Sabtu, 11 Oktober 2014

Doomed Bab 10










Sudah tiga hari! Tiga hari pria itu tidak pulang kembali ke Los Angeles sehingga wanita harus mengambil tindakan ini. Pergi kembali ke Atlanta. Ia mengharapkan berita bagus dari kekasih barunya. Tetapi yang ia dapatkan jauh dari apa yang ia harapkan. Entah bagaimana bisa kekasihnya mendapatkan wajah yang penuh dengan plester dan tubuh yang kurus dalam waktu tiga hari. Apa yang pria ini pikir? Emma, yang sedang mondar-mandir di depan kekasihnya, marah! Atau lebih tepatnya ia kecewa. Emma tidak peduli Justin pulang tak membawa apa pun, tetapi setidaknya Justin pulang dengan selamat. Dan sekarang, ia diperhadapkan dengan Justin yang malang.
Ia khawatir, tentu saja. Dan bertanya-tanya siapa yang telah memukul wajah kekasihnya. Ia sudah bertanya pada Justin berkali-kali, dan Justin memilih untuk tidak menjawabnya dan meminta Emma kembali pulang ke Los Angeles. Emma duduk di ujung tempat tidur lalu menatap Justin dengan raut wajah iba. Pria itu duduk di atas sofa yang berhadapan dengannya, pakaiannya rapi seperti biasanya. Kedua alis Emma bertaut. Sementara Justin, wajahnya penuh plester namun tidak separah ketika ia keluar dari rumah sakit malam itu juga, saat ia membawa Java dan dirinya ke rumah sakit. Justin meninggalkan Java begitu saja di rumah sakit dan berharap pria itu tidak cacat.
Emma menarik nafas tajam. “Jadi, apa kau ingin pulang besok atau tunggu sampai plester-plester itu lepas dari wajahmu?”
“Kau tidak perlu mengkhawatirkanku, Emma, sungguh,” ucap Justin menggeleng-geleng kepala. “Luka ini sudah sembuh, aku saja yang belum mencabutinya. Bagaimana kalau besok kau kembali ke Los Angeles, aku yakin bosmu tidak suka kau terus pergi ke Atlanta,” lanjutnya mendesah nafas yang sangat panjang. Emma bangkit dari ujung tempat tidur lalu melangkah menuju sofa dan duduk di sebelah Justin. Ia mengangkat kedua kakinya, bersimpuh di atas sana lalu tangannya menyentuh plester di bawah mata Justin. Plester transparan.
Dengan lemah lembut, Emma mencabuti plester itu. Ya, lukanya sudah kering, hanya tunggu sampai lukanya hilang dan tak membekas. Justin hanya memberi senyum terima kasih. Emma menurunkan tangannya lalu memainkan plester itu di atas pahanya. Wanita berambut cokelat kemerahan itu menggigit bibirnya. Mungkinkah Justin terus berada di sini karena adanya Taylor? Emma sudah pernah melihat Taylor dan wanita itu memang cantik. Justru Emma bingung mengapa Justin menceraikannya.
Sepulangnya dari Atlanta, Emma berusaha berpikir bahwa Justin tidak akan melakukan apa pun di Atlanta selain bertemu dengan anaknya atau perusahaannya yang ada di sana. Sayangnya, ia tak bisa. Sejak ia melihat Taylor memanggil Justin untuk masuk ke dalam ruang rawat Christopher, Emma tahu Taylor masih mengharapkan Justin agar pria itu kembali ke dalam pelukannya. Dan dua pria yang ada di hadapannya saat itu tidak begitu menyadarinya karena mereka pria. Mereka tidak bisa melihat di balik wajah datar itu terdapat wanita yang sangat membutuhkan pria-nya kembali. Ya, siapa lagi jika bukan Justin.
“Apa kau masih ada di sini karena Taylor?” Pertanyaan itu keluar dari mulut Emma begitu saja, membuat Justin terkejut. Begitu juga Emma yang terkejut karena ia secara tak sengaja melontarkan pertanyaan itu. Pria itu berdeham dan entah mengapa pertanyaan itu sangat mengenai hatinya.
“Tidak,” bisiknya, “tentu saja tidak.” Justin berucap penuh keyakinan. Dan kenyataannya ia di sini memang untuk Taylor. Dan tentu saja untuk Christopher. Well, Justin ingin menjauhkan Java sialan itu dari Taylor sampai pria itu benar-benar pergi dari kehidupan Taylor. Emma memerhatikan raut wajah Justin yang tampak tak yakin. Dan yang ia lakukan hanyalah mengangguk mengerti.
“Aku masih ingin bertemu Christopher, jika boleh,” ucap Emma mengerjap-kerjapkan matanya. Justin hanya mengangguk. Dan saat itulah Emma sudah tak tahan lagi berhadapan dengan Justin. Ia bangkit dari sofa dan berjalan cepat menuju kamar mandi. Oh ya Tuhan! Emma begitu bodoh sampai ia mau memiliki hubungan asmara dengan pria ini. Justin Almonde, pria yang memiliki perusahaan (meski ia tidak tahu perusahaan apa yang Justin miliki), yang memiliki satu mantan istri dan satu anak laki-laki yang tampan. Bukankah Justin memiliki keluarga yang sempurna jika ia tidak bercerai?
Justin tentu tidak ingin memiliki kekasih. Justin membutuhkan seorang wanita yang dapat memuaskan kebutuhannya selama yang Justin mau karena Justin yang memiliki wanita itu. Dan tentu, Justin bukan pria yang ingin membagi apa pun miliknya. Termasuk Emma yang sekarang merasa hanyalah wanita yang menghibur Justin karena Justin tidak lebih dari pria kesepian. Emma menutup pintu kamar mandi dan menguncinya. Dan air matanya menetes tanpa harus ia tunggu. Ia memejamkan matanya.
Apa yang harus ia lakukan agar Justin menjadi miliknya seutuhnya? Membunuh Taylor? Tidak mungkin! Emma tak seberani itu. Mengancam Justin? Pria itu pasti akan meninggalkannya begitu saja karena Justin tahu, ia bisa mendapatkan wanita dengan mudah. Tetapi Taylor telah jatuh cinta dengan pria ini. Pria pertama yang ia cintai sejak perceraiannya.
“Emma, kau baik-baik saja di dalam?” Justin bertanya dari luar dengan suara besar.
“Ya, aku baik-baik saja.” Bukankah kata-kata itu yang sering dikeluarkan setiap wanita saat hatinya benar-benar terluka?

***

Taylor mengecup kening Christopher saat anak itu telah terlelap. Seulas senyum bahagia terlihat di wajah Taylor. Christopher sudah masuk sekolah sejak dua hari yang lalu. Taylor menjauh dari tempat tidur Christopher lalu ia mematikan lampu kamar anaknya. Ia senang karena dua hari ini Christopher selalu terlihat senang, seperti biasanya. Ah, hari Minggu sampai Selasa sungguh membuatnya terpuruk. Ada sesuatu yang kurang ketika Christopher tak berbicara banyak atau bertanya tentang apa pun padanya.
Dan sejak hari Selasa, Taylor tak melihat tanda-tanda dari Java atau Justin. Pertama, kemungkinan besar Justin sudah pulang kembali ke Los Angeles. Kedua, Justin telah melaksanakan pernikahannya. Sepertinya perkiraannya yang kedua belum terjadi. Dan ia cukup khawatir dengan keadaan Justin karena pria itu tidak memberi kabar apa pun. Dan Java! Taylor mendesah memikirkan Java. Kemana pria itu? Taylor dan Christopher sudah mengunjungi apartemen Java sepulang sekolah Christopher. Dan Java tidak ada di apartemennya.
Dan berita baru dari kasus pembunuhan pasangan Featherston. Ternyata mereka dibunuh oleh orang suruhan dari anak mereka sendiri. Hannah Featherston, gadis remaja 16 tahun itu tidak masuk penjara, tetapi rehabilitasi karena gangguan mentalnya. Sementara kaki tangannya harus masuk penjara seumur hidup, hebatnya, kaki tangannya masih berumur 18 tahun tetapi kehebatannya dalam menembak tak dapat dielakkan. Anak remaja lelaki itu bernama Michael. Dan ya, kembali lagi dengan hubungan percintaan mereka. Karena Michael tak tahan dengan sikap orangtua Hannah yang selalu mengabaikan Hannah. Terutama saat Hannah terus menangis di pundaknya dan berharap agar orangtuanya cepat mati.
Dan cinta sangat membutakan. Terutama pada dua remaja itu. Hannah meminta Michael membunuh kedua orangtuanya. Karena Michael mencintainya, Michael melakukannya tanpa berpikir konsekuensinya. Taylor menggeleng kepala memikirkan dua remaja itu. Apa yang mereka pikirkan sewaktu mereka merencanakan pembunuhan itu? Konyol. Sangat konyol. Taylor menghela nafas panjang dan sudah mendapati dirinya berada di atas tempat tidurnya sendiri. Baru saja Taylor ingin membaringkan tubuhnya, bel pintu rumahnya berbunyi. Ia mengerang kesal. Segera Taylor bangkit dari tempat tidur dan keluar dari kamar.
Orang bodoh mana yang menekan bel rumah janda seperti Taylor malam-malam seperti ini? Kecuali ia adalah Java. Taylor akan sangat senang. Wanita itu menuruni anak tangga dengan cepat dan melangkah menuju pintu utamanya. Ketika tangannya membuka kunci rumah lalu menarik pintu, Taylor terdiam. Ia terpaku di tempat. Matanya menatap lurus seorang wanita berambut cokelat kemerahan dengan gaun selutut yang ketat. Tunggu, apa sekarang pesta koktail atau kita akan pergi ke bar? Sayang sekali Taylor tak bisa ikut karena ia hanya mengenakan gaun tidur sepahanya. Dan tidak akan bisa merangsang pria mana pun.
“Emma?” Taylor bertanya dengan suara tenang, tetapi sungguh ia sangat terkejut. “Ada yang bisa kubantu?”
“Ap-apa aku boleh masuk?” Tanya Emma dengan mata sembab. Taylor mengutuk Justin dalam hati. Pasti ada sesuatu yang membuat Emma datang padanya. Dan itu berasal dari Justin. Taylor mengangguk dan mempersilakan wanita berambut cokelat kemerahan itu masuk ke dalam rumah. Mata Taylor memerhatikan Emma yang melangkah masuk dan memilih untuk duduk di atas sofa yang hanya dapat dimuat satu orang.
“Ada apa, Emma?” Tanya Taylor menutup pintu rumahnya. “Apa Justin melakukan sesuatu yang tak kau inginkan? Aku pengacara,” lanjut Taylor tak peduli apakah Emma kekasih Justin atau bukan. Emma menggeleng kepalanya, ia tersenyum kecil. Taylor duduk ujung sofa yang lain, di dekat sofa Emma.
“Aku ke sini untuk membicarakan hubungan antara aku, Justin dan kau,” ucap Emma menatap Taylor. Kedua alis Taylor terangkat. Hubungan antara Emma, Justin dan dirinya? Apa Emma buta? Taylor sudah jelas tak memiliki hubungan apa pun lagi dengan Justin. Namun Taylor tak mengatakan apa-apa dan berharap wanita itu melanjutkan ucapannya.
“Aku pulang dari Los Angeles hari Minggu malam. Justin tidak ikut denganku karena Christopher masih ada di rumah sakit. Dan aku menunggunya selama tiga hari di Los Angeles dan berharap ia pulang. Kupikir, pasti ada sesuatu yang membuatnya tak pulang. Jadi aku terbang dari Los Angeles ke Atlanta,
“Saat aku sampai di hotel Justin, kau tahu apa yang kulihat? Ya, aku lihat wajahnya ..lebam dan penuh luka. Aku bertanya-tanya siapa yang memukul wajahnya dan aku akan menuntut orang itu. Tetapi Justin tidak menjawab pertanyaanku. Apa kemarin dia bertemu denganmu atau Christopher?”
Taylor menggeleng heran. “Tidak. Ia tidak datang menemuiku atau Christopher sejak Selasa. Kupikir ia sudah pulang ke Los Angeles dan...” suara Taylor menghilang. Ia memikirkan Justin dan Java. Mereka berdua tak mengunjungi Taylor sejak hari Selasa. Dan wajah Justin lebam dan penuh luka? Apa-apaan yang mereka lakukan? Taylor merutuki keduanya dalam hati.
“Dan apa?” Emma membuyarkan lamunan Taylor.
“Dan menikahimu.” bisik Taylor. Alis Emma terangkat, tercengang. Taylor mengucapkannya tidak seperti yang Emma duga. Emma pikir wanita ini tidak akan menyebutkan kata ‘pernikahan’ dalam hubungan Justin dan Emma. Tetapi wanita itu baru saja mengucapkannya. Kemudian kepala Emma tergeleng. Justin tentu tidak akan menikahinya karena pria itu masih mencintai Taylor. Tidakkah Taylor melihat cara pandang Justin terhadapnya? Justin masih tertarik dengan Taylor!
Taylor memerhatikan gerak-gerik Emma. Wanita itu terdiam sejenak dan ia menundukkan kepalanya, melihat pada kukunya yang ia mainkan. Matanya sembab dan ia baru sampai di Atlanta hari ini. Jadi, sebenarnya, apa yang terjadi dengan Emma? Ia ingin mencaritahu siapa yang memukul Justin? Jika ya, Taylor tidak akan mau membantunya. Entah mengapa mengetahui Justin mendapat pukulan, Taylor merasa sedikit senang. Ya, tentu saja! Pria itu telah menyakiti hatinya dan pantas mendapatkan pukulan dari siapa pun orang itu, kecuali Java. Jika Taylor tahu bahwa Java yang memukul Justin, tentu Taylor tak akan memaafkan Java. Pria itu tidak memiliki hak apa pun untuk memukul Justin jika alasannya adalah Taylor. Itu sama saja dengan Java mengikut campur hubungan Taylor.
Emma menarik nafas tajam. Dan air matanya sudah terjatuh di salah satu lututnya yang terbuka. Kemudian ia mendongak, menatap Taylor dengan mata berkaca-kaca. Apakah tangisan ini sangat diperlukan? Taylor mengerang. Ia sungguh tidak suka melihat orang menangis.
“Yang ingin kukatakan sebenarnya adalah..” suara Emma menghilang selama beberapa detik, “kurasa seharusnya kau tidak mendekati Justin lagi. Atau memiliki hubungan apa pun dengannya. Aku tahu ini sangat kasar tetapi aku jatuh cinta padanya, Taylor. Dan melihatnya berdekatan denganmu beberapa hari terakhir ini membuatku merasa tersisihkan begitu saja dan..”
Taylor menghela nafas panjang saat ucapan Emma terpotong. Jadi ia yang mengambil alih percakapan. “Aku dan Justin tidak memiliki hubungan apa pun, Emma. Percaya padaku. Justin bukan mengunjungiku, tetapi ia mengunjungi Christopher. Bukankah itu yang kau inginkan darinya? Melihat Justin dan Christopher bersama? Maksudku, agar kalian dapat bermain bersama.” Taylor memberi senyum tulus.
“Tetapi kurasa bukan itu yang Justin lakukan. Maksudku, kumohon beri tindakan tegas untuk Justin agar ia dapat menjauh darimu. Argh, ya Tuhan! Aku merasa seperti orang terkejam di dunia.” Emma meremas telapak tangannya dan merasa gemas akan dirinya sendiri. Taylor tersenyum dan menggeleng kepala.
“Aku sudah tidak mencintainya,” adalah omong kosong belaka yang keluar dari mulut Taylor! Tetapi Taylor baru saja mengatakannya. Kedua mata Emma melebar mendengar kata-kata itu. Taylor tak mencintai Justin? Bagaimana bisa? Bagaimana dengan wajahnya yang penuh harapan pada Justin Minggu siang itu? Emma terdiam. Ucapan itu terdengar seperti sumpah. Dan jika memang benar, Emma tidak perlu mengkhawatirkan apa pun mengenai hubungan Justin dan Taylor. Karena Taylor tak memiliki perasaan apa pun dari Justin.
“Benarkah?” Tanya Emma untuk membuatnya semakin yakin. Taylor mengangguk.
“Tidak ada yang perlu kau takuti, Emma. Justin sepenuhnya milikmu dan Christopher. Maksudku, kita berdua telah bercerai dan Justin sudah tidak berarti lagi bagiku,” ucap Taylor meyakinkan Emma. Sebuah senyuman lebar tampak di wajah cantik Emma. Kemudian wanita itu tiba-tiba bangkit dari sofa.
“Baiklah, Taylor. Terima kasih telah membuatku lega. Aku pulang.” Emma memeluk Taylor selama beberapa detik namun Taylor tak membalas pelukan. Karena tak suka berpelukan. Dan entah dengan kekuatan super apa, Emma sudah keluar dari rumah Taylor dengan pintu yang masih terbuka. Mata Taylor memerhatikan Emma yang mencari taksi di depan rumahnya.
Dan yah, dengan segala kecantikan yang Emma miliki, sebuah taksi berhenti di depannya dan wanita itu masuk ke dalam. Tidak seperti Taylor yang harus pergi ke stasiun kereta karena ia yakin ia tidak akan mendapatkan taksi secepat yang ia mau. Ketika taksi itu sudah menghilang dari pandangan Taylor, seorang pria tiba-tiba saja muncul dari tembok di samping pintu rumah Taylor. Sangat mengejutkan sampai Taylor mengumpat.
“Brengsek!” Makinya memukul lengan Justin. “Apa-apaan yang kaulakukan di samping pintu rumahku?” Seru Taylor dengan raut wajah kesal. Justin mengerang sakit begitu tangannya mendapat pukulan keras dari Taylor. Taylor melihat beberapa luka di wajah Justin. Di bawah mata sebelah kanannya, di atas alis, kening dan dagunya. Emma tidak sama sekali membohonginya.
“Tidakkah kau sedikitnya sekali menyambutku dengan senyum bahagia? Sekali saja!” Seru Justin ikut kesal. Tanpa dipersilakan masuk ke dalam rumah, Justin melewati Taylor di mulut pintu. Mata Taylor mengikuti langkah Justin, ia berjalan menuju sofa yang baru saja diduduki Emma.
“Sayangnya, senyum bahagiaku untukmu sudah hilang sejak ketukan palu terdengar di telingaku dan telingamu. Bagaimana dengan itu?” Sindir Taylor membuat Justin menatapnya tajam. Wanita itu menutup pintu rumah dan melangkah pelan menuju meja ruang tamu. Kedua tangannya di lipat di depan dada dan kemudian ia berhenti melangkah. Mata Taylor memberi tatapan bertanya, mengapa Emma harus datang padanya malam ini?
“Apa?” Tanya Justin dengan nada tak senang, kedua alisnya bertaut.
“Apa yang kaulakukan pada Emma? Dan apa yang terjadi denganmu?” Pertanyaan itu membuat Justin mengerang dan ia menjatuhkan wajahnya ke atas sofa dan menenggelamkannya di sana. Justin tak ingin membicarakan Emma sekarang! Ia membutuhkan Taylor karena Emma sedikit lebih rumit dari yang Justin perkirakan. Wanita itu berharap banyak pada Justin. Dan itu memang kesalahan Justin karena berniat ingin menikahi Justin. Yah, bisa dikatakan, berbicara tanpa berpikir terlebih dahulu, seperti yang biasa Justin lakukan.
“Aku tidak ingin membicarakan Emma, Taylor. Kumohon?” Pria itu menatap Taylor dengan mata penuh permohonan. “Beberapa hari yang lalu aku berkelahi dengan pria sialan yang berusaha mencuri dompet dariku di lorong. Jadi, yah, aku tak ingin datang padamu dengan wajahku yang hancur,”
“Apakah sulit mengatakan kejujuran Justin?” Taylor mendecak pinggang. Justin bangkit dari sofa, melangkah lebih dekat pada Taylor. Ia meraup kedua pinggang Taylor dan menariknya agar mereka saling bersentuhan. Kedua tangan Taylor masih terlipat di depan dadanya, matanya tak lepas dari mata Justin. “Kau pikir apa yang sedang kaulakukan?”
“Menggoda mantan istriku?” Goda Justin memberi senyuman yang tak pernah dilihat Taylor selama tiga tahun ini. Taylor membuat benteng pertahanan agar ia tidak memberikan dirinya pada Justin untuk yang kedua kalinya. Tidak! Taylor memejamkan mata selama beberapa saat dan mengumpulkan segala kekuatannya untuk mendorong Justin. Matanya terbuka ketika ia merasakan pegangan tangan Justin terhadap pinggangnya semakin menguat, tahu bahwa Taylor akan mendorongnya.
“Justin, kau sudah memiliki Emma. Apakah ia tak cukup untukmu?”
“Akan kupikir dua kali untuk yang satu itu. Sekarang, apakah kita bisa ke kamar sekarang?” Tanya Justin memberi tatapan sayu sekaligus menggoda. Taylor tak mengedip sama sekali. Justin menarik kedua tangannya agar tak menghalangi dada mereka yang seharusnya bersentuhan. Justin tahu Taylor menyukai segala sentuhannya. Wanita itu tentu tidak akan bisa menolaknya jika Justin sudah benar-benar memaksanya seperti ini. Dan lalu tangan kiri Justin meraup seluruh pinggangnya dari belakang sehingga sekarang tubuh mereka benar-benar menempel.
“Justin, kurasa apa yang kita lakukan tak pantas,”
“Pantas jika aku yang melakukannya.” Bibir Justin menutup mulut Taylor agar wanita ini tak banyak bicara. Tangan Justin menarik bokong Taylor sehingga sekarang paha Justin berada di antara selangkangan Taylor. Wanita itu membuka mulutnya, mengerang. Matanya terpejam merasakan sentuhan bibir Justin di bibirnya. Mereka beradu mulut seperti mereka saling mencintai, membutuhkan dan memiliki. Ciuman itu sangat lambat, penuh perasaan sampai rasanya Taylor ingin menangis karena merasakan perasaan ini kembali.
Pria itu menggendong Taylor sehingga mau tak mau Taylor melingkarkan tangannya di sekitar leher Justin. Bibir mereka terpisah begitu saja saat Justin ingin menaiki anak tangga. Nafas mereka saling memburu, namun keinginan untuk melakukannya terus menggebu-gebu. Justin sangat merindukan Taylor. Justin memberi kecupan ringan di bibir Taylor selama ia menaiki tangga.
“Kau merasakannya?” Tanya Justin berbisik. Taylor mengangguk merasakan betapa mereka sangat menginginkan hal ini kembali mereka lakukan. Kali ini bukan Justin yang menyerang lebih dulu, bibir Taylor mencium bibir Justin tak sabaran. Seolah-olah ia ingin memakan mulut itu. Cepakan ciuman mereka terdengar begitu menggairahkan hingga Taylor ingin pingsan. Justin menarik bibirnya dari Taylor, membuat Taylor kecewa.
“Katakan padaku, Taylor. Apa kau menginginkanku?” Tanya Justin berbisik, lagi. Mereka memasuki kamar lama mereka, menutup pintu lalu menguncinya. Justin membawanya menuju tempat tidur lalu melepaskan Taylor dari gendongannya di sisi tempat tidur sehingga wanita itu terduduk di atas tempat tidur. Taylor mengangkat kedua kakinya ke atas tempat tidur dan bersimpuh. Ah, Taylor, tegas di luar sana, tetapi dapat ditaklukan di atas ranjang dengan begitu mudah.
Taylor tak menjawab pertanyaan Justin. Ia hanya ingin Justin kembali mengecupinya atau mendorong ke atas tempat tidur dan menindihnya. Ia sangat membutuhkan Justin seperti ia membutuhkan Justin dulu. Tetapi pria itu tidak melakukan apa yang Taylor harapkan. Justin menarik dagu Taylor dengan jari telunjuk dan jempolnya lalu mengecupnya ringan. Kecupan itu berhasil membuat Taylor meleleh di bawahnya sentuhannya.
“Apa kau menginginkanku, Taylor?” Tanya Justin dengan pertanyaan yang sama. Taylor tak mengatakan apa-apa, ia hanya mengangguk. Sekarang Taylor terlihat seperti anak kecil yang diminta Ibunya untuk mengambil air minum untuk Ayahnya. Terlihat polos dan pasrah. Justin tersenyum kecil dan menggeleng kepala. Gelengan Justin membuat kedua Taylor mengendur. Apa maksudnya?
“Katakan padaku, Taylor. Apa kau menginginkannya? Katakan.” Jari jempol Justin mengelus bibir bawah Taylor, membuat Taylor bergetar. Ia mengangguk. “Katakan padaku.”
“Aku menginginkanmu, Justin.” Mata Taylor menatap Justin, yakin dengan apa yang ia katakan. Justin mengangguk, ia menundukkan kepalanya lalu menarik kepala Taylor agar mulut mereka dapat beradu kembali. Lidah Justin menyeruak masuk ke dalam, sesekali ia mengisap bibir Taylor atau menggigitnya. Kedua tangan Taylor terangkat, menyelip di antara rambut Justin dan menjambaknya dengan lembut. Perlakuan itu membuat Justin mengerang.
Tangan Justin menarik lepas kedua tali gaun tidur Taylor sementara mulut mereka masih menyatu. Ia menarik ke bawah bagian atas gaun Taylor sehingga bra yang menutupi buah dadanya terlihat. Taylor masih ingin menikmati bibir manis Justin, tetapi pria itu telah menarik kepalanya yang membuat Taylor menjulurkan kepalanya lebih dekat pada Justin agar ia masih dapat mengecup bibir itu. Sayangnya, ia tidak mendapatkannya.
“Angkat kedua tanganmu,” perintah Justin dan Taylor melakukannya. Pria itu menarik lepas gaun tidur Taylor sehingga tubuh Taylor setengah telanjang. Selalu menggiurkan di mata Justin. “Berbaringlah, biar aku yang mengurusmu.” Justin membuka kaos hitam yang ia pakai sehingga otot-otot perutnya yang berkeringat sekarang terlihat. Sangat seksi. Taylor setengah berbaring, ia bersandar di sandaran tempat tidur. Ia menutup bagian selangkangannya dengan telapak tangan, seolah-olah ia malu karena sekarang Justin menatapnya.
Rasanya Justin sebentar lagi akan memakannya dengan tatapan itu. Ah, Taylor tak pernah merasa malu seperti ini! Kedua pipinya memerah. Wanita tegas itu sekarang benar-benar berubah, terutama karena ia berada di bawah kekuasaan Justin. Pria itu membuka celana jinsnya sehingga hanya boxer yang menutupi kejantanannya dan Taylor ingin sekali menyentuh Justin lagi. Pria itu merangkak naik ke atas tempat tidur, mengangkangi tubuh Taylor yang setengah telanjang. Justin membuka bra Taylor, membuangnya, lalu melihat buah dada itu lebih besar dari sebelumnya. Oh, Christopher benar-benar mengubahnya menjadi lebih baik. Justin mulai memainkan jari-jarinya pada puting Taylor, memberi aliran listrik di sekujur tubuh Taylor.
“Kau tahu apa yang paling kurindukan darimu, Taylor?” Tanya Justin sambil tangannya mengelus perut Taylor yang rata. Telapak tangannya membuat tubuh Taylor bergetar sampai ke selangkangannya. Ia yakin di bawah sana ia sudah sangat basah. Justin menyelipkan jari-jarinya di celana dalam Taylor, tetapi hanya setengah jari. Menggoda Taylor. Di bawah sana Taylor sudah berkedut-kedut, meminta untuk segera disentuh. Kedua alisnya bertaut memohon.
“Apa?” Tanyanya sedikit mendesah. Kedua tangan Taylor memegang lengan Justin, meremas lengan Justin yang ototnya sudah menegang. Tangan Justin semakin masuk ke dalam dan kali ini menangkup bagian bawah Taylor hingga Taylor menarik nafas tajam.
“Ini.” Tatapannya tajam, kemudian bibir mereka kembali bertemu. Justin memainkan jarinya di sana, mengelusnya dengan lembut. Jari tengahnya mengelus-elus permukaannya lalu masuk ke dalam Taylor perlahan-lahan. Tangan kanan Taylor jatuh dari lengan Justin seolah-olah ia baru saja dibunuh. Ia mengerang dalam mulut Justin dan menekuk salah satu lututnya. Justin menyingkir dari atas tubuh Taylor dan bersimpuh di depan kedua paha Taylor. Ia menarik keluar tangannya dan melihat jari-jarinya yang mengkilap karena cairan Taylor.
Justin mengisap jarinya lalu memberikan jari tengahnya ke mulut Taylor, yang disambut baik oleh mantan istrinya. Tangan Justin yang lain berusaha menarik lepas celana dalam Taylor. Melihat Justin kesulitan membuka celana dalamnya, ia membantu membuka celana dalam itu untuknya. Dan sebuah senyum puas terlihat di wajah Justin. Masih seperti dulu. Terawat, tanpa bulu sama sekali. Ah, kapan Taylor pernah mengecewakannya di atas tempat tidur? Tidak pernah.
Justin menarik jari tengahnya dari mulut Taylor lalu menarik kedua paha Taylor padanya sehingga Taylor berbaring. Justin menundukkan kepalanya, menyembunyikan wajahnya di antara selangkangan Taylor. Bibirnya menyentuh bagian bawah Taylor, membelahnya dengan lidahnya dan memasukinya dengan lidah. Mata Taylor terbeliak. Ia memejamkan matanya dan berusaha menarik diri dari Justin. Tetapi pria itu menahan kedua pahanya dengan tangan. Tangan Taylor meremas sprei tempat tidurnya.
Pinggul Taylor terangkat-angkat ketika lidah itu terus menyeruak masuk ke dalam. Mencari cairan Taylor lebih banyak lagi dan sesekali pria itu menggeram. Taylor mendesah, bahkan ia memekik menangis memohon agar penderitaannya yang nikmat ini segera berakhir.
“Oh, Justin,” desahnya melihat Justin di bawah sana. Mata Justin memerhatikannya dan ia mengangguk-anggukkan kepala di sana, memberi kenikmatan lebih. “Aku akan datang.” Justin memejamkan matanya kali ini dan saat itulah Justin menggoda klitorisnya agar Taylor mendapat puncaknya saat itu juga. Taylor bergetar hebat. Tak menyangka bahwa orgasmenya akan seintens itu. Namun mulut Justin tak kunjung lepas darinya. Matanya terpejam, kedua alis bertaut dan ia menangis. Pria itu mengais-ngais cairan di dalam Taylor, menghabiskan cairannya.
Masih berusaha menenangkan diri, Taylor akhirnya sadar bahwa Justin telah menindih tubuhnya. Di bawah sana, Justin telah menggesek-gesekkan ujung kejantangannya di mulut bagian bawah Taylor, menggodanya.
“Tidak, kumohon Justin,” bisik Taylor dengan tatapan memohon pada Justin. Punggung tangan kiri Justin mengelus pipi Taylor dengan lembut.
“Oh, Taylor, Taylor. Kau masih sangat egois, sayang. Tetapi sekarang bukan saatnya untuk bersikap egois karena aku membutuhkannya.” Justin menarik dagu Taylor, mengecup bibirnya dan memasukkan kejantanannya ke dalam tubuh Taylor hingga Taylor perlu memeluk punggungnya dan mencakarnya. Justin menggeram dan merasakan kejantanannya diapit begitu kuat. Oh, Taylor masih seperti dulu. Sangat ketat. Justin mulai menggerakan tubuhnya di atas Taylor, memberikan kenikmatan tak berujung pada mantan istrinya. Kedua berkeringat, saling beradu dan melebur menjadi satu.
“Katakan padaku kau sangat menginginkannya, Taylor,” paksa Justin mulai mempercepat iramanya. Pria itu menempatkan kedua tangannya di antara kepala Taylor. Mata Taylor memohon pada Justin agar melakukannya lebih kencang.
“Aku menginginkannya, Justin,” bisiknya dengan nafas memburu. “Oh, lebih cepat! Lebih cepat!” Pintanya berteriak, tak peduli apakah anaknya mendengar atau tidak.
“Bagus,” bisik Justin menyembunyikan wajahnya di antara leher Taylor lalu ia menggerakan tubuhnya lebih kencang lagi hingga Taylor menangis kembali. Justin mendengus, menggeram dan sesekali ia meremas bokong Taylor. Taylor terus membalas hujaman kejantanan Justin dalam tubuhnya, meminta lebih banyak lagi.
“Justin, aku akan sampai,”
“Ya, Taylor. Lakukan untukku,” bisik Justin. “Lakukan untukku.” Justin mengangkat kepalanya dari leher Taylor lalu ia menangkup buah dada Taylor dengan salah satu tangannya dengan tangan yang lain mencekik leher Taylor. Oh, sangat seksi! Ada saatnya ketika Justin menekan seluruh kejantanannya ke dalam tubuh Taylor hingga Taylor mendapatkan pelepasannya yang sempurna dan begitu juga dengan Justin. Dan itulah yang Justin lakukan sekarang. Mereka mendapat kepuasan mereka masing-masing. Saling mengerang dan mendesah. Bahkan Taylor harus mencakar punggung Justin agar ia dapat menampung seluruh rasa nikmat yang diberikan pria itu.
“Oh, sialan!” Umpat Justin memejamkan mata saat ia terus menyemburkan maninya dalam tubuh Taylor. “Kau sempurna.” Justin mengecup bibir Taylor. Wanita itu sudah tak dapat melakukan apa pun selain bernafas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar