CHAPTER TWELVE – MINE
JUSTIN MIGUEL THADDEUS
Dugaanku
tak pernah meleset. Eleanor menjadi milikku seutuhnya, Ayah dan Margery
meninggal, Abigail tidak akan menikah dengan duke yang telah Ayah janjikan, dan
Geoffrey akan kujadikan panglima perang. Sulit untukku mencari pria yang tepat
untuk Ibuku dan Abigail, mereka berdua membutuhkan pasangan. Ibu tentu akan
menerima gagasan ia akan menikah lagi dan Abigail… mungkin ia tidak akan
menyukai gagasan itu datang dariku. Oh, ini memang salahku telah membuatnya
begitu mencintaiku, seharusnya aku membatasi perhatianku agar ia tidak begitu
bergantung padaku. Abigail selalu percaya aku miliknya sepenuhnya dan ia memang
benar, meski tidak secara harfiah. Aku mencintai Eleanor seperti penyakit yang
tak bisa disembuhkan. Perasaan yang begitu menyakitkan bila tidak bisa
melihatnya dan penyakit yang membuatku kecanduan untuk membahagiakannya terus
menerus. Dan harus kuakui, aku kalah karena cinta. Hanya Eleanor yang dapat
membuatku melakukan hal yang tidak pernah kulakukan sebelumnya. Bercinta dengan
perawan? Hanya dengannya. Membicarakan seorang pelayan dalam tiap percakapan
keluarga? Hanya dia seorang. Tidak membunuh orang yang seharusnya kubunuh? Ia
berhasil membuatku menahan diri untuk tak melakukannya dengan tanganku
sendiri—kecuali Ralph, ia memang bukan orang yang seharusnya kubunuh sejak
awal.
Ibu
naik ke singgasana dengan pakaian serba hitam, termasuk tudung rambutnya yang
tidak menutupi mahkotanya. Ia tampak cantik meski tanpa perhiasan selain
mahkotanya. Ibu lebih mudah menerima kematian Ayah dibanding Abigail, sesuatu
yang sangat kusyukuri. Karena mengurus satu orang saja sudah sangat sulit. Yah,
bukan keluarga Thaddeus namanya jika orang itu tidak menyulitkan. Dan Eleanor
tampaknya cocok dengan nama belakang itu, ia bahkan lebih menyulitkan dibanding
keluarga Thaddeus. Aku menyeringai memikirkannya. Ia akan duduk di sebelahku
dalam beberapa saat lagi. Aku meraih tangan kanan Ibu lalu membungkuk, mencium
punggung tangannya.
“Selalu
luar biasa seperti biasanya, Yang Mulia,” pujiku membuatnya tersipu. Oh, Ibu
dengan sikapnya yang pemalu. Tak heran mengapa Ayah bisa menyukainya—dan
bingung mengapa ia tidak dapat mempertahankan kekagumannya pada Ibu yang
kecantikannya yang tak pernah berkurang—namun gagasan mengambil biarawati dari
gereja bukan tindakan yang terpuji, terutama untuk seorang raja.
“Begitu juga kau,
Miguel.” Aku mengajak Ibu agar ia duduk di sebelah kananku. Geoffrey dan
adik-adikku yang lain sudah duduk di kursi mereka, kecuali Abigail. Aku sudah
membujuknya namun ia bersumpah akan bunuh diri jika aku berani menyeretnya
keluar dari kamar. Tidak ingin kehilangan adik terbaikku, aku terpaksa
mematuhinya. Mungkin lebih baik bila ia tidak menyambut keluarga Hughes.
Sikapnya berubah sejak kematian Ayah. Ia menjadi orang yang tak pernah kukenal,
pembangkang, sulit diatur, dan jarang berbicara—bahkan tidak pernah ramah pada
siapa pun di istana. Dan kemarin merupakan sikap terburuk seumur hidupnya.
Eleanor muncul
dari mulut lorong di sisi kiriku yang ditutupi dengan tirai putih dengan
garis-garis rumit berwarna emas berkilau. Nafasku tercekat melihat
kecantikannya yang tak biasa. Rambut merah yang biasanya mencolok itu tertutupi
tudung hitam—seperti tudung biarawati—dan memakai gaun berwarna hitam dengan
kain muslin yang halus. Pemandangan baru ini membuatku sulit berkata-kata,
bahkan ia belum memberikan senyum hangatnya. Sial! Begitu Eleanor naik ke atas
singgasana, pelayan di belakangnya berhenti dan mengambil tempat di samping
singgasana. Wanita itu masih menunduk, seolah-olah menunggu momen yang tepat
untuk mendongak dan membuatku terpukau. Kemudian ia mendongak. Cahaya matahari
pagi yang berasal dari langit-langit tak tertutup membuat mata birunya lebih
cerah dan lebih biru. Demi Tuhan, ia adalah mahluk terindah di muka bumi!
Hadiah terbaiknya, Eleanor bukan wanita bodoh dan jahat seperti yang
diceritakan di dongeng atau cerita rakyat. Ia wanita muda yang senang membantu,
menyibukkan diri dan tidak begitu mementingkan penampilannya—ia seindah
hamparan bunga matahari.
“Bahkan tanpa
rambut merahmu, kau bisa sama menakjubkannya,” ucapku tulus. Pipinya memerah,
lalu menyebar sampai ke leher. Ingin aku mencium pipi sampai lehernya untuk
meredakan sikapnya yang gugup.
“Selamat pagi,
pangeran Miguel,” katanya membungkuk menghormatiku. Aku mendekat, meraih tangan
kanannya lalu membungkuk, mencium tangannya—sama seperti yang kulakukan pada
Ibuku tadi. Begitu aku menegakkan tubuh, berkas-berkas merah di wajahnya
semakin menyebar kemana-mana. Demi Tuhan, aku harus berhenti membuatnya
memerah! Namun bagaimana mungkin? Aku mengajaknya untuk duduk di sebelah
kiriku.
“Mereka akan tiba
dalam beberapa saat lagi,” ucapku mengarahkan pandanganku pada pintu besar yang
berjarak cukup jauh dari singgasana. Kami akan menemui keluarga Hughes yang
diperkirakan akan tiba pagi ini. Para pasukanku yang kukirim ke desa sepertinya
tidak ingin membuatku kecewa karena sangkakala mulai berbunyi begitu pintu
terbuka. Dari mulut pintu terlihat seorang pria tua dengan 5 orang anak. Aku
terkejut mendapati gadis yang paling tinggi di antara mereka memiliki rambut merah
seperti Eleanor. Kemudian Priscilla, gadis yang berani mengutuk istana,
Elizabeth, Sarah—si gadis kecil yang cantik—dan Lucas, adik yang dilimpahi
perhatian oleh kakak-kakaknya. Ayahnya, Henry Hughes, kelihatan sehat dengan
tubuh yang bugar yang sama seperti terakhir kali aku bertemu dengannya. Sejak
Eleanor menceritakan tentang Ayahnya yang sakit, aku mengirim dokter agar Henry
cepat sembuh. Itu kulakukan semata-mata karena Henry orang pertama yang
mengajari teknik memegang senjata dan karena ia adalah Ayah Eleanor, tentunya.
Eleanor
terkesiap melihat keluarganya mengambil langkah mendekati singgasana. Kulirik
Eleanor yang menutup mulutnya dengan satu tangan, kemudian ia bangkit dari
kursinya lalu berlari menuju keluarganya. Karena Eleanor berdiri, aku ikut
berdiri karena ia seorang wanita muda. Yah, itu sudah menjadi kebiasaan orang
Cardwell untuk menghargai seorang wanita. Aku tidak bisa tidak tersenyum
melihat prilakunya yang berbanding terbalik dengan prilaku seorang ratu.
Sebentar lagi ia akan menjadi ratu, demi Tuhan. Mungkin ia akan menjadi ratu
pertama yang tidak kaku. Eleanor memeluk Ayahnya, terisak-isak dalam pelukan
yang tampak erat itu. Gadis di sebelah Henry tersenyum iba melihat
kakaknya—kutahu Eleanor adalah anak sulung—kemudian ia menjatuhkan pandangannya
padaku. Tapi tidak lama kemudian Eleanor memeluknya mengucapkan kata-kata penuh
syukur seperti Ibu yang bahagia melihat anaknya baik-baik saja setelah
menghilang setengah hari.
“Ibu,
apa kau tidak keberatan?” Tanyaku mengulurkan tangan kanan padanya. Ia
menyambut tanganku lalu berdiri dari kursinya. Kami berdua menuruni anak tangga
kemudian berjalan perlahan mendekati keluarga itu. Eleanor terkesiap begitu ia
melihat adik terakhirnya, Lucas, dan tak bisa menahan hasratnya untuk menggendong
Lucas setelah beberapa bulan terakhir. Ia menghujani pipi tembam Lucas dengan
ciuman sayang. Oh ya ampun, perasaan ini sangat tidak masuk akal. Bahkan
melihat Eleanor mencium adiknya sendiri membuatku iri ingin mendapatkan ciuman
itu. Eleanor menurunkan Lucas dari gendongannya lalu berbalik begitu aku sampai
dua langkah di belakangnya. Seluruh anggota keluarga membungkuk pada Ibu
sebagai tanda hormat, namun aku tidak begitu memerhatikan mereka lagi setelah
kulihat Eleanor tampak kacau. Matanya basah, begitu juga dengan bibirnya. Sulit
untuk menahan diri untuk tidak mencium bibir itu, namun untungnya aku berhasil.
Aku merogoh kantong celanaku untuk mengeluarkan saputangan, lalu kuberikan
saputangan itu padanya. Ia melipat bibir ke dalam saat ia menerima saputangan
itu, memandangku dengan tatapan memuja. Ya, hal lain yang menakjubkan karena
memiliki Eleanor adalah ia memujaku. Aku ingin seluruh dunianya hanya terpusat
padaku. Egois, tapi memiliki arti.
Kualihkan
pandanganku pada Henry lalu menjabat tangannya dengan kuat. “Selamat pagi, Sir.
Bagaimana perasaanmu selama perjalanan menuju istana?”
“Oh,
tidak ada yang bisa mematahkan semangatku untuk bertemu dengan putri sulungku,
pangeran Miguel,” ucap Henry ramah seperti dulu. Aku tersenyum senang karena ia
yang akan menjadi mertuaku, bukan raja Crumple lagi. “Dia tidak membuatmu
kesusahan bukan?”
Aku
terkekeh. Kesusahan? Mungkin sedikit. “Tidak sama sekali, Sir.” Aku melepaskan
jabatan tanganku lalu mundur beberapa langkah untuk memerhatikan seluruh anggota
keluarga. Henry memperkenalkan anak-anaknya satu per satu. Mulai dari si rambut
merah Isabel, si berani Priscilla, si pendiam Elizabeth, si cantik Sarah dan si
tampan Lucas. Aku menggiring mereka menuju Clement yang sudah menunggu mereka
di depan singgasana. Ia akan mengurus keluarga Hughes selama mereka berada di
sini. Aku yakin Henry tidak ingin tinggal di istana, mengingat mendiang
istrinya dimakamkan di desa, tentu tidak akan membuatnya pergi begitu saja dari
desa itu. Geoffrey dan adik-adikku saling memperkenalkan diri, Ibuku
memerhatikan mereka dengan seksama. Aku dapat bersumpah demi pemakaman Ayahku,
Ibu tersenyum bebas dan tertawa memerhatikan mereka yang mulai akrab. Aku
mengundurkan diri bersama Eleanor dari pertemuan mereka, tidak mempertimbangkan
apakah Eleanor mau atau tidak.
Aku
meraih tangan Eleanor, menggenggamnya kemudian pergi dari ruang pertemuan
dengan rakyat menuju ruangan yang paling dekat dengan mulut lorong.
Perpustakaan. Aku mendorong pintu yang dijaga oleh dua prajurit lalu menyembunyikan
diri di dalam bersama Eleanor. Begitu aku mengunci pintu perpustakaan dengan
kunci yang begitu besar, aku berbalik memandang Eleanor yang menjalinkan
jari-jarinya di saputanganku. Ia menatapku dengan kegugupan yang tak biasa,
lalu ia memalingkan pandangannya dariku ke sekeliling tempat. Apa masalahnya?
Saat aku ingin meraih lengannya, Eleanor mengambil langkah besar menjauhiku. Ia
berjalan menjelajahi perpustakaan yang luas dan menjulang tinggi. Ada tangga
tinggi yang menyandar di salah satu rak buku. Sebuah perapian berada di sisi
tengah ruangan dengan dua patung di kedua sisinya. Sebuah meja besar beserta
kursinya diposisikan menyamping dari perapian. Karpet merah menjadi alas
sempurna untuk perpustakaan kerajaan. Dan beberapa kursi santai dilengkapi meja
berada di tengah-tengah ruangan. Eleanor berjalan menuju daerah buku filsafat
Yunani, tangannya menyusuri buku-buku itu namun tak mengatakan apa-apa. Aku
mengikutinya seperti anak bebek yang membuntuti induknya sambil memerhatikan
gerak-geriknya. Jari-jarinya yang langsing bergetar saat ia mencapai buku
terakhir di rak tersebut. Lalu ia terdiam.
“Eleanor,
apa—“
Ia
kemudian berbalik cepat. “Apa kau menyukai mereka?” Tanyanya seketika. Mataku
mencari-cari matanya yang tampak kebingungan. “Apa kau menyukai keluargaku?”
Aku terengah. Apa yang tidak kusuka dari seorang Eleanor Hughes? Bahkan aku
mencintai bagian terburuk darinya. Tanpa kusadari, tanganku sudah menyentuh
pipinya.
“Tentu
saja aku menyukai mereka, Eleanor. Mengapa kau bertanya seperti itu?”
“Aku
hanya… gugup. Aku takut kau tidak menyukai mereka karena sikap mereka yang
kurang sopan sepertiku. Terlebih lagi Isabel, aku bisa melihatnya tertarik
padamu. Bagaimana jika kau merasa terganggu atau yang lebih parah lagi kau akan
menyukainya? Oh, aku tidak bisa membayangkannya! Ap-apa kau menyukainya?”
“Tentu
saja aku menyukainya. Karena dia adikmu, Eleanor, Sayangku. Kumohon jangan
ragukan kesetiaanku,” ucapku melepas dua jepitan tudung rambutnya. Dalam satu
kali sentakan, tudung rambut itu jatuh begitu saja. Rambut merahnya dikepang
rumit dan melingkar di kepalanya, seperti kepangan rambut Abigail. Beberapa
rambutnya terlepas dari kepangan, membuatku mengambil sejumput rambut itu lalu
menyelipkannya ke belakang telinganya. Eleanor memejamkan mata lalu memelukku.
“Cinta
pertamaku,” bisiknya sangat menenangkan. Entah mengapa, memeluknya meneduhkan
jiwaku sepenuhnya. “Apa yang bisa kulakukan untuk menyenangkanmu?” Tanyanya
mendongak tanpa mengendorkan pelukan. Aku menunduk, mengecup bibirnya ringan,
berkali-kali. Hawa ruangan ini berubah menjadi panas, entah ini aku saja atau
Eleanor juga merasakannya. Aku ingin membawa tubuhnya ke atas ranjangku,
mencium setiap jengkal kulitnya, mendengar rintihannya dan menemukan dirinya
menjerit namaku mengharapkan kenikmatan lagi dan lagi. Kuselipkan tanganku ke
tengkuk lehernya, lalu kepalaku menunduk mencium bibirnya dengan lembut. Ia
menyambutku begitu baik. Ia membuka bibirnya, mengisap bibirku sambil merintih
menginginkan lebih. Ia menuntut, dadanya menekan dadaku dan ia begitu rakus.
Aku mengambil alih segalanya.
Tanganku
meraup bokongnya, membawanya lebih rapat denganku. Aku mengerang di sela-sela
ciuman panasnya begitu tangannya meremas rambutku. Namun segalanya hancur
begitu saja saat kudengar suara gelas jatuh. Eleanor menjauh dariku namun
dengan cepat aku meraih pinggangnya ke arahku, melindunginya. Mataku mendapati
Abigail menganga—bukan tingkah laku yang pantas sebagai seorang putri
kerajaan—namun kedua alis menyatu kesal. Matanya menatap Eleanor, benci dan
cemburu. Aku mendorong lembut Eleanor ke belakang tubuhku. Lalu melangkah satu
langkah. Ia berada di sisi yang berlawanan denganku. Gelasnya terjatuh di dekat
perapian dan cairan angguran mengisi seluruh ruangan. Jangan bilang ia mabuk,
sialan! Abigail pasti masuk melewati pintu rahasia di balik perapian, seperti
kebiasaannya jika ia sedang ingin sendirian. Sial.
Ia
memakai gaun dan sarung tangan hitam. Rambutnya cokelat Abigail berantakan,
tidak seperti biasanya. Kemana pelayan sialan yang menggantikan Eleanor? Baru
saja aku ingin berbicara, Abigail mengerang keras. Ya, dia mabuk, aku sangat
yakin.
“Karena
kalian berdua anggurku jatuh,” gerutunya berjalan menuju perapian lagi. Ia
membungkuk lalu mengambil gelas berwarna emas itu. Saat ia ingin menyentuh
mulutnya ke pinggiran gelas itu, ia mengerang lebih keras lagi. “Demi Tuhan!
Apakah aku tidak bisa menikmati sehari saja dalam hidupku? Karena kalian
anggurku habis!” Serunya melempar gelas itu sembarangan.
“Diam
di tempat,” ucapku pada Eleanor. Ia mengangguk patuh, kemudian aku mengambil
langkah mendekati Abigail yang mengacak-acak meja perpustakaan. Aku berdiri di
sudut meja, memerhatikan Abigail yang masih menggila, ia berteriak dan
mengutuk. Bukan Abigail yang kukenal selama ini. Dia berubah dalam waktu
singkat, sulit dipercaya. Ini membuat keputusanku semakin bulat untuk
menjodohkannya dengan teman dekatku, Duke of Grandell. Pria yang tidak begitu
dapat kupercayai namun dapat diandalkan, dia akan memuja Abigail seperti aku
memuja Eleanor.
Abigail
berhenti, lalu mengangkat pandangannya padaku. Aku setengah duduk di pinggiran
meja sambil melipat tangan, memerhatikannya sambil menimbang-nimbang seberapa
mabuk dia.
“Setelah
kupikirkan semalaman, aku lebih memilih Geoffrey sebagai raja, kau tahu,”
katanya. Dia sangat mabuk. Tangan melipat di bawah buah dadanya sehingga buah
dadanya terangkat. “Dan, kau tahu apa? Eleanor lebih cocok dengan Geoffrey!”
Teriaknya tertawa-tawa. Baiklah, aku tidak bisa menertawakan lelucon yang
berhubungan dengan Eleanor. Terlebih dengan ucapan Abigail yang tak dipikir dua
kali, namun kuwajari dia karena sedang mabuk. Aku menahan diri untuk tak
menyeretnya ke kamar lalu dengan suara tenang aku berbicara.
“Dan
kau lebih cocok untuk pergi ke kamar, membersihkan diri dan beristirahat,”
ucapku bangkit dari meja. Abigail mengangkat kedua tangannya dan mundur
cepat-cepat, seolah-olah aku adalah mahluk paling menjijikan. “Abigail, aku
tidak akan meminta dua kali padamu, Sayang,”
“Tidak
perlu. Asalkan kau memberitahu alasan paling kuat mengapa kau memilih Eleanor
sebagai istrimu? Ayo beritahu, ayo beritahu,” ucapnya tertawa-tawa konyol. Demi
Cardwell, aku tidak percaya adikku baru saja kerasukan arwah Ayahku. Tidak
ingin membuatnya mempermalukan diri lebih lama lagi, aku menjawabnya.
“Karena
aku mencintainya, Abigail. Sekarang—“
“Omong
kosong! Kau hanya mencintaiku, kau tahu itu bukan, pangeran Miguel? Ini sangat
tidak adil saat aku berusaha untuk tidak mencintai orang lain, kau malah
mencintai Eleanor, pelayan menjijikan itu,”
“Abigail
cukup!” ucapku tegas. “Cintaku terhadapmu hanya sebatas cinta seorang kakak
pada adiknya, bukan pasangan seumur hidup. Jadi, biarkan aku menolongmu pergi
ke kamar dan kau bisa membersihkan diri,” lanjutku mendekatinya. Aku meraihnya
dengan satu kali tangkapan, lalu aku menggiringnya menuju pintu keluar
perpustakaan. Eleanor memeluk lengannya sendiri, menatapku khawatir. Aku
menggeleng padanya untuk tidak mengatakan apa-apa. Eleanor mengangguk namun ia
ikut melangkah menuju pintu.
“Kau
tahu apa? Kurasa gagasan Ayah akan menikahkanku dengan dengan duke antah
berantah itu adalah gagasan yang bagus.”
“Tidak.
Kau akan menikah dengan Duke of Grandell. Pria itu cocok untukmu. Sekarang
tutup mulutmu dan biarkan aku membawamu ke kamar.”
“Justin
sialan,” katanya memaki membuatku tertawa dalam hati. Itu pertama kalinya ia
memakiku. Setelah itu kepala Abigail tertunduk sepenuhnya, ia mungkin sudah
pasrah. Oh, pernikahanku dengan Eleanor akan penuh warna. Aku melirik Eleanor
yang membukakan pintu, ia setengah menunduk tetapi mencuri-curi pandang padaku.
Dia terlihat seperti anak kecil yang jatuh cinta pada temannya yang sedang
berjalan dengan orangtuanya dan tak berani menegur sapa. Aku mengedip sebelah
mataku dan ia terkesiap, memerah.
Saat
ingin mengambil langkah keluar dari perpustakaan, aku mencuri kecupan di
bibirnya.
***
“Ya,
kita bisa mengendarainya besok menuju bukit. Kau mau?” Suara halus nan lembut
terdengar dari istal. Sudah kuduga ia akan bersembunyi di istal. Aku melangkah
mendekati istal lalu berhenti di depan pintunya. Kuperhatikan Eleanor sedang
mengelus kuda putihnya, Blance, dan berbicara dengan Lucas yang duduk di atas
Blance. Lucas menggumamkan kata setuju lalu ia memeluk leher Blance. “Apa kau
menyukai pangeran Miguel?” Tanya Eleanor menyandarkan melipat tangannya di atas
sisi pintu kandang Blance.
“Ya,”
jawab Lucas singkat. Namun ia menambahkan, “dia kelihatannya sayang padamu. Apa
kau sayang padanya?”
“Tentu
saja. Kami akan menikah,” jawab Eleanor cepat-cepat. Sungguh, ini bukan tingkah
laku yang bagus. Mencuri dengar percakapan orang lain bukanlah kebiasaanku.
Mungkin ada pengecualian untuk yang satu ini. “Bagaimana denganmu? Apa kau
sudah punya seseorang di desa?”
“Tidak,
aku tidak menyukai siapa pun. Di desa tidak ada yang secantik dirimu, kau tahu,”
ucap Lucas. Seperti biasanya, dugaanku selalu benar. Lihat saja, Lucas akan
menjadi perayu ulung di seluruh Cardwell. Bahkan umurnya masih 5 tahun, namun
kecerdasannya merayu wanita setara dengan para pria dewasa di luar sana. Aku
mendongak, menatap langit malam yang menyelimuti Cardwell. Sepertinya si kecil
Lucas seharusnya sudah ada di atas tempat tidurnya. Oh Tuhan, mengingat tempat tidur, aku
memikirkan Abigail yang tidak semakin membaik. Sejak pagi tadi—aku bahkan tidak
pernah mengira Abigail akan memilih waktu pagi untuk mabuk—Abigail memaki-makiku
dengan kata-kata kotor dan bersumpah akan mencintai Duke of Grandell sebagai
pembalasan dendam. Tidak masuk akal, tapi aku terima saja. Suara Eleanor
seolah-olah memanggilku, kepalaku menegak.
“…mungkin
memang bukan sekarang saatmu mendapatkan gadis. Tapi percayalah, begitu kau
besar nanti, mereka akan mengejar-ngejarmu seperti ayam,” ucap Eleanor. Gelak
tawa Lucas menular pada Eleanor dan aku sudah tak tahan mencuri dengar lagi.
Aku membalik, tepat saat pengasuh Lucas muncul bersama dengan sebuah selimut di
tangannya. Cepat-cepat aku menutup mulutnya agar ia tidak bersuara.
“Masuk
dan ajak Lucas tidur. Beritahu Eleanor untuk tetap di istal,” perintahku
berbisik. Pengasuh itu mengangguk lalu kulepaskan dia masuk ke istal. Ia
melakukan apa yang kuperintahkan. Lucas turun dari Blance dan digendong sambil
mengenakan selimut di sekitar pundaknya. Pengasuh itu berucap dengan suara
kecil dan Eleanor mengangguk. Pipinya memerah seketika begitu pengasuh itu
berbalik berjalan keluar dari istal. Pengasuh itu menempatkan kepala Lucas di
lehernya sehingga anak itu tak dapat melihatku begitu mereka melewatiku.
Aku
berjalan masuk ke dalam istal, menarik perhatian sepenuhnya. Eleanor memeluk
pinggangnya yang kecil, mulutnya yang manis itu terkatup rapat. Lalu ia
mengangkat satu tangannya, menggaruk lehernya—bukan kebiasaan yang baik tapi
dapat diperbaiki—lalu ia membuka mulut. “Apa kau mencuri dengar semuanya?”
“Tidak
semuanya,” ucapku menarik tangannya lalu menempatkannya di pundakku. “Dan fakta
bahwa apa yang kukatakan tentang Lucas benar,”
“Tentang
apa?”
“Dia
akan menjadi playboy terkenal di
Cardwell—ssh, jangan menyangkal. Aku berjanji akan membuatnya menghargai
wanita,” kataku. “Seharian ini aku tidak melihatmu di istana, setelah aku
membawa Abigail ke kamarnya. Kemana saja kau?”
“Aku
sibuk memerhatikan adik-adikku. Mereka kadang sangat susah sekali diatur,
terutama Isabel. Aku tidak pernah akur dengannya, maafkan aku,” katanya
menyesal, cukup membuatku bingung mengapa ia meminta maaf padaku. “Tapi
sekarang kau sudah menemukanku. Jadi, apa yang kauinginkan, pangeran Miguel
yang rupawan?”
“Apa
yang kuinginkan? Hmm.” Aku mengerucutkan bibir ke samping sambil mendorong
tubuhnya ke belakang sampai ke tumpukan jerami. “Bagaimana kalau kita
menyelesaikan apa yang kita mulai di perpustakaan tadi?”
Salah
satu alisnya terangkat, menantang. Seperti korek api, gairahku tersulut begitu
saja. “Kita akan melakukannya di sini? Tapi aku sudah bersumpah tidak akan
berhubungan badan denganmu.”
“Suatu
saat setelah kita menikah, kita akan melakukannya di sini,” bisikku mendorongnya
jatuh bersama-sama denganku ke atas jerami. Ia tertawa, suara terindah yang
pernah kudengar. Bibir kami terpagut dengan manis. Demi Tuhan, aku mencintainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar