***
Nama Aaron Bieber tertulis di sana.
Dalam hatiku, bagaimana bisa aku malah menghubunginya? Aku bermaksud
menghubungi ibuku tetapi …sial. Aku pasti memang ingin sekali menghubunginya dan
aku malah membohongi diriku sendiri. Jantungku berdetak kencang ketika suaranya
yang maskulin terdengar di telingaku. Darahku bernyanyi di bawah kulit dengan
riang karena suara Aaron-lah yang kudengar. Tubuhku menggeliat seperti cacing
untuk mendapatkan posisi yang nyaman untuk berbicara dengannya. Dengusannya
membuatku cekikikan seperti orang gila. Ia kesal karena aku tak menyahut.
“Siapa ini?” Tanya Aaron dengan
suara tegas serta kesal. “Pancake,” kudengar suara anak kecil di sebelahnya.
Oh, manis sekali suara itu. Pasti suara anak kecil itu adalah anak Aaron
laki-laki yang ia ceritakan tempo hari. Dari suaranya saja sudah menggemaskan,
bagaimana jika aku bertemu dengan anak laki-lakinya? Impian bodoh! Tidak
mungkin Aaron Bieber akan mengajakku untuk bertemu dengan anaknya. Itu khayalan
tertinggiku seumur hidup. Lalu, berpacaran mungkin? Tidak, tidak, tidak. Aku
bahkan tidak mengenalnya seperti aku mengenal Brad.
“Mr.Bieber, ini aku, Kath,” ucapku
dengan suara yang dibuat tenang. Suara terkejut dari nafas Aaron terdengar,
lalu ia tersenyum. Dia senang aku menghubunginya, mungkin lebih tepatnya, tak
percaya. Aku pun tak percaya pada diriku sendiri yang ternyata meneleponnya,
padahal niat awalku adalah menelepon ibuku. Membingungkan! “Terima kasih untuk
kemarin malam. Benar-benar menakjubkan,” lanjutku selang beberapa detik karena
ia tidak membalas.
“Itu bukan apa-apa …Eh, Justin!”
Kudengar suara pindahan ponsel ke tangan lain. Aku bingung. Siapa yang ia
panggil? Ayahnya, Justin? Tidak mungkin ia memanggil ayahnya dengan nama
seperti itu. Terdengar tidak sopan untuk orang seperti Aaron. Kudengar suara
anak kecil mengunyah sesuatu lalu menggumam.
“Hei,” sapaku dengan lembut.
“Peepee? Halo, ini aku Justin!”
Suara riang dari seorang anak kecil dengan kebahagiaan tiada tara itu
terdengar. Senyumku mengembang sampai-sampai aku butuh bibir lebih lebar lagi
untuk memaksimalkan senyumanku. Demi Tuhan ini adalah suara yang benar-benar
menyenangkan untuk didengar. Ia mengoceh dengan bahasa sendiri yang tak mungkin
kumengerti. Suara rebut-rebutan terdengar dari sana sampai aku tertawa pelan.
“Tidak, daddy! Ini Peepee!”
“Bukan, Justin. Berikan ponsel itu
pada Dad. Peepee ada di atas kamar,” Aaron berucap dengan tegas. “Grace, bawa
Justin ke kamar.” Aaron memerintah pada Grace. Hatiku merasa lega karena mereka
akur kembali. Bagaimana pun aku harus meminta maaf padanya atas kejadian
kemarin malam. “Maaf tentang Justin. Ia memang senang menelepon. Dia menganggap
kau ibuku,”
“Tidak apa. Aku hanya menghubungimu
soal kemarin. Sungguh, aku minta maaf atas apa yang kulakukan pada Grace. Itu
semua salahku. Rasanya salah jika aku tidak meminta maaf padanya, terutama
padamu—“
“Kath,” Aaron memotong ucapanku
dengan suara yang benar-benar tegas. “Kau tidak perlu meminta maaf pada siapa
pun. Anggap saja kejadian kemarin tidak pernah terjadi. Mengerti? Jika boleh,
aku harus pergi ke atas sekarang,” ia terdengar sangat terburu-buru.
“Tentu saja, senang berbicara
denganmu, Mr.Bieber.” Aku enggan menutup telepon ini. Suaranya terdengar enak
didengar, tak sanggup rasa harus mematikan telepon ini. Namun ia memintanya.
Seperti ini …menjauh dariku. Tidak mengharapkanku. Lalu semuanya terasa sangat
jelas. Kukedipkan mataku satu kali.
“Kau juga.” Setelah itu telepon
mati. Jantungku berdegup kencang. Mataku terasa panas dan perih dalam waktu
yang bersamaan. Langit-langit yang kulihat sekarang buram karena air mataku
yang berkumpul. Harapan-harapanku yang telah kusimpan di dalam hati sekarang
hancur begitu saja. Kuremas ponsel yang kupegang sampai kukuku memutih. Apa dia
tidak senang denganku? Maksudku, Aaron tidak senang jika kuhubungi? Okelah, aku
mungkin terlalu berharap lebih padanya. Kupejamkan mataku, terasa air hangat
yang mengalir melalui sudut mataku dan terjatuh ke dalam daun telinga. Ini
terlalu berlebihan. Tidak seharusnya aku berpikir tentang aku akan mendapatkan
Aaron. Atau Aaron akan jatuh cinta padaku. Aku bahkan baru bertemu dengannya 2
kali! Itu tidak cukup untuk berkenalan. Dan pertemuan yang kedua hanya sekedar
teman semalam. Perasaan ini harus segera disingkirkan. Aku hanya menyukainya,
tidak jatuh cinta. Belum jatuh cinta, lebih tepatnya. Aku membisikkan doa agar
tidak jatuh cinta pada seorang kaya raya seperti Aaron.
Aku terisak. Suara Aaron di telepon
tadi benar-benar terdengar ingin menjauhiku. Entahlah, di akhir-akhirnya
terdengar seperti itu. Ia ingin menjauh dariku. Mungkin ia sadar sepenuhnya
bahwa aku bukan tipenya. Atau mungkin ia belum bisa melupakan istrinya.
Ponselku berdering, tanpa melihat layarnya, aku mengangkat.
“Demi Tuhan, Kath! Mom sudah ada di
depan pintu rumahmu dan menekan bel berkali-kali. Dimana kau?” Ibuku mengerang
marah. Aku bangkit dari tidur, menghapus air mataku dan menarik nafas. “Kau
baik-baik saja, Kath? Dimana kau sekarang?” Suara ibuku berubah menjadi
khawatir. Tidak menjawab, aku berjalan melewati kardus-kardus di dekat mulut
pintu kamar. Lalu ruang tamu. Masih banyak kardus yang belum kubuka malam ini.
Aku mengaca sebentar di lemari pajangan bagian dalam yang memiliki cermin.
Memastikan bahwa mataku belum sepenuhnya merah. Alasan kecapekan sepertinya
akan bagus. Kubuka pintu rumah.
“Kath Bloodworth! Aku sangat
merindukanmu, sayang!” Teriakan dari seorang pria bersuara berat terdengar
sangat familiar di telingaku. Kulihat siapa dia. Mataku melotot tak percaya
dengan siapa yang kulihat. Ia langsung memelukku dengan erat. Aku
melompat-lompat kegirangan membalas pelukannya. Oh, ya Tuhan, paman Brad selalu
baik padaku. Ia kenal dengan ibuku sejak aku remaja dulu dan bahkan sampai
sekarang aku menjadi keponakan kesayangannya. Well, baiklah, aku bukan
keponakan kandungnya. Ia teman ibuku namun sudah dianggap keluarga oleh ibu dan
ayahku. Setelah berlama-lama berpelukan, ia akhrinya melepaskan pelukan itu.
“Paman Brad. Kau sangat
menakjubkan!” Pujiku melihat pakaiannya yang sederhana tetapi tetap kelihatan
mahal dan berkelas –itu yang dikatakan paman Brad sejak lama, jadi aku
mengikutinya. Celana jins biru dan kemeja biru pucat disertai dengan jas
berwarna hitam. Ia tampan, selalu terlihat tampan. Ibuku ada di belakangnya,
tersenyum melihat kebersamaan kami. Ayah tidak akan datang. Dan aku tahu alasan
yang tepat mengapa ia tidak dapat datang. Yeah, pekerjaan.
“Terima kasih, Kath,” ucap paman
Brad menghargaiku. Ia berjalan melewatiku masuk tanpa kupersilahkan. Dia
pamanku, itu tidak apa-apa. “Well, kondominium yang bagus. Sederhana tapi
berkelas,” dan inilah, paman Brad yang kukenal. Menyukai kesederhanaan namun
memberi kesan berkelas. Matanya
melihat-lihat sekitar ruang tamu yang langsung terhubung dengan dapur lalu dua
kamar besar serta kamar mandi di sebelah kamar kedua. Kamar utama adalah
kamarku yang memiliki kamar mandi di dalamnya. Ibuku masuk, jadi aku menutup
pintu.
“Mom hampir mati ketakutan saat kau
tidak menjawab pertanyaan Mom,” gerutu ibu kesal. “Dan kau belum membereskan
barang-barangmu, Kath,” lanjutnya menjatuhkan tas kecilnya ke atas sofa putih
milikku yang kubeli dengan ayahku beberapa minggu yang lalu. Paman Brad
melemparkan dirinya ke atas sofa lalu tiduran di sana. Aku hanya memutar bola mataku karena sikapnya
yang seperti kanak-kanak itu. Paman Brad sudah menikah. Dulu dia tinggal di
Rusia, tapi sejak aku berumur 15 tahun, ia sudah ada di Atlanta. Istrinya masih
tinggal di Rusia sampai aku berumur 20 tahun, jadi dia bolak-balik dari Atlanta
ke Rusia. Ia hanya memiliki satu anak laki-laki yang sekarang berumur 22 tahun.
Yah, hanya berbeda 2 tahun dariku. Dia tampan seperti ayahnya sekarang. Dan
sebentar lagi ia akan lulus kuliah.
“Bagaimana kabar Michael, paman
Brad? Aku tidak melihatnya akhir-akhir ini. Sepertinya ia menjauh dariku,”
ujarku duduk di atas sofa sebelahnya lalu menarik salah satu kardusku. Tulisan
‘Books’ bertinta spidol terlihat sangat besar di sana. Buku-buku kesukaanku
sejak aku kuliah. Aku akan menyimpan di rak buku yang kutata di tembok antara
pintu kamar utama dan kamar lain. Kurobek selotip yang menutupnya lalu
mendongak untuk melihat paman Brad.
“Dia sedang magang di sebuah
perusahaan. Paman senang akhirnya ia bisa mandiri. Ia bilang, ia ingin menjadi
seperti dirimu yang sudah bekerja di sebuah perusahaan sejak akhir kuliah,” ia
terkekeh. “Paman tidak percaya dia berbicara seperti itu. Bagi Michael, kau
adalah kakaknya. Jadi, Kath …bagaimana hubungan asmaramu? Apa ada seorang pria
yang mendekatimu?”
“Katakan saja padanya, Kath,” suara
ibuku dari dalam kamar terdengar. Ternyata dari tadi ibuku menguping apa yang
aku dan paman bicarakan. Paman Brad memberikanku senyum penuh arti agar aku
memberitahu padanya yang sebenarnya. Aku mendesah.
“Ada seorang pria. Aaron Bieber.
Pria tampan yang kaya. Sayangnya, dulu dia pernah menikah dan sekarang memiliki
satu anak. Istrinya meninggal entah kapan. Mungkin baru-baru ini. Sudahlah,
paman, jangan bicarakan dia. Oke?” Aku menatap paman Brad dengan tatapan
memohon. Raut wajahnya tak dapat kujelaskan. Bibirnya sedikit mengerucut,
keningnya berkerut seperti sedang berpikir. Beberapa detik kemudian ia
mengangguk.
“Baiklah,” tukas paman Brad. “Paman
datang ke sini karena paksaan ibumu untuk membantu beres-beres di sini. Jadi,
barang mana yang harus kubereskan? Pakaian dalammu bisa paman bereskan juga,”
goda paman Brad menggodaku.
“Jangan coba-coba, Brad!” Ibuku
berteriak dari dalam mengancam paman Brad.
“Aku langsung menciut, Mrs.
Bloodworth. Tidak akan.” Paman Brad mengedip padaku, memberikan kedipan
berbohong padaku terhadap ibu. Aku hanya bisa cekikikan melihat tingkah pamanku
yang lucu.
***
Paginya aku bangun dengan keadaan
kurang enak badan. Semalaman aku, ibu, dan paman Brad membereskan barang-barang
lalu merapikannya bersama-sama hingga tengah malam. Sangat melelahkan
sampai-sampai aku minta tangan dan kakiku diamputasi. Ibuku menginap, paman
Brad pulang. Saat aku sudah sampai di kantor, rambutku sudah tertata rapi.
Ibuku tidak diizinkan masuk ke dalam gedung karena dia bukan karyawan di kantor
ini. Ia hanya sampai pintu masuk untuk merapikan sedikit rambutku yang ia tata
seperti biasanya. Saat berada di dalam lift, jantungku berdegup kencang entah
kenapa. Kutekan tombol untuk ke lantai kantorku yang berada di paling atas.
Yeah, benar sekali. Aku tangan kanan Mr.Smith yang membuat para wanita di sini
iri karena umurku terlalu muda untuk mendapatkan posisi seperti ini. Dengan
posisi ini, aku bisa membeli mobil mahal yang biasa artis-artis pakai. Atau
mungkin membeli tas terkenal, seperti Prada mungkin? Masalahnya, uang-uang itu
harus kusumbangkan ke acara-acara amal yang diadakan ayahku untuk anak panti
asuhan dan orang-orang kekurangan. Bukankah ayahku murah hati? Sebenarnya,
untuk mendapat posisi tinggi seperti membutuhkan waktu hanya dua tahun. Mungkin karena waktu yang singkat itu membuat
karyawan wanita di sini bingung dan menuduhku kalau aku tidur dengan Mr.Smith.
Maksudku, yang benar saja! Aku tahu ia masih lajang dan belum pernah
berkeluarga, serta ia sangat tampan. Hanya saja, Mr.Smith bukanlah pria
idamanku selama ini. Justru Mr.Smith-lah yang mengejar-ngejarku selama ini
untuk bisa mendapatiku di atas ranjangnya. Maksudku, tidak terima kasih. Aku
bukan pelacur.
Pintu lift terbuka. Dengan rasa
percaya diri, aku melangkah keluar. Hanya ada beberapa karyawan yang berada di
lantai paling atas. Dan Whitney, tentunya yang sudah berada di luar ruangan
Mr.Smith. Aku juga tidak satu ruangan dengan Mr.Smith. Tetapi, untuk masuk ke
ruanganku, kata Mr.Smith aku harus melewati ruangan Mr.Smith terlebih dahulu.
Padahal aku bisa masuk melalui pintu ruanganku sendiri. Itu semua kulakukan
agar pekerjaan yang menyenangkan ini akan tetap menjadi milikku. Hebatnya
Mr.Smith adalah dia tidak pernah membawa wanita dari luar untuk berhubungan
intim di dalam kantornya. Dari bos-bos yang teman-temanku ceritakan, biasanya
mereka mendapatkan sumpah serapah dari istri bos mereka karena telah membawa
wanita dari luar untuk berhubungan intim di dalam kantor. Memalukan. Kali ini
Whitney tidak menggeleng-gelengkan kepalanya seperti rapat saat itu.
Kulewati dia. Tanganku mendorong
pintu kantor Mr.Smith. Terlihat mata biru Mr.Smith yang terlihat sangat
mengintimidasi—seharusnya tapi aku sudah terbiasa. Seulas senyuman terpancar
dari wajahnya. Mau tak mau aku membalas senyumannya. “Selamat pagi, Ms.
Bloodworth,”
“Mr.Smith. Kau tampak tampan pagi
ini,” pujiku.
“Ah, terima kasih atas pujiannya.
Aku baru saja memotong rambutku kemarin. Bagaimana menurutmu?” Tanyanya
mengelus-elus kepalanya. Sinting! Aku tidak percaya ia memotong rambutnya
hingga botak seperti ini. Bodohnya, aku tidak sadar kalau sekarang rambutnya
yang dulu seksi sekarang dipotong botak. Rambutnya masih ada, tidak botak
sepenuhnya. Hanya saja, tidak cocok untuknya.
“Potongan rambut yang bagus,
Mr.Smith,” pujiku memberikan ibu jari demi menyelamatkan pekerjaanku. Mr.Smith
mengangguk-angguk dan menggumamkan ‘aku tahu’ berkali-kali. Tersadar akan
sesuatu, ia mendongak.
“Ada yang ingin bertemu denganmu di
kantormu,” tukasnya cepat-cepat. Aku langsung mengangguk dan membuka pintu
ruanganku yang terhubung dengan kantornya. Saat aku masuk, parfum pria tercium
di indra penciumanku. Luar biasa harum. Ini seperti harum ayahku. Kulihat seorang
pria yang memunggungiku terduduk di kursi yang ada di di hadapan meja kerjaku.
Ia tidak menoleh ke belakang saat aku benar-benar menutup pintu, jadi aku
mendekatinya.
“Ada yang bisa kubantu?” Tanyaku
melangkah melewati pria itu. Kutaruh tas jinjing hitam yang kubawa ke bawah
meja dan duduk di balik meja kerja. Ia sekarang berhadapan denganku. Dua pasang
mata harimau itu menatapku dengan tatapan dingin tanpa senyum. Aaron. Sialan,
pria yang membuatku menangis tadi malam. “Mr.Bieber. Apa yang kaulakukan di
kantorku?” Tanyaku kebingungan.
Ia mendesah. “Aku minta maaf soal
tadi malam. Pasti terdengar sangat tidak sopan. Aku datang ke sini hanya untuk
meminta maaf padamu dan memintamu sesuatu. Apa kau bisa memenuhi permintaanku?”
Tanyanya tanpa mencondongkan tubuhnya ke depan. Terlihat sangat berkuasa meski
bukan di kursi besar yang dipakai Mr.Smith di sebelah.
“Tergantung,”
“Ya atau tidak?” Tanyanya memaksa.
“Aku tidak akan mengatakan apa pun
jika kau tidak memberitahu apa permintaanmu. Bagaimana jika permintaanmu adalah
berhubungan intim denganku? Tentu saja aku akan menolak,” bibirku yang bodoh
ini tidak dapat berhenti berucap! Tanganku gatal ingin memukul bibir bodoh ini.
Raut wajah Aaron berubah dari dingin menjadi terkejut. Atau bisa dikatakan terkesan
dengan ucapanku. Lalu salah satu sudut bibirnya tertarik ke atas. Apa-apaan
yang sedang ia lakukan padaku? Darahku berdesir di sekujur tubuh naik ke atas.
Pipiku memerah. “Tapi jika mengajakku memakan es krim, aku mau,” lanjutku
cepat-cepat. Ia tertawa hingga kepalanya terlempar ke belakang. Kepalanya
tergeleng-geleng dan lalu matanya terbuka, ia berusaha menghentikan tawanya.
“Kau sangat lucu, Kath. Harus
kuakui,” ucapnya memposisikan tubuhnya agar lebih enak duduk. “Aku hanya ingin
mengajakmu untuk pergi ke kelab ayahku malam ini. Kau mau datang? Aku akan
mengantarmu pulang. Aku janji,” ia mengangkat kedua tangannya sambil
menyilangkan kedua jari telunjuk dan tengahnya. Aku tidak tahu apa aku bisa
atau tidak. Pasti ibuku akan bertanya dimana kuberada jika ia menghubungiku
setelah itu ia akan menggangguku untuk mendapatkan Aaron. Aku hanya… tidak
ingin berharap berlebihan seperti tadi malam. Ternyata berharap terlalu tinggi
membuatku jatuh kesakitan karena tak tercapai. Idiotnya, aku baru dua kali bertemu
dengannya dan sudah menyukainya. Dan bagaimana jika saat di kelab, aku mabuk
lalu Aaron akan berhubungan seks denganku? Uh, aku tidak ingin kesan pertama
hubungan seks pertamaku jelek karena mabuk. Tidak, tidak, tidak. Aku tidak
ingin kehilangan keperawanan berharga ini –sangat langka—hanya karena mabuk.
“Aku tidak akan menyentuhmu, aku
janji,” tukas Aaron. “Sebagai tanda maafku karena sudah bertindak tidak sopan
padamu. Ayahku selalu mengajarkanku untuk bersikap gentleman dengan wanita sepertimu,” lanjut Aaron. Aku tidak
mengerti dengan pria ini. Apa maunya? Kemarin ia terburu-buru untuk berhenti
berbicara denganku seperti hendak menjauhiku, tapi sekarang ia meminta maaf
dengan alasan ia harus berperilaku jantan dengan wanita seperti aku.
“Baiklah,” aku memercayainya. Ia
tipe pria yang memegang kata-katanya. Ia bangkit dari kursinya lalu berdiri di
belakang kursi. Ia memegang tepinya.
“Aku akan menjemputmu jam 7.
Bersiap-siaplah. Selamat siang, Ms.Bloodworth.” tukasnya cepat-cepat pergi dari
hadapanku. Ia keluar dari ruangan sebelum aku bisa mengatakan sesuatu.
Kemana ia akan menjemputku? Aku
belum memberitahu apa-apa tentang alamatku padanya.
***
Hebatnya, ia datang. Benar-benar
datang ke kondominiumku mengenakan setelan tadi siang. Berarti dia tidak pulang
ke rumah. Berada di dalam mobilnya benar-benar membuatku gugup dan keadaan
menjadi canggung. Ia tidak mengatakan apa pun. Mungkin ya, hanya beberapa kata
untuk memuji betapa cantiknya aku. Padahal aku hanya memakai gaun berwarna
putih selutut dengan motif bunga-bungaan. Serta tiga kancing sampai belahan
dada. Tidak memakai jaket atau cardigan sama sekali. Padahal malam ini dingin.
Bodoh sekali. Mobil sudah berhenti di parkiran kelab ayah Aaron. Aku turun dari
mobilnya yang besar. Padahal ia memintaku untuk tetap berada di dalam mobil
agar ia bisa membukakan pintu untukku. Bedanya, aku bukan tipe wanita yang
ingin dibukakan pintu mobil oleh pria.
Tangannya yang besar memegang
tanganku. Ia menggiringku menuju kelab tanpa berkata apa-apa. Bahkan para
penjaga kelab tidak meminta kartu tanda pengenal pada Aaron. Tentu saja. Aaron
adalah anak dari orang yang menggajinya. Omong-omong aku penasaran ingin
bertemu dengan ayah Aaron secara langsung. Bagaimana dirinya sekarang? Apa
masih setampan dulu? Atau sudah ada lemak yang menjarah di perutnya? Suara
music mulai memekakan telingaku. Aaron mendekati bar dan memintaku untuk duduk
di atas kursi. Aaron memberikan kode pada seseorang. Suara musik sekarang tidak
begitu kencang, justru terdengar seperti dua hari yang lalu. Aku hanya bisa
tersenyum padanya lalu mengedarkan pandanganku pada orang-orang yang
meliuk-liukkan tubuhnya di atas lantai dansa. Tidak boleh mabuk, aku memperingatkan diriku sendiri.
“Grace tidak datang ke sini?”
Tanyaku teringat akan Grace. Aaron menyodorkan dua gelas berisi minuman keras
padaku dan aku langsung menenggaknya.
“Ibuku tidak mengizinkannya hari
ini. Maka dari itu aku mengajakmu sekarang. Ia memiliki kelainan jika aku
sedang berada di dekat seorang wanita,” ejek Aaron yang membuatku tidak suka
padanya untuk beberapa detik. Entahlah, nada bicaranya salah. Tapi aku tidak
membalas ucapannya, hanya anggukan yang kuberikan. “Apa kau punya pacar, Kath?”
Tanya Aaron. Aku tidak begitu yakin dengan pertanyaan tadi.
“Apa?”
“Apa kau sudah punya pacar?”
Tanyanya kali ini denga suara yang lebih jelas. Kugelengkan kepalaku,
memandangi gelas yang kosong. Beberapa detik kemudian terisi kembali oleh
seorang bartender. Aku meminumnya kembali sampai habis. “Bagus.” Komentarnya.
“Memangnya kenapa?” Tanyaku ingin
tahu.
“Aku hanya ingin tahu siapa
penghalangku untuk mendapatkanmu, kau tahu,” ujarnya membuat hatiku membengkak
begitu saja. Baru ingin kubalas ucapannya, ponselku berdering. Pasti ibuku.
Kuambil ponselku yang kusimpan di dalam tas kecil yang kubawa. Benar saja,
ibuku. Aku langsung mengangkatnya. Kulirik Aaron memanggil bartender kembali
lagi. Sepertinya bartender itu ingin kehilangan pekerjaannya karena sudah
membuat anak atasannya kesusahan memanggilnya.
“Ada apa Mom?”
“Mom akan ke sana 10 menit lagi!”
Setelah itu selesai. Apa-apaan yang baru saja terjadi? Aku hanya
menggeleng-gelengkan kepalaku tidak mengerti dengan percakapan tadi. Ibu akan
ke sini? Masalah. Masalah besar. Tentu saja ibuku tahu aku dimana. Suara music di
kelab ini akan membawa ibuku datang ke sini. Asal tahu saja, ibuku kuat minum
minuman keras.
“Siapa?” Tanya Aaron.
“Momku akan datang sebentar lagi.
Kuharap kau tidak keberatan,”
“Justru aku ingin bertemu dengan
ibumu, kau tahu,” ujarnya bersemangat. Ia meminum minumannya kembali, begitupun
denganku. Untuk sekarang ini aku sedang tidak ingin menari. Entahlah, mungkin
karena terlalu lelah bekerja sampai jam 6 dan terburu-buru pulang untuk
mempersiapkan diri ke sini. Aku hanya menggeleng-geleng kepala tak percaya
dengan semangatnya. Ibu dan Aaron sepertinya adalah persatuan yang cocok.
Mereka saling ingin bertemu satu sama lain. Entah mengapa jika Aaron dan ibu
bertemu adalah pertanda buruk bagiku. “Ada apa?” Tanya Aaron memerhatikanku
dengan ragu.
“Kurasa bertemu dengan Mom bukanlah
ide paling cemerlang,” ucapku memain-mainkan gelas yang kosong. Tidak boleh mabuk. Aku mengangkat
tanganku pada bartender yang ingin mengisi gelasku kembali. Ia langsung
beranjak pergi.
“Di sini kau rupanya!” Suara ibuku dari
belakang mengagetkanku setengah mati. Terlambat. Dia sudah datang. Lebih cepat
dari yang kukira. “Mom mencarimu kemana-mana,” gerutu ibuku.
“Aaron, ini Mom. Mom ini, Aaron,”
aku memperkenalkan ibu pada Aaron. Ibuku terkejut setengah mati ketika akhirnya
ia bisa bertemu dengan Aaron secara langsung dan lebih personal.
“Aaron Bieber,” ucap Aaron dengan
sopan.
“Selena Bloodworth. Ibu Kath.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar