Minggu malam. Taylor mengantar
Justin ke bawah rumah sakit karena pria itu akan pulang kembali ke Los Angeles.
Di balik wajahnya yang datar, hati Taylor berseru riang. Ah, akhirnya pria ini
akan pergi! Mengapa tidak dari kemarin-kemarin saja? Bukan Taylor tidak suka
pada Justin, ia hanya tidak suka pada Justin saat ia bersama dengan Christopher
atau pun Java. Mereka berada di parkiran, tidak begitu banyak orang malam itu.
Justin melepaskan tangan Taylor
begitu ia sadar bahwa sedari tadi ia memegang tangan wanita itu dari lantai
atas sampai ke parkiran. Mengapa Taylor tak memberitahunya? Diam-diam Justin
merasa Taylor masih menyukainya. Memang. Di samping mobil sewaan Justin
dari hotel, Taylor melambai tangan.
“Sampai jumpa,” ucap Taylor
tersenyum. “Di neraka.” Senyumnya menghilang.
“Kau selalu merusak suasana
bersahabat seperti ini,” ucap Justin memutar bola mata, tak suka. Taylor hanya
mengangkat salah satu bahunya lalu ia mengembus nafas panjang.
“Pergilah. Temui Emma-mu yang kau
cintai itu. Benar bukan? Christopher aman dalam tanganku,” Taylor memberi
senyum paksa. Tidak, wanita ini tak pintar berakting. Justin terdiam sejenak,
memerhatikan wajah Taylor untuk yang terakhir kalinya karena sebentar lagi ia
tidak akan melihat wajah itu selama beberapa waktu. Taylor tidak suka jika
wajahnya terus diperhatikan seperti itu. Rasanya ada setan yang terus
mengganggunya. Taylor menepuk pipi Justin. Kemudian ia tersenyum lembut.
“Pulanglah dan tinggalkan kami,”
ujar Taylor lembut namun sungguh perkataan itu sangat kejam di telinga Justin.
Selama ini Taylor memang menginginkan kepergian Justin dari sisi Christopher.
Pantas saja Taylor mengantarnya ke parkiran. Justin mengangkat kedua alisnya
selama beberapa detik lalu ia mengedik.
“Baiklah,” ucap pria itu acuh tak
acuh. Tetapi bukannya berbalik ke mobilnya, Justin malah melangkah maju lebih
dekat pada Taylor. Bahkan sampai tubuh Taylor sudah terhimpit tembok. Posisi
ini sangat tidak menguntungkan Taylor. Ia tak bisa lari karena kemungkinannya
begitu kecil untuk melewati pembatas roda di belakang mobil Justin, ia bisa
tersandung dan ikut tinggal di rumah sakit bersama Christopher.
“Justin, jangan lakukan hal
bodoh,” ucap Taylor memeringati. Justin menggeleng dan tersenyum licik.
Tangannya menyentuh pipi Taylor dan mengelusnya lembut, kemudian jari telunjuk
dan jempolnya memegang dagunya. Mata Justin menatap lekat padanya, anehnya,
Taylor terhipnotis begitu saja. Nafas Justin menerpa wajah Taylor. Matanya
jatuh pada bibir sensual Taylor. Ia mengecup ringan bibir itu, berhasil membuat
Taylor terkesiap.
“Aku tentu saja tidak akan
melakukan hal bodoh. Benar bukan?”
***
Kedua mata cokelat itu
memerhatikan wanita yang duduk di atas lantai. Ia bosan. Ia ingin bermain,
tetapi kepalanya pusing sekali. Untuk duduk pun rasanya ia akan muntah. Jadi
yang ia lakukan hanyalah berbaring di atas tempat tidur dan berharap Ibunya
berbicara atau membuatnya senang. Tetapi tiap kali ia tertawa, kepalanya selalu
pusing. Oh, tidak, tidak. Ia ingin bertemu dengan pamannya yang dari kemarin ia
tidak lihat. Ia tidak tahu selang apa yang menempel dan menusuk tangan kirinya,
tetapi ia ingin sekali melepasnya. Si Mata Cokelat itu mendesah keras, ia bosan
sekali. Jadi seperti inilah perasaan orang sakit. Sangat tidak enak.
Seorang wanita muda tiba-tiba
saja masuk ke dalam ruangan si Mata Cokelat. Wanita itu membawa sebuah papan
dan pulpen di tangannya yang lain. Sebuah stetoskop juga sudah tergantung di
lehernya. Namanya suster, itulah yang didengar si Mata Cokelat. Suster sungguh
ramah padanya dan selalu menanyakan kabarnya. Karena mereka sudah berkenalan,
wanita ini bukan orang asing. Suster berjalan menuju tempat tidurnya lalu
memberikan senyum lembut.
“Jadi, bagaimana kabarmu
Christopher?” Tanya suster, dan kembali, Christopher tak tahu ia harus menjawab
apa. Ibunya yang tadinya sibuk dengan pekerjaannya sudah bangkit berdiri dan
mendekati tempat tidur Christopher.
“Tadi malam ia kembali mual. Dan
pagi ini, ia mengeluh kepalanya sakit. Apa dokter akan datang?” Tanya Taylor,
Ibunya, yang terlihat begitu khawatir. Suster menggumam sesuatu, tetapi
keduanya tidak mendengar apa yang suster itu katakan. Yang suster itu lakukan
hanyalah memeriksa keadaan Christopher seperti kemarin. Taylor memerhatikan
sang suster selama beberapa saat dan berharap Java cepat datang karena kemarin
malam seharusnya Java diperbolehkan masuk. Well, Taylor memberitahu pihak rumah
sakit kalau Java adalah abangnya. Yang tentu saja tidak dipercayai tetapi
diperbolehkan.
Suster menulis sesuatu di
papannya. “Dokter akan datang kira-kira jam 3 sore nanti, Ms. Stalwart. Sarapan
dan obatnya juga akan datang beberapa menit lagi. Usahakan agar Christopher
meminum semuanya agar ia cepat sembuh,” ujar suster itu dengan nada suara yang
begitu lembut. Ia kemudian berjalan meninggalkan kamar Christopher. Ibu dan
anak itu saling bertatapan saat suster itu keluar, kemudian mereka tertawa
namun mereka tidak tahu apa yang sedang mereka tertawakan.
Taylor menarik kursi di dekatnya
dan duduk di sana. Tangannya menggenggam tangan Christopher yang tidak
mengenakan infus. Ini sungguh memilukan. Mengapa Christopher? Taylor tidak bisa
melihat anaknya sakit seperti ini. Taylor tersenyum lembut lalu mendesah pelan.
Semalam, Christopher berpikir, Ibunya lebih lembut bila Christopher sakit.
Tentu Christopher mau Ibunya terus bersikap lembut, tetapi ia juga tidak mau
sakit seperti ini. Tiba-tiba terlintas sebuah nama di otak Christopher.
“Di mana paman Justin, Mommy?”
Tanyanya dengan suara pelan. Kedua alis Ibunya terangkat dan pipinya merah
padam. Mengapa Ibunya tak suka mendengar nama paman Justin? Apakah paman Justin
pernah menyakiti Ibunya? Jika ya, Christopher tidak akan bermain dengan paman
Justin lagi.
“Paman Justin,” ucap Taylor, “dia sudah
pergi,” Taylor berucap sambil mengangguk-anggukkan kepala. Namun hatinya terus
membisikan doa pada Tuhan agar anaknya tidak memintanya supaya Justin datang
untuk menjenguknya. Egois tetapi ini untuk kebaikan Christopher.
“Mommy, apa paman Justin pernah
memukulmu?” Tanya Christopher, tetapi matanya tak menatap Taylor. Mendengar
pertanyaan itu, Taylor terkesiap. Dari mana anak itu bisa berpikir seperti itu?
Christopher memang harus sekolah agar otaknya dipenuhi dengan pelajaran, bukan
percakapan aneh seperti ini. Christopher terlalu muda untuk berpikir seperti
ini. Taylor menggeleng karena Justin tidak pernah memukulnya.
“Tidak,” ucap Taylor meyakinkan
Christopher. “Paman Justin tidak pernah memukul Mommy. Ia tidak akan berani,”
“Mengapa?” Christopher penasaran.
Ah, anak kecil dengan keingintahuannya! Taylor berharap agar Java cepat datang
ke sini untuk memotong percakapan aneh ini. Ucapan Justin kemarin sore membuat
Taylor bertanya-tanya, apakah Rebecca dan Peter salah mencaritahu siapa
penyebab Christina dan Glory terbunuh, atau mereka berdua memang bunuh diri?
Taylor tidak tahu, namun memang kasus mereka berdua memiliki motif yang sama.
Hanya saja, terasa janggal setelah Taylor menyadarinya.
Apa yang ia harapkan terjadi.
Pintu ruangan itu terbuka, muncul seorang pria jangkuk dengan wajahnya yang
kelihatan lebih muda dari umurnya. Java, dengan segala pesonanya, melangkah
masuk ke dalam membawa sebuah kantong kertas cokelat di tangannya. Christopher
tak berseru memanggilnya karena kepalanya akan terasa lebih pusing jika
berteriak. Pintu kamarnya tertutup.
Java memakai kaos lengan panjang
berwarna ungu tua dan celana jins hitam yang membuatnya tampak lebih memesona.
Taylor selalu mengagumi pesona Java dan selalu bingung mengapa Java tak
memiliki kekasih. Mungkin Java memang mempunyai kekasih, tetapi Java malu
memberitahunya. Namun kenyataan berkata lain. Taylor tidak mengetahui Java
sepenuhnya. Pria itu berjalan menuju Christopher dan tersenyum padanya.
“Halo, kawan kecil. Bagaimana
kabarmu pagi ini?” Tanya Java mengelus-elus kepalanya. Christopher mengangkat
kedua tangannya untuk menyingkirkan tangan itu dari kepalanya. Crhistopher
mengerang pelan.
“Tidak begitu baik, paman Java.
Kepalaku sakit sekali. Dan kemarin malam aku muntah-muntah. Untung Mommy
mengelus-elus perutku,” ujar Christopher polos. Java menatap Taylor yang
ternyata tidak melihat padanya. Oh, apa yang terjadi dengan Taylor-nya?
Terlihat dari wajah Taylor, ia sedang tidak bersemangat. Merasa diperhatikan
Java, Taylor mengangkat pandangannya dari Christopher pada pria itu.
Sialan! Pintu ruangan itu terbuka
lagi, kali ini bukan suster atau dokter yang masuk. Tetapi seorang pria yang
membawakan makanan untuk Christopher, seperti yang dijanjikan suster. Semangat
Christopher muncul begitu saja. Makanan! Ia selalu menyukai makanan baik sakit
atau pun tidak. Kemarin malam ia makan sampai habis, sayangnya setelah ia
selesai, beberapa menit kemudian ia muntah.
“Makanan!” Kata anak kecil itu
ceria. Sang pengantar makanan mendorong trolinya lalu menyiapkan makanan itu
untuk Christopher. Pria itu menarik sebuah nampan yang terpasang di tempat
tidur sehingga nampan itu sekarang dapat melayang di depan Christopher
menggunakan penyangga. Makanan itu ditaruh di atas sana, begitu juga dengan
obat-obat Christopher. Pria itu tidak mengatakan apa-apa, kemudian ia keluar
begitu saja dan pintu kembali tertutup.
Java tidak memerhatikan
Christopher, tetapi Taylor yang sudah memalingkan pandangan darinya. Apa yang
telah Justin katakan pada Taylor? Ada sesuatu yang berubah dari Taylor, tetapi
Java tidak tahu apa itu. Apa yang telah Java lakukan? Tidak mungkin Taylor
marah padanya hanya karena ia tidak datang kembali ke rumah sakit. Taylor tidak
peduli dengan masalah pribadi orang lain, termasuk Java. Menurutnya, Justin-lah
yang membuat Taylor berubah, tetapi Java tidak tahu apa yang berubah dari
wanita ini. Selain menjadi lebih cantik tiap harinya.
Taylor sudah menyuapi
Christopher. Java senang akhirnya Justin sudah pulang kembali ke Los Angeles.
Sebuah berita yang melegakan karena tidak akan ada lagi yang mengganggu
hubungannya dengan Taylor. Java hanya butuh Taylor percaya padanya bahwa Java
memang membutuhkannya. Ambisinya untuk mendapatkan Taylor cukup kelewat batas.
Tentu saja! Orang bodoh mana yang tidak ingin mendapatkan seorang Taylor
Primrose Stalwart? Wanita berparas cantik, seorang pengacara sukses, dan dapat
memiliki apa pun yang ia inginkan? Oh, ya, benar, Justin Almonde. Pria bodoh
itu tak berotak. Java tahu apa yang menjadi miliknya. Dan Taylor adalah seorang
yang harus ia miliki, bagaimana pun caranya.
Java sudah terlanjur jatuh cinta
sejak Taylor memperkenalkan dirinya pada Java. Senyuman memikat namun wajahnya
tegas dan penuh keyakinan. Wanita mandiri dan jarang ditemui. Tetapi dibalik
wajahnya yang tegas dan tampak tak peduli pada apa pun, ternyata ia seorang
yang sangat peduli akan apa pun. Dan jelas, permainan seksnya melebihi siapa
pun yang pernah Java tiduri sebelumnya. Pria itu melipat bibir ke dalam lalu
berjalan menuju sofa. Membiarkan dua orang yang ia sayang itu memiliki waktu
sendirian.
Mata Java memerhatikan
kertas-kertas yang bertebaran di atas meja. Apa-apaan? Ia memaki dalam hati.
Mengapa Taylor membaca dokumen kasus Christina dan Glory kembali? Jantung Java
berdegup kencang. Di sana terdapat foto Christina yang tewas di atas mobil, ia
jatuh dari atap apartemen. Dan foto Glory yang didapati tewas di dekat tempat
sampah besar. Java mendongak melihat Taylor yang masih memberi makan
Christopher sambil sesekali mereka berbicarakan tentang Justin. Pria sialan
itu! Ia telah merusak segalanya untuk yang kedua kalinya.
“Taylor, apa-apaan ini?” Tanya
Java mengambil foto Christina yang sudah diautopsi di laboratorium. Mata wanita
Latin itu terpejam dan wajahnya pucat. Tidak ada luka berat kecuali nyawa yang
langsung terenggut. Taylor membalik tubuh ke belakang.
“Oh, itu,” ucap Taylor memberi
wajah datar. “Christina dan Glory, hanya ingin mengecek kembali kasus mereka,”
jawaban Taylor tak begitu meyakinkan Java. Taylor kembali berbalik pada
Christopher. Pria itu menatap foto-foto itu dan berkas mengenai kematian
mereka. Terbunuh oleh kedua mantan kekasih mereka. Justin Almonde terkutuk!
Pasti pria itu telah mengatakan sesuatu yang membuat dirinya terlihat buruk di
mata Taylor.
“Ada apa dengan mereka? Bukankah
kasusnya sudah ditutup?”
“Kubilang aku hanya mengecek,
Java,” ucap Taylor namun wanita itu tidak berbalik padanya. “Kurasa ada yang
salah dengan penyebab kematian mereka,”
“Maksudmu?” Java bertanya
berhati-hati. Ia terus menyumpahi Justin dalam hati dan berharap pria itu mati.
Taylor bangkit dari tempat duduknya dan berjalan mendekatinya. “Taylor, jika
ada yang salah, seharusnya kau memberitahunya padaku terlebih dahulu,”
“Aku tak mengerti. Mengapa aku
harus memberitahunya padamu terlebih dahulu? Maksudku, apakah kau Ayahku?
Bukan. Keluargaku? Bukan. Aku hanya berpikir mungkin kita harus kembali
menyelidiki kasus ini. Kedua motif kasus ini sama, Java. Bukankah itu janggal?”
“Lalu? Di New York juga terdapat
kejadian yang sama seperti ini!” Seru Java tidak terima dengan keputusan Taylor
untuk membuka kasus ini kembali. Ini terlalu berlebihan, keduanya sudah mati.
“Java,” ucap Taylor mengangkat
tangannya dan menyentuh bahu Java. “Kurasa kita menangkap pelaku yang salah.
Pelaku yang sebenarnya masih berkeliaran. Aku tidak mau ada wanita lain yang
mati karenanya.” Kata-kata yang dikeluarkan Taylor membuat Java muak! Seharusnya
ia lakukan sebentar lagi hanyalah melamar Taylor, tetapi pria sialan itu
membuat batu besar untuk menghalanginya lagi. Apa-apaan yang diinginkan Justin
Sialan itu?
“Bagaimana bisa kau yakin akan
hal itu?” Java berdeham.
“Maksudku, Java yang benar saja!
Kau bahkan tidak memberitahu padaku siapa yang membayar uang tuntutan untuk dua
orang itu! Sekarang, apa kau tahu siapa yang membayarnya?”
“Tentu saja Mr. Barwickle!” Seru
Java tak sabaran. Taylor terdiam sejenak. Mr. Barwickle? Senator itu? Bagaimana
mungkin? Java bangkit dari sofa dan menaruh kantong kertas cokelat itu di atas
sofa.
Tepat ketika ia ingin beranjak
dari tempat, pintu kamar Christopher terbuka. Sialan! Orang yang terus dimaki
Java muncul begitu saja dengan kantong kertas cokelat yang sama. Justin tidak
pulang. Ada apa dengan dunia ini? Java menatap tajam pria itu lalu ia berucap.
“Aku ingin ke kantor, akan
kuberitahu Peter dan Rebecca untuk membuka kasus ini lagi.” Java berjalan
meninggalkan mereka bertiga. Ia berjalan melewati Justin. Sebuah rencana mulai
tersusun di otak pria itu.
***
Taylor tidak tahu apa yang harus
ia lakukan pada Justin lagi. Ia sudah mengajukan permintaan pada pengadilan
untuk membuat surat larangan untuk Justin. Tetapi mereka menolak karena Justin
bukanlah ancaman bagi Christopher. Betapa sialnya hidup Taylor. Justin
membatalkan penerbangan kemarin malam dan mengantar Emma hanya sampai bandara.
Meski wanita itu bersungut-sungut agar Justin ikut pulang bersamanya. Namun
Justin menolaknya dengan halus dan akan membelikannya sesuatu yang berharga.
Dan itulah alasan mengapa Justin berada di dalam kamar Christopher dan terus
bercakap-cakap ria dengan anak kecil itu.
Christopher kelihatan lebih ceria
sekarang. Mungkin Justin memang harus ada di sini agar Christopher cepat keluar
dari rumah sakit. Mata Christopher perlahan-lahan tertutup, ia sudah menguap
berkali-kali namun ia memaksa dirinya untuk tidak tidur karena ia tidak ingin
ketika ia membuka matanya, paman Justin sudah tidak ada di sisinya. Dan padanya
akhirnya pun, ia terlelap dalam tidurnya. Justin tersenyum melihat anaknya,
anak kandungnya, tidur karenanya. Pasti sejak kemarin malam Christopher
merindukannya, dan itu memang benar. Christopher memang sangat merindukannya.
Justin bangkit dari kursi dan
berjalan tanpa suara menuju Taylor yang sedang membaca pengakuan dari mantan
pacar Glory. Pria itu memberikan senyum mengejek pada Taylor. Ternyata Taylor
mengikuti apa yang ia katakan. Justin pikir, ia tidak dapat memengaruhi Taylor
lagi dan sungguh, Justin tak percaya Taylor akan melakukan apa yang ia katakan.
Bahkan Java tadi menyatakan di depannya bahwa ia akan membuka kasus ini lagi.
Ah, pria itu bodoh sekali. Mengapa ia mendorong dirinya sendiri ke dalam
jurang? Tetapi Justin tidak begitu peduli dengan Java.
Pria itu di duduk di sebelah
Taylor, bersandar di sofa. “Aku senang kau mendengar ucapanku,” ucap Justin
percaya diri, seperti biasanya.
“Aku melakukan ini bukan
untukmu,” balas Taylor tak menatapnya. Selalu bersikap acuh tak acuh pada
Justin. Apa salah Justin? Ia sudah meminta maaf pada Taylor. Apakah sangat
sulit memaafkan Justin? Justin tidak membuat kesalahan sebesar yang Java
perbuat! Jadi, untuk apa Taylor terus bersikap sinis padanya?
“Terserahlah,” balas Justin
membuka kantong yang ada di sampingnya. “Jadi, kau percaya padaku kalau Java
adalah pelaku dari pemerkosaan itu? Sayang sekali, mengapa Christina dan Glory
harus mandi terlebih dahulu sebelum mereka bunuh diri?”
“Aku tidak percayamu. Aku hanya
curiga bahwa orang yang kami tangkap itu salah.” Taylor bersikeras bahwa bukan
Java pelakunya. Pasti ada orang lain. Dengan adanya Justin di sisinya,
konsentrasi Taylor langsung buyar. Ia teringat akan ciuman ringan yang
diberikan Justin tadi malam. Betapa dalamnya Justin menatap matanya,
seolah-olah Justin menembus jiwanya. Taylor melamun dan Justin sadar betul akan
itu. Matanya memang menatap pada tulisan-tulisan di kertas itu, tetapi tidak
membacanya.
“Apa pun alasannya, kurasa kau
mengambil langkah yang tepat.” Justin memberi dukungan. Taylor mendongak, sadar
dari lamunannya lalu mengangguk. Wajah mereka sangat dekat dan Taylor
menyadarinya. Ia merasa dengan sedekat inilah ia dapat mengagumi karya Tuhan.
Mata mereka bertemu, dua mata cokelat yang gelap dan cokelat madu. Tidak ingin
larut dalam pandangan mereka, Taylor menarik wajahnya dan mendorong Justin agar
lebih jauh darinya.
“Aku bingung mengapa kau masih
ada di sini,” gerutu Taylor tak suka. “Aku tidak suka kau berada di sini.
Rasanya kau telah merusak segalanya,”
“Seburuk itukah aku?” Tanya Justin
terdengar sakit hati. Taylor mengabaikan nada suara Justin. Ia tahu Justin. Ia
tahu kapan pria itu serius dan tidak serius.
“Ya, seburuk itu,” tegas Taylor.
Wajah Justin yang awalnya terlihat memelas tiba-tiba saja berubah menjadi
datar.
“Kalau begitu, kau belum melihat
keburukan Java.”
***
Pria itu memakai jaket kulit
berwarna hitam dengan tudung kepala berwarna abu-abu. Ia berdiri di seberang
hotel mewah, di dekat kedai kopi dan lorong sambil meminum kopi panasnya. Ia
mengamat-amati mobil yang memasuki kawasan hotel itu dan berharap mobil yang ia
tunggu segera muncul. Jam sudah menunjuk pukul 10, ia sudah meminum kira-kira 3
gelas kopi hanya untuk menunggu orang ini. Ia sudah meminta sang resepsionis
memberi pesan pada orang yang ia tunggu untuk segera kembali keluar dan
membicarakan hal penting. Tepatnya, di kedai kopi, samping hotel itu.
Mobil yang ia tunggu-tunggu
muncul. Pria yang terus dipuja-puja Taylor keluar dari mobil. Beberapa orang
menyambutnya dengan ramah, tentu saja kepala pelayan di hotel itu dan para
kurcacinya. Pria berjaket itu menunggu selama beberapa menit lalu pria itu
kembali keluar dari hotel. Tentu saja saja pria yang dipuja Taylor itu tahu
siapa yang ingin menemuinya. Ia sudah keluar dari kawasan hotel. Begitu ia
melihat orang yang menunggunya berada di seberang, ia melambai tangan.
Justin, pria tampan yang selalu
memberi sikap menantang. Ia menyeberang menuju pria itu cepat-cepat. Ah, ingin
sekali Justin bertemu Java dan menertawakan pria itu di depan wajahnya. Java
melempar kopinya ke tempat sampah yang berada di dalam lorong. Begitu Justin
sudah ada di hadapannya, ia dapat melihat senyum mengejek di wajahnya.
“Wah, lihatlah siapa yang ada di
sini,” seru Justin. “Ada apa, Java-ku sayang? Kau ingin memerkosaku juga? Oh,
tidak, jangan Java. Tidak!” Suara Justin dibuat-buat seperti anak remaja yang
menjerit-jerit ketakutan di akhir kata ‘tidak’ suaranya berubah menjadi suara
aslinya. Java tidak mengatakan apa-apa, ia menarik kerah kemeja yang Justin
kenakan lalu membawanya menuju mulut lorong dan mengimpit tubuhnya di tembok
lorong. Batu bata yang kotor! Jas yang Justin pakai tidak akan Justin pakai
lagi.
“Kau bahkan tidak tahu apa yang
kaubicarakan, Almonde,” ujar Java penuh benci.
“Aku tentu tahu apa yang
kukatakan! Kau pemerkosa, tetapi orang hanya melihat kebaikanmu karena kau
cukup pandai menutupi segala keburukanmu. Keinginanmu mendapatkan Taylor
melewati garis batas! Obsesimu padanya berlebihan sehingga kau melakukan hal
yang seharusnya tak kau lakukan!” Justin berucap menggeleng kepala tak habis
pikir.
“Kau tidak memperlakukannya
sebaik diriku memperlakukannya,” ucap Java menatap Justin dengan nafsu
membunuh.
Baru Justin ingin berbicara,
tiba-tiba saja Java meninju wajahnya. Justin mendorong pria itu dari hadapannya
hingga Java menabrak tembok di belakang punggungnya. Ia meninju wajah lalu
perut pria itu sekuat tenaganya. Ternyata tinjuan itu berhasil membuat Java
mengeluarkan darah dari mulutnya dan memar biru di pipinya, lebamnya semakin
membengkak. Java membalas, ia mendorong Justin hingga pria itu jatuh ke aspal
yang kotor dan memegang kerah kemejanya. Ia meninju terus wajah pria itu hingga
Justin merasa kepalanya pening.
Mulutnya juga berdarah. Melihat
darah itu membuat Justin marah. Ia memukul punggung Java keras, lalu bangkit
dari aspal ketika Java mengerang sakit. Mereka berdua terus melempar tinjuan di
wajah, perut dan dada. Begitu Java meninju dada Justin, pria itu tersungkur
jatuh lemas. Darah yang dikeluarkan lebih banyak dari yang Java kira. Dan itu
membuat Java sangat puas Ia berhenti. Ada rasa puas ketika ia melihat Justin
tersungkur di dekat tempat sampah itu. Akhirnya ia menang, untuk yang pertama
kalinya, dari Justin. Memang Taylor tak melihatnya, tetapi tetap saja, ini
menjadi sebuah kebanggaan tesendiri. Keduanya sudah babak belur, tetapi dengan
jatuhnya Justin, itu akan menjadi peringatan untuk pria itu agar menjauh dari
masalah Java. Bibir mereka dilumuri darah, membuat siapa pun yang melihatnya
akan jijik. Kecuali kalau kau itu adalah dokter atau suster, atau seorang
Ibu-ibu yang overprotectif.
“Jauhi. Taylor. Dan. Christopher.
Kau mengerti Almonde?” Tetapi yang Justin lakukan lebih cerdas, ia menendang
salah satu kaki Java sehingga pria itu kehilangan keseimbangan dan jatuh.
Dengan dada yang masih sakit, Justin bangkit dari aspal dan kali ini, ia yang
menarik kulit jaket sialan itu lalu meninju wajah Java berkali-kali hingga ia
merasa tangannya puas.
“Kau. Merusak. Kehidupan.
Keluargaku! Kau pembunuh! Pemerkosa!” Teriak Justin tak sabar. Lalu ia berhenti.
Java tidak sadarkan diri. Ah, sialan! Justin bangkit dan menjauhi Java, ia
menyandar di tembok batu bata itu. Nafasnya terengah-engah, ia butuh minum.
“Seharusnya ia tidak memukulku.
Seharusnya ia tidak memukulku. Seharusnya ia tidak memukulku,” ucap Justin
terus menerus dengan kalimat yang sama karena ia takut, Java mati di tangannya.
Taylor akan membencinya seumur hidup. Begitu juga dengan Christopher!
“Java?” Panggil Justin gemetar.
Java tidak boleh mati! “Kau masih ada di sana, Java?”
Namun tak ada jawaban apa pun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar