Senin, 05 Januari 2015

Beautiful Slave Epilog



EPILOG


AUTHOR

5 tahun kemudian…

            Terdengar suara tawa nyaring yang seru di sepanjang lorong istana diiringi dengan suara larian kaki menegangkan. Dua bocah kecil itu berlari sambil mendorong tembok agar ia dapat berbelok ke lorong selanjutnya tanpa kehilangan keseimbangan. Yang laki-laki lebih tinggi dibanding si perempuan berambut merah. Mereka tertawa gemas saat sesekali kepala mereka menoleh ke belakang, melihat wanita bertubuh gemuk mengejar mereka. Rambut anak laki-laki itu berterbangan saat ia berlari namun tidak menghancurkan ketampanannya. Ia memakai pakaian hitam dengan pedang kayu di sebelah pinggangnya sementara si perempuan mengenakan gaun berwarna putih kusut dan kotor. Rambut merahnya yang diikat kepang sudah hancur sehingga rambut-rambut nakalnya mencuat keluar. Dua iblis kecil kesayangan istana!
            Sudah jelas, anak laki-laki yang tinggi itu adalah kakak si perempuan kecil. Si kakak kembali berbelok ke lorong yang lain, tanpa tujuan yang pasti, namun ia tahu mereka harus kabur dari genggaman pengasuhnya yang gemuk itu. Mereka tidak bermaksud nakal, tapi mereka menyukai kesenangan bermain di sungai sambil menikmati kue manis buatan Jemima.
            “Tunggu aku, Miguel!” Teriak si perempuan dengan suaranya yang cempreng, khas anak perempuan. Anak kecil yang bernama Miguel itu berhenti sejenak, melihat beberapa pintu namun ia tak yakin harus membuka pintu yang lama. Keputusannya membulat saat ia mendengar suara kesal dari pengasuhnya yang semakin mendekat. Satu-satunya pintu terdekatnya adalah pintu besar yang berukiran rumit itu. Melihat adiknya masih berlari, Miguel mendukung adiknya agar lari lebih cepat.
            “Cepat Valentine!” Seru si kakak membuka pintu besar yang tak terkunci. Valentine, begitu dipanggil kakaknya, berlari masuk ke dalam ruangan yang pintunya dibuka oleh kakaknya kemudian Miguel menyusul masuk dan menutup pintu itu dengan satu bantingan kuat. Keduanya mendesah lega lalu mengambil nafas mereka yang tinggal satu-satu. Miguel membungkuk, menumpu kedua tangannya di atas lutut kemudian melirik adiknya yang cantik mengikutinya.
            “Kurasa... kurasa kita berhasil mengecohkan Pauline,” ucap Valentine dengan senyum kemenangan. Miguel menggeleng kepala, ia tidak setuju.
            “Kita tidak mengecohkan Pauline, kita hanya berhasil bersembunyi darinya. Untunglah kau berlari cukup cepat sebelum Pauline melihat kita,” ujar Miguel. Anak laki-laki itu sudah berumur 4 tahun, bertubuh cukup tinggi untuk anak seumurannya dan memiliki ketampanan memikat meski ia masih bocah. Valentine terdiam sejenak lalu ia menggaruk-garuk kepalanya sehingga kepangannya yang memang sudah rusak semakin berantakan. Ia memerhatikan kakaknya yang menegakkan tubuh sehingga ia mengikutinya.
            “Lalu, apa yang akan kita lakukan sekarang?” Tanya Valentine melihat ke sebelah kirinya, ia menemukan sebuah rak buku tinggi yang berisi dengan buku-buku tebal. Ia bergidik membayangkan jika seluruh buku itu jatuh padanya. Karena tidak ada jawaban dari kakanya, Valentine kembali bertanya. “Miguel, apa yang akan kita lakukan?” Ia menoleh ke arah kakaknya lalu tersentak saat ia melihat Ayahnya berdiri di berhadapan dengan kakaknya. Pantas saja kakaknya dari tadi kakaknya tak mengatakan apa-apa. Ayahnya yang memerhatikan kakaknya beralih menatapnya.
            “Bagaimana kalau Ayah berikan pukulan di bokong?” Tanya Ayahnya, sang raja Cardwell. Valentine cepat-cepat menggeleng kepala.
            “Tidak, jangan pukulan di bokong!” Serunya tidak seperti tuan puteri harapan seluruh Cardwell dan tampaknya sang raja tak keberatan akan sifat anaknya yang blakblakan ini. Anak raja Cardwell yang disapa pangeran Miguel itu sudah berada di depan tubuh adiknya, bersiap melindungi. Tangannya bahkan sudah menyentuh pegangan pedang kayunya, bersiap menyerang. Oh, raja Cardwell teringat bagaimana dulu ia melindungi adik perempuannya, sama persis seperti ini.
            “Bukan sebuah tindakan yang bagus, Ayah, untuk seorang raja sepertimu.” Pangeran Miguel berucap seperti seorang pemuda yang mengkritik sikap Ayahnya padahal umurnya bahkan belum mendekati umur 5 tahun. Pangeran Miguel memang anak kecil yang cerdas, ia juga terlalu menyayangi adik perempuannya. Raja Miguel tersenyum licik melihat anak pertamanya yang berani-beraninya mengomentari tindakannya, yang tidak lain dan tidak bukan adalah sang raja Cardwell. Sayangnya, ia tidak begitu peduli dengan tata krama yang dibuat Cardwell terhadap raja. Anaknya adalah anaknya, bukan orang asing yang harus bersikap kaku.
            Raja Miguel melangkah menuju sebuah tempat berbentuk tabung dengan ukuran tinggi di sebelah meja kayu. Saat itulah pangeran Miguel sadar bahwa ia sedang berada di kantor Ayahnya, oh ia tidak percaya ini! Ayahnya mengambil sebuah pedang kayu yang lebih besar dari miliknya di tempat itu kemudian melangkah pelan ke tempatnya berhadapan dengan pangeran Miguel. Lalu ia mengambil kuda-kuda, tanda ia bersiap melawan pangeran Miguel. Melihat tantangan dari Ayahnya, pangeran Miguel mengeluarkan pedang kayunya yang berukuran lebih kecil dari milik Ayahnya.
            Valentine melangkah mendekat ke rak buku besar itu. Ia menikmati pertarungan yang akan berlangsung itu, alih-alih khawatir melihat keduanya tampak serius. Valentine menutup mulutnya dengan tangan kecilnya agar tak tertawa sebab ia merasa seperti putri yang akan diselamatkan oleh seorang pangeran dari seekor naga. Oh, ya ampun, ini lebih menyenangkan dibanding kabur dari Pauline. Valentine tahu Ayahnya tidak akan memukul bokongnya—karena Ibu sudah melarang Ayah—namun memikirkan Ibu tak ada di sekitar, mungkin saja Ayahnya akan memukul bokongnya karena sudah bersikap nakal.
            “Mari kita selesaikan secara jantan. Jika kau kalah, aku akan mengambil putri yang cantik jelita itu bersama dengan seluruh hartamu. Tetapi jika kau berhasil mengalahkanku, aku akan memberikan seluruh curianku padamu,” seru raja Miguel seperti bajak laut.
            “Cukup adil,” balas pangeran Miguel ikut masuk ke dalam dongeng yang mereka mainkan. Raja Miguel menyerang pangeran lebih dulu, namun dengan kecepatan yang lihai, pangeran Miguel menangkis serang pedang itu. “Aku tidak melihat ancaman,”
            “Oh, kau akan kalah, pangeran Miguel! Dan putri Valentine akan menjadi milikku,” kata raja Miguel melirik putrinya yang sekarang menutup mulutnya dengan kedua tangan. Raja Miguel mengedipkan sebelah matanya hingga Valentine menggoyang-goyangkan tubuhnya kegirangan. Dua orang itu sedang memperebutkannya! Ibu pasti akan mendamprat keduanya karena telah bertarung di depan Valentine.
            Jantung Valentine berdegup kencang saat ia melihat pangeran Miguel menyerang Ayahnya dengan satu tusukan di bagian perut—untungnya tidak terasa begitu sakit bagi sang raja. “Menyerahlah sebelum aku membunuhmu!”
            “Tidak akan!” Seru Ayahnya kemudian menyerang anaknya kembali, namun untuk yang kesekian kalinya, pangeran Miguel berhasil menangkis serangan itu. Saat pangeran Miguel melihat Ayahnya mengedipkan memberi kode, pangeran Miguel mengangguk mengerti.
            “Kau tidak akan mendapatkan putri Valentine dariku, pencuri jahat!” Seru pangeran Miguel menusuk Ayahnya, pedang itu terselip di ketiak Ayahnya sehingga terlihat dari sudut Valentine, Ayahnya benar-benar tertusuk. Nafas Valentine tertahan saat ia melihat Ayahnya mulai ambruk berlutut di hadapan kakaknya. Pangeran Miguel menarik pedang itu dari ketiak Ayahnya kemudian sang pencuri itu akhirnya jatuh di atas karpet berwarna merah itu.
            Pangeran Miguel berbalik menghadap adiknya kemudian membungkuk memberi hormat, tanda hiburan telah selesai. Valentine bertepuk tangan senang karena kehebatan sandiwara yang terlihat sangat meyakinkan. Akhirnya, pangeran mendapatkan sang putri dan pencuri jahat itu mati. Ayahnya bangkit dari karpet lalu membersihkan bagian depan pakaiannya. Valentine berlari menuju Ayahnya mengharapkan gendongan. Tangan besar raja menangkap tubuh Valentine lalu menggendongnya kemudian mengecup pipi putihnya. Raja menunduk menatap anak pertamanya yang mendongak.
            “Kelihaianmu berpedang tampaknya akan menebas 10 kepala musuh dalam 1 detik, Miguel,” puji sang raja. Anak pertama kebanggaannya yang akan menjadi raja Miguel II, ia harus membuat anaknya jantan sepertinya. Karena perhatian Ayahnya teralih pada sang kakak, Valentine menarik paksa kepala Ayahnya agar berbalik menghadapnya.
            “Aku bisa mengepang rambut Ibu,” ujarnya memberitahu kehebatannya. Sederetan gigi raja Miguel tampak sehingga Valentine tahu, Ayahnya senang.
            “Ayah bangga kalian berdua, apa kalian mengerti?” Tanya raja menatap Valentine lalu Miguel kemudian kembali lagi pada putrinya. Kedua mengangguk mengerti. “Sekarang, ayo kita lihat keadaan Ibu.”
            “Oh, Mina bilang Ibu tidak boleh ditemui Ayah,” ucap pangeran Miguel memeringati. “Katanya Ibu sedang mengalami pra-melahirkan, aku tidak mengerti mengapa, tapi lebih baik Ayah menuruti Mina. Kudengar Ibu memaki-maki di dalam sana, kedengarannya tidak bagus.”
            “Ibu akan kedengaran selalu bagus di telinga Ayah, bahkan saat ia memaki. Tapi bukan berarti kalian harus mengikuti kata-kata kotor itu, mengerti?” Keduanya kembali mengangguk. Mengabaikan peringatan anak pertamanya, raja Miguel menarik tangan pangeran kecil itu agar keluar dari ruang kerjanya. Rasanya sulit mengabaikan dua anaknya yang memesona—dan akan ditambah satu anak baginya sebentar lagi. Apakah dunia bisa memberikan lebih indah dibanding  ini?
            Kehebatan raja Miguel menjadi Ayah sangat memukau para pelayan. Selama 5 tahun terakhir ini, sikap raja Miguel lebih hangat dan lembut namun tentu saja tegas. Tidak ada pembunuhan atau hukuman kejam lagi sebab istrinya yang sepertinya telah memberi raja Miguel ultimatum. Kedua anaknya kagum pada Ayahnya yang tak pernah memukul Ibunya—bahkan membuat pangeran Miguel sedikit jengkel melihat kemesraan keduanya—sehingga pangeran Miguel belajar agar ia tidak berlaku kasar pada perempuan. Valentine, anak berumur 2 tahun itu melingkarkan tangannya di sekitar leher Ayahnya lalu melihat apa pun yang ada di depannya.
            Pangeran Miguel berhenti melangkah saat ia melihat Pauline berdiri di depan kamar anak. Karena tiba-tiba anaknya berhenti melangkah, raja Miguel ikut berhenti lalu mengikuti tatapan anaknya. Pauline. Oh, pengasuh gemuk yang baik hati itu tampaknya sudah kelelahan mengejar-ngejar kedua anaknya. Bibir raja Miguel berkedut ingin tersenyum sebab kenakalan kedua anaknya memang kurang ajar dan pantas diberi hukuman. Tapi waktunya bukan sekarang.
            “Kau tidak akan menghukum kita ‘kan Ayah?” Tanya Valentine dengan suara cemprengnya tetapi pelan. Raja Miguel menoleh, memerhatikan anak keduanya yang gemuk begitu dilahirkan namun tumbuh menjadi putri raja yang memesona. Rambut merah Ibunya diturunkan pada putrinya sehingga sekarang, Valentine lebih terlihat seperti Eleanor versi kecil.
            “Oh, Ayah akan menghukum kalian. Tapi bukan sekarang.” Raja Miguel merasakan pelukan di lehernya mengencang. Wajah Valentine lesu tetapi ia tidak mengatakan apa-apa. Pegangan tangan pangeran Miguel juga mengencang saat anak itu melihat Pauline menoleh kepalanya seperti hantu yang memutar kepalanya melihat korban selanjutnya. Pauline melangkah mendekat tetapi pangeran Miguel sama sekali tidak berusaha berlari atau menyembunyikan tubuhnya di balik tubuh Ayahnya yang tinggi dan ramping.
            Pauline membungkuk memberi hormat. “Maafkan aku, Yang Mulia. Tampaknya sore ini pangeran Miguel dan putri Valentine bersenang-senang melampaui batas. Biarkan aku membawa mereka kembali ke kamar anak.”
            “Tidak perlu, Pauline. Aku ingin membawa mereka pada istriku. Mungkin sedikit nasihat dari Ibu mereka akan membuatmu tak kerepotan seperti ini lagi.” Raja Miguel berucap tanpa tersenyum sama sekali. Untunglah Pauline tidak begitu tertarik pada raja itu—ia sudah memiliki suami tetapi suaminya sudah meninggal dan mereka tidak memiliki anak.
            “Dengan segala permohonan maaf, Yang Mulia, ratu Eleanor tampaknya akan segera bersalin—“
            “Tidak akan ada yang melarangku—bahkan aku melihat proses kelahiran Miguel dan Valentine. Bisakah kau membuka jalan bagi kami, Pauline?” Tanya raja Miguel berhasil membuat mulut Pauline tertutup rapat. Pangeran Miguel tidak sama sekali menatapnya saat ia berjalan melewati Pauline. Valentine justru memejamkan mata agar tak bertatapan dengan pengasuhnya. Mereka berjalan lebih cepat saat mendengar suara teriakan dari Ibunya, tubuh kedua anak itu menegang. Oh, pangeran Miguel pernah melihat proses melahirkan saat Ibunya melahirkan Valentine. Tapi pangeran Miguel tak ingin melihatnya lagi.
            Mereka berhenti di depan pintu kamar besar itu, lalu pangeran Miguel menarik diri dari Ayahnya. “Aku tidak ingin melihat proses melahirkan lagi,” katanya menunduk.
            “Memangnya kenapa?” Tanya Valentine polos, menunduk melihat rambut kakaknya. “Aku mau melihatnya. Apakah aku boleh melihatnya, Ayahnya?” Tanyanya beralih pada Ayahnya. Melihat ketegangan anak pertamanya, sepertinya bukan langkah yang bijak bila memperlihatkan proses melahirkan istrinya pada anak perempuannya—terutama karena suatu saat Valentine akan mengalaminya.
            “Ayah rasa lebih baik kau menunggu bersama Miguel di sini sementara Ayah melihat keadaan Ibu. Setelahnya, Ayah akan menemani kalian untuk makan malam. Bagaimana dengan rencana itu?”
            “Kita makan malam tanpa Ibu?” Tanya Valentine tak percaya. Oh, sifat anak kecil. Mungkin sudah dua minggu terakhir ini Eleanor tidak makan bersama anak-anaknya karena lebih banyak menghabiskan waktu beristirahat di kamarnya untuk menunggu kelahiran anak ketiganya. Raja Miguel mengangguk lalu ia menurunkan Valentine dari gendongannya. “Tidak seru.”
            “Oh, Ayah tahu kalian harus melakukan apa,” ucap raja Miguel tiba-tiba mendapatkan ide. “Bagaimana kalau kalian membuat makanan kesukaan Ibu? Oh, Ibu akan senang bila tahu kalau kedua anaknya memasakan makanan kesukaannya. Pergilah pada Jemima—“
            “Tidak seru, Ayah,” ucap pangeran Miguel melipat kedua tangannya di depan dadanya. “Aku mungkin akan lebih memilih melihat Ibu melahirkan dibanding memasak. Memasak hanyalah pekerjaan perempuan dan aku, dengan pedang di pinggangku, adalah laki-laki.”
            “Jika kau berpikir begitu, kau akan melakukan apa?”
            “Melihat Valentine membantu Jemima memasak,” jawabnya sekenanya. Suara jeritan dari dalam kamarnya membuat raja Miguel tersentak. Ia tidak bisa lebih lama berbincang dengan kedua anaknya. Kemudian ia membungkuk memberi ciuman pada Miguel dan Valentine.
            “Pergilah dan pastikan makanan itu enak.” Raja Miguel menepuk-nepuk bokong Valentine agar anak perempuan itu bergegas. Pangeran Miguel menarik tangan Valentine agar berjalan bersama-sama dengannya menuju dapur. Melihat kedua anaknya berjalan dengan langkah kecil, raja Miguel memalingkan tubuhnya pada pintu kamarnya. Didengarnya Mina dari dalam memberi saran pada Eleanor agar tak menjerit, namun Eleanor justru membantah permintaan Mina. Ia menjerit lebih kencang, memberitahu Mina secara tak langsung bahwa ia tidak akan menuruti aturan bodoh melahirkan untuk ratu. Raja Miguel tersenyum kecil mendengar ucapan Eleanor itu, kemudian ia membuka pintu kamarnya sendiri.
            Aroma proses melahirkan memenuhi ruangan. Ya, malam ini ia akan membawa Eleanor dan bayinya ke kamar kosong di sebelah kamar mereka. Raja Miguel mengunci pintu kamarnya lalu memusatkan perhatiannya pada istri tercintanya. Tubuh wanita itu semerah rambutnya, ia sedang berusaha memaksa agar anak bayinya keluar dari perutnya sementara Mina berada di antara kedua kakinya. Eleanor melihat suaminya kemudian hanya dengan tatapan, raja Miguel berjalan mendekat. Seperti sudah menjadi kebiasaan raja Miguel, pria itu mengeluarkan saputangan putih dari saku celana hitamnya lalu mengelap keringat di sekitar kening Eleanor.
            Mina yang melihat kedatangan raja Miguel merasa jengkel. Sudah berkali-kali ia memperingati raja itu agar tak datang saat proses melahirkan, tetapi pria itu keras kepala. Dan perintah Eleanor pun tidak berhasil membuat pria itu menyingkir. Melahirkan merupakan batasan wanita untuk pria ketahui, hanya saja, sepertinya batasan itu tidak berlaku bagi raja Cardwell. Eleanor mengangguk bersiap untuk mendorong bayinya kembali. Bunyi gigi bergemeletuk terdengar saat Eleanor mengangkat kepalanya. Waktu terasa begitu lama saat Eleanor menyembunyikan kepalanya di antara leher suaminya.
            Begitu dorong terakhir Eleanor kerahkan, malam itu, lahirlah Isaac Salvino Thaddeus.
            “Kau melakukannya dengan baik,” puji raja Miguel mengecup kening istrinya.

***

            Dengan beralaskan tikar di atas rerumputan, raja dan ratu Cardwell duduk di sana sambil menikmati angin sepoi-sepoi bukit. Setelah seminggu sejak kelahiran Isaac, ratu memutuskan untuk mengadakan piknik keluar di bukit kesukaannya bersama suami dan tiga anaknya. Isaac kecil berada dalam buaiannya sedang tertidur. Sementara Miguel dan Valentine berlari-lari senang bersama kuda poni mereka di bukit sebelum menikmati makanan yang pelayan bawa. Valentine tampaknya kelelahan karena kudanya tak berhenti mengejarnya, akhirnya kuda poninya ikut berhenti berlari. Hidungnya mendorong-dorong punggung Valentine, mencari perhatian. Si kecil berambut merah itu berbalik lalu ia mengelus hidung kudanya. Kuda putih pertamanya.
            “Aku akan menyisakan apel untukmu. Tapi aku harus makan dulu. Ibu sudah menungguku,” ucap Valentine lembut. Kemudian Valentine berlari sambil berteriak memanggil Miguel yang sedang menggoda kudanya dengan buah apel. “Miguel! Temani aku makan,” teriaknya tidak sama sekali mencerminkan seorang putri. Miguel segera berhenti, namun sebelum ia pergi dari kudanya, ia memberikan kuda itu apel merahnya.
            “Aku datang,” serunya berlari cepat ke arah Valentine. Mata Eleanor menyipit memerhatikan kedua anaknya datang. Anak perempuannya mengenakan gaun kuning yang membuat rambut merahnya mencolok tetapi seperti kebiasaan anak perempuannya, rambut merahnya sudah kusut akibat bermain, alih-alih cantik dengan kepangan rumit.
            “Apa kalian lapar?” Tanya Eleanor itu pada kedua anaknya.
            “Ya,” seru dua anak bersamaan. Raja Miguel yang sedang bersandar dengan kedua sikunya tiba-tiba duduk tegak begitu Eleanor memberikan Isaac padanya. Gerakannya begitu canggung begitu ia menerima Isaac, tetapi setidaknya ia tidak menyakiti Isaac. Eleanor menyiapkan makanan bagi kedua anaknya sambil raja Miguel menimang-nimang bayinya.
            “Mengapa Isaac tidak ikut makan, Ibu?” Tanya Valentine polos. Ia duduk bersimpuh di sebelah Ibunya, memerhatikan Isaac yang terlelap dalam gendongan Ayahnya. Pangeran Miguel tertawa akan pertanyaan adiknya, tahu bahwa pertanyaan itu sangat bodoh. Tetapi ia tidak ingin menyakiti perasaan Valentine dengan mengatakan hal itu bodoh.
            “Karena Isaac belum mempunyai gigi,” jawab pangeran Miguel duduk bersilang di sebelahnya. “Apakah Isaac sering mengompol seperti Valentine dulu?”
            “Aku tidak mengompol!” Seru Valentine memberi wajah tak suka. Pangeran Miguel hanya tertawa mendengar omong kosong adiknya lalu mengambil makanan yang disodorkan Ibunya. Valentine merengut, ia sudah tidak mengompol lagi karena ia sering bangun tengah malam untuk memberitahu Pauline kalau ia ingin buang air kecil.
            “Oh, memang wajar Isaac mengompol sebab ia belum bisa berbicara,” ucap Eleanor lembut pada anak perempuannya. “Dan sudah sewajarnya Valentine pernah mengompol sewaktu ia masih bayi, bukan hal yang memalukan.” Eleanor berkata pada keduanya. Perasaan Valentine membaik begitu mendengar bahwa mengompol bukan hal yang memalukan bagi anak bayi.
            “Bisakah kita tidak membicarakan buang-air-kecil-di-tempat-tidur? Kurasa masih ada topik yang lebih baik dibanding topik yang satu ini. Bagaimana kalau kita membicarakan apa yang kalian lakukan pada Pauline kemarin? Kulihat kemarin Pauline sangat berantakan,” ucap raja Miguel akhirnya membuka suara setelah sekian lama membungkam. Kemudian ia berbicara pada Eleanor. “Aku kelaparan di sini juga, Sayang.”
            Sadar, pipi Eleanor memerah. “Oh, ya. Benar.” Ia menyiapkan makanan untuk suaminya sementara mendengarkan percakapan anak-anaknya yang melaporkan tindak kejahatan mereka pada pengasuh mereka. Ternyata kemarin Pauline jatuh di tumpukan daun-daun yang sudah disapu oleh tukang kebun karena mengejar dua iblis itu. Pangeran Miguel mengambil jepit rambut kesayangan Pauline, itu sebabnya Pauline mengejar mereka. Dan Valentine dengan kenakalannya secara sengaja melempar lumpur pada Pauline tepat di dada saat pengasuh itu mengejar mereka. Oh, iblis istana yang benar-benar nakal!
            “Baiklah, kabar baiknya, berat badan Pauline akan menurun karena mengejar kalian hampir setiap hari. Kabar buruknya, kalian akan mendapat hukuman,” ucap Eleanor tenang. “Miguel, kau tidak akan mendapat pedangmu selama tiga hari. Sementara Valentine tidak akan bermain dengan mainannya selama tiga hari. Juga kalian tidak boleh berkuda selama satu minggu. Bagaimana dengan itu?”
            “Tidak adil, Ibu! Kita hanya ingin bermain dengan Pauline,” tukas pangeran Miguel, kedua alisnya hampir menyatu. Melihat tatapan peringatan dari Ibunya, pangeran Miguel mendesah menyerah. “Baiklah, tidak ada pedang dan berkuda.”
            “Oh, Ayah pernah dihukum lebih kejam daripada itu. Selama 7 bulan hampir dua tahun sekali, Ayah akan mendapat hukuman itu.” ujar raja Miguel menatap Eleanor dengan tatapan nakal. Bibir Eleanor berkedut menahan senyum atau tertawa. Ia mengerti apa yang dimaksud Justin dengan hukuman dua tahun sekali selama 7 bulan.
            “Hukuman apa itu, Ayah?” Valentine bertanya, memasukkan makanan ke dalam mulut.
            “Oh, kau tidak akan mengerti. Tapi kakakmu akan mengerti begitu ia sudah mempunyai istri.” Pangeran Miguel sepertinya baru masuk ke dalam percakapan hukuman Ayahnya sehingga ia terkejut, tetapi ia tidak mengatakan apa pun. Cepat-cepat Eleanor menengahi. Pipinya sudah memerah akibat godaan suaminya.
            “Makananmu, Yang Mulia,” ucap Eleanor menyodorkan makanan itu di depan suaminya. Setelah itu Eleanor mengambil Isaac dari gendongan suaminya. “Sepertinya Ibu akan lebih memilih topik pembicaraan pertama dibanding yang kedua,”
            “Apa Ayah sedang menjalani hukumannya, Ibu?” Tanya Valentine malah mengabaikan saran Ibunya. Raja Miguel ingin tertawa terbahak-bahak melihat reaksi Eleanor yang mematung dengan wajah semakin memerah. Eleanor melirik raja Miguel sejenak lalu ia mengangguk.
            “Oh, ya, ya. Tentu saja. Ayahmu sedang Ibu hukum sampai akhir bulan ini,” kata Ibunya memberi senyum kemenangan pada raja Miguel. “Nah, apa kalian menikmati hari ini?”
            “Aku sangat menikmatinya,” balas pangeran Miguel tetap fokus pada makanannya. “Setidaknya hukumanku tak lama seperti yang Ayah dapatkan,” komentarnya mengakhiri ucapannya.
            “Ayah pastikan setelah Ayah selesai dengan hukuman Ibumu, Ibumu yang akan mendapatkan hukuman yang lebih kejam dari Ayah.”
            “Hukuman apa itu, Ayah?” Pertanyaan polos itu keluar dari mulut Valentine lagi.
            “Hukuman yang akan membuat Ibumu tak beranjak dari tempat tidur selama berhari-hari.”

2 komentar:

  1. seru akhirnya ada epilog dan akhir yang bahagia untuk semuanya

    BalasHapus
  2. Seru.. suka banget sama cerita cerita tentang kerajaan gini..
    Lebih berwarna menurut aku.. hehej

    BalasHapus