Minggu, 04 Januari 2015

Beautiful Slave Bab 14 - As You Wish

CHAPTER FOURTEEN – AS YOU WISH

JUSTIN MIGUEL THADDEUS

            “Oh, aku baru saja melakukannya,” ucap Eleanor membuat senyumanku runtuh. Tangannya terlipat di depan dada, memberikan tatapan menantang padaku. Baiklah, aku lebih memilih menuruti permintaannya dibanding harus melihatnya berkuda dalam keadaan mengandung—terutama ia mengandung keturunan Thaddeus. Masih banyak cara agar aku mendapatkan kepuasan dari Eleanor, hanya saja ia belum mengetahuinya. Dengan sengaja, Eleanor menarik seluruh rambutnya dalam satu ikatan jarinya sehingga lehernya yang putih terpampang jelas. Aku menarik nafas tajam, berusaha menahan diri untuk tak menyentuh Eleanor sejengkal pun. Karena Tuhan tahu, aku akan hilang kendali bila menyentuhnya. Bahkan untuk kecupan ringan saat ini. Tangan Eleanor yang lain menyentuh tengkuknya lalu mengelus-elus kulit itu dengan pelan. Ini semakin menarik saja.
            “Jangan menggodaku seperti itu karena itu tidak akan berhasil.” Aku sangat ingin menyentuhnya! Gigiku bergemeletuk menahan hasrat untuk tak ikut mengelus tengkuknya yang manis. Eleanor mengangkat pandangannya dengan tatapan nakal hingga aku menarik nafas tajam. Kukibas-kibaskan tanganku seperti mengusir lalat lalu berbalik memunggunginya. Eleanor terkekeh lalu kudengar ia bergerak di atas tempat tidur.
            “Aku ingin tidur. Selamat malam, pangeran Miguel.” Aku mengangguk satu kali lalu berjalan menuju lilin-lilin yang masih menyala dan meniupnya hingga hanya cahaya bulan yang menerangi kamar Eleanor dari kaca jendela. Kakiku melangkah menuju pintu lalu membuka kuncinya. Sebelum aku menarik pintu, aku melirik Eleanor yang telah berada di balik selimut dengan mata terpejam. Mahluk terindah dan hanya milikku. Aku keluar, mendapati dua prajurit Eleanor menegang di bawah tatapanku.
            Aku hanya berjalan melewati mereka sambil berpikir apa yang harus kukatakan pada Abigail mengenai kepergiaannya. Aku berjalan melewati lorong ke lorong lain, sesekali mengangguk pada para pelayan yang membungkuk padaku. Hanya perlu melewati tiga lorong lagi, maka aku akan sampai di kamar Abigail. Dari kejauhan kudengar suara geraman seorang pria memaki-maki lalu bersumpah. Suara yang begitu familiar di telingaku, suara yang tak pernah kusukai dan pemilik suara itu sedang menyumpahiku.
“…sudah tidak ada begitu ia pulang nanti. Si bodoh Miguel tentu tidak tahu apa yang harus ia perbuat pada Cardwell. Ia harus disingkirkan beserta antek-anteknya—maksudku adik-adiknya.” Ia berhenti sesaat, mendengus. Kemudian ia melanjutkan. “Lihat saja, suatu saat ia yang akan berlutut di hadapanku sementara aku menggerayangi adik perempuan kesayangannya itu.” Si pemilik suara itu terdengar was-was dan khawatir. Lalu aku melangkah belok ke lorong sebelah kanan. Tepat ketika ia membalikkan tubuhnya, aku berhenti melangkah sembari menatapnya dengan tatapan ingin membunuh. Tanganku gatal ingin menusuk dua bola mata itu dengan pisau makan malam ditambah tusukan pedang di mulutnya. Wajahnya tiba-tiba pucat pasi, begitu juga bibirnya yang mulai berubah warna menjadi lebih putih. Aku percaya, ia pasti berpikir aku pulang subuh-subuh karena seja sore aku pergi ke pelabuhan untuk memeriksa masalah di sana. Salah satu kapal Cardwell mengalami kerusakan parah, aku sebagai orang nomor satu di Cardwell, tentu harus turun tangan. Clement tak berguna! Tampaknya ia tak menyukai kenyataan bahwa akulah yang akan menjadi raja selanjutnya. Bajingan kecil yang bodoh. Ayah pasti sudah mencuci otaknya agar mengagumi Ayahku melebihi Ayah mengagumi dirinya sendiri.
“Tuanku.” Ia membungkukkan tubuhnya, membuatku muak setengah mati. Bajingan sialan bermuka dua.
            Clement ceroboh dan bodoh, mengapa Ayah memperkerjakan orang semacamnya? Karena tidak ada orang sebodoh Clement yang muda dipengaruhi Ayah. Sekarang aku tahu alasan tepat mengapa aku tak menyukainya. Clement lebih sering memerintah bawahannya dibanding melakukan yang diperintahkan, orang malas yang licik. Saat ia ingin mengucapkan sepatah kata, aku mengangkat tangan.
            “Tetap di tempat,” tukasku. “Kau kupecat.” Aku menurunkan tangan. Clement tersentak, ia mundur beberapa langkah seolah-olah baru saja kupukul di bagian kepala dan terhuyung-huyung ke belakang.
            “Tuanku—“
            “Aku tidak suka dengan cara kerjamu, Clement. Aku takkan mengulangnya dua kali. Sekarang, siapkan barang-barangmu dan aku berharap tidak melihat wajahmu besok pagi,”
            “Pangeran Miguel kurasa ada kesalah—“
            “Jika kutemukan kau besok pagi di istana, aku akan mengirimmu ke Danau Mayat. Apa kau mengerti?” Tanyaku tegas dan kasar. Clement terdiam sesaat lalu ia akhirnya mengangguk. “Bagus. Selamat malam, Clement.” Aku berjalan melewatinya dan prajurit yang mendengarkan ocehan Clement, beruntung aku masih baik hati karena tidak memecatnya. Seluruh prajurit di istana tak menyukai Clement, aku tahu, karena sikapnya yang sok tahu dan sombong. Sungguh, aku kasihan pada Clement sebab ia tidak memiliki teman atau siapa pun.
            Dua prajurit menyingkir dari depan pintu kamar Abigail, membiarkan aku mengetuk pintu kamarnya. Sejak aku memerintahkannya untuk mengepak barang, adik kesayanganku tak pernah keluar dari kamarnya—kecuali saat aku mendapatinya muncul dari arah kamar Eleanor, maka dari itu aku panik. Setelah beberapa kali mengetuk pintunya, Abigail menyahut dari dalam mengizinkan aku masuk—dan sebenarnya aku tak membutuhkan izinnya atau tidak. Begitu aku membuka pintu, aroma kamarnya yang wangi menyentuh indra penciumanku. Lionel Hamond, Duke of Grandell, pasti akan sangat menyukainya. Lagi pula, siapa yang tak menyukai Abigail Thaddeus, permata tercantik di seluruh Cardwell?
            Abigail sudah mengenakan pakaian tidurnya yang berwarna hitam sementara rambutnya masih tertutup tudung hitam. Tubuhnya yang mungil terduduk di atas tempat tidur dengan sebuah buku berada di pangkuannya. Begitu banyak tas yang akan dibawa Abigail ke Grandell, belum lagi dengan perlengkapan dan persediaan makanannya. Dibutuhkan tiga kereta kuda untuk mengiringnya pergi ke tempat Duke of Grandell berada. Bibir merah mudanya tetap terkatup rapat saat ia menyadari bahwa hanya kakaknya yang memasuki kamar.
            Karena tahu ia takkan membuka mulut, aku berbicara. “Selamat malam, kesayangan Cardwell. Bagaimana keadaanmu?” Tanyaku mendekatinya. Abigail tidak menatapku, kepalanya tertunduk memandangan lurus pada buku di pangkuannya.
            “Tidak pernah sebahagia ini,” ucapnya datar. Yah, setidaknya Abigail ingin menjawab pertanyaanku. Abigail memindahkan buku di pangkuannya ke atas tempat tidur sebelahnya, sesaat ia berhenti bergerak, kemudian ia mendongak memandangku. Untuk pertama kalinya, sejak kematian Ayah, mata cokelat Abigail memancarkan kebahagiaan. Aku tak mengerti mengapa, namun aku senang karena semenjak kematian Ayah, aku menginginkan ini. Abigail membawa tubuhnya yang mungil itu berdiri keluar dari tempat tidur sehingga ia berhadapan denganku begitu dekat.
            Tangan Abigail terangkat menyentuh pipiku, menyentuh bakal janggutku yang perlu kucukur. Seperti anak kecil, Abigail terkikik merasakan janggutku yang menggelitik telapak tangannya. Mau tak mau, aku tersenyum melihat perubahan suasana hatinya yang membaik. Tak bisa menebak apa yang ia perbuat selanjutnya, Abigail berjinjit lalu mengecup ringan bibirku. Mataku mengerjap-kerjap selama beberapa detik, cukup terkejut atas apa yang ia lakukan. Setelah beberapa bulan ia tak mengecup bibirku, rasanya sudah tak sama lagi. Entah mengapa, perlakuan itu membuatku merasa bersalah pada Eleanor. Seolah-olah ciuman dari Ibuku sekalipun kuanggap pengkhianatan secara tak langsung. Namun melihat suasana hati Abigail yang bagus, aku tak ingin merusaknya seakan-akan ini adalah momen langka.
            “Abigail, maukah kau menjelaskan mengapa kau begitu bahagia?”
            “Oh, jadi aku tidak boleh bahagia, Justin?” Tanyanya menantang. Kedua tangannya terulur bergelanyut di leherku, seperti yang dilakukan Eleanor sering kali. Tetapi tidak ada gelenyar nikmat yang hanya bisa diberikan Eleanor. Sebelum aku menjawab pertanyaannya, ia sudah berbicara. “Aku bahagia karena akhirnya, aku bebas. Maksudku, bukan darimu. Aku bosan tinggal di istana, terutama kau tahulah, keadaan di istana semakin tak terkendali. Mungkin kau benar. Bila aku tinggal di Grandell, aku akan merasa lebih baik. Maafkan perkataanku yang menyakitimu sebelumnya, Justin. Aku tak bermaksud seperti itu, tetapi kematian Ayah sangat membuatku terguncang.” Tangan kanan Abigail turun menyentuh dadaku, mengelusnya dengan pelan.
            “Aku tahu,” bisikku mengelus rambutnya. Kemudian ia tersenyum jahil. “Pasti ada sesuatu yang kau inginkan dariku. Katakan saja,” ucapku menggodanya. Abigail tertawa pelan lalu membentur kepalanya ke dadaku, ia menarik kembali kepalanya mendongak menatapku. Ia menggigit bibir bawahnya, ragu ingin mengatakan keinginannya. Ia menurunkan pandangannya ke dadaku, mengikuti gerakan tangannya yang mengelus dadaku.
            “Yah, aku hanya ingin… karena ini adalah hari terakhirku di Cardwell sampai kau menjadi raja, kupikir aku boleh pergi jalan-jalan denganmu malam ini. Menunggang kuda misalnya,” ucapnya lalu mengangkat matanya padaku. Pipinya bersemu merah, merasa malu entah karena apa. Lagi pula, mengapa ia harus malu dengan permintaan itu? Apa pun akan kukabulkan asalkan permintaan itu masih masuk akal.
            “Tentu saja, Sayangku. Tapi apa kau yakin tidak ingin beristirahat untuk perjalanan panjang nanti?”
            “Tidak.” Ia menggeleng kepala. “Kuyakin akan mendapat istirahat yang cukup selama perjalanan. Ayo.”
            Aku merasakan perasaan janggal saat Abigail menarik tanganku. Pasti ada yang salah. Sesuatu yang akan mengguncangku, sesuatu yang tak kuketahui namun aku sangat mengkhawatirkannya. Apakah itu Eleanor? Tidak mungkin, ia sudah beristirahat tenang dan aman dibawah penjagaan dua prajuritku. Sepertinya aku akan terjaga malam ini.

Abigail mendongak, memerhatikan langit-langit malam bertabur bintang. Matanya lebih terang disinari cahaya bulan sehingga ia tampak seperti dewi yang meratap. Setelah kami melakukan perjalanan mengelilingi alun-alun Cardwell, aku mengajaknya untuk pergi ke bukit yang biasa kami datangi sejak kecil. Melihat Abigail mengingatkanku pada Eleanor yang mengancamku agar tak berhubungan badan dengannya. Oh ya Tuhan, jika aku tidak bertemu dengan Eleanor, aku yakin sampai mati pun aku takkan pernah merasa lengkap seumur hidupku. Tidak akan ada yang bisa membangkitkan gairah hidupku seperti yang Eleanor lakukan.
            Tangan Abigail menarik lepas tudung yang menutup rambutnya sehingga rambut cokelatnya terpampang jelas. Ia tidak mengepang atau mengikat rambutnya seperti biasanya, hanya digerai seperti ketika ia masih kecil. Abigail melipat tudung hitamnya dengan rapi lalu ia mendesah. “Aku tak ingin kau membangunkan Eleanor besok pagi hanya agar ia menemuiku untuk mengucapkan selamat tinggal.”
            “Dengan alasan?”
            “Kau harus berjanji agar tak membangunkan siapa pun bila aku pergi besok pagi, bahkan Ibu sekalipun. Aku hanya ingin perpisahan ini hanya dilakukan berdua, kumohon? Bila tidak, aku tidak akan pergi ke Grandell bahkan jika kau mengancam membunuhku,” katanya asal. Aku tertawa pelan memikirkan alasan terkuat apa yang dapat membuatku ingin membunuh adik kesayanganku sendiri.
            “Aku takkan pernah membunuhmu, Abigail, kesayanganku. Baiklah, jika itu yang kau mau. Meninggalkan istanamu sendiri mengendap-endap seolah-olah kau pencuri,” ucapku menekan bibirku menjadi sebuah garis tipis. “Apa kau tidak ingin mengucapkan selamat tinggal pada Geoffrey?”
            “Tidak, aku sudah mengucapkan selamat tinggal pada keluarga dan keluarga Hughes, bahkan Eleanor. Jadi, aku tidak membutuhkan yang kedua kalinya. Apa Duke of Grandell adalah pria yang baik hati?”
            “Dia teman baikku, Abigail. Tidak mungkin aku mengirimkanmu pada pria jahat. Aku sudah berpikir sejak dulu kalau dialah yang tepat untukmu. Kepribadian kalian sangat berbeda namun aku bisa melihat bagaimana kalian berdua bisa cocok. Duke of Grandell senang dengan gadis muda sepertimu. Sejauh yang kukenal, dia pria yang setia. Sementara kau, adikku, kau senang dengan pria yang memberikanmu kesenangan. Duke of Grandell sangat ahli dalam hal kesenangan. Bahkan saat kau mati pun, kau akan tersenyum.”
            Abigail tertawa keras, sesuatu yang seharusnya tak dilakukan seorang putri kerajaan. “Baiklah, aku percaya dengan pilihanmu. Ayo kita pulang, sudah larut malam.”
            “Sepertinya seluruh Cardwell setuju dengan ucapanmu.” Karena demi Tuhan, aku sangat lelah seharian ini bekerja. Kurasa tidur di atas ranjang yang empuk bukan pilihan yang buruk.

***

            Sesuai keinginannya, aku tak membangunkan Eleanor atau siapa pun pagi itu. Matahari bahkan masih malu-malu di balik pegunungan sejauh mata memandang. Semalam Abigail memaksa agar ia mengantarku sampai ke kamar hingga aku tidur. Hanya karena kemarin adalah hari terakhir aku dapat menghabiskan waktu bersama dengannya, aku menuruti setiap permintaannya. Dan ia berhasil membuatku terlelap seperti orang mati dan mendapati ia sudah tidak ada di kamarku begitu aku bangun pagi-pagi.
“Kuharap kau menjadi raja yang baik, Justin. Dan tentu saja, suami yang baik. Aku menunggu lahirnya anak pertamamu, mengerti? Sekarang, peluk aku dan katakan kau akan merindukanku.” Air mata Abigail berkumpul di pelupuk matanya. Aku tak bisa melihat adikku menangis seperti ini—dan membuat tontonan bagi para pelayan yang berdiri di sekitar kami. Aku mengangkat tangan mengusir para pelayan sebentar untuk mendapatkan privasi bersama adikku. Setelah mereka masuk dalam istana, aku memerhatikan Abigail dengan tatapan menilai.  Kedua tanganku terangkat begitu air matanya melintasi pipinya yang seputih porselen itu lalu mengelapnya dengan ibu jari.
            “Aku akan merindukanmu, kesayangan. Jaga dirimu baik-baik. Aku mencintaimu,” bisikku memeluknya lalu mengecup keningnya. Abigail melepaskan pelukanku, lalu tanpa melihatku sama sekali, ia memanggil dua pendamping dan kusirnya agar ia segera berangkat. Kuulurkan tanganku begitu ia menaiki undakan untuk masuk ke dalam kereta kuda, lalu ia duduk mencari posisi nyaman. Kuberikan jalan bagi dua pendamping Abigail agar masuk juga ke dalam, lalu kututup kereta kuda mereka.
            Aku berjalan menuju empat pengawal Abigail yang akan menaiki kereta kuda di belakang lalu member mereka instruksi selama perjalan menuju Grandell. Aku tak ingin sesuatu yang buruk menimpa adikku, apalagi pembunuhan. Tidak, oh jangan sampai itu terjadi. Mereka berempat mengangguk mengerti atas ucapanku, lalu membawa diri mereka masing-masing menuju kereta kuda. Aku melangkah mundur lalu melambaikan tangan pada Abigail yang juga melambaikan tangan padaku melalui jendela kereta kuda. Entah mengapa rasanya sulit melepasnya pergi, namun itu pilihanku satu-satunya setelah Abigail bersumpah akan membunuh Eleanor sehari sebelum pernikahan kami.
            Konyol memang, namun aku yakin Abigail akan melakukannya bila aku tidak menahannya. Tiga kereta kuda yang membawa Abigail ke Grandell telah keluar dari pagar baja istana. Kuputar tubuhku menaiki anak tangga untuk memasuki istana, berniat bertemu Eleanor. Setelah kemarin malam aku tak sempat melihat keadaannya, aku merasakan kekhawatiran tak masuk akal. Para pelayan dan prajurit terus membungkuk padaku saat aku melewati mereka. Pelayan-pelayan begitu sibuk untuk menyiapkan sarapan pagi keluarga sehingga sesekali aku terpaksa harus menunduk agar tidak menabrak nampan yang mereka bawa tinggi-tinggi. Mereka meminta maaf dan terus mengucapkan selamat pagi, membuatku muak. Mengapa rasanya kamar Eleanor begitu jauh padahal kamarnya hanya berada di lantai dua? Begitu aku memasuki lorong menuju kamar Eleanor, kulihat dua prajurit yang seharusnya menjaga Eleanor tersungkur di di depan pintu kamarnya yang… demi Tuhan, terbuka!
            Seluruh darahku bergemuruh di bawah kulitku, mendidih dan seluruhnya naik ke kepalaku hingga kurasakan udara di istana tidak pernah bisa lebih baik lagi. Aku mendorong pintunya, memasuki kamar Eleanor lalu mencari-cari sosok mungilnya yang seharusnya berada di atas tempat tidur. Namun aku tak mendapatinya. Ia pasti berada di belakang taman atau perpustakaan. Rasanya begitu janggal mengingat Eleanor biasanya akan menunggu untuk dipanggil keluar dari kamar untuk sarapan pagi. Tempat tidurnya acak-acakan, bahkan selimutnya terjatuh dari atas tempat tidur—biasanya pelayan yang melayaninya sudah membereskan tempat tidurnya. Jantungku berdetak kencang begitu aku melihat beberapa tetes darah berwarna cokelat di sprei putihnya. Berarti kejadiannya sudah sejak malam.
            Aku keluar dari kamar Eleanor, membanting pintunya dengan keras. Saat aku melewati salah satu prajurit yang menjaga kamar Isabel, aku mengambil pedang di pinggangnya. Prajurit itu hendak mengatakan sesuatu tetapi ujung pedangnya sudah kutujukan tepat di bawah dagunya. Lalu ia mengangguk tak mengatakan apa-apa. “Jangan biarkan siapa pun masuk ke dalam kamar Isabel,” geramku tak sabar. Kakiku melangkah menuju perpustakaan sebagai tempat pertamaku untuk mencari Eleanor.
            Zachary muncul di saat yang tepat. “Ada yang bisa kubantu, Sir?”
            “Eleanor. Suruh seluruh prajurit mencari Eleanor di istana. Sebelum itu, tanyakan pada mereka apakah salah satu diantara mereka ada yang melihat Eleanor dibawa pergi oleh seseorang.” Aku memerintahnya namun mataku memandang ke langit-langit pagi yang cerah. Tidak cukup cerah untukku bila Eleanor tak ada! “Aku tidak menemukannya di kamar dan penjaga di luar sepertinya diserang semalam. Dan demi Tuhan, jika aku menemukan pria yang menyakitinya—aku menemukan noda darah di sprei tempat tidurnya—aku akan menyakitinya.”
            “Baik, Sir.” Zachary dan aku pergi menuruni anak tangga. Sementara ia akan menyuruh para prajurit mencari calon istriku, aku pergi menuju perpustakaan. Dimana pelayan sialannya? Seharusnya ia juga menjaga Eleanor. Perasaanku gusar memikirkan keadaan ia dan kandungannya tersakiti. Aku melewati beberapa pelayan dengan bentakan yang kasar sehingga nampan-nampan yang mereka pegang jatuh begitu saja dan menyingkir dari lorong, memberiku jalan. Begitu sampai di depan pintu perpustakaan, aku melihat dua prajurit yang berdiri di depan pintu tersebut, pandangannya lurus ke depan seolah-olah tak sadar kalau aku sedang dalam suasana buruk.
            Ingin sekali aku menusuk pedang ini ke jantung mereka satu per satu, namun aku harus menyimpannya tetap bersih bagi orang yang telah menculik calon istriku! Aku mendorong pintu perpustakaan, namun yang kudapati hanyalah ruangan sejuk dan sunyi. Tidak ada siapa pun. Pasti si penculik itu akan membuat kesalahan sebagai petunjuk bagiku. Aku berbalik melihat pintu, beberapa pelayan berkerumun di sana, namun hanya satu yang menarik perhatianku. Jemima. Pelayan tua yang telah mengabdikan hampir seumur hidupnya di istana. Melihat raut wajahnya yang pucat meyakinkanku ia telah melihat Eleanor.
            Merasa diperhatikan olehku, Jemima berusaha mundur namun pelayan-pelayan di belakang menghalangnya. Aku tak ingin bersikap kasar pada wanita tua seperti Jemima, namun bila hal itu berhubungan dengan calon istriku… aku berjalan ke arahnya lalu menarik tangan keriputnya agar masuk ke dalam perpustakaan. Kubanting pintu perpustakaan begitu kami berdua sudah di dalam. Jari-jari Jemima yang gemetar saling menjalin satu sama lain, memperlihatkan ketakutannya begitu jelas.
            “Dimana Eleanor?” Geramku. Gigi bergemeletuk berusaha bersabar. Jemima mengangkat pandangannya, menatapku dengan mata berkaca-kaca.
            “Aku melihatnya berjalan mengikuti Clement keluar dari istana setelah kau dan putri Abigail pergi berkuda. Hidung Clement berdarah saat ia membawa Eleanor pergi. Clement mengancam akan membunuh anak-anakku bila aku memberitahumu—“
            “Kemana Clement akan membawanya?” Tanyaku memejamkan mata. Hanya demi Eleanor aku tidak akan membunuh Jemima. Ia tidak ingin aku menjadi pembunuh, tidak-tidak. Namun seseorang yang menculiknya harus berhenti bernafas! Tidak ada yang bisa menghentikanku, sekalipun Eleanor membujukku mengampuni orang yang telah berusaha mencelakakannya.
            “Aku tidak tahu, pangeran Miguel. Ia tidak mengatakannya, namun ia membawa Eleanor pergi menggunakan kuda putih milik Eleanor. Yang membuatku bingung, Tuanku, Eleanor tampak begitu tenang. Kumohon jangan gantung aku, pangeran Miguel,” ia bersungut. Aku mendengus mengabaikannya lalu pergi dari perpustakaan. Para pelayan yang berkerumunan itu segera menempel ke dinding batu istana memberikanku jalan menuju istal. Eleanor tidak akan membuatku tidak membunuh Clement sekalipun Clement tidak menyakitinya. Sudah menculik Eleanor merupakan alasan utama mengapa aku harus membunuhnya.
            Satu tempat yang kuyakin kemana Clement akan membawa Eleanor pergi. Bukan Danau Mayat. Pria berkelamin perempuan sepertinya tidak akan berani pergi ke Danau Mayat malam hari, kecuali satu tempat yang ia pikir aku tidak akan duga. Grandell. Ia sedang pergi ke Grandell menunggu Abigail di sebuah tempat perjanjian mereka karena Tuhan tahu adikku-lah yang membuat rencana sialan ini! Saat aku tiba di istal, Zachary muncul entah dari mana, seperti hantu.
            “Grandell. Bawa 4 orang kepercayaanmu untuk pergi ke Grandell. Eleanor diculik Clement ke Grandell. Kurasa mereka belum sampai di perbatasan Cardwell,” kataku menaiki kuda hitamku. “Sekarang. Dan bawakan pedang terbaikku.”
            Aku mencambuk kudaku agar berlari secepat angin. Mungkin ini adalah alasan terkuat yang membuatku ingin membunuh adik kesayanganku sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar