Minggu, 04 Januari 2015

Beautiful Slave Bab 13 - Beautiful Slave

CHAPTER THIRTEEN – BEAUTIFUL SLAVE

ELEANOR HUGHES

            Hampir seluruh wanita menikah, lajang, janda memberontak pada istana atas kabar pertunanganku dan pangeran Miguel. Mereka semua tidak menerima pertunangan kami dan menginginkan pernikahan dibatalkan, termasuk pertunangan kami. Pangeran Miguel begitu sigap menempatkanku di istana dengan penjagaan ketat. Aku tidak diizinkan keluar dari istana, bahkan ke istal sekalipun. Menurut yang Isabel lihat, banyak wanita yang melempar batu ke istana, berniat melukaiku jika aku berada di luar. Isabel berkata bahwa hubunganku dan pangeran Miguel membuat para suami berani menyentuh pelayannya secara terbuka—bagi para wanita yang telah menikah—dan bagi yang lajang dan janda, mereka tak habis pikir mengapa pangeran Miguel lebih memilih pelayan dibanding wanita berkelas seperti mereka.
            Berada di dalam kamar bersama Isabel setidaknya berhasil membuatku merasa lebih baik. Isabel lebih tinggi dari yang kuingat dengan pipi yang bersemu merah terus menerus. Hanya Isabel yang sangat dekat denganku dibanding adik-adik yang lain, bahkan Priscilla sekalipun. Meski Isabel yang paling menyebalkan dibanding yang lain, namun ia pendengar yang baik jika aku memiliki masalah. Aku duduk di depan meja bercermin sambil mengamati wajahku yang terlihat lebih berisi sebelum aku datang di istana dan lebih berwarna. Ini pertama kalinya aku mengamati wajahku di depan cermin setelah beberapa bulan terakhir ini aku disibukkan dengan pekerjaan pelayan dan pangeran Miguel. Aku menatap Isabel dari cermin. Ia sedang menyisir rambutku sambil duduk di belakang dan bersenandung.
            Aku tersentak tiba-tiba. Untuk yang kesekian kalinya, aku mendengar suara tembakan di luar. Demi Tuhan, siapa yang berani memegang senjata siang-siang seperti ini? Jangan katakan padaku kalau yang memegang senjata itu perempuan! Kubalas tatapan Isabel di cermin, ia tersenyum ringan.
            “Kau tahu, saat pertama kali melihatmu kemarin, aku tidak menyangka kau akan sesehat ini. Bahkan rona merah di pipimu lebih sering muncul dibanding kau bersama kami di desa. Kupikir kau akan ditelantarkan seperti anjing jalanan, tapi ternyata tidak. Mengapa pangeran Miguel bisa mendapatkan hatimu, Eleanor? Kupikir kau ingin menjadi biarawati,” ucap Isabel membuatku terkekeh pelan. Oh, inilah suasana yang benar-benar kurindukan selama ini! Merasakan keluargaku ada di sisiku, mendengar Isabel menyindirku tiap kali ia berbicara denganku, Priscilla yang akan mengamati orang-orang di sekitarnya, Elizabeth yang sibuk dengan pikirannya sendiri, atau Sarah dan Lucas bertengkar. Aku hanya sangat merindukan keluargaku. Isabel menyisir rambutku lebih kasar hingga aku terpekik.
            “Lebih baik aku menyisir rambutku sendiri,” gerutuku pura-pura kesal.
            “Tidak, tidak usah. Aku bisa. Jadi, apa alasanmu menerima pangeran Miguel menjadi pasanganmu seumur hidupmu?”
            “Dia berbeda,” bisikku membayangkan wajahnya bila sedang tenang. Pangeran Miguel dapat mengendalikan segalanya dengan nada suara rendah yang sama meski suasana genting. Atau bagaimana wajah memerah dan urat-uratnya tercetak dengan jelas di pelipisnya jika ia sedang marah atau rencananya gagal. Tapi dari semua yang kuingat darinya, yang paling kusukai adalah bagaimana ia memelukku begitu posesif, membuatku nyaman dan menginginkan pelukan itu terjadi terus menerus. Setelah itu akan berbisik, semuanya akan baik-baik saja. Ia membuatku merasa aman, diinginkan, dipuja dan dicintai secara menyeluruh—termasuk keburukanku sekalipun.
            “Hanya itu?” Tukas Isabel terdengar tak terima. “Hanya karena dia berbeda, kau mau menerimanya? Bukankah semua pria sama? Memakai wanita lalu membuangnya jika ia sudah bosan? Atau karena ia seorang pangeran dan tampan?” Isabel tampak marah, membuatku bingung. Apa masalahnya? Ini seharusnya menjadi pembicaraan sederhana yang tak perlu memakai emosi secara berlebihan. Aku menggeleng cepat lalu menjelaskan.
            “Kau tidak akan percaya jika aku memberitahumu saat kami pertama kali bertemu,” ucapku menatap pada satu titik, lalu termenung memikirkan pertemuan pertama kami. Bagaimana ia mengelus pipiku, berjanji akan bertemu denganku lagi dan memulai hubungan percintaan yang takkan pernah kusangka akan sampai ke pelaminan. Kurasakan jalinan tangan Isabel di rambutku hingga aku mendongak menatapnya kembali di cermin. Wajahnya masih memerah, marah. Demi Tuhan, aku penasaran apa masalahnya hingga ia bisa begitu marah. Tiba-tiba aku teringat akan pria yang terakhir kali kulihat bersamanya. Andres Wrestling.
            “Ceritakan,” pinta Isabel tak sabar. Aku menghela nafas menceritakan bagaimana pertemuan pertamaku dengan pangeran Miguel, bahkan bagian terkecil sekalipun aku ceritakan—kecuali pada bagian pangeran Miguel membawa mayat yang ia bunuh. Lalu bagaimana pangeran Miguel menciumku di taman belakang dan akan memberitahu pada seluruh Cardwell kalau aku mengandung anaknya. Rona merah menjalar ke seluruh wajahku sampai leher. Mengingat-ingat perbuatan yang ia lakukan untukku menyulut perasaan rinduku. Meski baru setengah hari tak bertemu dengannya, seolah-olah aku tidak bertemu dengannya selama beberapa bulan. Tapi aku tidak menceritakan saat pangeran Miguel memberi buah beracun untuk Ayahnya.
            Isabel menghela nafas setelah aku berhenti berbicara, lalu ia mengedik bahu acuh tak acuh. “Yah, beruntunglah dirimu mendapatkan pangeran Miguel. Calon raja, rupawan, dan pecinta yang hebat. Mungkin suatu hari nanti aku akan seberuntung dirimu,” katanya menjepit rambutku yang sudah dikepang rumit. Setelahnya, ia bangkit dari kursi lalu berjalan menjauh dariku. Kakinya membawa Isabel ke jendela kamar sehingga cahaya matahari membanjiri kulit putih Isabel. Kepala Isabel mendongak ke arah luar jendela, menatap pada satu titik dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Ia bersandar di sisi jendela seperti tak memedulikan tata kramanya sebagai wanita muda. Dan untunglah, aku bukan kakak yang senang mengamati cara berdiri seorang wanita muda.
            “Apa yang Wrestling lakukan padamu?” Tanyaku memutar tubuh ke belakang, menatapnya. Isabel mengedik bahu lagi, kemudian matanya terpejam.
            “Kau tahulah, dia telah mendapati hatiku dalam beberapa pertemuan. Setelah ia dapat menciumku dan menggodaku beberapa kali, perhatiannya padaku berkurang. Aku bahkan berani datang ke rumahnya untuk mengajaknya pergi ke padang rumput, hanya untuk piknik. Tapi seperti pria pada umumnya, ia sudah tertarik dengan gadis lain yang menurutnya lebih menarik dariku,” jelasnya membuka mata. Kilatan benci dari mata birunya begitu terlihat sampai aku bergidik. “Seharusnya aku tembak saja dia dengan senjata Ayah,”
            “Isabel.” Aku bangkit dari kursi, berjalan ke arahnya lalu memeluk pundaknya, berharap dapat menenangkannya. “Dia pria bodoh karena telah melepaskan wanita semenarik dirimu. Aku yakin suatu saat akan ada pria yang mencintaimu tulus.”
            “Cinta bukan segalanya dalam kehidupan, Eleanor. Bangunlah dan lihat dunia yang sebenarnya. Sekarang pernikahan bukan berdasarkan cinta, tetapi keuntungan. Aku tidak yakin akan bisa mencintai seseorang lagi. Terlalu memuakkan untuk kuingat bagaimana rasanya.” Isabel menoleh padaku lalu menegakkan tubuh. Seulas senyuman tulus menghiasi wajah. “Tapi tenang saja, aku turut bahagia atas pertunanganmu.”
            Kemudian Isabel pergi dari hadapanku. Pintu kamarku terbanting, lalu kudengar suara isakan dari luar. Oh, Isabel yang malang, sudah kuduga ia akan mudah hancur seperti ini. Ia gadis periang dan mudah tersenyum, sekarang aku tidak dapat menemukannya hanya karena Wrestling sialan itu. Aku bersumpah akan membuat Wrestling menyesal atas apa yang telah ia perbuat pada Isabel!

***

            Kumpulan massa sudah dapat ditertibkan dalam waktu beberapa jam. Aku terkurung dalam kamar hingga bulan menggantikan matahari di langit, tanpa Isabel. Sampai sekarang, aku belum mendapat kabar apa pun dari pangeran Miguel dan aku berharap segera keluar dari kamar karena aku ingin makan malam bersama keluargaku. Saat pelayan menyiapkan air mandiku, aku sempat bertanya bagaimana keadaan di luar dan keluargaku. Priscilla ternyata seharian ini berkuda bersama Sarah dan Lucas. Sementara Elizabeth mengurung diri di perpustakaan, seperti kebiasaannya yang senang membaca buku. Sementara Isabel, sejak ia keluar dari kamarku, ia menyibukkan diri membantu para pelayan membuat makanan untuk makan malam.
            Seharian ini yang kulakukan hanya menyulam seperti wanita pada umumnya. Dan sedikit gangguan untuk makan siang dan mandi lalu berpakaian untuk tidur—yang berarti aku tidak akan makan malam bersama keluargaku. Para penjaga yang berada di luar kamarku mengatakan bahwa mereka diperintahkan pangeran Miguel agar tetap menjagaku di kamar sampai ia kembali. Dan ya, ia belum kembali. Angin malam masuk ke dalam kamarku hingga jendela yang terbuka terbanting-banting mengganggu. Bangkit dari tempat tidur dan meninggalkan sulamanku, aku berjalan menuju jendela lalu menutupnya. Keheningan sekarang lebih mendominasi. Akhir-akhir ini aku merasa kecemasan berlebihan, entah mengapa. Mungkin karena pangeran Miguel akan menjadi raja dan dalam 3 minggu ke depan aku akan menjadi ratu Cardwell, aku sangat cemas. Warga mana yang ingin membungkuk untuk istri raja yang pekerjaan sebelumnya tak lain dan tak bukan adalah seorang pelayan?
            Aku tersentak saat mendengar ketukan dari luar. Segera aku berjalan ke pintu lalu membukanya. Abigail muncul dengan pakaian hitamnya, sama seperti milikku, namun rambutku tak tertutupi tudung. Ia tak mengatakan apa-apa namun segera masuk ke dalam. Dua penjaga di luar menatapku dengan tatapan bersalah, mungkin mereka telah melarang Abigail masuk tetapi gagal. Aku menggumamkan kata tak apa-apa tanpa suara, lalu menutup pintu. Aku berbalik, mendapati Abigail duduk di atas ranjangku. Mata cokelatnya menatap lurus pada salah satu lilin yang menerangi kamarku.
            “Abigail, ada yang bisa kubantu?” Tanyaku tenang. Kakiku melangkah mundur waspada saat Abigail menoleh kepalanya tiba-tiba. Rasa cemas ini harus segera disingkirkan! Mungkin aku harus berkonsultasi pada tabib istana—yang wanita, tentu saja. Kuperhatikan Abigail yang kelihatan lebih baik dibanding kemarin, saat ia mabuk. Ia kelihatan lebih… hidup.
            “Justin akan mengirimku ke Grandell besok. Kuharap kau senang karena telah menyingkirkanku,” ucap Abigail sinis. Tenggorokanku tercekat! Aku bahkan tak tahu kalau Abigail akan dijodohkan secepat ini. Dan, Tuhan tahu aku tidak mau menyingkirkannya dari pangeran Miguel. Abigail bangkit dari tempat tidurku lalu berjalan mendekat. “Barang-barangku sudah siap untuk dibawa besok. Nah, jaga kakakku sebaik-baiknya, Eleanor Thaddeus—oh Hughes, kalian belum menikah. Kusarankan kau pergi pada Mina untuk memeriksa apa kau hamil atau belum karena… kulihat kau cemas saat aku masuk ke sini. Tak seperti biasanya,” katanya acuh tak acuh. Apa aku setransparan itu hingga ia tahu aku cemas? Aku tak yakin apa ia mengerti apa yang ia katakan, namun yang jelas, aku memang harus bertemu dengan Mina, tabib istana. Abigail beranjak dari hadapanku lalu membuka pintu kamar, menghilang dari pandanganku begitu pintu ditutup. Tidak mungkin aku akan mengandung anak pangeran Miguel secepat ini, ia bahkan menyentuhku tidak lebih dari 5 kali. Dan tak mungkin ini adalah anak sang raja, karena raja mengeluarkan benihnya di atas punggungku agar aku tak hamil. Aku memeluk perut merasa mual.
            Mungkin perasaan ini muncul karena begitu banyak yang terjadi akhir-akhir ini. Pangeran Miguel bertunangan denganku, keluargaku datang, Isabel yang disakiti Wrestling, dan kerumunan massa yang tak setuju akan pertunanganku dan pangeran Miguel. Ya, kurasa itu penyebab kecemasanku. Kubuka kembali jendela untuk mendapatkan udara segar lalu kutarik nafas dalam-dalam. Setidaknya angin ribut tadi sudah mereda. Aku tersentak berbalik begitu mendengar suara pintu kamarku terbuka. Oh, aku bisa menghitung sudah berapa kali aku terkejut hari ini. Sosok tinggi pangeran Miguel memenuhi pintu kamar, kemudian ia melangkah masuk. Tangannya mengunci pintu kamarku dengan cekatan, bahkan hampir tak bersuara. Ia menatapku seperti pemangsa yang sedang  mempelajari calon korbannya. Keheningan menyelinap masuk selama beberapa saat kemudian ia membuka mulut.
            “Kulihat Abigail muncul dari arah kamarmu,” katanya memberitahu. Kuanggukan kepalaku sebagai jawaban. “Kau kedinginan?” Pangeran Miguel mengambil langkah besar ke arahku lalu melewati tubuhku untuk menutup jendela di belakang. Sebuah pelukan dari belakang membuatku terkejut hingga pangeran Miguel menarik dirinya dariku.
            “Jangan,” pintaku. “Peluklah aku,” bisikku berbalik menghadapnya. Dari pencahayaan sedikit seperti ini, matanya biru lebih gelap dari biasanya. Namun pupil hitamnya melebar sehingga matanya kelihatan tak nyata, seolah-olah ia memiliki mata khusus yang diberikan Tuhan—dalam arti yang baik, tentu saja. Tangannya menyelinap di pinggangku lalu ia menarik tubuhku lebih dekat padanya.  Telapak tanganku menyentuh dadanya yang keras namun dapat kurasakan detak jantungnya yang stabil.
            “Maafkan aku karena tak dapat mengunjungimu seharian ini, banyak pekerjaan yang  harus kuselesaikan. Terutama massa yang harus ditertibkan. Apa ratuku baik-baik saja seharian ini?” Tanyanya memundurkan kepalanya agar dapat melihatku. Tangannya terangkat menyentuh keningku lalu mengelusnya dengan lembut, sentuhan yang selalu menenangkan.
            “Tidak,” bisikku pasrah. “Aku tidak tahan tinggal di kamar seharian. Aku harus menyibukkan diriku pada sesuatu, aku ingin menghabiskan waktu bersama keluargaku. Mengapa keluargaku dapat bersenang-senang sementara aku tidak?” Tanyaku membuat suara pura-pura kesal. Pangeran Miguel menatapku kasihan sekaligus menyesal, lalu ia menurunkan elusannya dari kening ke pipiku.
            “Aku hanya tidak ingin kau terluka karena terkena lemparan batu. Mungkin batu-batu yang dilempar bisa membuat satu bangunan besar untuk anjing-anjing jalanan, jika kau ingin tahu jumlahnya. Tentu saja aku tidak ingin keluar dari ruang kerja dan mendapatimu berada dalam timbunan batu, kau juga tidak mau bukan? Sekarang, mengapa kau begitu cemas?” Tanyanya penuh perhatian. Aku mendesah pelan, merasa begitu terbuka padahal aku tak berusaha untuk terlihat cemas. Ya, mungkin gerak tubuhku terlalu jujur dan transparan seperti kaca jendela. Aku membuang wajahku dari pandangan pangeran Miguel, bingung apa yang harus kukatakan padanya. Aku tak yakin kalau aku hamil, lalu aku ingat sesuatu. Kubenturkan keningku ke dada pangeran Miguel lau mengerang. Aku sudah terlambat 3 hari dari waktu yang seharusnya!
            Tangan pangeran Miguel menyelip di daguku lalu mengangkatnya sehingga kepalaku mendongak, menghadapnya. Mataku terpejam agar tak melihat matanya karena aku yakin mulutku tak dapat kutahan untuk tak mengatakannya. Apakah ada keinginan pangeran Miguel yang tidak terjadi? Ingin mendapatkanku? Oh, dia sudah memilikku sejak 2 tahun yang lalu. Menginginkan kematian istri dan Ayahnya? Berjalan sesuai keinginannya. Ingin menikahiku? Sebentar lagi akan terjadi. Dan kehamilan yang ia janjikan padaku! Oh, ya Tuhan, aku tak mengerti mengapa keinginannya selalu terjadi. Pasti ada hal yang tak ia dapatkan, sesuatu yang membuatnya begitu egois—hingga ia mendapatkan apa yang ia inginkan—aku yakin ada.
            Karena tak mendapat jawaban dariku, ia berbicara. “Aku akan mendengarkan, sekalipun itu harus memakan waktu hingga subuh. Asalkan kau yang berbicara,” ucapnya selembut embun. Mataku terbuka lalu tersenyum ragu.
            “Aku terlambat,” bisikku. Salah satu alisnya terangkat bingung. “Kurasa aku hamil,” lanjutku menelan ludah. Tanganku yang menyentuh dadanya dapat merasakan ketegangan otot-ototnya. Seharusnya aku tidak memberitahunya! Namun sangat mengejutkan saat kulihat sederetan gigi putihnya tampak begitu kedua sudut bibirnya terangkat. Ia mengangkat tubuhku hingga ujung kakiku tak menyentuh lantai, aku terpekik tertawa atas perlakuannya. Pangeran Miguel membawaku ke tempat tidur lalu menempatkanku dengan hati-hati, seperti anak bayi.
            Ia tak mengangkat tubuhnya dari atasku, kepalanya menyelinap di leherku lalu mengecupnya hingga aku tergelitik. Lidahnya terjulur menyentuh titik sensitifku hingga aku menggelinjang nikmat atas perlakuannya. Tanganku menyentuh kepalanya lalu menarik rambutnya agar ia mengangkat kepala. Erangannya membuat seluruh tubuhku bergetar, suaranya selalu berhasil mengirimkan gelenyar nikmat di sekujur tubuhku—atau para wanita di Cardwell. Erangannya berubah menjadi tawa menular hingga aku tak bisa menahan senyumanku. Matanya menatap ke seluruh wajahku dengan gerakan kepala yang membingungkan hingga aku terpaksa memindahkan tanganku dari kepalanya ke rahangnya agar kepalanya diam.
            “Justin,” bisikku menyebut nama depannya. “Hentikan dan katakan bagaimana perasaanmu.” Aku masih menahan rahangnya namun ia tak berusaha menarik lepas kepalanya.
            “Tidakkah sudah terlihat jelas? Oh, Eleanor, Eleanor-ku. Kapan kau pernah membuatku kecewa? Sumber kebahagiaanku, selalu. Aku beruntung mendapatkan wanita sepertimu, kau tahu,” katanya begitu tulus. Kurasakan pipiku mulai memanas atas pujiannya yang berlebihan, lalu aku memindahkan sentuhan tanganku dari rahangnya ke pipi.
            “Terima kasih, aku mencintaimu.” Kuangkat kepalaku mengecup keningnya. “Sekarang, maukah kau menjelaskan mengapa Abigail pergi ke Grandell sebelum pernikahan kita?” Tanyaku mendorong dadanya agar ikut berbaring denganku. Ia menurut, membaringkan tubuhnya di sampingku lalu dengan lugas ia mengangkat tubuhku seperti anak bayi ke dalam rangkulannya. Embusan nafas panjangnya terasa di keningku, kemudian aku mendongak melihatnya menatap lurus pada jendela. Dagunya ditumbuhi bakal janggut yang belum dicukur, membuatnya terlihat lebih maskulin.
            “Ia bersumpah akan membunuhmu, kau tahu. Aku panik saat kudapati ia berjalan dari arah kamarmu dan terima kasih Tuhan, kau baik-baik saja—bahkan luar biasa. Abigail tidak pernah main-main dengan sumpahnya, bahkan Geoffrey—yang terkenal omong kosong—tak pernah bermain dengan sumpah yang telah ia buat. Aku tak ingin mengambil risiko kau mati terbunuh sehari sebelum pernikahan kita, Sayang. Terutama karena kau sedang mengandung anak pertama kita,”
            “Tidak mungkin Abigail akan membunuhku, aku yakin. Ia hanya butuh pengertian, itu saja.”
            “Keluarga Thaddeus terkenal karena kekejamannya membunuh orang. Tak menutup kemungkinan, putri Thaddeus juga dapat membunuh seseorang. Entah itu kutukan atau anugerah. Dalam kasus ini jelas itu adalah kutukan karena aku tak ingin Abigail atau siapa pun membunuhmu.” Pangeran Miguel kembali mendesah, kurasa ia kecewa atas sikap adik kesayangannya. Aku tak dapat mengatakan apa pun karena yang kutahu, pangeran Miguel lebih mengenal Abigail dibanding diriku mengenal adiknya. Aku bergidik membayangkan bagaimana Abigail membunuhku bila pangeran Miguel membiarkan Abigail tetap di Cardwell dan menjalani rencananya.
            Aku penasaran apa yang akan pangeran Geoffrey lakukan padaku, apa kebenciannya setara dengan kebencian Abigail terhadapku? Sejak hari pertunanganku dengan pangeran Miguel, aku tak melihat tanda-tanda dari pangeran Geoffrey. Dua adik laki-laki pangeran Miguel yang terakhir hanya menerima dengan tangan terbuka atas pertunanganku dengan kakak mereka karena mereka masih kecil. Sikap mereka sangat berbanding terbalik dari kakak perempuan mereka.
            “Apa yang dikatakan adikku padamu?” Tanyanya seolah-olah dapat membaca pikiranku. Aku menempatkan tanganku di atas dadanya, mengelus dada itu untuk menutupi kegelisahanku.
            “Ia memberitahuku kalau kau akan mengirimnya ke Grandell besok. Ia berkata, aku senang telah menyingkirkannya. Aku tak percaya ia berpikir aku berusaha menyingkirkannya darimu, demi Tuhan. Dan kurasa aku harus bertemu Mina untuk memastikan apa aku benar hamil atau tidak.” Pangeran Miguel menyentuh punggung tanganku yang berada di atas dadanya, menahan elusan tanganku lalu menggenggamnya.
            “Maafkan dia, Abigail terguncang atas kematian Ayah. Namun Cardwell membutuhkan raja secepatnya dan aku membutuhkanmu sebagai pendamping seumur hidupku saat itu juga,” katanya menempatkan kepalanya di atas kepalaku. “Aku akan mengirimkan tabib sebanyak yang kau mau untuk memastikan janinmu baik-baik saja.”
            “Pangeran Miguel, apa aku boleh keluar besok untuk menikmati hariku sebagai ganti hari yang buruk ini?”
            “Apa pun yang kau mau, Sayangku, akan kukabulkan,” ucapnya menarik daguku ke atas lalu mengecup ringan bibirku. “Asalkan kau berada di bawah lindungan para pengawal, mengerti? Dan aku menolak mengabulkan permintaanmu menunggang kuda,” katanya tegas di kalimat terakhir. Mataku membulat tak percaya. Tapi menunggang kuda adalah kesukaanku!
            “Itu rencanaku besok bersama Isabel—jika ia mau. Oh, tidak adil!”
            “Aku lebih memilih mengambil risiko berperang hanya dengan 300 prajurit melawan 5000 musuh dibanding melihatmu menunggang kuda dalam keadaan mengandung. Oh, tentu saja tidak. Keputusanku sudah bulat dan tak bisa diganggu gugat. Sekarang, apa kau ingin kutemani tidur atau akan mengusirku pergi ke kamar? Aku siap apa pun jawabanmu,” katanya begitu santai. Kehamilanku bahkan—pasti—belum mencapai dua bulan, bahkan belum berbentuk bayi. Aku menarik diriku dari rangkulannya lalu menyangga seluruh bobot tubuhku pada salah satu tanganku yang menyandar di tempat tidur.
            “Mengusirmu pergi dari kamar,” kataku muram. “Dan oh, untuk catatan saja pangeran Miguel, kurasa aku juga tidak ingin mengambil risiko membuat kepala bayi tersentak-sentak bila aku berhubungan badan denganmu,” lanjutku menegakkan dudukku—tak lagi bertumpu—melipat kedua tanganku di depan dada. Pangeran Miguel bangkit dari tempat tidurku, berdiri di sisinya memerhatikanku dengan tatapan menilai.
            “Kau tidak akan berani memerintahku seperti itu,” katanya terkekeh pelan.
            “Oh, aku baru saja melakukannya.” Senyumannya lenyap begitu saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar