Sabtu, 11 Oktober 2014

Doomed Bab 11




            “Apa-apaan?!” Jeritan wanita itu membuat pria di sebelahnya sontak terbangun kaget, kedua siku-sikunya sudah menjadi bantu tumpuan tubuhnya. Mata wanita di sebelahnya membulat dan tatapannya begitu panik saat melihat ke sekeliling kamarnya—lebih spesifik, tempat tidurnya. Nafasnya terengah-engah seolah-olah ia hampir saja dibunuh psikopat dan berhasil lolos. Justin yang dibangunkan secara tidak manusiawi itu mengerang. Ia menjatuhkan tubuhnya kembali ke atas tempat tidur dan mendesah pelan.
            “Ya Tuhan, ya Tuhan, ya Tuhan.” Taylor terus berbisik panik. Sebenarnya, apa yang salah dengan mereka? Justin tidak dapat melihat alasan mengapa Taylor bisa begitu histeris di pagi yang seharusnya menjadi awal yang baik. Taylor menyembunyikan wajahnya di balik telapak tangan sambil menggeleng-geleng kepala. Justin melirik dari sudutnya, melihat wanita itu sangat menyesal. Justin berasumsi, sebentar lagi Taylor akan menembak dirinya karena Justin menyentuhnya.
            “Hey, kita tidak membunuh siapa pun di sini,” ucap Justin menyentuh lengan telanjang Taylor. Kulit mereka bersentuh, menghasilkan aliran aneh di sekujur tubuh Justin. Aliran aneh itu pernah ia rasakan sebelumnya—bahkan baru ia rasakan tadi malam. Taylor menarik lepas lengan sentuhan tangan Justin. Wajahnya yang cantik kembali terlihat saat ia menyingkirkan telapak tangannya dari sana.
            Taylor menarik nafas dalam-dalam. Ia menatap refleksi dirinya di cermin. Rambutnya yang biasanya rapi, sekarang hancur. Hanya sehelai selimut yang menutupi tubuhnya hingga batas ketiaknya—yang sekarang mengapit selimutnya. Namun ada yang berbeda di wajahnya. Entah apa itu, namun Taylor ada yang berbeda dari dirinya. Tidak, tidak, tidak. Bukan kehamilan tiba-tiba seperti ini. Wajahnya tampak lebih.. bersinar? Taylor tak begitu yakin, tapi Justin tiba-tiba saja mengucapkan apa yang ada dipikirannya. Pria itu sudah duduk di sebelahnya, bahkan membawa dirinya lebih dekat pada Taylor sampai lengan mereka tersentuh. Taylor dapat merasakan dengan jelas otot-otot Justin di lengannya yang lembek.
            “Kau tampak bersinar,” komentar Justin biasa-biasa saja. Taylor hanya menggeleng kepala tak habis pikir, itulah yang Justin katakan pagi hari ini setelah tentang pembunuhan itu. Taylor menarik seluruh selimut yang menutupi tubuh mereka hingga Justin terkejut dan tertawa kecil. “Wow, Taylor. Hati-hati. Jika kau menginginkannya lagi kau bisa mengatakannya padaku.” Justin dengan cepat mengambil bantal kepala yang baru saja Taylor tindih untuk menutupi kejantanannya yang masih terbuka bebas.
            “Mengapa kita melakukan hal itu lagi?” Tanya Taylor berbalik, menatap Justin.
            “Bercinta maksudmu?” Justin bertanya balik hingga Taylor memutar bola matanya. Arti memutar bola matanya sama dengan penyiksaan masa depan. Dan arti masa depan sama dengan beberapa saat lagi. “Karena kita berdua menginginkannya, Taylor. Akuilah! Kau menginginkanku dan aku menginginkanmu. Jadi apa yang harus kita tutup-tutupi?”
            “Hubungan seharusnya tak pernah terjadi, Justin. Kau mengerti itu? Kita sudah berpisah. Di depan pengadilan. Kau yang menginginkannya dan kuberikan. Lalu tiba-tiba kau datang dengan segala alasanmu—“
            “Oh, ini dia.” Gerutu Justin.
            “—aku merasa seperti orang terburuk kedua setelah kau, Justin. Emma mendatangiku, memintaku menjauhimu karena ia berpikir kita masih memiliki hubungan khusus. Maksudku, apakah aku semenyedihkan itu? Apakah aku terlihat begitu kasihan? Apakah aku terlihat menginginkanmu begitu putus asa? Tidak sama sekali, Justin. Dan sial, ini memang salahku juga. Tetapi cukup! Ini yang terakhir dan tidak akan ada hubungan badan selanjutnya. Setelah aku mandi, aku ingin berbicara lebih serius lagi.”
            “Kapan pun, Taylor.” Justin memberi senyum lebar.
            Taylor ingin menangis. Mengapa? Mengapa ia harus jatuh kembali dalam pelukan pria itu? Tidakkah Taylor sadar pria itu sangat konyol? Bahkan di keadaan serius pun, Justin bisa mengubahnya menjadi sangat konyol. Mata Justin mengikuti tubuh Taylor yang tampak seksi—meski tertutup selimut. Rambutnya yang acak-acakan itu membuat Justin tersenyum kecil. Ia yang menjambak rambut itu. Ia yang mengelus rambut itu. Ah, sial. Justin pikir keadaan akan berubah lebih baik setelah kejadian tadi malam.
            Seharusnya Justin mengetahui Taylor lebih baik lagi. Lamanya berpacaran dan 2 tahun pernikahan ternyata tak cukup lama agar Justin benar-benar mengetahi Taylor. Wanita ini memiliki standar yang begitu mahal, yang sulit diraih oleh pria mana pun. Bahkan sekarang Justin menjadi salah satu pria yang tak dapat meraih Taylor kembali. Dulu, mungkin Justin pria yang berhasil meraih Taylor hanya dengan janjinya yang begitu meyakinkan. Sekarang? Wanita itu selalu belajar dari kesalahan. Ia tidak akan menerima Justin atas alasan apa pun.
            Suara pancuran air dari kamar mandi membuat Justin tersentak. Oh, dia sudah masuk ke dalam.  Mengingat ia baru saja menginap di rumah Taylor merupakan masalah besar, sebentar lagi ia akan menemui Emma. Masalah yang lebih besar lagi. Alasan apa yang harus ia berikan? Mabuk di bar? Tidak mungkin! Berkelahi sehingga menginap di rumah sakit? Alasan tolol macam apa itu? Justin menarik nafas dalam-dalam. Semuanya akan baik-baik saja, ucap Justin dalam hati. Ia mengambil boxer yang tergeletak lemah di lantai, di samping tempat tidur lalu bangkit dari tempat tidur untuk memakainya.
            “Taylor, apa kau ingin kubuatkan sarapan?” Teriak Justin membuat pancuran di kamar mandi mati. Justin mengambil celana jinsnya untuk ia pakai. Tentu ia tidak ingin menjadi contoh jelek bagi Christopher dengan berpakaian hanya celana boxer konyol—meski sedihnya, Justin sudah menjadi contoh jelek dari segi mana pun.
            “Tidak,” jawabnya dari dalam, tidak berteriak. “Sedang tidak ingin mati,” gumam wanita itu dari dalam, membuat Justin tersenyum kecil mendengar jawabannya yang tak masuk akal. Setelah celana jinsnya sudah tergantung di pinggangnya, Justin berjalan menuju pintu dan membuka kuncinya. Saat tangannya telah membuka pintu, Justin terpaku. Begitu juga dengan mahluk kecil di hadapannya yang menatapnya dengan mata melotot.
            “Paman Justin?” Suaranya terdengar tak percaya dengan apa yang ia lihat. Ia merindukan Justin sejak hari Selasa. Christopher terus menutupi kerinduannya terhadap paman Justin dari Ibunya. Christopher bisa melihat wajah Ibunya yang terus merah padam tiap kali mendengar nama Justin. Dan ternyata Tuhan menjawab doanya. Anak itu menghambur, memeluk paha pria itu. Christopher dan mencium bau aneh dari paman Justin. Ia memberi suara jijik dan menjauh dari paha Justin.
            “Apa yang salah?” Tanya Justin pura-pura tolol.
            “Paman bau!” Serunya menjepit hidungnya dengan jari telunjuk dan jempolnya.
            “Baiklah, baiklah. Cukup dengan penghinaannya,” ucap Justin menepuk pungung Christopher agar mereka berjalan. “Kau mau sarapan?”
            “Ya? Memangnya, paman bisa masak seenak masakan Mommy?” Tanya Christopher membuat kedua alis Justin terangkat tak percaya.
            “Mommy selalu menjadi terbaik kedua, kau tahu itu?”

***

            Justin membeku. Setelah ikut mengantar Christopher ke sekolah, ia mendapat berita buruk dari Taylor. Di dalam mobil. Di parkiran sekolah Christopher. Mengapa? Mengapa Taylor memilih tempat ini sebagai tempat berita buruk darinya? Tidak adakah hal lebih baik selain ini—bar, misalnya? Jika sudah di bar, pasti Justin sudah memesan dua botol bir untuk menenangkan dirinya. Karena sekarang, kepala tangannya membuat urat-urat di tangannya tercetak. Kedua alis Taylor bertaut khawatir. Apakah reaksinya akan seburuk ini? Seharusnya Justin tidak bereaksi berlebihan seperti ini karena mereka telah berpisah.
            Mengetahui Taylor berhubungan badan dengan Java merupakan hantaman terkeras baginya. Terlebih lagi, yang memberitahu hal itu adalah Taylor sendiri. Tidak mungkin seorang pengacara seperti Taylor berbohong! Justin tidak peduli dimana pria itu berada dimana sekarang, tetapi satu hal yang pasti, Justin mendapati dirinya tak menyesal sama sekali telah memukul pria itu hampir mati—kesalahan fatalnya jika ia melempar tinjuan di rahang bawah Java. Untungnya, hampir ia meninju rahang bawahnya. Taylor terpaksa memberitahu hal ini agar Justin tidak mendekatinya atau berusaha menggodanya kembali.
            Taylor tahu dengan jelas, Justin merupakan kelemahannya selama ini. Tidak ada pria lain yang dapat membuatnya bertekuk lutut seperti tadi malam selain Justin. Tidak ada yang dapatmembuat Taylor menyayanginya sekaligus membencinya di waktu yang sama selain Justin. Dan tidak ada pria mana pun yang dapat menggerakan hatinya dari Justin. Taylor tidak memiliki ruang lebih besar lagi untuk orang lain. Justin memejamkan mata, menghirup nafas dalam-dalam.
            “Tidakkah menyenangkan menyakiti perasaan orang lain seperti ini, Taylor?” Tanya Justin sarkastik. Taylor mendesah tak habis pikir Justin akan berkata seperti itu. Tidak, Taylor tidak bermasuk menyakiti perasaannya. Lagi pula, seharusnya Justin tidak merasa sakit hati mengetahui Taylor berhubungan badan dengan Java. Pria ini telah memiliki Emma.
            “Tidak, bukan seperti itu maksudku, Justin.”
            “Lalu apa maksudmu?” Tanya Justin, marah. Kedua alisnya bertaut tajam, rahang bawahnya menegang dan bibirnya menipis. Tentu saja pria itu berusaha untuk tidak mengatakan apa pun yang akan menyakiti Taylor. Oh, tidak. Justin tidak akan melakukannya lagi.
            “Mungkin ini satu-satunya cara membuatmu menjauh dariku, Justin. Aku ingin membuka hatiku untuk Java. Dan apa pun yang kaukatakan tentangnya, kuanggap itu hanyalah omong kosong. Karena aku tidak ingin menjalani hidup penuh rasa bersalah pada Christopher. Aku perlu memberikannya seorang Ayah yang tepat untuknya. Dan keadaan kita sudah tidak memungkinkan lagi, Justin. Kau bersama Emma, sekarang. Kau akan melam—“
            “Persetan dengan Emma, Taylor! Aku menginginkanmu!” Seru Justin, marah. Berada  dalam mobil—sewaan hotel—Justin, Taylor berusaha mengabaikan perkataan itu. Aku menginginkanmu. Aku menginginkanmu. Aku menginginkanmu. Kalimat itu terus mengiang-ngiang di kepalanya, seperti kaset rusak. “Taylor, aku menginginkanmu dengan cara yang berbeda. Bahkan aku memiliki 100 cara untuk membuktikannya.”
            “Sungguh? Contohnya? Selain menciumku atau berhubungan seks.” Taylor melipat kedua tangannya di depan dada, menatap Justin menantang. Kedua bibir Justin menipis namun ia tidak boleh kalah! Ucapannya tadi memang omong kosong, namun kalimat menginginkannya memang benar. “Lihat? Kau tidak memiliki 100 cara untuk membuktikannya.”
            “Kau tidak memberiku waktu!” Seru Justin. “Ini tidak adil.” Justin mendengus kesal, ia melipat kedua tangannya di depan dada, mengikuti Taylor. Terjadi keheningan di antara mereka selama beberapa menit. Justin harus meradakan amarahnya terlebih dahulu sebelum membuktikannya. Terutama saat ia mengingat fakta bahwa Taylor telah berhubungan badan dengan Java, itu cukup menggeregoti hati Justin begitu buruk.
            Pria sialan itu telah menyentuh tiap jengkal tubuh Taylor! Ia telah memasuki tubuh Taylor. Ia telah member kecupan di sekujur tubuh Taylor. Ia telah menanam benih di dalam sana. Justin memejamkan matanya, tidak ingin membayangkannya lebih jauh lagi. Memang terdengar tak adil bagi Taylor jika Justin melarangnya berhubungan dengan siapa pun sementara Justin dapat bersenang-senang dengan Emma. Itu sebelum Justin menemui anaknya dan melihat betapa menariknya Taylor dari tahun ke tahun.
            “Aku mencintaimu.” Suara bisikan itu membuat Taylor terdiam. Ia tidak berusaha keluar atau berlari dari mobil, justru hatinya bengkak. Jantungnya berdegup kencang tak karuan, tidak menghasilkan ketukan yang berirama. Ketukannya begitu menggila sampai Taylor dapat mendengar betapa jantungnya sebentar lagi akan merobek dadanya. Setelah tiga tahun setelah mereka bercerai, kata cinta itu masih berpengaruh bagi Taylor.
            Java sudah mengatakan hal itu beribu-ribu kali namun tidak pernah membuat jantung Taylor berdegup kencang. Alih-alih ia kasihan pada Java. Dan pria itu, baru saja mengatakan hal sakral bagi Taylor. Ya, cinta itu begitu berarti bagi Taylor dan tentunya, Taylor tak ingin bermain-main dengan hal itu. Karena cinta terlalu berbahaya untuk dimainkan. Konsekuensinya begitu berat diterima. Dari 100 cara Justin untuk membuktikan keinginannya terhadap Taylor, inilah cara yang ia pilih? Menyedihkan namun benar-benar tepat.
            “Kau tahu apa? Kurasa sudah saatnya aku keluar dari sini,” ucap Taylor hampir membuka pintu mobil. Tangannya ditarik cepat oleh Justin sehingga tubuhnya sekarang berputar, berhadapan dengan Justin. Wajah mereka begitu dekat sampai Taylor dapat merasakan nafas Justin yang mengembus hangat.
            “Kau tidak percaya padaku?” Tanyanya dengan tatapan aku-sungguh-menginginkanmu-Taylor. Justin berharap Taylor mengatakan ia percaya padanya. Karena setelah Taylor mengatakan itu, Justin tidak akan ragu-ragu memutuskan Emma dan menyingkirkan Java dari kehidupan mereka. “Tidak?”
            “Tidak,” adalah omong kosong! Justin terdiam. Ia melepaskan genggaman tangannya dari tangan Taylor lalu kembali duduk tegap di kursinya. Tangan Justin menyalakan mesin mobil, kedua tangannya lalu memegang kemudi dengan erat. Rasanya begitu sakit. Sampai Justin dunia runtuh dan hancur. Seperti inikah perasaan yang Taylor rasakan saat Justin mengajukan perceraian? Jika ya, Justin berharap ia dapat masuk ke dalam mesin waktu dan mengembalikan segalanya seperti semula. Tanpa menginginkan perceraian. Ingin menangis? Ya, tentu saja. Bagaimana pun juga Justin seorang pria yang memiliki hati dan ia baru saja ditolak oleh wanita yang ternyata selama ini sangat dan luar biasa penting baginya.
            “Aku akan mengantarmu ke kantor,” dan aku akan pulang ke Los Angeles dan bunuh diri.

***

            Justin baru saja menyiapkan barang-barangnya untuk pulang kembali ke Los Angeles. Emma memusuhinya karena Justin tidak pulang sampai pagi sehingga Emma memutuskan untuk pergi sebentar mengelilingi Atlanta sebelum ia pulang bersama Justin. Entah mengapa sepanjang hari ini, Justin merasa ada sesuatu yang salah. Setelah menangis menyesal perceraiannya dengan Taylor di kamar—dan bersikap seperti masokis. Ia menyakiti dirinya dan berharap agar rasa sakitnya mengalahkan rasa sakit hatinya. Tetapi tak berhasil. Rasa sakit hatinya menindih rasa sakit fisiknya sehingga ia terpaksa meminta pihak hotel untuk membawa bir sebanyak 5 botol. Bahkan Justin baru saja memesan 5 botol lagi dan sedang berada dalam perjalanan ke kamarnya.
            Pria itu berharap ia mati karena alcohol. Namun ia meragukannya. Terakhir ia meminum 1 ember bir sewaktu ia kuliah untuk memasuki perkumpulan mahasiswa dan ia harus melewati masa-masa itu. Meminum bir semalaman. Sesekali Justin menyanyikan selirik-dua lirik sebuah lagu patah hati dengan suara fals. Ia mabuk, sungguh mabuk.
            “’Cause I don’t wanna lose you now,” nyanyinya dengan suara terisak-isak. “Oh, sialan kau Taylor! Aku menginginkanmu dan sekarang kau malah mengabaikanku. Kau ingin membuat karma ya? Tidak, Taylor, karma tidak bisa kau buat selain Tuhan yang menginginkannya. Dan kau jelas bukan Tuhan!” Gerutu Justin menenggelamkan wajahnya di dalam koper berisi baju-bajunya. “’Cause with your hand in my hand in the pocket the soul, I can tell there’s no place we couldn’t go..” Ia begitu terpuruk dan Taylor harus melihatnya agar hatinya tergerak.
            Ponselnya bergetar tiba-tiba di dalam kantongnya. Dengan gerakan malas, Justin merogoh kantong celananya lalu menggeletakannya di atas baju, di depan wajahnya. Ia membacanya dari samping. Nama Taylor terpampang di sana, membuatnya tertawa kecil. Tentu saja ia mengangkatnya dan ia menekan pengeras suara.
            “Justin.” Suara tegas Taylor membuat Taylor tertawa kecil.
            “Kau merindukanku Taylor? Aku akan datang sebentar lagi, sayang. Oh, aku lupa aku tidak bisa menyetir dengan keadaan seperti ini. Sepertinya aku mabuk—“
            “Justin dengar.”
            “—kau tahu mengapa aku bisa mabuk? Karena kau, Taylor penghancur hatiku! Kau mencabik-cabik hatiku seperti harimau memakan mangsanya. Rasanya sangat sakit bahkan kau tahu apa—“ Justin tertawa. “—aku mengambil pisau untuk menyakitiku agar rasa sakit hatiku hilang. Tapi kau memang hebat Taylor-ku yang memesona. Taylor-ku yang sangat kuinginkan. Taylor-ku yang membuatku jatuh cinta. Kau memang hebat menghancurkan hatiku seperti ini! Aku membencimu! Aku membencimu!” Seru Justin marah. Wajahnya merah padam dan urat-urat di kepalanya mulai tercetak. Ia mengangkat kepalanya dari dalam koper dan berteriak pada Taylor. “Taylor, aku membencimu!”
            “Justin, Christopher diculik!” Suara tangisan Taylor itu segera menarik Justin ke dunia nyata. Ia yang setengah mabuk itu terdiam di tempat. “Kau harus membantuku.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar