malam ini, acara pesta didominasi suara tawa nyaring, musik tradisional
yang merdu, tarian dan tepuk tangan, anggur yang berlimpah dan makanan lezat
yang dihidangkan. Raja duduk di atas kursi besarnya, dimana tempatnya lebih tinggi
4 tangga dari lantai tamu. Di sebelahnya, ratu Margaret tersenyum kalem seperti
biasanya.
Ia meminum anggur menggunakan gelas emasnya sambil matanya memerhatikanku yang
berdiri di belakang meja makanan. Meski makanan di hadapanku sangat lezat,
tetapi tidak ada satu pun yang dapat menggugah selera makanku. Aku terlalu muak
untuk merasakan makanan selezat ini sementara orang miskin di luar sana
memerlukan makanan. Mataku beralih pada pangeran Miguel yang berjalan menaiki
tangga, menghampiri Ayahnya lalu membungkuk di telinga Ayahnya, membisikkan
sesuatu. Ayahnya mengangguk kemudian pangeran Miguel beralih pada Ibunya. Ia
berlutut di hadapan Ibunya lalu menjulurkan tangannya, menawarkan dansa
bersama. Oh, sangat manis.
Dadaku terasa sesak menyadari bahwa aku tidak akan pernah bisa berdansa bersama
pangeran Miguel sampai kapan pun. Ia tidak akan pernah bisa—atau mau—berdansa
denganku di hadapan para bangsawan yang berkerumun di tempat ini atau dimana
pun karena aku hanyalah pelayan biasa. Pelayan Abigail, adik kesayangannya.
Pangeran Miguel berhasil membuat Ibunya tertawa malu-malu ketika mereka
berdansa hingga aku sendiri tak dapat menahan bibirku untuk tidak membuat garis
lengkung ke atas. Para tamu menatap dua orang itu dengan tatapan kagum,
terutama Abigail yang tampaknya tak percaya dengan apa yang ia lihat.
Ketika aku sedang menikmati pemandangan langka antara pangeran Miguel dan
Ibunya, seseorang menyodok pinggangku hingga aku menjerit tertahan. Pangeran
Geoffrey berpakaian berwarna cokelat tua dan muda malam ini dengan pedang di
pinggangnya. Antara pangeran Miguel dan Geoffrey, mereka tidak terlalu jauh
berbeda. Mungkin karisma yang dipancarkan pangeran Miguel lebih kuat dibanding
Geoffrey. Namun tentu saja, kesopanan pangeran Miguel tak dapat mengalahkan
kesopanan pangeran Geoffrey.
“Selamat malam, pangeran Geoffrey,” ucapku sambil membungkuk, memberi hormat
padanya. “Malam yang sangat indah,” tambahku ketika aku menegakkan tubuh.
“Maaf aku menyikut pinggangmu,” katanya menyesal. “Aku sudah memanggilmu
beberapa kali, namun aku tidak akan menyalahkanmu karena tempat ini memang
begitu bising.” Pangeran Geoffrey memegang tanganku lalu menariknya agar aku
berdiri lebih dekat dengannya. Bukan salahku jika aku memang terpukau atas
ketampanannya yang hampir sama dengan pangeran Miguel. Tinggi mereka cukup
jauh. Jika aku berdiri di sebelah pangeran Miguel, aku hanya setinggi bahunya
saja. Tetapi berdiri di dekat pangeran Geoffrey, aku setinggi telinganya. Tinggi
seperti ini membuatku merasa beruntung karena pangeran Geoffrey tidak akan
berani menatap buah dadaku yang menyembul—meski aku ragu pangeran Geoffrey
senakal pangeran Miguel.
Ia terlalu ramah untuk menjadi nakal. Ketika aku dibawanya keluar dari
hiruk-pikuk di aula utama, kami berdiri di mulut lorong dan tidak tahu apa yang
harus kulakukan.
“Kemana kita akan pergi?” Tanyaku. Sambil berjalan sedikit cepat, ia tersenyum
lebar. Dua bola mata yang sama seperti milik pangeran Miguel membuatku merasa
bersalah karena telah meninggalkan pangeran Miguel—ah! Pangeran Miguel tak
memerlukanku. Ia sudah sibuk dengan dansanya bersama Ibu, adik dan wanita muda
secantik bunga mawar itu.
“Jika kita bisa berkuda di Crumple, mengapa tidak bisa di sini?”
“Oh, pangeran Geoffrey! Sekarang sudah malam dan banyak pembunuh di luar sana,
apakah kau tidak khawatir akan ada bahaya?”
“Tidak sama sekali. Sejak kecil, aku dan Miguel selalu diajar berpedang—dan
sebentar lagi aku akan diajar menembak—jadi, kau tidak perlu takut pada apa
pun. Kupikir kau wanita muda pemberani,”
“Pemberani? Bagaimana mungkin kau berpikir seperti itu?”
“Kau memberikan dirimu pada istana untuk adik kecilmu. Menurutku, keluargamu-lah
yang paling berani sepanjang pemerintahan Ayahku berjalan. Adikmu yang berambut
hitam itu memaki istana—untungnya, Ayahku sedang berada dalam keadaan baik saat
itu,”
“Aku tidak melihatmu di singgasana,” kataku bingung. Kami memasuki istal.
Hidungku mencium aroma segar dari jerami dan kuda yang baru saja dimandikan.
Diam-diam aku merindukan kuda putihku, oh bagaimana keadaannya? Semoga
adik-adikku tidak menjualnya pada siapa pun. Telingaku sama sekali mengabaikan
ucapan pangeran Geoffrey ketika kulihat seekor kuda putih yang berada dalam
kandang kedua—kandang yang awalnya milik Gertrude.
Aku mematung layaknya orang bodoh. Blance. Kuda putihku yang memiliki
tanda luka di lehernya! Ia sekarang ada di istana. Di istal. Di kandang! Dan di
hadapanku. Tak kusadari, ternyata air mata sudah menggenangi pelupuk mataku.
Blance mendengkur begitu aku mendekatinya dan mengelus lehernya yang memiliki
bekas luka. Kulit telapak tanganku dapat merasakan kelembutan bulunya dan air
mataku mulai menetes.
“Ini sangat memalukan,” bisikku. Aku menoleh pada pangeran Geoffrey yang
mengamatiku di depan kandang kudanya. “Pangeran Geoffrey, bagaimana bisa—“
“Miguel memintaku mengambil kudamu sebagai ganti Gertrude. Alasannya, ia tidak
ingin Gertrude ditunggangi olehmu. Tidak masuk akal dan aku tidak peduli. Nah,
mendengar gagasan itu, aku tentu saja setuju. Kita bisa berkuda dengan kuda
kita masing-masing, betul bukan?” Tanyanya membuatku menggangguk refleks.
Alasan bukan itu. Aku yakin pangeran Miguel memiliki alasan lain mengambil
kudaku. Andai ia ada di hadapanku sekarang, aku akan menghujaninya dengan
ciuman manis.
“Kurasa, kita tidak perlu menunggang kuda malam ini,” kataku berubah pikiran.
Aku akan menunggangi kudaku jika aku sudah berterima kasih pada pangeran
Miguel. Raut wajah pangeran Geoffrey berubah menjadi muram.
“Mengapa?”
“Karena—“ Suara derap langkah terburu-buru terdengar menuju istal. Takut
tertangkap basah berdua saja bersama pangeran Geoffrey, aku membuka kandang
Blance lalu bersembunyi di balik pintunya begitu aku menutup pintu itu kembali.
Suara langkahan itu semakin mendekat ke arah istal lalu pintu istal terbuka dan
langkah itu terhenti. Kudengar nafas terengah-engah dan aroma tak sedap dari
orang yang baru muncul itu.
“Pangeran Geoffrey, raja keracunan makanan dan pangeran Miguel membutuhkanmu di
kamar raja sekarang.” Suara seorang prajurit dengan nada was-was itu membuat
pangeran Geoffrey mengumpat. Kulihat dari celah pintu kandang, wajah pangeran
Geoffrey memerah lalu ia mengambil langkah besar. Prajurit yang beraroma tak
enak itu mengikutinya dari belakang. Kudengar gumaman dari pangeran Geoffrey di
luar lalu suara langkah mereka semakin menjauh dari istal.
Aku mengembus nafas lega lalu berdiri dan keluar dari kandang Blance. Pikiranku
langsung terjatuh pada ucapan dari prajurit tadi. Raja keracunan makanan.
Siapa pelakunya? Sungguh, aku setelah ini juru makanan akan dipenggal bila raja
meninggal karena keracunan makanan. Kakiku melangkah keluar dari istal, membuat
Blance mendengus di belakang namun aku tak peduli. Dari lorong pertama saja aku
sudah dapat mendengar suara orang yang saling berbicara dengan nada suara
rendah. Beberapa di antaranya terisak dan tercekat. Apakah seburuk itu? Aku
baru saja meninggalkan aula utama selama beberapa menit lalu berita ini… aku
tidak bisa membayangkannya.
Kupaksa diriku membelah kerumanan orang di sekitar lorong untuk segera pergi ke
kamar para pelayan. Sekarang, aku tak dapat bernafas. Tidak, aku bukan bersedih
karena raja keracunan makanan. Ia bisa saja hidup kembali bila racun makanan
itu tidak berhasil membunuhnya. Tetapi aku ingin menangis karena pangeran
Miguel benar-benar ingin membunuh Ayahnya demi mendapatkanku. Kupikir memang
sangat manis berusaha mendapatkanku, tetapi tidak dengan membunuh Ayahnya
sendiri. Ini sangat melanggar aturan agama. Baru saja tanganku ingin menyentuh
gagang pintu kamarku, seseorang menyentuh pundakku dari belakang. Sontak, aku
tersentak dan menjerit pelan.
“Pangeran Miguel ingin bertemu denganmu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar