Senin, 30 Desember 2013

Touching Fire's Water Bab 2

***


            “Kita sangat tua,” gumam Justin memandikan Juber di dalam bak mandi yang besar untuk ukuran tubuh Juber yang kecil itu. Alexis yang berada di sebelahnya terkekeh mendengar gumaman suaminya. Bukankah mereka berdua sudah sadar bahwa mereka sudah tidak muda lagi? Mereka sudah 4 tahun memiliki seorang cucu pertama. Tapi sebenarnya, Justin tidak setua yang ia pikirkan. Bahkan Justin tidak kelihatan seperti kakek-kakek tua. Tentu saja, mereka tidak memiliki rambut putih di sekitar kepala. Efek rambut putih biasanya dikarenakan banyak pikiran. Tapi tampaknya mereka tidak begitu banyak pikiran, padahal mereka memiliki banyak anak yang harus mereka urus. Terlebih lagi Jonathan yang sebentar lagi akan mendapatkan seks edukasi. Justin tidak ingin anaknya berubah menjadi pria brengsek sebelum berumur 18 tahun. Seperti pertama kali Aaron yang meluncur masuk ke dalam kelab Justin di umurnya yang ke 18 tahun lalu mulai menari-nari di atas lantai dansa. Dan sejak saat itu Justin merasa dirinya sangat tua. Dan 6 tahun sudah berlalu, itu membuat Justin merasa seperti kakek-kakek berumur 80 tahun. Padahal ia belum pantas dipanggil kakek-kakek!
            “Semua orang akan tua, Justin,” ucap Alex mengelus rambut suaminya dengan lembut. Ia terjongkok di hadapan suaminya yang dari tadi mengelus-elus perut Juber yang sekarang licin dan penuh buas. Juber hanya memegang mainan bebek kuning yang dapat dibunyikan, kesukaannya sejak dulu. “Apa menurutmu Aaron masih menyukai Grace?”
            Tubuh Justin langsung membeku. “Tidak mungkin,” bisiknya. “Apa menurutmu nama Juber memang jelek sekali?” Justin mengubah topik pembicaraan. Istrinya selalu mempertanyakan tentang Aaron yang menyukai Grace. Padahal semua itu sekarang kebalikannya. Grace yang menyukai Aaron dan itu patut dipertanyakan serta dipermasalahkan. Putrinya itu tidak seharusnya jatuh cinta pada kakaknya sendiri, seperti Aaron dulu. Alexis mengangkat kedua bahunya, acuh.
            “Aku sudah memikirkan nama panggilannya, sebenarnya,” ucap Alex. “Justin. Justin Junior. Mengapa tidak berubah menjadi Juju? Lebih mudah diucapkan dan tidak perlu mengucapkan huruf ‘R’ di sana,” jelas Alex mengguyur tubuh Juber dengan telapak tangannya yang menangkup sedikit air.
            “Yeah, aku rasa Aaron benar-benar membenci nama itu sampai mendarah daging. Bukannya apa-apa, tapi nama Juber sungguh lucu untuk disebutkan. Anak ini terlihat sangat lucu jika namanya Juber. Bagaimana kabarmu di sana, dude?” Tanya Justin mengangguk pada Juber. Juber yang sedang mengerucutkan bibirnya pada bebek itu langsung mendongak pada Justin lalu menggelengkan kepalanya. Padahal Juber tidak mengerti sama sekali apa yang Justin katakan tadi. Alex langsung menyiprat Justin dengan air ke wajahnya yang membuat Justin langsung jatuh ke lantai yang tidak basah itu. Justin mengeluarkan tawa paksa, “Lucu.” Katanya sarkastis.
            “Kau. Kau yang bermasalah di keluarga ini, kau tahu. Kau memperlakukan anakmu seperti temanmu sendiri. Maksudku, bagus kau akrab dengan mereka. Tapi tidak dengan cara memanggil mereka ‘dude’ atau ‘buddy’. Yang lebih parah kau memanggil Juju sesekali dengan ‘jackass’. Panggilan sopan macam itu? Kau seharusnya sadar dia seorang anak kecil dan mudah mengikuti apa yang kaulakukan. Aaron tidak begitu memiliki waktu untuknya, jadi dia bergantung pada kita, Justin. Kau harus merubah sikapmu,” jelas Alex mengomeli suaminya. Justin tidak membalas ucapan istrinya itu. Justru ia semakin jatuh cinta pada Alex. Matanya memerhatikan bibir ranum itu dengan sunggingan senyum kecil. Lalu jatuh pada mata istri cantiknya, kali ini senyumnya lebih sumringah.
            “Kau memang selalu cantik jika marah seperti itu,” Justin mendekatkan wajahnya pada Alex.
            “Apa itu ‘cantik’?” Tanya Juber duduk di bak dan tubuhnya tertutup dengan air sampai bahu, membuat Justin mengumpat dalam hati karena ia gagal berciuman dengan istrinya hanya karena bocah kecil kesayangannya. Jari-jari mungil Juber menggaruk-garuk lehernya yang terasa gatal lalu menyelamkan kembali tangannya ke dalam air hangat.
            “Kau yang mengatakan, jadi kau yang menjelaskan,” ucap Alex tersenyum licik.
            “Cantik itu Peepee. Nenekmu,” jelas Justin menunjuk Alex. Juber tersenyum dan memanggut-manggut mengerti apa yang dikatakan kakeknya itu.Cantik itu Peepee. Alex hanya diam saja dengan apa yang dikatakan Justin. Tangannya sekarang sudah sibuk membersihkan rambut cucunya dengan sampoo.
            “Kenapa namaku Juber? Daddy memanggilku Justin,” bisik Juber menunduk, melihat tangannya yang berada di dalam air yang sudah berubah warna menjadi warna susu.
            “Karena nama kita sama, jackass!” Seru Justin. “Kau memang mau dipanggil apa?” Tanya Justin buru-buru sebelum Alex memukul kepalanya dengan botol sampoo. Ia tidak ingin mengambil resiko kepala berdenyut-denyut setelah keluar dari kamar mandi.
            “Bluebird. Daddy bilang itu panggilan yang bagus,” ucap Juber dengan polos. Ia menengadahkan kepalanya ke belakang ketika Alex mulai menyiram kepalanya yang penuh dengan busa sampoo.  “Aku lapar, Peepee,” tukas Juber ketika ia melihat neneknya yang ada di atas kepalanya.
            Justin mendengus kesal. “Sangat licik. Aku tidak memiliki nama panggilan. Sedangkan kau dan Aaron dipanggil Peepee oleh Juber dan si kembar. Grace pun begitu, ia juga punya nama panggilan dari Aaron. Mata harimau. Apa-apaan!” Seru Justin mengubah kata kotornya dengan kata lain yang lebih sopan. “Hentikan!” Justin mengelas wajahnya yang diciprat oleh Alex. Entah mengapa jika Alex mengganggunya atau menggodanya, Justin sedikit jengkel. Namun disaat yang bersamaan, ia bisa jatuh cinta lebih dalam lagi. Bahkan sekarang ia merasa dirinya sudah tersesat dalam kegelapan dan hanya bergantung pada satu cahayanya, Alexis. Entah Justin akan menjadi apa jika Alexis tidak ada di sisinya selama 20 tahun lebih. Alex menciprat wajah Justin lagi ketika Justin terus menerus memerhatikan Alex secara tak wajar.
            “Kau kenapa, Mr. 50 tahun?” tanya Alex. “Nah, itu cocok untukmu,” gumam Alex mengangkat Juber untuk keluar dari bak mandi. Justin langsung bangkit dan mengambil handuk, ia mengeringkan Juber. Justin tidak merespon istrinya. Apa pun yang menjadi panggilan untuk Justin, jika itu keluar dari mulut Alex, dia setuju-setuju saja. Justin menatap mata Juber yang sedang menatapi tato di bagian dada Justin yang telanjang. Yeah, dari tadi Justin hanya memakai boxer berwarna hitam dan belum mandi. Namun otot-ototnya tidak mengendur sekalipun. Sepertinya Justin memang dewa yang tidak akan pernah menua. Mata hitam mengingatkan Justin pada Alice saat sedang di perjalanan menuju rumah sakit. Sungguh, ia tidak akan pernah melupakan kejadian itu. Bahkan ketika Alice mengembus nafas terakhirnya, Justin berjanji pada Alice untuk mencari ibu yang baik untuk Juber. Justin tidak akan pernah berhenti mengejar-ngejar Juber hanya untuk memakai celana dalam atau popok demi Alice yang sudah ada di surga dan tidak dapat menggantikan Juber popok dan celana dalam. Bukan hanya karena masih ada rasa bersalah yang membekas di hatinya, tetapi ini merupakan tanggung jawab besar. Mungkin Justin memang harus mencari ibu yang cocok untuk Juber dan istri yang pas untuk Aaron. Alex tidak akan ada di dunia selamanya, begitupun dengan Justin. 20 tahun ke depan, umur mereka sudah menginjak 70 dan 60 tahun. Bagaimana bisa mereka bisa bertahan dan melihat cicit mereka? Dunia ini semakin kejam tiap harinya. Mungkin harus cepat-cepat ke kelab, pikir Justin.
            “Justin, kau baik-baik saja?” Tanya Alex yang membuyar lamunan Justin.
            “Aku bertemu denganmu di kelabku,” bisik Justin. “Aaron juga begitu. Apa kali ini Aaron akan bertemu dengan jodohnya lagi di kelab?” Tanya Justin yang wajahnya sekarang dipukul-pukul oleh tangan Juber yang mungil itu. Menurut Juber itu adalah hiburan yang langka.
            “Mungkin. Kita bisa mencarikan istri untuk Aaron.”


***


            Saat akhir pekkan, Aaron tidak begitu senang dengan gagasan perjodohan dari orangtuanya. Ia kesal, marah, dan rasanya ingin memukul seseorang. Namun ia tahan sebisa mungkin sebelum ia membuat masalah di kelab ayahnya. Grace hanya membisu sepanjang perjalanan untuk tidak menyinggung tentang perjodohan kakaknya dengan orang lain. Tentu saja ia tidak akan mendukung ide idiot itu! Ia jatuh cinta pada kakaknya dan rasanya akna sangat janggal jika ia melihat kakaknya berciuman dengan orang lain! Aaron turun dari mobil dan meninggalkan Grace yang masih berada di dalam mobil. Kakaknya selalu seperti itu jika sedang marah, membanting pintu lalu akan terdiam selama yang kakaknya bisa. Bahkan ia bisa menolak wanita-wanita di kelabnya nanti jika ia sedang marah. Biasanya ia tergoda, hanya untuk bermain-main. Grace benar-benar mengerti apa yang sedang dilalui oleh kakaknya. Ia masih trauma dengan kisah cintanya bersama dengan Alice yang berakhir tragis dan meninggalkan satu anak balita. Bagaimana tidak? Aaron harus melewati dua tahun yang sulit untuk mengurus anaknya. Dan Grace juga ikut terpuruk karena ia harus mengerti keadaan kakaknya yang tidak bisa jatuh cinta lagi padanya. Itu membuat tiap langkahan Grace menuju kelab terasa begitu menyakitkan jika mengingatnya.
            Penjaga pintu masuk tidak perlu meminta kartu tanda pengenal Grace, mereka tahu bahwa Grace adalah anak atasan mereka. Bahkan Jonathan juga bisa masuk jika Jonathan mau. Hanya saja, Justin melarangnya karena belum cukup umur. Tunggu sampai dia berumur 18 tahun maka semuanya akan legal baginya –meski seharusnya 21 tahun. Ketika masuk, suara musik mulai menyeruak masuk ke dalam telinga Grace. Di lantai dansa sudah banyak orang yang menggeliatkan tubuhnya seperti cacing. Grace berjalan menuju ruang VIP yang selalu menjadi tempat kesukaan kakaknya. Ketika ia melihat Aaron yang sudah memegang segelas minuman berwarna kuning keemasan di tangannya, ia langsung mengambil gelas itu dari tangan Aaron.
            “Hei! Aku kakakmu, sopanlah sedikit,” tegur Aaron tidak suka. Suasana hatinya benar-benar jelek sekarang. Adiknya memang sangat cantik, mungkin jika Aaron mabuk malam ini, ia dan adiknya bisa berakhir di atas ranjang. Meski skenario itu terus berada di pikiran Aaron ketika ia sedang bersenang-senang dengan Grace, itu tidak pernah terjadi. Tidak pernah. Tetapi Grace mangabaikan teguran kakaknya. Ia pernah ditegur lebih parah dibanding itu, jadi tidak ada masalah.
            “Menurutku, ide Mom dan Dad benar-benar konyol. Maksudku, kau tahu kan kalau kau bisa mencari pasangan hidup seorang diri?” Tanya Grace membuka pembicaraan. Aaron sedang tidak ingin membicarakan masalah itu sekarang, namun ternyata adiknya lebih tertarik dibanding dirinya yang akan dijodohkan. Lagi pula, siapa yang mau dijodohkan? Ya, Aaron mau jika Aaron dijodohkan oleh seorang gadis sesosok Alice. Aaron hanya mengangguk.
            “Diamlah, kau tidak tahu apa yang kaubicarakan,” tukas Aaron sebelum Grace membuka mulutnya. Grace terkadang kesal dengan kakaknya yang selalu menganggap Grace seperti anak kecil umur 5 tahun yang tidak mengerti apa-apa. Tetapi, memang ada anak umur 5 tahun yang meminum minuman keras seperti ini? Jawabannya sudah ada dipikiranmu sekarang. Grace menuangkan minuman keras itu ke gelasnya yang kecil.
            “Aku hanya tidak ingin kau mabuk saat perjalanan dan kita terpaksa pulang oleh salah satu petugas di sini. Mata mereka jelajatan, bodoh,”
            “Siapa suruh kau selalu memakai pakaian pendek seperti itu. Peepee tidak pernah memakai pakaian di bawah bokong sepertimu. Justru itu alasan pertama mereka bisa bersama sekarang,” jelas Aaron bersyukur karena pada akhirnya ia keluar dari topik pembicaraan tentang perjodohan itu. Namun hatinya sakit kembali saat mengingat ternyata ibunya juga dulu adalah pelayan di kelab ini. Begitu juga dengan Alice. Sungguh, hari ini adalah hari terburuk kedua setelah menemukan Alice di dalam kaca peti mati yang menguap. Aaron akhirnya melirik Grace yang memegang gelas di depan mulutnya tanpa ada niatan untuk meminumnya. Aaron rasa ia sudah kelewat batas berbicara seperti itu. “Maaf, aku tidak bermaksud,”
            “Ya, kau tentu saja yakin dengan apa yang kauucapkan kalau aku seperti pelacur! Mungkin umurmu memang bertumbuh Aaron, tapi kau tidak pernah berpikir sebelum berbicara!” Grace benar-benar marah kali ini. Ia menaruh gelas minumannya itu ke atas meja dengan kasar hingga airnya keluar.
            “Grace! Ayolah, aku hanya bercanda!” Teriak Aaron tidak berusaha untuk bangkit dan menahan adiknya. Aaron mengumpat dalam hati saat Grace beranjak dari tempat duduk menuju lantai dansa. Pandangannya tidak langsung lepas dari lantai dansa. Tapi tidak sepenuhnya benar ia melihat ke arah lantai dansa. Pandangannya tertuju pada seorang wanita yang memakai jaket kulit, sebenarnya. Dari ikatan rambutnya, Aaron sudah tahu siapa itu. Kath. Kath Bloodworth. Aaron memanggil penjaga ruang VIP-nya lalu menyuruhnya untuk memanggil Kath untuk duduk bersamanya. Dilihatnya penjaga botak itu mendekati Kath yang seperti tidak tahu mengapa ia berada di kelab ini dan bagaimana bisa sampai di sini. Ia membalikkan tubuhnya ke belakang untuk melihat siapa yang memintanya untuk datang ke ruang VIP sebuah kelab. Ia tidak pernah memesan ruang VIP. Namun saat ia melihat seorang pria yang ia temui kemarin pagi membuatnya terkejut setengah mati. Raut wajahnya berubah gugup dan takut-takut ketika ia penjaga ruangan VIP itu menarik pembatas berwarna merah agar Kath dapat masuk ke dalamnya.

KATH BLOODWORTH

            Sumpah demi Tuhan, aku tidak pernah menyangka akan bertemu dengannya di kelab ini! Aku hanya datang untuk bermain-main ke tempat ini menggunakan jaket kulit hitam agar tidak ada seorang pun yang coba-coba bermain denganku atau menggodaku. Ibuku menyuruhku untuk bersenang-senang di akhir pekan di kelab ini. Bahkan aku sudah lupa kalau Mr.Bieber pernah memberikanku kartu namanya. Mungkin sekarang kartu namanya sudah kusimpan di suatu tempat yang kulupai. Sungguh rasanya gugup saat aku menjatuhkan bokong ke atas sofa empuk berwarna merah. Warna kesukaanku. Mr.Bieber kelihatan sedang berada di suasana hati yang baik. Karena saat ia melihatku, ia tersenyum. Dan bagiku itu terasa sangat ganjil. Lagi-lagi mata harimaunya menatapku hingga menembus kepalaku dan aku sebentar lagi akan kehilangan nafas.
            “Kurasa kau tersesat,” ucapnya membuka percakapan. Tidak ada kata sapaan.
            “Maksudmu tersesat?” Tanyaku bingung. Lalu aku mengikuti pandangannya terhadap bajuku. Jadi aku mengamati apa yang kupakai. Hei, aku memakai jaket kulit ini karena di luar sana sangat dingin! Apa kau gila datang ke sini menggunakan rok pendek dan hanya memakai bra berwarna hitam seperti gadis muda yang kulihat di pintu masuk? Ibu akan menjemputku jika waktu sudah menunjukkan pukul 12 atau akan menjemputku kalau aku menghubunginya lebih cepat. Sekarang masih jam 8 malam. Kurasa aku kepagian. Aaron terkekeh. Kuperhatikan ia lebih mencair dibanding di kantor waktu itu. Ia sedingin es dan percakapan yang ia lakukan denganku saat itu sangatlah tidak masuk akal. “Oh,” aku tersadar. “Di luar dingin. Jadi aku memakai jaket ini. Bagaimana kabarmu, Mr.Bieber?” Tanyaku berusaha akrab.
            Ia mengambil gelas yang sudah berisi minuman itu. Lalu menyesapnya. “Tidak ada yang menyenangkan. Aku mampir ke sini bersama adikku. Grace, dia di sana,” ucapnya menunjuk ke lantai dansa pada seorang gadis yang kurasa masih terbilang sangat muda. Ia memakai gaun abu-abu mengilap dan sangat membentuk tubuhnya yang sintal. Roknya sangat pendek. Demi Tuhan, itu adiknya? Aku tidak terkejut, seharusnya. Tapi ternyata aku tetap terkejut dengan pakaiannya yang seperti itu. Karena terakhir kali aku memakai itu saat aku pesta kelulusanku sewaktu lulus kuliah. Dan tidak ada lagi pakaian seperti itu. Bahkan kencan pun tidak. Ayahku memberi batasan padaku saat memakai pakaian. Padahal ibuku ingin sekali anaknya yang satu ini cantik sepertinya. Ketika Grace menggoyang-goyangkan pinggulnya dengan gaya erotis itu, ia berbalik pada kami. Nah, sekarang wajahnya terlihat. Cantik tapi tidak mirip dengan Aaron.
            “Dia cantik,” aku menoleh dan berucap penuh kesungguhan. Aaron mengangguk setuju dan matanya tak lepas dari adiknya. Kurasa ia menyukai adiknya sendiri. Tatapannya bukan tatapan mengawasi, tetapi tatapan ingin menelanjangi adiknya. Aku bergidik ketakutan. Sebelumnya, aku tidak pernah berhubungan intim. Ayahku tidak mengizinkan untuk berhubungan intim sebelum menikah dikarenakan putri satu-satunya yang ia miliki. Sadar ditatapi olehku, ia menatapku. Aku menyesal karena merasa iri pada Grace yang ditatapi, akhirnya ia menatapku, dan aku melumpuh begitu saja. Sial benar pria satu ini! Tidak ada yang pernah melakukan ini padaku. Maksudku, kupu-kupu berterbangan di perut? Mungkin pernah saat aku SMA. Kali ini bukan kupu-kupu yang berterbangan di perut, tapi kelelawar. Yeah, kelelawar kurasa.
            “Ternyata kau mengikuti saranku untuk datang ke sini,” ucapnya senang. Aku ingin mengatakan pada Aaron bahwa ini bukan ideku untuk datang ke sini karena teringat padanya. Tapi karena ibuku. Namun aku tidak mengucapkannya. Pasti dia akan tersinggung, jadi aku hanya mengangguk malu-malu seperti orang tolol. “Mau menari denganku di lantai dansa?” Tanyanya membuka jas hitam yang ia kenakan itu dari tubuhnya. Aku terkesiap kehilangan udara. Sialan benar. Rasanya aku ingin meninju pria ini untuk berhenti melakukan ‘hal-hal’ seperti itu sampai ia pingsan. Saat aku kembali dari lamunanku, sebuah tangan sudah berada di depanku. Tak bisa kutolak –lagi pula siapa yang ingin menolak bajingan ini?—jadi, aku meraih tangannya dan bangkit dari sofa.
            “Kita bisa melepaskan ini,” ucapnya membantuku melepaskan jaket kulitku. Sulit kuduga ia akan melakukan itu padaku. Ia pria yang susah sekali ditebak. Atau memang aku tidak pintar melihat gerak-gerik pria? Kulitku yang berwarna putih sekarang kelihatan. Aku memakai tanktop berwarna merah tanpa tali. Celana jins panjang yang kupakai sangat tidak pas dengan baju atasanku, itulah salah satu alasan mengapa aku memakai jaket kulit hitam. Aaron melihat kulit lenganku sejenak lalu sadar, ia menarik tanganku untuk keluar dari ruang VIP. Di lantai dansa, lagu yang diputar benar-benar menggugah pinggulku untuk bergoyang. Aaron berada di belakangku dan ikut menari denganku. Kedua tanganku terangkat, begitu juga dengannya. Ia mengikuti gerakanku dan dapat kurasakan nafasnya yang hangat mengembus lembut ke kulit leherku yang jenjang. Seorang gadis yang memakai pakaian seksi berwarna abu-abu mengilap itu membalikkan tubuhnya, dan aku ingat kembali bahwa ia adalah Grace, adik Aaron. Tatapannya terkejut dan terengah ketika melihat. Oke, tapi kurasa aku melihat koneksi yang aneh antara kakak beradik ini. Aku berhenti menari, begitupun Aaron yang berada di belakangku.
            “Grace, ini rekan kerjaku,” teriak Aaron mengalahkan suara musik yang keras. “Kath Bloodworth!” Lanjutnya berteriak dari bahuku. Entah mengapa sekarang aku berharap telingaku dipotong untuk sementara waktu sampai Aaron berhenti berteriak. Perpaduan music yang keras dan Aaron yang berteriak bukan perpaduan yang tepat. Grace mengangguk-anggukkan kepalanya, berusaha bersikap sopan padaku.
            “Kath Bloodworth,” teriakku mencondongkan tubuhku ke arahnya. Kulihat matanya yang bersinar di antara remang-remang ruangan ini yang lampunya samar-samar. Matanya sama seperi Aaron. Mata harimau. Tapi kali ini aku bisa melihat tatapan harimau ini seperti menatap musuh harimau. Masalahnya, aku tidak tahu siapa musuh harimau. Sejauh ini aku tidak pernah memiliki masalah dengan harimau, jadi, apa masalahnya di sini?
            “Grace Bieber. Senang bertemu denganmu,” balasnya berteriak selang beberapa detik kemudian. Bisa-bisa kami mati hanya karena berteriak lalu kehabisan suara. “A-aku ke sana,” ujarnya memberitahu. Ia pergi dari lantai dansa menuju ruang VIP, tempat Aaron tadi. Tentu saja ia akan ke sana, dia adik Aaron.
            “Bisa kita menari lagi?” Suara Aaron membuat pandanganku teralihkan dari Grace. Aku mengangguk lalu mulai terbuai dengan dentuman musik yang cepat. Sesekali tangan Aaron melingkar di sekitar pinggangku. Tidak mungkin aku akan tidur dengannya, aku memperingati diriku sendiri. Sesekali aku merasakan bokongku menekan sesuatu yang keras di belakang. Lalu Aaron mengerang. Kami terus menari sepanjang lagu berputar, lalu lagu terganti, dan terganti lagi. Kita tidak cukup mabuk untuk menari. Saat aku melihat seorang pria yang ada di hadapanku sedang menenggakkan sebotol minuman keras, aku langsung meraihnya. Tidak mungkin diracuni. Jadi aku meminumnya dan memberikan botol itu kembali pada pria culun itu. Yeah, culun. Kelihatan dari wajahnya ia baru patah hati dan ingin bunuh diri dengan cara meminum banyak minuman. Tidak akan berhasil, dude. Sesekali aku dan Aaron pergi ke daerah bar untuk mengambil minuman agar kami mabuk. Tapi tidak mabuk semabuk pria yang tadi kulihat. Sungguh, ini sangat menyenangkan. Sudah beberapa botol aku habiskan, tapi rasanya aku tak puas. Aaron tidak semabuk diriku, kurasa ia mengkhawatirkan perjalanan pulangnya –aku akan dijemput ibuku jam 12. Kelab ini sama menyenangkan dengan kelab di Las Vegas. Kami menari lagi di atas lantai dansa. Kali ini sempoyongan layaknya orang mabuk normal biasanya. Aku menghentikan gerakanku ketika aku melihat ke arah ruang VIP. Grace sedang mengisap sebatang rokok dan mengepulkan asapnya dari mulut. Sialan, benarkah gadis secantiknya merokok?
            “Apa adikmu memang merokok?” Tanyaku dengan suara yang keras. Aaron berada di belakangku, memegang pinggangku lalu melihat adiknya. Aku melirik Aaron. Rahangnya menegang. Sepertinya akan ada pertengkaran hebat sebentar lagi. Aaron melewatiku berjalan menuju ruang VIP, aku mengikutinya dari belakang. Dilihat dari wajahnya, Aaron tidak senang dengan sikap adiknya yang tolol itu. Aku juga tidak senang melihat seorang wanita merokok, meski bukan menjadi urusanku, aku merasa terhina menjadi seorang wanita. Yeah, aku punya kelainan sepertinya. Aaron menarik batang rokok yang ujung terbakar itu dari mulut Grace lalu membuangnya ke lantai dan menginjak-injaknya.
            “Apa masalahmu, Aaron?” Grace protes, ia kesal.
            “Jika kau ingin merokok, pergilah ke depan adik-adikmu agar mereka tahu contoh yang baik darimu. Mengerti?” Aaron mengucapkannya dengan sarkastik. Aku hanya membeku seperti patung di tempat, memerhatikan mereka seperti sedang menonton bulu tangkis –aku pernah tinggal di Asia. Grace merengut.
            “Terima kasih sarannya. Lain kali tendang bola laki-laki di depan adik-adikmu agar mereka tahu contoh yang baik darimu. Mengerti?”
            “Yang kulakukan adalah benar. Dan aku tidak keberatan memperlihatkannya pada mereka. Bahkan anakku sendiri,” Aaron membantah dan aku tidak mengerti apa yang sedang mereka bicarakan. Menendang bola laki-laki? Siapa? Dan mengapa merambat ke sana? Dan aku terlalu mabuk untuk mencerna ucapan-ucapan mereka.
            “Oh, atau menarilah di depan adik-adikmu bersama wanita ini dengan gerakan erotis. Kurasa mereka akan menyukainya. Bagaimana menurutmu, Kath?” Sialan! Aku tidak ingin masuk ke dalam permasalahan ini! Aku tidak senang mengikut campuri masalah orang. Namun tidak ada yang keluar dari mulutku.
            “Sudah kelewatan Grace,” ujar Aaron dingin. Sedingin es. Dan ia sedang memendam amarahnya, dapat kulihat dari wajahnya yang memerah. Aku menoleh ke belakang ketika seseorang memanggilku dari belakang. Ibuku ada di sini mengenakan mantel berwarna abu-abu gelap selutut dan sepatu boot cokelat. Bahkan ibuku lebih modis dibanding diriku. Bagus sekali, Kath. Bagus sekali. Ia berada di belakang tali merah pembatas ruang VIP. Kulirik jam tangan yang kupakai. Oh, ya ampun, waktu cepat sekali bergulir. Sudah jam 12 malam.
            “Mr.Bieber, aku sudah dijemput oleh ibuku. Kalau boleh, aku ingin pulang,”
            “Tidak akan ada yang menahanmu, Kath,” Aaron berusaha untuk tidak memberikan nada marah ketika berbicara denganku. Aku mengangguk dan mengambil jaket dari sofa –aku tidak membawa apa-apa ke sini. Hanya uang yang kubawa.
             “Kita pulang,” ujar Aaron meraih jas hitam yang tadi ia simpan di atas sofa lalu menarik tangan Grace untuk keluar dari ruang VIP. Mereka berjalan lebih dulu, aku mengikuti mereka. Ibuku memerhatikan Aaron dan Grace yang keluar, lalu menatapku dengan tatapan ‘siapa mereka’. Saat aku keluar dari ruang VIP, aku mengedik bahu.
            “Yang laki-laki itu Aaron Bieber. Dan yang satunya lagi adiknya, Grace Bieber,” jelasku berjalan keluar, melewati orang-orang mabuk. Kepalaku terasa berat, untungnya tangan ibuku menahan lenganku agar aku tidak terjatuh. “Aku banyak minum tadi,”
            “Kau tidak perlu memberitahu, aku bisa melihatnya,” ucap ibuku membawaku keluar dari kelab. “Dia tampan juga,” komentar ibuku.
            “Siapa?” Tanyaku seperti orang tolol.
            “Aaron. Dia tampan. Siapa lagi? Adiknya? Kurasa ada dua buah melon di dadanya, Kath. Kau benar-benar mabuk,” ucap ibuku membukakan pintu mobil untukku dan aku masuk. “Sudah Mom duga Mom harus menjemputmu,” katanya menutup pintu mobil. Aku memejamkan mata dan mesin mobil mulai menyala.
            “Dia tadi menari denganku,” aku memberitahu ibu.
            “Ya?”
            “Ya.” Bisikku cengengesan seperti orang gila. “Dia sangat, sangat,sangat tampan. Harus kuakui. Dan ia memiliki mata seperti harimau,” lanjutku. Ibu mulai melajukan mobilnya keluar dari parkiran. Pandanganku kabur.
            “Tidak diragukan lagi. Pasti ia mirip dengan ayahnya,” ucap ibu membuatku tergelak.
            “Tidak! Serius, tapi dia tidak mirip dengan Mr.Justin Bieber. Mungkin matanya, mereka mirip dari cara pandangan mereka –aku melihatnya di foto saat ke kelabnya di Vegas—dan mereka sama-sama kelihatan dingin jika tidak bicara,”
            “Yeah, Mom pikir juga begitu saat melihatnya melewati Mom,” ucap ibuku menyetujui. Setelah itu aku hanya menggumam dan tidak meneruskan percakapan kami. Yang terlintas dipikiranku sekarang adalah apa yang terjadi dengan Aaron Bieber dan adiknya. Ini semua pasti salahku karena telah memergoki Grace merokok. Mungkin aku harus meminta maaf pada Grace. Kurasa Aaron memiliki nomor telepon di kartu namanya. Besok aku akan menghubunginya.



***


ALEXIS BIEBER

            Samar-samar aku mendengar suara teriakan dari bawah rumah. Entah siapa pun itu benar-benar membuatku ingin menampar mereka satu per satu. Aku baru saja menidurkan Justin kecil beberapa menit yang lalu. Jika dia bangun lagi, aku akan sulit menidurkannya. Saat kubuka mataku, ternyata dugaanku memang benar. Justin kecil sudah membuka matanya yang menatap ke atas langit-langit kamar lalu ia menggumam kata yang tidak dapat kumengerti. Justin kecil langsung memelukku saat kami mendengar suara pecahan beling dari bawah. Ia ketakutan, jadi aku langsung menggendongnya dari tempat tidur dan beranjak menuju pintu kamar. Suara semakin jelas terdengar saat aku menuruni tangga ke bawah. Aaron dan Grace bertengkar lagi dan Justin pasti tidak akan bisa membantu. Kupikir ada orang bijaksana memberitahu, semakin tua seseorang, semakin bijaksanalah dia. Kurasa itu tidak berlaku pada Justin. Bersyukur karena tiga anakku yang lain masih berada di kamar mereka, aku mendecak kesal. Mereka berdiri di ruang keluarga dan satu guci kesayangan Justin baru saja pecah. Bagus sekali, untuk siapa pun yang menghancurkannya.
            “Apa yang terjadi di sini?” Justin kecil menoleh kepala untuk melihat ayahnya yang memerah. Ia sudah mengisap jari telunjuk dan tengahnya lagi ke dalam mulut. Namun tidak ada niatan darinya untuk meminta gendongan dari Aaron.
            “Grace merokok,” bisik Aaron berusaha untuk menahan amarahnya. Dia selalu menahan amarah ketika aku sudah berada di hadapan Aaron. Ia bahkan tidak pernah memarahiku atau membentakku, kecuali pada Justin, ayahnya. Dan apa? Grace merokok? Aku melotot melihat Grace yang sudah menangis. Begitu setiap saat, menangis. Itu senjatanya. Sekarang aku mengerti perasaan pria-pria yang tak tahan melihat wanita menangis –aku jarang menangis setelah aku menikah dengan Justin.
            “Apa kabar, Juber?” Justin yang berada di tengah-tengah Grace dan Aaron menyapa Juber yang kugendong sambil mengangguk pada Juber. Juber tidak membalasnya dan rasanya aku ingin bertepuk tangan karena ia mengabaikan kakeknya. “Mau kugendong?” Tawar Justin mendekatiku, namun langkahnya terhenti saat Juber langsung memalingkan kepalanya ke belakang yang berarti menolaknya. Tentu saja itu tidak akan membuatku melupakan Grace yang berbuat sembrono di luar sana. Merokok? Aku dan Justin bahkan tidak pernah menyentuh rokok, begitupun Aaron.         
            “Grace, apa-apaan yang kaupikirkan? Merokok? Siapa yang mengajarimu melakukan itu? Kau perempuan. Bahkan Dad tidak pernah menyentuh rokok,” tegurku melotot pada anakku. Aku benar-benar lelah hari ini setelah mengurus ‘Juber’ seharian dan menidurkannya adalah hal tersulit seumur hidupku. Ditambah Grace yang membuatku kesal? Aku bisa mati berdiri jika tiap hari seperti ini. Grace melipat tangannya di depan dada, membuat diriku tersinggung karena ketidaksopanannya.
            “Mengapa aku tidak boleh sedangkan yang wanita-wanita di luar sana boleh?”
            “Kau ingin menyamakan dirimu dengan wanita-wanita bodoh seperti mereka? Sulit dipercaya,” Aaron tidak dapat menahan mulutnya. Grace menatap Aaron dengan tatapan kesal sekaligus kecewa. Dan Justin pernah memberikan tatapan itu padaku ketika aku bertengkar dengannya. Lalu sesuatu memukul hatiku. Aku mendesah. Sekarang anak perempuanku yang menyukai kakaknya. Sangat sulit dipercaya. Apa ada yang bersedia membunuhku sekarang?
            “Aaron,” aku menegurnya. Lalu menoleh pada Grace kembali. “Grace ikut Mom keluar,” perintahku. Aku memberikan Juber pada Aaron lalu menarik tangan Grace untuk pergi ke belakang kolam rumah. Kututup pintunya dan berhadapan dengan anakku yang sekarang tangisannya sudah mengalir.
            “Apa-apaan yang terjadi padamu?” Aku kesal, kedua alisku bersatu.
            “Aku tidak tahu Mom. Dia menari dengan wanita di kelab! Itu membuatku marah!” Teriaknya tertahan. Ia menatap langit-langit malam yang gelap tanpa taburan bintang. Malam yang kelam. Aku tertegun. Dia menari dengan wanita di kelab. Itu membuatku marah. Kalimat itu terputar-putar di otakku, mencoba untuk mencerna apa yang ia katakan. Lalu aku mendesah. “Apa?” Grace bertanya, menoleh padaku.
            “Grace,” bisikku. “Kau mencintainya?” Tanyaku hati-hati.
            “Tentu saja! Siapa yang tidak mencintai Aaron Staton Bieber?” Grace mengangkat kedua tangannya ke udara. “Hanya orang bodoh yang tidak menyukainya. Percakapan ini benar-benar tidak berguna.” Tukas Grace beranjak dari sisi kolam, pergi masuk ke dalam. Aku menatap air kolam yang tenang dan menelan ludahku begitu susah.
            Grace masih mencintai Aaron.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar