Sudah tiga hari! Tiga hari pria
itu tidak pulang kembali ke Los Angeles sehingga wanita harus mengambil
tindakan ini. Pergi kembali ke Atlanta. Ia mengharapkan berita bagus dari
kekasih barunya. Tetapi yang ia dapatkan jauh dari apa yang ia harapkan. Entah
bagaimana bisa kekasihnya mendapatkan wajah yang penuh dengan plester dan tubuh
yang kurus dalam waktu tiga hari. Apa yang pria ini pikir? Emma, yang sedang
mondar-mandir di depan kekasihnya, marah! Atau lebih tepatnya ia kecewa. Emma
tidak peduli Justin pulang tak membawa apa pun, tetapi setidaknya Justin pulang
dengan selamat. Dan sekarang, ia diperhadapkan dengan Justin yang malang.
Ia khawatir, tentu saja. Dan
bertanya-tanya siapa yang telah memukul wajah kekasihnya. Ia sudah bertanya
pada Justin berkali-kali, dan Justin memilih untuk tidak menjawabnya dan
meminta Emma kembali pulang ke Los Angeles. Emma duduk di ujung tempat tidur
lalu menatap Justin dengan raut wajah iba. Pria itu duduk di atas sofa yang
berhadapan dengannya, pakaiannya rapi seperti biasanya. Kedua alis Emma
bertaut. Sementara Justin, wajahnya penuh plester namun tidak separah ketika ia
keluar dari rumah sakit malam itu juga, saat ia membawa Java dan dirinya ke
rumah sakit. Justin meninggalkan Java begitu saja di rumah sakit dan berharap
pria itu tidak cacat.
Emma menarik nafas tajam. “Jadi,
apa kau ingin pulang besok atau tunggu sampai plester-plester itu lepas dari
wajahmu?”
“Kau tidak perlu
mengkhawatirkanku, Emma, sungguh,” ucap Justin menggeleng-geleng kepala. “Luka
ini sudah sembuh, aku saja yang belum mencabutinya. Bagaimana kalau besok kau
kembali ke Los Angeles, aku yakin bosmu tidak suka kau terus pergi ke Atlanta,”
lanjutnya mendesah nafas yang sangat panjang. Emma bangkit dari ujung tempat tidur
lalu melangkah menuju sofa dan duduk di sebelah Justin. Ia mengangkat kedua
kakinya, bersimpuh di atas sana lalu tangannya menyentuh plester di bawah mata
Justin. Plester transparan.
Dengan lemah lembut, Emma
mencabuti plester itu. Ya, lukanya sudah kering, hanya tunggu sampai lukanya
hilang dan tak membekas. Justin hanya memberi senyum terima kasih. Emma
menurunkan tangannya lalu memainkan plester itu di atas pahanya. Wanita
berambut cokelat kemerahan itu menggigit bibirnya. Mungkinkah Justin terus berada
di sini karena adanya Taylor? Emma sudah pernah melihat Taylor dan wanita itu
memang cantik. Justru Emma bingung mengapa Justin menceraikannya.
Sepulangnya dari Atlanta, Emma
berusaha berpikir bahwa Justin tidak akan melakukan apa pun di Atlanta selain
bertemu dengan anaknya atau perusahaannya yang ada di sana. Sayangnya, ia tak
bisa. Sejak ia melihat Taylor memanggil Justin untuk masuk ke dalam ruang rawat
Christopher, Emma tahu Taylor masih mengharapkan Justin agar pria itu kembali
ke dalam pelukannya. Dan dua pria yang ada di hadapannya saat itu tidak begitu
menyadarinya karena mereka pria. Mereka tidak bisa melihat di balik
wajah datar itu terdapat wanita yang sangat membutuhkan pria-nya
kembali. Ya, siapa lagi jika bukan Justin.
“Apa kau masih ada di sini karena
Taylor?” Pertanyaan itu keluar dari mulut Emma begitu saja, membuat Justin
terkejut. Begitu juga Emma yang terkejut karena ia secara tak sengaja
melontarkan pertanyaan itu. Pria itu berdeham dan entah mengapa pertanyaan itu
sangat mengenai hatinya.
“Tidak,” bisiknya, “tentu saja
tidak.” Justin berucap penuh keyakinan. Dan kenyataannya ia di sini memang
untuk Taylor. Dan tentu saja untuk Christopher. Well, Justin ingin menjauhkan
Java sialan itu dari Taylor sampai pria itu benar-benar pergi dari kehidupan
Taylor. Emma memerhatikan raut wajah Justin yang tampak tak yakin. Dan yang ia
lakukan hanyalah mengangguk mengerti.
“Aku masih ingin bertemu
Christopher, jika boleh,” ucap Emma mengerjap-kerjapkan matanya. Justin hanya
mengangguk. Dan saat itulah Emma sudah tak tahan lagi berhadapan dengan Justin.
Ia bangkit dari sofa dan berjalan cepat menuju kamar mandi. Oh ya Tuhan! Emma
begitu bodoh sampai ia mau memiliki hubungan asmara dengan pria ini. Justin
Almonde, pria yang memiliki perusahaan (meski ia tidak tahu perusahaan apa yang
Justin miliki), yang memiliki satu mantan istri dan satu anak laki-laki yang
tampan. Bukankah Justin memiliki keluarga yang sempurna jika ia tidak bercerai?
Justin tentu tidak ingin memiliki
kekasih. Justin membutuhkan seorang wanita yang dapat memuaskan kebutuhannya
selama yang Justin mau karena Justin yang memiliki wanita itu. Dan tentu,
Justin bukan pria yang ingin membagi apa pun miliknya. Termasuk Emma yang
sekarang merasa hanyalah wanita yang menghibur Justin karena Justin tidak lebih
dari pria kesepian. Emma menutup pintu kamar mandi dan menguncinya. Dan air
matanya menetes tanpa harus ia tunggu. Ia memejamkan matanya.
Apa yang harus ia lakukan agar
Justin menjadi miliknya seutuhnya? Membunuh Taylor? Tidak mungkin! Emma tak
seberani itu. Mengancam Justin? Pria itu pasti akan meninggalkannya begitu saja
karena Justin tahu, ia bisa mendapatkan wanita dengan mudah. Tetapi Taylor
telah jatuh cinta dengan pria ini. Pria pertama yang ia cintai sejak
perceraiannya.
“Emma, kau baik-baik saja di
dalam?” Justin bertanya dari luar dengan suara besar.
“Ya, aku baik-baik saja.”
Bukankah kata-kata itu yang sering dikeluarkan setiap wanita saat hatinya
benar-benar terluka?
***
Taylor mengecup kening
Christopher saat anak itu telah terlelap. Seulas senyum bahagia terlihat di
wajah Taylor. Christopher sudah masuk sekolah sejak dua hari yang lalu. Taylor
menjauh dari tempat tidur Christopher lalu ia mematikan lampu kamar anaknya. Ia
senang karena dua hari ini Christopher selalu terlihat senang, seperti
biasanya. Ah, hari Minggu sampai Selasa sungguh membuatnya terpuruk. Ada
sesuatu yang kurang ketika Christopher tak berbicara banyak atau bertanya
tentang apa pun padanya.
Dan sejak hari Selasa, Taylor tak
melihat tanda-tanda dari Java atau Justin. Pertama, kemungkinan besar Justin
sudah pulang kembali ke Los Angeles. Kedua, Justin telah melaksanakan
pernikahannya. Sepertinya perkiraannya yang kedua belum terjadi. Dan ia cukup
khawatir dengan keadaan Justin karena pria itu tidak memberi kabar apa pun. Dan
Java! Taylor mendesah memikirkan Java. Kemana pria itu? Taylor dan Christopher
sudah mengunjungi apartemen Java sepulang sekolah Christopher. Dan Java tidak
ada di apartemennya.
Dan berita baru dari kasus
pembunuhan pasangan Featherston. Ternyata mereka dibunuh oleh orang suruhan
dari anak mereka sendiri. Hannah Featherston, gadis remaja 16 tahun itu tidak
masuk penjara, tetapi rehabilitasi karena gangguan mentalnya. Sementara kaki
tangannya harus masuk penjara seumur hidup, hebatnya, kaki tangannya masih
berumur 18 tahun tetapi kehebatannya dalam menembak tak dapat dielakkan. Anak
remaja lelaki itu bernama Michael. Dan ya, kembali lagi dengan hubungan
percintaan mereka. Karena Michael tak tahan dengan sikap orangtua Hannah yang
selalu mengabaikan Hannah. Terutama saat Hannah terus menangis di pundaknya dan
berharap agar orangtuanya cepat mati.
Dan cinta sangat membutakan.
Terutama pada dua remaja itu. Hannah meminta Michael membunuh kedua
orangtuanya. Karena Michael mencintainya, Michael melakukannya tanpa berpikir
konsekuensinya. Taylor menggeleng kepala memikirkan dua remaja itu. Apa yang
mereka pikirkan sewaktu mereka merencanakan pembunuhan itu? Konyol. Sangat
konyol. Taylor menghela nafas panjang dan sudah mendapati dirinya berada di
atas tempat tidurnya sendiri. Baru saja Taylor ingin membaringkan tubuhnya, bel
pintu rumahnya berbunyi. Ia mengerang kesal. Segera Taylor bangkit dari tempat
tidur dan keluar dari kamar.
Orang bodoh mana yang menekan bel
rumah janda seperti Taylor malam-malam seperti ini? Kecuali ia adalah Java.
Taylor akan sangat senang. Wanita itu menuruni anak tangga dengan cepat dan
melangkah menuju pintu utamanya. Ketika tangannya membuka kunci rumah lalu
menarik pintu, Taylor terdiam. Ia terpaku di tempat. Matanya menatap lurus
seorang wanita berambut cokelat kemerahan dengan gaun selutut yang ketat.
Tunggu, apa sekarang pesta koktail atau kita akan pergi ke bar? Sayang sekali
Taylor tak bisa ikut karena ia hanya mengenakan gaun tidur sepahanya. Dan tidak
akan bisa merangsang pria mana pun.
“Emma?” Taylor bertanya dengan
suara tenang, tetapi sungguh ia sangat terkejut. “Ada yang bisa kubantu?”
“Ap-apa aku boleh masuk?” Tanya
Emma dengan mata sembab. Taylor mengutuk Justin dalam hati. Pasti ada sesuatu
yang membuat Emma datang padanya. Dan itu berasal dari Justin. Taylor
mengangguk dan mempersilakan wanita berambut cokelat kemerahan itu masuk ke
dalam rumah. Mata Taylor memerhatikan Emma yang melangkah masuk dan memilih
untuk duduk di atas sofa yang hanya dapat dimuat satu orang.
“Ada apa, Emma?” Tanya Taylor
menutup pintu rumahnya. “Apa Justin melakukan sesuatu yang tak kau inginkan?
Aku pengacara,” lanjut Taylor tak peduli apakah Emma kekasih Justin atau bukan.
Emma menggeleng kepalanya, ia tersenyum kecil. Taylor duduk ujung sofa yang
lain, di dekat sofa Emma.
“Aku ke sini untuk membicarakan
hubungan antara aku, Justin dan kau,” ucap Emma menatap Taylor. Kedua alis
Taylor terangkat. Hubungan antara Emma, Justin dan dirinya? Apa Emma buta?
Taylor sudah jelas tak memiliki hubungan apa pun lagi dengan Justin. Namun
Taylor tak mengatakan apa-apa dan berharap wanita itu melanjutkan ucapannya.
“Aku pulang dari Los Angeles hari
Minggu malam. Justin tidak ikut denganku karena Christopher masih ada di rumah
sakit. Dan aku menunggunya selama tiga hari di Los Angeles dan berharap ia
pulang. Kupikir, pasti ada sesuatu yang membuatnya tak pulang. Jadi aku terbang
dari Los Angeles ke Atlanta,
“Saat aku sampai di hotel Justin,
kau tahu apa yang kulihat? Ya, aku lihat wajahnya ..lebam dan penuh luka. Aku
bertanya-tanya siapa yang memukul wajahnya dan aku akan menuntut orang itu.
Tetapi Justin tidak menjawab pertanyaanku. Apa kemarin dia bertemu denganmu
atau Christopher?”
Taylor menggeleng heran. “Tidak.
Ia tidak datang menemuiku atau Christopher sejak Selasa. Kupikir ia sudah
pulang ke Los Angeles dan...” suara Taylor menghilang. Ia memikirkan Justin dan
Java. Mereka berdua tak mengunjungi Taylor sejak hari Selasa. Dan wajah Justin
lebam dan penuh luka? Apa-apaan yang mereka lakukan? Taylor merutuki keduanya
dalam hati.
“Dan apa?” Emma membuyarkan
lamunan Taylor.
“Dan menikahimu.” bisik Taylor.
Alis Emma terangkat, tercengang. Taylor mengucapkannya tidak seperti yang Emma
duga. Emma pikir wanita ini tidak akan menyebutkan kata ‘pernikahan’ dalam
hubungan Justin dan Emma. Tetapi wanita itu baru saja mengucapkannya. Kemudian
kepala Emma tergeleng. Justin tentu tidak akan menikahinya karena pria itu
masih mencintai Taylor. Tidakkah Taylor melihat cara pandang Justin
terhadapnya? Justin masih tertarik dengan Taylor!
Taylor memerhatikan gerak-gerik
Emma. Wanita itu terdiam sejenak dan ia menundukkan kepalanya, melihat pada
kukunya yang ia mainkan. Matanya sembab dan ia baru sampai di Atlanta hari ini.
Jadi, sebenarnya, apa yang terjadi dengan Emma? Ia ingin mencaritahu siapa yang
memukul Justin? Jika ya, Taylor tidak akan mau membantunya. Entah mengapa
mengetahui Justin mendapat pukulan, Taylor merasa sedikit senang. Ya, tentu
saja! Pria itu telah menyakiti hatinya dan pantas mendapatkan pukulan dari
siapa pun orang itu, kecuali Java. Jika Taylor tahu bahwa Java yang memukul
Justin, tentu Taylor tak akan memaafkan Java. Pria itu tidak memiliki hak apa
pun untuk memukul Justin jika alasannya adalah Taylor. Itu sama saja dengan
Java mengikut campur hubungan Taylor.
Emma menarik nafas tajam. Dan air
matanya sudah terjatuh di salah satu lututnya yang terbuka. Kemudian ia
mendongak, menatap Taylor dengan mata berkaca-kaca. Apakah tangisan ini sangat
diperlukan? Taylor mengerang. Ia sungguh tidak suka melihat orang menangis.
“Yang ingin kukatakan sebenarnya
adalah..” suara Emma menghilang selama beberapa detik, “kurasa seharusnya kau
tidak mendekati Justin lagi. Atau memiliki hubungan apa pun dengannya. Aku tahu
ini sangat kasar tetapi aku jatuh cinta padanya, Taylor. Dan melihatnya
berdekatan denganmu beberapa hari terakhir ini membuatku merasa tersisihkan
begitu saja dan..”
Taylor menghela nafas panjang
saat ucapan Emma terpotong. Jadi ia yang mengambil alih percakapan. “Aku dan
Justin tidak memiliki hubungan apa pun, Emma. Percaya padaku. Justin bukan
mengunjungiku, tetapi ia mengunjungi Christopher. Bukankah itu yang kau
inginkan darinya? Melihat Justin dan Christopher bersama? Maksudku, agar kalian
dapat bermain bersama.” Taylor memberi senyum tulus.
“Tetapi kurasa bukan itu yang
Justin lakukan. Maksudku, kumohon beri tindakan tegas untuk Justin agar ia
dapat menjauh darimu. Argh, ya Tuhan! Aku merasa seperti orang terkejam di
dunia.” Emma meremas telapak tangannya dan merasa gemas akan dirinya sendiri.
Taylor tersenyum dan menggeleng kepala.
“Aku sudah tidak mencintainya,”
adalah omong kosong belaka yang keluar dari mulut Taylor! Tetapi Taylor baru
saja mengatakannya. Kedua mata Emma melebar mendengar kata-kata itu. Taylor tak
mencintai Justin? Bagaimana bisa? Bagaimana dengan wajahnya yang penuh harapan
pada Justin Minggu siang itu? Emma terdiam. Ucapan itu terdengar seperti
sumpah. Dan jika memang benar, Emma tidak perlu mengkhawatirkan apa pun
mengenai hubungan Justin dan Taylor. Karena Taylor tak memiliki perasaan apa
pun dari Justin.
“Benarkah?” Tanya Emma untuk
membuatnya semakin yakin. Taylor mengangguk.
“Tidak ada yang perlu kau takuti,
Emma. Justin sepenuhnya milikmu dan Christopher. Maksudku, kita berdua telah
bercerai dan Justin sudah tidak berarti lagi bagiku,” ucap Taylor meyakinkan
Emma. Sebuah senyuman lebar tampak di wajah cantik Emma. Kemudian wanita itu
tiba-tiba bangkit dari sofa.
“Baiklah, Taylor. Terima kasih
telah membuatku lega. Aku pulang.” Emma memeluk Taylor selama beberapa detik
namun Taylor tak membalas pelukan. Karena tak suka berpelukan. Dan entah dengan
kekuatan super apa, Emma sudah keluar dari rumah Taylor dengan pintu yang masih
terbuka. Mata Taylor memerhatikan Emma yang mencari taksi di depan rumahnya.
Dan yah, dengan segala kecantikan
yang Emma miliki, sebuah taksi berhenti di depannya dan wanita itu masuk ke
dalam. Tidak seperti Taylor yang harus pergi ke stasiun kereta karena ia yakin
ia tidak akan mendapatkan taksi secepat yang ia mau. Ketika taksi itu sudah menghilang
dari pandangan Taylor, seorang pria tiba-tiba saja muncul dari tembok di
samping pintu rumah Taylor. Sangat mengejutkan sampai Taylor mengumpat.
“Brengsek!” Makinya memukul
lengan Justin. “Apa-apaan yang kaulakukan di samping pintu rumahku?” Seru Taylor
dengan raut wajah kesal. Justin mengerang sakit begitu tangannya mendapat
pukulan keras dari Taylor. Taylor melihat beberapa luka di wajah Justin. Di
bawah mata sebelah kanannya, di atas alis, kening dan dagunya. Emma tidak sama
sekali membohonginya.
“Tidakkah kau sedikitnya sekali
menyambutku dengan senyum bahagia? Sekali saja!” Seru Justin ikut kesal. Tanpa
dipersilakan masuk ke dalam rumah, Justin melewati Taylor di mulut pintu. Mata
Taylor mengikuti langkah Justin, ia berjalan menuju sofa yang baru saja
diduduki Emma.
“Sayangnya, senyum bahagiaku
untukmu sudah hilang sejak ketukan palu terdengar di telingaku dan telingamu.
Bagaimana dengan itu?” Sindir Taylor membuat Justin menatapnya tajam. Wanita
itu menutup pintu rumah dan melangkah pelan menuju meja ruang tamu. Kedua
tangannya di lipat di depan dada dan kemudian ia berhenti melangkah. Mata
Taylor memberi tatapan bertanya, mengapa Emma harus datang padanya malam ini?
“Apa?” Tanya Justin dengan nada
tak senang, kedua alisnya bertaut.
“Apa yang kaulakukan pada Emma?
Dan apa yang terjadi denganmu?” Pertanyaan itu membuat Justin mengerang dan ia
menjatuhkan wajahnya ke atas sofa dan menenggelamkannya di sana. Justin tak
ingin membicarakan Emma sekarang! Ia membutuhkan Taylor karena Emma sedikit lebih
rumit dari yang Justin perkirakan. Wanita itu berharap banyak pada Justin. Dan
itu memang kesalahan Justin karena berniat ingin menikahi Justin. Yah, bisa
dikatakan, berbicara tanpa berpikir terlebih dahulu, seperti yang biasa Justin
lakukan.
“Aku tidak ingin membicarakan
Emma, Taylor. Kumohon?” Pria itu menatap Taylor dengan mata penuh permohonan.
“Beberapa hari yang lalu aku berkelahi dengan pria sialan yang berusaha mencuri
dompet dariku di lorong. Jadi, yah, aku tak ingin datang padamu dengan wajahku
yang hancur,”
“Apakah sulit mengatakan
kejujuran Justin?” Taylor mendecak pinggang. Justin bangkit dari sofa,
melangkah lebih dekat pada Taylor. Ia meraup kedua pinggang Taylor dan
menariknya agar mereka saling bersentuhan. Kedua tangan Taylor masih terlipat
di depan dadanya, matanya tak lepas dari mata Justin. “Kau pikir apa yang
sedang kaulakukan?”
“Menggoda mantan istriku?” Goda
Justin memberi senyuman yang tak pernah dilihat Taylor selama tiga tahun ini.
Taylor membuat benteng pertahanan agar ia tidak memberikan dirinya pada Justin
untuk yang kedua kalinya. Tidak! Taylor memejamkan mata selama beberapa saat
dan mengumpulkan segala kekuatannya untuk mendorong Justin. Matanya terbuka
ketika ia merasakan pegangan tangan Justin terhadap pinggangnya semakin menguat,
tahu bahwa Taylor akan mendorongnya.
“Justin, kau sudah memiliki Emma.
Apakah ia tak cukup untukmu?”
“Akan kupikir dua kali untuk yang
satu itu. Sekarang, apakah kita bisa ke kamar sekarang?” Tanya Justin memberi
tatapan sayu sekaligus menggoda. Taylor tak mengedip sama sekali. Justin
menarik kedua tangannya agar tak menghalangi dada mereka yang seharusnya
bersentuhan. Justin tahu Taylor menyukai segala sentuhannya. Wanita itu tentu
tidak akan bisa menolaknya jika Justin sudah benar-benar memaksanya
seperti ini. Dan lalu tangan kiri Justin meraup seluruh pinggangnya dari
belakang sehingga sekarang tubuh mereka benar-benar menempel.
“Justin, kurasa apa yang kita
lakukan tak pantas,”
“Pantas jika aku yang
melakukannya.” Bibir Justin menutup mulut Taylor agar wanita ini tak banyak
bicara. Tangan Justin menarik bokong Taylor sehingga sekarang paha Justin
berada di antara selangkangan Taylor. Wanita itu membuka mulutnya, mengerang.
Matanya terpejam merasakan sentuhan bibir Justin di bibirnya. Mereka beradu
mulut seperti mereka saling mencintai, membutuhkan dan memiliki. Ciuman itu
sangat lambat, penuh perasaan sampai rasanya Taylor ingin menangis karena
merasakan perasaan ini kembali.
Pria itu menggendong Taylor
sehingga mau tak mau Taylor melingkarkan tangannya di sekitar leher Justin.
Bibir mereka terpisah begitu saja saat Justin ingin menaiki anak tangga. Nafas
mereka saling memburu, namun keinginan untuk melakukannya terus menggebu-gebu.
Justin sangat merindukan Taylor. Justin memberi kecupan ringan di bibir Taylor
selama ia menaiki tangga.
“Kau merasakannya?” Tanya Justin
berbisik. Taylor mengangguk merasakan betapa mereka sangat menginginkan hal ini
kembali mereka lakukan. Kali ini bukan Justin yang menyerang lebih dulu, bibir
Taylor mencium bibir Justin tak sabaran. Seolah-olah ia ingin memakan mulut
itu. Cepakan ciuman mereka terdengar begitu menggairahkan hingga Taylor ingin
pingsan. Justin menarik bibirnya dari Taylor, membuat Taylor kecewa.
“Katakan padaku, Taylor. Apa kau
menginginkanku?” Tanya Justin berbisik, lagi. Mereka memasuki kamar lama
mereka, menutup pintu lalu menguncinya. Justin membawanya menuju tempat tidur
lalu melepaskan Taylor dari gendongannya di sisi tempat tidur sehingga wanita
itu terduduk di atas tempat tidur. Taylor mengangkat kedua kakinya ke atas
tempat tidur dan bersimpuh. Ah, Taylor, tegas di luar sana, tetapi dapat
ditaklukan di atas ranjang dengan begitu mudah.
Taylor tak menjawab pertanyaan
Justin. Ia hanya ingin Justin kembali mengecupinya atau mendorong ke atas
tempat tidur dan menindihnya. Ia sangat membutuhkan Justin seperti ia
membutuhkan Justin dulu. Tetapi pria itu tidak melakukan apa yang Taylor
harapkan. Justin menarik dagu Taylor dengan jari telunjuk dan jempolnya lalu
mengecupnya ringan. Kecupan itu berhasil membuat Taylor meleleh di bawahnya
sentuhannya.
“Apa kau menginginkanku, Taylor?”
Tanya Justin dengan pertanyaan yang sama. Taylor tak mengatakan apa-apa, ia
hanya mengangguk. Sekarang Taylor terlihat seperti anak kecil yang diminta
Ibunya untuk mengambil air minum untuk Ayahnya. Terlihat polos dan pasrah.
Justin tersenyum kecil dan menggeleng kepala. Gelengan Justin membuat kedua
Taylor mengendur. Apa maksudnya?
“Katakan padaku, Taylor. Apa kau
menginginkannya? Katakan.” Jari jempol Justin mengelus bibir bawah Taylor,
membuat Taylor bergetar. Ia mengangguk. “Katakan padaku.”
“Aku menginginkanmu, Justin.”
Mata Taylor menatap Justin, yakin dengan apa yang ia katakan. Justin
mengangguk, ia menundukkan kepalanya lalu menarik kepala Taylor agar mulut
mereka dapat beradu kembali. Lidah Justin menyeruak masuk ke dalam, sesekali ia
mengisap bibir Taylor atau menggigitnya. Kedua tangan Taylor terangkat,
menyelip di antara rambut Justin dan menjambaknya dengan lembut. Perlakuan itu
membuat Justin mengerang.
Tangan Justin menarik lepas kedua
tali gaun tidur Taylor sementara mulut mereka masih menyatu. Ia menarik ke
bawah bagian atas gaun Taylor sehingga bra yang menutupi buah dadanya terlihat. Taylor masih ingin
menikmati bibir manis Justin, tetapi pria itu telah menarik kepalanya yang
membuat Taylor menjulurkan kepalanya lebih dekat pada Justin agar ia masih
dapat mengecup bibir itu. Sayangnya, ia tidak mendapatkannya.
“Angkat kedua tanganmu,” perintah
Justin dan Taylor melakukannya. Pria itu menarik lepas gaun tidur Taylor
sehingga tubuh Taylor setengah telanjang. Selalu menggiurkan di mata Justin.
“Berbaringlah, biar aku yang mengurusmu.” Justin membuka kaos hitam yang ia
pakai sehingga otot-otot perutnya yang berkeringat sekarang terlihat. Sangat
seksi. Taylor setengah berbaring, ia bersandar di sandaran tempat tidur. Ia
menutup bagian selangkangannya dengan telapak tangan, seolah-olah ia malu
karena sekarang Justin menatapnya.
Rasanya Justin sebentar lagi akan
memakannya dengan tatapan itu. Ah, Taylor tak pernah merasa malu seperti ini!
Kedua pipinya memerah. Wanita tegas itu sekarang benar-benar berubah, terutama
karena ia berada di bawah kekuasaan Justin. Pria itu membuka celana jinsnya
sehingga hanya boxer yang menutupi kejantanannya dan Taylor ingin sekali menyentuh
Justin lagi. Pria itu merangkak naik ke atas tempat tidur, mengangkangi tubuh
Taylor yang setengah telanjang. Justin membuka bra Taylor, membuangnya, lalu
melihat buah dada itu lebih besar dari sebelumnya. Oh, Christopher benar-benar
mengubahnya menjadi lebih baik. Justin mulai memainkan jari-jarinya pada puting
Taylor, memberi aliran listrik di sekujur tubuh Taylor.
“Kau tahu apa yang paling
kurindukan darimu, Taylor?” Tanya Justin sambil tangannya mengelus perut Taylor
yang rata. Telapak tangannya membuat tubuh Taylor bergetar sampai ke
selangkangannya. Ia yakin di bawah sana ia sudah sangat basah. Justin
menyelipkan jari-jarinya di celana dalam Taylor, tetapi hanya setengah jari.
Menggoda Taylor. Di bawah sana Taylor sudah berkedut-kedut, meminta untuk segera
disentuh. Kedua alisnya bertaut memohon.
“Apa?” Tanyanya sedikit mendesah.
Kedua tangan Taylor memegang lengan Justin, meremas lengan Justin yang ototnya
sudah menegang. Tangan Justin semakin masuk ke dalam dan kali ini menangkup
bagian bawah Taylor hingga Taylor menarik nafas tajam.
“Ini.” Tatapannya tajam, kemudian
bibir mereka kembali bertemu. Justin memainkan jarinya di sana, mengelusnya
dengan lembut. Jari tengahnya mengelus-elus permukaannya lalu masuk ke dalam
Taylor perlahan-lahan. Tangan kanan Taylor jatuh dari lengan Justin seolah-olah
ia baru saja dibunuh. Ia mengerang dalam mulut Justin dan menekuk salah satu
lututnya. Justin menyingkir dari atas tubuh Taylor dan bersimpuh di depan kedua
paha Taylor. Ia menarik keluar tangannya dan melihat jari-jarinya yang
mengkilap karena cairan Taylor.
Justin mengisap jarinya lalu
memberikan jari tengahnya ke mulut Taylor, yang disambut baik oleh mantan
istrinya. Tangan Justin yang lain berusaha menarik lepas celana dalam Taylor.
Melihat Justin kesulitan membuka celana dalamnya, ia membantu membuka celana
dalam itu untuknya. Dan sebuah senyum puas terlihat di wajah Justin. Masih
seperti dulu. Terawat, tanpa bulu sama sekali. Ah, kapan Taylor pernah
mengecewakannya di atas tempat tidur? Tidak pernah.
Justin menarik jari tengahnya
dari mulut Taylor lalu menarik kedua paha Taylor padanya sehingga Taylor
berbaring. Justin menundukkan kepalanya, menyembunyikan wajahnya di antara
selangkangan Taylor. Bibirnya menyentuh bagian bawah Taylor, membelahnya dengan
lidahnya dan memasukinya dengan lidah. Mata Taylor terbeliak. Ia memejamkan
matanya dan berusaha menarik diri dari Justin. Tetapi pria itu menahan kedua
pahanya dengan tangan. Tangan Taylor meremas sprei tempat tidurnya.
Pinggul Taylor terangkat-angkat
ketika lidah itu terus menyeruak masuk ke dalam. Mencari cairan Taylor lebih
banyak lagi dan sesekali pria itu menggeram. Taylor mendesah, bahkan ia memekik
menangis memohon agar penderitaannya yang nikmat ini segera berakhir.
“Oh, Justin,” desahnya melihat Justin
di bawah sana. Mata Justin memerhatikannya dan ia mengangguk-anggukkan kepala
di sana, memberi kenikmatan lebih. “Aku akan datang.” Justin memejamkan matanya
kali ini dan saat itulah Justin menggoda klitorisnya agar Taylor mendapat
puncaknya saat itu juga. Taylor bergetar hebat. Tak menyangka bahwa orgasmenya
akan seintens itu. Namun mulut Justin tak kunjung lepas darinya. Matanya
terpejam, kedua alis bertaut dan ia menangis. Pria itu mengais-ngais cairan di
dalam Taylor, menghabiskan cairannya.
Masih berusaha menenangkan diri,
Taylor akhirnya sadar bahwa Justin telah menindih tubuhnya. Di bawah sana,
Justin telah menggesek-gesekkan ujung kejantangannya di mulut bagian bawah
Taylor, menggodanya.
“Tidak, kumohon Justin,” bisik
Taylor dengan tatapan memohon pada Justin. Punggung tangan kiri Justin mengelus
pipi Taylor dengan lembut.
“Oh, Taylor, Taylor. Kau masih
sangat egois, sayang. Tetapi sekarang bukan saatnya untuk bersikap egois karena
aku membutuhkannya.” Justin menarik dagu Taylor, mengecup bibirnya dan
memasukkan kejantanannya ke dalam tubuh Taylor hingga Taylor perlu memeluk
punggungnya dan mencakarnya. Justin menggeram dan merasakan kejantanannya
diapit begitu kuat. Oh, Taylor masih seperti dulu. Sangat ketat. Justin mulai
menggerakan tubuhnya di atas Taylor, memberikan kenikmatan tak berujung pada
mantan istrinya. Kedua berkeringat, saling beradu dan melebur menjadi satu.
“Katakan padaku kau sangat
menginginkannya, Taylor,” paksa Justin mulai mempercepat iramanya. Pria itu
menempatkan kedua tangannya di antara kepala Taylor. Mata Taylor memohon pada
Justin agar melakukannya lebih kencang.
“Aku menginginkannya, Justin,”
bisiknya dengan nafas memburu. “Oh, lebih cepat! Lebih cepat!” Pintanya
berteriak, tak peduli apakah anaknya mendengar atau tidak.
“Bagus,” bisik Justin
menyembunyikan wajahnya di antara leher Taylor lalu ia menggerakan tubuhnya
lebih kencang lagi hingga Taylor menangis kembali. Justin mendengus, menggeram
dan sesekali ia meremas bokong Taylor. Taylor terus membalas hujaman kejantanan
Justin dalam tubuhnya, meminta lebih banyak lagi.
“Justin, aku akan sampai,”
“Ya, Taylor. Lakukan untukku,”
bisik Justin. “Lakukan untukku.” Justin mengangkat kepalanya dari leher Taylor
lalu ia menangkup buah dada Taylor dengan salah satu tangannya dengan tangan
yang lain mencekik leher Taylor. Oh, sangat seksi! Ada saatnya ketika Justin
menekan seluruh kejantanannya ke dalam tubuh Taylor hingga Taylor mendapatkan
pelepasannya yang sempurna dan begitu juga dengan Justin. Dan itulah yang
Justin lakukan sekarang. Mereka mendapat kepuasan mereka masing-masing. Saling
mengerang dan mendesah. Bahkan Taylor harus mencakar punggung Justin agar ia
dapat menampung seluruh rasa nikmat yang diberikan pria itu.
“Oh, sialan!” Umpat Justin
memejamkan mata saat ia terus menyemburkan maninya dalam tubuh Taylor. “Kau
sempurna.” Justin mengecup bibir Taylor. Wanita itu sudah tak dapat melakukan
apa pun selain bernafas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar