Entah
apa yang kupikirkan dulu sewaktu aku masih kecil dan mengatakan pada ayahku
kalau aku ingin cepat-cepat dewasa. Oh, apa-apaan yang telah kupikirkan?
Menjadi dewasa ternyata tidak sama sekali menyenangkan. Bagaimana mungkin
kertas-kertas yang ada di hadapanku bisa dikatakan menyenangkan? Aku harus
menyusun mereka secara terurut untuk dimasukkan ke dalam map dan harus mengetik
dokumen yang lain. Mungkin memang menyenangkan memiliki uang yang banyak. Tapi
percayalah dibalik uang yang banyak, terdapat tanggung jawab besar. Dan aku
tidak bisa menyalahkan siapa pun untuk bertumbuh menjadi dewasa. Aku hanya
harus menjalaninya sebagaimana mestinya. Besok adalah pertemuan terbesarku
bersama dengan salah pemilik perusahaan terkenal di Amerika. Menurut informasi yang
kuterima, Aaron Staton Bieber adalah anak dari Justin Drew Bieber, pemilik
kelab yang memiliki cabang dimana-mana. Termasuk di Las Vegas. Aku pernah
mendatangi salah satu kelabnya di Las Vegas sebelum aku pindah ke Atlanta dua
tahun yang lalu. Harus kuakui kelabnya memang sangat menyenangkan untuk
dikunjungi. Ayah memberitahu padaku kalau mereka semua tinggal di Atlanta.
Well, jika aku beruntung besok bertemu dengan anak dari Justin Bieber itu, aku
berjanji tidak akan menyesal telah menjadi orang dewasa.
Menurutku,
Justin Bieber sangatlah tampan. Karena ketika aku mendatangi kelabnya di Las
Vegas, terdapat salah satu fotonya yang memakai setelan berwarna abu-abu dan
sama sekali tidak tersenyum pada kamera. Kupikir ia pria yang keras dan dingin.
Dan besok aku akan menemui anaknya yang dapat kupastikan ia tampan seperti
ayahnya. Pintu kamarku terketuk, refleks aku langsung menyahut. Ketika terbuka,
ibuku muncul dengan senyum di bibirnya. Memang tiap malam ia selalu datang ke
kamarku untuk mengikat rambutku dengan cara yang rumit. Hanya dia yang tahu
bagaimana membuatnya. Dan aku tidak sama sekali bisa mengikuti apa yang ia
perbuat pada rambutku. Aku hanya menyerahkan padanya dan poof berubah menjadi rambut yang benar-benar cantik seperti rambut
tuan puteri.
“Hei,
mom,” ucapku menyusun kertas-kertas tanpa memerhatikan ibuku yang sudah menutup
pintu. Mungkin besok. Besok di tempat kerja aku akan mengetik untuk dokumen
yang lain. Malam ini sudah cukup. Terlebih lagi ibuku sudah datang untuk
mengeloniku, seperti biasa. Aku anak tunggal. Ibuku tidak bisa hamil. Atau lebih tepatnya ia tidak mau.
“Kau
akan betemu siapa besok?” Tanya ibuku membuatku menoleh melihatnya yang sudah
mengambil beberapa ikat rambut dan sisir dari meja riasku. Raut wajahnya selalu
dingin jika ia tidak tersenyum, namun sekali ia tersenyum, ia bagaikan malaikat
bagiku. Aku cengengesan tidak jelas tanpa menjawabnya dan menaruh map di meja
belajarku. Aku bangkit dari kursi dan merangkak naik ke atas tempat tidur.
Ibuku melihatku dengan wajah keheranan. “Pasti tampan,” ujarnya menebak.
“Yeah,
benar sekali,” sahutku. “Aku berharap mereka
mau bekerja sama dengan dengan sungguh-sungguh. Mereka salah satu klien
terbesar kami,” lanjutku menjelaskan. Aku sudah memunggungi ibuku agar ia
cepat-cepat menyentuh rambutku lalu membiarkanku tertidur karena sentuhan
jari-jarinya pada kepalaku. Rasanya nyaman ketika seseorang mengelus kepalaku,
itu membuatku cepat tidur.
“Siapa
namanya?” Tangan ibuku mulai menyentuh rambutku dan mulai melakukan pekerjaannya.
“Aaron,”
bisikku. “Aaron Bieber. Dia anak dari Justin Bieber. Mom tahu siapa mereka?”
Tanyaku tanpa menoleh ke belakang. Ibuku mendesah dan mendecak.
“Dulu
Mom sering sekali datang ke kelab milik si Bieber itu. Tapi sekarang sudah
tidak sejak Mom bertemu dengan Dadmu. Baguslah jika mereka mau bekerja sama
dengan perusahaanmu,” ucap ibuku merasa bosan seperti biasa. Ada yang aneh dari
ibuku. Ia selalu menanyakan siapa yang akan bekerja sama dengan perusahaan yang
kutempati namun ia tidak senang mendengar aku menceritakan dengan siapa aku
bekerja. “Dad bilang kau ingin pindah ke sebuah kondominium dengan
perusahaanmu. Mengapa tiba-tiba kau berpikir seperti itu? Tidakkah kau berpikir
Mom akan merindukanmu nanti?”
Nah,
ini dia. “Mom, jangan membuatku mengubah keputusanku yang sudah bulat. Aku
sudah membelinya beberapa minggu yang lalu. Tapi aku belum siap karena aku juga
tahu, aku akan merindukanmu. Hanya saja, aku harus menjalani kehidupanku
sendirian. Sebagai orang dewasa normal lainnya. Rasanya malu kalau aku ingin
mengajak teman kantorku untuk datang berkunjung ke rumah yang bukan rumahku.
Jadi, tidak apa-apa. Ini akan membuatku lebih mandiri,” jelasku berusaha untuk
tidak membuatnya tak dapat membantah lagi. Rasanya tidak tega jika ibuku
memohon padaku untuk tidak menuruti permintaannya. Dan untuk kali ini aku tidak
ingin memenuhi permintaannya jikalau ia memintaku untuk tidak pindah rumah. Kepalaku
maju mundur karena ikatannya yang rumit itu.
“Kau
benar,” desahnya. “Umurmu sudah 24. Kau jelas sudah dewasa. Jika memang itu
maumu, apa yang Mom bisa lakukan? Mom hanya ingin kau bahagia. Jangan lupa
untuk datang ke rumah jika kau punya kesempatan. Atau Mom yang akan datang ke
rumahmu. Jangan bawa pria sembarangan ke dalam rumahmu. Jangan adakan pesta
minum-minum. Jangan—“
“Mom,
aku mengerti maksudmu,” tukasku menghentikannya. “Aku punya pilihan untuk
melakukan itu. Jika aku masih waras, pasti aku lebih memilih untuk menjauh dari
masalah-masalah. Oke?” Tanyaku meyakinkannya. Tangannya sudah melepas rambutku
dan aku bisa merasakan rambutku sekarang lebih berat. Ia sudah selesai. Aku
berbalik untuk melihat ibu. Meski umurnya sudah menginjak 40an, ia masih
terlihat 30 tahun. Ia awet muda. Tidak ada rambut putih di antara rambut-rambut
hitamnya. Mataku menatap matanya yang dapat kulihat ia sedih. Ya ampun,
bagaimana bisa aku pergi dari rumah jika ibuku saja tidak rela aku pergi dari
rumah ini? Tangisannya memecah, ia langsung memelukku.
“Mom
mengerti,” bisiknya mengelus punggungku. “Mom akan sangat merindukanmu,”
“Mom,
aku pergi satu minggu ke depan. Lebih baik Mom menyimpan air mata itu untuk
hari aku pindah nanti,” ucapku mendorong tubuh ibuku secara halus. Tangannya
menyentuh pipiku, lalu mengelusnya dengan lembut. Ia selalu melakukan ini
setiap kali aku akan tertidur. Sungguh, jika aku berada di sisinya aku selalu
merasa seperti anak kecil! Bukan orang dewasa. Dan aku tidak seperti anak-anak
remaja yang malu karena ibunya memeluk, mencium atau mengelus pipi mereka. Aku
senang diperlakukan seperti itu. Tidak ada air mata yang mengalir. Kurasa ia
sudah mengelapnya saat berpelukan tadi bersamaku. Namun matanya basah.
“Baiklah,
sekarang waktumu tidur, Anak Muda. Sudah malam dan besok—“
“Mom,
aku tahu! Aku tahu!” Seruku lama-lama kesal karena ibuku sekarang memperlakukanku
seperti anak kecil berumur 5 tahun. Oke, mungkin aku memang senang karena ia
perhatian, tapi sudah berkali-kali aku memberitahunya untuk tidak menyuruhku
tidur. Well, aku memang tidak suka disuruh tidur. Aku tahu kapan waktu yang
tepat untuk tidur. Dan waktu untuk tidur adalah saat aku mengantuk.
“Oke,
maafkan Mom. Baiklah, tidurlah dengan damai. Aku mencintaimu,” bisiknya
mengecup pipiku lalu merangkak pergi dari tempat tidur. “Selamat malam.” Itulah
kata-kata terakhir yang kudengar setelah aku membaringkan tubuhku dan
memejamkan mata. Pintu tertutup.
***
Aku
berjalan terburu-buru menuju ruang rapat. Sial! Aku terlambat bangun dan aku
yakin pasti Mr.Smith akan memarahiku karena terlambat datang. Sungguh, ini
adalah kesan pertama yang pastinya jelek. Bukan apa-apa, tapi bahkan ibuku
harus ikut bersamaku naik mobil agar rambutku dapat diikat secantik mungkin.
Ikatan-ikatan rambutnya selalu cocok untuk bekerja. Katanya ia memiliki daftar
gaya-gaya ikatan rambut apa saja yang cocok untuk bekerja, tidur, jalan-jalan.
Yah, seperti kau ingin memakai pakaian yang pas untuk pergi ke tempat yang
kautuju. Aku adalah tangan kanan dari Mr.Smith, bukan sekretarisnya. Kulihat
Whitney menggeleng-gelengkan kepalanya di depan kantor Mr.Smith padaku dengan raut
wajah bodoh-sekali-kau. Tapi aku menganggukkan kepalaku, meminta maaf padanya
karena terlambat meski sebenarnya aku tidak perlu meminta maaf padanya. Dia
bukan atasanku. Bahkan jabatanku lebih tinggi dibanding dirinya. Mr.Smith bukan
pria tua. Dia baru menginjak umur 35 tahun, namun ia memiliki ketampanan yang
memikat. Dan aku tahu ia naksir padaku. Kuteguk kopi yang kubeli di jalan tadi
sebelum masuk ke ruang rapat.
Kubuka
pintu ruang rapat dan kepalaku yang terlebih dahulu masuk ke dalam. Kulipat
bibirku ke dalam merasakan malu yang tertahankan. Kurasa pipiku merah padam
karena malu akan kertelambatan ini. Seharusnya tadi malam aku tidak membantah
ibuku! Sial. Tas selempang yang kubawa benar-benar berat karena banyak dokumen
yang kubawa dari rumah. Beberapa pasang mata menatapku tanpa ada senyum. Termasuk Mr.Smith yang terduduk di sebelah
Mr.Bieber. Mr.Bieber duduk di ujung meja panjang ruang rapat. Ia memerhatikanku
dengan seksama, matanya menatapku dengan tatapan tak suka. Kurasa sudah cukup
hanya kepalaku saja yang masuk ke dalam. Kulangkahkan kakiku masuk ke dalam dan
menutup pintu ruang rapat perlahan-lahan. Kopi yang disuguhkan mereka tampaknya
belum mereka sentuh sama sekali. Masih ada asap yang mengepul di atas kopi
mereka. Yah, paling tidak aku tidak terlambat setengah jam. Mungkin 5 sampai 10
menit. Aku menimbang-nimbang. Kurasa Mr.Smith memang masih memilik hati untuk
menyiapkan tempat duduk untukku di sebelahnya. Saat aku duduk, aku langsung
mengeluarkan dokumen yang sudah kubawa. Warna
merah. Warna merah. Warna merah. Aku memperingati diriku untuk mengeluarkan
map berwarna merah.
“Kau
terlambat. Apa yang kau pikirkan tadi malam?” Tanya Mr.Smith mengomeliku. Aku
menyingkar tas selempang yang kubawa ke bawah kursi.
“Kesan
pertama yang tidak sama sekali mengesankan,” ucap seseorang yang memiliki suara
berat, dan suaranya benar-benar asing. Tentu saja suaranya asing karena aku
belum bertemu dengan tiga orang yang sekarang berhadapan denganku. Dan suara
itu bukan berasal dari dua wanita di hadapanku, tentu saja. Tapi Mr.Bieber.
Aaron Bieber.
“Aku
sungguh minta maaf atas keterlambatan ini, Mr.Bieber. Kurasa alasan apa pun
yang ada pasti tidak akan bisa diindahkan,” ucapku sesopan mungkin. “Jika kau
memaafkanku, kita mungkin bisa menjalani presentasi ini,” lanjutku menatap
matanya. Oh, hatiku sekarang berada di mulut. Mata harimau itu benar-benar
menusukku hingga ke jauh ke dalam hati. Demi Tuhan itu adalah mata terindah,
terkejam, dan terdingin yang belum pernah kutemui sebelumnya. Aku menelan ludah
untuk bisa mengedip. Kurasa ayahnya –Justin Bieber—mengajarnya untuk bersikap
dingin dan tidak tersenyum pada siapa pun. Yeah, buah jatuh tidak jauh dari
pohonnya.
“Baiklah,
kesempatan kedua. Jangan buang-buang waktuku,” ucapnya mengizinkan. Sekujur
tubuhku lega karena ucapannya itu.
“Maafkan
Kath, Mr.Bieber. Tidak biasanya ia terlambat seperti ini. Pasti ia memiliki
alasan yang bagus mengapa ia terlambat dan terima kasih karena kau, dia tidak
terancam dipecat,” Omong-omong dia memang tampan namun tidak mirip dengan Mr.
Justin Bieber. Dan apa? Aku tidak terancam dipecat? Terima kasih kembali,
Mr.Smith karena telah membuatkanmu dokumen yang banyak seperti itu. Terima
kasih kembali. Aku memutar bola mataku. Kuberikan dokumen merah itu pada Mr.
Smith. Sisanya adalah Mr.Smith. Kurasa ia sudah memegang remote proyektor dan
laptop sudah berada di ujung meja yang lain. Yang pastinya bukan di dekat
Mr.Bieber. Mr.Smith berdiri dan mulai melakukan presentasinya. Sesekali ia
tersenyum dan memberikan lelucon untuk memberikan kesan bersahabat pada Mr.Bieber.
Namun saat aku menoleh pada Mr.Bieber, ia tidak sama sekali tersenyum. Justru
ia terlihat sangat bosan. Dapat kurasakan ia memerhatikanku dari tadi sepanjang
Mr.Smith berusaha untuk membuatnya terkesan. Ia sesekali berdeham dan meminum
kopinya. Namun sepertinya Mr.Bieber menyimak apa yang dikatakan Mr.Smith.
Mr.Smith telah selesai menyampaikan presentasi proyek kami untuk bekerja sama
pada Mr.Bieber dan orang-orang yang berada di ruang rapat bertepuk tangan.
Tidak termasuk Mr.Bieber. Ia justru hanya mengelus dagunya dan
mengangguk-angguk mengerti.
“Kurasa
kita bisa menanda tangani kontraknya sekarang,” ujar Mr.Bieber dengan suara
dingin. Aku langsung mengambil map berwarna kuning yang lain, isi-isi kontrak
kerja sama kami dengan Mr.Bieber. Mr.Smith mendekatiku dan duduk di tempatnya
kembali lalu membantu memberikan surat kontrak itu. Kejadiannya benar-benar
cepat sampai goresan dari bolpoin itu benar-benar membuat hati Mr.Smith
tersenyum sumringah. Mereka saling berjabat tangan untuk menghargai pertemanan
perusahaan mereka sekarang. “Bisakah aku memiliki waktu berdua bersama dengan
nona muda yang cantik ini?” Tanya Mr.Bieber menunjuk padaku dengan tangan
terbuka.
“Tentu
saja!” Seru Mr.Smith bahagia karena akhirnya aku berguna. Terima kasih, aku berpikir
sarkastik. “Kemari,” ajak Mr.Smith membawa dokumen yang sudah ditanda tangani
oleh Mr.Bieber dan mengajak rekan kerja Mr.Bieber untuk keluar bersamanya.
Ketika pintu tertutup, ruangan menjadi sangat hening. Ia menatapku yang
menunduk, aku tahu ia sedang menatapku pasti. Ini benar-benar memalukan. Apa
yang akan kami bicarakan? Aku mendongak. Matanya lagi. Sialan, benarkah ia
memiliki mata seperti warna mata harimau? Sungguh, aku seperti akan diterkam
olehnya dengan seduktif. Bukan hanya karena matanya yang mengintimidasiku, tapi
bibirnya pun begitu. Mungkin seluruh tubuhnya. Tidak, titdak, tidak, aku tidak
boleh menyukai klienku sendiri. Ia tidak mengatakan apa pun, jari telunjuknya
mengetuk-ngetuk meja rapat. Tatapan matanya benar-benar membuatku takut
berbicara.
“Terima
kasih sudah mau bekerja sama dengan perusahaan ini,” ucapku dengan berani. “Dan
terima kasih telah menyelamatkanku dari ancaman dipecat,” aku kali ini
memberikan senyum ramah. Tidak ada balasan senyum. Apa benar ia sedingin itu?
“Sama-sama,”
bisiknya. “Aku tahu ia akan memecatmu jika aku tidak jadi bekerja sama dengan
kalian hanya karena kecerobohanmu terlambat datang ke kantor. Itu akan
membuatku merasa seperti manusia hina,” ucapnya kali ini tidak menatap mataku.
Tapi kepalaku. “Ikatan rambut yang menarik. Biasa membuat rambut seperti itu?”
Tanyanya tertarik. Jadi, dia hanya ingin membicarakan tentang ikatan rambut
denganku? Pemilihan tempat yang bagus, Mr.Bieber! Rambutku dikepang menempel
dengan kepalaku namun disusun miring sehingga leher jenjangku kelihatan
telanjang.
“Mom
yang membuatkannya untukku. Kau punya anak perempuan? Jika ya, kau bisa
membawanya pada Momku. Ia pasti akan menyukainya. Siapa nama anak perempuanmu?”
Tanyaku dengan ocehan tak jelas. Aku seperti ini jika aku gugup, berusaha untuk
terlihat santai saja. Namun aku bukan orang yang pintar menyimpan perasaan dari
ekspresi wajahku. Aku ekspresif! Aku tak bisa menahan senyumku ketika kulihat
salah satu ujung bibirnya terangkat ke atas. Tahu benar sekarang dia berusaha
untuk menahan senyumnya, atau tawanya. Ia kelihatan sombong, kau tahu. Bernafas, bernafas, bernafas. Aku
mengingatkan pada diriku.
“Aku
tidak memiliki anak perempuan. Anakku laki-laki,” ucapnya membuatku malu
setengah mati. Kuberikan ia tatapan minta maaf.
“Kalau
begitu istrimu,” bisikku. Saat aku mengucapkan kata ‘istri’, kulihat rahangnya
menegang dan ia menegakkan cara duduknya. Raut wajahnya langsung berubah
menjadi dingin kembali dan marah. Oh, kenapa? Saat matanya bertemu dengan
mataku kembali, aku bisa melihat ia sedih. Sekarang matanya tidak seganas tapi,
lebih tepatnya matanya terlihat gelap namun penuh kesedihan. Sesuatu menghantam
kepalaku, membuatku tersadar akan sesuatu. Istrinya pasti meninggal. “Maafkan
aku. Aku tidak tahu,” bisikku.
“Tidak
apa-apa. Bukan salahmu,” ucapnya dengan suara yang kali ini lebih hangat. “Apa
kita pernah bertemu sebelumnya?” Tanyanya menyimak wajahku dengan seksama.
Kugelengkan kepalaku secepat mungkin.
“Tidak,
aku tidak pernah bertemu. Tapi aku pernah datang ke kelab ayahmu di Las Vegas.
Sangat keren. Apa di Atlanta ada yang dekat dari perusahaan ini?” Tanyaku
penasaran.
“Yeah,
ini kartu namaku. Nah, di sana terdapat alamat kelab ayahku. Aku biasa ada di
sana,” ucapnya memberitahu. Apa itu penting bagiku? Maksudku, apa itu penting
jika dia berada di sana bagiku? Tidak. Aku malah sekarang tidak menyukainya.
Bukan wajahnya yang tidak kusukai, tapi sikapnya yang sok menjadi penguasa itu
membuatku ingin membanting gelas kopinya ke kepalanya. Ia mengeluarkan kartu
namanya dan melemparkannya ke atas meja depanku. Aku meraihnya. Aaron Bieber.
“Pasti
aku akan datang ke sana,” ucapku sebisa mungkin terdengar meyakinkan. Ia
berdiri begitu saja, membuatku ikut berdiri. “Terima kasih sudah datang dan
bekerja sama dengan kami, sekali lagi,” ucapku memberikan tangan untuk berjabat
tangan. Ia meraihnya.
“Siapa
lagi namamu?” Tanyanya tidak melepaskan tanganku.
“Kath
Bloodworth,” balasku.
“Tentu
saja, Ms.Bloodworth.” Kali ini ia tersenyum. Senyum seduktif yang membuat jantungku
mau tak mau berdetak dua kali lebih cepat. “Aku menyukai ikatan rambutmu.”
Pujinya membuatku tersipu malu. Dasar iblis penggoda!
***
AUTHOR
Aaron
pulang sendirian menyetir mobilnya. Biasanya ia menjemput adiknya dari kantor
ayahnya yang lain. Yeah, beginilah jika seorang ayah memiliki perusahaan yang
banyak. Ia bisa membagikan satu per satu perusahaannya pada tiap anaknya.
Grace, ia sekarang sudah besar. Umurnya belum bisa dikatakan cukup untuk
memegang sebuah perusahaan, namun tidak ada yang bisa menghentikan seorang
Justin Bieber bukan? Pria kaya yang memiliki keluarga sempurna itu tampaknya
bisa dikatakan pria terberuntung di dunia. Bukan hanya menjadi pria tampan dan
kaya, ia juga memiliki istri cantik yang benar-benar menyayangi. Orang-orang di
luar sana masih berusaha untuk merebut istrinya. Dan Aaron-lah yang akan
menjadi orang pertama meninju pria yang berusaha merebut ibunya dari ayahnya,
Justin. Dan Aaron juga akan menjadi orang pertama yang akan melihat pria yang
berusaha untuk mendapatkan adiknya, Grace. Ia termasuk pria protektif tingkat
tinggi terhadap angora-anggota keluarganya. Mungkin tidak pada anggota
keluarganya yang berjenis kelamin laki-laki. Terlebih lagi pada Jonathan. Ia
mengajar Jonathan untuk menjadi pria jantan yang tidak bersembunyi di balik
punggung ayah atau ibunya. Sekarang sepertinya Aaron yang menjadi panutan
keluarga. Posisi Justin sepertinya tersingkirkan jika Aaron terus menerus
mengambil pekerjaannya menjadi pemimpin keluarga.
Pria
itu turun dari mobil dan melempar kunci mobilnya pada sopir yang sudah berada
di depan rumahnya agar mobil Aaron dibawa masuk ke dalam garasi. Aaron berjalan
bagaikan dewa Yunani yang sedang memamerkan tubuhnya yang atletis. Pintu
terbuka, suara berisik dan teriakan-teriakan dari adik-adiknya mulai terdengar.
Atau lebih tepatnya, si kembar yang sudah berumur 5 tahun. Mereka tinggi
sekarang dan lebih banyak kosa kata yang mereka kuasai. Tapi dengan
bertumbuhnya mereka, Aaron semakin bisa dekat dengan mereka. Tapi dari mereka
semua, anak pertamanya yang selalu menjadi orang pertama yang berada di atas
daftar untuk dilindungi. Justin kecil. Aaron sekarang memiliki panggilan untuk
anaknya yang masih berumur 3 tahun itu. Juber. Panggilan itu sungguh konyol
karena Justin kecil hanya bisa menggumamkan nama pertamanya, sedangkan kata
Bieber, sulit ia katakan. Tentu saja, dan sudah berkali-kali
Justin—kakeknya—mengajarkan Justin kecil untuk menyebutkan nama ‘Bieber’, namun
tetap saja anak kecil itu tidak bisa menyebutkannya. Dan ayah Aaron-lah yang
mencetuskan nama panggilan itu untuk Justin kecil, Juber. Yah, Aaron adalah
anak dari Justin. Dan Justin kecil adalah anak dari Aaron. Sulit untuk
membedakannya.
“Daddy!”
Teriak Justin kecil berlari dengan tubuh telanjang. Hanya popok yang ia pakai
untuk menutupi bokongnya yang montok itu.
“Demi
Tuhan aku tidak pernah berhasil memakaikan celana dalam untuk anakmu, Aaron!
Aku menyerah!” Teriak Justin frustrasi datang menyusul dari belakang dengan
raut wajah lengah. Aaron hanya tertawa melihat ayahnya yang sulit memakaikan
celana dalam untuk anaknya, Juber kecil. “Juber! Turun dari Daddy-mu sekarang,
dan pakai celana dalammu ini. Aku sudah tidak kuat lagi berlari-lari denganmu,
kau tahu,” marah Justin dengan nada yang kesal. Juber hanya melihat Justin dari
gendongan Aaron sambil mengisap jari telunjuknya lalu menggeleng-gelengkan
kepalanya. Ia tertawa melihat kakeknya yang kelihatan menghibur. Aaron berjalan
menuju ayahnya lalu merampas celana dalam anaknya.
“Kurasa
dia memang tidak suka denganmu, Dad. Dia tidak suka dipanggil Juber. Begitupun
aku. Itu panggilan terkonyol. Hanya kau di sini yang memanggilnya Juber,”
komentar Aaron melewati ayahnya yang terengah-engah di ruang tamu.
“Kau
tidak tahu betapa Juber menyukai nama itu. Salahmu menamainya Justin. Jika
ibumu memanggil Justin, aku dan dia akan menengok. Kadang-kadang aku ingin
sekali mengurung anakmu di dalam kamar mandi agar… sudahlah! Tidak penting
dibicarakan. Kau bukan partner yang cocok untuk diajak bicara,”
“Mungkin
kau yang terlalu sensitif, Justin,” ujar Alexis, istrinya yang berada di atas
sofa ruang tamu sambil membaca sebuah buku tebal. Meski umurnya sudah menginjak
40, Alexis tidak memakai kacamata. Matanya memang bagus karena ia sering
memakan sayur. Ia menutup buku tebal yang ia baca itu dan menaruhnya ke atas
meja. Lalu mendongak melihat Justin yang jengkel dengannya. “Aku tahu kau,
Justin. Kau tidak pernah cocok dalam masalah mengurus anak kecil. Mungkin
memang kau cocok mengurus anak remaja, tapi tidak dengan anak kecil. Memakaikan
mereka popok saja butuh setengah jam. Itu bukan tanggung jawabku hari ini,
bukan? Kita sudah buat perjanjian—“
“Blah,
blah, blah. Kau selalu seperti itu. Benar-benar tidak membantu,” ucap Justin
melambaikan tangannya seperti mengusir lalat. Alex tertawa, ia berjalan
mendekati Justin yang masuk menuju ruang keluarga. Aaron sedang mengenakan
celana bagi Juber yang memegang kedua bahunya untuk menahan dirinya agar tidak
jatuh kalau mengangkat satu kaki. “Lihat? Kurasa aku dicurangi oleh kalian
semua yang ada di sini. Mengapa Juber mau dengan ayahnya dan tidak dengan
kakeknya? Padahal aku lebih baik dibanding ayahnya,”
“Dad,
tidak ada yang mencurangimu. Tapi kau memang tidak cocok bersama dengan anak
dibawah lima tahun. Kau memakaikan popok yang seperti celana saja terbalik,
jika aku tidak membantu. Bagaimana mungkin mereka bisa betah bersamamu?” Tukas
Grace yang memegang remote televisi. Ia belum mengganti pakaian kerja. Masih
ada blazer yang terkancing di tubuhnya. “Benar kan Moon?” Tanya Grace menunduk
pada Moon yang sedang menonton televisi bersama dengan saudara kembarnya. Moon
hanya mengangguk-angguk setuju, padahal ia tidak sama sekali mengerti apa yang
dikatakan kakaknya.
“Ya,
ya, ya. Terserah kalian semua. Aku hanya akan berbicara dengan Mozzy saja. Dia
satu-satunya anak yang paling mengerti apa yang kukatakan. Bagaimana, dude?”
Tanya Justin duduk di atas karpet di sebelah Mozzy dan menyikut bahu anak
laki-lakinya. Mozzy hanya mengangguk, padahal ia sama sibuknya dengan Moon.
“Well, kurasa memang tidak ada,” Justin menghela nafas.
“Kau
cocok dengan Jonathan. Dia pendengar yang baik. Bukan begitu, Nathan?” Alexis
duduk di sofa sebelah anak lelaki remajanya yang sudah menginjak umur 12 tahun.
Jonathan hanya mengangguk dan terkekeh. Anak lelaki ini tidak pernah banyak
bicara. Ia anak yang malu-malu namun percaya diri jika ia berada di dekat
perempuan. Bukan untuk menggoda mereka, hanya berteman dan membuat lelucon.
“Aku
hanya ikut kalian semua,” ucap Nathan pasrah. “Aku mau tidur,” Nathan beranjak
dari tempatnya ketika Alex menyentuh rambutnya dan mengelus-elus dengan lembut.
Alex sudah melewati masa-masa seperti ini ketika anak-anak mereka beranjak
remaja, seperti, dua kali? Aaron dan Grace yang sekarang sudah dewasa.
“Selamat
tidur sayang,” ujar Alex dengan suara besar ketika anak remajanya itu menaiki
anak tangga. “Sulit sekali mengurus anak yang satu itu,” desah Alex bersandar
ke sofa. Justin menoleh, melihat istrinya yang masih terlihat seksi itu
mendesah. Tidak pernah ada kata penyesalan setelah menikah dengan Alex. Meski
mereka sering beragumen dan bertengkar, tapi tidak pernah ia mengatakan pada
Alex bahwa ia menyesal telah menikah dengan Alex. Ia seperti hadiah natal yang
tidak akan pernah rusak bagi Justin.
“Tidak
akan sulit mengurusku,” ujar Justin duduk di sebelahnya lalu menarik pinggang
Alex agar lebih dekat dengannya. Justin mencium-cium pipi Alex di depan
anak-anaknya yang memerhatikan mereka berdua dengan tatapan jijik, kecuali
Juber yang mengisap dua jarinya sekarang dan menonton televisi. Alex tertawa
dan mendorong kepala Justin agar menjauh dari pipinya.
“Ew,”
Grace jijik dan mengalihkan pandangannya dari orangtuanya yang mabuk cinta.
“Kau
akan seperti ini Grace jika kau memiliki suami nanti,” ucap Justin menoleh pada
anaknya. “Jika suamimu sama buasnya dengan Dad-mu ini,” lanjut Justin yang
membuat Grace bergidik takut. Tidak mungkin ia memiliki suami yang sama dengan
ayahnya! Bahkan Grace tidak mengerti mengapa ibunya, Alexis, bisa jatuh cinta
pada ayahnya yang cukup gila. Namun Grace sedikit tersinggung dengan ucapan ayahnya
yang menyinggung tentang suami.
Siapa? Kakaknya yang sudah memiliki satu anak itu? Meski sudah 4 tahun
diabaikan sejak kedatangan Alice ke kehidupan keluarganya, ia masih memiliki
rasa itu. Bahkan 2 tahun yang lalu, saat Alice meninggal, ia tetap tidak
memudarkan perasaannya. Faktanya, tiap kali kakaknya bertambah satu tahun,
ketampanannya benar-benar sulit disangkal oleh siapa pun. Umur mereka hanya
berbeda 4 tahun dan tidak ada hubungan darah, jadi apa salahnya ia menyukai
kakaknya?
“Dia
Momku!” Seru Mozzy bangkit dari karpet setelah melihat ayahnya terus
mencium-cium ibunya. Ia tidak suka melihat ayahnya dekat-dekat seperti ini pada
ibunya. Lalu ia berlari menuju Alex lalu melompat naik ke atas dan memeluk
ibunya seerat yang ia bisa. Kepalanya berada di antara buah dada Alex yang
menyembul. Bagaimana mungkin seorang ibu yang memilik banyak anak masih
kelihatan muda seperti Alex? Bedanya, Alex tidak kelihatan seperti ibu-ibu
putus asa yang membutuhkan belaian anak lelaki muda di luar sana. Kebutuhannya
sudah benar-benar terpenuhi dari suami yang berada di sebelahnya sekarang.
“Jangan sentuh dia,” lanjut Mozzy menenggelamkan kepalanya di belahan buah dada
Alex. Justin hanya terkekeh. Biasanya Moon yang lebih cerewet dibanding Mozzy,
tapi sepertinya Mozzy memang tidak senang melihat ibunya direbut oleh ayahnya
sendiri.
“Hei,
Juber! Mengapa kau tidak memakan makananmu tadi dan sekarang malah memakan
jarimu sendiri. Apa maumu sebenarnya?” Tanya Justin menggoda cucu pertamanya
itu. Juber menoleh pada Justin, dua jarinya masih berada di mulutnya, kedua
alisnya terangkat. Aaron tertawa dari belakang, memerhatikan anaknya yang
berinteraksi itu.
“Aku
mau susu,” bisik Juber melepaskan dua jarinya dari mulut, bersamaan dengan air
liurnya yang menetes. Lalu memasukkannya kembali.
“Susu?
Susu dari siapa? Grace atau Peepee?” Tanya Justin yang membuat Alex langsung
memukul lengan Justin dan terkekeh. Sungguh, sialan sekali suaminya yang tampan
ini. Meski begitu, tiap harinya Alex jatuh cinta pada dewa Yunani ini. Dulu
mungkin ia keras dan dingin, tapi dia sudah berbeda. Sekarang ia lebih hangat
terhadap keluarganya meski sedikit keras. Itu hanya berlaku di dalam rumah.
Jika sudah berada di luar rumah, mulutnya seperti diretsleting atau dijahit.
Dan hanya boleh dibuka jika berada di rumah. Seperti kepribadian ganda.
“Mommy,”
bisik Juber kembali. Seketika itu juga semua orang dewasa yang ada di ruangan
itu tubuhnya menegang. Moon masih asyik dengan televisi, Mozzy terbaring di
atas tubuh ibunya. Grace melirik Aaron yang sekarang bibirnya berubah menjadi
garis tipis yang tegang. Justin mengumpat dalam hati! Bukan ini maksud Justin
bertanya seperti itu. Ia hanya ingin menggoda cucunya. Ingatan terhadap Alice
mulai menyeruak masuk ke dalam otaknya dan mengubahnya menjadi proyektor yang
memperlihatkan sebuah film kecelakaan dan melahirkan yang tidak pernah
diinginkan. Lalu pemakaman.
“Well,
bagaimana dengan pekerjaanmu hari ini Aaron?” Tanya Alexis berusaha untuk
mengubah topik pembicaraan. “Apa menyenangkan?”
“Tidak
begitu menyenangkan. Seperti biasa,” ucap Aaron berusaha fokus. Itu dapat
terlihat dari wajahnya yang berusaha untuk tidak mengingat Alice yang meninggal
dan ia tidak berada di sisi Alice ketika istrinya melahirkan. Bajingan! “Tapi
aku bertemu dengan salah satu wanita. Yah, sepantaranku. Dia memiliki rambut
yang menarik. Grace harus bertemu dengan ibunya jika ingin memiliki rambut
secantik dia,”
“Rambut?”
Grace mengangkat kedua alis. “Tidak, terima kasih,”
“Aku
hanya menyarankan saja, mata harimau!” Aaron memutar bola matanya. “Setelah itu
tidak ada yang menarik. Besok aku mau ke kelab. Kau mau ikut, Grace?”
“Tentu.
Jemput aku,”
“Aku
tidak diajak?” Tanya Justin seolah-olah dilupakan dalam percakapan. “Aku ayahmu
yang memiliki kelab itu, kau tahu. Jangan coba-coba,”
“Untuk
apa kami mengajakmu sedangkan kau yang memiliki kelabnya? Kau bisa datang ke
sana sampai kau tolol. Aku akan mengeloni Juber,” tukas Alex mengangkat Mozzy
yang telah tertidur itu dari tubuhnya dan memberikanny pada Justin. Aaron
kembali memutar bola matanya. Ini semua karena ayahnya! Tidak mungkin nama
anaknya berubah menjadi nama konyol seperti itu! Apa-apaan, Juber?
“Kau
tahu aku, Peepee. Aku tidak suka dengan panggilan itu pada anakku,” ujar Aaron
dingin. “Semua ini salah Dad,” Aaron menyalahkan Justin. Justin yang sedang
mengelus punggung Mozess langsung tersinggung.
“Aku?
Itu nama yang bagus, bodoh! Semua orang di sini menyukainya!”
“Yeah,
aku setuju dengan Dad. Juber. Itu nama yang bagus,” celetuk Grace
memanas-manasi keadaan. Aaron hanya memutar bola matanya, mendengus kesal, lalu
ia mengikuti ibunya yang sudah berjalan ke lantai atas bersama dengan Juber.
Juber?
Konyol.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar