Senin, 30 Desember 2013

Touching Fire's Water Bab 1

            Entah apa yang kupikirkan dulu sewaktu aku masih kecil dan mengatakan pada ayahku kalau aku ingin cepat-cepat dewasa. Oh, apa-apaan yang telah kupikirkan? Menjadi dewasa ternyata tidak sama sekali menyenangkan. Bagaimana mungkin kertas-kertas yang ada di hadapanku bisa dikatakan menyenangkan? Aku harus menyusun mereka secara terurut untuk dimasukkan ke dalam map dan harus mengetik dokumen yang lain. Mungkin memang menyenangkan memiliki uang yang banyak. Tapi percayalah dibalik uang yang banyak, terdapat tanggung jawab besar. Dan aku tidak bisa menyalahkan siapa pun untuk bertumbuh menjadi dewasa. Aku hanya harus menjalaninya sebagaimana mestinya. Besok adalah pertemuan terbesarku bersama dengan salah pemilik perusahaan terkenal di Amerika. Menurut informasi yang kuterima, Aaron Staton Bieber adalah anak dari Justin Drew Bieber, pemilik kelab yang memiliki cabang dimana-mana. Termasuk di Las Vegas. Aku pernah mendatangi salah satu kelabnya di Las Vegas sebelum aku pindah ke Atlanta dua tahun yang lalu. Harus kuakui kelabnya memang sangat menyenangkan untuk dikunjungi. Ayah memberitahu padaku kalau mereka semua tinggal di Atlanta. Well, jika aku beruntung besok bertemu dengan anak dari Justin Bieber itu, aku berjanji tidak akan menyesal telah menjadi orang dewasa.
            Menurutku, Justin Bieber sangatlah tampan. Karena ketika aku mendatangi kelabnya di Las Vegas, terdapat salah satu fotonya yang memakai setelan berwarna abu-abu dan sama sekali tidak tersenyum pada kamera. Kupikir ia pria yang keras dan dingin. Dan besok aku akan menemui anaknya yang dapat kupastikan ia tampan seperti ayahnya. Pintu kamarku terketuk, refleks aku langsung menyahut. Ketika terbuka, ibuku muncul dengan senyum di bibirnya. Memang tiap malam ia selalu datang ke kamarku untuk mengikat rambutku dengan cara yang rumit. Hanya dia yang tahu bagaimana membuatnya. Dan aku tidak sama sekali bisa mengikuti apa yang ia perbuat pada rambutku. Aku hanya menyerahkan padanya dan poof berubah menjadi rambut yang benar-benar cantik seperti rambut tuan puteri.
            “Hei, mom,” ucapku menyusun kertas-kertas tanpa memerhatikan ibuku yang sudah menutup pintu. Mungkin besok. Besok di tempat kerja aku akan mengetik untuk dokumen yang lain. Malam ini sudah cukup. Terlebih lagi ibuku sudah datang untuk mengeloniku, seperti biasa. Aku anak tunggal. Ibuku tidak bisa hamil. Atau lebih tepatnya ia tidak mau.
            “Kau akan betemu siapa besok?” Tanya ibuku membuatku menoleh melihatnya yang sudah mengambil beberapa ikat rambut dan sisir dari meja riasku. Raut wajahnya selalu dingin jika ia tidak tersenyum, namun sekali ia tersenyum, ia bagaikan malaikat bagiku. Aku cengengesan tidak jelas tanpa menjawabnya dan menaruh map di meja belajarku. Aku bangkit dari kursi dan merangkak naik ke atas tempat tidur. Ibuku melihatku dengan wajah keheranan. “Pasti tampan,” ujarnya menebak.
            “Yeah, benar sekali,” sahutku. “Aku berharap mereka mau bekerja sama dengan dengan sungguh-sungguh. Mereka salah satu klien terbesar kami,” lanjutku menjelaskan. Aku sudah memunggungi ibuku agar ia cepat-cepat menyentuh rambutku lalu membiarkanku tertidur karena sentuhan jari-jarinya pada kepalaku. Rasanya nyaman ketika seseorang mengelus kepalaku, itu membuatku cepat tidur.
            “Siapa namanya?” Tangan ibuku mulai menyentuh rambutku dan mulai melakukan pekerjaannya.
            “Aaron,” bisikku. “Aaron Bieber. Dia anak dari Justin Bieber. Mom tahu siapa mereka?” Tanyaku tanpa menoleh ke belakang. Ibuku mendesah dan mendecak.
            “Dulu Mom sering sekali datang ke kelab milik si Bieber itu. Tapi sekarang sudah tidak sejak Mom bertemu dengan Dadmu. Baguslah jika mereka mau bekerja sama dengan perusahaanmu,” ucap ibuku merasa bosan seperti biasa. Ada yang aneh dari ibuku. Ia selalu menanyakan siapa yang akan bekerja sama dengan perusahaan yang kutempati namun ia tidak senang mendengar aku menceritakan dengan siapa aku bekerja. “Dad bilang kau ingin pindah ke sebuah kondominium dengan perusahaanmu. Mengapa tiba-tiba kau berpikir seperti itu? Tidakkah kau berpikir Mom akan merindukanmu nanti?”
            Nah, ini dia. “Mom, jangan membuatku mengubah keputusanku yang sudah bulat. Aku sudah membelinya beberapa minggu yang lalu. Tapi aku belum siap karena aku juga tahu, aku akan merindukanmu. Hanya saja, aku harus menjalani kehidupanku sendirian. Sebagai orang dewasa normal lainnya. Rasanya malu kalau aku ingin mengajak teman kantorku untuk datang berkunjung ke rumah yang bukan rumahku. Jadi, tidak apa-apa. Ini akan membuatku lebih mandiri,” jelasku berusaha untuk tidak membuatnya tak dapat membantah lagi. Rasanya tidak tega jika ibuku memohon padaku untuk tidak menuruti permintaannya. Dan untuk kali ini aku tidak ingin memenuhi permintaannya jikalau ia memintaku untuk tidak pindah rumah. Kepalaku maju mundur karena ikatannya yang rumit itu.
            “Kau benar,” desahnya. “Umurmu sudah 24. Kau jelas sudah dewasa. Jika memang itu maumu, apa yang Mom bisa lakukan? Mom hanya ingin kau bahagia. Jangan lupa untuk datang ke rumah jika kau punya kesempatan. Atau Mom yang akan datang ke rumahmu. Jangan bawa pria sembarangan ke dalam rumahmu. Jangan adakan pesta minum-minum. Jangan—“
            “Mom, aku mengerti maksudmu,” tukasku menghentikannya. “Aku punya pilihan untuk melakukan itu. Jika aku masih waras, pasti aku lebih memilih untuk menjauh dari masalah-masalah. Oke?” Tanyaku meyakinkannya. Tangannya sudah melepas rambutku dan aku bisa merasakan rambutku sekarang lebih berat. Ia sudah selesai. Aku berbalik untuk melihat ibu. Meski umurnya sudah menginjak 40an, ia masih terlihat 30 tahun. Ia awet muda. Tidak ada rambut putih di antara rambut-rambut hitamnya. Mataku menatap matanya yang dapat kulihat ia sedih. Ya ampun, bagaimana bisa aku pergi dari rumah jika ibuku saja tidak rela aku pergi dari rumah ini? Tangisannya memecah, ia langsung memelukku.
            “Mom mengerti,” bisiknya mengelus punggungku. “Mom akan sangat merindukanmu,”
            “Mom, aku pergi satu minggu ke depan. Lebih baik Mom menyimpan air mata itu untuk hari aku pindah nanti,” ucapku mendorong tubuh ibuku secara halus. Tangannya menyentuh pipiku, lalu mengelusnya dengan lembut. Ia selalu melakukan ini setiap kali aku akan tertidur. Sungguh, jika aku berada di sisinya aku selalu merasa seperti anak kecil! Bukan orang dewasa. Dan aku tidak seperti anak-anak remaja yang malu karena ibunya memeluk, mencium atau mengelus pipi mereka. Aku senang diperlakukan seperti itu. Tidak ada air mata yang mengalir. Kurasa ia sudah mengelapnya saat berpelukan tadi bersamaku. Namun matanya basah.
            “Baiklah, sekarang waktumu tidur, Anak Muda. Sudah malam dan besok—“
            “Mom, aku tahu! Aku tahu!” Seruku lama-lama kesal karena ibuku sekarang memperlakukanku seperti anak kecil berumur 5 tahun. Oke, mungkin aku memang senang karena ia perhatian, tapi sudah berkali-kali aku memberitahunya untuk tidak menyuruhku tidur. Well, aku memang tidak suka disuruh tidur. Aku tahu kapan waktu yang tepat untuk tidur. Dan waktu untuk tidur adalah saat aku mengantuk.
            “Oke, maafkan Mom. Baiklah, tidurlah dengan damai. Aku mencintaimu,” bisiknya mengecup pipiku lalu merangkak pergi dari tempat tidur. “Selamat malam.” Itulah kata-kata terakhir yang kudengar setelah aku membaringkan tubuhku dan memejamkan mata. Pintu tertutup.


***


            Aku berjalan terburu-buru menuju ruang rapat. Sial! Aku terlambat bangun dan aku yakin pasti Mr.Smith akan memarahiku karena terlambat datang. Sungguh, ini adalah kesan pertama yang pastinya jelek. Bukan apa-apa, tapi bahkan ibuku harus ikut bersamaku naik mobil agar rambutku dapat diikat secantik mungkin. Ikatan-ikatan rambutnya selalu cocok untuk bekerja. Katanya ia memiliki daftar gaya-gaya ikatan rambut apa saja yang cocok untuk bekerja, tidur, jalan-jalan. Yah, seperti kau ingin memakai pakaian yang pas untuk pergi ke tempat yang kautuju. Aku adalah tangan kanan dari Mr.Smith, bukan sekretarisnya. Kulihat Whitney menggeleng-gelengkan kepalanya di depan kantor Mr.Smith padaku dengan raut wajah bodoh-sekali-kau. Tapi aku menganggukkan kepalaku, meminta maaf padanya karena terlambat meski sebenarnya aku tidak perlu meminta maaf padanya. Dia bukan atasanku. Bahkan jabatanku lebih tinggi dibanding dirinya. Mr.Smith bukan pria tua. Dia baru menginjak umur 35 tahun, namun ia memiliki ketampanan yang memikat. Dan aku tahu ia naksir padaku. Kuteguk kopi yang kubeli di jalan tadi sebelum masuk ke ruang rapat.
            Kubuka pintu ruang rapat dan kepalaku yang terlebih dahulu masuk ke dalam. Kulipat bibirku ke dalam merasakan malu yang tertahankan. Kurasa pipiku merah padam karena malu akan kertelambatan ini. Seharusnya tadi malam aku tidak membantah ibuku! Sial. Tas selempang yang kubawa benar-benar berat karena banyak dokumen yang kubawa dari rumah. Beberapa pasang mata menatapku tanpa ada senyum.  Termasuk Mr.Smith yang terduduk di sebelah Mr.Bieber. Mr.Bieber duduk di ujung meja panjang ruang rapat. Ia memerhatikanku dengan seksama, matanya menatapku dengan tatapan tak suka. Kurasa sudah cukup hanya kepalaku saja yang masuk ke dalam. Kulangkahkan kakiku masuk ke dalam dan menutup pintu ruang rapat perlahan-lahan. Kopi yang disuguhkan mereka tampaknya belum mereka sentuh sama sekali. Masih ada asap yang mengepul di atas kopi mereka. Yah, paling tidak aku tidak terlambat setengah jam. Mungkin 5 sampai 10 menit. Aku menimbang-nimbang. Kurasa Mr.Smith memang masih memilik hati untuk menyiapkan tempat duduk untukku di sebelahnya. Saat aku duduk, aku langsung mengeluarkan dokumen yang sudah kubawa. Warna merah. Warna merah. Warna merah. Aku memperingati diriku untuk mengeluarkan map berwarna merah.
            “Kau terlambat. Apa yang kau pikirkan tadi malam?” Tanya Mr.Smith mengomeliku. Aku menyingkar tas selempang yang kubawa ke bawah kursi.
            “Kesan pertama yang tidak sama sekali mengesankan,” ucap seseorang yang memiliki suara berat, dan suaranya benar-benar asing. Tentu saja suaranya asing karena aku belum bertemu dengan tiga orang yang sekarang berhadapan denganku. Dan suara itu bukan berasal dari dua wanita di hadapanku, tentu saja. Tapi Mr.Bieber. Aaron Bieber.
            “Aku sungguh minta maaf atas keterlambatan ini, Mr.Bieber. Kurasa alasan apa pun yang ada pasti tidak akan bisa diindahkan,” ucapku sesopan mungkin. “Jika kau memaafkanku, kita mungkin bisa menjalani presentasi ini,” lanjutku menatap matanya. Oh, hatiku sekarang berada di mulut. Mata harimau itu benar-benar menusukku hingga ke jauh ke dalam hati. Demi Tuhan itu adalah mata terindah, terkejam, dan terdingin yang belum pernah kutemui sebelumnya. Aku menelan ludah untuk bisa mengedip. Kurasa ayahnya –Justin Bieber—mengajarnya untuk bersikap dingin dan tidak tersenyum pada siapa pun. Yeah, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.
            “Baiklah, kesempatan kedua. Jangan buang-buang waktuku,” ucapnya mengizinkan. Sekujur tubuhku lega karena ucapannya itu.
            “Maafkan Kath, Mr.Bieber. Tidak biasanya ia terlambat seperti ini. Pasti ia memiliki alasan yang bagus mengapa ia terlambat dan terima kasih karena kau, dia tidak terancam dipecat,” Omong-omong dia memang tampan namun tidak mirip dengan Mr. Justin Bieber. Dan apa? Aku tidak terancam dipecat? Terima kasih kembali, Mr.Smith karena telah membuatkanmu dokumen yang banyak seperti itu. Terima kasih kembali. Aku memutar bola mataku. Kuberikan dokumen merah itu pada Mr. Smith. Sisanya adalah Mr.Smith. Kurasa ia sudah memegang remote proyektor dan laptop sudah berada di ujung meja yang lain. Yang pastinya bukan di dekat Mr.Bieber. Mr.Smith berdiri dan mulai melakukan presentasinya. Sesekali ia tersenyum dan memberikan lelucon untuk memberikan kesan bersahabat pada Mr.Bieber. Namun saat aku menoleh pada Mr.Bieber, ia tidak sama sekali tersenyum. Justru ia terlihat sangat bosan. Dapat kurasakan ia memerhatikanku dari tadi sepanjang Mr.Smith berusaha untuk membuatnya terkesan. Ia sesekali berdeham dan meminum kopinya. Namun sepertinya Mr.Bieber menyimak apa yang dikatakan Mr.Smith. Mr.Smith telah selesai menyampaikan presentasi proyek kami untuk bekerja sama pada Mr.Bieber dan orang-orang yang berada di ruang rapat bertepuk tangan. Tidak termasuk Mr.Bieber. Ia justru hanya mengelus dagunya dan mengangguk-angguk mengerti.
            “Kurasa kita bisa menanda tangani kontraknya sekarang,” ujar Mr.Bieber dengan suara dingin. Aku langsung mengambil map berwarna kuning yang lain, isi-isi kontrak kerja sama kami dengan Mr.Bieber. Mr.Smith mendekatiku dan duduk di tempatnya kembali lalu membantu memberikan surat kontrak itu. Kejadiannya benar-benar cepat sampai goresan dari bolpoin itu benar-benar membuat hati Mr.Smith tersenyum sumringah. Mereka saling berjabat tangan untuk menghargai pertemanan perusahaan mereka sekarang. “Bisakah aku memiliki waktu berdua bersama dengan nona muda yang cantik ini?” Tanya Mr.Bieber menunjuk padaku dengan tangan terbuka.
            “Tentu saja!” Seru Mr.Smith bahagia karena akhirnya aku berguna. Terima kasih, aku berpikir sarkastik. “Kemari,” ajak Mr.Smith membawa dokumen yang sudah ditanda tangani oleh Mr.Bieber dan mengajak rekan kerja Mr.Bieber untuk keluar bersamanya. Ketika pintu tertutup, ruangan menjadi sangat hening. Ia menatapku yang menunduk, aku tahu ia sedang menatapku pasti. Ini benar-benar memalukan. Apa yang akan kami bicarakan? Aku mendongak. Matanya lagi. Sialan, benarkah ia memiliki mata seperti warna mata harimau? Sungguh, aku seperti akan diterkam olehnya dengan seduktif. Bukan hanya karena matanya yang mengintimidasiku, tapi bibirnya pun begitu. Mungkin seluruh tubuhnya. Tidak, titdak, tidak, aku tidak boleh menyukai klienku sendiri. Ia tidak mengatakan apa pun, jari telunjuknya mengetuk-ngetuk meja rapat. Tatapan matanya benar-benar membuatku takut berbicara.
            “Terima kasih sudah mau bekerja sama dengan perusahaan ini,” ucapku dengan berani. “Dan terima kasih telah menyelamatkanku dari ancaman dipecat,” aku kali ini memberikan senyum ramah. Tidak ada balasan senyum. Apa benar ia sedingin itu?
            “Sama-sama,” bisiknya. “Aku tahu ia akan memecatmu jika aku tidak jadi bekerja sama dengan kalian hanya karena kecerobohanmu terlambat datang ke kantor. Itu akan membuatku merasa seperti manusia hina,” ucapnya kali ini tidak menatap mataku. Tapi kepalaku. “Ikatan rambut yang menarik. Biasa membuat rambut seperti itu?” Tanyanya tertarik. Jadi, dia hanya ingin membicarakan tentang ikatan rambut denganku? Pemilihan tempat yang bagus, Mr.Bieber! Rambutku dikepang menempel dengan kepalaku namun disusun miring sehingga leher jenjangku kelihatan telanjang.
            “Mom yang membuatkannya untukku. Kau punya anak perempuan? Jika ya, kau bisa membawanya pada Momku. Ia pasti akan menyukainya. Siapa nama anak perempuanmu?” Tanyaku dengan ocehan tak jelas. Aku seperti ini jika aku gugup, berusaha untuk terlihat santai saja. Namun aku bukan orang yang pintar menyimpan perasaan dari ekspresi wajahku. Aku ekspresif! Aku tak bisa menahan senyumku ketika kulihat salah satu ujung bibirnya terangkat ke atas. Tahu benar sekarang dia berusaha untuk menahan senyumnya, atau tawanya. Ia kelihatan sombong, kau tahu. Bernafas, bernafas, bernafas. Aku mengingatkan pada diriku.
            “Aku tidak memiliki anak perempuan. Anakku laki-laki,” ucapnya membuatku malu setengah mati. Kuberikan ia tatapan minta maaf.
            “Kalau begitu istrimu,” bisikku. Saat aku mengucapkan kata ‘istri’, kulihat rahangnya menegang dan ia menegakkan cara duduknya. Raut wajahnya langsung berubah menjadi dingin kembali dan marah. Oh, kenapa? Saat matanya bertemu dengan mataku kembali, aku bisa melihat ia sedih. Sekarang matanya tidak seganas tapi, lebih tepatnya matanya terlihat gelap namun penuh kesedihan. Sesuatu menghantam kepalaku, membuatku tersadar akan sesuatu. Istrinya pasti meninggal. “Maafkan aku. Aku tidak tahu,” bisikku.
            “Tidak apa-apa. Bukan salahmu,” ucapnya dengan suara yang kali ini lebih hangat. “Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” Tanyanya menyimak wajahku dengan seksama. Kugelengkan kepalaku secepat mungkin.
            “Tidak, aku tidak pernah bertemu. Tapi aku pernah datang ke kelab ayahmu di Las Vegas. Sangat keren. Apa di Atlanta ada yang dekat dari perusahaan ini?” Tanyaku penasaran.
            “Yeah, ini kartu namaku. Nah, di sana terdapat alamat kelab ayahku. Aku biasa ada di sana,” ucapnya memberitahu. Apa itu penting bagiku? Maksudku, apa itu penting jika dia berada di sana bagiku? Tidak. Aku malah sekarang tidak menyukainya. Bukan wajahnya yang tidak kusukai, tapi sikapnya yang sok menjadi penguasa itu membuatku ingin membanting gelas kopinya ke kepalanya. Ia mengeluarkan kartu namanya dan melemparkannya ke atas meja depanku. Aku meraihnya. Aaron Bieber.
            “Pasti aku akan datang ke sana,” ucapku sebisa mungkin terdengar meyakinkan. Ia berdiri begitu saja, membuatku ikut berdiri. “Terima kasih sudah datang dan bekerja sama dengan kami, sekali lagi,” ucapku memberikan tangan untuk berjabat tangan. Ia meraihnya.
            “Siapa lagi namamu?” Tanyanya tidak melepaskan tanganku.
            “Kath Bloodworth,” balasku.
            “Tentu saja, Ms.Bloodworth.” Kali ini ia tersenyum. Senyum seduktif yang membuat jantungku mau tak mau berdetak dua kali lebih cepat. “Aku menyukai ikatan rambutmu.” Pujinya membuatku tersipu malu. Dasar iblis penggoda!


***


AUTHOR

            Aaron pulang sendirian menyetir mobilnya. Biasanya ia menjemput adiknya dari kantor ayahnya yang lain. Yeah, beginilah jika seorang ayah memiliki perusahaan yang banyak. Ia bisa membagikan satu per satu perusahaannya pada tiap anaknya. Grace, ia sekarang sudah besar. Umurnya belum bisa dikatakan cukup untuk memegang sebuah perusahaan, namun tidak ada yang bisa menghentikan seorang Justin Bieber bukan? Pria kaya yang memiliki keluarga sempurna itu tampaknya bisa dikatakan pria terberuntung di dunia. Bukan hanya menjadi pria tampan dan kaya, ia juga memiliki istri cantik yang benar-benar menyayangi. Orang-orang di luar sana masih berusaha untuk merebut istrinya. Dan Aaron-lah yang akan menjadi orang pertama meninju pria yang berusaha merebut ibunya dari ayahnya, Justin. Dan Aaron juga akan menjadi orang pertama yang akan melihat pria yang berusaha untuk mendapatkan adiknya, Grace. Ia termasuk pria protektif tingkat tinggi terhadap angora-anggota keluarganya. Mungkin tidak pada anggota keluarganya yang berjenis kelamin laki-laki. Terlebih lagi pada Jonathan. Ia mengajar Jonathan untuk menjadi pria jantan yang tidak bersembunyi di balik punggung ayah atau ibunya. Sekarang sepertinya Aaron yang menjadi panutan keluarga. Posisi Justin sepertinya tersingkirkan jika Aaron terus menerus mengambil pekerjaannya menjadi pemimpin keluarga.
            Pria itu turun dari mobil dan melempar kunci mobilnya pada sopir yang sudah berada di depan rumahnya agar mobil Aaron dibawa masuk ke dalam garasi. Aaron berjalan bagaikan dewa Yunani yang sedang memamerkan tubuhnya yang atletis. Pintu terbuka, suara berisik dan teriakan-teriakan dari adik-adiknya mulai terdengar. Atau lebih tepatnya, si kembar yang sudah berumur 5 tahun. Mereka tinggi sekarang dan lebih banyak kosa kata yang mereka kuasai. Tapi dengan bertumbuhnya mereka, Aaron semakin bisa dekat dengan mereka. Tapi dari mereka semua, anak pertamanya yang selalu menjadi orang pertama yang berada di atas daftar untuk dilindungi. Justin kecil. Aaron sekarang memiliki panggilan untuk anaknya yang masih berumur 3 tahun itu. Juber. Panggilan itu sungguh konyol karena Justin kecil hanya bisa menggumamkan nama pertamanya, sedangkan kata Bieber, sulit ia katakan. Tentu saja, dan sudah berkali-kali Justin—kakeknya—mengajarkan Justin kecil untuk menyebutkan nama ‘Bieber’, namun tetap saja anak kecil itu tidak bisa menyebutkannya. Dan ayah Aaron-lah yang mencetuskan nama panggilan itu untuk Justin kecil, Juber. Yah, Aaron adalah anak dari Justin. Dan Justin kecil adalah anak dari Aaron. Sulit untuk membedakannya.
            “Daddy!” Teriak Justin kecil berlari dengan tubuh telanjang. Hanya popok yang ia pakai untuk menutupi bokongnya yang montok itu.
            “Demi Tuhan aku tidak pernah berhasil memakaikan celana dalam untuk anakmu, Aaron! Aku menyerah!” Teriak Justin frustrasi datang menyusul dari belakang dengan raut wajah lengah. Aaron hanya tertawa melihat ayahnya yang sulit memakaikan celana dalam untuk anaknya, Juber kecil. “Juber! Turun dari Daddy-mu sekarang, dan pakai celana dalammu ini. Aku sudah tidak kuat lagi berlari-lari denganmu, kau tahu,” marah Justin dengan nada yang kesal. Juber hanya melihat Justin dari gendongan Aaron sambil mengisap jari telunjuknya lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tertawa melihat kakeknya yang kelihatan menghibur. Aaron berjalan menuju ayahnya lalu merampas celana dalam anaknya.
            “Kurasa dia memang tidak suka denganmu, Dad. Dia tidak suka dipanggil Juber. Begitupun aku. Itu panggilan terkonyol. Hanya kau di sini yang memanggilnya Juber,” komentar Aaron melewati ayahnya yang terengah-engah di ruang tamu.
            “Kau tidak tahu betapa Juber menyukai nama itu. Salahmu menamainya Justin. Jika ibumu memanggil Justin, aku dan dia akan menengok. Kadang-kadang aku ingin sekali mengurung anakmu di dalam kamar mandi agar… sudahlah! Tidak penting dibicarakan. Kau bukan partner yang cocok untuk diajak bicara,”
            “Mungkin kau yang terlalu sensitif, Justin,” ujar Alexis, istrinya yang berada di atas sofa ruang tamu sambil membaca sebuah buku tebal. Meski umurnya sudah menginjak 40, Alexis tidak memakai kacamata. Matanya memang bagus karena ia sering memakan sayur. Ia menutup buku tebal yang ia baca itu dan menaruhnya ke atas meja. Lalu mendongak melihat Justin yang jengkel dengannya. “Aku tahu kau, Justin. Kau tidak pernah cocok dalam masalah mengurus anak kecil. Mungkin memang kau cocok mengurus anak remaja, tapi tidak dengan anak kecil. Memakaikan mereka popok saja butuh setengah jam. Itu bukan tanggung jawabku hari ini, bukan? Kita sudah buat perjanjian—“
            “Blah, blah, blah. Kau selalu seperti itu. Benar-benar tidak membantu,” ucap Justin melambaikan tangannya seperti mengusir lalat. Alex tertawa, ia berjalan mendekati Justin yang masuk menuju ruang keluarga. Aaron sedang mengenakan celana bagi Juber yang memegang kedua bahunya untuk menahan dirinya agar tidak jatuh kalau mengangkat satu kaki. “Lihat? Kurasa aku dicurangi oleh kalian semua yang ada di sini. Mengapa Juber mau dengan ayahnya dan tidak dengan kakeknya? Padahal aku lebih baik dibanding ayahnya,”
            “Dad, tidak ada yang mencurangimu. Tapi kau memang tidak cocok bersama dengan anak dibawah lima tahun. Kau memakaikan popok yang seperti celana saja terbalik, jika aku tidak membantu. Bagaimana mungkin mereka bisa betah bersamamu?” Tukas Grace yang memegang remote televisi. Ia belum mengganti pakaian kerja. Masih ada blazer yang terkancing di tubuhnya. “Benar kan Moon?” Tanya Grace menunduk pada Moon yang sedang menonton televisi bersama dengan saudara kembarnya. Moon hanya mengangguk-angguk setuju, padahal ia tidak sama sekali mengerti apa yang dikatakan kakaknya.
            “Ya, ya, ya. Terserah kalian semua. Aku hanya akan berbicara dengan Mozzy saja. Dia satu-satunya anak yang paling mengerti apa yang kukatakan. Bagaimana, dude?” Tanya Justin duduk di atas karpet di sebelah Mozzy dan menyikut bahu anak laki-lakinya. Mozzy hanya mengangguk, padahal ia sama sibuknya dengan Moon. “Well, kurasa memang tidak ada,” Justin menghela nafas.
            “Kau cocok dengan Jonathan. Dia pendengar yang baik. Bukan begitu, Nathan?” Alexis duduk di sofa sebelah anak lelaki remajanya yang sudah menginjak umur 12 tahun. Jonathan hanya mengangguk dan terkekeh. Anak lelaki ini tidak pernah banyak bicara. Ia anak yang malu-malu namun percaya diri jika ia berada di dekat perempuan. Bukan untuk menggoda mereka, hanya berteman dan membuat lelucon.
            “Aku hanya ikut kalian semua,” ucap Nathan pasrah. “Aku mau tidur,” Nathan beranjak dari tempatnya ketika Alex menyentuh rambutnya dan mengelus-elus dengan lembut. Alex sudah melewati masa-masa seperti ini ketika anak-anak mereka beranjak remaja, seperti, dua kali? Aaron dan Grace yang sekarang sudah dewasa.
            “Selamat tidur sayang,” ujar Alex dengan suara besar ketika anak remajanya itu menaiki anak tangga. “Sulit sekali mengurus anak yang satu itu,” desah Alex bersandar ke sofa. Justin menoleh, melihat istrinya yang masih terlihat seksi itu mendesah. Tidak pernah ada kata penyesalan setelah menikah dengan Alex. Meski mereka sering beragumen dan bertengkar, tapi tidak pernah ia mengatakan pada Alex bahwa ia menyesal telah menikah dengan Alex. Ia seperti hadiah natal yang tidak akan pernah rusak bagi Justin.
            “Tidak akan sulit mengurusku,” ujar Justin duduk di sebelahnya lalu menarik pinggang Alex agar lebih dekat dengannya. Justin mencium-cium pipi Alex di depan anak-anaknya yang memerhatikan mereka berdua dengan tatapan jijik, kecuali Juber yang mengisap dua jarinya sekarang dan menonton televisi. Alex tertawa dan mendorong kepala Justin agar menjauh dari pipinya.
            “Ew,” Grace jijik dan mengalihkan pandangannya dari orangtuanya yang mabuk cinta.
            “Kau akan seperti ini Grace jika kau memiliki suami nanti,” ucap Justin menoleh pada anaknya. “Jika suamimu sama buasnya dengan Dad-mu ini,” lanjut Justin yang membuat Grace bergidik takut. Tidak mungkin ia memiliki suami yang sama dengan ayahnya! Bahkan Grace tidak mengerti mengapa ibunya, Alexis, bisa jatuh cinta pada ayahnya yang cukup gila. Namun Grace sedikit tersinggung dengan ucapan ayahnya yang menyinggung tentang suami. Siapa? Kakaknya yang sudah memiliki satu anak itu? Meski sudah 4 tahun diabaikan sejak kedatangan Alice ke kehidupan keluarganya, ia masih memiliki rasa itu. Bahkan 2 tahun yang lalu, saat Alice meninggal, ia tetap tidak memudarkan perasaannya. Faktanya, tiap kali kakaknya bertambah satu tahun, ketampanannya benar-benar sulit disangkal oleh siapa pun. Umur mereka hanya berbeda 4 tahun dan tidak ada hubungan darah, jadi apa salahnya ia menyukai kakaknya?
            “Dia Momku!” Seru Mozzy bangkit dari karpet setelah melihat ayahnya terus mencium-cium ibunya. Ia tidak suka melihat ayahnya dekat-dekat seperti ini pada ibunya. Lalu ia berlari menuju Alex lalu melompat naik ke atas dan memeluk ibunya seerat yang ia bisa. Kepalanya berada di antara buah dada Alex yang menyembul. Bagaimana mungkin seorang ibu yang memilik banyak anak masih kelihatan muda seperti Alex? Bedanya, Alex tidak kelihatan seperti ibu-ibu putus asa yang membutuhkan belaian anak lelaki muda di luar sana. Kebutuhannya sudah benar-benar terpenuhi dari suami yang berada di sebelahnya sekarang. “Jangan sentuh dia,” lanjut Mozzy menenggelamkan kepalanya di belahan buah dada Alex. Justin hanya terkekeh. Biasanya Moon yang lebih cerewet dibanding Mozzy, tapi sepertinya Mozzy memang tidak senang melihat ibunya direbut oleh ayahnya sendiri.
            “Hei, Juber! Mengapa kau tidak memakan makananmu tadi dan sekarang malah memakan jarimu sendiri. Apa maumu sebenarnya?” Tanya Justin menggoda cucu pertamanya itu. Juber menoleh pada Justin, dua jarinya masih berada di mulutnya, kedua alisnya terangkat. Aaron tertawa dari belakang, memerhatikan anaknya yang berinteraksi itu.
            “Aku mau susu,” bisik Juber melepaskan dua jarinya dari mulut, bersamaan dengan air liurnya yang menetes. Lalu memasukkannya kembali.
            “Susu? Susu dari siapa? Grace atau Peepee?” Tanya Justin yang membuat Alex langsung memukul lengan Justin dan terkekeh. Sungguh, sialan sekali suaminya yang tampan ini. Meski begitu, tiap harinya Alex jatuh cinta pada dewa Yunani ini. Dulu mungkin ia keras dan dingin, tapi dia sudah berbeda. Sekarang ia lebih hangat terhadap keluarganya meski sedikit keras. Itu hanya berlaku di dalam rumah. Jika sudah berada di luar rumah, mulutnya seperti diretsleting atau dijahit. Dan hanya boleh dibuka jika berada di rumah. Seperti kepribadian ganda.
            “Mommy,” bisik Juber kembali. Seketika itu juga semua orang dewasa yang ada di ruangan itu tubuhnya menegang. Moon masih asyik dengan televisi, Mozzy terbaring di atas tubuh ibunya. Grace melirik Aaron yang sekarang bibirnya berubah menjadi garis tipis yang tegang. Justin mengumpat dalam hati! Bukan ini maksud Justin bertanya seperti itu. Ia hanya ingin menggoda cucunya. Ingatan terhadap Alice mulai menyeruak masuk ke dalam otaknya dan mengubahnya menjadi proyektor yang memperlihatkan sebuah film kecelakaan dan melahirkan yang tidak pernah diinginkan. Lalu pemakaman.
            “Well, bagaimana dengan pekerjaanmu hari ini Aaron?” Tanya Alexis berusaha untuk mengubah topik pembicaraan. “Apa menyenangkan?”
            “Tidak begitu menyenangkan. Seperti biasa,” ucap Aaron berusaha fokus. Itu dapat terlihat dari wajahnya yang berusaha untuk tidak mengingat Alice yang meninggal dan ia tidak berada di sisi Alice ketika istrinya melahirkan. Bajingan! “Tapi aku bertemu dengan salah satu wanita. Yah, sepantaranku. Dia memiliki rambut yang menarik. Grace harus bertemu dengan ibunya jika ingin memiliki rambut secantik dia,”
            “Rambut?” Grace mengangkat kedua alis. “Tidak, terima kasih,”
            “Aku hanya menyarankan saja, mata harimau!” Aaron memutar bola matanya. “Setelah itu tidak ada yang menarik. Besok aku mau ke kelab. Kau mau ikut, Grace?”
            “Tentu. Jemput aku,”
            “Aku tidak diajak?” Tanya Justin seolah-olah dilupakan dalam percakapan. “Aku ayahmu yang memiliki kelab itu, kau tahu. Jangan coba-coba,”
            “Untuk apa kami mengajakmu sedangkan kau yang memiliki kelabnya? Kau bisa datang ke sana sampai kau tolol. Aku akan mengeloni Juber,” tukas Alex mengangkat Mozzy yang telah tertidur itu dari tubuhnya dan memberikanny pada Justin. Aaron kembali memutar bola matanya. Ini semua karena ayahnya! Tidak mungkin nama anaknya berubah menjadi nama konyol seperti itu! Apa-apaan, Juber?
            “Kau tahu aku, Peepee. Aku tidak suka dengan panggilan itu pada anakku,” ujar Aaron dingin. “Semua ini salah Dad,” Aaron menyalahkan Justin. Justin yang sedang mengelus punggung Mozess langsung tersinggung.
            “Aku? Itu nama yang bagus, bodoh! Semua orang di sini menyukainya!”
            “Yeah, aku setuju dengan Dad. Juber. Itu nama yang bagus,” celetuk Grace memanas-manasi keadaan. Aaron hanya memutar bola matanya, mendengus kesal, lalu ia mengikuti ibunya yang sudah berjalan ke lantai atas bersama dengan Juber.
            Juber? Konyol.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar