EPILOG
AUTHOR
5
tahun kemudian…
Terdengar
suara tawa nyaring yang seru di sepanjang lorong istana diiringi dengan suara
larian kaki menegangkan. Dua bocah kecil itu berlari sambil mendorong tembok
agar ia dapat berbelok ke lorong selanjutnya tanpa kehilangan keseimbangan.
Yang laki-laki lebih tinggi dibanding si perempuan berambut merah. Mereka
tertawa gemas saat sesekali kepala mereka menoleh ke belakang, melihat wanita
bertubuh gemuk mengejar mereka. Rambut anak laki-laki itu berterbangan saat ia
berlari namun tidak menghancurkan ketampanannya. Ia memakai pakaian hitam
dengan pedang kayu di sebelah pinggangnya sementara si perempuan mengenakan
gaun berwarna putih kusut dan kotor. Rambut merahnya yang diikat kepang sudah
hancur sehingga rambut-rambut nakalnya mencuat keluar. Dua iblis kecil
kesayangan istana!
Sudah
jelas, anak laki-laki yang tinggi itu adalah kakak si perempuan kecil. Si kakak
kembali berbelok ke lorong yang lain, tanpa tujuan yang pasti, namun ia tahu
mereka harus kabur dari genggaman pengasuhnya yang gemuk itu. Mereka tidak
bermaksud nakal, tapi mereka menyukai kesenangan bermain di sungai sambil
menikmati kue manis buatan Jemima.
“Tunggu
aku, Miguel!” Teriak si perempuan dengan suaranya yang cempreng, khas anak
perempuan. Anak kecil yang bernama Miguel itu berhenti sejenak, melihat
beberapa pintu namun ia tak yakin harus membuka pintu yang lama. Keputusannya
membulat saat ia mendengar suara kesal dari pengasuhnya yang semakin mendekat.
Satu-satunya pintu terdekatnya adalah pintu besar yang berukiran rumit itu.
Melihat adiknya masih berlari, Miguel mendukung adiknya agar lari lebih cepat.
“Cepat
Valentine!” Seru si kakak membuka pintu besar yang tak terkunci. Valentine,
begitu dipanggil kakaknya, berlari masuk ke dalam ruangan yang pintunya dibuka
oleh kakaknya kemudian Miguel menyusul masuk dan menutup pintu itu dengan satu
bantingan kuat. Keduanya mendesah lega lalu mengambil nafas mereka yang tinggal
satu-satu. Miguel membungkuk, menumpu kedua tangannya di atas lutut kemudian
melirik adiknya yang cantik mengikutinya.
“Kurasa...
kurasa kita berhasil mengecohkan Pauline,” ucap Valentine dengan senyum
kemenangan. Miguel menggeleng kepala, ia tidak setuju.
“Kita
tidak mengecohkan Pauline, kita hanya berhasil bersembunyi darinya. Untunglah
kau berlari cukup cepat sebelum Pauline melihat kita,” ujar Miguel. Anak
laki-laki itu sudah berumur 4 tahun, bertubuh cukup tinggi untuk anak
seumurannya dan memiliki ketampanan memikat meski ia masih bocah. Valentine
terdiam sejenak lalu ia menggaruk-garuk kepalanya sehingga kepangannya yang
memang sudah rusak semakin berantakan. Ia memerhatikan kakaknya yang menegakkan
tubuh sehingga ia mengikutinya.
“Lalu,
apa yang akan kita lakukan sekarang?” Tanya Valentine melihat ke sebelah
kirinya, ia menemukan sebuah rak buku tinggi yang berisi dengan buku-buku
tebal. Ia bergidik membayangkan jika seluruh buku itu jatuh padanya. Karena
tidak ada jawaban dari kakanya, Valentine kembali bertanya. “Miguel, apa yang
akan kita lakukan?” Ia menoleh ke arah kakaknya lalu tersentak saat ia melihat
Ayahnya berdiri di berhadapan dengan kakaknya. Pantas saja kakaknya dari tadi
kakaknya tak mengatakan apa-apa. Ayahnya yang memerhatikan kakaknya beralih
menatapnya.
“Bagaimana
kalau Ayah berikan pukulan di bokong?” Tanya Ayahnya, sang raja Cardwell.
Valentine cepat-cepat menggeleng kepala.
“Tidak,
jangan pukulan di bokong!” Serunya tidak seperti tuan puteri harapan seluruh
Cardwell dan tampaknya sang raja tak keberatan akan sifat anaknya yang
blakblakan ini. Anak raja Cardwell yang disapa pangeran Miguel itu sudah berada
di depan tubuh adiknya, bersiap melindungi. Tangannya bahkan sudah menyentuh
pegangan pedang kayunya, bersiap menyerang. Oh, raja Cardwell teringat
bagaimana dulu ia melindungi adik perempuannya, sama persis seperti ini.
“Bukan
sebuah tindakan yang bagus, Ayah, untuk seorang raja sepertimu.” Pangeran
Miguel berucap seperti seorang pemuda yang mengkritik sikap Ayahnya padahal
umurnya bahkan belum mendekati umur 5 tahun. Pangeran Miguel memang anak kecil
yang cerdas, ia juga terlalu menyayangi adik perempuannya. Raja Miguel
tersenyum licik melihat anak pertamanya yang berani-beraninya mengomentari
tindakannya, yang tidak lain dan tidak bukan adalah sang raja Cardwell.
Sayangnya, ia tidak begitu peduli dengan tata krama yang dibuat Cardwell
terhadap raja. Anaknya adalah anaknya, bukan orang asing yang harus bersikap
kaku.
Raja
Miguel melangkah menuju sebuah tempat berbentuk tabung dengan ukuran tinggi di
sebelah meja kayu. Saat itulah pangeran Miguel sadar bahwa ia sedang berada di
kantor Ayahnya, oh ia tidak percaya ini! Ayahnya mengambil sebuah pedang kayu
yang lebih besar dari miliknya di tempat itu kemudian melangkah pelan ke tempatnya
berhadapan dengan pangeran Miguel. Lalu ia mengambil kuda-kuda, tanda ia
bersiap melawan pangeran Miguel. Melihat tantangan dari Ayahnya, pangeran
Miguel mengeluarkan pedang kayunya yang berukuran lebih kecil dari milik
Ayahnya.
Valentine
melangkah mendekat ke rak buku besar itu. Ia menikmati pertarungan yang akan
berlangsung itu, alih-alih khawatir melihat keduanya tampak serius. Valentine
menutup mulutnya dengan tangan kecilnya agar tak tertawa sebab ia merasa
seperti putri yang akan diselamatkan oleh seorang pangeran dari seekor naga.
Oh, ya ampun, ini lebih menyenangkan dibanding kabur dari Pauline. Valentine
tahu Ayahnya tidak akan memukul bokongnya—karena Ibu sudah melarang Ayah—namun
memikirkan Ibu tak ada di sekitar, mungkin saja Ayahnya akan memukul bokongnya
karena sudah bersikap nakal.
“Mari
kita selesaikan secara jantan. Jika kau kalah, aku akan mengambil putri yang
cantik jelita itu bersama dengan seluruh hartamu. Tetapi jika kau berhasil
mengalahkanku, aku akan memberikan seluruh curianku padamu,” seru raja Miguel
seperti bajak laut.
“Cukup
adil,” balas pangeran Miguel ikut masuk ke dalam dongeng yang mereka mainkan.
Raja Miguel menyerang pangeran lebih dulu, namun dengan kecepatan yang lihai,
pangeran Miguel menangkis serang pedang itu. “Aku tidak melihat ancaman,”
“Oh,
kau akan kalah, pangeran Miguel! Dan putri Valentine akan menjadi milikku,”
kata raja Miguel melirik putrinya yang sekarang menutup mulutnya dengan kedua
tangan. Raja Miguel mengedipkan sebelah matanya hingga Valentine
menggoyang-goyangkan tubuhnya kegirangan. Dua orang itu sedang
memperebutkannya! Ibu pasti akan mendamprat keduanya karena telah bertarung di
depan Valentine.
Jantung
Valentine berdegup kencang saat ia melihat pangeran Miguel menyerang Ayahnya
dengan satu tusukan di bagian perut—untungnya tidak terasa begitu sakit bagi
sang raja. “Menyerahlah sebelum aku membunuhmu!”
“Tidak
akan!” Seru Ayahnya kemudian menyerang anaknya kembali, namun untuk yang kesekian
kalinya, pangeran Miguel berhasil menangkis serangan itu. Saat pangeran Miguel
melihat Ayahnya mengedipkan memberi kode, pangeran Miguel mengangguk mengerti.
“Kau
tidak akan mendapatkan putri Valentine dariku, pencuri jahat!” Seru pangeran
Miguel menusuk Ayahnya, pedang itu terselip di ketiak Ayahnya sehingga terlihat
dari sudut Valentine, Ayahnya benar-benar tertusuk. Nafas Valentine tertahan
saat ia melihat Ayahnya mulai ambruk berlutut di hadapan kakaknya. Pangeran
Miguel menarik pedang itu dari ketiak Ayahnya kemudian sang pencuri itu
akhirnya jatuh di atas karpet berwarna merah itu.
Pangeran
Miguel berbalik menghadap adiknya kemudian membungkuk memberi hormat, tanda
hiburan telah selesai. Valentine bertepuk tangan senang karena kehebatan sandiwara
yang terlihat sangat meyakinkan. Akhirnya, pangeran mendapatkan sang putri dan
pencuri jahat itu mati. Ayahnya bangkit dari karpet lalu membersihkan bagian
depan pakaiannya. Valentine berlari menuju Ayahnya mengharapkan gendongan.
Tangan besar raja menangkap tubuh Valentine lalu menggendongnya kemudian
mengecup pipi putihnya. Raja menunduk menatap anak pertamanya yang mendongak.
“Kelihaianmu
berpedang tampaknya akan menebas 10 kepala musuh dalam 1 detik, Miguel,” puji
sang raja. Anak pertama kebanggaannya yang akan menjadi raja Miguel II, ia
harus membuat anaknya jantan sepertinya. Karena perhatian Ayahnya teralih pada
sang kakak, Valentine menarik paksa kepala Ayahnya agar berbalik menghadapnya.
“Aku
bisa mengepang rambut Ibu,” ujarnya memberitahu kehebatannya. Sederetan gigi
raja Miguel tampak sehingga Valentine tahu, Ayahnya senang.
“Ayah
bangga kalian berdua, apa kalian mengerti?” Tanya raja menatap Valentine lalu
Miguel kemudian kembali lagi pada putrinya. Kedua mengangguk mengerti.
“Sekarang, ayo kita lihat keadaan Ibu.”
“Oh,
Mina bilang Ibu tidak boleh ditemui Ayah,” ucap pangeran Miguel memeringati.
“Katanya Ibu sedang mengalami pra-melahirkan, aku tidak mengerti mengapa, tapi
lebih baik Ayah menuruti Mina. Kudengar Ibu memaki-maki di dalam sana,
kedengarannya tidak bagus.”
“Ibu
akan kedengaran selalu bagus di telinga Ayah, bahkan saat ia memaki. Tapi bukan
berarti kalian harus mengikuti kata-kata kotor itu, mengerti?” Keduanya kembali
mengangguk. Mengabaikan peringatan anak pertamanya, raja Miguel menarik tangan
pangeran kecil itu agar keluar dari ruang kerjanya. Rasanya sulit mengabaikan
dua anaknya yang memesona—dan akan ditambah satu anak baginya sebentar lagi.
Apakah dunia bisa memberikan lebih indah dibanding ini?
Kehebatan
raja Miguel menjadi Ayah sangat memukau para pelayan. Selama 5 tahun terakhir
ini, sikap raja Miguel lebih hangat dan lembut namun tentu saja tegas. Tidak
ada pembunuhan atau hukuman kejam lagi sebab istrinya yang sepertinya telah
memberi raja Miguel ultimatum. Kedua anaknya kagum pada Ayahnya yang tak pernah
memukul Ibunya—bahkan membuat pangeran Miguel sedikit jengkel melihat kemesraan
keduanya—sehingga pangeran Miguel belajar agar ia tidak berlaku kasar pada
perempuan. Valentine, anak berumur 2 tahun itu melingkarkan tangannya di
sekitar leher Ayahnya lalu melihat apa pun yang ada di depannya.
Pangeran
Miguel berhenti melangkah saat ia melihat Pauline berdiri di depan kamar anak.
Karena tiba-tiba anaknya berhenti melangkah, raja Miguel ikut berhenti lalu
mengikuti tatapan anaknya. Pauline. Oh, pengasuh gemuk yang baik hati itu
tampaknya sudah kelelahan mengejar-ngejar kedua anaknya. Bibir raja Miguel
berkedut ingin tersenyum sebab kenakalan kedua anaknya memang kurang ajar dan
pantas diberi hukuman. Tapi waktunya bukan sekarang.
“Kau
tidak akan menghukum kita ‘kan Ayah?” Tanya Valentine dengan suara cemprengnya
tetapi pelan. Raja Miguel menoleh, memerhatikan anak keduanya yang gemuk begitu
dilahirkan namun tumbuh menjadi putri raja yang memesona. Rambut merah Ibunya
diturunkan pada putrinya sehingga sekarang, Valentine lebih terlihat seperti
Eleanor versi kecil.
“Oh,
Ayah akan menghukum kalian. Tapi bukan sekarang.” Raja Miguel merasakan pelukan
di lehernya mengencang. Wajah Valentine lesu tetapi ia tidak mengatakan
apa-apa. Pegangan tangan pangeran Miguel juga mengencang saat anak itu melihat
Pauline menoleh kepalanya seperti hantu yang memutar kepalanya melihat korban
selanjutnya. Pauline melangkah mendekat tetapi pangeran Miguel sama sekali
tidak berusaha berlari atau menyembunyikan tubuhnya di balik tubuh Ayahnya yang
tinggi dan ramping.
Pauline
membungkuk memberi hormat. “Maafkan aku, Yang Mulia. Tampaknya sore ini
pangeran Miguel dan putri Valentine bersenang-senang melampaui batas. Biarkan
aku membawa mereka kembali ke kamar anak.”
“Tidak
perlu, Pauline. Aku ingin membawa mereka pada istriku. Mungkin sedikit nasihat
dari Ibu mereka akan membuatmu tak kerepotan seperti ini lagi.” Raja Miguel
berucap tanpa tersenyum sama sekali. Untunglah Pauline tidak begitu tertarik
pada raja itu—ia sudah memiliki suami tetapi suaminya sudah meninggal dan
mereka tidak memiliki anak.
“Dengan
segala permohonan maaf, Yang Mulia, ratu Eleanor tampaknya akan segera
bersalin—“
“Tidak
akan ada yang melarangku—bahkan aku melihat proses kelahiran Miguel dan
Valentine. Bisakah kau membuka jalan bagi kami, Pauline?” Tanya raja Miguel
berhasil membuat mulut Pauline tertutup rapat. Pangeran Miguel tidak sama
sekali menatapnya saat ia berjalan melewati Pauline. Valentine justru memejamkan
mata agar tak bertatapan dengan pengasuhnya. Mereka berjalan lebih cepat saat
mendengar suara teriakan dari Ibunya, tubuh kedua anak itu menegang. Oh,
pangeran Miguel pernah melihat proses melahirkan saat Ibunya melahirkan
Valentine. Tapi pangeran Miguel tak ingin melihatnya lagi.
Mereka
berhenti di depan pintu kamar besar itu, lalu pangeran Miguel menarik diri dari
Ayahnya. “Aku tidak ingin melihat proses melahirkan lagi,” katanya menunduk.
“Memangnya
kenapa?” Tanya Valentine polos, menunduk melihat rambut kakaknya. “Aku mau
melihatnya. Apakah aku boleh melihatnya, Ayahnya?” Tanyanya beralih pada
Ayahnya. Melihat ketegangan anak pertamanya, sepertinya bukan langkah yang
bijak bila memperlihatkan proses melahirkan istrinya pada anak
perempuannya—terutama karena suatu saat Valentine akan mengalaminya.
“Ayah
rasa lebih baik kau menunggu bersama Miguel di sini sementara Ayah melihat
keadaan Ibu. Setelahnya, Ayah akan menemani kalian untuk makan malam. Bagaimana
dengan rencana itu?”
“Kita
makan malam tanpa Ibu?” Tanya Valentine tak percaya. Oh, sifat anak kecil.
Mungkin sudah dua minggu terakhir ini Eleanor tidak makan bersama anak-anaknya
karena lebih banyak menghabiskan waktu beristirahat di kamarnya untuk menunggu
kelahiran anak ketiganya. Raja Miguel mengangguk lalu ia menurunkan Valentine
dari gendongannya. “Tidak seru.”
“Oh,
Ayah tahu kalian harus melakukan apa,” ucap raja Miguel tiba-tiba mendapatkan
ide. “Bagaimana kalau kalian membuat makanan kesukaan Ibu? Oh, Ibu akan senang
bila tahu kalau kedua anaknya memasakan makanan kesukaannya. Pergilah pada
Jemima—“
“Tidak
seru, Ayah,” ucap pangeran Miguel melipat kedua tangannya di depan dadanya.
“Aku mungkin akan lebih memilih melihat Ibu melahirkan dibanding memasak.
Memasak hanyalah pekerjaan perempuan dan aku, dengan pedang di pinggangku,
adalah laki-laki.”
“Jika
kau berpikir begitu, kau akan melakukan apa?”
“Melihat
Valentine membantu Jemima memasak,” jawabnya sekenanya. Suara jeritan dari
dalam kamarnya membuat raja Miguel tersentak. Ia tidak bisa lebih lama
berbincang dengan kedua anaknya. Kemudian ia membungkuk memberi ciuman pada
Miguel dan Valentine.
“Pergilah
dan pastikan makanan itu enak.” Raja Miguel menepuk-nepuk bokong Valentine agar
anak perempuan itu bergegas. Pangeran Miguel menarik tangan Valentine agar
berjalan bersama-sama dengannya menuju dapur. Melihat kedua anaknya berjalan
dengan langkah kecil, raja Miguel memalingkan tubuhnya pada pintu kamarnya.
Didengarnya Mina dari dalam memberi saran pada Eleanor agar tak menjerit, namun
Eleanor justru membantah permintaan Mina. Ia menjerit lebih kencang,
memberitahu Mina secara tak langsung bahwa ia tidak akan menuruti aturan bodoh
melahirkan untuk ratu. Raja Miguel tersenyum kecil mendengar ucapan Eleanor
itu, kemudian ia membuka pintu kamarnya sendiri.
Aroma
proses melahirkan memenuhi ruangan. Ya, malam ini ia akan membawa Eleanor dan
bayinya ke kamar kosong di sebelah kamar mereka. Raja Miguel mengunci pintu
kamarnya lalu memusatkan perhatiannya pada istri tercintanya. Tubuh wanita itu
semerah rambutnya, ia sedang berusaha memaksa agar anak bayinya keluar dari
perutnya sementara Mina berada di antara kedua kakinya. Eleanor melihat
suaminya kemudian hanya dengan tatapan, raja Miguel berjalan mendekat. Seperti
sudah menjadi kebiasaan raja Miguel, pria itu mengeluarkan saputangan putih
dari saku celana hitamnya lalu mengelap keringat di sekitar kening Eleanor.
Mina
yang melihat kedatangan raja Miguel merasa jengkel. Sudah berkali-kali ia
memperingati raja itu agar tak datang saat proses melahirkan, tetapi pria itu
keras kepala. Dan perintah Eleanor pun tidak berhasil membuat pria itu
menyingkir. Melahirkan merupakan batasan wanita untuk pria ketahui, hanya saja,
sepertinya batasan itu tidak berlaku bagi raja Cardwell. Eleanor mengangguk bersiap
untuk mendorong bayinya kembali. Bunyi gigi bergemeletuk terdengar saat Eleanor
mengangkat kepalanya. Waktu terasa begitu lama saat Eleanor menyembunyikan
kepalanya di antara leher suaminya.
Begitu
dorong terakhir Eleanor kerahkan, malam itu, lahirlah Isaac Salvino Thaddeus.
“Kau
melakukannya dengan baik,” puji raja Miguel mengecup kening istrinya.
***
Dengan
beralaskan tikar di atas rerumputan, raja dan ratu Cardwell duduk di sana
sambil menikmati angin sepoi-sepoi bukit. Setelah seminggu sejak kelahiran
Isaac, ratu memutuskan untuk mengadakan piknik keluar di bukit kesukaannya
bersama suami dan tiga anaknya. Isaac kecil berada dalam buaiannya sedang
tertidur. Sementara Miguel dan Valentine berlari-lari senang bersama kuda poni
mereka di bukit sebelum menikmati makanan yang pelayan bawa. Valentine
tampaknya kelelahan karena kudanya tak berhenti mengejarnya, akhirnya kuda
poninya ikut berhenti berlari. Hidungnya mendorong-dorong punggung Valentine,
mencari perhatian. Si kecil berambut merah itu berbalik lalu ia mengelus hidung
kudanya. Kuda putih pertamanya.
“Aku
akan menyisakan apel untukmu. Tapi aku harus makan dulu. Ibu sudah menungguku,”
ucap Valentine lembut. Kemudian Valentine berlari sambil berteriak memanggil
Miguel yang sedang menggoda kudanya dengan buah apel. “Miguel! Temani aku
makan,” teriaknya tidak sama sekali mencerminkan seorang putri. Miguel segera
berhenti, namun sebelum ia pergi dari kudanya, ia memberikan kuda itu apel
merahnya.
“Aku
datang,” serunya berlari cepat ke arah Valentine. Mata Eleanor menyipit
memerhatikan kedua anaknya datang. Anak perempuannya mengenakan gaun kuning
yang membuat rambut merahnya mencolok tetapi seperti kebiasaan anak
perempuannya, rambut merahnya sudah kusut akibat bermain, alih-alih cantik dengan
kepangan rumit.
“Apa
kalian lapar?” Tanya Eleanor itu pada kedua anaknya.
“Ya,”
seru dua anak bersamaan. Raja Miguel yang sedang bersandar dengan kedua sikunya
tiba-tiba duduk tegak begitu Eleanor memberikan Isaac padanya. Gerakannya
begitu canggung begitu ia menerima Isaac, tetapi setidaknya ia tidak menyakiti
Isaac. Eleanor menyiapkan makanan bagi kedua anaknya sambil raja Miguel
menimang-nimang bayinya.
“Mengapa
Isaac tidak ikut makan, Ibu?” Tanya Valentine polos. Ia duduk bersimpuh di
sebelah Ibunya, memerhatikan Isaac yang terlelap dalam gendongan Ayahnya.
Pangeran Miguel tertawa akan pertanyaan adiknya, tahu bahwa pertanyaan itu
sangat bodoh. Tetapi ia tidak ingin menyakiti perasaan Valentine dengan
mengatakan hal itu bodoh.
“Karena
Isaac belum mempunyai gigi,” jawab pangeran Miguel duduk bersilang di
sebelahnya. “Apakah Isaac sering mengompol seperti Valentine dulu?”
“Aku
tidak mengompol!” Seru Valentine memberi wajah tak suka. Pangeran Miguel hanya
tertawa mendengar omong kosong adiknya lalu mengambil makanan yang disodorkan
Ibunya. Valentine merengut, ia sudah tidak mengompol lagi karena ia sering
bangun tengah malam untuk memberitahu Pauline kalau ia ingin buang air kecil.
“Oh,
memang wajar Isaac mengompol sebab ia belum bisa berbicara,” ucap Eleanor
lembut pada anak perempuannya. “Dan sudah sewajarnya Valentine pernah mengompol
sewaktu ia masih bayi, bukan hal yang memalukan.” Eleanor berkata pada
keduanya. Perasaan Valentine membaik begitu mendengar bahwa mengompol bukan hal
yang memalukan bagi anak bayi.
“Bisakah
kita tidak membicarakan buang-air-kecil-di-tempat-tidur? Kurasa masih ada topik
yang lebih baik dibanding topik yang satu ini. Bagaimana kalau kita
membicarakan apa yang kalian lakukan pada Pauline kemarin? Kulihat kemarin Pauline
sangat berantakan,” ucap raja Miguel akhirnya membuka suara setelah sekian lama
membungkam. Kemudian ia berbicara pada Eleanor. “Aku kelaparan di sini juga,
Sayang.”
Sadar,
pipi Eleanor memerah. “Oh, ya. Benar.” Ia menyiapkan makanan untuk suaminya sementara
mendengarkan percakapan anak-anaknya yang melaporkan tindak kejahatan mereka
pada pengasuh mereka. Ternyata kemarin Pauline jatuh di tumpukan daun-daun yang
sudah disapu oleh tukang kebun karena mengejar dua iblis itu. Pangeran Miguel
mengambil jepit rambut kesayangan Pauline, itu sebabnya Pauline mengejar
mereka. Dan Valentine dengan kenakalannya secara sengaja melempar lumpur pada
Pauline tepat di dada saat pengasuh itu mengejar mereka. Oh, iblis istana yang
benar-benar nakal!
“Baiklah,
kabar baiknya, berat badan Pauline akan menurun karena mengejar kalian hampir
setiap hari. Kabar buruknya, kalian akan mendapat hukuman,” ucap Eleanor
tenang. “Miguel, kau tidak akan mendapat pedangmu selama tiga hari. Sementara
Valentine tidak akan bermain dengan mainannya selama tiga hari. Juga kalian
tidak boleh berkuda selama satu minggu. Bagaimana dengan itu?”
“Tidak
adil, Ibu! Kita hanya ingin bermain dengan Pauline,” tukas pangeran Miguel,
kedua alisnya hampir menyatu. Melihat tatapan peringatan dari Ibunya, pangeran
Miguel mendesah menyerah. “Baiklah, tidak ada pedang dan berkuda.”
“Oh,
Ayah pernah dihukum lebih kejam daripada itu. Selama 7 bulan hampir dua tahun
sekali, Ayah akan mendapat hukuman itu.” ujar raja Miguel menatap Eleanor
dengan tatapan nakal. Bibir Eleanor berkedut menahan senyum atau tertawa. Ia
mengerti apa yang dimaksud Justin dengan hukuman dua tahun sekali selama 7
bulan.
“Hukuman
apa itu, Ayah?” Valentine bertanya, memasukkan makanan ke dalam mulut.
“Oh,
kau tidak akan mengerti. Tapi kakakmu akan mengerti begitu ia sudah mempunyai
istri.” Pangeran Miguel sepertinya baru masuk ke dalam percakapan hukuman
Ayahnya sehingga ia terkejut, tetapi ia tidak mengatakan apa pun. Cepat-cepat
Eleanor menengahi. Pipinya sudah memerah akibat godaan suaminya.
“Makananmu,
Yang Mulia,” ucap Eleanor menyodorkan makanan itu di depan suaminya. Setelah
itu Eleanor mengambil Isaac dari gendongan suaminya. “Sepertinya Ibu akan lebih
memilih topik pembicaraan pertama dibanding yang kedua,”
“Apa
Ayah sedang menjalani hukumannya, Ibu?” Tanya Valentine malah mengabaikan saran
Ibunya. Raja Miguel ingin tertawa terbahak-bahak melihat reaksi Eleanor yang
mematung dengan wajah semakin memerah. Eleanor melirik raja Miguel sejenak lalu
ia mengangguk.
“Oh,
ya, ya. Tentu saja. Ayahmu sedang Ibu hukum sampai akhir bulan ini,” kata
Ibunya memberi senyum kemenangan pada raja Miguel. “Nah, apa kalian menikmati
hari ini?”
“Aku
sangat menikmatinya,” balas pangeran Miguel tetap fokus pada makanannya.
“Setidaknya hukumanku tak lama seperti yang Ayah dapatkan,” komentarnya
mengakhiri ucapannya.
“Ayah
pastikan setelah Ayah selesai dengan hukuman Ibumu, Ibumu yang akan mendapatkan
hukuman yang lebih kejam dari Ayah.”
“Hukuman
apa itu, Ayah?” Pertanyaan polos itu keluar dari mulut Valentine lagi.
“Hukuman
yang akan membuat Ibumu tak beranjak dari tempat tidur selama berhari-hari.”
seru akhirnya ada epilog dan akhir yang bahagia untuk semuanya
BalasHapusSeru.. suka banget sama cerita cerita tentang kerajaan gini..
BalasHapusLebih berwarna menurut aku.. hehej