Jumat, 04 April 2014

Touching Fire's Water Bab 3






***


            Pemikiran untuk membunuh Justin benar-benar kuurungkan ketika melihat matanya yang hangat menjemputku untuk terlelap. Ia memancing Grace untuk mengatakan yang sejujurnya tadi malam tentang mengapa Grace merokok. Sebagai ibunya, aku tahu sekali mengapa Grace melakukan itu. Ia ingin mendapat perhatian dari Aaron yang sedang menari dengan wanita lain. Pasti dia cemburu dengan wanita itu. Grace tidak mengatakan apa-apa saat Justin hampir menampar pipinya, aku menghadang Justin untuk melakukan itu dan berakhir aku yang tertampar. Aaron ingin menarik kerah Justin dari belakang –aku bisa melihat dari cara tatapnya—namun ia sedang menggendong Justin kecil dan ia tidak ingin memberikan contoh yang jelek pada anak pertamanya. Grace berlari meninggalkan aku dan Justin di ruang keluarga bersama dengan Aaron dengan derai air mata di pipinya. Tidak ada yang bisa mencegahnya, begitupun aku. Aku berlari menuju kamar dengan wajah yang sudah memerah, tapi tidak menangis. Aku tidak secengeng dulu. Lagi pula, perbuatanku tadi hanya untuk melindungi putriku.
            Saat aku sudah masuk ke dalam selimut, Justin memelukku dari belakang. Ia menempatkan dagunya di leherku. Janggutnya yang sudah tercukur itu terasa tajam dan menggelikan disaat yang bersamaan. Tangannya sudah berada di pinggangku lalu mengelusnya.
            “Sungguh aku sangat menyesal, bluebird. Bukan maksudku ingin menamparmu, tadi aku kehilangan kendali. Kau tahu sangat baik, bukan? Maafkan aku,” Justin memohon dari belakang. Tangannya kali ini mengelus lenganku yang telanjang dengan lembut. Kurasakan nafasnya yang lembut menerpa pipiku. Namun aku masih terdiam, mengacuhkannya untuk beberapa menit terasa menyenangkan dibanding membunuhnya dan kehilangan Justin selamanya. “Kumohon, bluebird. Aku kesal saat Aaron menjelaskan tentang apa yang terjadi ketika kau dan Grace di luar. Dia bukan anak kita,” bisik Justin yang membuatku langsung menyodokkan siku-siku ke dadanya. Ia tergelak.
            “Bukan anak kita? Jadi dia anak siapa? Iblis? Inilah salah satu alasan mengapa aku tidak ingin menjadi wanita. Pria sepertimu tidak akan bisa merasakan rasanya sakit ketika melahirkan. Bagus sekali,” aku berucap  dengan nada sarkasme. Justin mengembuskan nafasnya kembali, merasa sangat menyesal dengan apa yang ia ucapkan. Meski aku tahu ia hanya ingin bercanda atas ucapannya tadi, tetap saja ia menyinggungku.
            “Yeah, dia anak iblis,”
            “Dan kau iblisnya,” aku meringis. “Ironis.”
            “Sayang,” Justin memanggilku lembut. “Maafkan aku. Aku mencintaimu. Kau dengar aku? Aku mencintaimu, okay? Apa kau akan berbalik dan melihatku?”
            “Tidak,” bisikku menolaknya. Justin merengut. “Tidak menolak,” ralatku langsung membalikkan tubuh ke arahnya. Terkadang melihatnya memohon seperti ini sama saja membuatku tersiksa. Ia sangat bisa memberikan suara-suara yang mengundangku untuk memaafkannya –untuk masalah kecil seperti ini—lalu menciumku setelahnya. Matanya menatapku dengan tatapan lembut lalu mengecup bibirku singkat.
            “Jangan pernah memukul anakmu, Justin,” bisikku menyentuh hidungnya yang mancung. Ujung jariku menelusuri batang hidungnya, namun ia terus menatap mata biruku. “Sekesal apa pun dirimu, jangan pernah memukul anakmu. Grace pasti memiliki alasan melakukan itu,” jelasku mengalihkan jari-jariku dari hidung ke belakang kepalanya. Rambutnya halus dan panjang hingga leher sekarang. Mata Justin terpejam merasakan sentuhan-sentuhanku, yeah, aku tahu ia menyukai sentuhan ini. Ia akan cepat tertidur jika aku melakukan ini. Kutumpu kakiku ke atas kakinya, ia mulai memelukku.
            “Aku tahu,” desah Justin mengembus nafas panjang. Mata harimaunya mulai terlihat. “Maafkan aku telah menamparmu,” tangan Justin menyentuh pipiku yang ia tampar dengan lembut. Mataku terpejam. “Aku mencintaimu.” Itulah kata-kata terakhir yang kudengar sebelum aku benar-benar masuk ke dalam dunia mimpi.


***

            Aku berjalan menyusuri lorong menuju kamar Grace. Entah mengapa aku bisa mendengar suara berisik dari dalam kamarku yang jauh dari kamarnya. Kepalaku pening dan hampir terhuyung jatuh ke lantai saat sudah berada di depan pintunya. Peringatan Jangan ganggu sudah terpasang di pintu Grace. Oh, dia tidak ingin diganggu namun ia mengganggu. Bahkan mengganggu ibunya. Saat aku ingin mengetuk pintu kamarnya, kudengar suara desahan dari dalam. Desahan dari Grace yang memohon-mohon untuk tidak berhenti. Erangan kenikmatan yang pernah kualami saat sedang bersama Justin tiap kali kami ingin mengarungi malam penuh gairah.
            “Jangan berhenti, Aaron,” desahnya.
            “Aku akan menguras habis cairanmu malam ini, baby.  Sampai kau memohon untuk berhenti padaku dan menangis,” suara Aaron terdengar diiringi dengan erangan tertahan. Lalu terdengar suara dua daging yang saling bersentuhan dan basah. Darah di bawah kulitku mendidih mendengarnya. Kurasakan telingaku memanas dan memerah. Warnanya sama dengan pipiku sekarang. Kubuka pintu kamar Grace yang ternyata tidak terkunci itu. Aaron berteriak sedang menggauli adiknya sendiri dan kepalanya mendongak ke atas. Tubuh mereka sama-sama polos. Tubuh yang dulu pernah kulihat masih suci sekarang sudah benar-benar kotor. Aku bergidik. Marah, tidak percaya, ingin mengambil sesuatu untuk bisa dihancurkan sekarang, terlebih lagi sekarang aku ingin menampar mereka berdua. Aaron dan Grace sedang menenangkan diri mereka setelah mendapatkan pelepasan lalu Aaron ambruk di atas tubuh Grace. Aku tetap menatap mereka dengan ekspresi dingin.
            “Apa-apaan yang kalian …Mom benar-benar …Mom …” Aku tidak dapat mengucapkan kata selanjutnya. Aku kehabisan kata-kata sekarang. Bahkan aku butuh udara untuk bernafas. Aaron terkejut atas kehadiranku –dia pasti tidak sadar saat ia mendapatkan pelepasannya—sehingga ia menarik selimut di sebelah paha Grace dan menutupi tubuhnya yang sekarang terduduk di sebelah Grace.
            “Mom! Aku bisa menjelaskannya,” Grace bangkit dari tempat tidur dan menarik selimut yang menutupi Aaron, namun Aaron mencegahnya. Anak laki-lakiku dulu yang lucu sekarang benar-benar tolol! Bayang-bayang ia menangis dulu padaku agar aku kembali pada Justin mulai menyeruak masuk ke dalam otakku, mengingat betapa lucunya ia saat itu. Lalu membuat roti rasa cokelat kesukaannya. Dan bertanya-tanya siapa Brad. Mewarnai. Bahkan saat ia melempari dengan seres roti! Aku masih bisa mengingat bayangan-bayangan ia masih lucu dan menggemaskan. Tetapi itu masa lalu. Sekarang ia sudah seperti ayahnya yang sebelum menikah denganku. Dingin, tidak ada ampun, dan bertindak sesukanya. Grace menarik selimut hingga ke bahu, ia menatapku dengan ketakutan. Rambutnya yang panjang itu sudah acak-acakan. Air matanya sekarang mengaburkan mata harimaunya yang sama dengan kakaknya yang sudah memakai celana. Aaron bangkit dari tempat tidur lalu diam di sana. Kedua alisnya menyatu, tatapannya penuh sesal.
            “Ini tidak masuk akal, Aaron. Kau sudah gila? Inikah dirimu setelah Alice tidak ada? Meniduri adikmu sendiri? Mom benar-benar …Mom benar-benar …Mom benar-benar …” hanya kata-kata itu yang keluar dari mulutku, berusaha untuk mencari kata-kata yang tepat untuknya agar ia menyesali perbuatan nista ini –nista untuk hubungan mereka dalam keluarga. Kakiku melemas tak kuat untuk menopang tubuhku, aku terjatuh. Namun tangan Aaron yang lengket itu menyentuh pundakku sebelum lututku membentur lantai. Aku membiarkan tangannya menyentuh tanganku. Ketakutan yang selama ini kutakuti, sekarang benar-benar terjadi.
            “Mom, dengarkan aku,” pinta Aaron dengan suara memohon, aku tak sanggup menatap matanya sekarang. Ia terlalu menjijikan untuk dilihat. Sekalipun ia anakku sendiri. Aku menelan ludah, sekuat mungkin bisa menatap matanya. Kudongakkan kepalaku, air mataku menetes tanpa menyentuh pipiku. “Mom, jangan menangis,”
            “Bagaimana bisa Mom tidak menangis bodoh?” Tanyaku berusaha tenang, namun kenyataannya suara bergetar. “Kau bercinta dengan adikmu sendiri, Aaron! Apa-apaan yang kaupikirkan?” Kedua bahuku diremas oleh tangan Aaron. Ia menatap mataku lekat-lekat, bibirnya berubah menjadi garis tipis yang keras, dan rahangnya menegang. Aku memejamkan mata, air mataku mengalir. Tangan Aaron mulai mengguncang-guncang bahuku, tapi mataku tak kunjung terbuka. Hatiku terlalu sakit. Udara. Aku butuh udara.
            “Mom!” Kurasakan tamparan di pipiku kali ini. Mataku terbuka. Aku terengah-engah ketika membuka mata. Aaron berada di atas tubuhku dengan raut wajah panik. “Mom,” kali ini suaranya melembut. Tangannya mengelap mataku yang basah. Aku melihat ke sekeliling kamar. Tadi hanyalah mimpi. Tadi hanya mimpi semata.
            “Aaron,” aku memanggil namanya. Kepalaku menoleh ke sebelah kiri, tak kutemukan Justin. “Aaron, dimana Dad?” Tanyaku mendorong bahunya agar bangkit dari tubuhku. Demi Tuhan, aku yakin tadi benar-benar terasa nyata! Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri.
            “D-dia memanggilku ketika Mom memanggil-manggil namaku. Raut wajahnya panik saat memanggilku. Jadi aku berlari dan melihat Mom berteriak-teriak sambil menangis. Mimpi buruk, Mom?” Tanyanya duduk di sebelahku. Aku terduduk, tertegun. Mataku melihat ke sekeliling kamar. Kamarku sendiri. Tidak ada Grace yang telanjang atau selimut yang ia tarik. Ini hanya kamarku dan tadi hanyalah sebuah mimpi buruk.
            “Kau baik-baik saja Mom?” Tanya Aaron khawatir.
            “Ya. Kurasa begitu. Dimana Grace?” Tanyaku berusaha untuk tidak panik. Kenyataan berkata lain, nada suaraku meninggi. “Dimana Grace, Aaron?” Tanyaku lebih tegas.
            “Dia di kamarnya, Mom,” balas Aaron heran melihatku. “Tenanglah, Mom. Tidak ada hal buruk terjadi. Kau ingin minum, Mom?” Tawar Aaron. Oh tidak. Anak pertamaku yang sangat kucintai benar-benar manis. Semua pemikiran dalam mimpi kusingkirkan. Bahkan rasanya aku tidak ingin memikirkan mimpi yang baru saja kuimpikan. Aku tidak menerima atau menolak tawaran Aaron, melainkan turun dari tempat tidur. Saat aku benar-benar berdiri, rasanya dunia terguncang. Aku kehilangan keseimbangan. Untungnya Aaron menahanku dari belakang agar aku tidak terjatuh.
            “Kau yakin baik-baik saja, Mom?” Aaron bertanya penuh perhatian. Inilah Aaron yang kukenal. Aku tahu, aku adalah wanita pertama yang ia cintai dalam hidupnya sebagai ibu. Rasa terima kasihnya karena aku mengurusnya sejak kecil sampai sekarang, ia balas dengan perlindungannya yang berlebihan. Aku mengangguk melepaskan diri dari cengkraman tangan Aaron yang keras. Lenganku berdenyut-denyut akibat cengkraman tangannya. Saat aku membuka pintu, kulihat Justin bersandar di tembok luar kamar. Justin kecil sedang dipegang oleh Justin sambil mengisap dua jarinya, seperti biasa. Ia mendongak untuk melihatku lalu melepaskan hisapannya dan mengangkat kedua tangannya, minta digendong. Jonathan berada di sebelah kiri dekat si kembar yang menatapku khawatir. Dan Grace, dia tidak ada di sini. Oh, sudah pagi?
            “Kau baik-baik saja, sayang?” Tanya Justin sangat khawatir.
            “Aku yakin begitu,” ujarku menggendong Justin kecil yang dari tadi memohon untuk digendong. “Hanya mimpi buruk semata,” lanjutku. Jonathan tetap berdiri di tempatnya, kurang yakin dengan ucapannku. “Mom baik-baik saja, anak-anak.Tidak ada yang perlu kalian khawatirkan. Sudah pagi. Kalian harus cepat-cepat mandi,” perintahku dengan suara yang meyakinkan serta lembut. Aku tentu saja tidak ingin membuat Jonathan khawatir dengan keadaanku. Dia salah satu tameng perlindunganku seperti Aaron. Si kembar yang sudah tinggi itu dengan lesu berjalan menuju kamarnya kembali untuk mandi, begitupun dengan Aaron.
            “Alex, sungguh, kau baik-baik saja?” Tanya Justin belum yakin.
            “Mom baik-baik saja, Dad. Dia sudah mengatakannya,” Aaron muncul dari belakang, ia berlalu begitu saja tanpa menoleh atau menatap ayahnya. Aku dan Justin saling bertatapan, ia menatapku dengan tatapan ‘apa-apaan yang baru saja terjadi?’. Aku mengedik bahu.
            “Kita harus memandikan Juber-mu,” tukasku melangkah menuju kamar Aaron. “Aku ingin melihat Grace terlebih dahulu,” ucapku melangkah menuju kamar Grace yang berada di sebelah kamar si kembar. Kulewati lorong yang diberi pencahayaan oleh matahari melalui jendela –biasa si kembar takut jika ia melihat jendela ini di malam hari apalagi jika tirainya tak ditutup. Pintu kamar Grace sudah memberi peringatan Jangan ganggu aku. Itu benar-benar mengingatkanku pada mimpi buruk –mimpi terburuk sepanjang sejarah hidupku—tadi. Bahkan saat aku menatap mata Aaron tadi, aku belum bisa lari dari mimpi buruk itu.
            “Grace? Kau baik-baik saja di dalam?” Tanyaku mengetuk pintu. “Kau harus berangkat kerja dengan Aaron. Dia sudah bersiap-siap,” panggilku. Justin kecil yang berada di gendongan menatapku dengan tatapan polos. Aku hanya memberikan senyum manis padanya, ia malah tergelak tawa. Dua jarinya ia lepaskan dari mulut basah itu lalu memukul-mukul wajahku seperti kemarin pagi ia memukul wajah Justin. Ia senang memukul wajah kakek neneknya. Ia tertawa-tawa.
            “Berhenti, Justin,” tegurku tertawa-tawa. Ia langsung berhenti. Kepalanya tergeleng-geleng sambil tertawa seperti anak gila, sungguh, anak ini harusnya masuk ke dalam sitcom komedi. “Justin, berhenti. Nanti kau pusing,” tegurku lagi. Ia langsung berhenti, bibirnya mengerucut basah. Dia mengingatkanku pada Aaron ketika Aaron masih kecil. Hanya saja, matanya berwarna hitam seperti Alice.
            “Peepee,” serunya langsung memeluk leherku. “Kenapa Grace tidak keluar-keluar, Peepee? Apa dia masih tidur?” Tanyanya dengan suara yang kecil, air liurnya menetes ke baju tidurku. Jari-jarinya yang kecil itu bermain-main di rambutku yang tidak kusut. Saat itu juga Grace keluar dari kamar. Ia sudah siap seperti biasanya. Rambutnya tersanggul rapi, pelembap bibir sudah terpoles sehingga bibirnya sekarang terlihat mengilap, pakaiannya pun rapi. Ia sudah siap.
            “Ada apa Mom?” Tanya Grace.
            “Aaron sepertinya akan siap 5 menit lagi. Mom hanya ingin melihat keadaanmu,” ucapku. “Ternyata masih bernafas,” lanjutku membuatnya terkekeh. Aku berlalu dari hadapannya, Justin kecil menoleh ke belakang, menumpu dagunya di bahuku. Beberapa detik kemudian ia tertawa geli. Kemungkinan besar Grace membuat wajah konyolnya pada Justin kecil. Kakinya tidak bisa diam di perutku karena merasa gemas melihat Grace. “Grace hentikan! Mom sedang menggendongnya,” teriakku masuk ke dalam kamar Aaron yang pintunya terbuka.
            Kulihat anakku yang sudah besar itu sedang merapikan kerah kemeja biru mudanya di depan cermin. Ia tidak melihat padaku atau apa pun. Hanya membereskan dirinya di depan cermin. Lalu ia mengambil parfum kesukaannya lalu menyemprotkannya pada tubuh.
            “Apa itu Daddy?” Tanya Justin kecil di bahuku.
            “Parfum. Mau mau memakainya?” Tanya Aaron melihat dari cermin, ia tersenyum. Pantas saja Grace menyukai Aaron. Anak pertamaku ini ternyata memang sangatlah tampan, tidak ada yang bisa memungkirinya. Bahkan aku sendiri sekarang baru menyadarinya –kali ini benar-benar menyadarinya. “Dimana Grace?” Tanya Aaron menyimpan kembali parfumnya ke atas meja hitam.
            “Dia sudah siap,” bisikku. Aaron mulai memakai jas hitamnya sambil berjalan menuju kami, lalu mengecup keningku. “Katakan, ‘dah’ pada Daddy,”
            “Dah, Daddy,” bisik Justin kecil. Aaron tertawa lalu ia mengecup kening anaknya dengan lembut.
            “Pastikan Daddy pulang dengan pancake kesukaanmu, okay?”
            “Benarkah?” Tanya Justin kecil tak percaya. Mulutnya menganga berbentuk huruf O, perlahan-lahan kepalanya mengangguk. Aaron tertawa melihat ekspresi anaknya lalu langsung mengecup pipi anaknya kembali sampai wajahnya miring dan menekan dadaku.
            “Aaron, ya Tuhan!” Aku menegurnya sambil tertawa-tawa.
            “Baiklah, Mom. Aku pergi,” tukas Aaron. “Aku sayang kau, Justin. Dah,” Aaron pergi dari kamarnya, meninggalkanku dan Justin kecil.
            “Dah, Daddy,” Justin kecil menoleh ke belakang dan melambai-lambaikan tangannya pada Aaron yang sudah hilang dari pandangannya. Kudengar suara pancuran air dari dalam kamar mandi Aaron. Justin sepertinya sudah menyiapkan air hangat untuk Juber. Aku memutar bola mata tiap kali mengingat nama konyol itu harus kusebut agar Justin dan Justin kecil tak menoleh secara bersamaan jika kupanggil. “Grandpa,” Juber menggerak-gerakkan kakinya agar ia turun dari gendonganku. Kakinya menapak ke lantai yang tidak basah lalu berlari menuju Justin yang jongkok di depan bak mandi.
            “Hei, Juber. Bagaimana kabarmu, bung?” Justin menyikut perut Juber sambil menganggukkan kepalanya pada Juber. “Kau mau mandi Juber? Kau mau mandi?” Tanya Justin mematikan kran air. Kusentuh airnya dengan jari telunjuk. Air hangat. Tiap hari berlalu, Justin semakin mengerti perbedaan air hangat dan panas. Justin membukakan pakaian Juber lalu menyemplungkan Juber ke dalam bak. Juber tertawa-tawa atas perlakuan Justin. Ia menciprati Justin dengan tangannya.
            “Hei! Siapa yang mengajarkanmu itu?” Protes Justin mengelap wajahnya. Juber hanya tertawa-tawa dengan ucapan Justin dengan mulut yang tertutup oleh telapak tangannya yang kecil. Benar-benar seperti Aaron saat masih kecil. Pintu kamar mandi kututup lalu kukunci. “Jadi, apa yang terjadi?” Tanya Justin. Aku seharusnya sadar dari awal bahwa masalah aku mimpi buruk tadi akan diungkit oleh Justin. Aku mendesah.
            “Aku mimpi buruk,”
            “Ya?”
            “Ya,” balasku spontan. “Aaron dan Grace berhubungan intim.” Justin terbelalak. Dan raut wajahnya itu membuatku tertawa lepas. Sungguh, jika Justin terkejut wajahnya akan benar-benar lucu. Mata yang melotot, mulut yang menganga dan dua alis yang terangkat. Ia menggelengkan kepala, seolah-olah harus sadar dari lamunannya. Beberapa detik kemudian ia mengedik bahu.
            “Hanya mimpi. Tidak perlu terlalu dipikirkan,”
            “Tapi Grace memang jatuh cinta pada Aaron, Justin.”


***


KATH BLOODWORTH

            Malam ini aku harus merapikan kondominiumku. Ya Tuhan, pasti akan sangat melelahkan. Ayah sudah menawarkan bantuan pelayan dari rumah, tapi aku menolaknya. Ayah memang sering mengkhawatirkanku secara berlebihan. Alasannya karena aku anak perempuan satu-satunya. Aku membuka kardus pertama yang berisi pakaian-pakaianku. Setelah bekerja sampai jam 5, aku harus membereskan barang-barang ini. Kubuka pintu lemari hitam yang besar lalu mulai menggantung gaun-gaun dan pakaian kerjaku di gantungan pakaian. Setelah merapikan pakaian-pakaianku, aku merebahkan tubuhku ke atas tempat tidur yang empuk. Entah mengapa aku merindukan Aaron, padahal baru kemarin aku bertemu dengannya. Seharusnya sekarang aku menghubunginya untuk meminta maaf atas kejadian kemarin dan aku sudah menyimpan nomor teleponnya di ponselku. Jika perlu aku akan menghubungi Grace untuk meminta maaf. Rasanya tidak benar jika aku belum meluruskan masalah ini. Pasti saat mereka pulang ke rumah, mereka bertengkar hebat. Aku bisa melihatnya dari tatapan Aaron yang kesal sewaktu di kelab. Cukup menakutkan dan seksi dalam waktu yang bersamaan. Dadaku naik turun karena kelelahan. Aku belum mandi dan makan malam. Dan belum menghubungi ibuku kalau aku sudah berada di rumah sekarang. Ia ingin datang jika aku sudah sampai di rumah. Ibuku hampir sama seperti ayah, ia selalu mengkhawatirkan secara tak wajar. Cukup menakutkan memiliki dua orang tua yang protektif. Kugapai ponsel yang berada di sebelahku lalu mencari namanya di kontak. Kudekatkan ponsel ke telingaku. Nada pertama. Nada kedua. Lalu terangkat.
            “Aaron Bieber,” suara maskulin dan tegas terdengar di telingaku. Hatiku mencelos. Jantungku sudah berada di mulut sekarang. Aku mengangkat ponselku untuk melihat layarnya; Aaron Bieber. Sialan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar