Minggu, 21 Desember 2014

Beautiful Slave Bab 10 - Can't Get Enough

CHAPTER TEN – CAN’T GET ENOUGH

JUSTIN MIGUEL THADDEUS

            Seperti biasanya, Ibuku selalu berpenampilan menarik sebagai ratu Cardwell. Ia sangat menawan malam ini dengan gaun merahnya dan dipadu dengan rambut cokelat mengilapnya. Meski ia sudah menginjak umur hampir 45 tahun, ia tetap terlihat begitu muda. Ibu tertawa malu-malu saat aku memujinya di tengah-tengah aula yang berisi para bangsawan Cardwell. Sambil memegang pinggulnya dengan satu tangan dan tangan yang lain memegang tangannya, aku membawanya mengelilingi aula diiringi musik tradisional.
            Aku tidak akan membiarkan Ibu memakan buah anggur yang tersedia untuk Ayahku. Tentunya, Ayah tidak akan membiarkan anggur itu tersisa begitu saja. Ayah pecinta buah anggur, terlebih lagi, jika anggur itu sudah dijadikan minuman. Dan terima kasih pada Zachary yang telah mendapatkan buah beracun—yang aku sendiri tidak peduli apa nama buah itu—yang terlihat seperti buah anggur. Ayah tidak akan menyadarinya selama ia memakan buah itu. Mengingat apa yang penafsir mimpi katakan, aku ingin tertawa. Menurut penafsir mimpi, Ayah akan mendapat harta melimpah.
            Yah, mungkin ia memang mendapatkan harta melimpah dari kerajaan Crumple.Tetapi sungguh, penafsir mimpi itu lebih baik mati. Ayahku menjadi lebih bahagia mendengar ucapan penafsir mimpi itu. Meski aku diam-diam menertawakan Ayahku karena jika ia berpikiran semuanya baik-baik saja dan tidak akan mati sebentar lagi, ia tentu tidak akan mengamati gerak-gerikku. Dan itu terbukti sampai sekarang. Ketika musik berhenti bermain karena lagu telah selesai, para pedansa bersiap-siap untuk tarian berikutnya.
            Aku membungkuk untuk menghormati Ibuku. Ia balas menghormatiku lalu ia menarik pipiku untuk ia cium. Saat itulah aku mendengar suara nafas tercekat dan tenggorokan yang tersedak. Musik yang baru saja bermain tiba-tiba mendengar suara itu dan berhenti dalam sekejap. Semua kepala yang ada di aula utama berbalik pada singgasana Ayahku dengan rasa ingin tahu dan penasaran. Clement yang berada di sebelah Ayahku dengan sigap mendekati Ayah. Ibuku panik, ia mengangkat roknya lalu berlari cepat-cepat menaiki anak tangga.
            “Gregory!” Teriak Ibuku—yang bahkan tidak terdengar seperti berteriak. Inilah saatnya Ayah. Tangan kanan Ayahku terangkat-angkat ketika ia terkapar di atas kursi dengan keadaan setengah terduduk. Keluar darah dari mulutnya, ia semakin terbatuk-batuk sambil sesekali menyemburkan darah pekat. “Bawa dia ke kamar!” Perintah Ibuku. Ia bergetar sehingga aku segera meraup pundaknya agar berjalan bersamaku menuju kamar Ayah.
            Dua prajurit membopong Ayah menuruni anak tangga. Mata Ayahku tetap terbuka dan ia menggumamkan kata-kata yang tak jelas. Tetapi yang semua orang tidak sadari, dan hanya aku yang menyadarinya, ia menatapku dengan tatapan menuduh—yang kuyakini orang-orang di sini pasti menganggapnya tatapan memohon padaku. Baiklah, mungkin Ayah sudah tahu bahwa akulah pelakunya. Tetapi percayalah demi Cardwell, Ayahku tidak akan berhasil dalam waktu 10 menit. Zachary mengatakan bahwa buah racun itu akan mengakibatkan kelumpuhan selama beberapa menit, kemudian darahnya akan tersumbat sehingga tak dapat mengalir dan jantungnya akan berhenti berdetak. Atau kalimat singkatnya adalah: ia mati.
            Para tamu menutup mulutnya dan memberi jalan untuk dua prajurit itu untuk keluar dari aula utama. Abigail yang sedang bersama dua adikku yang lain menatapku memberi kerutan di kening mereka dan mengikutiku dari belakang. Tidak, aku tidak ingin mereka merusak acara senang-senangku dengan pertanyaan-pertanyaan bodoh.
            “Abigail, panggil Benjamin sekarang! Dan suruh dua adikmu untuk berdiam di kamar mereka,” perintahku tanpa menatapnya sama sekali. Kami keluar dari aula utama kemudian pintu aula tertutup agar orang-orang tak perlu ikut campur. Melewati lorong yang diberi penerangan oleh obor tidak cukup membuat tangan Ibuku hangat. Katakanlah, aku pria bajingan, jahat, pembunuh, dan egois. Itu tidak akan membuat rencana pembunuhanku ini gagal. Ayah sudah tidak tersedak atau menggumamkan kata-kata lagi. Ia sudah lumpuh.
            Sekarang, tinggal menunggu kematiannya yang menjelang. Sudah lama aku menginginkan ini. Setelah apa yang ia telah lakukan padaku? Jangan salahkan aku akan sikap egois ini. Sifat Ayahku yang satu ini ternyata yang paling kuat diantara semuanya. Ayah selalu memaksaku melakukan apa pun yang ia mau sekalipun aku tidak menyukainya. Aku tidak ingin menjadi pangeran atau menjadi suami siapa pun yang tidak kucintai. Atau aku tidak ingin berdampingan dengan Geoffrey ketika kami harus pergi bertemu dengan kerajaan lain. Atau mengurus bagian perekonomian ketika aku ingin berada dalam bagian pertahanan. Ia selalu mengaturku layaknya aku pion dalam catur.
            Satu kali, ketika aku menginjak umur 16 tahun dan ia melihat kehebatanku dalam bermain pedang, ia mengatakan padaku bahwa kematiannya ada di tanganku. Ia yakin, aku akan membunuhnya dengan memenggal kepalanya dengan pedangku. Yah, mungkin apa yang ia katakan agak melenceng karena Eleanor tidak ingin aku membunuhnya. Jadi, aku meracuninya kemudian ia mati. Yah, memang sama saja, tetapi dengan cara yang lebih halus, bukan? Pedangku tak perlu kotor oleh darah Ayahku.
            Ayahku dibaringkan di atas tempat tidurnya. Kepala Ayah ditaruh di atas bantal yang tinggi. Ibu memelukku saat ia melihat suaminya tak membuka matanya lagi. Bahkan aku penasaran, apakah ia sudah mati? Clement dan dua prajurit yang lain menjauh dari tempat tidur dan memandangi raja mereka dengan tatapan kalut. Aku mengelus rambut Ibuku, berusaha menenangkannya. Ia sudah terisak-isak dalam pelukanku—dan hal itu cukup membuatku merasa sangat bersalah pada Ibu. Pintu kamar Ayah terbuka, membuatku dan Ibu menoleh.
            Benjamin datang dengan peralatannya. Ia segera berjalan menuju Ayahku untuk memeriksanya. Ia tabib terkenal di seluruh Cardwell, aku tidak peduli apa pun yang ia perbuat pada Ayahku karena tidak akan ada obat yang dapat membuat Ayahku kembali hidup. “Kurasa, aku membutuhkan waktu berdua saja bersama raja Gregory, jika kalian tidak keberatan,” pinta Benjamin. Segera aku menarik tubuh Ibuku untuk keluar dari kamar.
            Clement dan dua prajurit yang lain juga mengikuti kami dari belakang lalu keluar. “Miguel,” bisik Ibu ketakutan. “Apa yang terjadi pada Ayahmu? Apa ia keracunan makanan?”
            “Kurasa begitu, Ibu. Tetapi aku tidak tahu apakah Ayah akan selamat atau tidak,” ucapku tenang. “Sepertinya ada yang tidak suka dengan keberadaan Ayah,” lanjutku menatap lurus pintu kamar orangtuaku. Tidak banyak suara yang dikeluarkan dari dalam kamar sehingga keadaan semakin mencekam. Terutama karena Ibu memelukku semakin erat dan ia menyembunyikan wajahnya di dadaku.
            Setelah beberapa saat kami menunggu Benjamin di kamar, akhirnya pria itu keluar dari kamar orangtuaku. Ibuku menghambur ke arahnya lalu menghujaninya dengan banyak pertanyaan yang bersifat khawatir dan takut. Raut wajah Benjamin lesu dan putus asa itu berhasil membuat hatiku meledak-ledak bahagia. Entah mengapa, di kematian Ayahku, aku tidak bisa tidak bahagia. Meski aku sedikit sedih karena tidak akan ada lagi pria yang akan memerintahku.
            Ibuku berbalik padaku lalu ia memelukku begitu erat. Ia menangis histeris sehingga aku merasa bersalah. Kuelus punggungnya sementara ia memukul-mukul dadaku. Ibuku mencintai orang yang salah. Mengapa ia mencintai Ayahku? Apa yang membuat Ayahku begitu istimewa dalam hidupnya? Apakah karena ia hidup bergantung padanya? Ini salah satu alasan mengapa aku disebut bajingan egois oleh Eleanor. Aku harus mengorbankan perasaan orang-orang terdekatku, yang kusayangi, tersakiti. Ibu harus mendapatkan kekasih baru agar ia tidak begitu sedih atas kepergian Ayahku. Oh, ini memang semudah yang kubayangkan.
            “Ibu,” bisikku. Aku ingin mengatakan semuanya akan baik-baik saja, tetapi kurasa itu kalimat itu tidak begitu cocok untuk keadaan sekarang atau satu bulan ke depan. Masyarakat Cardwell pasti akan sama sedihnya seperti Ibuku jika mereka mengetahui Ayahku meninggal. Dan 21 hari setelah meninggalnya Ayahku, aku akan segera dilantik sebagai raja Cardwell. Seharusnya, Ibuku-lah yang akan menjadi ratu Cardwell namun ia bilang, ia tidak bisa memerintah Cardwell.
            Ayah tidak begitu ingin mendebat tentang bisa atau tidaknya Ibuku menjadi ratu, jadi, ia dengan mudahnya akan menurunkan takhta raja padaku dalam waktu 21 hari setelah ia meninggal. Dan selama 21 hari itu, aku yang akan memerintah Cardwell—sangat membuang-buang waktuku. Zachary muncul entah datang dari mana, lalu matanya berkelana dariku, Ibu lalu dua prajurit, Clement dan Benjamin selama beberapa saat.
            Aku memberi kode agar Zachary mendekatiku, lalu ia mencondongkan tubuhnya ke arahku. Kubisiki ia sepelan mungkin. “Panggil si merah untuk pergi ke taman belakang, aku akan menemuinya di sana. Jaga dia, jangan sampai ia kabur,” perintahku berbisik. Zachary mengangguk lalu ia segera beranjak dari tempatnya.
            “Miguel, apa yang akan terjadi pada Cardwell?”
            “Aku akan mengurusnya, Ibu,” ucapku tenang. “Dan Clement, urus keributan di aula. Katakan pada mereka acara akan tetap berlanjut tanpa kehadiran raja,” perintahku. Ia menggumamkan suatu kata yang tak jelas lalu beranjak dari tempat bersama dua prajurit lain. Aku mengajaknya pelan-pelan. Penjaga pintu kamar orangtuaku membukakan pintu untuk kami. Mataku mendapati Ayah terbaring di atas tempat tidur, diselimuti oleh selimut berwarna merahnya dan wajahnya pucat. Mulutnya sudah bersih dari noda darah dan ia sekarang sudah tidak dapat menatapku kembali. Oh, tatapan terakhirnya padaku adalah tatapan menuduh. Aku akan merindukan suaranya yang tenang bila masalah muncul. Dan aku akan merindukan perintah-perintahnya yang selalu mementingkan dirinya saja. Sekarang, tidak akan ada yang seperti itu.
            Aku tidak yakin apa yang akan terjadi padaku dikemudian hari. Justru aku bertanya-tanya, apakah aku akan sama seperti Ayah? Tetap bersikap egois seperti ini? Bahkan 10 detik ke depan pun aku tidak tahu apa yang akan menimpaku. Yang sekarang harus kupikirkan adalah apa yang terjadi saat ini. Ayah akan kami makamkan dua hari ke depan. Sebelumnya, sebagai orang Cardwell, kami harus melakukan upacara kematian. Ibu melepaskan pelukannya lalu berlari menuju tempat tidur dan berlutut di sisinya. Ia berdoa. Aku duduk di atas kursi besar yang biasa kududuki bila Ayahku ingin menemuiku.
            Pintu kamar kembali terbuka setelah tertutup. Abigail muncul dengan rambut cokelatnya yang masih terikat rapi. Kulitnya yang seputih susu sekarang memucat sehingga ia terlihat seperti mayat hidup. Tangannya yang berlapis sarung tangan itu menutup mulutnya begitu ia mendapati Ayahnya sudah tak ada lagi di dunia. Kupasang wajah murungku begitu ia beralih menatapku. Air matanya menetes begitu saja.
            “Justin,” tangisnya berlari kecil ke arahku lalu berlutut di samping kursiku. Ia menangis di atas lututku sementara tanganku mengelus rambutnya. Oh, aku seolah-olah berada dalam posisi Ayahku yang selalu mengelus rambut Abigail bila Abigail sedang menceritakan apa yang ia lakukan pada rambutnya atau apa yang ia pelajari di bawah kursinya. “Terlalu cepat.”
            “Ssh, aku akan mengurus semuanya, Abigail,” ucapku menenangkannya. “Menangislah, jika kau merasa itu akan membuatmu merasa lebih baik,”
            “Tidak akan ada yang bisa membuatku merasa lebih baik. Ayah meninggal! Dan tidak akan ada lagi yang ingin mendengar ceritaku. Tidak ada Ayah sebaik dirinya!”
            “Aku akan menjadi pendengar yang baik untukmu, Abigail,” ucapku lembut.
            “Siapa yang berani melakukan hal sejahat ini pada Ayahku? Ini sungguh tidak adil. Ayah tidak pernah berbuat kesalahan atau berutang pada siapa pun,” tangisnya. Abigail bahkan tidak mengindahkan ucapanku sama sekali. Oh, Abigal yang polos. Andai saja kau tahu selama ini aku membunuh banyak orang yang kaukenal. Ingin aku terbuka pada adikku sendiri, tetapi rasanya, Abigail tidak cukup dewasa untuk mendengar kenyataan yang ada. Kenyataan bahwa kakaknya adalah seorang pembunuh tak kenal ampun.
            “Kau tidak tahu, Abigail,” bisikku. Geoffrey muncul tanpa kusadari karena pintu dibiarkan terbuka. Geoffrey tidak sama sekali menatap Ayah, ia menatapku dengan tatapan dingin. Oh, inilah kembaran Ayah. Pria yang kelihatannya ramah tetapi ternyata ia memiliki maksud tersendiri dari keramah-tamahannya itu. Pria munafik seperti pecundang. Ia terlalu menyibukkan diri dengan merasa iri padaku karena ia tidak akan pernah bisa menjadi raja sepertiku.
            Jika aku menjadi raja nanti, akan kujadikan ia panglima perang. Dan Abigail, perjodohannya dengan kerajaan terpencil itu akan kubatalkan. Geoffrey mengalihkan pandangannya pada Ibu ketika Ibu memanggilnya. Ia ikut berlutut di sebelah Ibu lalu Ibu memeluknya dengan erat. Hanya Eleanor yang mengetahui tentang pembunuhan ini. Entah mengapa, aku rasa aku perlu bertemu dengan Eleanor dan memberitahunya kalau ini bukanlah kesalahannya. Sungguh, demi Cardwell, alasan utamaku membunuh Ayah bukan karena Eleanor. Aku sudah tidak tahan dengan sikap Ayah padaku atau Ibu. Ia bersikap seperti bajingan pada Ibuku.
            Yang Eleanor tidak tahu adalah selama ini Ibu menangis karena Ayah sering mengabaikannya dan pernah menamparnya satu kali. Aku tidak tahan melihat Ibuku tersiksa batin dan fisik. Ayah keterlaluan memperlakukan Ibuku sedemikian rupa. Lebih rincinya lagi, Ayahku menampar Ibuku kemarin malam. Jadi, aku memutuskan untuk membunuhnya hari ini karena bertepatan dengan acara pesta. Dan untuk alasan-alasan yang lain, Ayah telah melecehkan Eleanor dan aku ingin menikahi Eleanor.
            Zachary muncul di mulut pintu. “Abigail, aku harus pergi,” ucapku lembut. Kepalanya terangkat dari lututku lalu ia bangkit dari lantai. Matanya memerah, begitu juga dengan hidungnya. Begitu aku berdiri, aku menangkup kedua pipinya lalu mengecup bibirnya dengan singkat. “Semuanya akan baik-baik saja.”
            “Kau berjanji?”
            “Tentu saja,” bisikku mengelap air matanya. Dapat kurasakan tatapan Geoffrey dari sudut yang lain. Ia selalu iri melihatku bersama Abigail. Pecundang itu tidak mendapatkan perhatian lebih banyak Abigail daripadaku. “Aku harus pergi.” Abigail mengangguk. Kemudian aku beranjak dari kamar Ayah sambil mataku menatap jasad Ayahku yang terbaring tenang. Yah, berterima kasih padaku Ayah karena aku sudah membawamu ke neraka.
            Begitu aku keluar dari kamar, aku khawatir Eleanor pergi dari taman belakang. Karena Zachary meninggalkannya di taman sendirian dan kemungkinan besar wanita muda itu akan pergi dari istana. Ia tentu akan mudah pergi dari istana dengan keributan yang terjadi. Terlebih lagi, jika ia mendapati kudanya sudah ada di istal sekarang. Begitu aku melewati beberapa lorong, aku keluar dari pintu belakang menuju taman dan menutupnya kembali.
            Seorang wanita muda berambut merah itu sedang menungguku, membelakangiku sementara ia mendongak memandangi rembulan malam yang tampak begitu terang malam ini. Bulan purnama. Zachary tidak ada dimana-mana dan aku bersyukur karena Eleanor tidak pergi dari tempatnya. Ia menyadari kedatanganku. Tubuhnya yang mungil memutarbalik sehingga sekarang aku dapat melihat wajahnya yang… pucat. Ia lebih putih dari biasanya dan keningnya berkeringat.
            “Eleanor,” bisikku berusaha menyentuhnya. Ia justru mengambil langkah mundur. “Berhentilah berlagak seperti kau tidak senang atas kematian Ayahku,”
            “Oh, percayalah padaku, pangeran Miguel, aku sangat bahagia mendengar kematian sang raja hari ini. Tetapi aku sangat kesal, kecewa dan ingin memukul… oh, aku sangat ingin memukul sesuatu!”
            “Pukullah dadaku,” ucapku melangkah lebih dekat ke arahnya. Bibirnya menipis dan kedua tangannya mengepal. Ia sangat marah. Jika ia bahagia mendengar kematian Ayahku, lalu apa yang membuatnya marah?
 Dengan ragu-ragu, ia memukulku dengan kekuatan pelan. Aku tertawa merasakan pukulannya yang terasa seperti menyentuh. Mendengar tawaanku ternyata semakin menyulut amarahnya. Ia memukulku lebih kencang lagi. Kali ini, ia memukulnya dengan dua tangan. Oh, ternyata pukulannya cukup menyakitkan. Setelah ia merasa lelah memukulku, ia berhenti. Nafasnya terengah-engah dan kedua tangannya tergantung begitu saja di kedua sisi tubuhnya. Aku menarik kembali kedua tangannya lalu menempatkannya di atas dadaku.
            “Apa kau membenciku Eleanor?” Tanyaku dengan jantung berdetak lebih kencang dari biasanya. Entah mengapa, jawaban Eleanor akan sangat berpengaruh padaku. Jika ia memang membenciku, maka aku tidak bisa memaksanya untuk menyukaiku kembali. Ia terdiam selama beberapa saat. Membuat keheningan yang berkepanjangan ini nyaris membuatku gila. Tiap detiknya tentu membuatku mati penasaran akan jawabannya. Matanya terpejam lalu ia mendesah.
            “Aku tidak membencimu, Justin,” katanya menyebut nama pertamaku. Dan demi Tuhan, aku sangat senang bila ia memanggil nama pertamaku. Kemudian matanya terbuka. “Aku benci apa yang kaulakukan. Aku tidak suka melihatmu menjadi pembunuh. Aku tidak suka melihatmu terlihat begitu menakutkan. Kau ingin aku tidak takut padamu, tetapi orang gila mana yang tidak tahu bila kekasihnya adalah pembunuh? Bisa saja aku menjadi sasaran selanjutnya,”
            “Kau mabuk, Eleanor? Aku tidak akan membunuhmu, demi Tuhan!” Aku berseru gemas mendengar ucapannya yang konyol. Tanganku meraup kedua pipinya lalu mengelus pipi itu dengan ibu jariku. “Aku ingin menikahimu. Katakanlah ‘ya’ maka pernikahan akan terjadi satu bulan lagi.”
            “Jangan mengalihkan pembicaraan, Justin,” ucapnya menyingkirkan tanganku lalu memunggungiku. “Aku tidak ingin kau membunuh siapa pun lagi mulai sekarang.”
            “Mengapa?”
            “Karena aku tidak ingin menikah dengan seorang pembunuh, demi Cardwell!” Ia berseru dengan tangan kanan terkepal. Hatiku berbunga-bunga ketika mendengar ungkapannya yang sangat berarti bagiku. Ia tidak ingin menikah dengan seorang pembunuh? Maka aku tidak akan membunuh siapa pun, Eleanor. Oh, jika saja aku masih berumur 5 tahun, aku pasti akan melompat-lompat kegirangan mendengar ucapannya.
          Aku meraup bahunya lalu mengelusnya dengan lembut. “Jika itu yang kauinginkan, Eleanor, akan kulakukan,” ucapku mengecup bahunya.
            “Jika kau mengatakannya hanya agar membuatku menerimamu sebagai suamiku, lebih baik, kau menjadi pembunuh selamanya.”
            “Aku bukan pria yang penuh omong kosong seperti Geoffrey,” bisikku meyakinkannya. Telapak tangannya menyentuh punggung tanganku yang memegang bahunya lalu ia mendesah.
            “Aku bersumpah akan pergi darimu, Justin, jika kau satu kali pun membunuh seseorang. Maksudku, kau pria yang memiliki hati yang baik. Kau tidak perlu menjadi Ayahmu jika kau menginginkanku. Kau tidak perlu membunuh siapa pun untuk memilikiku—“
            “Kau begitu naif berkata seperti itu, Eleanor. Karena selama ini kaulah yang memintaku menjauhimu karena orang di luar sana akan mengejekku bila aku menjalin hubungan asmara denganmu. Dan sebenarnya, pembunuhan yang kulakukan tidak didasari oleh keinginanku menikahimu. Maksudku, tujuan utamaku membunuh Margery atau Ayahku bukan karena kau,”
            “Aku tidak perlu mendengar alasannya,” tukasnya membalikkan tubuh. Segera aku menempatkan kedua tanganku di sekitar pinggangnya yang ramping. Tangannya terangkat lalu ia mengelus rambut kepalaku, merapikannya. Meski ia mendongak, ia tidak menatapku. Kurasa ia belum berani menatapku.
            “Eleanor, tataplah aku,” perintahku. Matanya turun dari keningku ke mata biruku. Lalu kupandangi keindahan yang ada dalam pelukanku. Kulit putih tanpa noda, bibir ranum berwarna merah muda, dan rambut merah yang mencolok berhasil membuatku terpesona untuk yang kesekian kalinya. Aku selalu berusaha memandangnya sebagai wanita muda biasanya, tetapi selalu tak berhasil. Ia terlalu indah untuk dianggap biasa saja. “Aku ingin kau menjadi sumber kebahagiaanku, istriku, partnerku, sahabatku dan orang pertama yang kulihat tiap kali aku terbangun dari tidur malamku. Maukah kau, Eleanor Hughes?”
            Air matanya menggenang di pelupuk matanya. “Tentu saja.”



Tidak ada komentar:

Posting Komentar