Kamis, 25 Desember 2014

Beautiful Slave Bab 12 - Mine

CHAPTER TWELVE – MINE

JUSTIN MIGUEL THADDEUS

            Dugaanku tak pernah meleset. Eleanor menjadi milikku seutuhnya, Ayah dan Margery meninggal, Abigail tidak akan menikah dengan duke yang telah Ayah janjikan, dan Geoffrey akan kujadikan panglima perang. Sulit untukku mencari pria yang tepat untuk Ibuku dan Abigail, mereka berdua membutuhkan pasangan. Ibu tentu akan menerima gagasan ia akan menikah lagi dan Abigail… mungkin ia tidak akan menyukai gagasan itu datang dariku. Oh, ini memang salahku telah membuatnya begitu mencintaiku, seharusnya aku membatasi perhatianku agar ia tidak begitu bergantung padaku. Abigail selalu percaya aku miliknya sepenuhnya dan ia memang benar, meski tidak secara harfiah. Aku mencintai Eleanor seperti penyakit yang tak bisa disembuhkan. Perasaan yang begitu menyakitkan bila tidak bisa melihatnya dan penyakit yang membuatku kecanduan untuk membahagiakannya terus menerus. Dan harus kuakui, aku kalah karena cinta. Hanya Eleanor yang dapat membuatku melakukan hal yang tidak pernah kulakukan sebelumnya. Bercinta dengan perawan? Hanya dengannya. Membicarakan seorang pelayan dalam tiap percakapan keluarga? Hanya dia seorang. Tidak membunuh orang yang seharusnya kubunuh? Ia berhasil membuatku menahan diri untuk tak melakukannya dengan tanganku sendiri—kecuali Ralph, ia memang bukan orang yang seharusnya kubunuh sejak awal.
            Ibu naik ke singgasana dengan pakaian serba hitam, termasuk tudung rambutnya yang tidak menutupi mahkotanya. Ia tampak cantik meski tanpa perhiasan selain mahkotanya. Ibu lebih mudah menerima kematian Ayah dibanding Abigail, sesuatu yang sangat kusyukuri. Karena mengurus satu orang saja sudah sangat sulit. Yah, bukan keluarga Thaddeus namanya jika orang itu tidak menyulitkan. Dan Eleanor tampaknya cocok dengan nama belakang itu, ia bahkan lebih menyulitkan dibanding keluarga Thaddeus. Aku menyeringai memikirkannya. Ia akan duduk di sebelahku dalam beberapa saat lagi. Aku meraih tangan kanan Ibu lalu membungkuk, mencium punggung tangannya.
            “Selalu luar biasa seperti biasanya, Yang Mulia,” pujiku membuatnya tersipu. Oh, Ibu dengan sikapnya yang pemalu. Tak heran mengapa Ayah bisa menyukainya—dan bingung mengapa ia tidak dapat mempertahankan kekagumannya pada Ibu yang kecantikannya yang tak pernah berkurang—namun gagasan mengambil biarawati dari gereja bukan tindakan yang terpuji, terutama untuk seorang raja.
“Begitu juga kau, Miguel.” Aku mengajak Ibu agar ia duduk di sebelah kananku. Geoffrey dan adik-adikku yang lain sudah duduk di kursi mereka, kecuali Abigail. Aku sudah membujuknya namun ia bersumpah akan bunuh diri jika aku berani menyeretnya keluar dari kamar. Tidak ingin kehilangan adik terbaikku, aku terpaksa mematuhinya. Mungkin lebih baik bila ia tidak menyambut keluarga Hughes. Sikapnya berubah sejak kematian Ayah. Ia menjadi orang yang tak pernah kukenal, pembangkang, sulit diatur, dan jarang berbicara—bahkan tidak pernah ramah pada siapa pun di istana. Dan kemarin merupakan sikap terburuk seumur hidupnya.
Eleanor muncul dari mulut lorong di sisi kiriku yang ditutupi dengan tirai putih dengan garis-garis rumit berwarna emas berkilau. Nafasku tercekat melihat kecantikannya yang tak biasa. Rambut merah yang biasanya mencolok itu tertutupi tudung hitam—seperti tudung biarawati—dan memakai gaun berwarna hitam dengan kain muslin yang halus. Pemandangan baru ini membuatku sulit berkata-kata, bahkan ia belum memberikan senyum hangatnya. Sial! Begitu Eleanor naik ke atas singgasana, pelayan di belakangnya berhenti dan mengambil tempat di samping singgasana. Wanita itu masih menunduk, seolah-olah menunggu momen yang tepat untuk mendongak dan membuatku terpukau. Kemudian ia mendongak. Cahaya matahari pagi yang berasal dari langit-langit tak tertutup membuat mata birunya lebih cerah dan lebih biru. Demi Tuhan, ia adalah mahluk terindah di muka bumi! Hadiah terbaiknya, Eleanor bukan wanita bodoh dan jahat seperti yang diceritakan di dongeng atau cerita rakyat. Ia wanita muda yang senang membantu, menyibukkan diri dan tidak begitu mementingkan penampilannya—ia seindah hamparan bunga matahari.
“Bahkan tanpa rambut merahmu, kau bisa sama menakjubkannya,” ucapku tulus. Pipinya memerah, lalu menyebar sampai ke leher. Ingin aku mencium pipi sampai lehernya untuk meredakan sikapnya yang gugup.
“Selamat pagi, pangeran Miguel,” katanya membungkuk menghormatiku. Aku mendekat, meraih tangan kanannya lalu membungkuk, mencium tangannya—sama seperti yang kulakukan pada Ibuku tadi. Begitu aku menegakkan tubuh, berkas-berkas merah di wajahnya semakin menyebar kemana-mana. Demi Tuhan, aku harus berhenti membuatnya memerah! Namun bagaimana mungkin? Aku mengajaknya untuk duduk di sebelah kiriku.
“Mereka akan tiba dalam beberapa saat lagi,” ucapku mengarahkan pandanganku pada pintu besar yang berjarak cukup jauh dari singgasana. Kami akan menemui keluarga Hughes yang diperkirakan akan tiba pagi ini. Para pasukanku yang kukirim ke desa sepertinya tidak ingin membuatku kecewa karena sangkakala mulai berbunyi begitu pintu terbuka. Dari mulut pintu terlihat seorang pria tua dengan 5 orang anak. Aku terkejut mendapati gadis yang paling tinggi di antara mereka memiliki rambut merah seperti Eleanor. Kemudian Priscilla, gadis yang berani mengutuk istana, Elizabeth, Sarah—si gadis kecil yang cantik—dan Lucas, adik yang dilimpahi perhatian oleh kakak-kakaknya. Ayahnya, Henry Hughes, kelihatan sehat dengan tubuh yang bugar yang sama seperti terakhir kali aku bertemu dengannya. Sejak Eleanor menceritakan tentang Ayahnya yang sakit, aku mengirim dokter agar Henry cepat sembuh. Itu kulakukan semata-mata karena Henry orang pertama yang mengajari teknik memegang senjata dan karena ia adalah Ayah Eleanor, tentunya.
            Eleanor terkesiap melihat keluarganya mengambil langkah mendekati singgasana. Kulirik Eleanor yang menutup mulutnya dengan satu tangan, kemudian ia bangkit dari kursinya lalu berlari menuju keluarganya. Karena Eleanor berdiri, aku ikut berdiri karena ia seorang wanita muda. Yah, itu sudah menjadi kebiasaan orang Cardwell untuk menghargai seorang wanita. Aku tidak bisa tidak tersenyum melihat prilakunya yang berbanding terbalik dengan prilaku seorang ratu. Sebentar lagi ia akan menjadi ratu, demi Tuhan. Mungkin ia akan menjadi ratu pertama yang tidak kaku. Eleanor memeluk Ayahnya, terisak-isak dalam pelukan yang tampak erat itu. Gadis di sebelah Henry tersenyum iba melihat kakaknya—kutahu Eleanor adalah anak sulung—kemudian ia menjatuhkan pandangannya padaku. Tapi tidak lama kemudian Eleanor memeluknya mengucapkan kata-kata penuh syukur seperti Ibu yang bahagia melihat anaknya baik-baik saja setelah menghilang setengah hari.
            “Ibu, apa kau tidak keberatan?” Tanyaku mengulurkan tangan kanan padanya. Ia menyambut tanganku lalu berdiri dari kursinya. Kami berdua menuruni anak tangga kemudian berjalan perlahan mendekati keluarga itu. Eleanor terkesiap begitu ia melihat adik terakhirnya, Lucas, dan tak bisa menahan hasratnya untuk menggendong Lucas setelah beberapa bulan terakhir. Ia menghujani pipi tembam Lucas dengan ciuman sayang. Oh ya ampun, perasaan ini sangat tidak masuk akal. Bahkan melihat Eleanor mencium adiknya sendiri membuatku iri ingin mendapatkan ciuman itu. Eleanor menurunkan Lucas dari gendongannya lalu berbalik begitu aku sampai dua langkah di belakangnya. Seluruh anggota keluarga membungkuk pada Ibu sebagai tanda hormat, namun aku tidak begitu memerhatikan mereka lagi setelah kulihat Eleanor tampak kacau. Matanya basah, begitu juga dengan bibirnya. Sulit untuk menahan diri untuk tidak mencium bibir itu, namun untungnya aku berhasil. Aku merogoh kantong celanaku untuk mengeluarkan saputangan, lalu kuberikan saputangan itu padanya. Ia melipat bibir ke dalam saat ia menerima saputangan itu, memandangku dengan tatapan memuja. Ya, hal lain yang menakjubkan karena memiliki Eleanor adalah ia memujaku. Aku ingin seluruh dunianya hanya terpusat padaku. Egois, tapi memiliki arti.
            Kualihkan pandanganku pada Henry lalu menjabat tangannya dengan kuat. “Selamat pagi, Sir. Bagaimana perasaanmu selama perjalanan menuju istana?”
            “Oh, tidak ada yang bisa mematahkan semangatku untuk bertemu dengan putri sulungku, pangeran Miguel,” ucap Henry ramah seperti dulu. Aku tersenyum senang karena ia yang akan menjadi mertuaku, bukan raja Crumple lagi. “Dia tidak membuatmu kesusahan bukan?”
            Aku terkekeh. Kesusahan? Mungkin sedikit. “Tidak sama sekali, Sir.” Aku melepaskan jabatan tanganku lalu mundur beberapa langkah untuk memerhatikan seluruh anggota keluarga. Henry memperkenalkan anak-anaknya satu per satu. Mulai dari si rambut merah Isabel, si berani Priscilla, si pendiam Elizabeth, si cantik Sarah dan si tampan Lucas. Aku menggiring mereka menuju Clement yang sudah menunggu mereka di depan singgasana. Ia akan mengurus keluarga Hughes selama mereka berada di sini. Aku yakin Henry tidak ingin tinggal di istana, mengingat mendiang istrinya dimakamkan di desa, tentu tidak akan membuatnya pergi begitu saja dari desa itu. Geoffrey dan adik-adikku saling memperkenalkan diri, Ibuku memerhatikan mereka dengan seksama. Aku dapat bersumpah demi pemakaman Ayahku, Ibu tersenyum bebas dan tertawa memerhatikan mereka yang mulai akrab. Aku mengundurkan diri bersama Eleanor dari pertemuan mereka, tidak mempertimbangkan apakah Eleanor mau atau tidak.
            Aku meraih tangan Eleanor, menggenggamnya kemudian pergi dari ruang pertemuan dengan rakyat menuju ruangan yang paling dekat dengan mulut lorong. Perpustakaan. Aku mendorong pintu yang dijaga oleh dua prajurit lalu menyembunyikan diri di dalam bersama Eleanor. Begitu aku mengunci pintu perpustakaan dengan kunci yang begitu besar, aku berbalik memandang Eleanor yang menjalinkan jari-jarinya di saputanganku. Ia menatapku dengan kegugupan yang tak biasa, lalu ia memalingkan pandangannya dariku ke sekeliling tempat. Apa masalahnya? Saat aku ingin meraih lengannya, Eleanor mengambil langkah besar menjauhiku. Ia berjalan menjelajahi perpustakaan yang luas dan menjulang tinggi. Ada tangga tinggi yang menyandar di salah satu rak buku. Sebuah perapian berada di sisi tengah ruangan dengan dua patung di kedua sisinya. Sebuah meja besar beserta kursinya diposisikan menyamping dari perapian. Karpet merah menjadi alas sempurna untuk perpustakaan kerajaan. Dan beberapa kursi santai dilengkapi meja berada di tengah-tengah ruangan. Eleanor berjalan menuju daerah buku filsafat Yunani, tangannya menyusuri buku-buku itu namun tak mengatakan apa-apa. Aku mengikutinya seperti anak bebek yang membuntuti induknya sambil memerhatikan gerak-geriknya. Jari-jarinya yang langsing bergetar saat ia mencapai buku terakhir di rak tersebut. Lalu ia terdiam.
            “Eleanor, apa—“
            Ia kemudian berbalik cepat. “Apa kau menyukai mereka?” Tanyanya seketika. Mataku mencari-cari matanya yang tampak kebingungan. “Apa kau menyukai keluargaku?” Aku terengah. Apa yang tidak kusuka dari seorang Eleanor Hughes? Bahkan aku mencintai bagian terburuk darinya. Tanpa kusadari, tanganku sudah menyentuh pipinya.
            “Tentu saja aku menyukai mereka, Eleanor. Mengapa kau bertanya seperti itu?”
            “Aku hanya… gugup. Aku takut kau tidak menyukai mereka karena sikap mereka yang kurang sopan sepertiku. Terlebih lagi Isabel, aku bisa melihatnya tertarik padamu. Bagaimana jika kau merasa terganggu atau yang lebih parah lagi kau akan menyukainya? Oh, aku tidak bisa membayangkannya! Ap-apa kau menyukainya?”
            “Tentu saja aku menyukainya. Karena dia adikmu, Eleanor, Sayangku. Kumohon jangan ragukan kesetiaanku,” ucapku melepas dua jepitan tudung rambutnya. Dalam satu kali sentakan, tudung rambut itu jatuh begitu saja. Rambut merahnya dikepang rumit dan melingkar di kepalanya, seperti kepangan rambut Abigail. Beberapa rambutnya terlepas dari kepangan, membuatku mengambil sejumput rambut itu lalu menyelipkannya ke belakang telinganya. Eleanor memejamkan mata lalu memelukku.
            “Cinta pertamaku,” bisiknya sangat menenangkan. Entah mengapa, memeluknya meneduhkan jiwaku sepenuhnya. “Apa yang bisa kulakukan untuk menyenangkanmu?” Tanyanya mendongak tanpa mengendorkan pelukan. Aku menunduk, mengecup bibirnya ringan, berkali-kali. Hawa ruangan ini berubah menjadi panas, entah ini aku saja atau Eleanor juga merasakannya. Aku ingin membawa tubuhnya ke atas ranjangku, mencium setiap jengkal kulitnya, mendengar rintihannya dan menemukan dirinya menjerit namaku mengharapkan kenikmatan lagi dan lagi. Kuselipkan tanganku ke tengkuk lehernya, lalu kepalaku menunduk mencium bibirnya dengan lembut. Ia menyambutku begitu baik. Ia membuka bibirnya, mengisap bibirku sambil merintih menginginkan lebih. Ia menuntut, dadanya menekan dadaku dan ia begitu rakus. Aku mengambil alih segalanya.
            Tanganku meraup bokongnya, membawanya lebih rapat denganku. Aku mengerang di sela-sela ciuman panasnya begitu tangannya meremas rambutku. Namun segalanya hancur begitu saja saat kudengar suara gelas jatuh. Eleanor menjauh dariku namun dengan cepat aku meraih pinggangnya ke arahku, melindunginya. Mataku mendapati Abigail menganga—bukan tingkah laku yang pantas sebagai seorang putri kerajaan—namun kedua alis menyatu kesal. Matanya menatap Eleanor, benci dan cemburu. Aku mendorong lembut Eleanor ke belakang tubuhku. Lalu melangkah satu langkah. Ia berada di sisi yang berlawanan denganku. Gelasnya terjatuh di dekat perapian dan cairan angguran mengisi seluruh ruangan. Jangan bilang ia mabuk, sialan! Abigail pasti masuk melewati pintu rahasia di balik perapian, seperti kebiasaannya jika ia sedang ingin sendirian. Sial.
            Ia memakai gaun dan sarung tangan hitam. Rambutnya cokelat Abigail berantakan, tidak seperti biasanya. Kemana pelayan sialan yang menggantikan Eleanor? Baru saja aku ingin berbicara, Abigail mengerang keras. Ya, dia mabuk, aku sangat yakin.
            “Karena kalian berdua anggurku jatuh,” gerutunya berjalan menuju perapian lagi. Ia membungkuk lalu mengambil gelas berwarna emas itu. Saat ia ingin menyentuh mulutnya ke pinggiran gelas itu, ia mengerang lebih keras lagi. “Demi Tuhan! Apakah aku tidak bisa menikmati sehari saja dalam hidupku? Karena kalian anggurku habis!” Serunya melempar gelas itu sembarangan.
            “Diam di tempat,” ucapku pada Eleanor. Ia mengangguk patuh, kemudian aku mengambil langkah mendekati Abigail yang mengacak-acak meja perpustakaan. Aku berdiri di sudut meja, memerhatikan Abigail yang masih menggila, ia berteriak dan mengutuk. Bukan Abigail yang kukenal selama ini. Dia berubah dalam waktu singkat, sulit dipercaya. Ini membuat keputusanku semakin bulat untuk menjodohkannya dengan teman dekatku, Duke of Grandell. Pria yang tidak begitu dapat kupercayai namun dapat diandalkan, dia akan memuja Abigail seperti aku memuja Eleanor.
            Abigail berhenti, lalu mengangkat pandangannya padaku. Aku setengah duduk di pinggiran meja sambil melipat tangan, memerhatikannya sambil menimbang-nimbang seberapa mabuk dia.
            “Setelah kupikirkan semalaman, aku lebih memilih Geoffrey sebagai raja, kau tahu,” katanya. Dia sangat mabuk. Tangan melipat di bawah buah dadanya sehingga buah dadanya terangkat. “Dan, kau tahu apa? Eleanor lebih cocok dengan Geoffrey!” Teriaknya tertawa-tawa. Baiklah, aku tidak bisa menertawakan lelucon yang berhubungan dengan Eleanor. Terlebih dengan ucapan Abigail yang tak dipikir dua kali, namun kuwajari dia karena sedang mabuk. Aku menahan diri untuk tak menyeretnya ke kamar lalu dengan suara tenang aku berbicara.
            “Dan kau lebih cocok untuk pergi ke kamar, membersihkan diri dan beristirahat,” ucapku bangkit dari meja. Abigail mengangkat kedua tangannya dan mundur cepat-cepat, seolah-olah aku adalah mahluk paling menjijikan. “Abigail, aku tidak akan meminta dua kali padamu, Sayang,”
            “Tidak perlu. Asalkan kau memberitahu alasan paling kuat mengapa kau memilih Eleanor sebagai istrimu? Ayo beritahu, ayo beritahu,” ucapnya tertawa-tawa konyol. Demi Cardwell, aku tidak percaya adikku baru saja kerasukan arwah Ayahku. Tidak ingin membuatnya mempermalukan diri lebih lama lagi, aku menjawabnya.
            “Karena aku mencintainya, Abigail. Sekarang—“
            “Omong kosong! Kau hanya mencintaiku, kau tahu itu bukan, pangeran Miguel? Ini sangat tidak adil saat aku berusaha untuk tidak mencintai orang lain, kau malah mencintai Eleanor, pelayan menjijikan itu,”
            “Abigail cukup!” ucapku tegas. “Cintaku terhadapmu hanya sebatas cinta seorang kakak pada adiknya, bukan pasangan seumur hidup. Jadi, biarkan aku menolongmu pergi ke kamar dan kau bisa membersihkan diri,” lanjutku mendekatinya. Aku meraihnya dengan satu kali tangkapan, lalu aku menggiringnya menuju pintu keluar perpustakaan. Eleanor memeluk lengannya sendiri, menatapku khawatir. Aku menggeleng padanya untuk tidak mengatakan apa-apa. Eleanor mengangguk namun ia ikut melangkah menuju pintu.
            “Kau tahu apa? Kurasa gagasan Ayah akan menikahkanku dengan dengan duke antah berantah itu adalah gagasan yang bagus.”
            “Tidak. Kau akan menikah dengan Duke of Grandell. Pria itu cocok untukmu. Sekarang tutup mulutmu dan biarkan aku membawamu ke kamar.”
            “Justin sialan,” katanya memaki membuatku tertawa dalam hati. Itu pertama kalinya ia memakiku. Setelah itu kepala Abigail tertunduk sepenuhnya, ia mungkin sudah pasrah. Oh, pernikahanku dengan Eleanor akan penuh warna. Aku melirik Eleanor yang membukakan pintu, ia setengah menunduk tetapi mencuri-curi pandang padaku. Dia terlihat seperti anak kecil yang jatuh cinta pada temannya yang sedang berjalan dengan orangtuanya dan tak berani menegur sapa. Aku mengedip sebelah mataku dan ia terkesiap, memerah.
            Saat ingin mengambil langkah keluar dari perpustakaan, aku mencuri kecupan di bibirnya.

***

            “Ya, kita bisa mengendarainya besok menuju bukit. Kau mau?” Suara halus nan lembut terdengar dari istal. Sudah kuduga ia akan bersembunyi di istal. Aku melangkah mendekati istal lalu berhenti di depan pintunya. Kuperhatikan Eleanor sedang mengelus kuda putihnya, Blance, dan berbicara dengan Lucas yang duduk di atas Blance. Lucas menggumamkan kata setuju lalu ia memeluk leher Blance. “Apa kau menyukai pangeran Miguel?” Tanya Eleanor menyandarkan melipat tangannya di atas sisi pintu kandang Blance.
            “Ya,” jawab Lucas singkat. Namun ia menambahkan, “dia kelihatannya sayang padamu. Apa kau sayang padanya?”
            “Tentu saja. Kami akan menikah,” jawab Eleanor cepat-cepat. Sungguh, ini bukan tingkah laku yang bagus. Mencuri dengar percakapan orang lain bukanlah kebiasaanku. Mungkin ada pengecualian untuk yang satu ini. “Bagaimana denganmu? Apa kau sudah punya seseorang di desa?”
            “Tidak, aku tidak menyukai siapa pun. Di desa tidak ada yang secantik dirimu, kau tahu,” ucap Lucas. Seperti biasanya, dugaanku selalu benar. Lihat saja, Lucas akan menjadi perayu ulung di seluruh Cardwell. Bahkan umurnya masih 5 tahun, namun kecerdasannya merayu wanita setara dengan para pria dewasa di luar sana. Aku mendongak, menatap langit malam yang menyelimuti Cardwell. Sepertinya si kecil Lucas seharusnya sudah ada di atas tempat tidurnya.  Oh Tuhan, mengingat tempat tidur, aku memikirkan Abigail yang tidak semakin membaik. Sejak pagi tadi—aku bahkan tidak pernah mengira Abigail akan memilih waktu pagi untuk mabuk—Abigail memaki-makiku dengan kata-kata kotor dan bersumpah akan mencintai Duke of Grandell sebagai pembalasan dendam. Tidak masuk akal, tapi aku terima saja. Suara Eleanor seolah-olah memanggilku, kepalaku menegak.
            “…mungkin memang bukan sekarang saatmu mendapatkan gadis. Tapi percayalah, begitu kau besar nanti, mereka akan mengejar-ngejarmu seperti ayam,” ucap Eleanor. Gelak tawa Lucas menular pada Eleanor dan aku sudah tak tahan mencuri dengar lagi. Aku membalik, tepat saat pengasuh Lucas muncul bersama dengan sebuah selimut di tangannya. Cepat-cepat aku menutup mulutnya agar ia tidak bersuara.
            “Masuk dan ajak Lucas tidur. Beritahu Eleanor untuk tetap di istal,” perintahku berbisik. Pengasuh itu mengangguk lalu kulepaskan dia masuk ke istal. Ia melakukan apa yang kuperintahkan. Lucas turun dari Blance dan digendong sambil mengenakan selimut di sekitar pundaknya. Pengasuh itu berucap dengan suara kecil dan Eleanor mengangguk. Pipinya memerah seketika begitu pengasuh itu berbalik berjalan keluar dari istal. Pengasuh itu menempatkan kepala Lucas di lehernya sehingga anak itu tak dapat melihatku begitu mereka melewatiku.
            Aku berjalan masuk ke dalam istal, menarik perhatian sepenuhnya. Eleanor memeluk pinggangnya yang kecil, mulutnya yang manis itu terkatup rapat. Lalu ia mengangkat satu tangannya, menggaruk lehernya—bukan kebiasaan yang baik tapi dapat diperbaiki—lalu ia membuka mulut. “Apa kau mencuri dengar semuanya?”
            “Tidak semuanya,” ucapku menarik tangannya lalu menempatkannya di pundakku. “Dan fakta bahwa apa yang kukatakan tentang Lucas benar,”
            “Tentang apa?”
            “Dia akan menjadi playboy terkenal di Cardwell—ssh, jangan menyangkal. Aku berjanji akan membuatnya menghargai wanita,” kataku. “Seharian ini aku tidak melihatmu di istana, setelah aku membawa Abigail ke kamarnya. Kemana saja kau?”
            “Aku sibuk memerhatikan adik-adikku. Mereka kadang sangat susah sekali diatur, terutama Isabel. Aku tidak pernah akur dengannya, maafkan aku,” katanya menyesal, cukup membuatku bingung mengapa ia meminta maaf padaku. “Tapi sekarang kau sudah menemukanku. Jadi, apa yang kauinginkan, pangeran Miguel yang rupawan?”
            “Apa yang kuinginkan? Hmm.” Aku mengerucutkan bibir ke samping sambil mendorong tubuhnya ke belakang sampai ke tumpukan jerami. “Bagaimana kalau kita menyelesaikan apa yang kita mulai di perpustakaan tadi?”
            Salah satu alisnya terangkat, menantang. Seperti korek api, gairahku tersulut begitu saja. “Kita akan melakukannya di sini? Tapi aku sudah bersumpah tidak akan berhubungan badan denganmu.”
            “Suatu saat setelah kita menikah, kita akan melakukannya di sini,” bisikku mendorongnya jatuh bersama-sama denganku ke atas jerami. Ia tertawa, suara terindah yang pernah kudengar. Bibir kami terpagut dengan manis. Demi Tuhan, aku mencintainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar