Sabtu, 11 Oktober 2014

Doomed Bab 9





Minggu malam. Taylor mengantar Justin ke bawah rumah sakit karena pria itu akan pulang kembali ke Los Angeles. Di balik wajahnya yang datar, hati Taylor berseru riang. Ah, akhirnya pria ini akan pergi! Mengapa tidak dari kemarin-kemarin saja? Bukan Taylor tidak suka pada Justin, ia hanya tidak suka pada Justin saat ia bersama dengan Christopher atau pun Java. Mereka berada di parkiran, tidak begitu banyak orang malam itu.
Justin melepaskan tangan Taylor begitu ia sadar bahwa sedari tadi ia memegang tangan wanita itu dari lantai atas sampai ke parkiran. Mengapa Taylor tak memberitahunya? Diam-diam Justin merasa Taylor masih menyukainya. Memang. Di samping mobil sewaan Justin dari hotel, Taylor melambai tangan.
“Sampai jumpa,” ucap Taylor tersenyum. “Di neraka.” Senyumnya menghilang.
“Kau selalu merusak suasana bersahabat seperti ini,” ucap Justin memutar bola mata, tak suka. Taylor hanya mengangkat salah satu bahunya lalu ia mengembus nafas panjang.
“Pergilah. Temui Emma-mu yang kau cintai itu. Benar bukan? Christopher aman dalam tanganku,” Taylor memberi senyum paksa. Tidak, wanita ini tak pintar berakting. Justin terdiam sejenak, memerhatikan wajah Taylor untuk yang terakhir kalinya karena sebentar lagi ia tidak akan melihat wajah itu selama beberapa waktu. Taylor tidak suka jika wajahnya terus diperhatikan seperti itu. Rasanya ada setan yang terus mengganggunya. Taylor menepuk pipi Justin. Kemudian ia tersenyum lembut.
“Pulanglah dan tinggalkan kami,” ujar Taylor lembut namun sungguh perkataan itu sangat kejam di telinga Justin. Selama ini Taylor memang menginginkan kepergian Justin dari sisi Christopher. Pantas saja Taylor mengantarnya ke parkiran. Justin mengangkat kedua alisnya selama beberapa detik lalu ia mengedik.
“Baiklah,” ucap pria itu acuh tak acuh. Tetapi bukannya berbalik ke mobilnya, Justin malah melangkah maju lebih dekat pada Taylor. Bahkan sampai tubuh Taylor sudah terhimpit tembok. Posisi ini sangat tidak menguntungkan Taylor. Ia tak bisa lari karena kemungkinannya begitu kecil untuk melewati pembatas roda di belakang mobil Justin, ia bisa tersandung dan ikut tinggal di rumah sakit bersama Christopher.
“Justin, jangan lakukan hal bodoh,” ucap Taylor memeringati. Justin menggeleng dan tersenyum licik. Tangannya menyentuh pipi Taylor dan mengelusnya lembut, kemudian jari telunjuk dan jempolnya memegang dagunya. Mata Justin menatap lekat padanya, anehnya, Taylor terhipnotis begitu saja. Nafas Justin menerpa wajah Taylor. Matanya jatuh pada bibir sensual Taylor. Ia mengecup ringan bibir itu, berhasil membuat Taylor terkesiap.
“Aku tentu saja tidak akan melakukan hal bodoh. Benar bukan?”

***

Kedua mata cokelat itu memerhatikan wanita yang duduk di atas lantai. Ia bosan. Ia ingin bermain, tetapi kepalanya pusing sekali. Untuk duduk pun rasanya ia akan muntah. Jadi yang ia lakukan hanyalah berbaring di atas tempat tidur dan berharap Ibunya berbicara atau membuatnya senang. Tetapi tiap kali ia tertawa, kepalanya selalu pusing. Oh, tidak, tidak. Ia ingin bertemu dengan pamannya yang dari kemarin ia tidak lihat. Ia tidak tahu selang apa yang menempel dan menusuk tangan kirinya, tetapi ia ingin sekali melepasnya. Si Mata Cokelat itu mendesah keras, ia bosan sekali. Jadi seperti inilah perasaan orang sakit. Sangat tidak enak.
Seorang wanita muda tiba-tiba saja masuk ke dalam ruangan si Mata Cokelat. Wanita itu membawa sebuah papan dan pulpen di tangannya yang lain. Sebuah stetoskop juga sudah tergantung di lehernya. Namanya suster, itulah yang didengar si Mata Cokelat. Suster sungguh ramah padanya dan selalu menanyakan kabarnya. Karena mereka sudah berkenalan, wanita ini bukan orang asing. Suster berjalan menuju tempat tidurnya lalu memberikan senyum lembut.
“Jadi, bagaimana kabarmu Christopher?” Tanya suster, dan kembali, Christopher tak tahu ia harus menjawab apa. Ibunya yang tadinya sibuk dengan pekerjaannya sudah bangkit berdiri dan mendekati tempat tidur Christopher.
“Tadi malam ia kembali mual. Dan pagi ini, ia mengeluh kepalanya sakit. Apa dokter akan datang?” Tanya Taylor, Ibunya, yang terlihat begitu khawatir. Suster menggumam sesuatu, tetapi keduanya tidak mendengar apa yang suster itu katakan. Yang suster itu lakukan hanyalah memeriksa keadaan Christopher seperti kemarin. Taylor memerhatikan sang suster selama beberapa saat dan berharap Java cepat datang karena kemarin malam seharusnya Java diperbolehkan masuk. Well, Taylor memberitahu pihak rumah sakit kalau Java adalah abangnya. Yang tentu saja tidak dipercayai tetapi diperbolehkan.
Suster menulis sesuatu di papannya. “Dokter akan datang kira-kira jam 3 sore nanti, Ms. Stalwart. Sarapan dan obatnya juga akan datang beberapa menit lagi. Usahakan agar Christopher meminum semuanya agar ia cepat sembuh,” ujar suster itu dengan nada suara yang begitu lembut. Ia kemudian berjalan meninggalkan kamar Christopher. Ibu dan anak itu saling bertatapan saat suster itu keluar, kemudian mereka tertawa namun mereka tidak tahu apa yang sedang mereka tertawakan.
Taylor menarik kursi di dekatnya dan duduk di sana. Tangannya menggenggam tangan Christopher yang tidak mengenakan infus. Ini sungguh memilukan. Mengapa Christopher? Taylor tidak bisa melihat anaknya sakit seperti ini. Taylor tersenyum lembut lalu mendesah pelan. Semalam, Christopher berpikir, Ibunya lebih lembut bila Christopher sakit. Tentu Christopher mau Ibunya terus bersikap lembut, tetapi ia juga tidak mau sakit seperti ini. Tiba-tiba terlintas sebuah nama di otak Christopher.
“Di mana paman Justin, Mommy?” Tanyanya dengan suara pelan. Kedua alis Ibunya terangkat dan pipinya merah padam. Mengapa Ibunya tak suka mendengar nama paman Justin? Apakah paman Justin pernah menyakiti Ibunya? Jika ya, Christopher tidak akan bermain dengan paman Justin lagi.
 “Paman Justin,” ucap Taylor, “dia sudah pergi,” Taylor berucap sambil mengangguk-anggukkan kepala. Namun hatinya terus membisikan doa pada Tuhan agar anaknya tidak memintanya supaya Justin datang untuk menjenguknya. Egois tetapi ini untuk kebaikan Christopher.
“Mommy, apa paman Justin pernah memukulmu?” Tanya Christopher, tetapi matanya tak menatap Taylor. Mendengar pertanyaan itu, Taylor terkesiap. Dari mana anak itu bisa berpikir seperti itu? Christopher memang harus sekolah agar otaknya dipenuhi dengan pelajaran, bukan percakapan aneh seperti ini. Christopher terlalu muda untuk berpikir seperti ini. Taylor menggeleng karena Justin tidak pernah memukulnya.
“Tidak,” ucap Taylor meyakinkan Christopher. “Paman Justin tidak pernah memukul Mommy. Ia tidak akan berani,”
“Mengapa?” Christopher penasaran. Ah, anak kecil dengan keingintahuannya! Taylor berharap agar Java cepat datang ke sini untuk memotong percakapan aneh ini. Ucapan Justin kemarin sore membuat Taylor bertanya-tanya, apakah Rebecca dan Peter salah mencaritahu siapa penyebab Christina dan Glory terbunuh, atau mereka berdua memang bunuh diri? Taylor tidak tahu, namun memang kasus mereka berdua memiliki motif yang sama. Hanya saja, terasa janggal setelah Taylor menyadarinya.
Apa yang ia harapkan terjadi. Pintu ruangan itu terbuka, muncul seorang pria jangkuk dengan wajahnya yang kelihatan lebih muda dari umurnya. Java, dengan segala pesonanya, melangkah masuk ke dalam membawa sebuah kantong kertas cokelat di tangannya. Christopher tak berseru memanggilnya karena kepalanya akan terasa lebih pusing jika berteriak. Pintu kamarnya tertutup.
Java memakai kaos lengan panjang berwarna ungu tua dan celana jins hitam yang membuatnya tampak lebih memesona. Taylor selalu mengagumi pesona Java dan selalu bingung mengapa Java tak memiliki kekasih. Mungkin Java memang mempunyai kekasih, tetapi Java malu memberitahunya. Namun kenyataan berkata lain. Taylor tidak mengetahui Java sepenuhnya. Pria itu berjalan menuju Christopher dan tersenyum padanya.
“Halo, kawan kecil. Bagaimana kabarmu pagi ini?” Tanya Java mengelus-elus kepalanya. Christopher mengangkat kedua tangannya untuk menyingkirkan tangan itu dari kepalanya. Crhistopher mengerang pelan.
“Tidak begitu baik, paman Java. Kepalaku sakit sekali. Dan kemarin malam aku muntah-muntah. Untung Mommy mengelus-elus perutku,” ujar Christopher polos. Java menatap Taylor yang ternyata tidak melihat padanya. Oh, apa yang terjadi dengan Taylor-nya? Terlihat dari wajah Taylor, ia sedang tidak bersemangat. Merasa diperhatikan Java, Taylor mengangkat pandangannya dari Christopher pada pria itu.
Sialan! Pintu ruangan itu terbuka lagi, kali ini bukan suster atau dokter yang masuk. Tetapi seorang pria yang membawakan makanan untuk Christopher, seperti yang dijanjikan suster. Semangat Christopher muncul begitu saja. Makanan! Ia selalu menyukai makanan baik sakit atau pun tidak. Kemarin malam ia makan sampai habis, sayangnya setelah ia selesai, beberapa menit kemudian ia muntah.
“Makanan!” Kata anak kecil itu ceria. Sang pengantar makanan mendorong trolinya lalu menyiapkan makanan itu untuk Christopher. Pria itu menarik sebuah nampan yang terpasang di tempat tidur sehingga nampan itu sekarang dapat melayang di depan Christopher menggunakan penyangga. Makanan itu ditaruh di atas sana, begitu juga dengan obat-obat Christopher. Pria itu tidak mengatakan apa-apa, kemudian ia keluar begitu saja dan pintu kembali tertutup.
Java tidak memerhatikan Christopher, tetapi Taylor yang sudah memalingkan pandangan darinya. Apa yang telah Justin katakan pada Taylor? Ada sesuatu yang berubah dari Taylor, tetapi Java tidak tahu apa itu. Apa yang telah Java lakukan? Tidak mungkin Taylor marah padanya hanya karena ia tidak datang kembali ke rumah sakit. Taylor tidak peduli dengan masalah pribadi orang lain, termasuk Java. Menurutnya, Justin-lah yang membuat Taylor berubah, tetapi Java tidak tahu apa yang berubah dari wanita ini. Selain menjadi lebih cantik tiap harinya.
Taylor sudah menyuapi Christopher. Java senang akhirnya Justin sudah pulang kembali ke Los Angeles. Sebuah berita yang melegakan karena tidak akan ada lagi yang mengganggu hubungannya dengan Taylor. Java hanya butuh Taylor percaya padanya bahwa Java memang membutuhkannya. Ambisinya untuk mendapatkan Taylor cukup kelewat batas. Tentu saja! Orang bodoh mana yang tidak ingin mendapatkan seorang Taylor Primrose Stalwart? Wanita berparas cantik, seorang pengacara sukses, dan dapat memiliki apa pun yang ia inginkan? Oh, ya, benar, Justin Almonde. Pria bodoh itu tak berotak. Java tahu apa yang menjadi miliknya. Dan Taylor adalah seorang yang harus ia miliki, bagaimana pun caranya.
Java sudah terlanjur jatuh cinta sejak Taylor memperkenalkan dirinya pada Java. Senyuman memikat namun wajahnya tegas dan penuh keyakinan. Wanita mandiri dan jarang ditemui. Tetapi dibalik wajahnya yang tegas dan tampak tak peduli pada apa pun, ternyata ia seorang yang sangat peduli akan apa pun. Dan jelas, permainan seksnya melebihi siapa pun yang pernah Java tiduri sebelumnya. Pria itu melipat bibir ke dalam lalu berjalan menuju sofa. Membiarkan dua orang yang ia sayang itu memiliki waktu sendirian.
Mata Java memerhatikan kertas-kertas yang bertebaran di atas meja. Apa-apaan? Ia memaki dalam hati. Mengapa Taylor membaca dokumen kasus Christina dan Glory kembali? Jantung Java berdegup kencang. Di sana terdapat foto Christina yang tewas di atas mobil, ia jatuh dari atap apartemen. Dan foto Glory yang didapati tewas di dekat tempat sampah besar. Java mendongak melihat Taylor yang masih memberi makan Christopher sambil sesekali mereka berbicarakan tentang Justin. Pria sialan itu! Ia telah merusak segalanya untuk yang kedua kalinya.
“Taylor, apa-apaan ini?” Tanya Java mengambil foto Christina yang sudah diautopsi di laboratorium. Mata wanita Latin itu terpejam dan wajahnya pucat. Tidak ada luka berat kecuali nyawa yang langsung terenggut. Taylor membalik tubuh ke belakang.
“Oh, itu,” ucap Taylor memberi wajah datar. “Christina dan Glory, hanya ingin mengecek kembali kasus mereka,” jawaban Taylor tak begitu meyakinkan Java. Taylor kembali berbalik pada Christopher. Pria itu menatap foto-foto itu dan berkas mengenai kematian mereka. Terbunuh oleh kedua mantan kekasih mereka. Justin Almonde terkutuk! Pasti pria itu telah mengatakan sesuatu yang membuat dirinya terlihat buruk di mata Taylor.
“Ada apa dengan mereka? Bukankah kasusnya sudah ditutup?”
“Kubilang aku hanya mengecek, Java,” ucap Taylor namun wanita itu tidak berbalik padanya. “Kurasa ada yang salah dengan penyebab kematian mereka,”
“Maksudmu?” Java bertanya berhati-hati. Ia terus menyumpahi Justin dalam hati dan berharap pria itu mati. Taylor bangkit dari tempat duduknya dan berjalan mendekatinya. “Taylor, jika ada yang salah, seharusnya kau memberitahunya padaku terlebih dahulu,”
“Aku tak mengerti. Mengapa aku harus memberitahunya padamu terlebih dahulu? Maksudku, apakah kau Ayahku? Bukan. Keluargaku? Bukan. Aku hanya berpikir mungkin kita harus kembali menyelidiki kasus ini. Kedua motif kasus ini sama, Java. Bukankah itu janggal?”
“Lalu? Di New York juga terdapat kejadian yang sama seperti ini!” Seru Java tidak terima dengan keputusan Taylor untuk membuka kasus ini kembali. Ini terlalu berlebihan, keduanya sudah mati.
“Java,” ucap Taylor mengangkat tangannya dan menyentuh bahu Java. “Kurasa kita menangkap pelaku yang salah. Pelaku yang sebenarnya masih berkeliaran. Aku tidak mau ada wanita lain yang mati karenanya.” Kata-kata yang dikeluarkan Taylor membuat Java muak! Seharusnya ia lakukan sebentar lagi hanyalah melamar Taylor, tetapi pria sialan itu membuat batu besar untuk menghalanginya lagi. Apa-apaan yang diinginkan Justin Sialan itu?
“Bagaimana bisa kau yakin akan hal itu?” Java berdeham.
“Maksudku, Java yang benar saja! Kau bahkan tidak memberitahu padaku siapa yang membayar uang tuntutan untuk dua orang itu! Sekarang, apa kau tahu siapa yang membayarnya?”
“Tentu saja Mr. Barwickle!” Seru Java tak sabaran. Taylor terdiam sejenak. Mr. Barwickle? Senator itu? Bagaimana mungkin? Java bangkit dari sofa dan menaruh kantong kertas cokelat itu di atas sofa. 
Tepat ketika ia ingin beranjak dari tempat, pintu kamar Christopher terbuka. Sialan! Orang yang terus dimaki Java muncul begitu saja dengan kantong kertas cokelat yang sama. Justin tidak pulang. Ada apa dengan dunia ini? Java menatap tajam pria itu lalu ia berucap.
“Aku ingin ke kantor, akan kuberitahu Peter dan Rebecca untuk membuka kasus ini lagi.” Java berjalan meninggalkan mereka bertiga. Ia berjalan melewati Justin. Sebuah rencana mulai tersusun di otak pria itu.

***

Taylor tidak tahu apa yang harus ia lakukan pada Justin lagi. Ia sudah mengajukan permintaan pada pengadilan untuk membuat surat larangan untuk Justin. Tetapi mereka menolak karena Justin bukanlah ancaman bagi Christopher. Betapa sialnya hidup Taylor. Justin membatalkan penerbangan kemarin malam dan mengantar Emma hanya sampai bandara. Meski wanita itu bersungut-sungut agar Justin ikut pulang bersamanya. Namun Justin menolaknya dengan halus dan akan membelikannya sesuatu yang berharga. Dan itulah alasan mengapa Justin berada di dalam kamar Christopher dan terus bercakap-cakap ria dengan anak kecil itu.
Christopher kelihatan lebih ceria sekarang. Mungkin Justin memang harus ada di sini agar Christopher cepat keluar dari rumah sakit. Mata Christopher perlahan-lahan tertutup, ia sudah menguap berkali-kali namun ia memaksa dirinya untuk tidak tidur karena ia tidak ingin ketika ia membuka matanya, paman Justin sudah tidak ada di sisinya. Dan padanya akhirnya pun, ia terlelap dalam tidurnya. Justin tersenyum melihat anaknya, anak kandungnya, tidur karenanya. Pasti sejak kemarin malam Christopher merindukannya, dan itu memang benar. Christopher memang sangat merindukannya.
Justin bangkit dari kursi dan berjalan tanpa suara menuju Taylor yang sedang membaca pengakuan dari mantan pacar Glory. Pria itu memberikan senyum mengejek pada Taylor. Ternyata Taylor mengikuti apa yang ia katakan. Justin pikir, ia tidak dapat memengaruhi Taylor lagi dan sungguh, Justin tak percaya Taylor akan melakukan apa yang ia katakan. Bahkan Java tadi menyatakan di depannya bahwa ia akan membuka kasus ini lagi. Ah, pria itu bodoh sekali. Mengapa ia mendorong dirinya sendiri ke dalam jurang? Tetapi Justin tidak begitu peduli dengan Java.
Pria itu di duduk di sebelah Taylor, bersandar di sofa. “Aku senang kau mendengar ucapanku,” ucap Justin percaya diri, seperti biasanya.
“Aku melakukan ini bukan untukmu,” balas Taylor tak menatapnya. Selalu bersikap acuh tak acuh pada Justin. Apa salah Justin? Ia sudah meminta maaf pada Taylor. Apakah sangat sulit memaafkan Justin? Justin tidak membuat kesalahan sebesar yang Java perbuat! Jadi, untuk apa Taylor terus bersikap sinis padanya?
“Terserahlah,” balas Justin membuka kantong yang ada di sampingnya. “Jadi, kau percaya padaku kalau Java adalah pelaku dari pemerkosaan itu? Sayang sekali, mengapa Christina dan Glory harus mandi terlebih dahulu sebelum mereka bunuh diri?”
“Aku tidak percayamu. Aku hanya curiga bahwa orang yang kami tangkap itu salah.” Taylor bersikeras bahwa bukan Java pelakunya. Pasti ada orang lain. Dengan adanya Justin di sisinya, konsentrasi Taylor langsung buyar. Ia teringat akan ciuman ringan yang diberikan Justin tadi malam. Betapa dalamnya Justin menatap matanya, seolah-olah Justin menembus jiwanya. Taylor melamun dan Justin sadar betul akan itu. Matanya memang menatap pada tulisan-tulisan di kertas itu, tetapi tidak membacanya.
“Apa pun alasannya, kurasa kau mengambil langkah yang tepat.” Justin memberi dukungan. Taylor mendongak, sadar dari lamunannya lalu mengangguk. Wajah mereka sangat dekat dan Taylor menyadarinya. Ia merasa dengan sedekat inilah ia dapat mengagumi karya Tuhan. Mata mereka bertemu, dua mata cokelat yang gelap dan cokelat madu. Tidak ingin larut dalam pandangan mereka, Taylor menarik wajahnya dan mendorong Justin agar lebih jauh darinya.
“Aku bingung mengapa kau masih ada di sini,” gerutu Taylor tak suka. “Aku tidak suka kau berada di sini. Rasanya kau telah merusak segalanya,”
“Seburuk itukah aku?” Tanya Justin terdengar sakit hati. Taylor mengabaikan nada suara Justin. Ia tahu Justin. Ia tahu kapan pria itu serius dan tidak serius.
“Ya, seburuk itu,” tegas Taylor. Wajah Justin yang awalnya terlihat memelas tiba-tiba saja berubah menjadi datar.
“Kalau begitu, kau belum melihat keburukan Java.”

***

Pria itu memakai jaket kulit berwarna hitam dengan tudung kepala berwarna abu-abu. Ia berdiri di seberang hotel mewah, di dekat kedai kopi dan lorong sambil meminum kopi panasnya. Ia mengamat-amati mobil yang memasuki kawasan hotel itu dan berharap mobil yang ia tunggu segera muncul. Jam sudah menunjuk pukul 10, ia sudah meminum kira-kira 3 gelas kopi hanya untuk menunggu orang ini. Ia sudah meminta sang resepsionis memberi pesan pada orang yang ia tunggu untuk segera kembali keluar dan membicarakan hal penting. Tepatnya, di kedai kopi, samping hotel itu.
Mobil yang ia tunggu-tunggu muncul. Pria yang terus dipuja-puja Taylor keluar dari mobil. Beberapa orang menyambutnya dengan ramah, tentu saja kepala pelayan di hotel itu dan para kurcacinya. Pria berjaket itu menunggu selama beberapa menit lalu pria itu kembali keluar dari hotel. Tentu saja saja pria yang dipuja Taylor itu tahu siapa yang ingin menemuinya. Ia sudah keluar dari kawasan hotel. Begitu ia melihat orang yang menunggunya berada di seberang, ia melambai tangan.
Justin, pria tampan yang selalu memberi sikap menantang. Ia menyeberang menuju pria itu cepat-cepat. Ah, ingin sekali Justin bertemu Java dan menertawakan pria itu di depan wajahnya. Java melempar kopinya ke tempat sampah yang berada di dalam lorong. Begitu Justin sudah ada di hadapannya, ia dapat melihat senyum mengejek di wajahnya.
“Wah, lihatlah siapa yang ada di sini,” seru Justin. “Ada apa, Java-ku sayang? Kau ingin memerkosaku juga? Oh, tidak, jangan Java. Tidak!” Suara Justin dibuat-buat seperti anak remaja yang menjerit-jerit ketakutan di akhir kata ‘tidak’ suaranya berubah menjadi suara aslinya. Java tidak mengatakan apa-apa, ia menarik kerah kemeja yang Justin kenakan lalu membawanya menuju mulut lorong dan mengimpit tubuhnya di tembok lorong. Batu bata yang kotor! Jas yang Justin pakai tidak akan Justin pakai lagi.
“Kau bahkan tidak tahu apa yang kaubicarakan, Almonde,” ujar Java penuh benci.
“Aku tentu tahu apa yang kukatakan! Kau pemerkosa, tetapi orang hanya melihat kebaikanmu karena kau cukup pandai menutupi segala keburukanmu. Keinginanmu mendapatkan Taylor melewati garis batas! Obsesimu padanya berlebihan sehingga kau melakukan hal yang seharusnya tak kau lakukan!” Justin berucap menggeleng kepala tak habis pikir.
“Kau tidak memperlakukannya sebaik diriku memperlakukannya,” ucap Java menatap Justin dengan nafsu membunuh.
Baru Justin ingin berbicara, tiba-tiba saja Java meninju wajahnya. Justin mendorong pria itu dari hadapannya hingga Java menabrak tembok di belakang punggungnya. Ia meninju wajah lalu perut pria itu sekuat tenaganya. Ternyata tinjuan itu berhasil membuat Java mengeluarkan darah dari mulutnya dan memar biru di pipinya, lebamnya semakin membengkak. Java membalas, ia mendorong Justin hingga pria itu jatuh ke aspal yang kotor dan memegang kerah kemejanya. Ia meninju terus wajah pria itu hingga Justin merasa kepalanya pening.
Mulutnya juga berdarah. Melihat darah itu membuat Justin marah. Ia memukul punggung Java keras, lalu bangkit dari aspal ketika Java mengerang sakit. Mereka berdua terus melempar tinjuan di wajah, perut dan dada. Begitu Java meninju dada Justin, pria itu tersungkur jatuh lemas. Darah yang dikeluarkan lebih banyak dari yang Java kira. Dan itu membuat Java sangat puas Ia berhenti. Ada rasa puas ketika ia melihat Justin tersungkur di dekat tempat sampah itu. Akhirnya ia menang, untuk yang pertama kalinya, dari Justin. Memang Taylor tak melihatnya, tetapi tetap saja, ini menjadi sebuah kebanggaan tesendiri. Keduanya sudah babak belur, tetapi dengan jatuhnya Justin, itu akan menjadi peringatan untuk pria itu agar menjauh dari masalah Java. Bibir mereka dilumuri darah, membuat siapa pun yang melihatnya akan jijik. Kecuali kalau kau itu adalah dokter atau suster, atau seorang Ibu-ibu yang overprotectif.
“Jauhi. Taylor. Dan. Christopher. Kau mengerti Almonde?” Tetapi yang Justin lakukan lebih cerdas, ia menendang salah satu kaki Java sehingga pria itu kehilangan keseimbangan dan jatuh. Dengan dada yang masih sakit, Justin bangkit dari aspal dan kali ini, ia yang menarik kulit jaket sialan itu lalu meninju wajah Java berkali-kali hingga ia merasa tangannya puas.
“Kau. Merusak. Kehidupan. Keluargaku! Kau pembunuh! Pemerkosa!” Teriak Justin tak sabar. Lalu ia berhenti. Java tidak sadarkan diri. Ah, sialan! Justin bangkit dan menjauhi Java, ia menyandar di tembok batu bata itu. Nafasnya terengah-engah, ia butuh minum.
“Seharusnya ia tidak memukulku. Seharusnya ia tidak memukulku. Seharusnya ia tidak memukulku,” ucap Justin terus menerus dengan kalimat yang sama karena ia takut, Java mati di tangannya. Taylor akan membencinya seumur hidup. Begitu juga dengan Christopher!
“Java?” Panggil Justin gemetar. Java tidak boleh mati! “Kau masih ada di sana, Java?”
Namun tak ada jawaban apa pun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar