Sebuah
kertas berisi catatan. Ibu jari Taylor mengelus-elus kertas yang terapit di
antara jari telunjuk dan jempolnya. Sudah berkali-kali ia membaca isi kertas
itu, menduga mengapa pria yang selama ini ia percayai ternyata menjadi
pengkhianat. Bukan, bukan. Java bukan pengkhianat. Pria itu sedang tidak waras
semenjak kedatangan Justin. Taylor tahu betul apa yang akan terjadi jika ia
bertemu dengan Java di tempat yang Java minta untuk Taylor datangi. Sedikit
tangisan dan penyesalan akan mengiring mereka agar Christopher dikembalikan
hidup-hidup.
Di ruang bawah tanah Mr. Hitch. Tengah malam.
Bawa si Brengsek Justin bersamamu. Jangan beritahu Rebecca dan Peter atau meminta
bantuan. Jika kau melakukannya, kau tidak akan melihat Christopher lagi.
Taylor tak perlu bertanya siapa yang
memberinya pesan di atas meja ruang kerjanya setelah ia menyelesaikan kasus
keluarga Featherston siang itu—dimana tentunya kedua anak itu akan dimasukan
penjara, kecuali anak Featherston yang akan dibawa ke rehabilitasi. Emma tidak
mungkin akan menyebut Justin ‘brengsek’ dalam sebuah catatan itu. Atau
mengancamnya hingga membuat seluruh bulu roma Taylor berdiri, membuatnya panik
yang dilapisi ketenangan di penampilan luarnya. Dan bukan menjadi ciri khas Taylor
jika ia tidak langsung turun ke lapangan, mengecek keadaan Christopher dan
meyakinkan diri bahwa anak itu baik-baik saja di sekolah. Taylor tak akan
segan-segan memberi tuntutan pada sekolah itu jika Christopher benar-benar
diculik—dan memang diculik.
Sesampainya ia di sekolah, ia tidak
menemukan Christopher dimana pun. Seharusnya anak itu sudah ada di taman
bermain, menunggunya untuk dijemput. Ia sudah bertanya pada guru-guru di
sekolah itu namun mereka bilang Christopher telah dijemput oleh seorang pria
yang mengaku Ayah Christopher. Mereka tidak akan keberatan karena Christopher
sendiri yang memberitahu guru-guru bahwa pria itu adalah orang yang ia kenal.
Saat itu Taylor ingin sekali meninju satu per satu guru yang ada namun ia tidak
memiliki waktu untuk melakukan itu.
Sambil berjalan terburu-buru di
lorong sekolah, Taylor menghubungi Java. Berharap pria itu ingin memaafkannya
atas apa pun yang pernah ia lakukan pada Java hanya dengan sebuah panggilan
sederhana. Tetapi nomor pria itu sudah tak aktif lagi. Ia frustrasi. Haruskah
ia memanggil Justin sebagai bala bantuannya? Taylor baru saja membuang Justin
dari kehidupannya—dan Taylor dapat melihat wajah Justin terkejut sekaligus
kecewa selama perjalanan menuju kantornya. Dan sekarang ia meminta bantuan dari
pria itu? Sungguh, jalang.
Wanita itu pulang menggunakan taksi.
Sejurus kemudian, setetes air mata mulai melewati pipi kanannya. Disusul dengan
air matanya yang lain. Sopir itu bertanya apakah ia baik-baik saja, tetapi
Taylor hanya menggeleng dan menatap pria itu dari kaca spion dalam dengan
tatapan privasi. Taylor menarik nafas dalam-dalam lalu ia mengambil ponselnya,
mencari nama Justin di kontak nomornya. Kemudian ia menghubungi Justin.
“Justin.”
Suara tegas Taylor, tetapi ia mendapat balasan tawaan kecil dari seberang sana.
“Kau merindukanku Taylor? Aku akan
datang sebentar lagi, sayang. Oh, aku lupa aku tidak bisa menyetir dengan
keadaan seperti ini. Sepertinya aku mabuk—“ Taylor memejamkan mata tak percaya.
Di saat-saat ia membutuhkan Justin, pria itu mabuk? Sulit dipercaya. Haruskah
Java mengancamnya dengan harus membawa Justin bersamanya untuk menyelamatkan
Christopher? Taylor akan bersedia dengan senang hati jika permintaan Java
hanyalah untuk menikahinya. Itu sebuah hal sepele. Taylor tahu Java akan terus
mengaguminya sebelum atau sesudah mereka menikah. Dan dengan pikiran itu
membuat Taylor merasa begitu jahat—ia terlalu percaya diri.
“Justin dengar.”
“—kau tahu mengapa aku bisa mabuk?
Karena kau, Taylor penghancur hatiku! Kau mencabik-cabik hatiku seperti harimau
memakan mangsanya. Rasanya sangat sakit bahkan kau tahu apa—“ Justin tertawa.
“—aku mengambil pisau untuk menyakitiku agar rasa sakit hatiku hilang. Tapi kau
memang hebat Taylor-ku yang memesona. Taylor-ku yang sangat kuinginkan.
Taylor-ku yang membuatku jatuh cinta. Kau memang hebat menghancurkan hatiku
seperti ini! Aku membencimu! Aku membencimu!” Justin membentak dari seberang
sana. Membuat kesedihan Taylor semakin bertambah. Mengapa Tuhan memberikan dua
orang pria bermasalah padanya? Tidakkah satu orang saja sudah cukup? Jeda
beberapa saat, lalu Taylor membuka mulut. “Taylor, aku membencimu!” Justin
menyela. Wanita itu memejamkan matanya, membuat air matanya yang tadinya
terbendung sekarang mengalir.
“Justin, Christopher diculik!” Seru
Taylor menangis. Ia mendengar suara Justin terkesiap lalu sedikit ribut. “Kau
harus membantuku.”
***
Salah satu kakinya mengetuk-ketuk
lantai secara tak menentu. Ia menatap jam tangannya yang telah menunjukkan
pukul 10 malam. Sebuah pistol sudah berada di dalam sepatu bot hitamnya. Malam
itu Taylor mengenakan kemeja kotak-kotak berwarna hitam putih dengan celana
jins panjang yang membuat Taylor tampak lebih muda. Bahkan rambutnya diikat
menjadi satu. Justin memerhatikan Taylor di seberang sofa, pikirannya dari tadi
tertuju pada Christopher yang sekarang dalam keadaan tak aman. Sungguh Justin
sangat ingin berdebat dengan Taylor karena mantan istrinya tak memercayai apa
yang ia katakan tentang busuknya Java.
Bahkan sekarang ia merasa sangat
kasihan melihat keadaan istrinya begitu panik. Wajahnya pun pucat seperti mayat
hidup. Mayat hidup yang cantik. Justin menggeleng-geleng kepala akan pikirannya
yang tak pantas di saat-saat genting seperti ini. Anaknya, darah dagingnya,
pengubah hidupnya sekarang tidak berada di sisinya atau Taylor. Jika ia bertemu
Java, ia bersumpah akan memukul rahang bawahnya. Kalau biasanya Taylor akan
membela Java, kali ini Taylor tak akan bisa berkutik. Diam-diam Justin
penasaran mengapa Taylor mengubah gaya berpakaiannya menjadi gaya berpakaian
semasa mereka kuliah. Apakah itu sebuah kesengajaan atau memang Taylor ingin
memakai pakaian itu?
“Mengapa kau memakai kemeja?” Tanya
Justin tak dapat menyembunyikan rasa penasaran. Pria itu sendiri hanya memakai
kemeja putih dengan celana jins panjang berwarna hitam.
“Karena aku mau memakainya,” jawab
Taylor tidak sama sekali menatap Justin yang duduk mengangkang di hadapannya,
di sofa panjang. Ruang tamu rumahnya terasa lebih panas dari yang seharusnya.
Kembali wanita itu menatap jam tangannya. 10.05 malam.
“Menurutmu,
jika kita sudah berhadapan dengan Java.. kapan kita akan menyerangnya?
Maksudku, kode atau apa?”
“Kode? Sesuai situasi. Jika
Christopher disekap, otomatis dalam percakapanku, aku akan mengatakan
‘melepaskan’ di kalimatku jika waktunya sudah tepat. Meski sebenarnya aku
sangat yakin kita butuh bantuan. Karena kau tahulah.. kau pemilik findmylifepartner.com yang tidak sama
sekali memiliki keahlian—“
“Cukup dengan hinaannya,” ucap
Justin memejamkan mata. “Jadi, kata ‘lepas’ akan menjadi kode kita? Cukup
menyedihkan. Kupikir kau akan bilang padaku ‘merah’ atau ‘kuning’. Atau
kata-kata konyol, tapi..” suara Justin menghilang saat Taylor menatapnya jenuh.
Wanita
itu diam-diam saja.
“Siapa
Mr. Hitch? Kau kenal dia?” Tanya Justin penasaran dengan lokasi yang dipilih
Java. Taylor hanya mengangguk namun ia tidak menjawab pertanyaan Justin.
Justru, tiba-tiba wanita itu memberi pertanyaan—yang Justin yakin sedari tadi
wanita itu ingin mengetahuinya.
“Apa yang terjadi denganmu dan Java sehari
sebelum kalian tak mengunjungiku lagi?”
Justin menatap Taylor, pria itu
panik tetapi dapat menguasai dirinya. “Berkelahi. Ia memintaku bertemu
dengannya di sebelah kedai kopi, di seberang hotel,”
“Mengapa ia ingin bertemu denganmu?”
Tanya Taylor membuat Justin yakin ia seharusnya berada di ruang interogasi.
Atau lebih tepatnya di sebuah tempat gelap, hanya ada lampu gantung yang
menerangi mereka, dan meja yang siap untuk dipukul telapak tangan. Sungguh,
tatapan Taylor seperti tatapan mafia yang sedang menginterogasi anak buahnya
yang melakukan kesalahan fatal. Ingin
membunuhmu, tetapi melakukan percakapan terakhir yang manis, ucap Justin
dalam hati.
“Ia tidak ingin aku mendekatimu dan
Christopher lagi. Hanya sekedar untuk memberitahu itu. Katanya ia akan mengubah
nama belakang kalian menjadi Bulcher—yang kita berdua tahu nama belakang itu
cukup menyedihkan. Aku membantahnya dan menertawainya, alih-alih ia memukulku. Dan
aku membalas pukulannya. Ia memukulku, aku memukulnya. Begitu seterusnya sampai
aku kalah untuk beberapa saat,
“Dan saat itu aku marah akan
suaranya yang mengancamnya. Ia menatapku seolah-olah aku lemah dan aku
menendang kakinya agar ia jatuh lalu aku memukulnya. Berkali-kali. Bahkan tanganku
terasa ngilu saat memukulnya terus menerus lalu aku berhenti setelah kulihat
matanya terpejam dan darah di tanganku membuatku mengangkat diri. Aku takut ia
mati. Atau lebih tepatnya, aku takut kau membenciku karena dia mati. Sebuah
kebahagiaan jika ia mati, Taylor. Tapi jika ia mati dan kau membenciku
selamanya? Aku lebih memilih mempertahankan ia hidup sedikit lebih lama—“
“Cukup!” Seru Taylor mengangkat satu
tangannya, tak kuat mendengar satu kata lagi keluar dari mulut Justin. Semua
persoalan ini muncul dari Taylor. Wanita itu yang membuat pertengkaran tak
logis di antara kedua pria itu. Mereka dewasa dan seharusnya tahu bagaimana
menyikapi Taylor yang memang tak ingin bersama pria—bukan berarti Taylor ingin
bersama wanita. Christopher bersama Java itu karena kesalahannya. Sungguh, satu
alasan yang membuat Justin dan Java terus bertengkar hanyalah Taylor. Wanita
itu memiliki dua penggemar fanatik Taylor yang sayangnya, Taylor belum ingin
menerima cinta dari siapa pun lagi. Ia belum siap.
Matanya terpejam, membayangkan
bagaimana anaknya menangis atau merasa ketakutan bersama Java. Taylor tak bisa
membayangkan bagaimana pisau mengitari leher anaknya lalu dengan satu kali
tarikan cepat, pisau itu bisa membawa Christopher pada Tuhan. Setidaknya ia
tahu sekarang alasan mengapa Java tidak menemuinya beberapa hari terakhir. Ia
merasakan sofa di sebelahnya sedikit turun karena beban berat. Saat matanya
terbuka, Justin sudah berada di sebelahnya lalu merangkul Taylor.
“Aku menyesal, Taylor,” bisik Justin
menarik kepala Taylor agar bersandar di atas bahunya. Lalu ia mengecup puncak
kepala Taylor, lembut dan lama. “Aku seharusnya memperlakukanmu lebih baik. Apa
yang dikatakan Java memang benar,”
“Ya? Tentang ia memperlakukanku
lebih baik dibanding dirimu?” Tanya Taylor menghela nafas panjang. Taylor tak
dapat melihat dua alias Justin terangkat, terkejut.
“Bagaimana kau bisa tahu?” Tanya
Justin mengelus kepala Taylor lembut. Rambut cokelat Taylor terasa halus di
telapak tangannya. Kali ini, Justin yang memejamkan matanya. Membayangkan
bagaimana mereka akan menyelamatkan Christopher, Java akan dipenjara dan Taylor
akan menjadi miliknya kembali.
“Dia selalu mengatakan hal itu
padaku.” Taylor berbisik, mengingat pria itu selalu meyakinkan Taylor betapa
bodohnya Justin telah melepaskan Taylor yang begitu berharga. “Mungkin ia ada
benarnya.” Pemikiran Justin yang begitu naif membuat Justin pesimis saat Taylor
berkata seperti itu. Dan sebelumnya ia bukan pria pesimis.
***
Dengan perasaan tenang, ia
memerhatikan Christopher yang sudah terlelap. Dalam balutan selimut dan tiga
ikatan tebal yang mengitari bahu, perut dan kaki anak kecil itu membuatnya
semakin yakin, rencananya berhasil. Rencana yang seharusnya tak lakukan. Ia
menatapi wajah Christopher yang begitu tenang. Anak kecil yang begitu patuh.
Anak kecil yang cantik, yang mengagumkan, yang ia cintai. Christopher luar
biasa. Terdengar seperti pedofilia, namun ia tidak tertarik berhubungan seks
dengan anak kecil. Anak kecil ini merupakan pengalaman terbaik dalam hidupnya
dan membuatnya terus memaki-maki Ayah kandungnya. Mengapa? Hal itu selalu
melewati pikirannya di segala sesuatu yang berhubungan dengan Taylor atau pun
Christopher. Mengapa Taylor lebih memilih Justin? Mengapa Christopher begitu
cepat menyayangi Justin? Mengapa keduanya lebih mengagumi Justin dibanding
Java? Mengapa tampaknya apa yang telah Java lakukan untuk mereka terasa tak
cukup? Mengapa Taylor harus membuat Java melakukan hal sekeji ini? Wanita itu
penyebab segala hal!
Hatinya begitu sakit saat melihat
Taylor kembali bersama Justin. Ia tahu apa yang pria brengsek itu lakukan
kemarin malam di rumah Taylor. Bagaimana mungkin seorang Taylor menerima
kembali Justin masuk ke dalam rumahnya? Dan beberapa jam kemudian, pria itu tak
muncul kembali? Wow. Hanya kata ‘wow’ yang mewakili perasaannya saat itu.
Awalnya ia berniat menemui Taylor dan memberitahu apa yang terjadi dengannya
dan Justin. Ia datang kembali di pagi hari, ingin memastikan apakah Taylor
sudah sendirian di rumah bersama Christopher. Well, ternyata bukan seperti yang
Java harapkan.
Pria itu keluar menggendong
Christopher yang siap sekolah bersama Taylor. Seperti satu keluarga kecil
bahagia yang dibenci Java. Tidak, tidak, tidak. Java tidak membenci keluarga
itu. Ia membenci Justin, hanya pria itu. Pria yang selama ini telah menyakiti
Taylor dan dengan seenaknya ia kembali. Bahkan menginginkan Taylor lagi.
Pemikiran itu membuat Java kesal. Amarahnya mendidih hingga wajahnya memerah
seperti hasil tomat yang direbus dalam air panas. Hampir saja ia memukul tempat
tidur Christopher, namun ketukan pintu dari atas membuat pikirannya teralihkan.
Java melirik jam tangan yang ia
pakai. Ternyata sudah jam 12 tepat. Oh, sejak kapan Taylor terlambat? Wanita
itu selalu tepat waktu. Java berjalan keluar dari ruang bawah tanah, menyusuri
lorong yang membawanya menuju tangga ke atas.
“Masuklah,” ucap Java dengan suara
tenang. Ia bahkan tak berusaha berteriak agar Taylor mendengarnya. Telinga Java
dapat mendengar suara Justin yang terus mengumpat, bahkan Taylor terpaksa harus
menyuruh Justin diam. Oh, sangat menghibur. Java berjalan balik menuju ruangan
tadi sambil tangannya sekarang telah memegang sebuah pisau. Pisau yang ia
simpan beberapa hari yang lalu di dekat tempat tidurnya. Pisau yang sebentar
lagi akan memberinya kepuasan.
Ia mendengar suara pintu atas
terbuka lalu seseorang yang menuruni tangga. Java sudah berada di ruangannya,
berdiri di belakang tempat tidur Christopher. Oh, sekarang Java terlihat
seperti orang yang sebentar lagi memakan manusia. Terlebih lagi pisau di
tangannya semakin mendukung peran kanibalnya. Suara langkahan terburu-buru
menarik perhatiannya, membuat sebuah seringai licik di wajah. Langkahannya
semakin lama semakin mendekat kemudian muncullah orang yang ia harapkan selama
seharian ini. Seorang wanita berambut cokelat, berpakaian kemeja kotak-kotak
hitam-putih dengan celana jins dan sepatu bot hitam sedang berdiri di
hadapannya. Oh, sangat berbeda dengan penampilan biasanya. Terlebih lagi dengan
rambut yang diikat menjadi satu. Biasanya wanita itu akan menyanggul rambutnya
begitu rapi. Tapi apa pun yang dipakai wanita itu selalu membuat Java terpukau
akan penampilannya.
“Halo,” sapa Java menyiratkan
sesuatu buruk akan terjadi. Justin muncul di belakang Taylor dengan keadaan tergopoh-gopoh.
Oh, apa gerangan terjadi dengan pria itu? Mata Java melihat pada tangan pria
itu yang sedang menutupi bagian tengahnya, itu berhasil membuat Java tak
bertanya mengapa. Taylor pasti baru saja memukulnya tepat di sana.
“Hai, Java,” sapa Taylor dengan
suara seceria mungkin. Wah, perubahan 180 derajat dari seorang Taylor Stalwart,
wanita tegas dan jarang tersenyum. “Bagaimana keadaan Christopher?”
“Oh, dia baik-baik saja. Lihat?”
Java menyentuh jari telunjuknya di sepanjang pipi bulat Christopher yang
tembam. Nafas Taylor tercekat. Apa-apaan yang Java lakukan? Kemudian dengan
terpaksa Taylor tersenyum, menyembunyikan kekesalannya tiada tara.
“Ya, kulihat seperti itu,” ucap
Taylor. “Bisakah kau melepaskannya dari.. err, tali-tali itu? Christopher tak
suka jika ia diikat seperti itu,” lanjut Taylor memberi raut wajah tak yakin.
“Oh ya?” Kedua alis Java terangkat.
Pria itu menempatkan kedua tangannya di sisi tempat tidur Christopher, bertumpu
di sana lalu menatap Taylor tanpa senyum. “Tapi sudah 3 jam ia berbaring di
sana dan tidak melakukan protes.” Java tersenyum. Senyum licik. Mata Taylor
terpejam selama beberapa saat. Ia berpikir, mengapa Java melakukan ini padanya?
Pertanyaan itu memang seharusnya tak dilontarkan di pikirannya karena Taylor sendiri
tahu alasan Java membawa anaknya dan menyekapnya di sini.
“Hey, brengsek! Berikan anak kami
atau aku akan memukulmu seperti terakhir kita—“ tepukan tangan Taylor di
dadanya membuat Justin berhenti berbicara. Sebuah senyuman mengejek tampak di
wajah Java. Hal itu luar biasa membuat Justin kesal. Tangannya mengepal ingin
memukul. Tidak, tidak sekarang, bisik
Justin dalam hati. Java tetap di tempatnya, memerhatikan Justin yang sekarang
tampak begitu bodoh.
“Apa aku sudah bilang padamu kalau
kau sangat menakjubkan malam ini, Taylor?” Goda Java tidak sama sekali membuat
hati Taylor berdebar. Justru keinginan memukul Taylor sama besarnya seperti
keinginan Justin. Mereka berdua marah dengan sikap Java. Menyekap Christopher,
berbasa-basi dan memuji Taylor dalam kesempitan seperti ini? Menakjubkan, Java, sungguh, Taylor
berucap dalam hati. Tangan Justin mencengkeram lengan Taylor posesif.
“Java, aku sudah muak,” ucap Taylor
kembali dengan sifatnya yang asli. Wanita itu berucap tanpa nada marah atau apa
pun. Hanya suara tenang yang lagi-lagi membuat Java takjub akan penguasaan
dirinya. “Apa yang kau mau?”
“Apa yang aku mau eh?” Java bertanya
balik. Pria itu berdiri tegak. Kedua tangannya terlipat dan lalu ia memberikan
wajah berpikir. “Aku mau kau menjadi istriku.”
“Maka jadilah!” Seru Taylor menepuk
pahanya dengan kedua tangan lalu mengangkat tangannya ke udara. “Itu yang kau
mau? Ayo, menikah denganku sekarang. Mari, Justin. Kau berkati kami,”
“Apa-apaan?” Justin memaki. Taylor
membalikkan tubuhnya, menatap Justin dengan tatapan tak percaya. “Kau sungguh..
bagaimana denganku.. sungguh Taylor?” Justin tak dapat berkata-kata lagi. Ia
hanya tak percaya Taylor akan menyerah begitu saja. Justin bahkan tidak tahu
apa yang dikatakan pendeta di hari pernikahan mereka dulu. Bahkan Justin
bertanya-tanya, apakah menikah di ruang bawah tanah merupakan sesuatu yang
legal?
Java tahu, Taylor hanya bermain-main
dengan ucapannya. Jadi ia terkekeh melihat kekonyolan wanita ini. Tiba-tiba
Taylor berbalik kembali, menatap padanya lalu berjalan cepat mendekati Java.
Bukannya menampar atau memukul Java, alih-alih wanita itu menarik tangan Java
yang terlipat—dan sekarang melemas begitu saja. Sentuhan Taylor terlalu berarti
baginya. Hanya saja, wanita itu tak pernah tahu. Atau lebih tepatnya, tak
pernah menyadarinya. Mereka berjalan menuju Justin. Pria itu menatap keduanya
dengan tatapan jijik, cemburu sekaligus marah.
Bagimana mungkin Taylor setega itu
padanya? Justin melangkah menjauh dari mereka yang mendekatinya. Melihat tangan
mereka saling bertaut membuat hati Justin memanas. Sungguh Taylor? Pegangan tangan di hadapanku? pikirnya. Java tentu
saja tidak langsung mabuk akan sentuhan wanita itu. Ia selalu waspada.
Genggamannya pada pisau itu bahkan tidak sama sekali mengendor. Wanita itu
menatapnya dalam-dalam lalu telapak tangannya menyentuh pipinya. Mengelus
pipinya.
“Taylor, aku tak butuh ini jika ini
hanyalah omong kosong belaka,” ucap Java yang sesegera mungkin membuat Taylor
tersinggung. Taylor memberi raut wajah tak suka—seperti jika Taylor melihat
Christopher menyentuh kondom di taman saat itu.
“Kau pikir aku hanya omong kosong?”
Suaranya kedengaran sedih. Justin tak yakin apakah itu asli atau tidak, namun
sekarang akting Taylor berkembang lebih baik—meski Justin juga tak begitu yakin
itu hanya bagian dari rencana mereka. Karena Taylor tak sama sekali membahas
rencana ‘menggoda-goda’ seperti ini. “Sebenarnya..” suara Taylor menghilang.
“Sebenarnya apa?”
“Aku menginginkanmu, Java. Aku sudah
memberitahu Justin tentang hubungan kita—yang ternyata semakin jelas—di
ranjang. Kau tak lihat betapa hancurnya Justin sekarang?”—Taylor melirik
Justin, membuat Java menoleh melihat Justin yang memang tampak
menyedihkan—“Kuceritakan percintaan manis kita di atas ranjang saat itu. Betapa
aku sangat menikmatinya dan ingin melakukan hal itu berulang-ulang. Aku
menceritakan itu agar ia berhenti menginginkanmu dan membiarkan kau memilikiku
seutuhnya. Aku menghubungimu—aku bersumpah—tetapi ponselmu tak aktif,”
“Aku tak percaya.”
“Ah, Java,” desah Taylor
membenturkan kepalanya pada dada Java. “Kau membuatku sakit hati, sungguh.
Kupikir kau percaya akan semua perkataanku. Aku sudah membuka hatiku untukmu,
Java-ku sayang. Oh, kau sangat menyakiti hatiku,” desah Taylor lagi
menggeleng-geleng kepala. Bahkan air mata mulai membendung di pelupuk mata
Taylor. Apa-apaan yang sedang terjadi? Justin seolah-olah tidak ada di sana.
Bahkan sekarang, Taylor mulai melingkarkan kedua tangannya di leher Java.
Tidak!
Bukan saatnya aku bercemburu ria. Sekarang waktunya melepaskan Christopher dari
ikatan-ikatan bodoh itu, pikir Justin melirik ke arah keduanya. Justin
melangkah pelan-pelan menjauh dari mereka. Java bahkan tidak sama sekali
berbalik untuk melihatnya, justru mata itu menatap Taylor dalam-dalam. Java
masih tak percaya dengan apa yang dikatakan Taylor namun ucapan itu terdengar
dari hati Taylor.
“Aku mencintaimu, Taylor,” bisik
Java memegang pinggul Taylor, menariknya lebih dekat dengan tubuhnya. Taylor
mengangguk lalu ia memejamkan mata, siap untuk dikecup. Melihat keterbukaan
Taylor terhadapnya, Java tak membuang-buang waktunya untuk mengecup bibir manis
itu. Ia menundukkan kepala, mengecup bibir itu sebentar lalu menunggu sampai
Taylor membuka mulutnya agar mereka dapat beradu lidah. Taylor tentu sadar akan
kode Java. Ia membuka mulutnya, membiar Java mencari lidahnya yang sudah siap
dipagut dengan mesra.
Ciuman itu tampak meyakinkan Java.
Bahkan pegangan tangan Java yang awalnya di pinggul berpindah di belakang
punggungnya. Pisau yang ia pegang jatuh begitu saja. Java tak begitu khawatir
dengan pisau itu karena ia memiliki pistol di belakang bokongnya. Ciuman mereka
memanas, mereka mulai menyentuh lidah satu sama lain, sesekali mengisap bibir
mereka dengan lembut. Baik Java mau pun Taylor mulai merasa pening karena
kurangnya nafas.
Sementara Justin melihat pemandangan
itu dengan muak. Ia yang membawa pisau sedang sibuk memotong ikatan di tubuh
Christopher. Sebentar saja, Justin mengagumi kehebatannya. Ia tak percaya
anaknya akan sebegitu miripnya dengan wajah tampan yang ia miliki. Bulu mata
panjang, hidung mancung dan bibir yang imut. Yah, Justin jelas ingin memiliki
anak lebih banyak lagi jika ia tahu anaknya akan setampan ini. Semakin banyak
Almonde di dunia ini, semakin beruntung orang yang mendapatkan anak-anaknya
kelak. Tangan Justin memotong-motong satu per satu ikatan itu sambil sesekali
ia melirik dua orang yang ciumannya semakin memanas. Bahkan sekarang Java sudah
mengimpit Taylor di antara tembok.
Salah satu kaki Taylor terangkat dan
menyangkut di pinggang Java. Ciuman mereka terhenti begitu saja, mereka mencari
oksigen yang semakin menipis di antara mereka—dan Justin. Taylor menatap dua
bola berwarna biru laut, begitu jernih dan tampak.. kecewa. Bukankah ciuman itu
seharusnya membuat Java tersenyum bahagia? Punggung tangan Java mengelus pipi
Taylor dengan lembut, ia mendesah lemah.
“Kau sangat mengagumkan, Taylor.
Setiap saat.” Java menjilat bibirnya. Ia masih dapat merasakan kecupan Taylor
di sana. Bagaimana ia mengisap bibir itu seperti permen. “Mengapa kau baru
membuka hatimu sekarang?”
“Aku terlalu banyak berpikir,” bisik
Taylor, raut wajahnya menyesal. “Aku terlalu meragukanmu menjadi suamiku
selanjutnya. Mengingat apa yang telah terjadi pada diriku dan Justin.. dan itu
semua memang salahku. Seharusnya aku tak mencampakkanmu padahal kau selalu—“
“Hentikan omong kosong ini, Taylor.
Aku lelah,” bisik Java dengan kedua alis bertaut. “Kau tidak menginginkanku
bukan? Kau melakukan ini agar aku melepaskan Christopher. Setelahnya, kau akan
menjebloskanku ke penjara atas tuntutan penculikan. Mulutmu penuh racun—“
“Ouch!” Taylor berpura-pura seperti
sakit hati. “Kau tidak memberiku waktu untuk berbicara baik-baik denganmu. Aku
bernia—“
“Aku tidak memberimu waktu, Taylor?
Apa aku baru saja mendengar itu? Aku menunggumu selama bertahun-tahun!” Seru
Java gemas, ingin sekali mengecup bibir itu kembali, namun ia perlu
kesadarannya terjaga. Ia mengembus nafas panjang agar ia tetap tenang. “Lanjutkan.”
“Aku ingin menjadi milikmu, Java.
Aku ingin kau menjadi milikku seutuhnya. Kita bisa menjadi keluarga kecil
bahagia yang selalu kau dan aku idam-idamkan, bukan? Kita tidak perlu melakukan
kejahatan di sini. Kau menginginkanku dan aku menginginkanmu. Jadi, apa yang
salah dengan semua ini?”
“Seharusnya aku menculik Christopher
sejak dulu,” canda Java. Taylor ikut tertawa sambil menggeleng-geleng
kepalanya. “Apa jika kita keluar dari sini akan membuatmu masih tetap
menginginkanku?”
“Selalu.” Justin yang mendengar
ucapan itu ingin muntah di tempat. Apa-apaan? Ia kembali fokus pada satu ikatan
yang ia harus potong. Setelahnya, ia akan menembak Java lalu kabur dari sini.
Justin tiba-tiba panik saat Christopher mengerjap-kerjapkan matanya. Oh sial!
Tangan Justin baru ingin menutup mulut Christopher, namun sebuah kalimat yang
keluar dari mulut Taylor membuat Justin tercengang tak percaya.“Aku
mencintaimu, Java.” Tangan Taylor sudah masuk ke dalam sepatu botnya, berniat
mengambil pistolnya. Sebuah suara mengalihkan perhatian mereka.
“Paman Justin?” Dengan sigap Java
mendorong Taylor lalu mengambil pistol di saku belakang celananya. Kemudian ia
menembak.
“Christopher!” Jerit Taylor
histeris.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar