Sabtu, 11 Oktober 2014

Doomed Bab 12

            Sebuah kertas berisi catatan. Ibu jari Taylor mengelus-elus kertas yang terapit di antara jari telunjuk dan jempolnya. Sudah berkali-kali ia membaca isi kertas itu, menduga mengapa pria yang selama ini ia percayai ternyata menjadi pengkhianat. Bukan, bukan. Java bukan pengkhianat. Pria itu sedang tidak waras semenjak kedatangan Justin. Taylor tahu betul apa yang akan terjadi jika ia bertemu dengan Java di tempat yang Java minta untuk Taylor datangi. Sedikit tangisan dan penyesalan akan mengiring mereka agar Christopher dikembalikan hidup-hidup.

            Di ruang bawah tanah Mr. Hitch. Tengah malam. Bawa si Brengsek Justin bersamamu. Jangan beritahu Rebecca dan Peter atau meminta bantuan. Jika kau melakukannya, kau tidak akan melihat Christopher lagi.

            Taylor tak perlu bertanya siapa yang memberinya pesan di atas meja ruang kerjanya setelah ia menyelesaikan kasus keluarga Featherston siang itu—dimana tentunya kedua anak itu akan dimasukan penjara, kecuali anak Featherston yang akan dibawa ke rehabilitasi. Emma tidak mungkin akan menyebut Justin ‘brengsek’ dalam sebuah catatan itu. Atau mengancamnya hingga membuat seluruh bulu roma Taylor berdiri, membuatnya panik yang dilapisi ketenangan di penampilan luarnya. Dan bukan menjadi ciri khas Taylor jika ia tidak langsung turun ke lapangan, mengecek keadaan Christopher dan meyakinkan diri bahwa anak itu baik-baik saja di sekolah. Taylor tak akan segan-segan memberi tuntutan pada sekolah itu jika Christopher benar-benar diculik—dan memang diculik.
            Sesampainya ia di sekolah, ia tidak menemukan Christopher dimana pun. Seharusnya anak itu sudah ada di taman bermain, menunggunya untuk dijemput. Ia sudah bertanya pada guru-guru di sekolah itu namun mereka bilang Christopher telah dijemput oleh seorang pria yang mengaku Ayah Christopher. Mereka tidak akan keberatan karena Christopher sendiri yang memberitahu guru-guru bahwa pria itu adalah orang yang ia kenal. Saat itu Taylor ingin sekali meninju satu per satu guru yang ada namun ia tidak memiliki waktu untuk melakukan itu.
            Sambil berjalan terburu-buru di lorong sekolah, Taylor menghubungi Java. Berharap pria itu ingin memaafkannya atas apa pun yang pernah ia lakukan pada Java hanya dengan sebuah panggilan sederhana. Tetapi nomor pria itu sudah tak aktif lagi. Ia frustrasi. Haruskah ia memanggil Justin sebagai bala bantuannya? Taylor baru saja membuang Justin dari kehidupannya—dan Taylor dapat melihat wajah Justin terkejut sekaligus kecewa selama perjalanan menuju kantornya. Dan sekarang ia meminta bantuan dari pria itu? Sungguh, jalang.
            Wanita itu pulang menggunakan taksi. Sejurus kemudian, setetes air mata mulai melewati pipi kanannya. Disusul dengan air matanya yang lain. Sopir itu bertanya apakah ia baik-baik saja, tetapi Taylor hanya menggeleng dan menatap pria itu dari kaca spion dalam dengan tatapan privasi. Taylor menarik nafas dalam-dalam lalu ia mengambil ponselnya, mencari nama Justin di kontak nomornya. Kemudian ia menghubungi Justin.
“Justin.” Suara tegas Taylor, tetapi ia mendapat balasan tawaan kecil dari seberang sana.
            “Kau merindukanku Taylor? Aku akan datang sebentar lagi, sayang. Oh, aku lupa aku tidak bisa menyetir dengan keadaan seperti ini. Sepertinya aku mabuk—“ Taylor memejamkan mata tak percaya. Di saat-saat ia membutuhkan Justin, pria itu mabuk? Sulit dipercaya. Haruskah Java mengancamnya dengan harus membawa Justin bersamanya untuk menyelamatkan Christopher? Taylor akan bersedia dengan senang hati jika permintaan Java hanyalah untuk menikahinya. Itu sebuah hal sepele. Taylor tahu Java akan terus mengaguminya sebelum atau sesudah mereka menikah. Dan dengan pikiran itu membuat Taylor merasa begitu jahat—ia terlalu percaya diri.
            “Justin dengar.”
            “—kau tahu mengapa aku bisa mabuk? Karena kau, Taylor penghancur hatiku! Kau mencabik-cabik hatiku seperti harimau memakan mangsanya. Rasanya sangat sakit bahkan kau tahu apa—“ Justin tertawa. “—aku mengambil pisau untuk menyakitiku agar rasa sakit hatiku hilang. Tapi kau memang hebat Taylor-ku yang memesona. Taylor-ku yang sangat kuinginkan. Taylor-ku yang membuatku jatuh cinta. Kau memang hebat menghancurkan hatiku seperti ini! Aku membencimu! Aku membencimu!” Justin membentak dari seberang sana. Membuat kesedihan Taylor semakin bertambah. Mengapa Tuhan memberikan dua orang pria bermasalah padanya? Tidakkah satu orang saja sudah cukup? Jeda beberapa saat, lalu Taylor membuka mulut. “Taylor, aku membencimu!” Justin menyela. Wanita itu memejamkan matanya, membuat air matanya yang tadinya terbendung sekarang mengalir.
            “Justin, Christopher diculik!” Seru Taylor menangis. Ia mendengar suara Justin terkesiap lalu sedikit ribut. “Kau harus membantuku.”

***

            Salah satu kakinya mengetuk-ketuk lantai secara tak menentu. Ia menatap jam tangannya yang telah menunjukkan pukul 10 malam. Sebuah pistol sudah berada di dalam sepatu bot hitamnya. Malam itu Taylor mengenakan kemeja kotak-kotak berwarna hitam putih dengan celana jins panjang yang membuat Taylor tampak lebih muda. Bahkan rambutnya diikat menjadi satu. Justin memerhatikan Taylor di seberang sofa, pikirannya dari tadi tertuju pada Christopher yang sekarang dalam keadaan tak aman. Sungguh Justin sangat ingin berdebat dengan Taylor karena mantan istrinya tak memercayai apa yang ia katakan tentang busuknya Java.
            Bahkan sekarang ia merasa sangat kasihan melihat keadaan istrinya begitu panik. Wajahnya pun pucat seperti mayat hidup. Mayat hidup yang cantik. Justin menggeleng-geleng kepala akan pikirannya yang tak pantas di saat-saat genting seperti ini. Anaknya, darah dagingnya, pengubah hidupnya sekarang tidak berada di sisinya atau Taylor. Jika ia bertemu Java, ia bersumpah akan memukul rahang bawahnya. Kalau biasanya Taylor akan membela Java, kali ini Taylor tak akan bisa berkutik. Diam-diam Justin penasaran mengapa Taylor mengubah gaya berpakaiannya menjadi gaya berpakaian semasa mereka kuliah. Apakah itu sebuah kesengajaan atau memang Taylor ingin memakai pakaian itu?
            “Mengapa kau memakai kemeja?” Tanya Justin tak dapat menyembunyikan rasa penasaran. Pria itu sendiri hanya memakai kemeja putih dengan celana jins panjang berwarna hitam.
            “Karena aku mau memakainya,” jawab Taylor tidak sama sekali menatap Justin yang duduk mengangkang di hadapannya, di sofa panjang. Ruang tamu rumahnya terasa lebih panas dari yang seharusnya. Kembali wanita itu menatap jam tangannya. 10.05 malam.
“Menurutmu, jika kita sudah berhadapan dengan Java.. kapan kita akan menyerangnya? Maksudku, kode atau apa?”
            “Kode? Sesuai situasi. Jika Christopher disekap, otomatis dalam percakapanku, aku akan mengatakan ‘melepaskan’ di kalimatku jika waktunya sudah tepat. Meski sebenarnya aku sangat yakin kita butuh bantuan. Karena kau tahulah.. kau pemilik findmylifepartner.com yang tidak sama sekali memiliki keahlian—“
            “Cukup dengan hinaannya,” ucap Justin memejamkan mata. “Jadi, kata ‘lepas’ akan menjadi kode kita? Cukup menyedihkan. Kupikir kau akan bilang padaku ‘merah’ atau ‘kuning’. Atau kata-kata konyol, tapi..” suara Justin menghilang saat Taylor menatapnya jenuh.
Wanita itu diam-diam saja.
“Siapa Mr. Hitch? Kau kenal dia?” Tanya Justin penasaran dengan lokasi yang dipilih Java. Taylor hanya mengangguk namun ia tidak menjawab pertanyaan Justin. Justru, tiba-tiba wanita itu memberi pertanyaan—yang Justin yakin sedari tadi wanita itu ingin mengetahuinya.
 “Apa yang terjadi denganmu dan Java sehari sebelum kalian tak mengunjungiku lagi?”
            Justin menatap Taylor, pria itu panik tetapi dapat menguasai dirinya. “Berkelahi. Ia memintaku bertemu dengannya di sebelah kedai kopi, di seberang hotel,”
            “Mengapa ia ingin bertemu denganmu?” Tanya Taylor membuat Justin yakin ia seharusnya berada di ruang interogasi. Atau lebih tepatnya di sebuah tempat gelap, hanya ada lampu gantung yang menerangi mereka, dan meja yang siap untuk dipukul telapak tangan. Sungguh, tatapan Taylor seperti tatapan mafia yang sedang menginterogasi anak buahnya yang melakukan kesalahan fatal. Ingin membunuhmu, tetapi melakukan percakapan terakhir yang manis, ucap Justin dalam hati.
            “Ia tidak ingin aku mendekatimu dan Christopher lagi. Hanya sekedar untuk memberitahu itu. Katanya ia akan mengubah nama belakang kalian menjadi Bulcher—yang kita berdua tahu nama belakang itu cukup menyedihkan. Aku membantahnya dan menertawainya, alih-alih ia memukulku. Dan aku membalas pukulannya. Ia memukulku, aku memukulnya. Begitu seterusnya sampai aku kalah untuk beberapa saat,
            “Dan saat itu aku marah akan suaranya yang mengancamnya. Ia menatapku seolah-olah aku lemah dan aku menendang kakinya agar ia jatuh lalu aku memukulnya. Berkali-kali. Bahkan tanganku terasa ngilu saat memukulnya terus menerus lalu aku berhenti setelah kulihat matanya terpejam dan darah di tanganku membuatku mengangkat diri. Aku takut ia mati. Atau lebih tepatnya, aku takut kau membenciku karena dia mati. Sebuah kebahagiaan jika ia mati, Taylor. Tapi jika ia mati dan kau membenciku selamanya? Aku lebih memilih mempertahankan ia hidup sedikit lebih lama—“
           “Cukup!” Seru Taylor mengangkat satu tangannya, tak kuat mendengar satu kata lagi keluar dari mulut Justin. Semua persoalan ini muncul dari Taylor. Wanita itu yang membuat pertengkaran tak logis di antara kedua pria itu. Mereka dewasa dan seharusnya tahu bagaimana menyikapi Taylor yang memang tak ingin bersama pria—bukan berarti Taylor ingin bersama wanita. Christopher bersama Java itu karena kesalahannya. Sungguh, satu alasan yang membuat Justin dan Java terus bertengkar hanyalah Taylor. Wanita itu memiliki dua penggemar fanatik Taylor yang sayangnya, Taylor belum ingin menerima cinta dari siapa pun lagi. Ia belum siap.
            Matanya terpejam, membayangkan bagaimana anaknya menangis atau merasa ketakutan bersama Java. Taylor tak bisa membayangkan bagaimana pisau mengitari leher anaknya lalu dengan satu kali tarikan cepat, pisau itu bisa membawa Christopher pada Tuhan. Setidaknya ia tahu sekarang alasan mengapa Java tidak menemuinya beberapa hari terakhir. Ia merasakan sofa di sebelahnya sedikit turun karena beban berat. Saat matanya terbuka, Justin sudah berada di sebelahnya lalu merangkul Taylor.
            “Aku menyesal, Taylor,” bisik Justin menarik kepala Taylor agar bersandar di atas bahunya. Lalu ia mengecup puncak kepala Taylor, lembut dan lama. “Aku seharusnya memperlakukanmu lebih baik. Apa yang dikatakan Java memang benar,”
            “Ya? Tentang ia memperlakukanku lebih baik dibanding dirimu?” Tanya Taylor menghela nafas panjang. Taylor tak dapat melihat dua alias Justin terangkat, terkejut.
            “Bagaimana kau bisa tahu?” Tanya Justin mengelus kepala Taylor lembut. Rambut cokelat Taylor terasa halus di telapak tangannya. Kali ini, Justin yang memejamkan matanya. Membayangkan bagaimana mereka akan menyelamatkan Christopher, Java akan dipenjara dan Taylor akan menjadi miliknya kembali.
            “Dia selalu mengatakan hal itu padaku.” Taylor berbisik, mengingat pria itu selalu meyakinkan Taylor betapa bodohnya Justin telah melepaskan Taylor yang begitu berharga. “Mungkin ia ada benarnya.” Pemikiran Justin yang begitu naif membuat Justin pesimis saat Taylor berkata seperti itu. Dan sebelumnya ia bukan pria pesimis.

***

            Dengan perasaan tenang, ia memerhatikan Christopher yang sudah terlelap. Dalam balutan selimut dan tiga ikatan tebal yang mengitari bahu, perut dan kaki anak kecil itu membuatnya semakin yakin, rencananya berhasil. Rencana yang seharusnya tak lakukan. Ia menatapi wajah Christopher yang begitu tenang. Anak kecil yang begitu patuh. Anak kecil yang cantik, yang mengagumkan, yang ia cintai. Christopher luar biasa. Terdengar seperti pedofilia, namun ia tidak tertarik berhubungan seks dengan anak kecil. Anak kecil ini merupakan pengalaman terbaik dalam hidupnya dan membuatnya terus memaki-maki Ayah kandungnya. Mengapa? Hal itu selalu melewati pikirannya di segala sesuatu yang berhubungan dengan Taylor atau pun Christopher. Mengapa Taylor lebih memilih Justin? Mengapa Christopher begitu cepat menyayangi Justin? Mengapa keduanya lebih mengagumi Justin dibanding Java? Mengapa tampaknya apa yang telah Java lakukan untuk mereka terasa tak cukup? Mengapa Taylor harus membuat Java melakukan hal sekeji ini? Wanita itu penyebab segala hal!
            Hatinya begitu sakit saat melihat Taylor kembali bersama Justin. Ia tahu apa yang pria brengsek itu lakukan kemarin malam di rumah Taylor. Bagaimana mungkin seorang Taylor menerima kembali Justin masuk ke dalam rumahnya? Dan beberapa jam kemudian, pria itu tak muncul kembali? Wow. Hanya kata ‘wow’ yang mewakili perasaannya saat itu. Awalnya ia berniat menemui Taylor dan memberitahu apa yang terjadi dengannya dan Justin. Ia datang kembali di pagi hari, ingin memastikan apakah Taylor sudah sendirian di rumah bersama Christopher. Well, ternyata bukan seperti yang Java harapkan.
            Pria itu keluar menggendong Christopher yang siap sekolah bersama Taylor. Seperti satu keluarga kecil bahagia yang dibenci Java. Tidak, tidak, tidak. Java tidak membenci keluarga itu. Ia membenci Justin, hanya pria itu. Pria yang selama ini telah menyakiti Taylor dan dengan seenaknya ia kembali. Bahkan menginginkan Taylor lagi. Pemikiran itu membuat Java kesal. Amarahnya mendidih hingga wajahnya memerah seperti hasil tomat yang direbus dalam air panas. Hampir saja ia memukul tempat tidur Christopher, namun ketukan pintu dari atas membuat pikirannya teralihkan.
            Java melirik jam tangan yang ia pakai. Ternyata sudah jam 12 tepat. Oh, sejak kapan Taylor terlambat? Wanita itu selalu tepat waktu. Java berjalan keluar dari ruang bawah tanah, menyusuri lorong yang membawanya menuju tangga ke atas.
            “Masuklah,” ucap Java dengan suara tenang. Ia bahkan tak berusaha berteriak agar Taylor mendengarnya. Telinga Java dapat mendengar suara Justin yang terus mengumpat, bahkan Taylor terpaksa harus menyuruh Justin diam. Oh, sangat menghibur. Java berjalan balik menuju ruangan tadi sambil tangannya sekarang telah memegang sebuah pisau. Pisau yang ia simpan beberapa hari yang lalu di dekat tempat tidurnya. Pisau yang sebentar lagi akan memberinya kepuasan.
            Ia mendengar suara pintu atas terbuka lalu seseorang yang menuruni tangga. Java sudah berada di ruangannya, berdiri di belakang tempat tidur Christopher. Oh, sekarang Java terlihat seperti orang yang sebentar lagi memakan manusia. Terlebih lagi pisau di tangannya semakin mendukung peran kanibalnya. Suara langkahan terburu-buru menarik perhatiannya, membuat sebuah seringai licik di wajah. Langkahannya semakin lama semakin mendekat kemudian muncullah orang yang ia harapkan selama seharian ini. Seorang wanita berambut cokelat, berpakaian kemeja kotak-kotak hitam-putih dengan celana jins dan sepatu bot hitam sedang berdiri di hadapannya. Oh, sangat berbeda dengan penampilan biasanya. Terlebih lagi dengan rambut yang diikat menjadi satu. Biasanya wanita itu akan menyanggul rambutnya begitu rapi. Tapi apa pun yang dipakai wanita itu selalu membuat Java terpukau akan penampilannya.
            “Halo,” sapa Java menyiratkan sesuatu buruk akan terjadi. Justin muncul di belakang Taylor dengan keadaan tergopoh-gopoh. Oh, apa gerangan terjadi dengan pria itu? Mata Java melihat pada tangan pria itu yang sedang menutupi bagian tengahnya, itu berhasil membuat Java tak bertanya mengapa. Taylor pasti baru saja memukulnya tepat di sana.
            “Hai, Java,” sapa Taylor dengan suara seceria mungkin. Wah, perubahan 180 derajat dari seorang Taylor Stalwart, wanita tegas dan jarang tersenyum. “Bagaimana keadaan Christopher?”
            “Oh, dia baik-baik saja. Lihat?” Java menyentuh jari telunjuknya di sepanjang pipi bulat Christopher yang tembam. Nafas Taylor tercekat. Apa-apaan yang Java lakukan? Kemudian dengan terpaksa Taylor tersenyum, menyembunyikan kekesalannya tiada tara.
            “Ya, kulihat seperti itu,” ucap Taylor. “Bisakah kau melepaskannya dari.. err, tali-tali itu? Christopher tak suka jika ia diikat seperti itu,” lanjut Taylor memberi raut wajah tak yakin.
            “Oh ya?” Kedua alis Java terangkat. Pria itu menempatkan kedua tangannya di sisi tempat tidur Christopher, bertumpu di sana lalu menatap Taylor tanpa senyum. “Tapi sudah 3 jam ia berbaring di sana dan tidak melakukan protes.” Java tersenyum. Senyum licik. Mata Taylor terpejam selama beberapa saat. Ia berpikir, mengapa Java melakukan ini padanya? Pertanyaan itu memang seharusnya tak dilontarkan di pikirannya karena Taylor sendiri tahu alasan Java membawa anaknya dan menyekapnya di sini.
            “Hey, brengsek! Berikan anak kami atau aku akan memukulmu seperti terakhir kita—“ tepukan tangan Taylor di dadanya membuat Justin berhenti berbicara. Sebuah senyuman mengejek tampak di wajah Java. Hal itu luar biasa membuat Justin kesal. Tangannya mengepal ingin memukul. Tidak, tidak sekarang, bisik Justin dalam hati. Java tetap di tempatnya, memerhatikan Justin yang sekarang tampak begitu bodoh.
            “Apa aku sudah bilang padamu kalau kau sangat menakjubkan malam ini, Taylor?” Goda Java tidak sama sekali membuat hati Taylor berdebar. Justru keinginan memukul Taylor sama besarnya seperti keinginan Justin. Mereka berdua marah dengan sikap Java. Menyekap Christopher, berbasa-basi dan memuji Taylor dalam kesempitan seperti ini? Menakjubkan, Java, sungguh, Taylor berucap dalam hati. Tangan Justin mencengkeram lengan Taylor posesif.
            “Java, aku sudah muak,” ucap Taylor kembali dengan sifatnya yang asli. Wanita itu berucap tanpa nada marah atau apa pun. Hanya suara tenang yang lagi-lagi membuat Java takjub akan penguasaan dirinya. “Apa yang kau mau?”
            “Apa yang aku mau eh?” Java bertanya balik. Pria itu berdiri tegak. Kedua tangannya terlipat dan lalu ia memberikan wajah berpikir. “Aku mau kau menjadi istriku.”
            “Maka jadilah!” Seru Taylor menepuk pahanya dengan kedua tangan lalu mengangkat tangannya ke udara. “Itu yang kau mau? Ayo, menikah denganku sekarang. Mari, Justin. Kau berkati kami,”
            “Apa-apaan?” Justin memaki. Taylor membalikkan tubuhnya, menatap Justin dengan tatapan tak percaya. “Kau sungguh.. bagaimana denganku.. sungguh Taylor?” Justin tak dapat berkata-kata lagi. Ia hanya tak percaya Taylor akan menyerah begitu saja. Justin bahkan tidak tahu apa yang dikatakan pendeta di hari pernikahan mereka dulu. Bahkan Justin bertanya-tanya, apakah menikah di ruang bawah tanah merupakan sesuatu yang legal?
            Java tahu, Taylor hanya bermain-main dengan ucapannya. Jadi ia terkekeh melihat kekonyolan wanita ini. Tiba-tiba Taylor berbalik kembali, menatap padanya lalu berjalan cepat mendekati Java. Bukannya menampar atau memukul Java, alih-alih wanita itu menarik tangan Java yang terlipat—dan sekarang melemas begitu saja. Sentuhan Taylor terlalu berarti baginya. Hanya saja, wanita itu tak pernah tahu. Atau lebih tepatnya, tak pernah menyadarinya. Mereka berjalan menuju Justin. Pria itu menatap keduanya dengan tatapan jijik, cemburu sekaligus marah.
            Bagimana mungkin Taylor setega itu padanya? Justin melangkah menjauh dari mereka yang mendekatinya. Melihat tangan mereka saling bertaut membuat hati Justin memanas. Sungguh Taylor? Pegangan tangan di hadapanku? pikirnya. Java tentu saja tidak langsung mabuk akan sentuhan wanita itu. Ia selalu waspada. Genggamannya pada pisau itu bahkan tidak sama sekali mengendor. Wanita itu menatapnya dalam-dalam lalu telapak tangannya menyentuh pipinya. Mengelus pipinya.
            “Taylor, aku tak butuh ini jika ini hanyalah omong kosong belaka,” ucap Java yang sesegera mungkin membuat Taylor tersinggung. Taylor memberi raut wajah tak suka—seperti jika Taylor melihat Christopher menyentuh kondom di taman saat itu.
           “Kau pikir aku hanya omong kosong?” Suaranya kedengaran sedih. Justin tak yakin apakah itu asli atau tidak, namun sekarang akting Taylor berkembang lebih baik—meski Justin juga tak begitu yakin itu hanya bagian dari rencana mereka. Karena Taylor tak sama sekali membahas rencana ‘menggoda-goda’ seperti ini. “Sebenarnya..” suara Taylor menghilang.
            “Sebenarnya apa?”
            “Aku menginginkanmu, Java. Aku sudah memberitahu Justin tentang hubungan kita—yang ternyata semakin jelas—di ranjang. Kau tak lihat betapa hancurnya Justin sekarang?”—Taylor melirik Justin, membuat Java menoleh melihat Justin yang memang tampak menyedihkan—“Kuceritakan percintaan manis kita di atas ranjang saat itu. Betapa aku sangat menikmatinya dan ingin melakukan hal itu berulang-ulang. Aku menceritakan itu agar ia berhenti menginginkanmu dan membiarkan kau memilikiku seutuhnya. Aku menghubungimu—aku bersumpah—tetapi ponselmu tak aktif,”
            “Aku tak percaya.”
            “Ah, Java,” desah Taylor membenturkan kepalanya pada dada Java. “Kau membuatku sakit hati, sungguh. Kupikir kau percaya akan semua perkataanku. Aku sudah membuka hatiku untukmu, Java-ku sayang. Oh, kau sangat menyakiti hatiku,” desah Taylor lagi menggeleng-geleng kepala. Bahkan air mata mulai membendung di pelupuk mata Taylor. Apa-apaan yang sedang terjadi? Justin seolah-olah tidak ada di sana. Bahkan sekarang, Taylor mulai melingkarkan kedua tangannya di leher Java.
            Tidak! Bukan saatnya aku bercemburu ria. Sekarang waktunya melepaskan Christopher dari ikatan-ikatan bodoh itu, pikir Justin melirik ke arah keduanya. Justin melangkah pelan-pelan menjauh dari mereka. Java bahkan tidak sama sekali berbalik untuk melihatnya, justru mata itu menatap Taylor dalam-dalam. Java masih tak percaya dengan apa yang dikatakan Taylor namun ucapan itu terdengar dari hati Taylor.
            “Aku mencintaimu, Taylor,” bisik Java memegang pinggul Taylor, menariknya lebih dekat dengan tubuhnya. Taylor mengangguk lalu ia memejamkan mata, siap untuk dikecup. Melihat keterbukaan Taylor terhadapnya, Java tak membuang-buang waktunya untuk mengecup bibir manis itu. Ia menundukkan kepala, mengecup bibir itu sebentar lalu menunggu sampai Taylor membuka mulutnya agar mereka dapat beradu lidah. Taylor tentu sadar akan kode Java. Ia membuka mulutnya, membiar Java mencari lidahnya yang sudah siap dipagut dengan mesra.
            Ciuman itu tampak meyakinkan Java. Bahkan pegangan tangan Java yang awalnya di pinggul berpindah di belakang punggungnya. Pisau yang ia pegang jatuh begitu saja. Java tak begitu khawatir dengan pisau itu karena ia memiliki pistol di belakang bokongnya. Ciuman mereka memanas, mereka mulai menyentuh lidah satu sama lain, sesekali mengisap bibir mereka dengan lembut. Baik Java mau pun Taylor mulai merasa pening karena kurangnya nafas.
            Sementara Justin melihat pemandangan itu dengan muak. Ia yang membawa pisau sedang sibuk memotong ikatan di tubuh Christopher. Sebentar saja, Justin mengagumi kehebatannya. Ia tak percaya anaknya akan sebegitu miripnya dengan wajah tampan yang ia miliki. Bulu mata panjang, hidung mancung dan bibir yang imut. Yah, Justin jelas ingin memiliki anak lebih banyak lagi jika ia tahu anaknya akan setampan ini. Semakin banyak Almonde di dunia ini, semakin beruntung orang yang mendapatkan anak-anaknya kelak. Tangan Justin memotong-motong satu per satu ikatan itu sambil sesekali ia melirik dua orang yang ciumannya semakin memanas. Bahkan sekarang Java sudah mengimpit Taylor di antara tembok.
            Salah satu kaki Taylor terangkat dan menyangkut di pinggang Java. Ciuman mereka terhenti begitu saja, mereka mencari oksigen yang semakin menipis di antara mereka—dan Justin. Taylor menatap dua bola berwarna biru laut, begitu jernih dan tampak.. kecewa. Bukankah ciuman itu seharusnya membuat Java tersenyum bahagia? Punggung tangan Java mengelus pipi Taylor dengan lembut, ia mendesah lemah.
            “Kau sangat mengagumkan, Taylor. Setiap saat.” Java menjilat bibirnya. Ia masih dapat merasakan kecupan Taylor di sana. Bagaimana ia mengisap bibir itu seperti permen. “Mengapa kau baru membuka hatimu sekarang?”
            “Aku terlalu banyak berpikir,” bisik Taylor, raut wajahnya menyesal. “Aku terlalu meragukanmu menjadi suamiku selanjutnya. Mengingat apa yang telah terjadi pada diriku dan Justin.. dan itu semua memang salahku. Seharusnya aku tak mencampakkanmu padahal kau selalu—“
            “Hentikan omong kosong ini, Taylor. Aku lelah,” bisik Java dengan kedua alis bertaut. “Kau tidak menginginkanku bukan? Kau melakukan ini agar aku melepaskan Christopher. Setelahnya, kau akan menjebloskanku ke penjara atas tuntutan penculikan. Mulutmu penuh racun—“
            “Ouch!” Taylor berpura-pura seperti sakit hati. “Kau tidak memberiku waktu untuk berbicara baik-baik denganmu. Aku bernia—“
            “Aku tidak memberimu waktu, Taylor? Apa aku baru saja mendengar itu? Aku menunggumu selama bertahun-tahun!” Seru Java gemas, ingin sekali mengecup bibir itu kembali, namun ia perlu kesadarannya terjaga. Ia mengembus nafas panjang agar ia tetap tenang. “Lanjutkan.”
            “Aku ingin menjadi milikmu, Java. Aku ingin kau menjadi milikku seutuhnya. Kita bisa menjadi keluarga kecil bahagia yang selalu kau dan aku idam-idamkan, bukan? Kita tidak perlu melakukan kejahatan di sini. Kau menginginkanku dan aku menginginkanmu. Jadi, apa yang salah dengan semua ini?”
            “Seharusnya aku menculik Christopher sejak dulu,” canda Java. Taylor ikut tertawa sambil menggeleng-geleng kepalanya. “Apa jika kita keluar dari sini akan membuatmu masih tetap menginginkanku?”
            “Selalu.” Justin yang mendengar ucapan itu ingin muntah di tempat. Apa-apaan? Ia kembali fokus pada satu ikatan yang ia harus potong. Setelahnya, ia akan menembak Java lalu kabur dari sini. Justin tiba-tiba panik saat Christopher mengerjap-kerjapkan matanya. Oh sial! Tangan Justin baru ingin menutup mulut Christopher, namun sebuah kalimat yang keluar dari mulut Taylor membuat Justin tercengang tak percaya.“Aku mencintaimu, Java.” Tangan Taylor sudah masuk ke dalam sepatu botnya, berniat mengambil pistolnya. Sebuah suara mengalihkan perhatian mereka.
            “Paman Justin?” Dengan sigap Java mendorong Taylor lalu mengambil pistol di saku belakang celananya. Kemudian ia menembak.
            “Christopher!” Jerit Taylor histeris.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar