Senin, 05 Januari 2015

Beautiful Slave Bab 15 - I Need You (The End)

CHAPTER FIFTEEN – I NEED YOU

ELEANOR HUGHES

            Hal pertama yang kurasakan begitu bangun adalah leherku yang pegal. Aku mendongak setelah, entah berapa lama, menunduk dan merasakan tusukan-tusukan nyeri di tengkukku. Oh ya Tuhan, apa sebenarnya yang terjadi? Aku mengerjap-kerjapkan mataku lalu menyipit akibat silaunya matahari yang langsung membanjiri mata dan seluruh tubuhku. Penglihatanku sedikit buram begitu berusaha melihat ke sekeliling tempat, mencaritahu dimana aku. Terdapat kuda putih duduk di atas tanah kering yang dikelilingi rumput-rumput pendek nakal. Setelah menyesuaikan pencahayaan di mataku, aku melihat banyak pohon di belakang kuda putih itu, menandakan aku berada di sebuah hutan. Dan kuda putih yang duduk itu adalah Blance. Sialan! Aku baru ingat tadi malam Clement menculikku.
            Untungnya aku berhasil meninjunya—meski buku-buku jariku kesakitan—hingga hidungnya berdarah. Namun tak lama setelah itu, ia membekapku dengan sebuah kain hingga aku tak sadarkan diri. Terakhir yang kuingat, aku melihat Jemima di istal namun aku tak bisa melakukan apa pun sebab saat itu seluruh tubuhku melumpuh. Kudengar percakapan Clement dan Jemima saat itu dan sialnya, aku tak ingat apa yang mereka perbincangkan. Suara gemerisik dari sebelah kanan membuatku was-was. Saat aku ingin mengangkat tubuh, aku baru sadar kalau kedua tanganku sedang diikat. Tanganku terikat mengelilingi pohon yang menjadi sandaranku. Desahan putus asa keluar dari mulutku. Aku hanya dapat berharap pangeran Miguel datang menyelamatkanku seperti dalam cerita-cerita dongeng.
            Mataku melirik pria yang tingginya sama denganku. Wajahnya bersih dan basah namun bajunya kotor terkena lumpur. Clement. Pria itu mungkin baru menginjak umur 30-an, tetapi janggutnya yang kotor itu membuatnya terlihat seperti 40 tahun. Menggunakan sebuah daun besar, ia menenggak air minum hingga tersisa sedikit lalu ia menyodorkannya di depan mulutku. Demi Tuhan, aku tidak akan meminum apa pun yang berasal darinya! Aku membuang wajahku dari daun itu, sedetik kemudian kudengar Clement menggeram seperti anjing marah. Ia melangkah, menempatkan kedua kakinya di antara pahaku lalu membungkuk. Dengan kasar ia  menarik pipiku dengan jari telunjuk dan jempolnya, menjepitnya begitu dalam hingga aku kesakitan. Clement mengalirkan air di daun itu masuk ke dalam mulutku yang terbuka paksa lalu ia memencet hidungku hingga aku kehabisan nafas dan terpaksa menelan air itu.
            “Gadis pintar.” Aku mendengus.
            Setelah puas melihatku tersiksa, Clement menjauhkan diri dariku. Ia duduk di depan punggung Blance lalu bersandar di sana seperti ia sedang duduk di kursi santai. Dengan posisi duduk seperti itu, ia dapat memandangku sepuasnya. Matanya yang berwarna hitam memerhatikanku seperti predator yang mempelajari mangsanya.
“Aku tak mengerti mengapa si Tolol itu ingin kau menjadi istrinya. Maksudku, kau memang sangat seksi. Tapi Abigail bilang padaku kalau buah dadamu kendur seperti nenek. Tentu aku percaya apa yang ia bilang. Sebelum kau menjadi pelayan di istana, sudah berapa pria di desamu yang memakai dirimu? Percayalah, aku bisa membayar lebih besar daripada mereka.” Aku terenyak mendengar kata-katanya yang begitu vulgar dan tak sopan! Dan, aku tak percaya Abigail akan menghinaku seperti itu.
            “Bagaimana denganmu, Clement? Sudah berapa banyak wanita yang menolak bercinta denganmu?” Balasku pedas. Senyuman miring muncul di wajahnya sehingga janggutnya bergerak-gerak menjijikan.
            “Eleanor, Eleanor. Betapa kejamnya mulutmu yang manis itu. Aku bahkan bisa menghamili seluruh wanita Cardwell, bahkan menghamilimu—jika kau mau aku melakukannya. Tapi, sungguh Eleanor, sudah berapa pria yang bercinta denganmu?” Ia bertanya dengan nada suara menantang. Karena tatapannya seolah-olah menelanjangiku, aku meludah seperti laki-laki. Kudengar ia terkesiap akan kelakuanku—calon ratu dan istri—yang seharusnya tak pernah dilakukan seorang wanita muda. Ia tertawa pelan sambil menggeleng-geleng kepala.
            “Sekarang aku tahu mengapa si bajingan Miguel menyukaimu,” ceracaunya layaknya orang mabuk. “Tubuhmu memang mungil namun kau sangat agresif. Kau tidak cocok menjadi ratu, oh tidak. Kau cocok denganku. Kita bisa mengelilingi dunia dengan imbalan yang akan kudapat sebentar lagi dari Abigail. Nah, karena Miguel telah masuk ke dalam perangkap Abigail kurasa tidak ada salahnya aku mencicipimu di tempat ini. Kau suka alam, bukan? Tidak ada salahnya jika kita mencoba—“
            “Lebih baik aku mati dibanding harus tidur denganmu!” Seruku kesal. Ia terdiam. Gerakannya begitu cepat saat ia berdiri, lalu melangkah mendekatiku. Clement mengangkangiku di antara pahaku kemudian ia mencondongkan tubuhnya ke arahku seperti posisi tadi.
“Apa kau bilang?”
“Lebih baik aku mati, brengsek!” Aku memberinya tatapan jijik dan benci. Ia tidak mengatakan apa-apa. Kali ini wajahnya semakin dekat denganku, lalu bibirnya maju bersiap mencium bibirku. Untuk yang kedua kalinya, aku membuang wajahku darinya. Melihat penolakan dariku, Clement memperlakukanku begitu kasar lalu ia menahan rahangku hingga aku mengerang sakit. Begitu ia mencoba mencium bibirku, aku menarik kepalaku darinya lalu menyundul keningnya dengan keningnya begitu keras hingga ia terhuyung ke belakang. Kepalaku pusing akibat sundulan yang kuberikan padanya dan sesuatu yang hangat mengalir di keningku ke batang hidungku. Pasti berdarah.
“Kau jalang sialan!” Erangnya.
            Clement setengah berdiri, lututnya tertekuk sambil tangannya menyentuh keningnya yang juga berdarah. Clement menarik tangannya dari kening lalu menatap darah yang menempel di telapak tangannya. Ia menggeram marah padaku.
“Seharusnya aku membunuhmu sejak tadi malam!” Kakinya melangkah cepat, tangannya meraih atasan pakaianku lalu merobeknya kasar hingga korset yang menutupi buah dadaku terpampang jelas. Ketakutan merayap di seluruh tubuhku begitu melihat matanya menatap dadaku seperti tatapan orang sakit jiwa. Sebuah tamparan keras melayang di pipiku hingga aku—sepertinya—melihat bintang-bintang.
            “Pengecut! Kau perusak wanita! Pemerkosa—“Tangan Clement mencekik leherku hingga aku tak bisa bernafas. Aku berusaha menarik-narik tanganku dari ikatan, namun yang ada, tanganku terasa perih karena kulitku tergesek-gesek tali dan kulit pohon yang kasar. Dari sudut mataku keluar air mata kesakitan sekaligus takut begitu tangan Clement yang lain masuk ke dalam rokku.
            “Iblis!” Desisku di sela-sela nafas. Cekikan tangannya di leherku mengencang hingga aku tersedak. Mataku terpejam, belakang kepalaku tertusuk-tusuk kulit pohon yang kasar dan telingaku mendengung tak mendengar apa pun. Jika memang Clement akan membunuhku, aku mengutuknya tak memiliki keturunan! Oh, aku memang buruk mengutuk seseorang.
            Kulitku merasakan telapak tangannya yang mengelus paha dalamku dan cekikannya di leherku mengencang hingga kepalaku terangkat. Lalu tiba-tiba cengkeraman tangannya di leherku menghilang begitu saja dan telapak tangannya sudah tak menyentuh paha dalamku lagi. Aku berusaha menarik nafas sedalam-dalamnya karena kepalaku begitu pusing. Mataku mengerjap-kerjap berusaha untuk melihat apa yang sedang terjadi.
            Clement jatuh di atas tanah kering, di sebelah Blance, sementara pria yang bertubuh lebih besar darinya menahan kemeja di bagian lehernya lalu wajah Clement yang bersih sudah kotor dilumuri darah akibat tinjuan mematikan dari ...Justin. Aku terperangah, hatiku meledak-ledak bahagia akan kehadirannya. Tinjuannya terus menghujam wajah Clement hingga aku tak bisa menyaksikannya lebih lama lagi. Sudah cukup. Aku tak ingin calon suamiku membunuh orang lagi. Begitu aku membuka mulut, aku tak bisa mengeluarkan suaraku. Leherku begitu sakit untuk bersuara. Air mataku menetes ingin ia berhenti meninju Clement.
            Bodohnya, Clement malah menantang Justin. “Ayo, pakai pedangmu. Bunuh aku seperti kau setengah pria Cardwell!” Serunya dengan gigi berdarah-darah. Aku menggeleng, kakiku menendang-nendang meminta perhatian Justin, namun ia tak sama sekali melihat ke arahku. Rahang Justin menegang, seluruh wajahnya memerah lalu ia mengeluarkan pedang dari sarungnya. Tidak, tidak, tidak! Mataku melotot. Kudengar Clement tertawa sambil darah keluar dari mulutnya. Clement tolol! Mengapa ia memancing Justin?
            “Kukirim kau ke neraka, brengsek!” Justin berseru penuh kebencian. Kedua tangannya yang memegang pedang terangkat lalu turun dalam kecepatan kilat. Kupejam mataku tak ingin melihat apa yang akan terjadi selanjutnya.
            “Justin, aku butuh kau!” Jeritku melengking—aku sendiri bahkan terkejut—menarik perhatian Justin. Mataku terbuka, mendapati pedang Justin yang menancap di tanah kering, tepat di samping dada Clement. Tubuhku dihujani perasaan lega. Justin mengambil dua langkah besar mencapaiku lalu ia berjongkok. Kedua tangannya menangkup pipiku—kulihat matanya berair—lalu ia menurunkan bibirnya ke bibirku, mengecupnya begitu lembut.
            “Oh Tuhan, kupikir aku sudah kehilangan dirimu,” ucapnya menarik ingus. Pangeran Miguel dan tangisannya—ia menangisiku—terasa begitu tak nyata. Mengingat pangeran Miguel merupakan pria kasar yang keras dan kejam, aku bahkan tak pernah membayangkan bagaimana pangeran Miguel menangis. Aku mendesis merasakan perih menyakitkan di leherku kemudian pangeran Miguel menarik wajahnya dari wajahku. Pangeran Miguel bergerak cepat. Tangannya menyelip di sepatu botnya, mengeluarkan sebuah pisau kecil dari dalam situ lalu memotong tali yang mengikat tanganku. Setelah bebas dari ikatan terkutuk itu, aku bangkit berlutut memeluknya.
            “Ak…” suaraku tercekat. Tenggorokanku begitu kering. Pangeran Miguel menyuruhku diam, lalu ia menarik tubuhku agar ia dapat melihat keadaanku. Kedua tangannya mencengkeram lenganku begitu kencang namun tak menyakiti, ia melihat hampir ke sekujur tubuhku, mencari-cari luka. Perhatiannya jatuh pada keningku yang berdarah, lalu tangannya merogoh sesuatu di kantong celananya. Sebuah saputangan putih tak berbau keluar dari sana, ia mengelap darah di sekitar lukaku. Aku menggigit bibir bawah berusaha untuk tak mendesis kesakitan. Namun aku tak bisa menahannya, sebuah desisan kecil keluar dari sela-sela gigiku membuat pangeran Miguel menarik saputangannya.
            “Tidak apa,” bisikku serak. Melihat matanya yang berair, aku mengangkat tangan untuk mengelapnya. Ia memejamkan matanya, membiarkan kedua ibu jariku mengelap air matanya. Setelah selesai, aku mengecup kedua mata itu, mengingatkanku saat ia bermimpi buruk dan datang padaku untuk mendapatkan ketenangan. Belum aku selesai, pangeran Miguel mendesah keras, ia memelukku begitu posesif. Beberapa ciuman sayang jatuh di puncak kepalaku sambil ia mengatakan kata-kata yang menenangkan. Hal yang selalu ia lakukan saat aku ketakutan.
            “Demi Tuhan, aku akan menghabisi Clement setelah ini. Dan Abigail—“ Aku menarik tubuhku dari pelukannya. Kuberikan ia tatapan peringatan agar ia tak sekalipun menyakiti Abigail. Apakah ada anggota keluarganya yang tak ingin ia bunuh? Sungguh, aku tak ingin pangeran Miguel mengotori tangannya lagi. Anakku tidak akan dibesarkan oleh seorang pembunuh, tidak akan. Aku menarik tangannya lalu menaruhnya ke atas perutku. Ia menatapku tercengang namun diselingi ketakutan. Aku menggeleng begitu aku tahu ia berpikir aku keguguran.
            “Kita baik-baik saja,” bisikku serak. “Bisakah kita pulang sekarang? Semalaman—“
            Pangeran Miguel kembali memelukku lagi, seolah-olah tak akan pernah puas. “Saat perjalanan mencarimu, untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku takut. Aku takut apa yang akan kulakukan bila aku kehilangan dirimu dan anak kita. Pikiranku berteriak bahwa kau akan baik-baik saja, untuk menenangkanku. Tetapi aku tak bisa bersikap tenang. Aku tak bisa bersikap tenang bila itu berhubungan denganmu Eleanor.” Ia mencium kepalaku sekali lagi. Setelahnya, ia menggendongku seperti anak bayi. Pangeran Miguel berdiri lalu berjalan menuju kuda hitamnya dan dua pria bertubuh besar dan tegak berdiri sigap di depan kuda hitamnya.
            “Jangan bunuh dia.” Pangeran Miguel memberi perintah. “Bawa dia ke hadapanku begitu ia sudah bangun,” lanjutnya melangkah meninggalkan dua pria itu yang harus memeriksa Clement. Dengan hati-hati pangeran Miguel menempatkanku ke atas kudanya dengan posisi menghadap ke belakang, kemudian ia menyusul dengan gerakan cepat. Aku memberi senyum manis untuk menenangkannya, lalu mengangkat tanganku untuk mengelus pipinya. Ia tidak mencukur pagi ini sehingga janggutnya mulai tumbuh, membuatku semakin tersenyum lebar. Bagaimana pun keadaannya, pangeran Miguel akan tetap tampan bagiku.
            “Peluk aku,” perintahnya yang segera kuturuti. Telingaku mendengar suara detak jantungnya yang masih berdetak cepat, ia belum tenang sepenuhnya. “Sepertinya kau akan berjalan-jalan menggunakan kuda hari ini.” Aku mendongak mendengar ucapannya yang mengingatkanku pada percakapan kami tadi malam. Meski tidak sampai satu hari aku kehilangannya, tetapi matahari sudah ada di atas langit.
            “Sepertinya keberuntungan jatuh di tanganku,” bisikku.
            “Tidak sepenuhnya beruntung bila aku malah membawa kereta kuda,” gerutunya kesal. “Aku akan membawamu langsung pada Mina untuk memeriksa lehermu sekaligus bayi kita.”
            “Kurasa itu bukanlah ide yang buruk,” bisikku. Leherku berdenyut-denyut membuat keningku mengerut. “Aku meninju Clement kemarin malam. Dan menyundul kepalanya siang ini, maka dari itu kepalaku terluka.” Pangeran Miguel menarik tali kudanya hingga kuda hitamnya berhenti. Kepalanya menunduk dengan mata melotot padaku. Atau lebih tepatnya, ia tercengang.
            “Kau meninjunya? Itu yang menyebabkan spreimu bernoda darah? Dan kau menyundul kepalanya? Oh Tuhan.” Suaranya benar-benar memperlihatkan keterkejutan. Kemudian seulas senyum—senyum pertamanya di siang ini!—muncul di wajahnya. Aku mengangguk malu-malu sampai kurasakan pipiku memanas. “Aku bangga padamu. Ayo kita menikah hari ini!”
            “Sekarang?”
            “Hari ini. Bukan sekarang. Aku perlu memastikan suaramu cukup lantang untuk mengatakan ‘aku bersedia’ pada pastor,” katanya melanjutkan perjalanan kami. Aku menyandarkan kepala di dadanya lalu mendesah lega. Setidaknya, pangeran Miguel tak membunuh siapa pun hari ini atau kapan pun.

***

            Pernikahannya memang tidak meriah seperti yang diharapkan keluargaku—terutama Isabel. Begitu aku bisa berbicara dengan suara normal dan leherku diobati oleh Mina, pangeran Miguel menggendongku terburu-buru menuju gereja istana dan meminta pastor memberkati pernikahan kami. Tidak ada siapa pun di gereja saat itu, termasuk para biarawati. Hanya aku, pangeran Miguel, dan pastor. Aku ingin tertawa saat pemberkataan dimulai karena pakaian pangeran Miguel bahkan tidak rapi sama sekali. Aku pun tidak jauh berbeda darinya.
            Pemberkatan selesai begitu pangeran Miguel mencium ringan bibirku. Aku bahkan tidak pernah tahu kalau cincin pernikahan kami sudah ada—dan bagaimana cincin itu pas di jariku. Pastor sepertinya kesal atas sikap pangeran Miguel yang memaksanya untuk memberkati kami hari, bukan 2 minggu ke depan. Aku tak bisa menyalahkan pastor, tapi pangeran Miguel memang menyebalkan dengan sikapnya yang memaksa. Saat kami ingin turun dari altar, pintu gereja terbuka. Lucas-lah yang pertama lari ke arahku dengan teriakan riang. Setelah kejadian setengah hari yang menegangkan bagiku, keluargaku tampaknya tak ingin membuatku lebih lelah lagi dengan mengajakku berbicara. Dan ya, pangeran Miguel dengan gerakan tanpa suaranya berhasil menikahkanku tanpa kehadiran keluarga.
            Oh, semuanya terjadi begitu cepat hingga aku sendiri pusing bagaimana harus menanganinya. Aku digiring keluargaku menuju aula untuk merayakan pernikahanku dan pangeran Miguel. Aula sudah dihias—yang sebenarnya untuk hari penobatan pangeran Miguel menjadi raja—begitu cantik. Lantai kayu sudah dipoles mengilat sehingga cahaya api menari-nari di lantai. Pemain musik terpaksa dipanggil untuk mengiring tarian kami dengan musik mereka dengan lagu apa saja—itu karena mereka belum latihan. Oh, para pelayan yang awalnya memasak untuk makan malam keluarga, berubah haluan mereka dari dapur ke ruang makan menjadi ke aula. Pernikahan sederhana yang selama ini kuinginkan benar-benar terjadi. Oh ya Tuhan, aku hanya ingin ini. Kehangatan dalam keluarga. Kami tertawa selama menari, tidak memedulikan tata krama karena tidak ada orang asing di sini atau para bangsawan yang lain. Tidak ada siapa pun selain keluargaku dan pangeran Miguel.
            Margaret bahkan tidak berusaha menghentikan kami, justru ia ikut menari dengan tawa lepas—cukup membuat para pelayan terkejut akan kebebasannya berekspresi. Sarah dan Lucas sedang disuapi oleh Priscilla di dekat meja tempat makanan-makanan lezat terpapar. Isabel justru sedang menggoda salah satu pelayan pria untuk menari dengan kami hingga wajah pelayan pria itu merah padam. Saat iringan lagu selesai dan para pemain musik sedang mempersiapkan lagu lain, pangeran Miguel datang mendekatiku lalu mengangkat tangannya hingga menarik perhatian seluruh anggota keluarga dan manusia yang ada di ruangan itu.
            “Kurasa putri Eleanor harus mendapatkan istirahat maksimal setelah serangkaian kejadian hari ini. Jika kalian tidak keberatan, aku akan membawanya pergi ke kamar untuk beristirahat,” ucapnya dengan suara lantang.
            “Tapi aku tidak lelah,” bisikku.
            “Kau tidak akan membantahku kali ini, Eleanor,” balasnya berbisik. Mulutku terkatup rapat mendengar ucapannya. Semua orang setuju aku harus beristirahat, terutama karena luka di leherku masih tampak kelihatan. Pangeran Miguel menggiringku keluar dari aula menuju kamarnya—sekarang sudah menjadi kamarku juga.

Pangeran Miguel memperlakukanku seperti anak kecil. Ia membuka gaunku dan menggantikannya dengan pakaian tidur berwarna hitam. Besok hari berkabung akan selesai, seluruh anggota keluarga boleh memakai pakaian berwarna lagi. Karena besok lusa, pangeran Miguel akan dinobatkan menjadi raja. Ia lebih pendiam dari biasanya. Sepertinya ada yang salah. Sesuatu. Lalu aku teringat Abigail dan pangeran Geoffrey. Apakah pangeran Geoffrey ikut membuat rencana menjebak pangeran Miguel dan menculikku juga? Aku tak yakin, selama ini pangeran Geoffrey selalu bersikap baik padaku.
            Pangeran Miguel tidak mengganti pakaiannya, ia hanya membuka bagian atas pakaiannya sehingga dadanya yang berotot tampak. Aku menelan ludah, berusaha menahan diri untuk tidak menyentuh atau mencium dada itu. Untungnya, siksaan halus itu ia hentikan dengan cara memunggungiku menuju tiang lilin. Sungguh, aku yakin, saat pangeran Miguel bergerak di tempat tersunyi pun, ia tidak akan membuat suara apa pun seperti kucing. Karena keheningan lebih mendominasi, aku akhirnya membuka suara.
            “Apakah itu Abigail?” Tanyaku dengan suara tenang. Saat pangeran Miguel sedang sibuk mematikan salah satu lilin, ia berhenti bergerak. Pangeran Miguel tidak menjawab. Ia mematikan ujung lilin yang lain sehingga cahaya di kamar semakin redup. Pria tinggi itu mengambil beberapa langkah besar lalu naik ke atas tempat tidur, bergabung denganku. Pangeran Miguel setengah duduk bersandar, lalu dalam satu sentakan lembut, aku sudah berada dalam pelukannya. Sungguh, apakah aku yang terlalu ringan untuknya atau ia memang terlalu kuat?
            “Oh, gadisku yang satu itu,” bisiknya terdengar letih. “Aku tidak tahu apa yang harus kuperbuat padanya. Ia sedang di ruang pengasingan agar ia memikirkan apa yang baru ia lakukan padamu. Dan aku akan tetap mengirimnya ke Grandell bersama Geoffrey dan Zachary dengan hukuman tidak akan kuizinkan pulang sampai anak pertamaku menginjak umur 4 tahun.”
            “Itu sangat kejam, Justin!” Aku menyebut nama depannya. Aku tak bisa membiarkan Abigail tetap di Grandell bila ia ingin datang ke Cardwell. Dan ruang pengasingan? Aku tak pernah tahu di istana ini terdapat ruang pengasingan dan untuk apa ruang itu dibuat.
            “Tidak cukup kejam dengan mengorbankan anakku dilukai olehnya,” tukasnya tajam.
            “Ia tidak akan melakukan itu,” ucapku yakin. Justin mengedik bahu.
            “Biar kuingatkan kau apa yang terjadi hari ini—“
            Aku memukul dadanya pelan. “Aku tahu. Tapi tidak mungkin ia akan menyakiti anak kita. Maksudku, ia anakmu juga, Justin. Berikan ia sedikit keringanan untuk hukuman itu. Bagaimana bila ia merindukanmu?”
            “Aku yang akan datang ke Grandell.” Desah putus asa keluar dari mulutku. Jika itu yang ia inginkan, aku tak bisa membantahnya. Dua hari lagi ia akan menjadi raja dan sudah menjadi haknya memutuskan apa pun. “Dan aku sudah memberi hukuman yang tepat untuk Clement.”
            “Apa itu?” Tanyaku penasaran. Justin dengan hati-hati bergerak merosot hingga ia ikut berbaring. Ia mengencangkan pelukannya lalu ia berbaring miring sehingga wajah kami berhadapan. Pahaku kiriku menindih pahanya, lalu pahanya yang lain menindih paha kiriku.
            “Sesuatu yang wanita tidak boleh dengar tapi Clement tidak akan mati.” Ia meyakinkanku. Aku tak berusaha mendebatnya lagi. Aku memikirkan Abigial yang sedang berada di ruang pengasingan. Apa ia mendapat makanan? Aku mungkin sedikit kesal karenanya, sebab ia menyuruh Clement menculikku. Lagi pula, mengapa Abigail harus melakukan itu? Aku sudah yakin ia tidak akan melukaiku, namun sepertinya aku terlalu menganggapnya baik dan tidak berani. Tangan Justin terangkat mengelus belakang kepalaku hingga aku mendesah seperti anak kucing mendengkur dalam pelukan Ibunya. “Abigail hanya tidak akan berbicara pada siapa pun. Sebenarnya, ruang pengasingan itu tidak terlalu buruk. Kau tidak perlu mengkhawatirkannya. Biarkan aku yang mengkhawatirkannya.” Ia berbicara seolah-olah dapat membaca pikiranku.
            “Apa ia akan baik-baik saja?”
            “Ia bahkan akan terlihat lebih baik daripada kau jika kau tidak berhenti mengkhawatirkannya,” katanya menyiratkan kejengkelan. Kutatap mata birunya yang tampak letih setelah hampir setengah hari ia mencariku dan memikirkan kesehatanku seharian ini. Tangannya masih mengelus kepalaku di belakang hingga aku setengah terpejam. “Istriku. Istri pertamaku yang sangat kuinginkan sejak dulu. Lihat lehernya. Ia sudah terluka karena tak kujaga dengan baik. Seharusnya aku tidur dengannya kemarin malam. Cerobohnya aku.”
            “Bukan salahmu,” bisikku tersenyum kecil.
            “Sekalipun itu, aku tetap gagal membuatmu merasa aman. Dan kau terluka. Andai aku datang tepat waktu, pasti kau tidak akan terluka separah ini,”
            “Oh, suamiku. Suami yang tak pernah kuduga dan sangat kubutuhkan. Lihat wajahnya. Pasti ia sudah berusaha mencari-cariku untuk menolongku di bawah orang jahat. Dan memang ia sudah melakukannya. Ia pasti tidak akan letih seperti ini dan menghukum adiknya. Wajahnya begitu letih. Seharusnya aku menahannya tetap tidur di kamarku, alih-alih mengusirnya dari kamar. Egoisnya aku,” ucapku membuatnya terkekeh. Ia memajukan wajahnya lalu mengecup bibirku begitu lama. Aku ikut mengangkat tanganku ke belakang kepalanya lalu mengelusnya dengan lembut. Mata Justin terpejam.
Untuk pertama kalinya, aku melihat wajahnya begitu damai saat terlelap.

Keesokan harinya, aku tahu hukuman apa yang dijatuhkan pada Clement. Pria itu dikebiri habis sehingga ia tidak akan memiliki keturunan. Setidaknya, sumpahku memang terjadi. Clement tidak dibunuh oleh pangeran Miguel, tapi ia ditempatkan di penjara bawah tanah atas usaha pembunuhan. Dan ternyata selama ini pangeran Geoffrey sudah berada di Grandell untuk membuat perjanjian bersama raja di sana—dan sedang dalam perjalanan menuju Cardwell setelah ia mendengar bahwa adiknya berencana membunuhku. Hari ini seluruh anggota keluarga memakai pakaian yang menyenangkan. Hari ini aku memakai gaun berwarna kuning sehingga rambut merahku tampak mencolok sementara Isabel memakai gaun berwarna biru laut.
            Aku membiarkan pangeran Miguel tetap terlelap sampai siang. Semua orang memakluminya—dan Isabel berasumsi bahwa pangeran Miguel terlelap karena kelelahan bercinta denganku. Oh, Isabel dengan pikiran nakalnya. Besok akan menjadi hari yang sangat menegangkan untuk pangeran Miguel dan diriku sendiri. Aku akan menjadi ratu Cardwell. Untuk menenangkan diri, aku pergi ke belakang taman. Untuk pertama kalinya, sejak pengumuman hubunganku dan pangeran Miguel, aku merasa begitu bebas. Sudah tidak ada lagi hubungan rahasiaku dengan pangeran Miguel. Dan tidak ada pertemuan rahasia lagi.
            Aku keluar dari taman belakang menuju pohon-ku. Pohon rindang itu menutupi cahaya matahari yang membakar kulitku. Baru saja aku menghirup udara segar, suara terengah-engah muncul dari pintu yang baru saja kulewati. Pangeran Miguel melihat ke sekeliling lalu kepalanya berhenti ke arahku. Wajahnya kelihatan pucat dan panik lalu baru kusadari, ia masih trauma akan kejadian kemarin. Aku berjalan mendekatinya—namun baru satu langkah—ia sudah berlari ke arahku dan memelukku. Selama beberapa saat ia memelukku, lalu ia menarik tubuhnya dariku. Tangannya mencengkeram lenganku begitu erat hingga aku sedikit meringis pelan. Ia tidak menggubrisnya.
            “Jangan pernah pergi dariku tanpa memberitahu padaku terlebih dahulu. Apa kau mengerti?” Ia bertanya penuh kekhawatiran. Aku mengangguk lalu tersenyum.
            “Bukankah hari ini hari yang indah?” Tanyaku dengan suara halus. Melihat ketenanganku, kerutan di keningnya menghilang. Lalu ia memelukku kembali, nafasnya mulai teratur.
            “Ya, ini hari yang indah.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar