***
Pemikiran
untuk membunuh Justin benar-benar kuurungkan ketika melihat matanya yang hangat
menjemputku untuk terlelap. Ia memancing Grace untuk mengatakan yang sejujurnya
tadi malam tentang mengapa Grace merokok. Sebagai ibunya, aku tahu sekali
mengapa Grace melakukan itu. Ia ingin mendapat perhatian dari Aaron yang sedang
menari dengan wanita lain. Pasti dia cemburu dengan wanita itu. Grace tidak
mengatakan apa-apa saat Justin hampir menampar pipinya, aku menghadang Justin
untuk melakukan itu dan berakhir aku yang tertampar. Aaron ingin menarik kerah
Justin dari belakang –aku bisa melihat dari cara tatapnya—namun ia sedang
menggendong Justin kecil dan ia tidak ingin memberikan contoh yang jelek pada
anak pertamanya. Grace berlari meninggalkan aku dan Justin di ruang keluarga
bersama dengan Aaron dengan derai air mata di pipinya. Tidak ada yang bisa
mencegahnya, begitupun aku. Aku berlari menuju kamar dengan wajah yang sudah
memerah, tapi tidak menangis. Aku tidak secengeng dulu. Lagi pula, perbuatanku
tadi hanya untuk melindungi putriku.
Saat
aku sudah masuk ke dalam selimut, Justin memelukku dari belakang. Ia
menempatkan dagunya di leherku. Janggutnya yang sudah tercukur itu terasa tajam
dan menggelikan disaat yang bersamaan. Tangannya sudah berada di pinggangku
lalu mengelusnya.
“Sungguh
aku sangat menyesal, bluebird. Bukan maksudku ingin menamparmu, tadi aku
kehilangan kendali. Kau tahu sangat baik, bukan? Maafkan aku,” Justin memohon
dari belakang. Tangannya kali ini mengelus lenganku yang telanjang dengan
lembut. Kurasakan nafasnya yang lembut menerpa pipiku. Namun aku masih terdiam,
mengacuhkannya untuk beberapa menit terasa menyenangkan dibanding membunuhnya
dan kehilangan Justin selamanya. “Kumohon, bluebird. Aku kesal saat Aaron
menjelaskan tentang apa yang terjadi ketika kau dan Grace di luar. Dia bukan
anak kita,” bisik Justin yang membuatku langsung menyodokkan siku-siku ke dadanya.
Ia tergelak.
“Bukan
anak kita? Jadi dia anak siapa? Iblis? Inilah salah satu alasan mengapa aku
tidak ingin menjadi wanita. Pria sepertimu tidak akan bisa merasakan rasanya
sakit ketika melahirkan. Bagus sekali,” aku berucap dengan nada sarkasme. Justin mengembuskan
nafasnya kembali, merasa sangat menyesal dengan apa yang ia ucapkan. Meski aku
tahu ia hanya ingin bercanda atas ucapannya tadi, tetap saja ia menyinggungku.
“Yeah,
dia anak iblis,”
“Dan
kau iblisnya,” aku meringis. “Ironis.”
“Sayang,”
Justin memanggilku lembut. “Maafkan aku. Aku mencintaimu. Kau dengar aku? Aku
mencintaimu, okay? Apa kau akan berbalik dan melihatku?”
“Tidak,”
bisikku menolaknya. Justin merengut. “Tidak menolak,” ralatku langsung
membalikkan tubuh ke arahnya. Terkadang melihatnya memohon seperti ini sama
saja membuatku tersiksa. Ia sangat bisa memberikan suara-suara yang
mengundangku untuk memaafkannya –untuk masalah kecil seperti ini—lalu menciumku
setelahnya. Matanya menatapku dengan tatapan lembut lalu mengecup bibirku
singkat.
“Jangan
pernah memukul anakmu, Justin,” bisikku menyentuh hidungnya yang mancung. Ujung
jariku menelusuri batang hidungnya, namun ia terus menatap mata biruku.
“Sekesal apa pun dirimu, jangan pernah memukul anakmu. Grace pasti memiliki
alasan melakukan itu,” jelasku mengalihkan jari-jariku dari hidung ke belakang
kepalanya. Rambutnya halus dan panjang hingga leher sekarang. Mata Justin
terpejam merasakan sentuhan-sentuhanku, yeah, aku tahu ia menyukai sentuhan
ini. Ia akan cepat tertidur jika aku melakukan ini. Kutumpu kakiku ke atas
kakinya, ia mulai memelukku.
“Aku
tahu,” desah Justin mengembus nafas panjang. Mata harimaunya mulai terlihat.
“Maafkan aku telah menamparmu,” tangan Justin menyentuh pipiku yang ia tampar
dengan lembut. Mataku terpejam. “Aku mencintaimu.” Itulah kata-kata terakhir
yang kudengar sebelum aku benar-benar masuk ke dalam dunia mimpi.
***
Aku
berjalan menyusuri lorong menuju kamar Grace. Entah mengapa aku bisa mendengar
suara berisik dari dalam kamarku yang jauh dari kamarnya. Kepalaku pening dan
hampir terhuyung jatuh ke lantai saat sudah berada di depan pintunya.
Peringatan Jangan ganggu sudah
terpasang di pintu Grace. Oh, dia tidak ingin diganggu namun ia mengganggu.
Bahkan mengganggu ibunya. Saat aku ingin mengetuk pintu kamarnya, kudengar
suara desahan dari dalam. Desahan dari Grace yang memohon-mohon untuk tidak
berhenti. Erangan kenikmatan yang pernah kualami saat sedang bersama Justin
tiap kali kami ingin mengarungi malam penuh gairah.
“Jangan
berhenti, Aaron,” desahnya.
“Aku
akan menguras habis cairanmu malam ini, baby. Sampai kau memohon untuk berhenti padaku dan
menangis,” suara Aaron terdengar diiringi dengan erangan tertahan. Lalu
terdengar suara dua daging yang saling bersentuhan dan basah. Darah di bawah
kulitku mendidih mendengarnya. Kurasakan telingaku memanas dan memerah.
Warnanya sama dengan pipiku sekarang. Kubuka pintu kamar Grace yang ternyata
tidak terkunci itu. Aaron berteriak sedang menggauli adiknya sendiri dan
kepalanya mendongak ke atas. Tubuh mereka sama-sama polos. Tubuh yang dulu
pernah kulihat masih suci sekarang sudah benar-benar kotor. Aku bergidik.
Marah, tidak percaya, ingin mengambil sesuatu untuk bisa dihancurkan sekarang,
terlebih lagi sekarang aku ingin menampar mereka berdua. Aaron dan Grace sedang
menenangkan diri mereka setelah mendapatkan pelepasan lalu Aaron ambruk di atas
tubuh Grace. Aku tetap menatap mereka dengan ekspresi dingin.
“Apa-apaan
yang kalian …Mom benar-benar …Mom …” Aku tidak dapat mengucapkan kata selanjutnya.
Aku kehabisan kata-kata sekarang. Bahkan aku butuh udara untuk bernafas. Aaron
terkejut atas kehadiranku –dia pasti tidak sadar saat ia mendapatkan
pelepasannya—sehingga ia menarik selimut di sebelah paha Grace dan menutupi
tubuhnya yang sekarang terduduk di sebelah Grace.
“Mom!
Aku bisa menjelaskannya,” Grace bangkit dari tempat tidur dan menarik selimut
yang menutupi Aaron, namun Aaron mencegahnya. Anak laki-lakiku dulu yang lucu
sekarang benar-benar tolol! Bayang-bayang ia menangis dulu padaku agar aku
kembali pada Justin mulai menyeruak masuk ke dalam otakku, mengingat betapa
lucunya ia saat itu. Lalu membuat roti rasa cokelat kesukaannya. Dan
bertanya-tanya siapa Brad. Mewarnai. Bahkan saat ia melempari dengan seres
roti! Aku masih bisa mengingat bayangan-bayangan ia masih lucu dan
menggemaskan. Tetapi itu masa lalu. Sekarang ia sudah seperti ayahnya yang
sebelum menikah denganku. Dingin, tidak ada ampun, dan bertindak sesukanya.
Grace menarik selimut hingga ke bahu, ia menatapku dengan ketakutan. Rambutnya
yang panjang itu sudah acak-acakan. Air matanya sekarang mengaburkan mata
harimaunya yang sama dengan kakaknya yang sudah memakai celana. Aaron bangkit
dari tempat tidur lalu diam di sana. Kedua alisnya menyatu, tatapannya penuh
sesal.
“Ini
tidak masuk akal, Aaron. Kau sudah gila? Inikah dirimu setelah Alice tidak ada?
Meniduri adikmu sendiri? Mom benar-benar …Mom benar-benar …Mom benar-benar …”
hanya kata-kata itu yang keluar dari mulutku, berusaha untuk mencari kata-kata
yang tepat untuknya agar ia menyesali perbuatan nista ini –nista untuk hubungan
mereka dalam keluarga. Kakiku melemas tak kuat untuk menopang tubuhku, aku
terjatuh. Namun tangan Aaron yang lengket itu menyentuh pundakku sebelum
lututku membentur lantai. Aku membiarkan tangannya menyentuh tanganku.
Ketakutan yang selama ini kutakuti, sekarang benar-benar terjadi.
“Mom,
dengarkan aku,” pinta Aaron dengan suara memohon, aku tak sanggup menatap
matanya sekarang. Ia terlalu menjijikan untuk dilihat. Sekalipun ia anakku
sendiri. Aku menelan ludah, sekuat mungkin bisa menatap matanya. Kudongakkan
kepalaku, air mataku menetes tanpa menyentuh pipiku. “Mom, jangan menangis,”
“Bagaimana
bisa Mom tidak menangis bodoh?” Tanyaku berusaha tenang, namun kenyataannya
suara bergetar. “Kau bercinta dengan adikmu sendiri, Aaron! Apa-apaan yang
kaupikirkan?” Kedua bahuku diremas oleh tangan Aaron. Ia menatap mataku
lekat-lekat, bibirnya berubah menjadi garis tipis yang keras, dan rahangnya
menegang. Aku memejamkan mata, air mataku mengalir. Tangan Aaron mulai
mengguncang-guncang bahuku, tapi mataku tak kunjung terbuka. Hatiku terlalu
sakit. Udara. Aku butuh udara.
“Mom!”
Kurasakan tamparan di pipiku kali ini. Mataku terbuka. Aku terengah-engah
ketika membuka mata. Aaron berada di atas tubuhku dengan raut wajah panik.
“Mom,” kali ini suaranya melembut. Tangannya mengelap mataku yang basah. Aku
melihat ke sekeliling kamar. Tadi hanyalah mimpi. Tadi hanya mimpi semata.
“Aaron,”
aku memanggil namanya. Kepalaku menoleh ke sebelah kiri, tak kutemukan Justin.
“Aaron, dimana Dad?” Tanyaku mendorong bahunya agar bangkit dari tubuhku. Demi
Tuhan, aku yakin tadi benar-benar terasa nyata! Aku melihatnya dengan mata
kepalaku sendiri.
“D-dia
memanggilku ketika Mom memanggil-manggil namaku. Raut wajahnya panik saat
memanggilku. Jadi aku berlari dan melihat Mom berteriak-teriak sambil menangis.
Mimpi buruk, Mom?” Tanyanya duduk di sebelahku. Aku terduduk, tertegun. Mataku
melihat ke sekeliling kamar. Kamarku sendiri. Tidak ada Grace yang telanjang
atau selimut yang ia tarik. Ini hanya kamarku dan tadi hanyalah sebuah mimpi
buruk.
“Kau
baik-baik saja Mom?” Tanya Aaron khawatir.
“Ya.
Kurasa begitu. Dimana Grace?” Tanyaku berusaha untuk tidak panik. Kenyataan
berkata lain, nada suaraku meninggi. “Dimana Grace, Aaron?” Tanyaku lebih
tegas.
“Dia
di kamarnya, Mom,” balas Aaron heran melihatku. “Tenanglah, Mom. Tidak ada hal
buruk terjadi. Kau ingin minum, Mom?” Tawar Aaron. Oh tidak. Anak pertamaku
yang sangat kucintai benar-benar manis. Semua pemikiran dalam mimpi kusingkirkan.
Bahkan rasanya aku tidak ingin memikirkan mimpi yang baru saja kuimpikan. Aku
tidak menerima atau menolak tawaran Aaron, melainkan turun dari tempat tidur.
Saat aku benar-benar berdiri, rasanya dunia terguncang. Aku kehilangan
keseimbangan. Untungnya Aaron menahanku dari belakang agar aku tidak terjatuh.
“Kau
yakin baik-baik saja, Mom?” Aaron bertanya penuh perhatian. Inilah Aaron yang
kukenal. Aku tahu, aku adalah wanita pertama yang ia cintai dalam hidupnya
sebagai ibu. Rasa terima kasihnya karena aku mengurusnya sejak kecil sampai
sekarang, ia balas dengan perlindungannya yang berlebihan. Aku mengangguk
melepaskan diri dari cengkraman tangan Aaron yang keras. Lenganku
berdenyut-denyut akibat cengkraman tangannya. Saat aku membuka pintu, kulihat
Justin bersandar di tembok luar kamar. Justin kecil sedang dipegang oleh Justin
sambil mengisap dua jarinya, seperti biasa. Ia mendongak untuk melihatku lalu
melepaskan hisapannya dan mengangkat kedua tangannya, minta digendong. Jonathan
berada di sebelah kiri dekat si kembar yang menatapku khawatir. Dan Grace, dia
tidak ada di sini. Oh, sudah pagi?
“Kau
baik-baik saja, sayang?” Tanya Justin sangat khawatir.
“Aku
yakin begitu,” ujarku menggendong Justin kecil yang dari tadi memohon untuk
digendong. “Hanya mimpi buruk semata,” lanjutku. Jonathan tetap berdiri di
tempatnya, kurang yakin dengan ucapannku. “Mom baik-baik saja, anak-anak.Tidak
ada yang perlu kalian khawatirkan. Sudah pagi. Kalian harus cepat-cepat mandi,”
perintahku dengan suara yang meyakinkan serta lembut. Aku tentu saja tidak
ingin membuat Jonathan khawatir dengan keadaanku. Dia salah satu tameng
perlindunganku seperti Aaron. Si kembar yang sudah tinggi itu dengan lesu
berjalan menuju kamarnya kembali untuk mandi, begitupun dengan Aaron.
“Alex,
sungguh, kau baik-baik saja?” Tanya Justin belum yakin.
“Mom
baik-baik saja, Dad. Dia sudah mengatakannya,” Aaron muncul dari belakang, ia
berlalu begitu saja tanpa menoleh atau menatap ayahnya. Aku dan Justin saling
bertatapan, ia menatapku dengan tatapan ‘apa-apaan yang baru saja terjadi?’.
Aku mengedik bahu.
“Kita
harus memandikan Juber-mu,” tukasku melangkah menuju kamar Aaron. “Aku ingin
melihat Grace terlebih dahulu,” ucapku melangkah menuju kamar Grace yang berada
di sebelah kamar si kembar. Kulewati lorong yang diberi pencahayaan oleh
matahari melalui jendela –biasa si kembar takut jika ia melihat jendela ini di
malam hari apalagi jika tirainya tak ditutup. Pintu kamar Grace sudah memberi
peringatan Jangan ganggu aku. Itu
benar-benar mengingatkanku pada mimpi buruk –mimpi terburuk sepanjang sejarah
hidupku—tadi. Bahkan saat aku menatap mata Aaron tadi, aku belum bisa lari dari
mimpi buruk itu.
“Grace?
Kau baik-baik saja di dalam?” Tanyaku mengetuk pintu. “Kau harus berangkat
kerja dengan Aaron. Dia sudah bersiap-siap,” panggilku. Justin kecil yang
berada di gendongan menatapku dengan tatapan polos. Aku hanya memberikan senyum
manis padanya, ia malah tergelak tawa. Dua jarinya ia lepaskan dari mulut basah
itu lalu memukul-mukul wajahku seperti kemarin pagi ia memukul wajah Justin. Ia
senang memukul wajah kakek neneknya. Ia tertawa-tawa.
“Berhenti,
Justin,” tegurku tertawa-tawa. Ia langsung berhenti. Kepalanya tergeleng-geleng
sambil tertawa seperti anak gila, sungguh, anak ini harusnya masuk ke dalam
sitcom komedi. “Justin, berhenti. Nanti kau pusing,” tegurku lagi. Ia langsung
berhenti, bibirnya mengerucut basah. Dia mengingatkanku pada Aaron ketika Aaron
masih kecil. Hanya saja, matanya berwarna hitam seperti Alice.
“Peepee,”
serunya langsung memeluk leherku. “Kenapa Grace tidak keluar-keluar, Peepee?
Apa dia masih tidur?” Tanyanya dengan suara yang kecil, air liurnya menetes ke
baju tidurku. Jari-jarinya yang kecil itu bermain-main di rambutku yang tidak
kusut. Saat itu juga Grace keluar dari kamar. Ia sudah siap seperti biasanya.
Rambutnya tersanggul rapi, pelembap bibir sudah terpoles sehingga bibirnya
sekarang terlihat mengilap, pakaiannya pun rapi. Ia sudah siap.
“Ada
apa Mom?” Tanya Grace.
“Aaron
sepertinya akan siap 5 menit lagi. Mom hanya ingin melihat keadaanmu,” ucapku.
“Ternyata masih bernafas,” lanjutku membuatnya terkekeh. Aku berlalu dari
hadapannya, Justin kecil menoleh ke belakang, menumpu dagunya di bahuku.
Beberapa detik kemudian ia tertawa geli. Kemungkinan besar Grace membuat wajah
konyolnya pada Justin kecil. Kakinya tidak bisa diam di perutku karena merasa
gemas melihat Grace. “Grace hentikan! Mom sedang menggendongnya,” teriakku
masuk ke dalam kamar Aaron yang pintunya terbuka.
Kulihat
anakku yang sudah besar itu sedang merapikan kerah kemeja biru mudanya di depan
cermin. Ia tidak melihat padaku atau apa pun. Hanya membereskan dirinya di
depan cermin. Lalu ia mengambil parfum kesukaannya lalu menyemprotkannya pada
tubuh.
“Apa
itu Daddy?” Tanya Justin kecil di bahuku.
“Parfum.
Mau mau memakainya?” Tanya Aaron melihat dari cermin, ia tersenyum. Pantas saja
Grace menyukai Aaron. Anak pertamaku ini ternyata memang sangatlah tampan,
tidak ada yang bisa memungkirinya. Bahkan aku sendiri sekarang baru
menyadarinya –kali ini benar-benar menyadarinya. “Dimana Grace?” Tanya Aaron
menyimpan kembali parfumnya ke atas meja hitam.
“Dia
sudah siap,” bisikku. Aaron mulai memakai jas hitamnya sambil berjalan menuju
kami, lalu mengecup keningku. “Katakan, ‘dah’ pada Daddy,”
“Dah,
Daddy,” bisik Justin kecil. Aaron tertawa lalu ia mengecup kening anaknya
dengan lembut.
“Pastikan
Daddy pulang dengan pancake kesukaanmu, okay?”
“Benarkah?”
Tanya Justin kecil tak percaya. Mulutnya menganga berbentuk huruf O,
perlahan-lahan kepalanya mengangguk. Aaron tertawa melihat ekspresi anaknya
lalu langsung mengecup pipi anaknya kembali sampai wajahnya miring dan menekan
dadaku.
“Aaron,
ya Tuhan!” Aku menegurnya sambil tertawa-tawa.
“Baiklah,
Mom. Aku pergi,” tukas Aaron. “Aku sayang kau, Justin. Dah,” Aaron pergi dari
kamarnya, meninggalkanku dan Justin kecil.
“Dah, Daddy,” Justin kecil menoleh
ke belakang dan melambai-lambaikan tangannya pada Aaron yang sudah hilang dari
pandangannya. Kudengar suara pancuran air dari dalam kamar mandi Aaron. Justin
sepertinya sudah menyiapkan air hangat untuk Juber. Aku memutar bola mata tiap
kali mengingat nama konyol itu harus kusebut agar Justin dan Justin kecil tak
menoleh secara bersamaan jika kupanggil. “Grandpa,” Juber menggerak-gerakkan
kakinya agar ia turun dari gendonganku. Kakinya menapak ke lantai yang tidak
basah lalu berlari menuju Justin yang jongkok di depan bak mandi.
“Hei, Juber. Bagaimana kabarmu,
bung?” Justin menyikut perut Juber sambil menganggukkan kepalanya pada Juber.
“Kau mau mandi Juber? Kau mau mandi?” Tanya Justin mematikan kran air. Kusentuh
airnya dengan jari telunjuk. Air hangat. Tiap hari berlalu, Justin semakin
mengerti perbedaan air hangat dan panas. Justin membukakan pakaian Juber lalu
menyemplungkan Juber ke dalam bak. Juber tertawa-tawa atas perlakuan Justin. Ia
menciprati Justin dengan tangannya.
“Hei! Siapa yang mengajarkanmu itu?”
Protes Justin mengelap wajahnya. Juber hanya tertawa-tawa dengan ucapan Justin
dengan mulut yang tertutup oleh telapak tangannya yang kecil. Benar-benar
seperti Aaron saat masih kecil. Pintu kamar mandi kututup lalu kukunci. “Jadi,
apa yang terjadi?” Tanya Justin. Aku seharusnya sadar dari awal bahwa masalah
aku mimpi buruk tadi akan diungkit oleh Justin. Aku mendesah.
“Aku mimpi buruk,”
“Ya?”
“Ya,” balasku spontan. “Aaron dan
Grace berhubungan intim.” Justin terbelalak. Dan raut wajahnya itu membuatku
tertawa lepas. Sungguh, jika Justin terkejut wajahnya akan benar-benar lucu.
Mata yang melotot, mulut yang menganga dan dua alis yang terangkat. Ia
menggelengkan kepala, seolah-olah harus sadar dari lamunannya. Beberapa detik
kemudian ia mengedik bahu.
“Hanya mimpi. Tidak perlu terlalu
dipikirkan,”
“Tapi Grace memang jatuh cinta pada Aaron, Justin.”
***
KATH BLOODWORTH
Malam ini aku harus merapikan
kondominiumku. Ya Tuhan, pasti akan sangat melelahkan. Ayah sudah menawarkan
bantuan pelayan dari rumah, tapi aku menolaknya. Ayah memang sering
mengkhawatirkanku secara berlebihan. Alasannya karena aku anak perempuan satu-satunya.
Aku membuka kardus pertama yang berisi pakaian-pakaianku. Setelah bekerja
sampai jam 5, aku harus membereskan barang-barang ini. Kubuka pintu lemari
hitam yang besar lalu mulai menggantung gaun-gaun dan pakaian kerjaku di
gantungan pakaian. Setelah merapikan pakaian-pakaianku, aku merebahkan tubuhku
ke atas tempat tidur yang empuk. Entah mengapa aku merindukan Aaron, padahal
baru kemarin aku bertemu dengannya. Seharusnya sekarang aku menghubunginya
untuk meminta maaf atas kejadian kemarin dan aku sudah menyimpan nomor
teleponnya di ponselku. Jika perlu aku akan menghubungi Grace untuk meminta
maaf. Rasanya tidak benar jika aku belum meluruskan masalah ini. Pasti saat
mereka pulang ke rumah, mereka bertengkar hebat. Aku bisa melihatnya dari
tatapan Aaron yang kesal sewaktu di kelab. Cukup menakutkan dan seksi dalam
waktu yang bersamaan. Dadaku naik turun karena kelelahan. Aku belum mandi dan
makan malam. Dan belum menghubungi ibuku kalau aku sudah berada di rumah
sekarang. Ia ingin datang jika aku sudah sampai di rumah. Ibuku hampir sama
seperti ayah, ia selalu mengkhawatirkan secara tak wajar. Cukup menakutkan
memiliki dua orang tua yang protektif. Kugapai ponsel yang berada di sebelahku
lalu mencari namanya di kontak. Kudekatkan ponsel ke telingaku. Nada pertama.
Nada kedua. Lalu terangkat.
“Aaron Bieber,” suara maskulin dan
tegas terdengar di telingaku. Hatiku mencelos. Jantungku sudah berada di mulut
sekarang. Aku mengangkat ponselku untuk melihat layarnya; Aaron Bieber. Sialan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar