Jumat, 27 Desember 2013

A Beautiful Nightmare Bab 12 - End

CHAPTER TWELVE

AUTHOR

            Laura menatap langit malam dengan pandangan kosong. Ia tidak peduli apabila akhir musim dingin ini masih bisa membuat tulangnya digigit karena kedinginan. Pakaiannya menyala-nyala di tengah malam tanpa peduli sampai kapan lampu di gaunnya mati. Matanya hampir tak kelihatan karena bengkak sehabis menangis. Hidungnya masih memerah dan ia terus menyeka hidungnya. Laura sadar betul dengan keadaannya sekarang. Ia mencintai sekaligus membenci Justin dalam waktu yang bersamaan. Ia tidak bisa membenci Justin dalam jangka waktu yang lama, ia tahu itu. Tetapi perasaan benci itu masih diam di hatinya sekarang. Cukup membuatnya bimbang apa yang harus ia perbuat sekarang. Membiarkan Justin menang atau memberontak demi Thomas? Bagaimana dengan Thomas? Apa dia baik-baik saja setelah Laura dibawa masuk ke dalam rumah Justin? Pintu kamar Laura terkunci dari luar, ia tidak bisa keluar. Dan tidak masuk akal jika Laura akan melompat dari balkon untuk membunuh dirinya sendiri. Di bawah sana hanya rerumputan dengan bunga-bunga yang pastinya tidak empuk. Untuk apa Laura mati jika di luar sana masih ada orang yang mencintainya? Meski di dalam rumah ini juga ada orang yang sama mencintainya. Laura tidak akan menarik kata-katanya tadi sewaktu ia diseret oleh dua penjaga itu pada Justin.
            Mengapa ia menahan Laura sedangkan waktunya telah habis? Laura telah memilih pilihannya; Thomas. Air mata Laura sudah tak bisa mengalir lagi. Ia sudah puas menangis. Mungkin wajahnya sekarang sudah sangat jelek. Dan memang selalu jelek, pikirnya. Tangan Laura masih memegang foto dirinya bersama dengan Justin di bawah mistletoe. Tapi sekarang bentuknya sudah tidak beraturan karena Laura meremas-remasnya untuk menahan rasa sakit hati terhadap Justin. Laura tentu tidak ingin membuka foto itu, ia justru langsung melemparnya keluar dari balkon dan jatuh di atas rerumputan yang rapi. Laura mendengar suara bukaan kunci kamarnya yang membuatnya dengan sigap bangkit dari duduknya –dari lantai—dan berbalik untuk melihat siapa yang datang. Lampu kamarnya dinyalakan. Pria jangkuk itu menatap Laura dengan tatapan penuh menyesal sekaligus sakit hati karena Laura tidak memilihnya. Dan kata-kata terakhir yang Laura katakan padanya. Sungguh, hatinya benar-benar terluka.
            Laura berlari ke arahnya dan mendorong Justin ke atas tempat tidur dengan kekuatan penuh. Lalu ia memukul-mukul dada Justin sekencang yang Laura bisa. Mulai dari sana ia menangis kembali. Air matanya menetes-netes ke atas kemeja biru muda milik Justin. Setelah Justin merasakan pukulan itu benar-benar sakit, ia langsung menahan kedua lengan Laura dan memutar tubuhnya sehingga sekarang ia yang berada di atas tubuh Laura.
            “Hentikan!” Bentak Justin kesal. “Hentikan,” suaranya kali ini lebih terkendali. Ia tidak senang melihat Laura marah seperti ini atau menangis. Dia tahu melihat Laura menangis adalah kelemahannya, seharusnya ia membawa sapu tangan untuk mengelap mata bengkak itu. Pasti Laura menangis sepanjang ia terkurung di dalam kamar. Laura menyerah, kedua tangannya terentang dengan lemah di atas tempat tidur yang sedang dicapit oleh Justin, namun ia masih terisak.
            “Laura,” pakaian itu sudah tidak menyala lagi karena cahaya lampu. Justin bangkit dari tubuh Laura. Ia menarik Laura ketika ia terduduk di atas tempat tidur dan menyandarkan kepala Laura ke atas dadanya. Tangan Justin mulai mengelus dan merapikan rambut Laura yang basah menempel di kening dan lehernya. “Aku memiliki alasan mengapa aku menahanmu sekarang. A-aku hanya tidak bisa menerima kenyataan kau lebih mencintai Thomas dibanding diriku. Mengapa kau lebih memilihnya dibanding diriku? Aku telah merencanakan ini jika kau memang memilih Thomas. Rasanya aku tak sanggup jika tidak melihatmu. Apalagi berada di pelukannya. Lalu kau memakiku. Baiklah, sejauh ini makianmu adalah makian yang membuat hatiku sakit. Bisakah kau berhenti menangis sekarang?” Laura tidak mendengar alasan-alasan Justin itu. Ia sudah terlalu lelah. Matanya terpejam penuh damai dengan nafas yang teratur meski sesekali ia terisak. Justin memejamkan matanya, dagu ia tempatkan di atas kepala Laura lalu ia memejamkan matanya. Air mata Justin menetes. Ia sekarang merasa seperti anak kucing yang takut kehilangan ibunya. Ketika matanya terbuka, mata Justin memerah.
            “Aku tentu saja tidak ingin kehilanganmu, Laura,” bisik Justin. “Kurasa kau tidak mengerti betapa berartinya kau bagiku.”


***


            Laura bangun dari tidurnya dengan gaun yang masih sama. Justin sudah tidak berada di sisinya. Matanya masih sedikit bengkak dan sakit ketika Laura berusaha untuk mengucek matanya. Meringis, Laura merangkak dari tempat tidurnya dan berharap bahwa pintu kamarnya terbuka dan ia bisa keluar dari rumah Justin. Ia sudah tidak memiliki perjanjian lagi dengan Justin. Jadi untuk apa ia berada di dalam rumah Justin? Kebencian masih merayap di tubuh Laura dan belum menghilang tiap detik yang ditempuh. Ia berjalan tergopoh-gopoh menuju pintu lalu menyentuh gagang pintu. Ketika ia menekannya, pintu itu terbuka. Hatinya langsung melompat keluar dari tubuh! Laura menjerit kesenangan saat pintunya ia buka lebar-lebar. Laura mengeluarkan kepalanya seperti leher jerapah yang panjang. Ia melirik ke kanan dan kiri lalu melirik ke pintu kamar Justin yang terbuka. Tidak seperti biasanya Justin membuka pintu kamarnya. Pasti ada yang salah di sana. Jantungnya berdegup kencang ketika ia mendengar suara Justin mengerang dari dalam kamar. Kakinya tak bisa ia tahan untuk tidak berlari ke kamar Justin.
            Mata Laura terbelalak ketika ia melihat seluruh lengan Justin bersimbah darah. Tangannya menutup mulut tak percaya dengan apa yang baru saja Justin lakukan. Apa dia seorang masokis? Naluri seorang manusia pasti ingin membantu orang lain yang sedang terluka. Laura mendekati Justin yang berada di sebelah tempat tidurnya, mengerang kesakitan. Apa Justin sudah hilang otaknya?
            “Apa yang kaulakukan bodoh?” Tanya Laura ketakutan. Tangannya bergetar ketika ia menyentuh lengan bagian yang tidak Justin lukai. Pisau tajam yang Justin pakai untuk menyayat tangannya itu sekarang terbaring lemah di atas lantai dan tidak bernafas, tentunya. Justin menjawab Laura dengan suara erangan tertahan. “Ya Tuhan, kau hanya mempersulit keadaan,” ucap Laura berusaha mengangkat tubuh Justin ke atas tempat tidur. Darahnya sekarang mengotori gaun indah Laura.
            “Seperti inikah rasanya ketika kau kehilangan Thomas? Seperti inikah?” Tanya Justin, dramatis, namun memang tentunya tangannya kesakitan karena luka. Air mata Laura menetes seketika itu juga. Jadi ini adalah alasan Justin menyayat kedua tangannya. Laura tidak tahu. Mungkin saja memang rasanya tersayat pisau di tangan. Laura tidak punya waktu untuk menjawab pertanyaan Justin, ia harus mencari bantuan agar Justin tidak mati karena kekurangan darah. Sekarang Justin terlihat seperti mandi menggunakan darah. Laura bangkit dari tempat tidurnya dan berusaha untuk tidak menginjak darah Justin yang membasahi lantai kamar. Ketika ia baru saja keluar dari kamar Justin, sebuah tangan besar sudah menahan tangannya untuk melangkah.
            “Laura! Tidakkah kau mengerti? Aku ingin tahu apa yang kaurasakan sekarang! Kau mencintaiku atau tidak? Jika kau mencintaiku, pasti kau akan memilihku! Itu yang kurasakan saat kau berada bersamaku, aku bisa melihatnya. Kau mencintaiku,”—Justin terjerembap jatuh di kaki Laura—“Jadi, kenapa kau memilih pria sialan itu dibanding aku? Kau tidak sadar selama ini aku berusaha untuk membuatmu nyaman bersamaku? Jadi kau tidak berpikir aku melakukan itu karena ada hal yang paling penting untuk kesenjangan hidupku? Aku mencintaimu, Laura Gretchen Hare,” ucapan Justin sudah tak terdengar pada akhirnya. Ia sudah tak sadarkan diri. Darahnya sekarang benar-benar menyentuh kulit Laura yang membuatnya merinding karena cairan yang memiliki bau logam itu. Laura berteriak, memanggil salah satu pelayan atau siapa pun untuk membantunya. Laura berjongkok, ia melepas tangan Justin yang memegang kakinya itu. Lalu ia bersimpuh dan menempatkan kepala Justin di atas pahanya. Tangannya yang sudah dikotori darah Justin sekarang menyentuh pipi Justin, memberikan noda di wajah tampan pria itu. Laura menangis. Sekarang Laura ingin membentur kepalanya ke tembok! Mengapa ia tidak sadar bahwa selama ini Justin mencintainya? Lebih memalukan adalah Laura mendapati dirinya adalah seorang wanita. Wanita biasanya peka, namun tidak dengannya. Ia hanya menikmati waktu-waktu bersama dengan Justin tanpa berpikir apa Justin mencintainya atau tidak. Laura benar-benar egois! Ia membenci dirinya sendiri saat ini.
            Salah satu pelayan menjerit ketika ia melihat keadaan majikannya bersimbah darah itu. Ia segera berlari kembali menuruni tangga untuk memanggil bantuan yang lebih besar. Justin pernah menyatakan cintanya pada Laura, dulu, sewaktu ia berada di rumah sakit. Namun Laura tidak pernah menyatakan cintainya pada Justin. Mungkin inilah yang membuat Justin bingung mengapa Laura lebih memilih Thomas. Justin tidak tahu perasaan Laura dan berpikir bahwa Laura mencintainya. Tentu saja Justin berpikir Laura mencintainya. Malah Justin merasa dirinya dicintai oleh Laura selama ini, jadi, mengapa Laura lebih memilih Thomas sedangkan Laura memiliki perasaan cinta pada Justin? Cinta segitiga ini tampaknya lebih sulit dari yang mereka berdua kira. Dua penjaga Justin mulai muncul masuk untuk menolong Justin.


***


LAURA HARE

            Tanganku menyentuh jari-jari Justin yang tidak diperban. Seluruh lengannya diperban. Dia bodoh. Benar-benar bodoh. Sampai-sampai aku ingin sekali membunuhnya. Tetapi kewarasanku masih ada. Memang dengan dia menyakiti dirinya sendiri akan membuatku luluh? Oke, aku memang menangis ketika aku melihat Justin berlumuran darah. Aku takut ia mati. Untungnya ia hanya kekurangan darah dan masih bisa diselamatkan. Dokter memberitahuku kalau Justin sedang frustrasi. Mendengar kata ‘frustrasi’ mengingatkanku pada Thomas. Dan membuatku kesal lagi pada Justin. Dan ternyata, aku memang tidak bisa berlama-lama membenci pria yang belum bangun sampai sekarang. Entah mengapa saat Justin menyatakan cintanya tadi membuatku terasa lebih lega. Aku juga mencintai Justin. Tapi sekarang aku memiliki tanda tanya besar: Apa aku mencintai Justin karena aku memang mencintainya atau aku merasa bersalah pada Thomas karena telah berjanji padanya namun aku tidak menepatinya jika aku memilih Justin? Aku masih bingung.
            Aku menggigit pipi bagian dalamku untuk mengurangi rasa resahku. Aku merasa bersalah pada Thomas karena telah mencintai Justin. Aku sudah berjanji padanya untuk tetap kembali dengan perasaan yang sama. Tapi ternyata perasaan cinta ini tidak ada yang bisa menahannya. Sekalipun itu Thomas. Aku selalu membohongi diriku sendiri saat aku memberitahu pada diriku sendiri kalau aku tidak mencintai Justin. Tetapi kenyataannya, memang aku mencintai Justin dan aku tidak pernah menyatakan cinta padanya. Aku mendesah. Aku belum mandi. Malah aku masih memakai gaunku. Rumah sakit ini mengingatkanku pada Lily. Aku ingat sekali Nancy menangis sejadi-jadinya ketika ia tahu Lily meninggal dan akhirnya ia tidak memiliki pekerjaan tetap. Oh, Lily yang manis, dia cepat sekali meninggalkan ayahnya. Apakah perasaan Justin saat kehilangan Lily sama dengan perasaan ketika aku ingin keluar dari rumahnya bersama Thomas? Kehilangan? Tenggelam dengan pikiranku sendiri membuatku tak sadar ada yang masuk ke dalam kamar. Nancy, wanita tua yang sekarang menganggur, kurasa.
            “Laura,” ia mendatangiku dan langsung memelukku. “Ya Tuhan, aku benar-benar menyesal dengan keadaan Mr.Herich. Aku mendapat kabar dari salah satu pelayan Justin yang kebetulan adalah teman dekatku,” ucap Nancy melepas pelukan kami. Ia berdiri di hadapanku namun matanya menatapi Justin yang terbaring di atas tempat tidur, bernafas, namun terluka. Baik di luar maupun di dalam. Aku tahu ia sakit hati dengan perkataanku sekarang. Oke, sekarang aku benar-benar luluh dengan perbuatan Justin. Atau memang aku tidak bisa membenci Justin. Aku lebih setuju dengan pilihan kedua.
            “Dia benar-benar damai jika sedang tertidur.Tidak ketika ia sedang melihatmu bersama dengan Thomas. Ya ampun,” Nancy menutup mulutnya seperti sedang tersadar akan sesuatu.
            “Aku juga begitu, Nancy. Aku senang melihatnya tertidur dan bernafas dibanding dia bangun dan bernafas. Terima kasih sudah mau datang menjenguknya, aku akan memberitahu padanya jika ia sudah bangun nanti,” ucapku berusaha untuk tersenyum. Nancy tertawa dengan nada seperti bernyanyi dan ia menggelengkan kepala.
            “Bukan maksud utamaku datang ke sini untuk melihat Mr.Herich. Tapi ini,” ucap Nancy membuka tasnya lalu mengambil sesuatu di dalam. Saat tangannya yang tenggelam di dalam tas itu keluar, secarik amplop ia pegang. “Surat ini dari Thomas. Aku datang ke rumahnya dan ia memintaku untuk datang ke rumah sakit,” ucap Nancy. Sekarang aku tahu Thomas baik-baik saja. Untuk apa Nancy datang ke rumah Thomas? Pasti dia memberitahu Thomas kalau aku berada di rumah sakit juga. Siapa sih teman dekat Nancy yang bekerja sebagai pelayan di rumah Justin? Aku penasaran. Tanganku menerima amplop itu dari tangan Nancy lalu menggumamkan kata terima kasih.
            “Kau sering berkunjung ke rumah Thomas?” Tanyaku ingin tahu. Nancy mengangguk. “Kau menceritakan apa yang terjadi pada Justin dan aku?” Ia mengangguk lagi. Oh, bagus sekali. Pasti Thomas sekarang sudah membenciku karena ia berpikir aku lebih memilih Justin dibanding aku berlari menuju rumahnya ketika aku memiliki kesempatan untuk kabur karena Justin tidak sadarkan diri.
            “A-aku harus pulang sekarang. Ada sesuatu yang harus kuselesaikan di rumah,” ucapnya berpamitan. Aku mengangguk dan melambai tangan saat ia keluar dari kamar Justin. Otakku langsung tertuju pada amplop dari Thomas. Segera saja aku membukanya dan mendapati secarik kertas berisi tulisan tangan Thomas. Oke, tapi benarkah ia harus memberikan surat? Aku mulai membacanya.

            Laura,
            Laura-ku yang paling kusayangi, ada sesuatu yang harus kukatakan padamu. Aku sangat mencintaimu dan aku merindukanmu. Kau mengerti itu? Bagus jika kau memang mengerti. Tapi ada yang ingin kutanyakan padamu. Apa perasaanmu masih sama seperti dulu, sebelum kau direbut oleh Mr.Herich dariku, padaku sekarang?Aku meragukannya. Nancy telah menceritakan apa yang terjadi pada Mr.Herich. Aku menyesal mengetahuinya. Kurasa dia lebih membutuhkanmu dari pada aku, Laura. Dan yeah, aku tahu surat ini sangat konyol bagimu. Jangan menangis, jika kau menangis. Tangan Mr.Herich sedang tak bisa digunakan dan aku tidak berada di sisimu. Aku tidak akan berada di sisimu sampai kapan pun Laura. Aku dapat melihatnya dari matamu, kau tidak ingin meninggalkan Mr.Herich. Kau hanya merasa bersalah padaku karena kau tidak dapat menepati janjimu dulu. Aku mengerti mengapa. Dan aku tidak ingin mendiskusikannya. Lebih baik melihatmu bahagia bersama orang lain dibanding harus bersamaku namun kau terpaksa. Tidak apa-apa, aku akan baik-baik saja bersama dengan Jimmy. Kuharap kau menikah dengannya dan memiliki anak. Jangan temui aku karena aku tidak akan berada di New York lagi. Aku akan pergi ke Atlanta karena tuntutan kerja. Pasti tadiny kau berpikir aku ingin menjauhimu. Aku hanya akan bekerja di sana. Aku akan menghubungimu kapan-kapan. Aku masih menyimpan nomor ponselmu. Aku akan merindukanmu, Laura.
Thomas. xx

            Tidak ada kata aku mencintaimu di akhir surat. Oke, tapi aku masih belum bisa menyerap surat ini ke dalam otakku, jadi aku membacanya ulang. Setelah membacanya, aku membacanya lagi. Dan lagi. Dan lagi. Sampai pada akhirnya aku menangis. Bukan menangis menyesal atau bersalah. Tapi menangis bahagia. Ternyata ia tahu menulis tanda baca dan huruf kapital. Aku bahagia. Ia akhirnya memiliki pekerjaan di Atlanta. Dan, aku baru sadar, Thomas lebih mudah mengambil keputusan. Meski aku tahu ia sulit mengambil keputusan ini. Mataku mulai menatapi Justin yang masih terlelap. Sudah berjam-jam ia tidak bangun dari tidurnya dan berharap ia bangun sekarang. Rasanya aku ingin menyatakan cinta ini secepat mungkin. Ketakutan mulai datang, aku takut jika aku tidak memiliki waktu untuk menyatakan cinta padanya. Bagaimana jika tiba-tiba saja ia meninggal? Namun tidak, aku melihat Justin dengan senyum sumringah. Sekarang semuanya sudah jelas. Thomas merelakanku bersama dengan Justin. Dan sebentar lagi Justin akan membuka matanya. Justin, pria yang memang kucintai. Beberapa saat kemudian aku mendengar ia mengerang, ia mengerjap-kerjapkan matanya dan mengerang lagi.
            “Justin!” Seruku terkejut sekaligus senang, segera aku bangkit dari tempat duduk. Aku menelan ludah begitu susah karena tidak percaya akhirnya bisikan doaku didengar Tuhan. Raut wajah Justin kebingungan. Bukan karena dia berada dimana, ia pasti tahu dia berada dimana sekarang. Tapi, mengapa aku masih berada di sisinya? Dan mengapa aku tidak membunuh Justin sekarang? Bukankah itu yang kumau kemarin, menginginkan Justin mati?
            “Kau masih ada di sini?” Tanya Justin kebingungan. Saat ingin menggerakkan tangannya, ia mengerang. Sadar kalau tadi pagi ia berusaha untuk merasakan kesakitan yang kurasa sekaligus mengikuti jejak Ramona dan Lily ke surga. Atau dia ke neraka. Tubuhnya melemas begitu saja.
            “Kau ingin aku pergi?” Tanyaku, ketus. Aku berusaha untuk terlihat jahat dan masih membencinya, ternyata berhasil.
            “Tidak!” Ujarnya dengan suara yang besar. “Tidak, aku tidak mau kau pergi. Tapi mengapa?” Tanyanya kali ini dengan suara yang lebih terkendali. Aku melipat bibir ke dalam lalu membungkukkan tubuhku untuk mengecup bibirnya. Ia terkesiap.
            “Tidak penting kenapa aku masih berada di sini atau tidak. Yang penting kau sudah bangun. Aku akan memanggilkan dokter untukmu,” ucapku berusaha untuk terdengar acuh. Padahal aku ingin sekali mengatakan padanya kalau aku mencintainya. Sangat-sangat-sangat mencintainya. Justin mengangguk tanpa mengatakan apa-apa. Baguslah ia tidak banyak bertanya, aku sedang tidak ingin menjawab pertanyaan-pertanyaannya yang mungkin saja tidak penting. Aku menekan tombol untuk memanggil suster lalu duduk kembali ke atas tempat duduk. Justin memerhatikanku dengan salah satu alis terangkat.
            “Kau bisa pergi sekarang jika kau mau. Aku sudah tahu rasa sakitnya seperti apa,” ucap Justin berusaha untuk menutupi rasa sakit hatinya sekaligus malu karena ia telah bertindak bodoh. Aku mengacuhkannya, memalingkan kepalaku darinya dan menatap pintu. “Hei, aku sedang berbicara denganmu,” tukasnya kesal. Nah, ini Justin yang kukenal. Seperti penguasa, suka memerintah, dan tidak ingin dikalahkan, tentu saja. Tidak ingin ia bangkit dari tidurnya dan menyakiti dirinya sendiri, aku menoleh.
            “Aku tahu kau sedang berbicara denganku. Tapi, apa maumu? Aku ada di sini, salah. Aku pergi, salah. Jadi, kau ingin aku kemana?” Tanyaku melipat kedua tanganku di dada. Kurasa Justin terganggu dengan pemandangan yang sekarang ia lihat; dadaku yang menyembul. “Sudahlah, itu tidak penting,”
            “Aku masih bingung,” ucapnya seperti berbicara pada diri sendiri. “Mengapa kau masih berada di sini? Bisa kau menjelaskannya padaku? Ini tidak masuk akal. Kupikir kau ingin aku mati kemarin. Tapi kau malah menyelamatkanku—“
            “Ralat, dokter yang menyelamatkanmu,” tukasku memotongnya. Ia mengangguk, tidak ingin membantah. Mataku menatap lengannya yang diperban. Dan omong-omong aku sedikit merasa bersalah karena telah menyumpahinya dengan sumpah serapah yang kumiliki serta mengharapkan ia mati. Saat itu aku hanya dilanda …amarah. Aku tidak benar-benar mengartikannya secara harfiah. Lagi pula, aku memang tidak suka melihat Justin bangun dan bernafas, tapi jika sikapnya seperti hari-hari sebelum hari aku bertemu dengan Thomas, aku tidak ingin ia mati. Dia memang pintar menjaga rahasia. Atau membuat rencana tanpa sepengetahuanku, tentunya.
            “Kau tidak bersamaku, betul?” Tanyanya ketika aku baru saja sadar dari lamunan. Pipi bersemu merah karena malu, kutatap ia dengan tatapan meminta maaf. Baru saja ia ingin membuka mulutnya lagi, seorang suster masuk ke dalam kamar. Suster itu berambut pirang, tinggi dan cantik. Oh, dia cocok menjadi model pakaian dalam Victoria’s Secret, kurasa. “Kurasa suster cantik ini yang menang,” gumam Justin menatap suster cantik itu dengan senyum mengembang. Oke, sepertinya Justin sedang berusaha membuatku cemburu dan lihatlah! Ternyata ia berhasil membuatku cemburu.
            “Aku akan memeriksa keadaanmu, Mr.Tampan,” goda si Cantik itu tanpa tahu kalau aku adalah kekasih Justin, secara tak langsung aku memang kekasihnya. Suster cantik itu mulai memeriksa Justin sambil sesekali memberikan senyum menggoda pada Justin. Aku berdeham, tapi ia abaikan. Sialan betul. Tapi terima kasih karena telah membuatku semakin yakin, aku mencintai Justin. Setelah memeriksa Justin, tangannya menyentuh tangan Justin yang tidak diperban itu. Aku yang berada di seberangnya rasanya ingin melempar paku padanya –aku memilih paku karena kurasa lebih seru. Ia mengucapkan kata-kata semangat untuk Justin dan aku tidak suka karena tujuan ia adalah menggoda Justin.
            “Kau bisa keluar kalau pekerjaanmu sudah selesai,” ucapku tidak suka dengan suster itu. Kulirik Justin dari sudut mataku ia sedang menahan tawanya. Bibirnya berkedut-kedut dan ia memainkan lidahnya di dalam mulut seperti biasa ketika ia sedang menahan tawanya. Suster itu sepertinya mengerti dan menatapku dengan tatapan tidak suka juga, sebelum ia pergi ia memberitahu Justin kalau ia akan mengambil segelas air untuknya.Lalu ia berbalik dan pergi dari hadapan kami lalu menghilang. Justin bersiul, membuatku menoleh padanya.
            “Mengapa kau melakukan itu?” Tanyaku, kesal.
            “Memangnya kenapa? Kau tidak suka?” Tanya Justin, menggodaku. Aku tahu benar ia menahan tawanya sekarang.
            “Jelas!” Bentakku berdiri dari tempat duduk lalu membungkuk, meraih pipinya dan mengecup bibirnya selembut mungkin, seperti kapas. Justin terperangah. “Kau meminta padaku saat kau bangun dari mimpi burukmu untuk tidak meninggalkanmu. Saat itu aku tidak tahu apa aku  bisa berjanji padamu atau tidak. Aku bingung. Tapi sekarang aku berterima kasih padamu karena telah menahanku di rumahmu. Sekarang semuanya sudah jelas, aku mencintaimu. Dan kurasa aku bisa memenuhi permintaanmu.” Jelasku dengan jarak wajah masih berdekatan. Senyum Justin mulai terlihat, mengembang penuh bahagia.
            “Sudah kuduga!” umpatnya dengan kata kotor yang tidak kusukai. “Kita sebentar lagi akan memiliki anak!” Serunya tak sabaran. Aku tidak mengerti. Namun beberapa saat kemudian aku mengerti, ia ingin menikahiku.


***


AUTHOR

            Lengan pria itu tampak baik-baik saja sekarang, setelah empat tahun yang lalu ia membuat tindakan bodoh yang ternyata berguna juga untuknya sekarang. Ia tampaknya baru mengalami yang namanya kebahagiaan yang sebenarnya. Ia mengecup bibir wanita yang berada di hadapannya dengan lembut. Namun wanita itu menggodanya, ia mendorong tubuh besarnya lalu berlari menjauh. Padang rumput itu tampaknya bisa menjadi tempat untuk bermain kejar-kejaran. Justin Herich, akhirnya mendapatkan apa yang ia butuhkan. Ia sedang mengejar kebutuhannya. Laura sedang hamil satu bulan tapi dia masih berlari-lari. Memang Justin bahagia sekali Laura menggodanya, tapi tidak dengan keadaan Laura yang sedang hamil. Ada rasa kuatir menyeruak masuk perasaannya. Jarak mereka sekarang hanya 3 meter. Laura dan Justin berdiam di tempatnya dan saling memandangi satu sama lain. Lalu Laura mendecak pinggang lalu mengerucutkan bibirnya.
            “Mengapa kau mengerucutkan bibirmu seperti itu? Kau pikir kau lucu bergaya seperti itu?” Tanya Justin, tapi tidak dengan nada marah. Hanya ingin menggoda Laura juga. Laura tertawa lepas.
            “Oke, baiklah, aku memang tidak lucu seperti itu,” ucap Laura. “Berhentilah mengejarku. Aku tidak ingin kau cium, kau tahu!”
            “Mengapa? Kupikir aku satu-satunya pria yang paling kausukai untuk dicium!” Teriak Justin berusaha untuk mengejar Laura yang kembali berlari. Laura tersandung, jatuh oleh kakinya sendiri. Mata Justin terbelalak kaget dengan apa yang ia lihat. Ia berlari bagaikan cheetah mengejar mangsanya, mendekati Laura lalu memegang pundak Laura. Ketakutan sekarang benar-benar menghampirinya. “Laura! Demi Tuhan, apa kau baik-baik saja?” Tanya Justin protektif, matanya langsung melihat pergelangan kaki Laura yang tidak ternodai oleh darah.
            “Oh, aku baik-baik saja. Tidak apa-apa,” ucap Laura berusaha meyakinkan Justin meski lututnya sedikit sakit. Tapi Justin tidak memercayai ucapan Laura, jadi ia menatap Laura dengan tatapan menuntut. “Baiklah, hanya sakit di lutut. Tapi tidak parah. Aku hanya tersandung dan bayimu baik-baik saja di sini,” ucap Laura kali ini dengan senyuman. Setelah beberapa detik saling berpandangan, akhirnya Justin bangkit dari tempatnya dan membantu Laura untuk berdiri.
            “Sudah cukup bermain lari-larian. Masih ada monster di dalam sana yang sebentar lagi akan bang—“
            “Daddy!” Suara anak lelaki kecil terdengar nyaring di telinga mereka. Anak kecil itu tampaknya baru saja bisa berlari. Ia berlari mendekati orangtuanya yang berdiri dari jarak yang jauh, jadi Laura dan Justin berjalan ke arahnya namun lambat. Saat anak itu baru setengah jalan menuju Laura dan Justin, ia sudah terjatuh. Ia tidak menangis, justru ia bangkit kembali dan membersihkan tangannya terlebih dahulu. Laura bisa merasakan otot lengan Justin menegang melihat anak pertama mereka terjatuh, tetapi Laura menahan Justin untuk tidak menangkap anak mereka. Anak itu kembali berlari dengan senyum sumringah, melupakan bahwa ia baru saja terjatuh, ke arah mereka. “Mommy!” Teriaknya lagi. Saat sudah dekat dengan Laura, Laura langsung menggendongnya.
            “Oh, kau sangat pintar, Thomas!” puji Laura yang membuat Thomas tersipu. Yah, benar sekali, Thomas Alexander Herich. “Sebenarnya kau anak siapa sih?” Goda Laura berjalan bersama Justin.
            Thomas menggumamkan sesuatu di awalnya lalu, “…Rich!” Teriaknya mengangkat kedua tangan mungilnya ke udara.Yeah, nama Thomas diberikan oleh Laura untuk anak pertama mereka jika anak mereka laki-laki. Awalnya, Justin tidak menyukainya karena namanya adalah orang yang sangat ia benci. Tapi Laura memaksanya dengan raut wajah memohon yang memang selalu berhasil untuk merayu Justin. Hubungan Thomas dan Laura baik-baik saja. Biasanya mereka melakukan Skype jika Justin mengizinkannya. Thomas sudah memiliki istri satu tahun yang lalu bernama Bella dan istrinya sekarang sedang mengandung anak pertama mereka. Terkadang, merelakan sesuatu ternyata tidak seburuk yang Laura kira. Ternyata Thomas berpikir untuk masa depan Laura dan masa depannya sendiri. Jika Thomas tidak merelakan Laura pada Justin, bisa saja sekarang Laura tidak bersama dengan Thomas. Itu membuat Thomas terlihat sangat bijaksana dan tidak egois. Laura tertawa saat Justin sedang menggoda Thomas kecil. Dan justru Thomas Anderson mementingkan keadaan semua orang. Secara tidak langsung pada Jasmine juga. Ternyata Jasmine sekarang berpacaran dengan artis terkenal. Justin bahkan tidak percaya dengan apa yang ia lihat di televisi, begitupun Laura. Hanya saja, itu sangat lucu bagi Laura.
            “Dia tidak tahu kalau ia sedang menghadapi monster,” ucap Justin ketika ia melihat Jasmine di televisi. Laura tertawa namun langsung memukul lengan Justin karena telah mengejek Jasmine. Aku menurunkan Thomas kecil dari gendongan saat ia rewel ingin turun. Aku dan Justin memegang kedua tangan Thomas lalu kembali berjalan.
            “Daddy, aku sekarang sudah bisa memakai sandal sendiri,” ujar Thomas mendongak ke atas untuk melihat Justin. Langsung saja Justin melihat kaki Thomas yang beralaskan sandal, kedua alisnya terangkat agar terlihat terkejut dengan perbuatan Thomas yang cerdas itu.
            “Wah! Kau sekarang sangat pintar. Apalagi yang kau bisa?” Tanya Justin membuat Thomas berpikir. Raut wajah Thomas sangat lucu saat ia sedang berpikir, bibirnya mengerucut dan melihat rerumputan yang berada di hadapannya.
            “Membuat susuku sendiri!” Serunya setelah menemukan kehebatan yang ia lakukan. “Aku bisa membuat susuku sendiri, tapi aku memberikannya pada Nancy,” ucap Thomas malu dan ia tertawa-tawa seperti anak gila. Justin ikut tertawa meski ia tidak mengerti apa yang sedang Thomas tertawakan. Sekarang dua orang tampan itu sedang tertawa bersama-sama seperti orang gila namun sangat dicintai Laura.
            “Memang mengapa jika kau memberinya pada Nancy?” Tanya Justin.
            “Susu buatanku tidak enak, jadi aku memberikannya pada Nancy,” seru Thomas tertawa sampai kepalanya mendongak ke belakang. Laura hanya tersenyum memerhatikan suami dan anaknya sedang berinteraksi. Thomas dan Justin memang dekat, tetapi hanya Laura yang bisa membuat Thomas tenang. Thomas termasuk anak yang rewel.
            “Kau harus meminta maaf pada Nancy, Thomas,” tegur Laura dengan suara yang lembut. Kepala Thomas langsung melihat padaku dengan kedua alis terangkat, bibirnya mengerucut kemabali dan mengangguk perlahan-lahan.
            “Ah perjalanan ini sangat lama,” ujar Justin langsung menggendong Thomas. “Mau dad lempar kau dari sini ke kamarmu?” Tanya Justin menggoda Thomas. Thomas mengangguk, tanpa menolak.
            “Justin!” Tegur Laura, marah. Justin yang baru saja memposisikan Thomas dipundaknya langsung menatapku dengan tatapan menyesal.
            “Baiklah, baiklah. Aku hanya bercanda.” Ucapnya mengalah. “Lagi pula aku tidak segila itu,” tambah Justin.
            “Oke, oke. Maaf kalau aku kasar padamu. Aku mencintaimu,” tukas Laura secepat mungkin meminta maaf. Ia lalu mengecup pipi Justin. Tangan Justin mulai menggenggam tangan Laura.
            “Nah, balasan yang bagus. Aku lebih mencintaimu, jangan lupakan itu.”




END.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar