CHAPTER ELEVEN – ANNOUNCEMENT
ELEANOR HUGHES
2
minggu setelah—mantan—raja Cardwell dimakamkan merupakan masa-masa tersulit
bagi keluarga Thaddeus—kecuali Miguel, tentu saja. Mereka dilarang memakai
pakaian berwarna lain kecuali hitam atau pun perhiasan lain untuk menghormati
mendiang raja Cardwell selama 3 minggu ke depan, bertepatan dengan hari
penobatan pangeran Miguel menjadi raja. Hubunganku dengan pangeran Miguel
baik-baik saja sejauh ini, meski masih sembunyi-sembunyi, namun entah mengapa
aku tidak bisa tidak ikut tersenyum melihat kebahagiaan Miguel yang sangat
jelas terpancar tiap kali ia menggodaku atau tertawa. Ia terlalu memukau untuk
ditolak. Tidak akan ada yang percaya padanya bahwa ia memiliki hubungan dengan
seorang pelayan kecuali dengan membuktikannya. Dan selama 2 minggu terakhir
ini, pangeran Miguel bertingkah seperti orang yang memiliki dua kepribadian. Ia
bebas tersenyum dan tertawa tiap kali kami bersama, namun ia akan sedingin es
begitu ia berbicara dengan orang lain—kecuali pada keluarganya.
Menunggunya
di taman belakang merupakan penyiksaan halus. Aku berjalan mondar-mandir tak
keruan memikirkan apa yang ingin pangeran Miguel katakan. Kemarin malam kami
bertengkar masalah kecil karena aku jatuh dari Blance saat Blance melihat
binatang yang ditakutinya, tikus. Ya, aku tahu Blance akan hilang kendali saat
ia melihat tikus sampai kedua kaki depannya melayang di udara dan aku
kehilangan keseimbangan dan jatuh. Aku bahkan tak tahu kalau di bukit itu
terdapat tikus, cukup membingungkan dan mengejutkanku juga. Dan yah, pangeran
Miguel ada di belakangku menunggangi kudanya juga. Ia panik sampai garis-garis
hijau kebiruan muncul bersama dengan keringat di keningnya. Ia memarahiku
karena tidak memberitahu Blance memiliki ketakutan lalu membawaku pulang dengan
hati-hati, seolah-olah aku barang pecah belah.
Aku
tidak begitu suka dengan sikapnya yang berlebihan. Karena demi Tuhan, kemarin
aku tidak apa-apa dan tidak ada luka apa pun selain rok yang kotor. Malamnya
aku tidak bisa tidur karena pangeran Miguel tidak ingin mendengar alasanku dan
bersikap dingin sepanjang hari ini. Lalu tiba-tiba saja ia ingin berbicara
denganku di taman belakang dengan nada kasar. Yah, tidak banyak yang bisa
kulakukan selain mengikuti perintahnya. Jadi, di sinilah aku menunggunya.
Sosoknya
muncul dari balik pintu besar lalu berjalan dengan anggun ke arahku. Raut
wajahnya tidak dapat kubaca karena ia sedingin es. Entah ia sedang bahagia atau
marah—namun ekspresinya lebih mengarah pada pilihan yang kedua. Ia memakai
kemeja tanpa kerah berwarna hitam—untuk menghormati kematian sang Ayah—serta
celana selutut yang menggantung indah di pinggangnya, ditambah sepatu bot
sebagai pelengkapnya. Sempurna seperti biasanya. Langkahannya terhenti sebelum
ia dapat mengambil dua langkah lagi untuk mencapaiku. Ia menjaga jarak, kali
ini. Kuambil 3 langkah untuk dapat sampai padanya lalu aku memeluknya. Seluruh
tubuhku yang bersentuhan dengan tubuhnya merasakan ketegangan otot yang mulai
melemas begitu pelukan ini kuperlama. Ia balas memelukku lebih erat, lebih
intens dan lebih nyaman.
“Oh,
Eleanor. Selalu berani,” bisiknya. Kurasakan senyuman yang tak dapat kulihat
itu namun deru nafasnya mengembus tenang di atas kepalaku, menandakan ia lebih
santai sekarang. Kutarik diriku dari pelukannya lalu tertahan begitu saja karena
kedua tangannya menahan siku-sikuku agar aku tetap berada di tempat. Mataku
mencari-cari matanya yang tidak fokus sehingga aku terpaksa mengangkat tanganku
untuk menahan kepalanya diam. Ia terengah.
“Ada
apa, Sayang?” Tanyaku lembut. Tatapan kami terkunci begitu saja. Mata birunya
bahkan mengalahkan keindahan batu safir, birunya lautan dan indahnya langit. Matanya
terpejam, melenyapkan pemandangan indah itu.
“Aku
akan memberitahu besok pada keluargaku,” ucapnya mengedip satu kali. Mengatakan
apa? Jantungku tiba-tiba berdetak lebih cepat dari biasanya, seolah-olah akan
merobek dadaku lalu jatuh ke tanah dan berhenti. Melihat kebingunganku, ia
menambahkan, “pernikahan kita.”
Aku
tersentak. “Tidak! Kau tidak akan memberitahu pada mereka besok, Miguel. Apa
kau gila? Aku belum siap dengan hinaan dari keluargamu. Belum. Bagaimana jika mereka tidak setuju? Bagaimana bila Abigail
akan membunuhku di tempat? Bagaimana bila seluruh Cardwell tidak setuju deng—“
Sebuah ciuman singkat menutup mulutku. Tiap kali aku akan mengatakan sesuatu,
pangeran Miguel mengecupnya seolah-olah itu adalah nafasnya. Lalu ia berhenti
dan mengangkat tangan agar aku tak membantahnya.
“Aku
akan memberitahu mereka dan tidak akan ada gerakan anarkis dari siapa pun,
termasuk Abigail. Jangan takut, gadis manisku. Semuanya akan baik-baik saja
selama kau bersama. Sekarang, bagaimana perasaanmu sejak jatuh dari Blance?”
“Jangan
mengalihkan pembicaraan, Justin Miguel Thaddeus. Aku tidak akan tidur denganmu
jika kau memberitahu mereka besok, aku bersumpah.” Aku mendengus kesal saat
pangeran Miguel menyeringai mengejekku. Apa yang lucu?
“Yah,
maka dari itu aku akan memberitahu mereka besok, Sayangku. Aku tidak ingin
terperangkap dalam permainan sembunyi-sembunyi seperti ini. Memberitahu mereka besok
merupakan tiketku untuk mencintaimu dimana pun dan hubungan intim merupakan
tambahan dari pernikahan itu. Jadi, jika dipertimbangkan, tidak tidur denganmu
selama 3 minggu ke depan akan setimpal dengan hasilnya setelah menikah denganmu.
Bagaimana?”
“Wah,
selalu mengendalikan orang seperti biasanya,” ucapku sarkastis. “Aku tak
main-main atas ucapanku, Miguel. Jika kau memberitahu mereka, aku tidak akan
tidur denganmu,” ucapku tegas lalu menarik diri dari pangeran Miguel. Aku
melangkah melewatinya untuk masuk ke dalam istana sambil mendengus kesal. Dasar
bajingan Thaddeus!
***
Abigail
tidak begitu bisa menerima kenyataan yang ada. Ia terlalu sibuk berkutat di
dalam kamar dan meratapi kematian Ayahnya seperti kehilangan jiwa. Tiap kali
aku mencoba membujuknya memakan makanan yang kubawa, ia selalu mengusirku pergi
dengan jeritan yang memang sanggup membuatku pergi dari kamarnya. Namun bila
pangeran Miguel yang membujuknya makan, ia memakan makanannya meski tak habis.
Pangeran Miguel begitu lembut pada Abigail saat kuperhatikan keduanya di dalam
kamar tiap kali pangeran Miguel memberinya makan. Sulit untuk cemburu melihat
bagaimana pangeran Miguel memilih kata-kata dengan hati-hati atau saat ia
berusaha menggoda adiknya agar tidak menangis lagi. Untunglah, Abigail akhirnya
bisa keluar dari kamarnya—walau hanya untuk makan malam saja—sejak 3 hari yang
lalu. Seperti sekarang, makan malam bersama yang ke empat bagi Abigail. Ia
lebih mudah tersenyum tiap kali kedua adik bungsunya membuat lelucon.
Bersama
dengan pelayan yang lain, aku berdiri di barisan yang sama seperti hari-hari
sebelumnya. Namun entah mengapa, jari-jariku dari tadi terjalin gugup merasakan
sesuatu yang aku bahkan tak tahu apa yang melanda diriku. Keningku mengeluarkan
keringat lebih banyak padahal ruangan di sini tidak panas sehingga aku harus
mengelapnya berkali-kali. Tidak mungkin pangeran Miguel akan memberitahu
keluarganya hari ini! Mataku sesekali mencuri-curi pandang pada pangeran Miguel
yang duduk di kursi yang biasanya raja Cardwell pakai. Ia duduk bersandar di
kursi yang sandarannya tinggi itu sambil matanya menatap Ibu atau adik-adiknya
seperti elang. Ia mengamati percakapan tak biasa itu namun aku bisa melihat
bagaimana ia tidak menikmati omong kosong yang keluar dari mulut adik-adiknya.
Terutama rasa ketidaksukaannya dalam percakapan itu semakin tampak tiap kali
Geoffrey ikut berbicara. Apa masalah pangeran Miguel dengan adiknya? Sungguh ia
harus dewasa.
Mereka
sedang membicarakan tentang perkembangan perekonomian di Cardwell sejak Ayah
mereka meninggal. Pangeran Miguel tidak mengambil alih percakapan, ia hanya
mendengarkan. Dan aku sangat yakin ia tidak begitu memerhatikannya karena
sedari tadi ia meneguk anggur lebih sering dibanding yang lain. Kemudian ia
mengembus nafas berat yang ternyata berhasil menarik perhatian dari
adik-adiknya. Geoffrey sedang berbicara namun semua orang di meja sudah tak
mendengarkan lagi hanya karena pangeran Miguel mengembus nafas berat.
“Ada
yang ingin kaukatakan, Anakku?” Tanya Margaret yang duduk di sisi sebelah kanan
pangeran Miguel. Tangannya menyentuh punggung tangan pangeran Miguel lalu
mengelusnya lembut, seperti Ibu pada umumnya. Pangeran Miguel menegakkan cara
duduknya kemudian ia berdeham. Dengusan dari Geoffrey sepertinya tidak begitu
dipedulikan oleh yang lain, namun aku peduli. Entah mengapa Geoffrey seperti
tak dihargai dalam keluarga itu. Hal ini mengingatkan padaku bagaimana
keluargaku bersikap tiap kali orang berbicara. Bahkan saat makan malam, kami
terbuka satu sama lain dan menaruh perhatian penuh sehingga tak satu pun
anggota keluarga Hughes merasa terabaikan. Aku merindukan mereka.
“…tidak
apa-apa,” suara Geoffrey mengembalikanku dari lamunan. Pangeran Miguel
mengangguk satu kali lalu gigi-gigi putihnya tampak saat kedua sudut bibirnya
tertarik. Oh, kurasa ada berita yang menggembirakan malam ini. Saat
kuperhatikan pelayan lain, mereka juga tersenyum memerhatikan pangeran Miguel.
Ya, aku tidak bisa menyalahkan keahlian pangeran Miguel yang senyumnya dapat
menular secepat kilat.
Kepalaku
menoleh kembali pada pangeran Miguel yang sekarang ternyata sudah berdiri. Kemudian
ia menoleh padaku hingga tanpa dapat kutahan, aku mundur satu langkah dari
tempatku berdiri, ketakutan. Mataku terkunci pada tatapannya seperti mengatakan
sesuatu. Ia keluar dari meja makan lalu melangkah anggun ke arahku. Aku berkata
padanya tanpa suara, “apa yang kaulakukan?” Namun ia tidak mengindahkan
peringatanku itu. Ia meraih tanganku sebelum aku bisa menariknya. Sungguh sial.
Apa ia sedang berusaha mempermalukan di depan orang-orang di ruang makan? Aku
terkesiap saat pangeran Miguel menundukkan kepalanya berbisik padaku.
“Semuanya
akan baik-baik saja, Sayang,” bisiknya menjanjikan. Aku mengangguk, refleks.
Seluruh yang berada di ruangan ini tiba-tiba menegang namun aku dapat merasakan
tatapan ingin membunuh dari Abigail di balik meja makan itu. Di kedua tangannya
terdapat garpu dan pisau, dan demi Cardwell, aku sangat yakin ia bisa
membunuhku dengan salah satu alat itu. Tangan pangeran Miguel menyusup di pinggangku
lalu menarikku agar lebih dekat lalu ia meremas pinggangku sampai-sampai aku
dapat merasakan seluruh tubuhku merona akibat sentuhannya yang terlalu intim.
“Apa
itu Justin?” Tanya Abigail sepertinya tak sabaran karena tak satu pun kata
keluar dari mulut pangeran Miguel. “Apa yang ingin kaukatakan? Apa kau ingin
memecat Eleanor? Atau kau akan—“
“Aku
akan menikahi Eleanor dua minggu setelah aku dinobatkan menjadi raja.” Pangeran
Miguel memotong ucapan Abigail selancar ia menusuk pedang pada seseorang. Jika
pangeran Miguel tidak menahan pinggangku, mungkin sekarang aku sudah jatuh
ditempat karena lututku sudah lemas. Suara tarikan nafas tajam terdengar dari
segala sudut ruangan, terutama kebencian yang terlalu tampak di wajah Abigail.
Wanita muda itu seketika berdiri—hampir membuat kursinya terjatuh—lalu menarik
nafas panjang.
“Aku
keberatan,” adalah kalimat pertama yang muncul dari permintaan pangeran Miguel
untuk menikahiku. Awal yang sangat bagus, seperti dugaanku. “Bagaimana bisa kau
menikah bahkan saat kita masih dalam keadaan berkabung? Kau gila atau apa?”
“Abigail
dengarkan aku,” ucap pangeran Miguel luar biasa tenang. Aku kagum akan sikap
tenangnya yang terkendali. Wajah Abigail dipenuhi dengan warna merah padam dan
bibirnya cemberut tak suka. Tentu saja kita berdua tidak akan menjadi
kakak-adik ipar yang baik. Abigail tidak akan menyukai gagasan kakaknya telah
dimiliki oleh seorang pelayannya sendiri. Dan tidak akan pernah menyukainya.
Mataku tertuju pada Margaret yang masih duduk tenang di kursinya sambil
memerhatikan pangeran Miguel penuh minat, lalu beralih padaku. Sebuah senyuman
tulus tampak di wajahnya, menandakan ia tidak semarah Abigail. Aku tidak akan tertipu oleh wajah tenang dari
keluarga Thaddeus yang terkenal itu, padahal mereka akan membuat suatu hal yang
tak terduga. Membunuh, misalnya.
Semua
orang tertuju pada pangeran Miguel begitu ia berbicara. “Aku akan menikahi
Eleanor, baik kalian setuju atau tidak. Dan demi Tuhan, aku tidak akan menarik
kembali ucapanku. Aku ingin pernikahanku diselenggarakan seminggu setelah
penobatanku sebagai raja. Bukankah itu yang kalian mau selama ini? Menikah?”
“Aku
tidak!” tukas Abigail cepat. “Sikapmu benar-benar tidak menghargai masa
perkabungan keluarga kerajaan, Justin. Ini tidak dapat diterima. Aku—“
“Abigail,
pergilah ke kamarmu sekarang.” Suara memerintah dari Margaret terdengar oleh
semua orang di ruangan ini. Abigail menatap Ibunya dengan kedua mata membulat
tak percaya. Ibunya sendiri mengusirnya, aku—semua orang—sadar akan hal itu.
Abigail menoleh padaku dan pangeran Miguel lalu menjerit sampai matanya
terpejam. Aku menarik nafas tajam mendengarnya frustrasi. Haruskah aku meminta
maaf padanya? Tetapi meminta maaf atas apa? Aku ragu dan takut. Sebuah elus
lembut di pinggangku secara ajaib menenangkan, seketika aku mendongak menatap
pangeran Miguel yang tinggi menjulang. Kepalaku menunduk sehingga beberapa
rambutnya jatuh di keningnya, memberi kesan maskulin berlebih.
“Mengapa
kau mengatakannya sekarang?”
“Aku
sudah memberitahumu kemarin.” Kepalanya mendongak sedetik kemudian. Aku terdiam
sesaat lalu menegakkan kepalaku, berusaha mencerna apa yang sebenarnya sedang
terjadi. Seorang pangeran baru saja mengatakan pada keluarganya bahwa ia akan
menikahi seorang pelayan. Wah, berita yang akan menggemparkan seluruh penduduk
negeri sepertinya. Margaret melangkah mendekati kami, sambil kedua tangannya
terulur padaku. Sepasang mata cokelat menatapku hangat lalu ia tersenyum manis
padaku. Tuhan, aku tidak tahu apa yang harus kukatakan atau kulakukan pada
reaksinya yang tak kuduga. Lalu sentuhan hangat di kedua pundakku berhasil
menenangkanku, seolah-olah beban di atas pundakku hilang begitu saja.
“Selamat
datang di keluarga Thaddeus, Eleanor. Aku.. aku tidak bisa tidak mengatakan
bahwa aku sangat setuju dengan perjodohan ini! Kalian pasangan yang benar-benar
serasi. Aku dapat merasakan udara yang berbeda tiap kali kalian berdua dalam
ruangan yang sama, sesuatu yang begitu membahagiakan. Sejak awal aku sudah
menduga Miguel akan jatuh hati padamu, Eleanor. Dengan pengorbananmu untuk adik
kecilmu? Miguel tidak akan membiarkanmu begitu saja. Dan terutama,”—Margaret
melirik Justin dengan tatapan menggoda—“Miguel selalu menyebutkan namamu dalam
percakapan kami—“
“Ibu,
sudahlah. Kau akan membuatnya takut,” tukas pangeran Miguel menggoda yang Ibunya. Mau tak mau, aku terkekeh. “Itu
berarti aku mendapat restu?” Pertanyaan yang meluncur dari mulut pangeran
Miguel membuat Ibunya menatapnya dengan tatapan tak percaya.
“Mari
kita buat pesta pernikahan paling megah di seluruh Cardwell!” Seru Margaret
tidak seperti ratu yang kukenal sebelumnya. Ia sangat terbuka.
***
Ingin
aku membuang diriku ke tengah laut dan membiarkan ombaknya menelanku agar aku
hilang. Entah mengapa sedari tadi aku ingin mual namun aku tidak yakin apa
penyebabnya. Kedua tanganku memeluk pinggang dan berjalan mondar-mandir di
dalam kamar baruku dengan perasaan resah tak terkendali. Terkutuk kau pangeran
Miguel! Semua ini rasanya salah, jika diihat dari sudut pandang Abigail. Aku
dapat merasakan kebenciannya padaku, sepertinya mendarah daging, bahkan
menembus tulang-tulangnya, menyerapnya seolah-olah itu bagian dari dirinya yang
akan terpancar tiap kali ia bertemu denganku nanti. Aku memakai pakaian yang
diberikan ratu untuk menghormati kematian sang raja, seperti yang dipakai ratu
dan Abigail. Kulirik cincin yang melingkar di jari manisku, tanda aku telah
dimiliki sepenuhnya oleh pangeran Miguel. Pertunangan singkat malam ini sepertinya
berhasil membuat sorak-sorai kesenangan di istana terdengar sampai keluar.
Seluruh penghuni istana sedang menikmati anggur yang disediakan oleh para
pelayan, sekedar untuk merayakan pertunanganku dengan pangeran Miguel.
Anehnya,
tak satu pun dari mereka berani menghina hubunganku dan pangeran Miguel.
Ataukah selama ini mereka telah tahu? Tidak, tidak, tidak. Aku tidak akan
merasa tenang bila belum mendengar sepatah kata dari pangeran Miguel mengenai
adiknya yang belum menerimaku sebagai anggota keluarga baru Thaddeus. Eleanor
Thaddeus. Seketika aku merindukan keluargaku di desa. Mereka seharusnya berada
di istana merayakan pertunanganku dengan sang pangeran. Berita ini akan
tersebar di seluruh Cardwell dalam jangka waktu singkat, bahkan tidak memakan
waktu satu hari. Jika berita ini sampai di telinga keluargaku, orang pertama
yang tidak memercayainya adalah Isabel. Ia selalu yakin aku akan menjadi
perawan tua karena tanggungjawabku pada adik-adikku yang masih kecil.
Pintu
kamarku tiba-tiba terbuka, membuatku terperanjat di tempat. Pangeran Miguel
muncul dengan keadaan tenang seperti biasa. Aku mendesah khawatir saat kulihat
luka di sepanjang pergelangan tangan, siapa yang berani melakukan ini padanya?
Melihat raut wajahku, pangeran Miguel mengangkat tangan agar aku tak mendekat.
Justru ia berjalan ke arahku dan menarik kedua siku-siku agar tubuh kami
bersentuhan.
“Abigail
mencakarku saat aku baru saja masuk ke kamarnya. Ia tampak... marah, tentu
saja. Aku sudah menduganya—“
“Kita
sudah menduganya!”
“—ya,
kita sudah menduganya. Tetapi
percakapanku dengannya berjalan dengan baik setelah ia mencakarku. Ia tidak
mengatakan apa-apa atas penjelasanku selain mengusirku dari kamarnya. Yah,
kesimpulannya, semuanya akan baik-baik saja. Abigail tidak akan melakukan hal
gila, aku sudah mengenalnya sejak ia lahir. Jadi, tidak perlu ada yang harus
khawatirkan, Sayangku,” jelas pangeran Miguel mengangkat tangannya ke pipiku
lalu jari-jarinya menarik sejumput rambut dan menyelipkannya ke belakang
telingaku. Sentuhannya begitu lembut memabukkan, bagaimana bisa seorang yang
tampak kasar seperti pangeran Miguel dapat menyentuhku begitu lembut—seperti
mengelus kelopak bunga?
“Apa
kau sudah mempertimbangkan semuanya, pangeran Miguel?”
“Tentu
saja, Cintaku. Kurasa kau perlu memakai tameng selama upacara pernikahan
berlangsung. Karena aku sedikit khawatir Abigail akan menusukmu dengan tombak,”
“Seolah-olah
Abigail berani mengambil tombak dari ruang penyimpanan. Aku tidak sebodoh itu,
Justin Miguel Thaddeus,” ucapku mengulurkan kedua tanganku lalu melingkarkannya
di sekitar lehernya. Jari-jariku memainkan rambutnya yang lembut sambil
memikirkan apa yang harus kukatakan pada Abigail di kemudian hari. “Apakah kau
akan mengirim keluargaku ke sini?”
“Mereka
sedang berada dalam perjalanan. Dapat kupastikan mereka tiba di istana besok
pagi. Kau harus bersiap-siap—“ Aku menutup mulutnya dengan mulutku.
Kegembiraanku tak dapat kukatakan begitu ia mengucapkan kalimat pertama. Aku
meremas rambutnya dengan lembut hingga kudengar ia mengerang, oh Tuhan,
pangeran Miguel terlalu menggiurkan. Aku membuka mulutku menerima serangan
lidahnya yang lembut. Ciumannya begitu dalam dan panas, ia pencium ulung. Kedua
tangannya menahan tubuhku begitu protektif dan serakah. Lalu aku menyingkirkan
wajahku darinya karena aku tak yakin dapat bernafas jika kulanjutkan beberapa
detik lagi. Kusandarkan pipiku di dadanya dengan nafas terengah-engah,
jantungnya berdetak kencang.
“Berarti
mereka sudah tahu,” ucapku memejamkan mata, menikmati elus tangannya
punggungku. “Kau memang pria licik, pangeran Miguel,”
Dadanya
bergetar karena tawanya, lalu aku mendongak, membuka mata. Sepasang mata biru
jernih—sejernih mata air di pegunungan—menatapku… tatapan memuja, menginginkan,
dan menggoda. “Tidak pernah ragu menghina seorang pangeran,”
“Jadi,
seharusnya aku takut sekarang?” Tanyaku mengerling padanya. Kedua alisnya
terangkat terkejut.
“Kau
mengerling padaku, untuk pertama kalinya,” ucapnya tercengang. Baiklah, aku
tidak akan melakukannya lagi. “Dasar wanita penggoda, kemari kau!” Serunya
membopongku di bahunya. Aku tidak memukul punggungnya atau apa pun karena
seluruh darah mulai turun ke kepalaku hingga membuatku sedikit pusing.
“Oh
Tuhan. Pangeran Miguel, aku sudah bersumpah tidak akan tidur denganmu. Turunkan
aku sebelum aku menjerit!” Kataku setengah berteriak. Pangeran Miguel
menjatuhkanku dengan lembut ke atas tempat tidur sehingga tubuhku telentang di
hadapannya. Ia melayang di atas tubuhku seperti tidak berani menindih tubuhku
sepenuhnya, takut aku hancur sepertinya. Ia begitu kuat, perkasa dan… oh Tuhan,
aku tak yakin kata-kata itu benar-benar menggambarkan dirinya. Dirinya terlalu
sulit dijelaskan atau dibandingkan. Seharusnya ia menjadi malaikat, bukan
manusia.
Aku
mendorong dadanya agar menyingkir dari atas tubuhku dan—terima kasih Tuhan—ia
menurut. Ia duduk di samping sambil matanya memerhatikan gerak-gerikku. Kulirik
luka di pergelangan tangannya lalu meraih tangannya agar dapat kuamati lebih
dekat.
“Kau
mau yang mana? Kuberi jilatan anjing di lukamu atau kuberi salep dan kuperban?”
“Apa
ada kecupan tambahan bila aku memilih yang kedua?” Tanya pangeran Miguel
menggoda. Aku tak dapat menahan seringaiku lalu mengangguk satu kali. “Maka aku
memilih yang kedua. Jilatan anjing kedengaran menggoda, tetapi kecupanmu
sepertinya tidak ada tandingannya.”
“Yah,
jilatan anjing jelas lebih efektif dibanding salep, menurutku.” Aku mengedik
bahu lalu terdiam sesaat mengingat bagaimana anjing pertama dan terakhirku
menjilat lukaku sewaktu aku masih 5 tahun. Anjing itu ditemukan berkeliaran di
sekitar rumah, tersesat dan menangis saat aku menemukannya—saat itu aku berumur
3 tahun. Caber, begitu aku memanggilnya. Anjing jantan berbulu cokelat keemasan
dan telinga turun. Ia begitu kurus sehingga selama dua tahun mengurusnya, aku
membagi makananku dengannya. Awalnya Ibu melarangku memelihara anjing namun aku
memaksanya dan berjanji akan merawat Caber seperti aku merawat Isabel.
Saat
itu aku jatuh dari kuda pertamaku—bersama Ayah dan Caber—dan lututku terluka.
Caber dengan cepat berlari ke arahku dan menjilat lukaku meski aku meringis
kesakitan. Ayah bilang jilatan anjing biasanya berhasil membuat luka cepat
kering, namun harus tetap diberi salep agar tak berbekas. Dan yah, Caber tidak
dapat bertahan lama. Diumurku yang ke enam tahun, Caber mati. Ayah tak pernah
ingin menjelaskan apa penyebab Caber mati sampai sekarang, dan aku masih
penasaran.
Suara
dehaman mengembalikanku ke dunia. Pangeran Miguel sudah berpindah posisi
bersandar di tempat tidur dengan sebuah baskom aluminium berisi air dan kain
yang sudah tercelup di dalamnya, perban, dan salep di sampingnya. Sepertinya
pelayan dan pangeran Miguel berhasil bergerak seperti hantu, tanpa suara dan
tak kusadari. Tak ingin bertanya apa pun padanya, aku mengambil kain di dalam
air lalu memerasnya. Aku mengobatinya hati-hati meski sesekali pangeran Miguel
berdeham, ingin mencuri perhatianku.
“Aku
tak sabar bertemu dengan keluargamu besok,” katanya angkat suara.
“Benarkah?
Aku merindukan mereka seperti aku merindukan pelukanmu, Miguel,” ucapku
melingkarkan perban di sekitar lukanya. Setelah selesai mengobatinya, aku
merapikan barang-barang itu ke atas lemari kecil di sebelah tempat tidur. Kamar
ini dibuat serapi dan seelegan mungkin. Karpet merah sebagai lapisan lantai,
tempat tidur besar menghadap langsung pada dua jendela yang terukir rumit.
Kursi empuk di depan ranjang dan lemari besar di samping jendela. Aku merapikan
rok hitamku lalu menempatkan kedua tanganku di atas pangkuan, tak melirik
pangeran Miguel sekalipun.
“Kau
tahu kau bisa memelukku setiap saat bukan?” Tanya pangeran Miguel meraih daguku
sehingga aku menoleh menatapnya.
“Ya,”
bisikku terpana. “Aku merindukan Lucas, ia satu-satunya adik laki-lakiku. Dan
begitu menggemaskan tiap kali ia memakan kue dan remah-remah kue akan menempel
di pakaiannya. Ia selalu mengelus rambutku tiap kali aku menggendongnya, ia
bilang rambutku cantik.” Pangeran Miguel mencondongkan tubuhnya ke arahku lalu
menarik pinggangku seperti aku mainan anak-anak yang mudah diangkat. Ia
menempatkanku di sebelahnya, menyandarkan kepalaku di atas dadanya. Tangannya
tak lepas dari pinggangku, ia merangkulnya seperti sangat membutuhkannya.
“Ya,
dia hebat memuji wanita. Kurasa ia akan menjadi playboy ulung di seluruh Cardwell. Aku tak ragu akan hal itu. Ia
punya karisma tersendiri, aku masih ingat wajah mungilnya saat pertama kali
melihatnya.” Sebuah pukulan halus kulemparkan di dadanya, membuat ia tertawa
tersedak. Aku ikut tertawa mendengar tawanya yang menular. Merupakan peristiwa
langka melihat pangeran Miguel tertawa bebas.
“Dia
tidak akan memainkan hati wanita!” Ia kemudian memelukku erat. Nafas kami
saling bersahut-sahutan, keheningan mulai melingkupi kami. Kemudian ia mengelus
rambutku.
“Oh,
Eleanor, apa yang harus kulakukan padamu?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar