CHAPTER THIRTEEN – BEAUTIFUL SLAVE
ELEANOR HUGHES
Hampir
seluruh wanita menikah, lajang, janda memberontak pada istana atas kabar
pertunanganku dan pangeran Miguel. Mereka semua tidak menerima pertunangan kami
dan menginginkan pernikahan dibatalkan, termasuk pertunangan kami. Pangeran
Miguel begitu sigap menempatkanku di istana dengan penjagaan ketat. Aku tidak
diizinkan keluar dari istana, bahkan ke istal sekalipun. Menurut yang Isabel
lihat, banyak wanita yang melempar batu ke istana, berniat melukaiku jika aku
berada di luar. Isabel berkata bahwa hubunganku dan pangeran Miguel membuat
para suami berani menyentuh pelayannya secara terbuka—bagi para wanita yang
telah menikah—dan bagi yang lajang dan janda, mereka tak habis pikir mengapa
pangeran Miguel lebih memilih pelayan dibanding wanita berkelas seperti mereka.
Berada
di dalam kamar bersama Isabel setidaknya berhasil membuatku merasa lebih baik.
Isabel lebih tinggi dari yang kuingat dengan pipi yang bersemu merah terus
menerus. Hanya Isabel yang sangat dekat denganku dibanding adik-adik yang lain,
bahkan Priscilla sekalipun. Meski Isabel yang paling menyebalkan dibanding yang
lain, namun ia pendengar yang baik jika aku memiliki masalah. Aku duduk di
depan meja bercermin sambil mengamati wajahku yang terlihat lebih berisi
sebelum aku datang di istana dan lebih berwarna. Ini pertama kalinya aku
mengamati wajahku di depan cermin setelah beberapa bulan terakhir ini aku
disibukkan dengan pekerjaan pelayan dan pangeran Miguel. Aku menatap Isabel
dari cermin. Ia sedang menyisir rambutku sambil duduk di belakang dan
bersenandung.
Aku
tersentak tiba-tiba. Untuk yang kesekian kalinya, aku mendengar suara tembakan
di luar. Demi Tuhan, siapa yang berani memegang senjata siang-siang seperti
ini? Jangan katakan padaku kalau yang memegang senjata itu perempuan! Kubalas
tatapan Isabel di cermin, ia tersenyum ringan.
“Kau
tahu, saat pertama kali melihatmu kemarin, aku tidak menyangka kau akan sesehat
ini. Bahkan rona merah di pipimu lebih sering muncul dibanding kau bersama kami
di desa. Kupikir kau akan ditelantarkan seperti anjing jalanan, tapi ternyata
tidak. Mengapa pangeran Miguel bisa mendapatkan hatimu, Eleanor? Kupikir kau
ingin menjadi biarawati,” ucap Isabel membuatku terkekeh pelan. Oh, inilah
suasana yang benar-benar kurindukan selama ini! Merasakan keluargaku ada di
sisiku, mendengar Isabel menyindirku tiap kali ia berbicara denganku, Priscilla
yang akan mengamati orang-orang di sekitarnya, Elizabeth yang sibuk dengan
pikirannya sendiri, atau Sarah dan Lucas bertengkar. Aku hanya sangat
merindukan keluargaku. Isabel menyisir rambutku lebih kasar hingga aku
terpekik.
“Lebih
baik aku menyisir rambutku sendiri,” gerutuku pura-pura kesal.
“Tidak,
tidak usah. Aku bisa. Jadi, apa alasanmu menerima pangeran Miguel menjadi
pasanganmu seumur hidupmu?”
“Dia
berbeda,” bisikku membayangkan wajahnya bila sedang tenang. Pangeran Miguel
dapat mengendalikan segalanya dengan nada suara rendah yang sama meski suasana genting.
Atau bagaimana wajah memerah dan urat-uratnya tercetak dengan jelas di
pelipisnya jika ia sedang marah atau rencananya gagal. Tapi dari semua yang
kuingat darinya, yang paling kusukai adalah bagaimana ia memelukku begitu
posesif, membuatku nyaman dan menginginkan pelukan itu terjadi terus menerus.
Setelah itu akan berbisik, semuanya akan baik-baik saja. Ia membuatku merasa
aman, diinginkan, dipuja dan dicintai secara menyeluruh—termasuk keburukanku
sekalipun.
“Hanya
itu?” Tukas Isabel terdengar tak terima. “Hanya karena dia berbeda, kau mau
menerimanya? Bukankah semua pria sama? Memakai wanita lalu membuangnya jika ia
sudah bosan? Atau karena ia seorang pangeran dan tampan?” Isabel tampak marah,
membuatku bingung. Apa masalahnya? Ini seharusnya menjadi pembicaraan sederhana
yang tak perlu memakai emosi secara berlebihan. Aku menggeleng cepat lalu
menjelaskan.
“Kau
tidak akan percaya jika aku memberitahumu saat kami pertama kali bertemu,”
ucapku menatap pada satu titik, lalu termenung memikirkan pertemuan pertama
kami. Bagaimana ia mengelus pipiku, berjanji akan bertemu denganku lagi dan
memulai hubungan percintaan yang takkan pernah kusangka akan sampai ke
pelaminan. Kurasakan jalinan tangan Isabel di rambutku hingga aku mendongak
menatapnya kembali di cermin. Wajahnya masih memerah, marah. Demi Tuhan, aku
penasaran apa masalahnya hingga ia bisa begitu marah. Tiba-tiba aku teringat
akan pria yang terakhir kali kulihat bersamanya. Andres Wrestling.
“Ceritakan,”
pinta Isabel tak sabar. Aku menghela nafas menceritakan bagaimana pertemuan
pertamaku dengan pangeran Miguel, bahkan bagian terkecil sekalipun aku
ceritakan—kecuali pada bagian pangeran Miguel membawa mayat yang ia bunuh. Lalu
bagaimana pangeran Miguel menciumku di taman belakang dan akan memberitahu pada
seluruh Cardwell kalau aku mengandung anaknya. Rona merah menjalar ke seluruh
wajahku sampai leher. Mengingat-ingat perbuatan yang ia lakukan untukku
menyulut perasaan rinduku. Meski baru setengah hari tak bertemu dengannya,
seolah-olah aku tidak bertemu dengannya selama beberapa bulan. Tapi aku tidak
menceritakan saat pangeran Miguel memberi buah beracun untuk Ayahnya.
Isabel
menghela nafas setelah aku berhenti berbicara, lalu ia mengedik bahu acuh tak
acuh. “Yah, beruntunglah dirimu mendapatkan pangeran Miguel. Calon raja,
rupawan, dan pecinta yang hebat. Mungkin suatu hari nanti aku akan seberuntung
dirimu,” katanya menjepit rambutku yang sudah dikepang rumit. Setelahnya, ia
bangkit dari kursi lalu berjalan menjauh dariku. Kakinya membawa Isabel ke
jendela kamar sehingga cahaya matahari membanjiri kulit putih Isabel. Kepala
Isabel mendongak ke arah luar jendela, menatap pada satu titik dengan kedua
tangan terlipat di depan dada. Ia bersandar di sisi jendela seperti tak
memedulikan tata kramanya sebagai wanita muda. Dan untunglah, aku bukan kakak
yang senang mengamati cara berdiri seorang wanita muda.
“Apa
yang Wrestling lakukan padamu?” Tanyaku memutar tubuh ke belakang, menatapnya.
Isabel mengedik bahu lagi, kemudian matanya terpejam.
“Kau
tahulah, dia telah mendapati hatiku dalam beberapa pertemuan. Setelah ia dapat
menciumku dan menggodaku beberapa kali, perhatiannya padaku berkurang. Aku
bahkan berani datang ke rumahnya untuk mengajaknya pergi ke padang rumput,
hanya untuk piknik. Tapi seperti pria pada umumnya, ia sudah tertarik dengan
gadis lain yang menurutnya lebih menarik dariku,” jelasnya membuka mata.
Kilatan benci dari mata birunya begitu terlihat sampai aku bergidik.
“Seharusnya aku tembak saja dia dengan senjata Ayah,”
“Isabel.”
Aku bangkit dari kursi, berjalan ke arahnya lalu memeluk pundaknya, berharap
dapat menenangkannya. “Dia pria bodoh karena telah melepaskan wanita semenarik
dirimu. Aku yakin suatu saat akan ada pria yang mencintaimu tulus.”
“Cinta
bukan segalanya dalam kehidupan, Eleanor. Bangunlah dan lihat dunia yang
sebenarnya. Sekarang pernikahan bukan berdasarkan cinta, tetapi keuntungan. Aku
tidak yakin akan bisa mencintai seseorang lagi. Terlalu memuakkan untuk kuingat
bagaimana rasanya.” Isabel menoleh padaku lalu menegakkan tubuh. Seulas
senyuman tulus menghiasi wajah. “Tapi tenang saja, aku turut bahagia atas
pertunanganmu.”
Kemudian
Isabel pergi dari hadapanku. Pintu kamarku terbanting, lalu kudengar suara
isakan dari luar. Oh, Isabel yang malang, sudah kuduga ia akan mudah hancur
seperti ini. Ia gadis periang dan mudah tersenyum, sekarang aku tidak dapat
menemukannya hanya karena Wrestling sialan itu. Aku bersumpah akan membuat
Wrestling menyesal atas apa yang telah ia perbuat pada Isabel!
***
Kumpulan
massa sudah dapat ditertibkan dalam waktu beberapa jam. Aku terkurung dalam
kamar hingga bulan menggantikan matahari di langit, tanpa Isabel. Sampai
sekarang, aku belum mendapat kabar apa pun dari pangeran Miguel dan aku
berharap segera keluar dari kamar karena aku ingin makan malam bersama
keluargaku. Saat pelayan menyiapkan air mandiku, aku sempat bertanya bagaimana
keadaan di luar dan keluargaku. Priscilla ternyata seharian ini berkuda bersama
Sarah dan Lucas. Sementara Elizabeth mengurung diri di perpustakaan, seperti
kebiasaannya yang senang membaca buku. Sementara Isabel, sejak ia keluar dari
kamarku, ia menyibukkan diri membantu para pelayan membuat makanan untuk makan
malam.
Seharian
ini yang kulakukan hanya menyulam seperti wanita pada umumnya. Dan sedikit
gangguan untuk makan siang dan mandi lalu berpakaian untuk tidur—yang berarti
aku tidak akan makan malam bersama keluargaku. Para penjaga yang berada di luar
kamarku mengatakan bahwa mereka diperintahkan pangeran Miguel agar tetap
menjagaku di kamar sampai ia kembali. Dan ya, ia belum kembali. Angin malam
masuk ke dalam kamarku hingga jendela yang terbuka terbanting-banting
mengganggu. Bangkit dari tempat tidur dan meninggalkan sulamanku, aku berjalan
menuju jendela lalu menutupnya. Keheningan sekarang lebih mendominasi.
Akhir-akhir ini aku merasa kecemasan berlebihan, entah mengapa. Mungkin karena
pangeran Miguel akan menjadi raja dan dalam 3 minggu ke depan aku akan menjadi
ratu Cardwell, aku sangat cemas. Warga mana yang ingin membungkuk untuk istri
raja yang pekerjaan sebelumnya tak lain dan tak bukan adalah seorang pelayan?
Aku
tersentak saat mendengar ketukan dari luar. Segera aku berjalan ke pintu lalu
membukanya. Abigail muncul dengan pakaian hitamnya, sama seperti milikku, namun
rambutku tak tertutupi tudung. Ia tak mengatakan apa-apa namun segera masuk ke
dalam. Dua penjaga di luar menatapku dengan tatapan bersalah, mungkin mereka
telah melarang Abigail masuk tetapi gagal. Aku menggumamkan kata tak apa-apa
tanpa suara, lalu menutup pintu. Aku berbalik, mendapati Abigail duduk di atas
ranjangku. Mata cokelatnya menatap lurus pada salah satu lilin yang menerangi
kamarku.
“Abigail,
ada yang bisa kubantu?” Tanyaku tenang. Kakiku melangkah mundur waspada saat
Abigail menoleh kepalanya tiba-tiba. Rasa cemas ini harus segera disingkirkan!
Mungkin aku harus berkonsultasi pada tabib istana—yang wanita, tentu saja.
Kuperhatikan Abigail yang kelihatan lebih baik dibanding kemarin, saat ia
mabuk. Ia kelihatan lebih… hidup.
“Justin
akan mengirimku ke Grandell besok. Kuharap kau senang karena telah
menyingkirkanku,” ucap Abigail sinis. Tenggorokanku tercekat! Aku bahkan tak
tahu kalau Abigail akan dijodohkan secepat ini. Dan, Tuhan tahu aku tidak mau
menyingkirkannya dari pangeran Miguel. Abigail bangkit dari tempat tidurku lalu
berjalan mendekat. “Barang-barangku sudah siap untuk dibawa besok. Nah, jaga
kakakku sebaik-baiknya, Eleanor Thaddeus—oh Hughes, kalian belum menikah.
Kusarankan kau pergi pada Mina untuk memeriksa apa kau hamil atau belum karena…
kulihat kau cemas saat aku masuk ke sini. Tak seperti biasanya,” katanya acuh
tak acuh. Apa aku setransparan itu hingga ia tahu aku cemas? Aku tak yakin apa
ia mengerti apa yang ia katakan, namun yang jelas, aku memang harus bertemu
dengan Mina, tabib istana. Abigail beranjak dari hadapanku lalu membuka pintu
kamar, menghilang dari pandanganku begitu pintu ditutup. Tidak mungkin aku akan
mengandung anak pangeran Miguel secepat ini, ia bahkan menyentuhku tidak lebih
dari 5 kali. Dan tak mungkin ini adalah anak sang raja, karena raja
mengeluarkan benihnya di atas punggungku agar aku tak hamil. Aku memeluk perut
merasa mual.
Mungkin
perasaan ini muncul karena begitu banyak yang terjadi akhir-akhir ini. Pangeran
Miguel bertunangan denganku, keluargaku datang, Isabel yang disakiti Wrestling,
dan kerumunan massa yang tak setuju akan pertunanganku dan pangeran Miguel. Ya,
kurasa itu penyebab kecemasanku. Kubuka kembali jendela untuk mendapatkan udara
segar lalu kutarik nafas dalam-dalam. Setidaknya angin ribut tadi sudah mereda.
Aku tersentak berbalik begitu mendengar suara pintu kamarku terbuka. Oh, aku
bisa menghitung sudah berapa kali aku terkejut hari ini. Sosok tinggi pangeran
Miguel memenuhi pintu kamar, kemudian ia melangkah masuk. Tangannya mengunci
pintu kamarku dengan cekatan, bahkan hampir tak bersuara. Ia menatapku seperti
pemangsa yang sedang mempelajari calon
korbannya. Keheningan menyelinap masuk selama beberapa saat kemudian ia membuka
mulut.
“Kulihat
Abigail muncul dari arah kamarmu,” katanya memberitahu. Kuanggukan kepalaku
sebagai jawaban. “Kau kedinginan?” Pangeran Miguel mengambil langkah besar ke
arahku lalu melewati tubuhku untuk menutup jendela di belakang. Sebuah pelukan
dari belakang membuatku terkejut hingga pangeran Miguel menarik dirinya dariku.
“Jangan,”
pintaku. “Peluklah aku,” bisikku berbalik menghadapnya. Dari pencahayaan
sedikit seperti ini, matanya biru lebih gelap dari biasanya. Namun pupil
hitamnya melebar sehingga matanya kelihatan tak nyata, seolah-olah ia memiliki
mata khusus yang diberikan Tuhan—dalam arti yang baik, tentu saja. Tangannya
menyelinap di pinggangku lalu ia menarik tubuhku lebih dekat padanya. Telapak tanganku menyentuh dadanya yang keras
namun dapat kurasakan detak jantungnya yang stabil.
“Maafkan
aku karena tak dapat mengunjungimu seharian ini, banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan. Terutama massa yang harus
ditertibkan. Apa ratuku baik-baik saja seharian ini?” Tanyanya memundurkan
kepalanya agar dapat melihatku. Tangannya terangkat menyentuh keningku lalu mengelusnya
dengan lembut, sentuhan yang selalu menenangkan.
“Tidak,”
bisikku pasrah. “Aku tidak tahan tinggal di kamar seharian. Aku harus
menyibukkan diriku pada sesuatu, aku ingin menghabiskan waktu bersama
keluargaku. Mengapa keluargaku dapat bersenang-senang sementara aku tidak?”
Tanyaku membuat suara pura-pura kesal. Pangeran Miguel menatapku kasihan
sekaligus menyesal, lalu ia menurunkan elusannya dari kening ke pipiku.
“Aku
hanya tidak ingin kau terluka karena terkena lemparan batu. Mungkin batu-batu
yang dilempar bisa membuat satu bangunan besar untuk anjing-anjing jalanan,
jika kau ingin tahu jumlahnya. Tentu saja aku tidak ingin keluar dari ruang
kerja dan mendapatimu berada dalam timbunan batu, kau juga tidak mau bukan?
Sekarang, mengapa kau begitu cemas?” Tanyanya penuh perhatian. Aku mendesah
pelan, merasa begitu terbuka padahal aku tak berusaha untuk terlihat cemas. Ya,
mungkin gerak tubuhku terlalu jujur dan transparan seperti kaca jendela. Aku
membuang wajahku dari pandangan pangeran Miguel, bingung apa yang harus
kukatakan padanya. Aku tak yakin kalau aku hamil, lalu aku ingat sesuatu.
Kubenturkan keningku ke dada pangeran Miguel lau mengerang. Aku sudah terlambat
3 hari dari waktu yang seharusnya!
Tangan
pangeran Miguel menyelip di daguku lalu mengangkatnya sehingga kepalaku
mendongak, menghadapnya. Mataku terpejam agar tak melihat matanya karena aku
yakin mulutku tak dapat kutahan untuk tak mengatakannya. Apakah ada keinginan
pangeran Miguel yang tidak terjadi? Ingin mendapatkanku? Oh, dia sudah memilikku
sejak 2 tahun yang lalu. Menginginkan kematian istri dan Ayahnya? Berjalan
sesuai keinginannya. Ingin menikahiku? Sebentar lagi akan terjadi. Dan
kehamilan yang ia janjikan padaku! Oh, ya Tuhan, aku tak mengerti mengapa
keinginannya selalu terjadi. Pasti ada hal yang tak ia dapatkan, sesuatu yang
membuatnya begitu egois—hingga ia mendapatkan apa yang ia inginkan—aku yakin
ada.
Karena
tak mendapat jawaban dariku, ia berbicara. “Aku akan mendengarkan, sekalipun
itu harus memakan waktu hingga subuh. Asalkan kau yang berbicara,” ucapnya
selembut embun. Mataku terbuka lalu tersenyum ragu.
“Aku
terlambat,” bisikku. Salah satu alisnya terangkat bingung. “Kurasa aku hamil,”
lanjutku menelan ludah. Tanganku yang menyentuh dadanya dapat merasakan
ketegangan otot-ototnya. Seharusnya aku tidak memberitahunya! Namun sangat
mengejutkan saat kulihat sederetan gigi putihnya tampak begitu kedua sudut
bibirnya terangkat. Ia mengangkat tubuhku hingga ujung kakiku tak menyentuh
lantai, aku terpekik tertawa atas perlakuannya. Pangeran Miguel membawaku ke
tempat tidur lalu menempatkanku dengan hati-hati, seperti anak bayi.
Ia
tak mengangkat tubuhnya dari atasku, kepalanya menyelinap di leherku lalu
mengecupnya hingga aku tergelitik. Lidahnya terjulur menyentuh titik sensitifku
hingga aku menggelinjang nikmat atas perlakuannya. Tanganku menyentuh kepalanya
lalu menarik rambutnya agar ia mengangkat kepala. Erangannya membuat seluruh
tubuhku bergetar, suaranya selalu berhasil mengirimkan gelenyar nikmat di sekujur
tubuhku—atau para wanita di Cardwell. Erangannya berubah menjadi tawa menular
hingga aku tak bisa menahan senyumanku. Matanya menatap ke seluruh wajahku
dengan gerakan kepala yang membingungkan hingga aku terpaksa memindahkan
tanganku dari kepalanya ke rahangnya agar kepalanya diam.
“Justin,”
bisikku menyebut nama depannya. “Hentikan dan katakan bagaimana perasaanmu.”
Aku masih menahan rahangnya namun ia tak berusaha menarik lepas kepalanya.
“Tidakkah
sudah terlihat jelas? Oh, Eleanor, Eleanor-ku. Kapan kau pernah membuatku
kecewa? Sumber kebahagiaanku, selalu. Aku beruntung mendapatkan wanita
sepertimu, kau tahu,” katanya begitu tulus. Kurasakan pipiku mulai memanas atas
pujiannya yang berlebihan, lalu aku memindahkan sentuhan tanganku dari
rahangnya ke pipi.
“Terima
kasih, aku mencintaimu.” Kuangkat kepalaku mengecup keningnya. “Sekarang,
maukah kau menjelaskan mengapa Abigail pergi ke Grandell sebelum pernikahan
kita?” Tanyaku mendorong dadanya agar ikut berbaring denganku. Ia menurut,
membaringkan tubuhnya di sampingku lalu dengan lugas ia mengangkat tubuhku
seperti anak bayi ke dalam rangkulannya. Embusan nafas panjangnya terasa di
keningku, kemudian aku mendongak melihatnya menatap lurus pada jendela. Dagunya
ditumbuhi bakal janggut yang belum dicukur, membuatnya terlihat lebih maskulin.
“Ia
bersumpah akan membunuhmu, kau tahu. Aku panik saat kudapati ia berjalan dari
arah kamarmu dan terima kasih Tuhan, kau baik-baik saja—bahkan luar biasa.
Abigail tidak pernah main-main dengan sumpahnya, bahkan Geoffrey—yang terkenal
omong kosong—tak pernah bermain dengan sumpah yang telah ia buat. Aku tak ingin
mengambil risiko kau mati terbunuh sehari sebelum pernikahan kita, Sayang.
Terutama karena kau sedang mengandung anak pertama kita,”
“Tidak
mungkin Abigail akan membunuhku, aku yakin. Ia hanya butuh pengertian, itu
saja.”
“Keluarga
Thaddeus terkenal karena kekejamannya membunuh orang. Tak menutup kemungkinan,
putri Thaddeus juga dapat membunuh seseorang. Entah itu kutukan atau anugerah.
Dalam kasus ini jelas itu adalah kutukan karena aku tak ingin Abigail atau
siapa pun membunuhmu.” Pangeran Miguel kembali mendesah, kurasa ia kecewa atas
sikap adik kesayangannya. Aku tak dapat mengatakan apa pun karena yang kutahu,
pangeran Miguel lebih mengenal Abigail dibanding diriku mengenal adiknya. Aku
bergidik membayangkan bagaimana Abigail membunuhku bila pangeran Miguel
membiarkan Abigail tetap di Cardwell dan menjalani rencananya.
Aku
penasaran apa yang akan pangeran Geoffrey lakukan padaku, apa kebenciannya setara
dengan kebencian Abigail terhadapku? Sejak hari pertunanganku dengan pangeran
Miguel, aku tak melihat tanda-tanda dari pangeran Geoffrey. Dua adik laki-laki
pangeran Miguel yang terakhir hanya menerima dengan tangan terbuka atas
pertunanganku dengan kakak mereka karena mereka masih kecil. Sikap mereka
sangat berbanding terbalik dari kakak perempuan mereka.
“Apa
yang dikatakan adikku padamu?” Tanyanya seolah-olah dapat membaca pikiranku.
Aku menempatkan tanganku di atas dadanya, mengelus dada itu untuk menutupi
kegelisahanku.
“Ia
memberitahuku kalau kau akan mengirimnya ke Grandell besok. Ia berkata, aku
senang telah menyingkirkannya. Aku tak percaya ia berpikir aku berusaha
menyingkirkannya darimu, demi Tuhan. Dan kurasa aku harus bertemu Mina untuk
memastikan apa aku benar hamil atau tidak.” Pangeran Miguel menyentuh punggung
tanganku yang berada di atas dadanya, menahan elusan tanganku lalu
menggenggamnya.
“Maafkan
dia, Abigail terguncang atas kematian Ayah. Namun Cardwell membutuhkan raja
secepatnya dan aku membutuhkanmu sebagai pendamping seumur hidupku saat itu
juga,” katanya menempatkan kepalanya di atas kepalaku. “Aku akan mengirimkan
tabib sebanyak yang kau mau untuk memastikan janinmu baik-baik saja.”
“Pangeran
Miguel, apa aku boleh keluar besok untuk menikmati hariku sebagai ganti hari
yang buruk ini?”
“Apa
pun yang kau mau, Sayangku, akan kukabulkan,” ucapnya menarik daguku ke atas
lalu mengecup ringan bibirku. “Asalkan kau berada di bawah lindungan para
pengawal, mengerti? Dan aku menolak mengabulkan permintaanmu menunggang kuda,”
katanya tegas di kalimat terakhir. Mataku membulat tak percaya. Tapi menunggang
kuda adalah kesukaanku!
“Itu
rencanaku besok bersama Isabel—jika ia mau. Oh, tidak adil!”
“Aku
lebih memilih mengambil risiko berperang hanya dengan 300 prajurit melawan 5000
musuh dibanding melihatmu menunggang kuda dalam keadaan mengandung. Oh, tentu
saja tidak. Keputusanku sudah bulat dan tak bisa diganggu gugat. Sekarang, apa
kau ingin kutemani tidur atau akan mengusirku pergi ke kamar? Aku siap apa pun
jawabanmu,” katanya begitu santai. Kehamilanku bahkan—pasti—belum mencapai dua
bulan, bahkan belum berbentuk bayi. Aku menarik diriku dari rangkulannya lalu
menyangga seluruh bobot tubuhku pada salah satu tanganku yang menyandar di
tempat tidur.
“Mengusirmu
pergi dari kamar,” kataku muram. “Dan oh, untuk catatan saja pangeran Miguel,
kurasa aku juga tidak ingin mengambil risiko membuat kepala bayi
tersentak-sentak bila aku berhubungan badan denganmu,” lanjutku menegakkan
dudukku—tak lagi bertumpu—melipat kedua tanganku di depan dada. Pangeran Miguel
bangkit dari tempat tidurku, berdiri di sisinya memerhatikanku dengan tatapan
menilai.
“Kau
tidak akan berani memerintahku seperti itu,” katanya terkekeh pelan.
“Oh,
aku baru saja melakukannya.” Senyumannya lenyap begitu saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar