CHAPTER FIFTEEN – I NEED YOU
ELEANOR HUGHES
Hal
pertama yang kurasakan begitu bangun adalah leherku yang pegal. Aku mendongak
setelah, entah berapa lama, menunduk dan merasakan tusukan-tusukan nyeri di
tengkukku. Oh ya Tuhan, apa sebenarnya yang terjadi? Aku mengerjap-kerjapkan
mataku lalu menyipit akibat silaunya matahari yang langsung membanjiri mata dan
seluruh tubuhku. Penglihatanku sedikit buram begitu berusaha melihat ke
sekeliling tempat, mencaritahu dimana aku. Terdapat kuda putih duduk di atas
tanah kering yang dikelilingi rumput-rumput pendek nakal. Setelah menyesuaikan
pencahayaan di mataku, aku melihat banyak pohon di belakang kuda putih itu,
menandakan aku berada di sebuah hutan. Dan kuda putih yang duduk itu adalah
Blance. Sialan! Aku baru ingat tadi malam Clement menculikku.
Untungnya
aku berhasil meninjunya—meski buku-buku jariku kesakitan—hingga hidungnya
berdarah. Namun tak lama setelah itu, ia membekapku dengan sebuah kain hingga
aku tak sadarkan diri. Terakhir yang kuingat, aku melihat Jemima di istal namun
aku tak bisa melakukan apa pun sebab saat itu seluruh tubuhku melumpuh.
Kudengar percakapan Clement dan Jemima saat itu dan sialnya, aku tak ingat apa
yang mereka perbincangkan. Suara gemerisik dari sebelah kanan membuatku
was-was. Saat aku ingin mengangkat tubuh, aku baru sadar kalau kedua tanganku
sedang diikat. Tanganku terikat mengelilingi pohon yang menjadi sandaranku. Desahan
putus asa keluar dari mulutku. Aku hanya dapat berharap pangeran Miguel datang
menyelamatkanku seperti dalam cerita-cerita dongeng.
Mataku
melirik pria yang tingginya sama denganku. Wajahnya bersih dan basah namun
bajunya kotor terkena lumpur. Clement. Pria itu mungkin baru menginjak umur
30-an, tetapi janggutnya yang kotor itu membuatnya terlihat seperti 40 tahun.
Menggunakan sebuah daun besar, ia menenggak air minum hingga tersisa sedikit
lalu ia menyodorkannya di depan mulutku. Demi Tuhan, aku tidak akan meminum apa
pun yang berasal darinya! Aku membuang wajahku dari daun itu, sedetik kemudian
kudengar Clement menggeram seperti anjing marah. Ia melangkah, menempatkan
kedua kakinya di antara pahaku lalu membungkuk. Dengan kasar ia menarik pipiku dengan jari telunjuk dan
jempolnya, menjepitnya begitu dalam hingga aku kesakitan. Clement mengalirkan
air di daun itu masuk ke dalam mulutku yang terbuka paksa lalu ia memencet
hidungku hingga aku kehabisan nafas dan terpaksa menelan air itu.
“Gadis
pintar.” Aku mendengus.
Setelah
puas melihatku tersiksa, Clement menjauhkan diri dariku. Ia duduk di depan
punggung Blance lalu bersandar di sana seperti ia sedang duduk di kursi santai.
Dengan posisi duduk seperti itu, ia dapat memandangku sepuasnya. Matanya yang
berwarna hitam memerhatikanku seperti predator yang mempelajari mangsanya.
“Aku tak mengerti
mengapa si Tolol itu ingin kau menjadi istrinya. Maksudku, kau memang sangat
seksi. Tapi Abigail bilang padaku kalau buah dadamu kendur seperti nenek. Tentu
aku percaya apa yang ia bilang. Sebelum kau menjadi pelayan di istana, sudah
berapa pria di desamu yang memakai dirimu? Percayalah, aku bisa membayar lebih besar
daripada mereka.” Aku terenyak mendengar kata-katanya yang begitu vulgar dan
tak sopan! Dan, aku tak percaya Abigail akan menghinaku seperti itu.
“Bagaimana
denganmu, Clement? Sudah berapa banyak wanita yang menolak bercinta denganmu?”
Balasku pedas. Senyuman miring muncul di wajahnya sehingga janggutnya
bergerak-gerak menjijikan.
“Eleanor,
Eleanor. Betapa kejamnya mulutmu yang manis itu. Aku bahkan bisa menghamili
seluruh wanita Cardwell, bahkan menghamilimu—jika kau mau aku melakukannya.
Tapi, sungguh Eleanor, sudah berapa pria yang bercinta denganmu?” Ia bertanya
dengan nada suara menantang. Karena tatapannya seolah-olah menelanjangiku, aku
meludah seperti laki-laki. Kudengar ia terkesiap akan kelakuanku—calon ratu dan
istri—yang seharusnya tak pernah dilakukan seorang wanita muda. Ia tertawa
pelan sambil menggeleng-geleng kepala.
“Sekarang
aku tahu mengapa si bajingan Miguel menyukaimu,” ceracaunya layaknya orang
mabuk. “Tubuhmu memang mungil namun kau sangat agresif. Kau tidak cocok menjadi
ratu, oh tidak. Kau cocok denganku. Kita bisa mengelilingi dunia dengan imbalan
yang akan kudapat sebentar lagi dari Abigail. Nah, karena Miguel telah masuk ke
dalam perangkap Abigail kurasa tidak ada salahnya aku mencicipimu di tempat
ini. Kau suka alam, bukan? Tidak ada salahnya jika kita mencoba—“
“Lebih
baik aku mati dibanding harus tidur denganmu!” Seruku kesal. Ia terdiam.
Gerakannya begitu cepat saat ia berdiri, lalu melangkah mendekatiku. Clement
mengangkangiku di antara pahaku kemudian ia mencondongkan tubuhnya ke arahku
seperti posisi tadi.
“Apa kau bilang?”
“Lebih baik aku
mati, brengsek!” Aku memberinya tatapan jijik dan benci. Ia tidak mengatakan
apa-apa. Kali ini wajahnya semakin dekat denganku, lalu bibirnya maju bersiap
mencium bibirku. Untuk yang kedua kalinya, aku membuang wajahku darinya.
Melihat penolakan dariku, Clement memperlakukanku begitu kasar lalu ia menahan
rahangku hingga aku mengerang sakit. Begitu ia mencoba mencium bibirku, aku
menarik kepalaku darinya lalu menyundul keningnya dengan keningnya begitu keras
hingga ia terhuyung ke belakang. Kepalaku pusing akibat sundulan yang kuberikan
padanya dan sesuatu yang hangat mengalir di keningku ke batang hidungku. Pasti
berdarah.
“Kau jalang
sialan!” Erangnya.
Clement
setengah berdiri, lututnya tertekuk sambil tangannya menyentuh keningnya yang
juga berdarah. Clement menarik tangannya dari kening lalu menatap darah yang
menempel di telapak tangannya. Ia menggeram marah padaku.
“Seharusnya aku
membunuhmu sejak tadi malam!” Kakinya melangkah cepat, tangannya meraih atasan
pakaianku lalu merobeknya kasar hingga korset yang menutupi buah dadaku
terpampang jelas. Ketakutan merayap di seluruh tubuhku begitu melihat matanya
menatap dadaku seperti tatapan orang sakit jiwa. Sebuah tamparan keras melayang
di pipiku hingga aku—sepertinya—melihat bintang-bintang.
“Pengecut!
Kau perusak wanita! Pemerkosa—“Tangan Clement mencekik leherku hingga aku tak
bisa bernafas. Aku berusaha menarik-narik tanganku dari ikatan, namun yang ada,
tanganku terasa perih karena kulitku tergesek-gesek tali dan kulit pohon yang
kasar. Dari sudut mataku keluar air mata kesakitan sekaligus takut begitu
tangan Clement yang lain masuk ke dalam rokku.
“Iblis!”
Desisku di sela-sela nafas. Cekikan tangannya di leherku mengencang hingga aku
tersedak. Mataku terpejam, belakang kepalaku tertusuk-tusuk kulit pohon yang
kasar dan telingaku mendengung tak mendengar apa pun. Jika memang Clement akan
membunuhku, aku mengutuknya tak memiliki keturunan! Oh, aku memang buruk
mengutuk seseorang.
Kulitku
merasakan telapak tangannya yang mengelus paha dalamku dan cekikannya di
leherku mengencang hingga kepalaku terangkat. Lalu tiba-tiba cengkeraman
tangannya di leherku menghilang begitu saja dan telapak tangannya sudah tak
menyentuh paha dalamku lagi. Aku berusaha menarik nafas sedalam-dalamnya karena
kepalaku begitu pusing. Mataku mengerjap-kerjap berusaha untuk melihat apa yang
sedang terjadi.
Clement
jatuh di atas tanah kering, di sebelah Blance, sementara pria yang bertubuh
lebih besar darinya menahan kemeja di bagian lehernya lalu wajah Clement yang
bersih sudah kotor dilumuri darah akibat tinjuan mematikan dari ...Justin. Aku
terperangah, hatiku meledak-ledak bahagia akan kehadirannya. Tinjuannya terus
menghujam wajah Clement hingga aku tak bisa menyaksikannya lebih lama lagi.
Sudah cukup. Aku tak ingin calon suamiku membunuh orang lagi. Begitu aku
membuka mulut, aku tak bisa mengeluarkan suaraku. Leherku begitu sakit untuk
bersuara. Air mataku menetes ingin ia berhenti meninju Clement.
Bodohnya,
Clement malah menantang Justin. “Ayo, pakai pedangmu. Bunuh aku seperti kau setengah
pria Cardwell!” Serunya dengan gigi berdarah-darah. Aku menggeleng, kakiku
menendang-nendang meminta perhatian Justin, namun ia tak sama sekali melihat ke
arahku. Rahang Justin menegang, seluruh wajahnya memerah lalu ia mengeluarkan
pedang dari sarungnya. Tidak, tidak, tidak! Mataku melotot. Kudengar Clement
tertawa sambil darah keluar dari mulutnya. Clement tolol! Mengapa ia memancing
Justin?
“Kukirim
kau ke neraka, brengsek!” Justin berseru penuh kebencian. Kedua tangannya yang
memegang pedang terangkat lalu turun dalam kecepatan kilat. Kupejam mataku tak
ingin melihat apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Justin,
aku butuh kau!” Jeritku melengking—aku sendiri bahkan terkejut—menarik
perhatian Justin. Mataku terbuka, mendapati pedang Justin yang menancap di
tanah kering, tepat di samping dada Clement. Tubuhku dihujani perasaan lega.
Justin mengambil dua langkah besar mencapaiku lalu ia berjongkok. Kedua
tangannya menangkup pipiku—kulihat matanya berair—lalu ia menurunkan bibirnya
ke bibirku, mengecupnya begitu lembut.
“Oh
Tuhan, kupikir aku sudah kehilangan dirimu,” ucapnya menarik ingus. Pangeran
Miguel dan tangisannya—ia menangisiku—terasa begitu tak nyata. Mengingat
pangeran Miguel merupakan pria kasar yang keras dan kejam, aku bahkan tak
pernah membayangkan bagaimana pangeran Miguel menangis. Aku mendesis merasakan
perih menyakitkan di leherku kemudian pangeran Miguel menarik wajahnya dari
wajahku. Pangeran Miguel bergerak cepat. Tangannya menyelip di sepatu botnya,
mengeluarkan sebuah pisau kecil dari dalam situ lalu memotong tali yang
mengikat tanganku. Setelah bebas dari ikatan terkutuk itu, aku bangkit berlutut
memeluknya.
“Ak…”
suaraku tercekat. Tenggorokanku begitu kering. Pangeran Miguel menyuruhku diam,
lalu ia menarik tubuhku agar ia dapat melihat keadaanku. Kedua tangannya
mencengkeram lenganku begitu kencang namun tak menyakiti, ia melihat hampir ke
sekujur tubuhku, mencari-cari luka. Perhatiannya jatuh pada keningku yang
berdarah, lalu tangannya merogoh sesuatu di kantong celananya. Sebuah saputangan
putih tak berbau keluar dari sana, ia mengelap darah di sekitar lukaku. Aku
menggigit bibir bawah berusaha untuk tak mendesis kesakitan. Namun aku tak bisa
menahannya, sebuah desisan kecil keluar dari sela-sela gigiku membuat pangeran
Miguel menarik saputangannya.
“Tidak
apa,” bisikku serak. Melihat matanya yang berair, aku mengangkat tangan untuk
mengelapnya. Ia memejamkan matanya, membiarkan kedua ibu jariku mengelap air
matanya. Setelah selesai, aku mengecup kedua mata itu, mengingatkanku saat ia
bermimpi buruk dan datang padaku untuk mendapatkan ketenangan. Belum aku
selesai, pangeran Miguel mendesah keras, ia memelukku begitu posesif. Beberapa
ciuman sayang jatuh di puncak kepalaku sambil ia mengatakan kata-kata yang
menenangkan. Hal yang selalu ia lakukan saat aku ketakutan.
“Demi
Tuhan, aku akan menghabisi Clement setelah ini. Dan Abigail—“ Aku menarik
tubuhku dari pelukannya. Kuberikan ia tatapan peringatan agar ia tak sekalipun
menyakiti Abigail. Apakah ada anggota keluarganya yang tak ingin ia bunuh?
Sungguh, aku tak ingin pangeran Miguel mengotori tangannya lagi. Anakku tidak
akan dibesarkan oleh seorang pembunuh, tidak akan. Aku menarik tangannya lalu
menaruhnya ke atas perutku. Ia menatapku tercengang namun diselingi ketakutan.
Aku menggeleng begitu aku tahu ia berpikir aku keguguran.
“Kita
baik-baik saja,” bisikku serak. “Bisakah kita pulang sekarang? Semalaman—“
Pangeran
Miguel kembali memelukku lagi, seolah-olah tak akan pernah puas. “Saat
perjalanan mencarimu, untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku takut. Aku takut
apa yang akan kulakukan bila aku kehilangan dirimu dan anak kita. Pikiranku
berteriak bahwa kau akan baik-baik saja, untuk menenangkanku. Tetapi aku tak
bisa bersikap tenang. Aku tak bisa bersikap tenang bila itu berhubungan
denganmu Eleanor.” Ia mencium kepalaku sekali lagi. Setelahnya, ia
menggendongku seperti anak bayi. Pangeran Miguel berdiri lalu berjalan menuju
kuda hitamnya dan dua pria bertubuh besar dan tegak berdiri sigap di depan kuda
hitamnya.
“Jangan
bunuh dia.” Pangeran Miguel memberi perintah. “Bawa dia ke hadapanku begitu ia
sudah bangun,” lanjutnya melangkah meninggalkan dua pria itu yang harus
memeriksa Clement. Dengan hati-hati pangeran Miguel menempatkanku ke atas
kudanya dengan posisi menghadap ke belakang, kemudian ia menyusul dengan
gerakan cepat. Aku memberi senyum manis untuk menenangkannya, lalu mengangkat
tanganku untuk mengelus pipinya. Ia tidak mencukur pagi ini sehingga janggutnya
mulai tumbuh, membuatku semakin tersenyum lebar. Bagaimana pun keadaannya,
pangeran Miguel akan tetap tampan bagiku.
“Peluk
aku,” perintahnya yang segera kuturuti. Telingaku mendengar suara detak
jantungnya yang masih berdetak cepat, ia belum tenang sepenuhnya. “Sepertinya
kau akan berjalan-jalan menggunakan kuda hari ini.” Aku mendongak mendengar
ucapannya yang mengingatkanku pada percakapan kami tadi malam. Meski tidak
sampai satu hari aku kehilangannya, tetapi matahari sudah ada di atas langit.
“Sepertinya
keberuntungan jatuh di tanganku,” bisikku.
“Tidak
sepenuhnya beruntung bila aku malah membawa kereta kuda,” gerutunya kesal. “Aku
akan membawamu langsung pada Mina untuk memeriksa lehermu sekaligus bayi kita.”
“Kurasa
itu bukanlah ide yang buruk,” bisikku. Leherku berdenyut-denyut membuat
keningku mengerut. “Aku meninju Clement kemarin malam. Dan menyundul kepalanya
siang ini, maka dari itu kepalaku terluka.” Pangeran Miguel menarik tali
kudanya hingga kuda hitamnya berhenti. Kepalanya menunduk dengan mata melotot
padaku. Atau lebih tepatnya, ia tercengang.
“Kau
meninjunya? Itu yang menyebabkan spreimu bernoda darah? Dan kau menyundul
kepalanya? Oh Tuhan.” Suaranya benar-benar memperlihatkan keterkejutan.
Kemudian seulas senyum—senyum pertamanya di siang ini!—muncul di wajahnya. Aku
mengangguk malu-malu sampai kurasakan pipiku memanas. “Aku bangga padamu. Ayo
kita menikah hari ini!”
“Sekarang?”
“Hari
ini. Bukan sekarang. Aku perlu memastikan suaramu cukup lantang untuk
mengatakan ‘aku bersedia’ pada pastor,” katanya melanjutkan perjalanan kami.
Aku menyandarkan kepala di dadanya lalu mendesah lega. Setidaknya, pangeran
Miguel tak membunuh siapa pun hari ini atau kapan pun.
***
Pernikahannya
memang tidak meriah seperti yang diharapkan keluargaku—terutama Isabel. Begitu
aku bisa berbicara dengan suara normal dan leherku diobati oleh Mina, pangeran
Miguel menggendongku terburu-buru menuju gereja istana dan meminta pastor
memberkati pernikahan kami. Tidak ada siapa pun di gereja saat itu, termasuk
para biarawati. Hanya aku, pangeran Miguel, dan pastor. Aku ingin tertawa saat
pemberkataan dimulai karena pakaian pangeran Miguel bahkan tidak rapi sama
sekali. Aku pun tidak jauh berbeda darinya.
Pemberkatan
selesai begitu pangeran Miguel mencium ringan bibirku. Aku bahkan tidak pernah
tahu kalau cincin pernikahan kami sudah ada—dan bagaimana cincin itu pas di
jariku. Pastor sepertinya kesal atas sikap pangeran Miguel yang memaksanya
untuk memberkati kami hari, bukan 2 minggu ke depan. Aku tak bisa menyalahkan
pastor, tapi pangeran Miguel memang menyebalkan dengan sikapnya yang memaksa.
Saat kami ingin turun dari altar, pintu gereja terbuka. Lucas-lah yang pertama
lari ke arahku dengan teriakan riang. Setelah kejadian setengah hari yang
menegangkan bagiku, keluargaku tampaknya tak ingin membuatku lebih lelah lagi
dengan mengajakku berbicara. Dan ya, pangeran Miguel dengan gerakan tanpa
suaranya berhasil menikahkanku tanpa kehadiran keluarga.
Oh,
semuanya terjadi begitu cepat hingga aku sendiri pusing bagaimana harus
menanganinya. Aku digiring keluargaku menuju aula untuk merayakan pernikahanku
dan pangeran Miguel. Aula sudah dihias—yang sebenarnya untuk hari penobatan
pangeran Miguel menjadi raja—begitu cantik. Lantai kayu sudah dipoles mengilat
sehingga cahaya api menari-nari di lantai. Pemain musik terpaksa dipanggil untuk
mengiring tarian kami dengan musik mereka dengan lagu apa saja—itu karena
mereka belum latihan. Oh, para pelayan yang awalnya memasak untuk makan malam
keluarga, berubah haluan mereka dari dapur ke ruang makan menjadi ke aula.
Pernikahan sederhana yang selama ini kuinginkan benar-benar terjadi. Oh ya
Tuhan, aku hanya ingin ini. Kehangatan dalam keluarga. Kami tertawa selama
menari, tidak memedulikan tata krama karena tidak ada orang asing di sini atau
para bangsawan yang lain. Tidak ada siapa pun selain keluargaku dan pangeran
Miguel.
Margaret
bahkan tidak berusaha menghentikan kami, justru ia ikut menari dengan tawa
lepas—cukup membuat para pelayan terkejut akan kebebasannya berekspresi. Sarah
dan Lucas sedang disuapi oleh Priscilla di dekat meja tempat makanan-makanan
lezat terpapar. Isabel justru sedang menggoda salah satu pelayan pria untuk
menari dengan kami hingga wajah pelayan pria itu merah padam. Saat iringan lagu
selesai dan para pemain musik sedang mempersiapkan lagu lain, pangeran Miguel datang
mendekatiku lalu mengangkat tangannya hingga menarik perhatian seluruh anggota
keluarga dan manusia yang ada di ruangan itu.
“Kurasa
putri Eleanor harus mendapatkan istirahat maksimal setelah serangkaian kejadian
hari ini. Jika kalian tidak keberatan, aku akan membawanya pergi ke kamar untuk
beristirahat,” ucapnya dengan suara lantang.
“Tapi
aku tidak lelah,” bisikku.
“Kau
tidak akan membantahku kali ini, Eleanor,” balasnya berbisik. Mulutku terkatup
rapat mendengar ucapannya. Semua orang setuju aku harus beristirahat, terutama
karena luka di leherku masih tampak kelihatan. Pangeran Miguel menggiringku
keluar dari aula menuju kamarnya—sekarang sudah menjadi kamarku juga.
Pangeran Miguel memperlakukanku
seperti anak kecil. Ia membuka gaunku dan menggantikannya dengan pakaian tidur
berwarna hitam. Besok hari berkabung akan selesai, seluruh anggota keluarga
boleh memakai pakaian berwarna lagi. Karena besok lusa, pangeran Miguel akan
dinobatkan menjadi raja. Ia lebih pendiam dari biasanya. Sepertinya ada yang
salah. Sesuatu. Lalu aku teringat Abigail dan pangeran Geoffrey. Apakah
pangeran Geoffrey ikut membuat rencana menjebak pangeran Miguel dan menculikku
juga? Aku tak yakin, selama ini pangeran Geoffrey selalu bersikap baik padaku.
Pangeran
Miguel tidak mengganti pakaiannya, ia hanya membuka bagian atas pakaiannya
sehingga dadanya yang berotot tampak. Aku menelan ludah, berusaha menahan diri
untuk tidak menyentuh atau mencium dada itu. Untungnya, siksaan halus itu ia
hentikan dengan cara memunggungiku menuju tiang lilin. Sungguh, aku yakin, saat
pangeran Miguel bergerak di tempat tersunyi pun, ia tidak akan membuat suara
apa pun seperti kucing. Karena keheningan lebih mendominasi, aku akhirnya
membuka suara.
“Apakah
itu Abigail?” Tanyaku dengan suara tenang. Saat pangeran Miguel sedang sibuk
mematikan salah satu lilin, ia berhenti bergerak. Pangeran Miguel tidak
menjawab. Ia mematikan ujung lilin yang lain sehingga cahaya di kamar semakin
redup. Pria tinggi itu mengambil beberapa langkah besar lalu naik ke atas
tempat tidur, bergabung denganku. Pangeran Miguel setengah duduk bersandar,
lalu dalam satu sentakan lembut, aku sudah berada dalam pelukannya. Sungguh,
apakah aku yang terlalu ringan untuknya atau ia memang terlalu kuat?
“Oh,
gadisku yang satu itu,” bisiknya terdengar letih. “Aku tidak tahu apa yang
harus kuperbuat padanya. Ia sedang di ruang pengasingan agar ia memikirkan apa
yang baru ia lakukan padamu. Dan aku akan tetap mengirimnya ke Grandell bersama
Geoffrey dan Zachary dengan hukuman tidak akan kuizinkan pulang sampai anak
pertamaku menginjak umur 4 tahun.”
“Itu
sangat kejam, Justin!” Aku menyebut nama depannya. Aku tak bisa membiarkan
Abigail tetap di Grandell bila ia ingin datang ke Cardwell. Dan ruang
pengasingan? Aku tak pernah tahu di istana ini terdapat ruang pengasingan dan
untuk apa ruang itu dibuat.
“Tidak
cukup kejam dengan mengorbankan anakku dilukai olehnya,” tukasnya tajam.
“Ia
tidak akan melakukan itu,” ucapku yakin. Justin mengedik bahu.
“Biar
kuingatkan kau apa yang terjadi hari ini—“
Aku
memukul dadanya pelan. “Aku tahu. Tapi tidak mungkin ia akan menyakiti anak
kita. Maksudku, ia anakmu juga, Justin. Berikan ia sedikit keringanan untuk
hukuman itu. Bagaimana bila ia merindukanmu?”
“Aku
yang akan datang ke Grandell.” Desah putus asa keluar dari mulutku. Jika itu
yang ia inginkan, aku tak bisa membantahnya. Dua hari lagi ia akan menjadi raja
dan sudah menjadi haknya memutuskan apa pun. “Dan aku sudah memberi hukuman
yang tepat untuk Clement.”
“Apa
itu?” Tanyaku penasaran. Justin dengan hati-hati bergerak merosot hingga ia
ikut berbaring. Ia mengencangkan pelukannya lalu ia berbaring miring sehingga
wajah kami berhadapan. Pahaku kiriku menindih pahanya, lalu pahanya yang lain
menindih paha kiriku.
“Sesuatu
yang wanita tidak boleh dengar tapi Clement tidak akan mati.” Ia meyakinkanku.
Aku tak berusaha mendebatnya lagi. Aku memikirkan Abigial yang sedang berada di
ruang pengasingan. Apa ia mendapat makanan? Aku mungkin sedikit kesal
karenanya, sebab ia menyuruh Clement menculikku. Lagi pula, mengapa Abigail
harus melakukan itu? Aku sudah yakin ia tidak akan melukaiku, namun sepertinya
aku terlalu menganggapnya baik dan tidak berani. Tangan Justin terangkat
mengelus belakang kepalaku hingga aku mendesah seperti anak kucing mendengkur
dalam pelukan Ibunya. “Abigail hanya tidak akan berbicara pada siapa pun.
Sebenarnya, ruang pengasingan itu tidak terlalu buruk. Kau tidak perlu
mengkhawatirkannya. Biarkan aku yang mengkhawatirkannya.” Ia berbicara
seolah-olah dapat membaca pikiranku.
“Apa
ia akan baik-baik saja?”
“Ia
bahkan akan terlihat lebih baik daripada kau jika kau tidak berhenti mengkhawatirkannya,”
katanya menyiratkan kejengkelan. Kutatap mata birunya yang tampak letih setelah
hampir setengah hari ia mencariku dan memikirkan kesehatanku seharian ini.
Tangannya masih mengelus kepalaku di belakang hingga aku setengah terpejam.
“Istriku. Istri pertamaku yang sangat kuinginkan sejak dulu. Lihat lehernya. Ia
sudah terluka karena tak kujaga dengan baik. Seharusnya aku tidur dengannya
kemarin malam. Cerobohnya aku.”
“Bukan
salahmu,” bisikku tersenyum kecil.
“Sekalipun
itu, aku tetap gagal membuatmu merasa aman. Dan kau terluka. Andai aku datang
tepat waktu, pasti kau tidak akan terluka separah ini,”
“Oh,
suamiku. Suami yang tak pernah kuduga dan sangat kubutuhkan. Lihat wajahnya. Pasti
ia sudah berusaha mencari-cariku untuk menolongku di bawah orang jahat. Dan
memang ia sudah melakukannya. Ia pasti tidak akan letih seperti ini dan
menghukum adiknya. Wajahnya begitu letih. Seharusnya aku menahannya tetap tidur
di kamarku, alih-alih mengusirnya dari kamar. Egoisnya aku,” ucapku membuatnya
terkekeh. Ia memajukan wajahnya lalu mengecup bibirku begitu lama. Aku ikut
mengangkat tanganku ke belakang kepalanya lalu mengelusnya dengan lembut. Mata
Justin terpejam.
Untuk pertama
kalinya, aku melihat wajahnya begitu damai saat terlelap.
Keesokan harinya, aku tahu hukuman
apa yang dijatuhkan pada Clement. Pria itu dikebiri habis sehingga ia tidak
akan memiliki keturunan. Setidaknya, sumpahku memang terjadi. Clement tidak
dibunuh oleh pangeran Miguel, tapi ia ditempatkan di penjara bawah tanah atas
usaha pembunuhan. Dan ternyata selama ini pangeran Geoffrey sudah berada di
Grandell untuk membuat perjanjian bersama raja di sana—dan sedang dalam
perjalanan menuju Cardwell setelah ia mendengar bahwa adiknya berencana
membunuhku. Hari ini seluruh anggota keluarga memakai pakaian yang
menyenangkan. Hari ini aku memakai gaun berwarna kuning sehingga rambut merahku
tampak mencolok sementara Isabel memakai gaun berwarna biru laut.
Aku
membiarkan pangeran Miguel tetap terlelap sampai siang. Semua orang
memakluminya—dan Isabel berasumsi bahwa pangeran Miguel terlelap karena
kelelahan bercinta denganku. Oh, Isabel dengan pikiran nakalnya. Besok akan
menjadi hari yang sangat menegangkan untuk pangeran Miguel dan diriku sendiri.
Aku akan menjadi ratu Cardwell. Untuk menenangkan diri, aku pergi ke belakang
taman. Untuk pertama kalinya, sejak pengumuman hubunganku dan pangeran Miguel,
aku merasa begitu bebas. Sudah tidak ada lagi hubungan rahasiaku dengan
pangeran Miguel. Dan tidak ada pertemuan rahasia lagi.
Aku
keluar dari taman belakang menuju pohon-ku. Pohon rindang itu menutupi cahaya
matahari yang membakar kulitku. Baru saja aku menghirup udara segar, suara
terengah-engah muncul dari pintu yang baru saja kulewati. Pangeran Miguel
melihat ke sekeliling lalu kepalanya berhenti ke arahku. Wajahnya kelihatan
pucat dan panik lalu baru kusadari, ia masih trauma akan kejadian kemarin. Aku
berjalan mendekatinya—namun baru satu langkah—ia sudah berlari ke arahku dan
memelukku. Selama beberapa saat ia memelukku, lalu ia menarik tubuhnya dariku.
Tangannya mencengkeram lenganku begitu erat hingga aku sedikit meringis pelan.
Ia tidak menggubrisnya.
“Jangan
pernah pergi dariku tanpa memberitahu padaku terlebih dahulu. Apa kau
mengerti?” Ia bertanya penuh kekhawatiran. Aku mengangguk lalu tersenyum.
“Bukankah
hari ini hari yang indah?” Tanyaku dengan suara halus. Melihat ketenanganku,
kerutan di keningnya menghilang. Lalu ia memelukku kembali, nafasnya mulai
teratur.
“Ya,
ini hari yang indah.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar