CHAPTER TEN – CAN’T
GET ENOUGH
JUSTIN MIGUEL
THADDEUS
Seperti biasanya, Ibuku selalu berpenampilan menarik sebagai ratu Cardwell. Ia
sangat menawan malam ini dengan gaun merahnya dan dipadu dengan rambut cokelat
mengilapnya. Meski ia sudah menginjak umur hampir 45 tahun, ia tetap terlihat
begitu muda. Ibu tertawa malu-malu saat aku memujinya di tengah-tengah aula
yang berisi para bangsawan Cardwell. Sambil memegang pinggulnya dengan satu
tangan dan tangan yang lain memegang tangannya, aku membawanya mengelilingi
aula diiringi musik tradisional.
Aku tidak akan membiarkan Ibu memakan buah anggur yang tersedia untuk Ayahku.
Tentunya, Ayah tidak akan membiarkan anggur itu tersisa begitu saja. Ayah
pecinta buah anggur, terlebih lagi, jika anggur itu sudah dijadikan minuman.
Dan terima kasih pada Zachary yang telah mendapatkan buah beracun—yang aku
sendiri tidak peduli apa nama buah itu—yang terlihat seperti buah anggur. Ayah
tidak akan menyadarinya selama ia memakan buah itu. Mengingat apa yang penafsir
mimpi katakan, aku ingin tertawa. Menurut penafsir mimpi, Ayah akan mendapat
harta melimpah.
Yah, mungkin ia memang mendapatkan harta melimpah dari kerajaan Crumple.Tetapi
sungguh, penafsir mimpi itu lebih baik mati. Ayahku menjadi lebih bahagia
mendengar ucapan penafsir mimpi itu. Meski aku diam-diam menertawakan Ayahku
karena jika ia berpikiran semuanya baik-baik saja dan tidak akan mati sebentar
lagi, ia tentu tidak akan mengamati gerak-gerikku. Dan itu terbukti sampai
sekarang. Ketika musik berhenti bermain karena lagu telah selesai, para pedansa
bersiap-siap untuk tarian berikutnya.
Aku membungkuk untuk menghormati Ibuku. Ia balas menghormatiku lalu ia menarik
pipiku untuk ia cium. Saat itulah aku mendengar suara nafas tercekat dan tenggorokan
yang tersedak. Musik yang baru saja bermain tiba-tiba mendengar suara itu dan
berhenti dalam sekejap. Semua kepala yang ada di aula utama berbalik pada
singgasana Ayahku dengan rasa ingin tahu dan penasaran. Clement yang berada di
sebelah Ayahku dengan sigap mendekati Ayah. Ibuku panik, ia mengangkat roknya
lalu berlari cepat-cepat menaiki anak tangga.
“Gregory!” Teriak Ibuku—yang bahkan tidak terdengar seperti berteriak. Inilah
saatnya Ayah. Tangan kanan Ayahku terangkat-angkat ketika ia terkapar di atas
kursi dengan keadaan setengah terduduk. Keluar darah dari mulutnya, ia semakin
terbatuk-batuk sambil sesekali menyemburkan darah pekat. “Bawa dia ke kamar!”
Perintah Ibuku. Ia bergetar sehingga aku segera meraup pundaknya agar berjalan
bersamaku menuju kamar Ayah.
Dua prajurit membopong Ayah menuruni anak tangga. Mata Ayahku tetap terbuka dan
ia menggumamkan kata-kata yang tak jelas. Tetapi yang semua orang tidak sadari,
dan hanya aku yang menyadarinya, ia menatapku dengan tatapan menuduh—yang
kuyakini orang-orang di sini pasti menganggapnya tatapan memohon padaku.
Baiklah, mungkin Ayah sudah tahu bahwa akulah pelakunya. Tetapi percayalah demi
Cardwell, Ayahku tidak akan berhasil dalam waktu 10 menit. Zachary mengatakan
bahwa buah racun itu akan mengakibatkan kelumpuhan selama beberapa menit,
kemudian darahnya akan tersumbat sehingga tak dapat mengalir dan jantungnya
akan berhenti berdetak. Atau kalimat singkatnya adalah: ia mati.
Para tamu menutup mulutnya dan memberi jalan untuk dua prajurit itu untuk
keluar dari aula utama. Abigail yang sedang bersama dua adikku yang lain
menatapku memberi kerutan di kening mereka dan mengikutiku dari belakang.
Tidak, aku tidak ingin mereka merusak acara senang-senangku dengan
pertanyaan-pertanyaan bodoh.
“Abigail, panggil Benjamin sekarang! Dan suruh dua adikmu untuk berdiam di
kamar mereka,” perintahku tanpa menatapnya sama sekali. Kami keluar dari aula
utama kemudian pintu aula tertutup agar orang-orang tak perlu ikut campur.
Melewati lorong yang diberi penerangan oleh obor tidak cukup membuat tangan
Ibuku hangat. Katakanlah, aku pria bajingan, jahat, pembunuh, dan egois. Itu
tidak akan membuat rencana pembunuhanku ini gagal. Ayah sudah tidak tersedak
atau menggumamkan kata-kata lagi. Ia sudah lumpuh.
Sekarang, tinggal menunggu kematiannya yang menjelang. Sudah lama aku
menginginkan ini. Setelah apa yang ia telah lakukan padaku? Jangan salahkan aku
akan sikap egois ini. Sifat Ayahku yang satu ini ternyata yang paling kuat
diantara semuanya. Ayah selalu memaksaku melakukan apa pun yang ia mau
sekalipun aku tidak menyukainya. Aku tidak ingin menjadi pangeran atau menjadi
suami siapa pun yang tidak kucintai. Atau aku tidak ingin berdampingan dengan
Geoffrey ketika kami harus pergi bertemu dengan kerajaan lain. Atau mengurus
bagian perekonomian ketika aku ingin berada dalam bagian pertahanan. Ia selalu
mengaturku layaknya aku pion dalam catur.
Satu kali, ketika aku menginjak umur 16 tahun dan ia melihat kehebatanku dalam
bermain pedang, ia mengatakan padaku bahwa kematiannya ada di tanganku. Ia
yakin, aku akan membunuhnya dengan memenggal kepalanya dengan pedangku. Yah,
mungkin apa yang ia katakan agak melenceng karena Eleanor tidak ingin aku
membunuhnya. Jadi, aku meracuninya kemudian ia mati. Yah, memang sama saja,
tetapi dengan cara yang lebih halus, bukan? Pedangku tak perlu kotor oleh darah
Ayahku.
Ayahku dibaringkan di atas tempat tidurnya. Kepala Ayah ditaruh di atas bantal
yang tinggi. Ibu memelukku saat ia melihat suaminya tak membuka matanya lagi.
Bahkan aku penasaran, apakah ia sudah mati? Clement dan dua prajurit yang lain
menjauh dari tempat tidur dan memandangi raja mereka dengan tatapan kalut. Aku
mengelus rambut Ibuku, berusaha menenangkannya. Ia sudah terisak-isak dalam
pelukanku—dan hal itu cukup membuatku merasa sangat bersalah pada Ibu. Pintu
kamar Ayah terbuka, membuatku dan Ibu menoleh.
Benjamin datang dengan peralatannya. Ia segera berjalan menuju Ayahku untuk
memeriksanya. Ia tabib terkenal di seluruh Cardwell, aku tidak peduli apa pun
yang ia perbuat pada Ayahku karena tidak akan ada obat yang dapat membuat
Ayahku kembali hidup. “Kurasa, aku membutuhkan waktu berdua saja bersama raja
Gregory, jika kalian tidak keberatan,” pinta Benjamin. Segera aku menarik tubuh
Ibuku untuk keluar dari kamar.
Clement dan dua prajurit yang lain juga mengikuti kami dari belakang lalu
keluar. “Miguel,” bisik Ibu ketakutan. “Apa yang terjadi pada Ayahmu? Apa ia
keracunan makanan?”
“Kurasa begitu, Ibu. Tetapi aku tidak tahu apakah Ayah akan selamat atau
tidak,” ucapku tenang. “Sepertinya ada yang tidak suka dengan keberadaan Ayah,”
lanjutku menatap lurus pintu kamar orangtuaku. Tidak banyak suara yang
dikeluarkan dari dalam kamar sehingga keadaan semakin mencekam. Terutama karena
Ibu memelukku semakin erat dan ia menyembunyikan wajahnya di dadaku.
Setelah beberapa saat kami menunggu Benjamin di kamar, akhirnya pria itu keluar
dari kamar orangtuaku. Ibuku menghambur ke arahnya lalu menghujaninya dengan
banyak pertanyaan yang bersifat khawatir dan takut. Raut wajah Benjamin lesu
dan putus asa itu berhasil membuat hatiku meledak-ledak bahagia. Entah mengapa,
di kematian Ayahku, aku tidak bisa tidak bahagia. Meski aku sedikit sedih
karena tidak akan ada lagi pria yang akan memerintahku.
Ibuku berbalik padaku lalu ia memelukku begitu erat. Ia menangis histeris
sehingga aku merasa bersalah. Kuelus punggungnya sementara ia memukul-mukul
dadaku. Ibuku mencintai orang yang salah. Mengapa ia mencintai Ayahku? Apa yang
membuat Ayahku begitu istimewa dalam hidupnya? Apakah karena ia hidup
bergantung padanya? Ini salah satu alasan mengapa aku disebut bajingan egois
oleh Eleanor. Aku harus mengorbankan perasaan orang-orang terdekatku, yang
kusayangi, tersakiti. Ibu harus mendapatkan kekasih baru agar ia tidak begitu
sedih atas kepergian Ayahku. Oh, ini memang semudah yang kubayangkan.
“Ibu,” bisikku. Aku ingin mengatakan semuanya akan baik-baik saja, tetapi
kurasa itu kalimat itu tidak begitu cocok untuk keadaan sekarang atau satu
bulan ke depan. Masyarakat Cardwell pasti akan sama sedihnya seperti Ibuku jika
mereka mengetahui Ayahku meninggal. Dan 21 hari setelah meninggalnya Ayahku,
aku akan segera dilantik sebagai raja Cardwell. Seharusnya, Ibuku-lah yang akan
menjadi ratu Cardwell namun ia bilang, ia tidak bisa memerintah Cardwell.
Ayah tidak begitu ingin mendebat tentang bisa atau tidaknya Ibuku menjadi ratu,
jadi, ia dengan mudahnya akan menurunkan takhta raja padaku dalam waktu 21 hari
setelah ia meninggal. Dan selama 21 hari itu, aku yang akan memerintah Cardwell—sangat
membuang-buang waktuku. Zachary muncul entah datang dari mana, lalu matanya
berkelana dariku, Ibu lalu dua prajurit, Clement dan Benjamin selama beberapa
saat.
Aku memberi kode agar Zachary mendekatiku, lalu ia mencondongkan tubuhnya ke
arahku. Kubisiki ia sepelan mungkin. “Panggil si merah untuk pergi ke taman
belakang, aku akan menemuinya di sana. Jaga dia, jangan sampai ia kabur,”
perintahku berbisik. Zachary mengangguk lalu ia segera beranjak dari tempatnya.
“Miguel, apa yang akan terjadi pada Cardwell?”
“Aku akan mengurusnya, Ibu,” ucapku tenang. “Dan Clement, urus keributan di
aula. Katakan pada mereka acara akan tetap berlanjut tanpa kehadiran raja,”
perintahku. Ia menggumamkan suatu kata yang tak jelas lalu beranjak dari tempat
bersama dua prajurit lain. Aku mengajaknya pelan-pelan. Penjaga pintu kamar
orangtuaku membukakan pintu untuk kami. Mataku mendapati Ayah terbaring di atas
tempat tidur, diselimuti oleh selimut berwarna merahnya dan wajahnya pucat. Mulutnya
sudah bersih dari noda darah dan ia sekarang sudah tidak dapat menatapku
kembali. Oh, tatapan terakhirnya padaku adalah tatapan menuduh. Aku akan
merindukan suaranya yang tenang bila masalah muncul. Dan aku akan merindukan
perintah-perintahnya yang selalu mementingkan dirinya saja. Sekarang, tidak
akan ada yang seperti itu.
Aku tidak yakin apa yang akan terjadi padaku dikemudian hari. Justru aku
bertanya-tanya, apakah aku akan sama seperti Ayah? Tetap bersikap egois seperti
ini? Bahkan 10 detik ke depan pun aku tidak tahu apa yang akan menimpaku. Yang
sekarang harus kupikirkan adalah apa yang terjadi saat ini. Ayah akan kami makamkan
dua hari ke depan. Sebelumnya, sebagai orang Cardwell, kami harus melakukan
upacara kematian. Ibu melepaskan pelukannya lalu berlari menuju tempat tidur
dan berlutut di sisinya. Ia berdoa. Aku duduk di atas kursi besar yang biasa
kududuki bila Ayahku ingin menemuiku.
Pintu kamar kembali terbuka setelah tertutup. Abigail muncul dengan rambut
cokelatnya yang masih terikat rapi. Kulitnya yang seputih susu sekarang memucat
sehingga ia terlihat seperti mayat hidup. Tangannya yang berlapis sarung tangan
itu menutup mulutnya begitu ia mendapati Ayahnya sudah tak ada lagi di dunia.
Kupasang wajah murungku begitu ia beralih menatapku. Air matanya menetes begitu
saja.
“Justin,” tangisnya berlari kecil ke arahku lalu berlutut di samping kursiku.
Ia menangis di atas lututku sementara tanganku mengelus rambutnya. Oh, aku
seolah-olah berada dalam posisi Ayahku yang selalu mengelus rambut Abigail bila
Abigail sedang menceritakan apa yang ia lakukan pada rambutnya atau apa yang ia
pelajari di bawah kursinya. “Terlalu cepat.”
“Ssh, aku akan mengurus semuanya, Abigail,” ucapku menenangkannya. “Menangislah,
jika kau merasa itu akan membuatmu merasa lebih baik,”
“Tidak akan ada yang bisa membuatku merasa lebih baik. Ayah meninggal! Dan
tidak akan ada lagi yang ingin mendengar ceritaku. Tidak ada Ayah sebaik
dirinya!”
“Aku akan menjadi pendengar yang baik untukmu, Abigail,” ucapku lembut.
“Siapa yang berani melakukan hal sejahat ini pada Ayahku? Ini sungguh tidak
adil. Ayah tidak pernah berbuat kesalahan atau berutang pada siapa pun,”
tangisnya. Abigail bahkan tidak mengindahkan ucapanku sama sekali. Oh, Abigal
yang polos. Andai saja kau tahu selama ini aku membunuh banyak orang yang
kaukenal. Ingin aku terbuka pada adikku sendiri, tetapi rasanya, Abigail tidak
cukup dewasa untuk mendengar kenyataan yang ada. Kenyataan bahwa kakaknya
adalah seorang pembunuh tak kenal ampun.
“Kau tidak tahu, Abigail,” bisikku. Geoffrey muncul tanpa kusadari karena pintu
dibiarkan terbuka. Geoffrey tidak sama sekali menatap Ayah, ia menatapku dengan
tatapan dingin. Oh, inilah kembaran Ayah. Pria yang kelihatannya ramah tetapi
ternyata ia memiliki maksud tersendiri dari keramah-tamahannya itu. Pria
munafik seperti pecundang. Ia terlalu menyibukkan diri dengan merasa iri padaku
karena ia tidak akan pernah bisa menjadi raja sepertiku.
Jika aku menjadi raja nanti, akan kujadikan ia panglima perang. Dan Abigail,
perjodohannya dengan kerajaan terpencil itu akan kubatalkan. Geoffrey
mengalihkan pandangannya pada Ibu ketika Ibu memanggilnya. Ia ikut berlutut di
sebelah Ibu lalu Ibu memeluknya dengan erat. Hanya Eleanor yang mengetahui
tentang pembunuhan ini. Entah mengapa, aku rasa aku perlu bertemu dengan
Eleanor dan memberitahunya kalau ini bukanlah kesalahannya. Sungguh, demi
Cardwell, alasan utamaku membunuh Ayah bukan karena Eleanor. Aku sudah tidak
tahan dengan sikap Ayah padaku atau Ibu. Ia bersikap seperti bajingan pada
Ibuku.
Yang Eleanor tidak tahu adalah selama ini Ibu menangis karena Ayah sering
mengabaikannya dan pernah menamparnya satu kali. Aku tidak tahan melihat Ibuku
tersiksa batin dan fisik. Ayah keterlaluan memperlakukan Ibuku sedemikian rupa.
Lebih rincinya lagi, Ayahku menampar Ibuku kemarin malam. Jadi, aku memutuskan
untuk membunuhnya hari ini karena bertepatan dengan acara pesta. Dan untuk
alasan-alasan yang lain, Ayah telah melecehkan Eleanor dan aku ingin menikahi
Eleanor.
Zachary muncul di mulut pintu. “Abigail, aku harus pergi,” ucapku lembut.
Kepalanya terangkat dari lututku lalu ia bangkit dari lantai. Matanya memerah,
begitu juga dengan hidungnya. Begitu aku berdiri, aku menangkup kedua pipinya
lalu mengecup bibirnya dengan singkat. “Semuanya akan baik-baik saja.”
“Kau berjanji?”
“Tentu saja,” bisikku mengelap air matanya. Dapat kurasakan tatapan Geoffrey
dari sudut yang lain. Ia selalu iri melihatku bersama Abigail. Pecundang itu
tidak mendapatkan perhatian lebih banyak Abigail daripadaku. “Aku harus pergi.”
Abigail mengangguk. Kemudian aku beranjak dari kamar Ayah sambil mataku menatap
jasad Ayahku yang terbaring tenang. Yah, berterima kasih padaku Ayah karena
aku sudah membawamu ke neraka.
Begitu aku keluar dari kamar, aku khawatir Eleanor pergi dari taman belakang.
Karena Zachary meninggalkannya di taman sendirian dan kemungkinan besar wanita
muda itu akan pergi dari istana. Ia tentu akan mudah pergi dari istana dengan
keributan yang terjadi. Terlebih lagi, jika ia mendapati kudanya sudah ada di
istal sekarang. Begitu aku melewati beberapa lorong, aku keluar dari pintu
belakang menuju taman dan menutupnya kembali.
Seorang wanita muda berambut merah itu sedang menungguku, membelakangiku
sementara ia mendongak memandangi rembulan malam yang tampak begitu terang
malam ini. Bulan purnama. Zachary tidak ada dimana-mana dan aku bersyukur
karena Eleanor tidak pergi dari tempatnya. Ia menyadari kedatanganku. Tubuhnya
yang mungil memutarbalik sehingga sekarang aku dapat melihat wajahnya yang…
pucat. Ia lebih putih dari biasanya dan keningnya berkeringat.
“Eleanor,” bisikku berusaha menyentuhnya. Ia justru mengambil langkah mundur.
“Berhentilah berlagak seperti kau tidak senang atas kematian Ayahku,”
“Oh, percayalah padaku, pangeran Miguel, aku sangat bahagia mendengar kematian
sang raja hari ini. Tetapi aku sangat kesal, kecewa dan ingin memukul… oh, aku
sangat ingin memukul sesuatu!”
“Pukullah dadaku,” ucapku melangkah lebih dekat ke arahnya. Bibirnya menipis
dan kedua tangannya mengepal. Ia sangat marah. Jika ia bahagia mendengar
kematian Ayahku, lalu apa yang membuatnya marah?
Dengan
ragu-ragu, ia memukulku dengan kekuatan pelan. Aku tertawa merasakan pukulannya
yang terasa seperti menyentuh. Mendengar tawaanku ternyata semakin menyulut
amarahnya. Ia memukulku lebih kencang lagi. Kali ini, ia memukulnya dengan dua
tangan. Oh, ternyata pukulannya cukup menyakitkan. Setelah ia merasa lelah
memukulku, ia berhenti. Nafasnya terengah-engah dan kedua tangannya tergantung
begitu saja di kedua sisi tubuhnya. Aku menarik kembali kedua tangannya lalu
menempatkannya di atas dadaku.
“Apa kau membenciku Eleanor?” Tanyaku dengan jantung berdetak lebih kencang
dari biasanya. Entah mengapa, jawaban Eleanor akan sangat berpengaruh padaku.
Jika ia memang membenciku, maka aku tidak bisa memaksanya untuk menyukaiku
kembali. Ia terdiam selama beberapa saat. Membuat keheningan yang
berkepanjangan ini nyaris membuatku gila. Tiap detiknya tentu membuatku mati
penasaran akan jawabannya. Matanya terpejam lalu ia mendesah.
“Aku tidak membencimu, Justin,” katanya menyebut nama pertamaku. Dan demi
Tuhan, aku sangat senang bila ia memanggil nama pertamaku. Kemudian matanya
terbuka. “Aku benci apa yang kaulakukan. Aku tidak suka melihatmu menjadi
pembunuh. Aku tidak suka melihatmu terlihat begitu menakutkan. Kau ingin aku
tidak takut padamu, tetapi orang gila mana yang tidak tahu bila kekasihnya
adalah pembunuh? Bisa saja aku menjadi sasaran selanjutnya,”
“Kau mabuk, Eleanor? Aku tidak akan membunuhmu, demi Tuhan!” Aku berseru gemas
mendengar ucapannya yang konyol. Tanganku meraup kedua pipinya lalu mengelus
pipi itu dengan ibu jariku. “Aku ingin menikahimu. Katakanlah ‘ya’ maka
pernikahan akan terjadi satu bulan lagi.”
“Jangan mengalihkan pembicaraan, Justin,” ucapnya menyingkirkan tanganku lalu
memunggungiku. “Aku tidak ingin kau membunuh siapa pun lagi mulai sekarang.”
“Mengapa?”
“Karena aku tidak ingin menikah dengan seorang pembunuh, demi Cardwell!” Ia
berseru dengan tangan kanan terkepal. Hatiku berbunga-bunga ketika mendengar
ungkapannya yang sangat berarti bagiku. Ia tidak ingin menikah dengan seorang
pembunuh? Maka aku tidak akan membunuh siapa pun, Eleanor. Oh, jika saja aku
masih berumur 5 tahun, aku pasti akan melompat-lompat kegirangan mendengar
ucapannya.
Aku meraup bahunya lalu mengelusnya dengan lembut. “Jika itu yang kauinginkan,
Eleanor, akan kulakukan,” ucapku mengecup bahunya.
“Jika kau mengatakannya hanya agar membuatku menerimamu sebagai suamiku, lebih
baik, kau menjadi pembunuh selamanya.”
“Aku bukan pria yang penuh omong kosong seperti Geoffrey,” bisikku
meyakinkannya. Telapak tangannya menyentuh punggung tanganku yang memegang
bahunya lalu ia mendesah.
“Aku bersumpah akan pergi darimu, Justin, jika kau satu kali pun membunuh
seseorang. Maksudku, kau pria yang memiliki hati yang baik. Kau tidak perlu
menjadi Ayahmu jika kau menginginkanku. Kau tidak perlu membunuh siapa pun
untuk memilikiku—“
“Kau begitu naif berkata seperti itu, Eleanor. Karena selama ini kaulah yang
memintaku menjauhimu karena orang di luar sana akan mengejekku bila aku
menjalin hubungan asmara denganmu. Dan sebenarnya, pembunuhan yang kulakukan
tidak didasari oleh keinginanku menikahimu. Maksudku, tujuan utamaku membunuh
Margery atau Ayahku bukan karena kau,”
“Aku tidak perlu mendengar alasannya,” tukasnya membalikkan tubuh. Segera aku
menempatkan kedua tanganku di sekitar pinggangnya yang ramping. Tangannya
terangkat lalu ia mengelus rambut kepalaku, merapikannya. Meski ia mendongak,
ia tidak menatapku. Kurasa ia belum berani menatapku.
“Eleanor, tataplah aku,” perintahku. Matanya turun dari keningku ke mata
biruku. Lalu kupandangi keindahan yang ada dalam pelukanku. Kulit putih tanpa
noda, bibir ranum berwarna merah muda, dan rambut merah yang mencolok berhasil
membuatku terpesona untuk yang kesekian kalinya. Aku selalu berusaha
memandangnya sebagai wanita muda biasanya, tetapi selalu tak berhasil. Ia
terlalu indah untuk dianggap biasa saja. “Aku ingin kau menjadi sumber
kebahagiaanku, istriku, partnerku, sahabatku dan orang pertama yang kulihat
tiap kali aku terbangun dari tidur malamku. Maukah kau, Eleanor Hughes?”
Air matanya menggenang di pelupuk matanya. “Tentu saja.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar