CHAPTER TWELVE
AUTHOR
Laura
menatap langit malam dengan pandangan kosong. Ia tidak peduli apabila akhir
musim dingin ini masih bisa membuat tulangnya digigit karena kedinginan.
Pakaiannya menyala-nyala di tengah malam tanpa peduli sampai kapan lampu di gaunnya
mati. Matanya hampir tak kelihatan karena bengkak sehabis menangis. Hidungnya
masih memerah dan ia terus menyeka hidungnya. Laura sadar betul dengan
keadaannya sekarang. Ia mencintai sekaligus membenci Justin dalam waktu yang
bersamaan. Ia tidak bisa membenci Justin dalam jangka waktu yang lama, ia tahu
itu. Tetapi perasaan benci itu masih diam di hatinya sekarang. Cukup membuatnya
bimbang apa yang harus ia perbuat sekarang. Membiarkan Justin menang atau
memberontak demi Thomas? Bagaimana dengan Thomas? Apa dia baik-baik saja
setelah Laura dibawa masuk ke dalam rumah Justin? Pintu kamar Laura terkunci
dari luar, ia tidak bisa keluar. Dan tidak masuk akal jika Laura akan melompat
dari balkon untuk membunuh dirinya sendiri. Di bawah sana hanya rerumputan
dengan bunga-bunga yang pastinya tidak empuk. Untuk apa Laura mati jika di luar
sana masih ada orang yang mencintainya? Meski di dalam rumah ini juga ada orang
yang sama mencintainya. Laura tidak akan menarik kata-katanya tadi sewaktu ia
diseret oleh dua penjaga itu pada Justin.
Mengapa
ia menahan Laura sedangkan waktunya telah habis? Laura telah memilih
pilihannya; Thomas. Air mata Laura sudah tak bisa mengalir lagi. Ia sudah puas
menangis. Mungkin wajahnya sekarang sudah sangat jelek. Dan memang selalu
jelek, pikirnya. Tangan Laura masih memegang foto dirinya bersama dengan Justin
di bawah mistletoe. Tapi sekarang
bentuknya sudah tidak beraturan karena Laura meremas-remasnya untuk menahan
rasa sakit hati terhadap Justin. Laura tentu tidak ingin membuka foto itu, ia
justru langsung melemparnya keluar dari balkon dan jatuh di atas rerumputan
yang rapi. Laura mendengar suara bukaan kunci kamarnya yang membuatnya dengan
sigap bangkit dari duduknya –dari lantai—dan berbalik untuk melihat siapa yang
datang. Lampu kamarnya dinyalakan. Pria jangkuk itu menatap Laura dengan
tatapan penuh menyesal sekaligus sakit hati karena Laura tidak memilihnya. Dan
kata-kata terakhir yang Laura katakan padanya. Sungguh, hatinya benar-benar
terluka.
Laura
berlari ke arahnya dan mendorong Justin ke atas tempat tidur dengan kekuatan
penuh. Lalu ia memukul-mukul dada Justin sekencang yang Laura bisa. Mulai dari
sana ia menangis kembali. Air matanya menetes-netes ke atas kemeja biru muda
milik Justin. Setelah Justin merasakan pukulan itu benar-benar sakit, ia
langsung menahan kedua lengan Laura dan memutar tubuhnya sehingga sekarang ia
yang berada di atas tubuh Laura.
“Hentikan!”
Bentak Justin kesal. “Hentikan,” suaranya kali ini lebih terkendali. Ia tidak
senang melihat Laura marah seperti ini atau menangis. Dia tahu melihat Laura
menangis adalah kelemahannya, seharusnya ia membawa sapu tangan untuk mengelap
mata bengkak itu. Pasti Laura menangis sepanjang ia terkurung di dalam kamar.
Laura menyerah, kedua tangannya terentang dengan lemah di atas tempat tidur
yang sedang dicapit oleh Justin, namun ia masih terisak.
“Laura,”
pakaian itu sudah tidak menyala lagi karena cahaya lampu. Justin bangkit dari
tubuh Laura. Ia menarik Laura ketika ia terduduk di atas tempat tidur dan
menyandarkan kepala Laura ke atas dadanya. Tangan Justin mulai mengelus dan
merapikan rambut Laura yang basah menempel di kening dan lehernya. “Aku
memiliki alasan mengapa aku menahanmu sekarang. A-aku hanya tidak bisa menerima
kenyataan kau lebih mencintai Thomas dibanding diriku. Mengapa kau lebih
memilihnya dibanding diriku? Aku telah merencanakan ini jika kau memang memilih
Thomas. Rasanya aku tak sanggup jika tidak melihatmu. Apalagi berada di
pelukannya. Lalu kau memakiku. Baiklah, sejauh ini makianmu adalah makian yang
membuat hatiku sakit. Bisakah kau berhenti menangis sekarang?” Laura tidak
mendengar alasan-alasan Justin itu. Ia sudah terlalu lelah. Matanya terpejam
penuh damai dengan nafas yang teratur meski sesekali ia terisak. Justin
memejamkan matanya, dagu ia tempatkan di atas kepala Laura lalu ia memejamkan
matanya. Air mata Justin menetes. Ia sekarang merasa seperti anak kucing yang
takut kehilangan ibunya. Ketika matanya terbuka, mata Justin memerah.
“Aku
tentu saja tidak ingin kehilanganmu, Laura,” bisik Justin. “Kurasa kau tidak
mengerti betapa berartinya kau bagiku.”
***
Laura
bangun dari tidurnya dengan gaun yang masih sama. Justin sudah tidak berada di
sisinya. Matanya masih sedikit bengkak dan sakit ketika Laura berusaha untuk
mengucek matanya. Meringis, Laura merangkak dari tempat tidurnya dan berharap
bahwa pintu kamarnya terbuka dan ia bisa keluar dari rumah Justin. Ia sudah
tidak memiliki perjanjian lagi dengan Justin. Jadi untuk apa ia berada di dalam
rumah Justin? Kebencian masih merayap di tubuh Laura dan belum menghilang tiap
detik yang ditempuh. Ia berjalan tergopoh-gopoh menuju pintu lalu menyentuh
gagang pintu. Ketika ia menekannya, pintu itu terbuka. Hatinya langsung
melompat keluar dari tubuh! Laura menjerit kesenangan saat pintunya ia buka
lebar-lebar. Laura mengeluarkan kepalanya seperti leher jerapah yang panjang.
Ia melirik ke kanan dan kiri lalu melirik ke pintu kamar Justin yang terbuka.
Tidak seperti biasanya Justin membuka pintu kamarnya. Pasti ada yang salah di
sana. Jantungnya berdegup kencang ketika ia mendengar suara Justin mengerang
dari dalam kamar. Kakinya tak bisa ia tahan untuk tidak berlari ke kamar
Justin.
Mata
Laura terbelalak ketika ia melihat seluruh lengan Justin bersimbah darah.
Tangannya menutup mulut tak percaya dengan apa yang baru saja Justin lakukan.
Apa dia seorang masokis? Naluri seorang manusia pasti ingin membantu orang lain
yang sedang terluka. Laura mendekati Justin yang berada di sebelah tempat
tidurnya, mengerang kesakitan. Apa Justin sudah hilang otaknya?
“Apa
yang kaulakukan bodoh?” Tanya Laura ketakutan. Tangannya bergetar ketika ia
menyentuh lengan bagian yang tidak Justin lukai. Pisau tajam yang Justin pakai
untuk menyayat tangannya itu sekarang terbaring lemah di atas lantai dan tidak
bernafas, tentunya. Justin menjawab Laura dengan suara erangan tertahan. “Ya
Tuhan, kau hanya mempersulit keadaan,” ucap Laura berusaha mengangkat tubuh
Justin ke atas tempat tidur. Darahnya sekarang mengotori gaun indah Laura.
“Seperti
inikah rasanya ketika kau kehilangan Thomas? Seperti inikah?” Tanya Justin,
dramatis, namun memang tentunya tangannya kesakitan karena luka. Air mata Laura
menetes seketika itu juga. Jadi ini adalah alasan Justin menyayat kedua
tangannya. Laura tidak tahu. Mungkin saja memang rasanya tersayat pisau di
tangan. Laura tidak punya waktu untuk menjawab pertanyaan Justin, ia harus
mencari bantuan agar Justin tidak mati karena kekurangan darah. Sekarang Justin
terlihat seperti mandi menggunakan darah. Laura bangkit dari tempat tidurnya
dan berusaha untuk tidak menginjak darah Justin yang membasahi lantai kamar.
Ketika ia baru saja keluar dari kamar Justin, sebuah tangan besar sudah menahan
tangannya untuk melangkah.
“Laura!
Tidakkah kau mengerti? Aku ingin tahu apa yang kaurasakan sekarang! Kau
mencintaiku atau tidak? Jika kau mencintaiku, pasti kau akan memilihku! Itu
yang kurasakan saat kau berada bersamaku, aku bisa melihatnya. Kau
mencintaiku,”—Justin terjerembap jatuh di kaki Laura—“Jadi, kenapa kau memilih
pria sialan itu dibanding aku? Kau tidak sadar selama ini aku berusaha untuk
membuatmu nyaman bersamaku? Jadi kau tidak berpikir aku melakukan itu karena
ada hal yang paling penting untuk kesenjangan hidupku? Aku mencintaimu, Laura
Gretchen Hare,” ucapan Justin sudah tak terdengar pada akhirnya. Ia sudah tak
sadarkan diri. Darahnya sekarang benar-benar menyentuh kulit Laura yang
membuatnya merinding karena cairan yang memiliki bau logam itu. Laura
berteriak, memanggil salah satu pelayan atau siapa pun untuk membantunya. Laura
berjongkok, ia melepas tangan Justin yang memegang kakinya itu. Lalu ia
bersimpuh dan menempatkan kepala Justin di atas pahanya. Tangannya yang sudah
dikotori darah Justin sekarang menyentuh pipi Justin, memberikan noda di wajah
tampan pria itu. Laura menangis. Sekarang Laura ingin membentur kepalanya ke
tembok! Mengapa ia tidak sadar bahwa selama ini Justin mencintainya? Lebih
memalukan adalah Laura mendapati dirinya adalah seorang wanita. Wanita biasanya
peka, namun tidak dengannya. Ia hanya menikmati waktu-waktu bersama dengan
Justin tanpa berpikir apa Justin mencintainya atau tidak. Laura benar-benar
egois! Ia membenci dirinya sendiri saat ini.
Salah
satu pelayan menjerit ketika ia melihat keadaan majikannya bersimbah darah itu.
Ia segera berlari kembali menuruni tangga untuk memanggil bantuan yang lebih
besar. Justin pernah menyatakan cintanya pada Laura, dulu, sewaktu ia berada di
rumah sakit. Namun Laura tidak pernah menyatakan cintainya pada Justin. Mungkin
inilah yang membuat Justin bingung mengapa Laura lebih memilih Thomas. Justin
tidak tahu perasaan Laura dan berpikir bahwa Laura mencintainya. Tentu saja
Justin berpikir Laura mencintainya. Malah Justin merasa dirinya dicintai oleh
Laura selama ini, jadi, mengapa Laura lebih memilih Thomas sedangkan Laura
memiliki perasaan cinta pada Justin? Cinta segitiga ini tampaknya lebih sulit
dari yang mereka berdua kira. Dua penjaga Justin mulai muncul masuk untuk
menolong Justin.
***
LAURA
HARE
Tanganku
menyentuh jari-jari Justin yang tidak diperban. Seluruh lengannya diperban. Dia
bodoh. Benar-benar bodoh. Sampai-sampai aku ingin sekali membunuhnya. Tetapi
kewarasanku masih ada. Memang dengan dia menyakiti dirinya sendiri akan
membuatku luluh? Oke, aku memang menangis ketika aku melihat Justin berlumuran
darah. Aku takut ia mati. Untungnya ia hanya
kekurangan darah dan masih bisa diselamatkan. Dokter memberitahuku kalau Justin
sedang frustrasi. Mendengar kata ‘frustrasi’ mengingatkanku pada Thomas. Dan
membuatku kesal lagi pada Justin. Dan ternyata, aku memang tidak bisa
berlama-lama membenci pria yang belum bangun sampai sekarang. Entah mengapa
saat Justin menyatakan cintanya tadi membuatku terasa lebih lega. Aku juga
mencintai Justin. Tapi sekarang aku memiliki tanda tanya besar: Apa aku
mencintai Justin karena aku memang
mencintainya atau aku merasa bersalah pada Thomas karena telah berjanji padanya
namun aku tidak menepatinya jika aku memilih Justin? Aku masih bingung.
Aku
menggigit pipi bagian dalamku untuk mengurangi rasa resahku. Aku merasa
bersalah pada Thomas karena telah mencintai Justin. Aku sudah berjanji padanya
untuk tetap kembali dengan perasaan yang sama. Tapi ternyata perasaan cinta ini
tidak ada yang bisa menahannya. Sekalipun itu Thomas. Aku selalu membohongi
diriku sendiri saat aku memberitahu pada diriku sendiri kalau aku tidak
mencintai Justin. Tetapi kenyataannya, memang aku mencintai Justin dan aku
tidak pernah menyatakan cinta padanya. Aku mendesah. Aku belum mandi. Malah aku
masih memakai gaunku. Rumah sakit ini mengingatkanku pada Lily. Aku ingat
sekali Nancy menangis sejadi-jadinya ketika ia tahu Lily meninggal dan akhirnya
ia tidak memiliki pekerjaan tetap. Oh, Lily yang manis, dia cepat sekali
meninggalkan ayahnya. Apakah perasaan Justin saat kehilangan Lily sama dengan
perasaan ketika aku ingin keluar dari rumahnya bersama Thomas? Kehilangan? Tenggelam
dengan pikiranku sendiri membuatku tak sadar ada yang masuk ke dalam kamar.
Nancy, wanita tua yang sekarang menganggur, kurasa.
“Laura,”
ia mendatangiku dan langsung memelukku. “Ya Tuhan, aku benar-benar menyesal
dengan keadaan Mr.Herich. Aku mendapat kabar dari salah satu pelayan Justin
yang kebetulan adalah teman dekatku,” ucap Nancy melepas pelukan kami. Ia
berdiri di hadapanku namun matanya menatapi Justin yang terbaring di atas
tempat tidur, bernafas, namun terluka. Baik di luar maupun di dalam. Aku tahu
ia sakit hati dengan perkataanku sekarang. Oke, sekarang aku benar-benar luluh
dengan perbuatan Justin. Atau memang aku tidak bisa membenci Justin. Aku lebih
setuju dengan pilihan kedua.
“Dia
benar-benar damai jika sedang tertidur.Tidak ketika ia sedang melihatmu bersama
dengan Thomas. Ya ampun,” Nancy menutup mulutnya seperti sedang tersadar akan
sesuatu.
“Aku
juga begitu, Nancy. Aku senang melihatnya tertidur dan bernafas dibanding dia
bangun dan bernafas. Terima kasih sudah mau datang menjenguknya, aku akan
memberitahu padanya jika ia sudah bangun nanti,” ucapku berusaha untuk
tersenyum. Nancy tertawa dengan nada seperti bernyanyi dan ia menggelengkan
kepala.
“Bukan
maksud utamaku datang ke sini untuk melihat Mr.Herich. Tapi ini,” ucap Nancy
membuka tasnya lalu mengambil sesuatu di dalam. Saat tangannya yang tenggelam
di dalam tas itu keluar, secarik amplop ia pegang. “Surat ini dari Thomas. Aku
datang ke rumahnya dan ia memintaku untuk datang ke rumah sakit,” ucap Nancy.
Sekarang aku tahu Thomas baik-baik saja. Untuk apa Nancy datang ke rumah
Thomas? Pasti dia memberitahu Thomas kalau aku berada di rumah sakit juga.
Siapa sih teman dekat Nancy yang bekerja sebagai pelayan di rumah Justin? Aku
penasaran. Tanganku menerima amplop itu dari tangan Nancy lalu menggumamkan
kata terima kasih.
“Kau
sering berkunjung ke rumah Thomas?” Tanyaku ingin tahu. Nancy mengangguk. “Kau
menceritakan apa yang terjadi pada Justin dan aku?” Ia mengangguk lagi. Oh,
bagus sekali. Pasti Thomas sekarang sudah membenciku karena ia berpikir aku
lebih memilih Justin dibanding aku berlari menuju rumahnya ketika aku memiliki
kesempatan untuk kabur karena Justin tidak sadarkan diri.
“A-aku
harus pulang sekarang. Ada sesuatu yang harus kuselesaikan di rumah,” ucapnya berpamitan.
Aku mengangguk dan melambai tangan saat ia keluar dari kamar Justin. Otakku
langsung tertuju pada amplop dari Thomas. Segera saja aku membukanya dan
mendapati secarik kertas berisi tulisan tangan Thomas. Oke, tapi benarkah ia
harus memberikan surat? Aku mulai membacanya.
Laura,
Laura-ku yang paling kusayangi, ada
sesuatu yang harus kukatakan padamu. Aku sangat mencintaimu dan aku
merindukanmu. Kau mengerti itu? Bagus jika kau memang mengerti. Tapi ada yang
ingin kutanyakan padamu. Apa perasaanmu masih sama seperti dulu, sebelum kau
direbut oleh Mr.Herich dariku, padaku sekarang?Aku meragukannya. Nancy telah
menceritakan apa yang terjadi pada Mr.Herich. Aku menyesal mengetahuinya.
Kurasa dia lebih membutuhkanmu dari pada aku, Laura. Dan yeah, aku tahu surat
ini sangat konyol bagimu. Jangan menangis, jika kau menangis. Tangan Mr.Herich
sedang tak bisa digunakan dan aku tidak berada di sisimu. Aku tidak akan berada
di sisimu sampai kapan pun Laura. Aku dapat melihatnya dari matamu, kau tidak
ingin meninggalkan Mr.Herich. Kau hanya merasa bersalah padaku karena kau tidak
dapat menepati janjimu dulu. Aku mengerti mengapa. Dan aku tidak ingin
mendiskusikannya. Lebih baik melihatmu bahagia bersama orang lain dibanding
harus bersamaku namun kau terpaksa. Tidak apa-apa, aku akan baik-baik saja
bersama dengan Jimmy. Kuharap kau menikah dengannya dan memiliki anak. Jangan
temui aku karena aku tidak akan berada di New York lagi. Aku akan pergi ke
Atlanta karena tuntutan kerja. Pasti tadiny kau berpikir aku ingin menjauhimu.
Aku hanya akan bekerja di sana. Aku akan menghubungimu kapan-kapan. Aku masih
menyimpan nomor ponselmu. Aku akan merindukanmu, Laura.
Thomas. xx
Tidak
ada kata aku mencintaimu di akhir
surat. Oke, tapi aku masih belum bisa menyerap surat ini ke dalam otakku, jadi
aku membacanya ulang. Setelah membacanya, aku membacanya lagi. Dan lagi. Dan
lagi. Sampai pada akhirnya aku menangis. Bukan menangis menyesal atau bersalah.
Tapi menangis bahagia. Ternyata ia tahu menulis tanda baca dan huruf kapital.
Aku bahagia. Ia akhirnya memiliki pekerjaan di Atlanta. Dan, aku baru sadar,
Thomas lebih mudah mengambil keputusan. Meski aku tahu ia sulit mengambil
keputusan ini. Mataku mulai menatapi Justin yang masih terlelap. Sudah
berjam-jam ia tidak bangun dari tidurnya dan berharap ia bangun sekarang.
Rasanya aku ingin menyatakan cinta ini secepat mungkin. Ketakutan mulai datang,
aku takut jika aku tidak memiliki waktu untuk menyatakan cinta padanya.
Bagaimana jika tiba-tiba saja ia meninggal? Namun tidak, aku melihat Justin
dengan senyum sumringah. Sekarang semuanya sudah jelas. Thomas merelakanku
bersama dengan Justin. Dan sebentar lagi Justin akan membuka matanya. Justin,
pria yang memang kucintai. Beberapa saat kemudian aku mendengar ia mengerang, ia mengerjap-kerjapkan
matanya dan mengerang lagi.
“Justin!”
Seruku terkejut sekaligus senang, segera aku bangkit dari tempat duduk. Aku
menelan ludah begitu susah karena tidak percaya akhirnya bisikan doaku didengar
Tuhan. Raut wajah Justin kebingungan. Bukan karena dia berada dimana, ia pasti
tahu dia berada dimana sekarang. Tapi, mengapa aku masih berada di sisinya? Dan
mengapa aku tidak membunuh Justin sekarang? Bukankah itu yang kumau kemarin,
menginginkan Justin mati?
“Kau
masih ada di sini?” Tanya Justin
kebingungan. Saat ingin menggerakkan tangannya, ia mengerang. Sadar kalau tadi
pagi ia berusaha untuk merasakan kesakitan yang kurasa sekaligus mengikuti
jejak Ramona dan Lily ke surga. Atau dia ke neraka. Tubuhnya melemas begitu
saja.
“Kau
ingin aku pergi?” Tanyaku, ketus. Aku berusaha untuk terlihat jahat dan masih
membencinya, ternyata berhasil.
“Tidak!”
Ujarnya dengan suara yang besar. “Tidak, aku tidak mau kau pergi. Tapi
mengapa?” Tanyanya kali ini dengan suara yang lebih terkendali. Aku melipat
bibir ke dalam lalu membungkukkan tubuhku untuk mengecup bibirnya. Ia
terkesiap.
“Tidak
penting kenapa aku masih berada di sini atau tidak. Yang penting kau sudah
bangun. Aku akan memanggilkan dokter untukmu,” ucapku berusaha untuk terdengar
acuh. Padahal aku ingin sekali mengatakan padanya kalau aku mencintainya. Sangat-sangat-sangat
mencintainya. Justin mengangguk tanpa mengatakan apa-apa. Baguslah ia tidak
banyak bertanya, aku sedang tidak ingin menjawab pertanyaan-pertanyaannya yang
mungkin saja tidak penting. Aku menekan tombol untuk memanggil suster lalu
duduk kembali ke atas tempat duduk. Justin memerhatikanku dengan salah satu
alis terangkat.
“Kau
bisa pergi sekarang jika kau mau. Aku sudah tahu rasa sakitnya seperti apa,”
ucap Justin berusaha untuk menutupi rasa sakit hatinya sekaligus malu karena ia
telah bertindak bodoh. Aku mengacuhkannya, memalingkan kepalaku darinya dan
menatap pintu. “Hei, aku sedang berbicara denganmu,” tukasnya kesal. Nah, ini
Justin yang kukenal. Seperti penguasa, suka memerintah, dan tidak ingin
dikalahkan, tentu saja. Tidak ingin ia bangkit dari tidurnya dan menyakiti
dirinya sendiri, aku menoleh.
“Aku
tahu kau sedang berbicara denganku. Tapi, apa maumu? Aku ada di sini, salah.
Aku pergi, salah. Jadi, kau ingin aku kemana?” Tanyaku melipat kedua tanganku
di dada. Kurasa Justin terganggu dengan pemandangan yang sekarang ia lihat;
dadaku yang menyembul. “Sudahlah, itu tidak penting,”
“Aku
masih bingung,” ucapnya seperti berbicara pada diri sendiri. “Mengapa kau masih
berada di sini? Bisa kau menjelaskannya padaku? Ini tidak masuk akal. Kupikir
kau ingin aku mati kemarin. Tapi kau malah menyelamatkanku—“
“Ralat,
dokter yang menyelamatkanmu,” tukasku memotongnya. Ia mengangguk, tidak ingin
membantah. Mataku menatap lengannya yang diperban. Dan omong-omong aku sedikit
merasa bersalah karena telah menyumpahinya dengan sumpah serapah yang kumiliki
serta mengharapkan ia mati. Saat itu aku hanya dilanda …amarah. Aku tidak
benar-benar mengartikannya secara harfiah. Lagi pula, aku memang tidak suka
melihat Justin bangun dan bernafas, tapi jika sikapnya seperti hari-hari
sebelum hari aku bertemu dengan Thomas, aku tidak ingin ia mati. Dia memang
pintar menjaga rahasia. Atau membuat rencana tanpa sepengetahuanku, tentunya.
“Kau
tidak bersamaku, betul?” Tanyanya ketika aku baru saja sadar dari lamunan. Pipi
bersemu merah karena malu, kutatap ia dengan tatapan meminta maaf. Baru saja ia
ingin membuka mulutnya lagi, seorang suster masuk ke dalam kamar. Suster itu
berambut pirang, tinggi dan cantik. Oh, dia cocok menjadi model pakaian dalam
Victoria’s Secret, kurasa. “Kurasa suster cantik ini yang menang,” gumam Justin
menatap suster cantik itu dengan senyum mengembang. Oke, sepertinya Justin
sedang berusaha membuatku cemburu dan lihatlah! Ternyata ia berhasil membuatku
cemburu.
“Aku
akan memeriksa keadaanmu, Mr.Tampan,” goda si Cantik itu tanpa tahu kalau aku
adalah kekasih Justin, secara tak
langsung aku memang kekasihnya. Suster cantik itu mulai memeriksa Justin sambil
sesekali memberikan senyum menggoda pada Justin. Aku berdeham, tapi ia abaikan.
Sialan betul. Tapi terima kasih karena telah membuatku semakin yakin, aku
mencintai Justin. Setelah memeriksa Justin, tangannya menyentuh tangan Justin
yang tidak diperban itu. Aku yang berada di seberangnya rasanya ingin melempar
paku padanya –aku memilih paku karena kurasa lebih seru. Ia mengucapkan
kata-kata semangat untuk Justin dan aku tidak suka karena tujuan ia adalah
menggoda Justin.
“Kau
bisa keluar kalau pekerjaanmu sudah selesai,” ucapku tidak suka dengan suster
itu. Kulirik Justin dari sudut mataku ia sedang menahan tawanya. Bibirnya
berkedut-kedut dan ia memainkan lidahnya di dalam mulut seperti biasa ketika ia
sedang menahan tawanya. Suster itu sepertinya mengerti dan menatapku dengan
tatapan tidak suka juga, sebelum ia pergi ia memberitahu Justin kalau ia akan
mengambil segelas air untuknya.Lalu ia berbalik dan pergi dari hadapan kami
lalu menghilang. Justin bersiul, membuatku menoleh padanya.
“Mengapa
kau melakukan itu?” Tanyaku, kesal.
“Memangnya
kenapa? Kau tidak suka?” Tanya Justin, menggodaku. Aku tahu benar ia menahan
tawanya sekarang.
“Jelas!”
Bentakku berdiri dari tempat duduk lalu membungkuk, meraih pipinya dan mengecup
bibirnya selembut mungkin, seperti kapas. Justin terperangah. “Kau meminta
padaku saat kau bangun dari mimpi burukmu untuk tidak meninggalkanmu. Saat itu
aku tidak tahu apa aku bisa berjanji
padamu atau tidak. Aku bingung. Tapi sekarang aku berterima kasih padamu karena
telah menahanku di rumahmu. Sekarang semuanya sudah jelas, aku mencintaimu. Dan
kurasa aku bisa memenuhi permintaanmu.” Jelasku dengan jarak wajah masih
berdekatan. Senyum Justin mulai terlihat, mengembang penuh bahagia.
“Sudah
kuduga!” umpatnya dengan kata kotor yang tidak kusukai. “Kita sebentar lagi
akan memiliki anak!” Serunya tak sabaran. Aku tidak mengerti. Namun beberapa
saat kemudian aku mengerti, ia ingin menikahiku.
***
AUTHOR
Lengan
pria itu tampak baik-baik saja sekarang, setelah empat tahun yang lalu ia
membuat tindakan bodoh yang ternyata berguna juga untuknya sekarang. Ia
tampaknya baru mengalami yang namanya kebahagiaan yang sebenarnya. Ia mengecup
bibir wanita yang berada di hadapannya dengan lembut. Namun wanita itu
menggodanya, ia mendorong tubuh besarnya lalu berlari menjauh. Padang rumput
itu tampaknya bisa menjadi tempat untuk bermain kejar-kejaran. Justin Herich,
akhirnya mendapatkan apa yang ia butuhkan. Ia sedang mengejar kebutuhannya. Laura sedang hamil satu
bulan tapi dia masih berlari-lari. Memang Justin bahagia sekali Laura menggodanya,
tapi tidak dengan keadaan Laura yang sedang hamil. Ada rasa kuatir menyeruak
masuk perasaannya. Jarak mereka sekarang hanya 3 meter. Laura dan Justin
berdiam di tempatnya dan saling memandangi satu sama lain. Lalu Laura mendecak
pinggang lalu mengerucutkan bibirnya.
“Mengapa
kau mengerucutkan bibirmu seperti itu? Kau pikir kau lucu bergaya seperti itu?”
Tanya Justin, tapi tidak dengan nada marah. Hanya ingin menggoda Laura juga.
Laura tertawa lepas.
“Oke,
baiklah, aku memang tidak lucu seperti itu,”
ucap Laura. “Berhentilah mengejarku. Aku tidak ingin kau cium, kau tahu!”
“Mengapa?
Kupikir aku satu-satunya pria yang paling kausukai untuk dicium!” Teriak Justin
berusaha untuk mengejar Laura yang kembali berlari. Laura tersandung, jatuh
oleh kakinya sendiri. Mata Justin terbelalak kaget dengan apa yang ia lihat. Ia
berlari bagaikan cheetah mengejar mangsanya, mendekati Laura lalu memegang
pundak Laura. Ketakutan sekarang benar-benar menghampirinya. “Laura! Demi
Tuhan, apa kau baik-baik saja?” Tanya Justin protektif, matanya langsung
melihat pergelangan kaki Laura yang tidak ternodai oleh darah.
“Oh,
aku baik-baik saja. Tidak apa-apa,” ucap Laura berusaha meyakinkan Justin meski
lututnya sedikit sakit. Tapi Justin tidak memercayai ucapan Laura, jadi ia
menatap Laura dengan tatapan menuntut. “Baiklah, hanya sakit di lutut. Tapi
tidak parah. Aku hanya tersandung dan bayimu baik-baik saja di sini,” ucap
Laura kali ini dengan senyuman. Setelah beberapa detik saling berpandangan,
akhirnya Justin bangkit dari tempatnya dan membantu Laura untuk berdiri.
“Sudah
cukup bermain lari-larian. Masih ada monster di dalam sana yang sebentar lagi
akan bang—“
“Daddy!”
Suara anak lelaki kecil terdengar nyaring di telinga mereka. Anak kecil itu
tampaknya baru saja bisa berlari. Ia berlari mendekati orangtuanya yang berdiri
dari jarak yang jauh, jadi Laura dan Justin berjalan ke arahnya namun lambat.
Saat anak itu baru setengah jalan menuju Laura dan Justin, ia sudah terjatuh.
Ia tidak menangis, justru ia bangkit kembali dan membersihkan tangannya
terlebih dahulu. Laura bisa merasakan otot lengan Justin menegang melihat anak
pertama mereka terjatuh, tetapi Laura menahan Justin untuk tidak menangkap anak
mereka. Anak itu kembali berlari dengan senyum sumringah, melupakan bahwa ia
baru saja terjatuh, ke arah mereka. “Mommy!” Teriaknya lagi. Saat sudah dekat
dengan Laura, Laura langsung menggendongnya.
“Oh,
kau sangat pintar, Thomas!” puji Laura yang membuat Thomas tersipu. Yah, benar
sekali, Thomas Alexander Herich. “Sebenarnya kau anak siapa sih?” Goda Laura
berjalan bersama Justin.
Thomas
menggumamkan sesuatu di awalnya lalu, “…Rich!” Teriaknya mengangkat kedua
tangan mungilnya ke udara.Yeah, nama Thomas diberikan oleh Laura untuk anak
pertama mereka jika anak mereka laki-laki. Awalnya, Justin tidak menyukainya
karena namanya adalah orang yang sangat ia benci. Tapi Laura memaksanya dengan
raut wajah memohon yang memang selalu berhasil untuk merayu Justin. Hubungan
Thomas dan Laura baik-baik saja. Biasanya mereka melakukan Skype jika Justin
mengizinkannya. Thomas sudah memiliki istri satu tahun yang lalu bernama Bella
dan istrinya sekarang sedang mengandung anak pertama mereka. Terkadang,
merelakan sesuatu ternyata tidak seburuk yang Laura kira. Ternyata Thomas
berpikir untuk masa depan Laura dan masa depannya sendiri. Jika Thomas tidak
merelakan Laura pada Justin, bisa saja sekarang Laura tidak bersama dengan
Thomas. Itu membuat Thomas terlihat sangat bijaksana dan tidak egois. Laura
tertawa saat Justin sedang menggoda Thomas kecil. Dan justru Thomas Anderson
mementingkan keadaan semua orang. Secara tidak langsung pada Jasmine juga.
Ternyata Jasmine sekarang berpacaran dengan artis terkenal. Justin bahkan tidak
percaya dengan apa yang ia lihat di televisi, begitupun Laura. Hanya saja, itu
sangat lucu bagi Laura.
“Dia
tidak tahu kalau ia sedang menghadapi monster,” ucap Justin ketika ia melihat
Jasmine di televisi. Laura tertawa namun langsung memukul lengan Justin karena
telah mengejek Jasmine. Aku menurunkan Thomas kecil dari gendongan saat ia
rewel ingin turun. Aku dan Justin memegang kedua tangan Thomas lalu kembali
berjalan.
“Daddy,
aku sekarang sudah bisa memakai sandal sendiri,” ujar Thomas mendongak ke atas
untuk melihat Justin. Langsung saja Justin melihat kaki Thomas yang beralaskan
sandal, kedua alisnya terangkat agar terlihat terkejut dengan perbuatan Thomas
yang cerdas itu.
“Wah!
Kau sekarang sangat pintar. Apalagi yang kau bisa?” Tanya Justin membuat Thomas
berpikir. Raut wajah Thomas sangat lucu saat ia sedang berpikir, bibirnya
mengerucut dan melihat rerumputan yang berada di hadapannya.
“Membuat
susuku sendiri!” Serunya setelah menemukan kehebatan yang ia lakukan. “Aku bisa
membuat susuku sendiri, tapi aku memberikannya pada Nancy,” ucap Thomas malu
dan ia tertawa-tawa seperti anak gila. Justin ikut tertawa meski ia tidak
mengerti apa yang sedang Thomas tertawakan. Sekarang dua orang tampan itu
sedang tertawa bersama-sama seperti orang gila namun sangat dicintai Laura.
“Memang
mengapa jika kau memberinya pada Nancy?” Tanya Justin.
“Susu
buatanku tidak enak, jadi aku memberikannya pada Nancy,” seru Thomas tertawa
sampai kepalanya mendongak ke belakang. Laura hanya tersenyum memerhatikan
suami dan anaknya sedang berinteraksi. Thomas dan Justin memang dekat, tetapi
hanya Laura yang bisa membuat Thomas tenang. Thomas termasuk anak yang rewel.
“Kau
harus meminta maaf pada Nancy, Thomas,” tegur Laura dengan suara yang lembut.
Kepala Thomas langsung melihat padaku dengan kedua alis terangkat, bibirnya
mengerucut kemabali dan mengangguk perlahan-lahan.
“Ah
perjalanan ini sangat lama,” ujar Justin langsung menggendong Thomas. “Mau dad
lempar kau dari sini ke kamarmu?” Tanya Justin menggoda Thomas. Thomas
mengangguk, tanpa menolak.
“Justin!”
Tegur Laura, marah. Justin yang baru saja memposisikan Thomas dipundaknya
langsung menatapku dengan tatapan menyesal.
“Baiklah,
baiklah. Aku hanya bercanda.” Ucapnya mengalah. “Lagi pula aku tidak segila
itu,” tambah Justin.
“Oke,
oke. Maaf kalau aku kasar padamu. Aku mencintaimu,” tukas Laura secepat mungkin
meminta maaf. Ia lalu mengecup pipi Justin. Tangan Justin mulai menggenggam
tangan Laura.
“Nah,
balasan yang bagus. Aku lebih mencintaimu, jangan lupakan itu.”
END.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar