Kamis, 25 Desember 2014

Beautiful Slave Part 11 - Announcement



CHAPTER ELEVEN – ANNOUNCEMENT

ELEANOR HUGHES

            2 minggu setelah—mantan—raja Cardwell dimakamkan merupakan masa-masa tersulit bagi keluarga Thaddeus—kecuali Miguel, tentu saja. Mereka dilarang memakai pakaian berwarna lain kecuali hitam atau pun perhiasan lain untuk menghormati mendiang raja Cardwell selama 3 minggu ke depan, bertepatan dengan hari penobatan pangeran Miguel menjadi raja. Hubunganku dengan pangeran Miguel baik-baik saja sejauh ini, meski masih sembunyi-sembunyi, namun entah mengapa aku tidak bisa tidak ikut tersenyum melihat kebahagiaan Miguel yang sangat jelas terpancar tiap kali ia menggodaku atau tertawa. Ia terlalu memukau untuk ditolak. Tidak akan ada yang percaya padanya bahwa ia memiliki hubungan dengan seorang pelayan kecuali dengan membuktikannya. Dan selama 2 minggu terakhir ini, pangeran Miguel bertingkah seperti orang yang memiliki dua kepribadian. Ia bebas tersenyum dan tertawa tiap kali kami bersama, namun ia akan sedingin es begitu ia berbicara dengan orang lain—kecuali pada keluarganya.
            Menunggunya di taman belakang merupakan penyiksaan halus. Aku berjalan mondar-mandir tak keruan memikirkan apa yang ingin pangeran Miguel katakan. Kemarin malam kami bertengkar masalah kecil karena aku jatuh dari Blance saat Blance melihat binatang yang ditakutinya, tikus. Ya, aku tahu Blance akan hilang kendali saat ia melihat tikus sampai kedua kaki depannya melayang di udara dan aku kehilangan keseimbangan dan jatuh. Aku bahkan tak tahu kalau di bukit itu terdapat tikus, cukup membingungkan dan mengejutkanku juga. Dan yah, pangeran Miguel ada di belakangku menunggangi kudanya juga. Ia panik sampai garis-garis hijau kebiruan muncul bersama dengan keringat di keningnya. Ia memarahiku karena tidak memberitahu Blance memiliki ketakutan lalu membawaku pulang dengan hati-hati, seolah-olah aku barang pecah belah.
            Aku tidak begitu suka dengan sikapnya yang berlebihan. Karena demi Tuhan, kemarin aku tidak apa-apa dan tidak ada luka apa pun selain rok yang kotor. Malamnya aku tidak bisa tidur karena pangeran Miguel tidak ingin mendengar alasanku dan bersikap dingin sepanjang hari ini. Lalu tiba-tiba saja ia ingin berbicara denganku di taman belakang dengan nada kasar. Yah, tidak banyak yang bisa kulakukan selain mengikuti perintahnya. Jadi, di sinilah aku menunggunya.
            Sosoknya muncul dari balik pintu besar lalu berjalan dengan anggun ke arahku. Raut wajahnya tidak dapat kubaca karena ia sedingin es. Entah ia sedang bahagia atau marah—namun ekspresinya lebih mengarah pada pilihan yang kedua. Ia memakai kemeja tanpa kerah berwarna hitam—untuk menghormati kematian sang Ayah—serta celana selutut yang menggantung indah di pinggangnya, ditambah sepatu bot sebagai pelengkapnya. Sempurna seperti biasanya. Langkahannya terhenti sebelum ia dapat mengambil dua langkah lagi untuk mencapaiku. Ia menjaga jarak, kali ini. Kuambil 3 langkah untuk dapat sampai padanya lalu aku memeluknya. Seluruh tubuhku yang bersentuhan dengan tubuhnya merasakan ketegangan otot yang mulai melemas begitu pelukan ini kuperlama. Ia balas memelukku lebih erat, lebih intens dan lebih nyaman.
            “Oh, Eleanor. Selalu berani,” bisiknya. Kurasakan senyuman yang tak dapat kulihat itu namun deru nafasnya mengembus tenang di atas kepalaku, menandakan ia lebih santai sekarang. Kutarik diriku dari pelukannya lalu tertahan begitu saja karena kedua tangannya menahan siku-sikuku agar aku tetap berada di tempat. Mataku mencari-cari matanya yang tidak fokus sehingga aku terpaksa mengangkat tanganku untuk menahan kepalanya diam. Ia terengah.
            “Ada apa, Sayang?” Tanyaku lembut. Tatapan kami terkunci begitu saja. Mata birunya bahkan mengalahkan keindahan batu safir, birunya lautan dan indahnya langit. Matanya terpejam, melenyapkan pemandangan indah itu.
            “Aku akan memberitahu besok pada keluargaku,” ucapnya mengedip satu kali. Mengatakan apa? Jantungku tiba-tiba berdetak lebih cepat dari biasanya, seolah-olah akan merobek dadaku lalu jatuh ke tanah dan berhenti. Melihat kebingunganku, ia menambahkan, “pernikahan kita.”
            Aku tersentak. “Tidak! Kau tidak akan memberitahu pada mereka besok, Miguel. Apa kau gila? Aku belum siap dengan hinaan dari keluargamu. Belum. Bagaimana jika mereka tidak setuju? Bagaimana bila Abigail akan membunuhku di tempat? Bagaimana bila seluruh Cardwell tidak setuju deng—“ Sebuah ciuman singkat menutup mulutku. Tiap kali aku akan mengatakan sesuatu, pangeran Miguel mengecupnya seolah-olah itu adalah nafasnya. Lalu ia berhenti dan mengangkat tangan agar aku tak membantahnya.
            “Aku akan memberitahu mereka dan tidak akan ada gerakan anarkis dari siapa pun, termasuk Abigail. Jangan takut, gadis manisku. Semuanya akan baik-baik saja selama kau bersama. Sekarang, bagaimana perasaanmu sejak jatuh dari Blance?”
            “Jangan mengalihkan pembicaraan, Justin Miguel Thaddeus. Aku tidak akan tidur denganmu jika kau memberitahu mereka besok, aku bersumpah.” Aku mendengus kesal saat pangeran Miguel menyeringai mengejekku. Apa yang lucu?
            “Yah, maka dari itu aku akan memberitahu mereka besok, Sayangku. Aku tidak ingin terperangkap dalam permainan sembunyi-sembunyi seperti ini. Memberitahu mereka besok merupakan tiketku untuk mencintaimu dimana pun dan hubungan intim merupakan tambahan dari pernikahan itu. Jadi, jika dipertimbangkan, tidak tidur denganmu selama 3 minggu ke depan akan setimpal dengan hasilnya setelah menikah denganmu. Bagaimana?”
            “Wah, selalu mengendalikan orang seperti biasanya,” ucapku sarkastis. “Aku tak main-main atas ucapanku, Miguel. Jika kau memberitahu mereka, aku tidak akan tidur denganmu,” ucapku tegas lalu menarik diri dari pangeran Miguel. Aku melangkah melewatinya untuk masuk ke dalam istana sambil mendengus kesal. Dasar bajingan Thaddeus!

***

            Abigail tidak begitu bisa menerima kenyataan yang ada. Ia terlalu sibuk berkutat di dalam kamar dan meratapi kematian Ayahnya seperti kehilangan jiwa. Tiap kali aku mencoba membujuknya memakan makanan yang kubawa, ia selalu mengusirku pergi dengan jeritan yang memang sanggup membuatku pergi dari kamarnya. Namun bila pangeran Miguel yang membujuknya makan, ia memakan makanannya meski tak habis. Pangeran Miguel begitu lembut pada Abigail saat kuperhatikan keduanya di dalam kamar tiap kali pangeran Miguel memberinya makan. Sulit untuk cemburu melihat bagaimana pangeran Miguel memilih kata-kata dengan hati-hati atau saat ia berusaha menggoda adiknya agar tidak menangis lagi. Untunglah, Abigail akhirnya bisa keluar dari kamarnya—walau hanya untuk makan malam saja—sejak 3 hari yang lalu. Seperti sekarang, makan malam bersama yang ke empat bagi Abigail. Ia lebih mudah tersenyum tiap kali kedua adik bungsunya membuat lelucon.
            Bersama dengan pelayan yang lain, aku berdiri di barisan yang sama seperti hari-hari sebelumnya. Namun entah mengapa, jari-jariku dari tadi terjalin gugup merasakan sesuatu yang aku bahkan tak tahu apa yang melanda diriku. Keningku mengeluarkan keringat lebih banyak padahal ruangan di sini tidak panas sehingga aku harus mengelapnya berkali-kali. Tidak mungkin pangeran Miguel akan memberitahu keluarganya hari ini! Mataku sesekali mencuri-curi pandang pada pangeran Miguel yang duduk di kursi yang biasanya raja Cardwell pakai. Ia duduk bersandar di kursi yang sandarannya tinggi itu sambil matanya menatap Ibu atau adik-adiknya seperti elang. Ia mengamati percakapan tak biasa itu namun aku bisa melihat bagaimana ia tidak menikmati omong kosong yang keluar dari mulut adik-adiknya. Terutama rasa ketidaksukaannya dalam percakapan itu semakin tampak tiap kali Geoffrey ikut berbicara. Apa masalah pangeran Miguel dengan adiknya? Sungguh ia harus dewasa.
            Mereka sedang membicarakan tentang perkembangan perekonomian di Cardwell sejak Ayah mereka meninggal. Pangeran Miguel tidak mengambil alih percakapan, ia hanya mendengarkan. Dan aku sangat yakin ia tidak begitu memerhatikannya karena sedari tadi ia meneguk anggur lebih sering dibanding yang lain. Kemudian ia mengembus nafas berat yang ternyata berhasil menarik perhatian dari adik-adiknya. Geoffrey sedang berbicara namun semua orang di meja sudah tak mendengarkan lagi hanya karena pangeran Miguel mengembus nafas berat.
            “Ada yang ingin kaukatakan, Anakku?” Tanya Margaret yang duduk di sisi sebelah kanan pangeran Miguel. Tangannya menyentuh punggung tangan pangeran Miguel lalu mengelusnya lembut, seperti Ibu pada umumnya. Pangeran Miguel menegakkan cara duduknya kemudian ia berdeham. Dengusan dari Geoffrey sepertinya tidak begitu dipedulikan oleh yang lain, namun aku peduli. Entah mengapa Geoffrey seperti tak dihargai dalam keluarga itu. Hal ini mengingatkan padaku bagaimana keluargaku bersikap tiap kali orang berbicara. Bahkan saat makan malam, kami terbuka satu sama lain dan menaruh perhatian penuh sehingga tak satu pun anggota keluarga Hughes merasa terabaikan. Aku merindukan mereka.
            “…tidak apa-apa,” suara Geoffrey mengembalikanku dari lamunan. Pangeran Miguel mengangguk satu kali lalu gigi-gigi putihnya tampak saat kedua sudut bibirnya tertarik. Oh, kurasa ada berita yang menggembirakan malam ini. Saat kuperhatikan pelayan lain, mereka juga tersenyum memerhatikan pangeran Miguel. Ya, aku tidak bisa menyalahkan keahlian pangeran Miguel yang senyumnya dapat menular secepat kilat.
            Kepalaku menoleh kembali pada pangeran Miguel yang sekarang ternyata sudah berdiri. Kemudian ia menoleh padaku hingga tanpa dapat kutahan, aku mundur satu langkah dari tempatku berdiri, ketakutan. Mataku terkunci pada tatapannya seperti mengatakan sesuatu. Ia keluar dari meja makan lalu melangkah anggun ke arahku. Aku berkata padanya tanpa suara, “apa yang kaulakukan?” Namun ia tidak mengindahkan peringatanku itu. Ia meraih tanganku sebelum aku bisa menariknya. Sungguh sial. Apa ia sedang berusaha mempermalukan di depan orang-orang di ruang makan? Aku terkesiap saat pangeran Miguel menundukkan kepalanya berbisik padaku.
            “Semuanya akan baik-baik saja, Sayang,” bisiknya menjanjikan. Aku mengangguk, refleks. Seluruh yang berada di ruangan ini tiba-tiba menegang namun aku dapat merasakan tatapan ingin membunuh dari Abigail di balik meja makan itu. Di kedua tangannya terdapat garpu dan pisau, dan demi Cardwell, aku sangat yakin ia bisa membunuhku dengan salah satu alat itu. Tangan pangeran Miguel menyusup di pinggangku lalu menarikku agar lebih dekat lalu ia meremas pinggangku sampai-sampai aku dapat merasakan seluruh tubuhku merona akibat sentuhannya yang terlalu intim.
            “Apa itu Justin?” Tanya Abigail sepertinya tak sabaran karena tak satu pun kata keluar dari mulut pangeran Miguel. “Apa yang ingin kaukatakan? Apa kau ingin memecat Eleanor? Atau kau akan—“
            “Aku akan menikahi Eleanor dua minggu setelah aku dinobatkan menjadi raja.” Pangeran Miguel memotong ucapan Abigail selancar ia menusuk pedang pada seseorang. Jika pangeran Miguel tidak menahan pinggangku, mungkin sekarang aku sudah jatuh ditempat karena lututku sudah lemas. Suara tarikan nafas tajam terdengar dari segala sudut ruangan, terutama kebencian yang terlalu tampak di wajah Abigail. Wanita muda itu seketika berdiri—hampir membuat kursinya terjatuh—lalu menarik nafas panjang.
            “Aku keberatan,” adalah kalimat pertama yang muncul dari permintaan pangeran Miguel untuk menikahiku. Awal yang sangat bagus, seperti dugaanku. “Bagaimana bisa kau menikah bahkan saat kita masih dalam keadaan berkabung? Kau gila atau apa?”
            “Abigail dengarkan aku,” ucap pangeran Miguel luar biasa tenang. Aku kagum akan sikap tenangnya yang terkendali. Wajah Abigail dipenuhi dengan warna merah padam dan bibirnya cemberut tak suka. Tentu saja kita berdua tidak akan menjadi kakak-adik ipar yang baik. Abigail tidak akan menyukai gagasan kakaknya telah dimiliki oleh seorang pelayannya sendiri. Dan tidak akan pernah menyukainya. Mataku tertuju pada Margaret yang masih duduk tenang di kursinya sambil memerhatikan pangeran Miguel penuh minat, lalu beralih padaku. Sebuah senyuman tulus tampak di wajahnya, menandakan ia tidak semarah Abigail. Aku tidak akan tertipu oleh wajah tenang dari keluarga Thaddeus yang terkenal itu, padahal mereka akan membuat suatu hal yang tak terduga. Membunuh, misalnya.
            Semua orang tertuju pada pangeran Miguel begitu ia berbicara. “Aku akan menikahi Eleanor, baik kalian setuju atau tidak. Dan demi Tuhan, aku tidak akan menarik kembali ucapanku. Aku ingin pernikahanku diselenggarakan seminggu setelah penobatanku sebagai raja. Bukankah itu yang kalian mau selama ini? Menikah?”
            “Aku tidak!” tukas Abigail cepat. “Sikapmu benar-benar tidak menghargai masa perkabungan keluarga kerajaan, Justin. Ini tidak dapat diterima. Aku—“
            “Abigail, pergilah ke kamarmu sekarang.” Suara memerintah dari Margaret terdengar oleh semua orang di ruangan ini. Abigail menatap Ibunya dengan kedua mata membulat tak percaya. Ibunya sendiri mengusirnya, aku—semua orang—sadar akan hal itu. Abigail menoleh padaku dan pangeran Miguel lalu menjerit sampai matanya terpejam. Aku menarik nafas tajam mendengarnya frustrasi. Haruskah aku meminta maaf padanya? Tetapi meminta maaf atas apa? Aku ragu dan takut. Sebuah elus lembut di pinggangku secara ajaib menenangkan, seketika aku mendongak menatap pangeran Miguel yang tinggi menjulang. Kepalaku menunduk sehingga beberapa rambutnya jatuh di keningnya, memberi kesan maskulin berlebih.
            “Mengapa kau mengatakannya sekarang?”
            “Aku sudah memberitahumu kemarin.” Kepalanya mendongak sedetik kemudian. Aku terdiam sesaat lalu menegakkan kepalaku, berusaha mencerna apa yang sebenarnya sedang terjadi. Seorang pangeran baru saja mengatakan pada keluarganya bahwa ia akan menikahi seorang pelayan. Wah, berita yang akan menggemparkan seluruh penduduk negeri sepertinya. Margaret melangkah mendekati kami, sambil kedua tangannya terulur padaku. Sepasang mata cokelat menatapku hangat lalu ia tersenyum manis padaku. Tuhan, aku tidak tahu apa yang harus kukatakan atau kulakukan pada reaksinya yang tak kuduga. Lalu sentuhan hangat di kedua pundakku berhasil menenangkanku, seolah-olah beban di atas pundakku hilang begitu saja.
            “Selamat datang di keluarga Thaddeus, Eleanor. Aku.. aku tidak bisa tidak mengatakan bahwa aku sangat setuju dengan perjodohan ini! Kalian pasangan yang benar-benar serasi. Aku dapat merasakan udara yang berbeda tiap kali kalian berdua dalam ruangan yang sama, sesuatu yang begitu membahagiakan. Sejak awal aku sudah menduga Miguel akan jatuh hati padamu, Eleanor. Dengan pengorbananmu untuk adik kecilmu? Miguel tidak akan membiarkanmu begitu saja. Dan terutama,”—Margaret melirik Justin dengan tatapan menggoda—“Miguel selalu menyebutkan namamu dalam percakapan kami—“
            “Ibu, sudahlah. Kau akan membuatnya takut,” tukas pangeran Miguel menggoda  yang Ibunya. Mau tak mau, aku terkekeh. “Itu berarti aku mendapat restu?” Pertanyaan yang meluncur dari mulut pangeran Miguel membuat Ibunya menatapnya dengan tatapan tak percaya.
            “Mari kita buat pesta pernikahan paling megah di seluruh Cardwell!” Seru Margaret tidak seperti ratu yang kukenal sebelumnya. Ia sangat terbuka.

***

            Ingin aku membuang diriku ke tengah laut dan membiarkan ombaknya menelanku agar aku hilang. Entah mengapa sedari tadi aku ingin mual namun aku tidak yakin apa penyebabnya. Kedua tanganku memeluk pinggang dan berjalan mondar-mandir di dalam kamar baruku dengan perasaan resah tak terkendali. Terkutuk kau pangeran Miguel! Semua ini rasanya salah, jika diihat dari sudut pandang Abigail. Aku dapat merasakan kebenciannya padaku, sepertinya mendarah daging, bahkan menembus tulang-tulangnya, menyerapnya seolah-olah itu bagian dari dirinya yang akan terpancar tiap kali ia bertemu denganku nanti. Aku memakai pakaian yang diberikan ratu untuk menghormati kematian sang raja, seperti yang dipakai ratu dan Abigail. Kulirik cincin yang melingkar di jari manisku, tanda aku telah dimiliki sepenuhnya oleh pangeran Miguel. Pertunangan singkat malam ini sepertinya berhasil membuat sorak-sorai kesenangan di istana terdengar sampai keluar. Seluruh penghuni istana sedang menikmati anggur yang disediakan oleh para pelayan, sekedar untuk merayakan pertunanganku dengan pangeran Miguel.
            Anehnya, tak satu pun dari mereka berani menghina hubunganku dan pangeran Miguel. Ataukah selama ini mereka telah tahu? Tidak, tidak, tidak. Aku tidak akan merasa tenang bila belum mendengar sepatah kata dari pangeran Miguel mengenai adiknya yang belum menerimaku sebagai anggota keluarga baru Thaddeus. Eleanor Thaddeus. Seketika aku merindukan keluargaku di desa. Mereka seharusnya berada di istana merayakan pertunanganku dengan sang pangeran. Berita ini akan tersebar di seluruh Cardwell dalam jangka waktu singkat, bahkan tidak memakan waktu satu hari. Jika berita ini sampai di telinga keluargaku, orang pertama yang tidak memercayainya adalah Isabel. Ia selalu yakin aku akan menjadi perawan tua karena tanggungjawabku pada adik-adikku yang masih kecil.
            Pintu kamarku tiba-tiba terbuka, membuatku terperanjat di tempat. Pangeran Miguel muncul dengan keadaan tenang seperti biasa. Aku mendesah khawatir saat kulihat luka di sepanjang pergelangan tangan, siapa yang berani melakukan ini padanya? Melihat raut wajahku, pangeran Miguel mengangkat tangan agar aku tak mendekat. Justru ia berjalan ke arahku dan menarik kedua siku-siku agar tubuh kami bersentuhan.
            “Abigail mencakarku saat aku baru saja masuk ke kamarnya. Ia tampak... marah, tentu saja. Aku sudah menduganya—“
            “Kita sudah menduganya!”
            “—ya, kita sudah menduganya. Tetapi percakapanku dengannya berjalan dengan baik setelah ia mencakarku. Ia tidak mengatakan apa-apa atas penjelasanku selain mengusirku dari kamarnya. Yah, kesimpulannya, semuanya akan baik-baik saja. Abigail tidak akan melakukan hal gila, aku sudah mengenalnya sejak ia lahir. Jadi, tidak perlu ada yang harus khawatirkan, Sayangku,” jelas pangeran Miguel mengangkat tangannya ke pipiku lalu jari-jarinya menarik sejumput rambut dan menyelipkannya ke belakang telingaku. Sentuhannya begitu lembut memabukkan, bagaimana bisa seorang yang tampak kasar seperti pangeran Miguel dapat menyentuhku begitu lembut—seperti mengelus kelopak bunga?
            “Apa kau sudah mempertimbangkan semuanya, pangeran Miguel?”
            “Tentu saja, Cintaku. Kurasa kau perlu memakai tameng selama upacara pernikahan berlangsung. Karena aku sedikit khawatir Abigail akan menusukmu dengan tombak,”
            “Seolah-olah Abigail berani mengambil tombak dari ruang penyimpanan. Aku tidak sebodoh itu, Justin Miguel Thaddeus,” ucapku mengulurkan kedua tanganku lalu melingkarkannya di sekitar lehernya. Jari-jariku memainkan rambutnya yang lembut sambil memikirkan apa yang harus kukatakan pada Abigail di kemudian hari. “Apakah kau akan mengirim keluargaku ke sini?”
            “Mereka sedang berada dalam perjalanan. Dapat kupastikan mereka tiba di istana besok pagi. Kau harus bersiap-siap—“ Aku menutup mulutnya dengan mulutku. Kegembiraanku tak dapat kukatakan begitu ia mengucapkan kalimat pertama. Aku meremas rambutnya dengan lembut hingga kudengar ia mengerang, oh Tuhan, pangeran Miguel terlalu menggiurkan. Aku membuka mulutku menerima serangan lidahnya yang lembut. Ciumannya begitu dalam dan panas, ia pencium ulung. Kedua tangannya menahan tubuhku begitu protektif dan serakah. Lalu aku menyingkirkan wajahku darinya karena aku tak yakin dapat bernafas jika kulanjutkan beberapa detik lagi. Kusandarkan pipiku di dadanya dengan nafas terengah-engah, jantungnya berdetak kencang.
            “Berarti mereka sudah tahu,” ucapku memejamkan mata, menikmati elus tangannya punggungku. “Kau memang pria licik, pangeran Miguel,”
            Dadanya bergetar karena tawanya, lalu aku mendongak, membuka mata. Sepasang mata biru jernih—sejernih mata air di pegunungan—menatapku… tatapan memuja, menginginkan, dan menggoda. “Tidak pernah ragu menghina seorang pangeran,”
            “Jadi, seharusnya aku takut sekarang?” Tanyaku mengerling padanya. Kedua alisnya terangkat terkejut.
            “Kau mengerling padaku, untuk pertama kalinya,” ucapnya tercengang. Baiklah, aku tidak akan melakukannya lagi. “Dasar wanita penggoda, kemari kau!” Serunya membopongku di bahunya. Aku tidak memukul punggungnya atau apa pun karena seluruh darah mulai turun ke kepalaku hingga membuatku sedikit pusing.
            “Oh Tuhan. Pangeran Miguel, aku sudah bersumpah tidak akan tidur denganmu. Turunkan aku sebelum aku menjerit!” Kataku setengah berteriak. Pangeran Miguel menjatuhkanku dengan lembut ke atas tempat tidur sehingga tubuhku telentang di hadapannya. Ia melayang di atas tubuhku seperti tidak berani menindih tubuhku sepenuhnya, takut aku hancur sepertinya. Ia begitu kuat, perkasa dan… oh Tuhan, aku tak yakin kata-kata itu benar-benar menggambarkan dirinya. Dirinya terlalu sulit dijelaskan atau dibandingkan. Seharusnya ia menjadi malaikat, bukan manusia.
            Aku mendorong dadanya agar menyingkir dari atas tubuhku dan—terima kasih Tuhan—ia menurut. Ia duduk di samping sambil matanya memerhatikan gerak-gerikku. Kulirik luka di pergelangan tangannya lalu meraih tangannya agar dapat kuamati lebih dekat.
            “Kau mau yang mana? Kuberi jilatan anjing di lukamu atau kuberi salep dan kuperban?”
            “Apa ada kecupan tambahan bila aku memilih yang kedua?” Tanya pangeran Miguel menggoda. Aku tak dapat menahan seringaiku lalu mengangguk satu kali. “Maka aku memilih yang kedua. Jilatan anjing kedengaran menggoda, tetapi kecupanmu sepertinya tidak ada tandingannya.”
            “Yah, jilatan anjing jelas lebih efektif dibanding salep, menurutku.” Aku mengedik bahu lalu terdiam sesaat mengingat bagaimana anjing pertama dan terakhirku menjilat lukaku sewaktu aku masih 5 tahun. Anjing itu ditemukan berkeliaran di sekitar rumah, tersesat dan menangis saat aku menemukannya—saat itu aku berumur 3 tahun. Caber, begitu aku memanggilnya. Anjing jantan berbulu cokelat keemasan dan telinga turun. Ia begitu kurus sehingga selama dua tahun mengurusnya, aku membagi makananku dengannya. Awalnya Ibu melarangku memelihara anjing namun aku memaksanya dan berjanji akan merawat Caber seperti aku merawat Isabel.  
            Saat itu aku jatuh dari kuda pertamaku—bersama Ayah dan Caber—dan lututku terluka. Caber dengan cepat berlari ke arahku dan menjilat lukaku meski aku meringis kesakitan. Ayah bilang jilatan anjing biasanya berhasil membuat luka cepat kering, namun harus tetap diberi salep agar tak berbekas. Dan yah, Caber tidak dapat bertahan lama. Diumurku yang ke enam tahun, Caber mati. Ayah tak pernah ingin menjelaskan apa penyebab Caber mati sampai sekarang, dan aku masih penasaran.
            Suara dehaman mengembalikanku ke dunia. Pangeran Miguel sudah berpindah posisi bersandar di tempat tidur dengan sebuah baskom aluminium berisi air dan kain yang sudah tercelup di dalamnya, perban, dan salep di sampingnya. Sepertinya pelayan dan pangeran Miguel berhasil bergerak seperti hantu, tanpa suara dan tak kusadari. Tak ingin bertanya apa pun padanya, aku mengambil kain di dalam air lalu memerasnya. Aku mengobatinya hati-hati meski sesekali pangeran Miguel berdeham, ingin mencuri perhatianku.
            “Aku tak sabar bertemu dengan keluargamu besok,” katanya angkat suara.
            “Benarkah? Aku merindukan mereka seperti aku merindukan pelukanmu, Miguel,” ucapku melingkarkan perban di sekitar lukanya. Setelah selesai mengobatinya, aku merapikan barang-barang itu ke atas lemari kecil di sebelah tempat tidur. Kamar ini dibuat serapi dan seelegan mungkin. Karpet merah sebagai lapisan lantai, tempat tidur besar menghadap langsung pada dua jendela yang terukir rumit. Kursi empuk di depan ranjang dan lemari besar di samping jendela. Aku merapikan rok hitamku lalu menempatkan kedua tanganku di atas pangkuan, tak melirik pangeran Miguel sekalipun.
            “Kau tahu kau bisa memelukku setiap saat bukan?” Tanya pangeran Miguel meraih daguku sehingga aku menoleh menatapnya.
            “Ya,” bisikku terpana. “Aku merindukan Lucas, ia satu-satunya adik laki-lakiku. Dan begitu menggemaskan tiap kali ia memakan kue dan remah-remah kue akan menempel di pakaiannya. Ia selalu mengelus rambutku tiap kali aku menggendongnya, ia bilang rambutku cantik.” Pangeran Miguel mencondongkan tubuhnya ke arahku lalu menarik pinggangku seperti aku mainan anak-anak yang mudah diangkat. Ia menempatkanku di sebelahnya, menyandarkan kepalaku di atas dadanya. Tangannya tak lepas dari pinggangku, ia merangkulnya seperti sangat membutuhkannya.
            “Ya, dia hebat memuji wanita. Kurasa ia akan menjadi playboy ulung di seluruh Cardwell. Aku tak ragu akan hal itu. Ia punya karisma tersendiri, aku masih ingat wajah mungilnya saat pertama kali melihatnya.” Sebuah pukulan halus kulemparkan di dadanya, membuat ia tertawa tersedak. Aku ikut tertawa mendengar tawanya yang menular. Merupakan peristiwa langka melihat pangeran Miguel tertawa bebas.
            “Dia tidak akan memainkan hati wanita!” Ia kemudian memelukku erat. Nafas kami saling bersahut-sahutan, keheningan mulai melingkupi kami. Kemudian ia mengelus rambutku.
            “Oh, Eleanor, apa yang harus kulakukan padamu?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar