CHAPTER FOURTEEN – AS YOU WISH
JUSTIN MIGUEL THADDEUS
“Oh,
aku baru saja melakukannya,” ucap Eleanor membuat senyumanku runtuh. Tangannya
terlipat di depan dada, memberikan tatapan menantang padaku. Baiklah, aku lebih
memilih menuruti permintaannya dibanding harus melihatnya berkuda dalam keadaan
mengandung—terutama ia mengandung keturunan Thaddeus. Masih banyak cara agar
aku mendapatkan kepuasan dari Eleanor, hanya saja ia belum mengetahuinya.
Dengan sengaja, Eleanor menarik seluruh rambutnya dalam satu ikatan jarinya
sehingga lehernya yang putih terpampang jelas. Aku menarik nafas tajam,
berusaha menahan diri untuk tak menyentuh Eleanor sejengkal pun. Karena Tuhan
tahu, aku akan hilang kendali bila menyentuhnya. Bahkan untuk kecupan ringan
saat ini. Tangan Eleanor yang lain menyentuh tengkuknya lalu mengelus-elus
kulit itu dengan pelan. Ini semakin menarik saja.
“Jangan
menggodaku seperti itu karena itu tidak akan berhasil.” Aku sangat ingin
menyentuhnya! Gigiku bergemeletuk menahan hasrat untuk tak ikut mengelus
tengkuknya yang manis. Eleanor mengangkat pandangannya dengan tatapan nakal
hingga aku menarik nafas tajam. Kukibas-kibaskan tanganku seperti mengusir
lalat lalu berbalik memunggunginya. Eleanor terkekeh lalu kudengar ia bergerak
di atas tempat tidur.
“Aku
ingin tidur. Selamat malam, pangeran Miguel.” Aku mengangguk satu kali lalu
berjalan menuju lilin-lilin yang masih menyala dan meniupnya hingga hanya
cahaya bulan yang menerangi kamar Eleanor dari kaca jendela. Kakiku melangkah
menuju pintu lalu membuka kuncinya. Sebelum aku menarik pintu, aku melirik
Eleanor yang telah berada di balik selimut dengan mata terpejam. Mahluk
terindah dan hanya milikku. Aku keluar, mendapati dua prajurit Eleanor menegang
di bawah tatapanku.
Aku
hanya berjalan melewati mereka sambil berpikir apa yang harus kukatakan pada
Abigail mengenai kepergiaannya. Aku berjalan melewati lorong ke lorong lain,
sesekali mengangguk pada para pelayan yang membungkuk padaku. Hanya perlu melewati
tiga lorong lagi, maka aku akan sampai di kamar Abigail. Dari kejauhan kudengar
suara geraman seorang pria memaki-maki lalu bersumpah. Suara yang begitu
familiar di telingaku, suara yang tak pernah kusukai dan pemilik suara itu
sedang menyumpahiku.
“…sudah tidak ada
begitu ia pulang nanti. Si bodoh Miguel tentu tidak tahu apa yang harus ia
perbuat pada Cardwell. Ia harus disingkirkan beserta antek-anteknya—maksudku
adik-adiknya.” Ia berhenti sesaat, mendengus. Kemudian ia melanjutkan. “Lihat
saja, suatu saat ia yang akan berlutut di hadapanku sementara aku menggerayangi
adik perempuan kesayangannya itu.” Si pemilik suara itu terdengar was-was dan
khawatir. Lalu aku melangkah belok ke lorong sebelah kanan. Tepat ketika ia
membalikkan tubuhnya, aku berhenti melangkah sembari menatapnya dengan tatapan
ingin membunuh. Tanganku gatal ingin menusuk dua bola mata itu dengan pisau
makan malam ditambah tusukan pedang di mulutnya. Wajahnya tiba-tiba pucat pasi,
begitu juga bibirnya yang mulai berubah warna menjadi lebih putih. Aku percaya,
ia pasti berpikir aku pulang subuh-subuh karena seja sore aku pergi ke
pelabuhan untuk memeriksa masalah di sana. Salah satu kapal Cardwell mengalami
kerusakan parah, aku sebagai orang nomor satu di Cardwell, tentu harus turun
tangan. Clement tak berguna! Tampaknya ia tak menyukai kenyataan bahwa akulah
yang akan menjadi raja selanjutnya. Bajingan kecil yang bodoh. Ayah pasti sudah
mencuci otaknya agar mengagumi Ayahku melebihi Ayah mengagumi dirinya sendiri.
“Tuanku.” Ia membungkukkan
tubuhnya, membuatku muak setengah mati. Bajingan sialan bermuka dua.
Clement
ceroboh dan bodoh, mengapa Ayah memperkerjakan orang semacamnya? Karena tidak
ada orang sebodoh Clement yang muda dipengaruhi Ayah. Sekarang aku tahu alasan tepat
mengapa aku tak menyukainya. Clement lebih sering memerintah bawahannya
dibanding melakukan yang diperintahkan, orang malas yang licik. Saat ia ingin
mengucapkan sepatah kata, aku mengangkat tangan.
“Tetap
di tempat,” tukasku. “Kau kupecat.” Aku menurunkan tangan. Clement tersentak,
ia mundur beberapa langkah seolah-olah baru saja kupukul di bagian kepala dan
terhuyung-huyung ke belakang.
“Tuanku—“
“Aku
tidak suka dengan cara kerjamu, Clement. Aku takkan mengulangnya dua kali.
Sekarang, siapkan barang-barangmu dan aku berharap tidak melihat wajahmu besok
pagi,”
“Pangeran
Miguel kurasa ada kesalah—“
“Jika
kutemukan kau besok pagi di istana, aku akan mengirimmu ke Danau Mayat. Apa kau
mengerti?” Tanyaku tegas dan kasar. Clement terdiam sesaat lalu ia akhirnya
mengangguk. “Bagus. Selamat malam, Clement.” Aku berjalan melewatinya dan
prajurit yang mendengarkan ocehan Clement, beruntung aku masih baik hati karena
tidak memecatnya. Seluruh prajurit di istana tak menyukai Clement, aku tahu,
karena sikapnya yang sok tahu dan sombong. Sungguh, aku kasihan pada Clement
sebab ia tidak memiliki teman atau siapa pun.
Dua
prajurit menyingkir dari depan pintu kamar Abigail, membiarkan aku mengetuk
pintu kamarnya. Sejak aku memerintahkannya untuk mengepak barang, adik kesayanganku
tak pernah keluar dari kamarnya—kecuali saat aku mendapatinya muncul dari arah
kamar Eleanor, maka dari itu aku panik. Setelah beberapa kali mengetuk
pintunya, Abigail menyahut dari dalam mengizinkan aku masuk—dan sebenarnya aku
tak membutuhkan izinnya atau tidak. Begitu aku membuka pintu, aroma kamarnya
yang wangi menyentuh indra penciumanku. Lionel Hamond, Duke of Grandell, pasti
akan sangat menyukainya. Lagi pula, siapa yang tak menyukai Abigail Thaddeus,
permata tercantik di seluruh Cardwell?
Abigail
sudah mengenakan pakaian tidurnya yang berwarna hitam sementara rambutnya masih
tertutup tudung hitam. Tubuhnya yang mungil terduduk di atas tempat tidur
dengan sebuah buku berada di pangkuannya. Begitu banyak tas yang akan dibawa
Abigail ke Grandell, belum lagi dengan perlengkapan dan persediaan makanannya.
Dibutuhkan tiga kereta kuda untuk mengiringnya pergi ke tempat Duke of Grandell
berada. Bibir merah mudanya tetap terkatup rapat saat ia menyadari bahwa hanya
kakaknya yang memasuki kamar.
Karena
tahu ia takkan membuka mulut, aku berbicara. “Selamat malam, kesayangan
Cardwell. Bagaimana keadaanmu?” Tanyaku mendekatinya. Abigail tidak menatapku,
kepalanya tertunduk memandangan lurus pada buku di pangkuannya.
“Tidak
pernah sebahagia ini,” ucapnya datar. Yah, setidaknya Abigail ingin menjawab
pertanyaanku. Abigail memindahkan buku di pangkuannya ke atas tempat tidur
sebelahnya, sesaat ia berhenti bergerak, kemudian ia mendongak memandangku.
Untuk pertama kalinya, sejak kematian Ayah, mata cokelat Abigail memancarkan
kebahagiaan. Aku tak mengerti mengapa, namun aku senang karena semenjak
kematian Ayah, aku menginginkan ini. Abigail membawa tubuhnya yang mungil itu
berdiri keluar dari tempat tidur sehingga ia berhadapan denganku begitu dekat.
Tangan
Abigail terangkat menyentuh pipiku, menyentuh bakal janggutku yang perlu
kucukur. Seperti anak kecil, Abigail terkikik merasakan janggutku yang
menggelitik telapak tangannya. Mau tak mau, aku tersenyum melihat perubahan
suasana hatinya yang membaik. Tak bisa menebak apa yang ia perbuat selanjutnya,
Abigail berjinjit lalu mengecup ringan bibirku. Mataku mengerjap-kerjap selama
beberapa detik, cukup terkejut atas apa yang ia lakukan. Setelah beberapa bulan
ia tak mengecup bibirku, rasanya sudah tak sama lagi. Entah mengapa, perlakuan
itu membuatku merasa bersalah pada Eleanor. Seolah-olah ciuman dari Ibuku
sekalipun kuanggap pengkhianatan secara tak langsung. Namun melihat suasana
hati Abigail yang bagus, aku tak ingin merusaknya seakan-akan ini adalah momen
langka.
“Abigail,
maukah kau menjelaskan mengapa kau begitu bahagia?”
“Oh,
jadi aku tidak boleh bahagia, Justin?” Tanyanya menantang. Kedua tangannya
terulur bergelanyut di leherku, seperti yang dilakukan Eleanor sering kali.
Tetapi tidak ada gelenyar nikmat yang hanya bisa diberikan Eleanor. Sebelum aku
menjawab pertanyaannya, ia sudah berbicara. “Aku bahagia karena akhirnya, aku
bebas. Maksudku, bukan darimu. Aku bosan tinggal di istana, terutama kau
tahulah, keadaan di istana semakin tak terkendali. Mungkin kau benar. Bila aku
tinggal di Grandell, aku akan merasa lebih baik. Maafkan perkataanku yang
menyakitimu sebelumnya, Justin. Aku tak bermaksud seperti itu, tetapi kematian
Ayah sangat membuatku terguncang.” Tangan kanan Abigail turun menyentuh dadaku,
mengelusnya dengan pelan.
“Aku
tahu,” bisikku mengelus rambutnya. Kemudian ia tersenyum jahil. “Pasti ada
sesuatu yang kau inginkan dariku. Katakan saja,” ucapku menggodanya. Abigail
tertawa pelan lalu membentur kepalanya ke dadaku, ia menarik kembali kepalanya
mendongak menatapku. Ia menggigit bibir bawahnya, ragu ingin mengatakan
keinginannya. Ia menurunkan pandangannya ke dadaku, mengikuti gerakan tangannya
yang mengelus dadaku.
“Yah,
aku hanya ingin… karena ini adalah hari terakhirku di Cardwell sampai kau
menjadi raja, kupikir aku boleh pergi jalan-jalan denganmu malam ini.
Menunggang kuda misalnya,” ucapnya lalu mengangkat matanya padaku. Pipinya
bersemu merah, merasa malu entah karena apa. Lagi pula, mengapa ia harus malu
dengan permintaan itu? Apa pun akan kukabulkan asalkan permintaan itu masih
masuk akal.
“Tentu
saja, Sayangku. Tapi apa kau yakin tidak ingin beristirahat untuk perjalanan
panjang nanti?”
“Tidak.”
Ia menggeleng kepala. “Kuyakin akan mendapat istirahat yang cukup selama perjalanan.
Ayo.”
Aku
merasakan perasaan janggal saat Abigail menarik tanganku. Pasti ada yang salah.
Sesuatu yang akan mengguncangku, sesuatu yang tak kuketahui namun aku sangat
mengkhawatirkannya. Apakah itu Eleanor? Tidak mungkin, ia sudah beristirahat
tenang dan aman dibawah penjagaan dua prajuritku. Sepertinya aku akan terjaga
malam ini.
Abigail mendongak, memerhatikan
langit-langit malam bertabur bintang. Matanya lebih terang disinari cahaya
bulan sehingga ia tampak seperti dewi yang meratap. Setelah kami melakukan
perjalanan mengelilingi alun-alun Cardwell, aku mengajaknya untuk pergi ke
bukit yang biasa kami datangi sejak kecil. Melihat Abigail mengingatkanku pada
Eleanor yang mengancamku agar tak berhubungan badan dengannya. Oh ya Tuhan,
jika aku tidak bertemu dengan Eleanor, aku yakin sampai mati pun aku takkan
pernah merasa lengkap seumur hidupku. Tidak akan ada yang bisa membangkitkan
gairah hidupku seperti yang Eleanor lakukan.
Tangan
Abigail menarik lepas tudung yang menutup rambutnya sehingga rambut cokelatnya
terpampang jelas. Ia tidak mengepang atau mengikat rambutnya seperti biasanya,
hanya digerai seperti ketika ia masih kecil. Abigail melipat tudung hitamnya
dengan rapi lalu ia mendesah. “Aku tak ingin kau membangunkan Eleanor besok
pagi hanya agar ia menemuiku untuk mengucapkan selamat tinggal.”
“Dengan
alasan?”
“Kau
harus berjanji agar tak membangunkan siapa pun bila aku pergi besok pagi,
bahkan Ibu sekalipun. Aku hanya ingin perpisahan ini hanya dilakukan berdua,
kumohon? Bila tidak, aku tidak akan pergi ke Grandell bahkan jika kau mengancam
membunuhku,” katanya asal. Aku tertawa pelan memikirkan alasan terkuat apa yang
dapat membuatku ingin membunuh adik kesayanganku sendiri.
“Aku
takkan pernah membunuhmu, Abigail, kesayanganku. Baiklah, jika itu yang kau
mau. Meninggalkan istanamu sendiri mengendap-endap seolah-olah kau pencuri,”
ucapku menekan bibirku menjadi sebuah garis tipis. “Apa kau tidak ingin
mengucapkan selamat tinggal pada Geoffrey?”
“Tidak,
aku sudah mengucapkan selamat tinggal pada keluarga dan keluarga Hughes, bahkan
Eleanor. Jadi, aku tidak membutuhkan yang kedua kalinya. Apa Duke of Grandell
adalah pria yang baik hati?”
“Dia
teman baikku, Abigail. Tidak mungkin aku mengirimkanmu pada pria jahat. Aku
sudah berpikir sejak dulu kalau dialah yang tepat untukmu. Kepribadian kalian
sangat berbeda namun aku bisa melihat bagaimana kalian berdua bisa cocok. Duke
of Grandell senang dengan gadis muda sepertimu. Sejauh yang kukenal, dia pria
yang setia. Sementara kau, adikku, kau senang dengan pria yang memberikanmu
kesenangan. Duke of Grandell sangat ahli dalam hal kesenangan. Bahkan saat kau
mati pun, kau akan tersenyum.”
Abigail
tertawa keras, sesuatu yang seharusnya tak dilakukan seorang putri kerajaan. “Baiklah,
aku percaya dengan pilihanmu. Ayo kita pulang, sudah larut malam.”
“Sepertinya
seluruh Cardwell setuju dengan ucapanmu.” Karena demi Tuhan, aku sangat lelah
seharian ini bekerja. Kurasa tidur di atas ranjang yang empuk bukan pilihan
yang buruk.
***
Sesuai
keinginannya, aku tak membangunkan Eleanor atau siapa pun pagi itu. Matahari
bahkan masih malu-malu di balik pegunungan sejauh mata memandang. Semalam
Abigail memaksa agar ia mengantarku sampai ke kamar hingga aku tidur. Hanya
karena kemarin adalah hari terakhir aku dapat menghabiskan waktu bersama
dengannya, aku menuruti setiap permintaannya. Dan ia berhasil membuatku
terlelap seperti orang mati dan mendapati ia sudah tidak ada di kamarku begitu
aku bangun pagi-pagi.
“Kuharap kau
menjadi raja yang baik, Justin. Dan tentu saja, suami yang baik. Aku menunggu
lahirnya anak pertamamu, mengerti? Sekarang, peluk aku dan katakan kau akan
merindukanku.” Air mata Abigail berkumpul di pelupuk matanya. Aku tak bisa
melihat adikku menangis seperti ini—dan membuat tontonan bagi para pelayan yang
berdiri di sekitar kami. Aku mengangkat tangan mengusir para pelayan sebentar
untuk mendapatkan privasi bersama adikku. Setelah mereka masuk dalam istana,
aku memerhatikan Abigail dengan tatapan menilai. Kedua tanganku terangkat begitu air matanya
melintasi pipinya yang seputih porselen itu lalu mengelapnya dengan ibu jari.
“Aku
akan merindukanmu, kesayangan. Jaga dirimu baik-baik. Aku mencintaimu,” bisikku
memeluknya lalu mengecup keningnya. Abigail melepaskan pelukanku, lalu tanpa
melihatku sama sekali, ia memanggil dua pendamping dan kusirnya agar ia segera
berangkat. Kuulurkan tanganku begitu ia menaiki undakan untuk masuk ke dalam
kereta kuda, lalu ia duduk mencari posisi nyaman. Kuberikan jalan bagi dua
pendamping Abigail agar masuk juga ke dalam, lalu kututup kereta kuda mereka.
Aku
berjalan menuju empat pengawal Abigail yang akan menaiki kereta kuda di
belakang lalu member mereka instruksi selama perjalan menuju Grandell. Aku tak
ingin sesuatu yang buruk menimpa adikku, apalagi pembunuhan. Tidak, oh jangan
sampai itu terjadi. Mereka berempat mengangguk mengerti atas ucapanku, lalu
membawa diri mereka masing-masing menuju kereta kuda. Aku melangkah mundur lalu
melambaikan tangan pada Abigail yang juga melambaikan tangan padaku melalui
jendela kereta kuda. Entah mengapa rasanya sulit melepasnya pergi, namun itu
pilihanku satu-satunya setelah Abigail bersumpah akan membunuh Eleanor sehari
sebelum pernikahan kami.
Konyol
memang, namun aku yakin Abigail akan melakukannya bila aku tidak menahannya. Tiga
kereta kuda yang membawa Abigail ke Grandell telah keluar dari pagar baja
istana. Kuputar tubuhku menaiki anak tangga untuk memasuki istana, berniat
bertemu Eleanor. Setelah kemarin malam aku tak sempat melihat keadaannya, aku
merasakan kekhawatiran tak masuk akal. Para pelayan dan prajurit terus
membungkuk padaku saat aku melewati mereka. Pelayan-pelayan begitu sibuk untuk
menyiapkan sarapan pagi keluarga sehingga sesekali aku terpaksa harus menunduk
agar tidak menabrak nampan yang mereka bawa tinggi-tinggi. Mereka meminta maaf
dan terus mengucapkan selamat pagi, membuatku muak. Mengapa rasanya kamar
Eleanor begitu jauh padahal kamarnya hanya berada di lantai dua? Begitu aku
memasuki lorong menuju kamar Eleanor, kulihat dua prajurit yang seharusnya
menjaga Eleanor tersungkur di di depan pintu kamarnya yang… demi Tuhan,
terbuka!
Seluruh
darahku bergemuruh di bawah kulitku, mendidih dan seluruhnya naik ke kepalaku
hingga kurasakan udara di istana tidak pernah bisa lebih baik lagi. Aku mendorong
pintunya, memasuki kamar Eleanor lalu mencari-cari sosok mungilnya yang
seharusnya berada di atas tempat tidur. Namun aku tak mendapatinya. Ia pasti
berada di belakang taman atau perpustakaan. Rasanya begitu janggal mengingat
Eleanor biasanya akan menunggu untuk dipanggil keluar dari kamar untuk sarapan
pagi. Tempat tidurnya acak-acakan, bahkan selimutnya terjatuh dari atas tempat
tidur—biasanya pelayan yang melayaninya sudah membereskan tempat tidurnya.
Jantungku berdetak kencang begitu aku melihat beberapa tetes darah berwarna
cokelat di sprei putihnya. Berarti kejadiannya sudah sejak malam.
Aku
keluar dari kamar Eleanor, membanting pintunya dengan keras. Saat aku melewati
salah satu prajurit yang menjaga kamar Isabel, aku mengambil pedang di pinggangnya.
Prajurit itu hendak mengatakan sesuatu tetapi ujung pedangnya sudah kutujukan
tepat di bawah dagunya. Lalu ia mengangguk tak mengatakan apa-apa. “Jangan
biarkan siapa pun masuk ke dalam kamar Isabel,” geramku tak sabar. Kakiku
melangkah menuju perpustakaan sebagai tempat pertamaku untuk mencari Eleanor.
Zachary
muncul di saat yang tepat. “Ada yang bisa kubantu, Sir?”
“Eleanor.
Suruh seluruh prajurit mencari Eleanor di istana. Sebelum itu, tanyakan pada
mereka apakah salah satu diantara mereka ada yang melihat Eleanor dibawa pergi
oleh seseorang.” Aku memerintahnya namun mataku memandang ke langit-langit pagi
yang cerah. Tidak cukup cerah untukku bila Eleanor tak ada! “Aku tidak
menemukannya di kamar dan penjaga di luar sepertinya diserang semalam. Dan demi
Tuhan, jika aku menemukan pria yang menyakitinya—aku menemukan noda darah di
sprei tempat tidurnya—aku akan menyakitinya.”
“Baik,
Sir.” Zachary dan aku pergi menuruni anak tangga. Sementara ia akan menyuruh
para prajurit mencari calon istriku, aku pergi menuju perpustakaan. Dimana
pelayan sialannya? Seharusnya ia juga menjaga Eleanor. Perasaanku gusar
memikirkan keadaan ia dan kandungannya tersakiti. Aku melewati beberapa pelayan
dengan bentakan yang kasar sehingga nampan-nampan yang mereka pegang jatuh
begitu saja dan menyingkir dari lorong, memberiku jalan. Begitu sampai di depan
pintu perpustakaan, aku melihat dua prajurit yang berdiri di depan pintu
tersebut, pandangannya lurus ke depan seolah-olah tak sadar kalau aku sedang
dalam suasana buruk.
Ingin
sekali aku menusuk pedang ini ke jantung mereka satu per satu, namun aku harus
menyimpannya tetap bersih bagi orang yang telah menculik calon istriku! Aku
mendorong pintu perpustakaan, namun yang kudapati hanyalah ruangan sejuk dan
sunyi. Tidak ada siapa pun. Pasti si penculik itu akan membuat kesalahan
sebagai petunjuk bagiku. Aku berbalik melihat pintu, beberapa pelayan
berkerumun di sana, namun hanya satu yang menarik perhatianku. Jemima. Pelayan
tua yang telah mengabdikan hampir seumur hidupnya di istana. Melihat raut
wajahnya yang pucat meyakinkanku ia telah melihat Eleanor.
Merasa
diperhatikan olehku, Jemima berusaha mundur namun pelayan-pelayan di belakang
menghalangnya. Aku tak ingin bersikap kasar pada wanita tua seperti Jemima,
namun bila hal itu berhubungan dengan calon istriku… aku berjalan ke arahnya
lalu menarik tangan keriputnya agar masuk ke dalam perpustakaan. Kubanting
pintu perpustakaan begitu kami berdua sudah di dalam. Jari-jari Jemima yang
gemetar saling menjalin satu sama lain, memperlihatkan ketakutannya begitu
jelas.
“Dimana
Eleanor?” Geramku. Gigi bergemeletuk berusaha bersabar. Jemima mengangkat
pandangannya, menatapku dengan mata berkaca-kaca.
“Aku
melihatnya berjalan mengikuti Clement keluar dari istana setelah kau dan putri
Abigail pergi berkuda. Hidung Clement berdarah saat ia membawa Eleanor pergi. Clement
mengancam akan membunuh anak-anakku bila aku memberitahumu—“
“Kemana
Clement akan membawanya?” Tanyaku memejamkan mata. Hanya demi Eleanor aku tidak
akan membunuh Jemima. Ia tidak ingin aku menjadi pembunuh, tidak-tidak. Namun
seseorang yang menculiknya harus berhenti bernafas! Tidak ada yang bisa
menghentikanku, sekalipun Eleanor membujukku mengampuni orang yang telah
berusaha mencelakakannya.
“Aku
tidak tahu, pangeran Miguel. Ia tidak mengatakannya, namun ia membawa Eleanor
pergi menggunakan kuda putih milik Eleanor. Yang membuatku bingung, Tuanku,
Eleanor tampak begitu tenang. Kumohon jangan gantung aku, pangeran Miguel,” ia
bersungut. Aku mendengus mengabaikannya lalu pergi dari perpustakaan. Para
pelayan yang berkerumunan itu segera menempel ke dinding batu istana
memberikanku jalan menuju istal. Eleanor tidak akan membuatku tidak membunuh
Clement sekalipun Clement tidak menyakitinya. Sudah menculik Eleanor merupakan
alasan utama mengapa aku harus membunuhnya.
Satu
tempat yang kuyakin kemana Clement akan membawa Eleanor pergi. Bukan Danau
Mayat. Pria berkelamin perempuan sepertinya tidak akan berani pergi ke Danau
Mayat malam hari, kecuali satu tempat yang ia pikir aku tidak akan duga.
Grandell. Ia sedang pergi ke Grandell menunggu Abigail di sebuah tempat
perjanjian mereka karena Tuhan tahu adikku-lah yang membuat rencana sialan ini!
Saat aku tiba di istal, Zachary muncul entah dari mana, seperti hantu.
“Grandell.
Bawa 4 orang kepercayaanmu untuk pergi ke Grandell. Eleanor diculik Clement ke
Grandell. Kurasa mereka belum sampai di perbatasan Cardwell,” kataku menaiki
kuda hitamku. “Sekarang. Dan bawakan pedang terbaikku.”
Aku
mencambuk kudaku agar berlari secepat angin. Mungkin ini adalah alasan terkuat
yang membuatku ingin membunuh adik kesayanganku sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar