Sebuah tamparan keras berbunyi
membuat Justin mengerang kesakitan. Justin bisa menghitung berapa kali Taylor
menamparnya, tetapi kali ini, tamparannya begitu menyakitkan dan terasa seperti
terbakar api. Di ruangan yang remang-remang itu Taylor menatap Justin dengan
benci. Apakah Taylor semurah itu di hadapannya? Padahal awal niat Taylor
meminta Justin menggendongnya agar itu menjadi tanda bahwa Taylor tidak akan
bersikap menjengkelkan seperti kemarin-kemarin. Namun ciuman itu mengubahnya
kembali seperti semula, seperti awal setelah mereka bercerai.
Matanya berkaca-kaca tetapi tidak
ingin menangis. Taylor bukan ingin menangis, tetapi amarahnya terbakar hingga
matanya terasa perih. Apakah Justin tidak memikirkan Emma yang sedang
menunggunya di apartemen? Talyor tidak peduli siapa itu Emma, yang ia inginkan
hanyalah Justin segera enyah dari hadapannya dan Christopher dengan damai tanpa
perlu membenci Justin lagi. Pria itu masih ada di hadapannya, mengelus pipinya.
“Pergilah,” lirih Taylor lemas.
Ia begitu lelah dan tidak ingin berdebat lebih lama lagi. Dan ia berharap pada
Tuhan agar pria ini tidak berbicara atau apa pun. Untungnya Tuhan menjawab
permintaan Taylor. Pria itu bangkit dari tempat tidurnya, tidak mengatakan
sepatah kata pun karena sesungguhnya ia begitu kecewa dengan balasan Taylor. Ia
menginginkan Taylor, menginginkan kelembutan wanita itu meski hanya beberapa
menit.
Ah! Tidak mungkin Taylor akan
berbaik hati padaku, pikir Justin menutup pintu kamar Taylor. Justin mengembus
nafas panjang, berharap agar Taylor memikirkan kembali apa yang telah Justin peringatkan
padanya mengenai Java yang sebenarnya tidak sebaik yang dipikir Taylor. Pria
itu lihai menutupi kejahatannya, hanya saja, Justin tidak tahu bagaimana bisa
mengungkapkannya dan memberikan bukti nyata pada Taylor. Dan kepercayaan Taylor
sangat sulit didapatkan.
Justin menyunggingkan senyum
licik. Setidaknya Justin pernah menjadi salah satu orang yang sangat dipercayai
Taylor.
***
Pria jangkung itu berlutut di
depan tempat tidurnya dan sedang berdoa pada Tuhan agar segala dosanya
diampuni. Meski ia tahu, dosa yang ia perbuat adalah perbuatan yang takkan
termaafkan oleh manusia. Namun ia tahu, Tuhan akan mengabulkan doanya seperti
doa-doanya yang lain. Ia mengucapkan kata ‘Amin’ setelah selesai berdoa. Pria
itu bangkit dari lantai lalu beranjak naik ke atas tempat tidurnya.
“Selamat tidur sayang,” bisiknya
lembut namun lebih terdengar seperti bisikan ancaman yang menjanjikan bahwa
akan terjadi sesuatu yang buruk Semua orang akan menganggapnya seorang pria
tampan yang gila. Karena sesungguhnya, ia tidak berbicara pada siapa pun selain
foto yang berada di samping bantalannya.
***
Pagi itu, di hari Minggu, Taylor
mendapati tubuh Christopher yang panas. Suhu tubuhnya mencapai 35 derajat dan
sebelumnya Christopher tak pernah sakit panas seperti ini. Terkutuk! Wajah
anaknya pucat dan sialnya ia mendapati Christopher tertutupi selimut seperti
pasta. Apa-apaan yang Justin lakukan tadi malam? Sungguh, jika ada sesuatu yang
membuat anaknya harus diopname di rumah sakit, Taylor tidak akan segan-segan
menyalahkan Justin. Seharusnya Christopher tak selelah kemarin dan harus tidur
jam 8 malam. Tetapi baru kemarin Christopher terpaksa tertidur jam 9 malam, itu
pun dalam perjalanan pulang.
Tentu saja Taylor menghubungi
Java untuk meminta pertolongan dari pria itu. Sejauh ini, Java satu-satunya
orang yang dapat Taylor percayai. Christopher terduduk di sisi tempat tidurnya
dengan wajah lesu. Ia tidak bersemangat pagi itu dan ingin kembali tidur. Ia
merasa mual dan tidak ingin melakukan apa pun selain memeluk perut Ibunya.
Taylor dengan sikap tenangnya memasang jaket tebal di tubuh anaknya agar mereka
bisa pergi ke rumah sakit untuk memeriksa keadaannya.
Saat anaknya sudah siap memakai
perlengkapan, Taylor menggendong Christopher. Telinga Taylor mendengar suara
larian dari tangga dan tepat di depan pintu kamar Christopher, Java datang
dengan air wajah panik. Oh, apa yang terjadi dengan anak kecil kesayangannya?
Christopher hanya terus memeluk leher Ibunya dan tidak berbalik untuk melihat
siapa yang datang. Kepala Christopher pusing dan ia ingin menangis. Mengapa
sakit sekali? Dan anak kecil tetaplah anak kecil. Christopher tak dapat menahan
tangisannya sehingga ia merengek sampai matanya berair.
“Mommy, kepalaku sakit,” sungut
menangis di sela-sela leher Taylor. Java mengangguk tegas pada Taylor, tanda
mereka harus sesegera mungkin pergi ke rumah sakit.
“Ssh,” bisik Taylor di telinga
Christopher, ia berusaha menenangkan anaknya dengan kata-kata manis.
“Christopher, kau anak yang manis. Kau tidak boleh cengeng karena kau seorang
laki-laki. Tetapi karena kau sedang sakit, kau boleh bersungut di leher Mommy.
Tetapi jangan sampai orang asing mendengar tangisanmu. Kau ingin kita berdua
diculik oleh orang asing?”
“Tidak, Mommy,” bisik Christopher
memiringkan kepalanya ke sisi yang lain. Sehingga sekarang wajahnya tak lagi
menghadap leher Taylor. Mereka baru sampai di lantai bawah dan Java sudah
berada di luar rumah Taylor menuju mobil yang ia bawa dari rumahnya.
Bukan keinginan Christopher,
tetapi anak kecil itu tiba-tiba saja muntah namun tidak mengotori baju bagian
belakang Taylor. Ibunya semakin cemas namun wajahnya menunjukkan ketenangan.
Kerutan di kening Taylor terlihat beberapa detik namun saat keluar dari rumah,
ia memperlihatkan wajah tenangnya kembali. Ia tidak mempunyai waktu untuk
membersihkan muntahan Christopher.
Ia mengunci pintu rumahnya lalu
menuruni anak tangga. Java sudah membuka pintu bagian depan bagi Taylor. Mata
Taylor tidak melihat ke arah Java, melainkan melihat ke arah pria yang berdiri
di belakang mereka. Justin datang bersama dengan seorang wanita di sampingnya.
Namun Taylor sudah masuk ke dalam mobil Java. Sekarang, bukan egonya yang harus
ia pentingkan, melainkan kesehatan Christopher yang berharga.
***
Di rumah sakit itu, Taylor
berusaha untuk menenangkan dirinya selama Justin berada di hadapannya bersama
dengan wanita yang lebih cantik dibanding dirinya. Bukan suatu masalah besar
bagi Taylor, apakah kekasih Justin cantik atau tidak. Taylor mencemaskan
Christopher, begitu juga dengan dirinya. Tentu saja Taylor mencemaskan dirinya!
Ia tidak ingin amarahnya tiba-tiba saja meledak di rumah sakit. Taylor tidak
tahu kalau suster memintanya harus menunggu di luar ruang periksa. Ini tidak
masuk akal bagi Taylor.
Di dalam sana, Christopher
membutuhkannya! Mengapa suster bodoh itu tidak membiarkan Taylor masuk saja
untuk menenangkan Christopher? Anak itu tidak pernah bertemu dengan dokter
setelah ia menginjak umur 1 tahun. Java duduk di sebelah Taylor namun ia
menyentuh wanita itu. Ia tahu bagaimana Taylor jika ia sedang cemas seperti ini
meski raut wajah Taylor tidak memperlihatkan ekspresi apa pun selain ekspresi
datar. Mereka berada di lorong, di dekat ruang periksa Christopher. Sementara
Justin duduk di ujung lorong bersama dengan kekasihnya.
Omong kosong! Taylor mengerang
dalam hati ketika ia melihat wajah Emma yang tampak sekali dibuat-buat
khawatir. Dan entah mengapa Justin memperlakukan Emma sama seperti Justin
memperlakukan Taylor dulu. Pria itu mengelus kedua bahu Emma dengan penuh
perhatian dan memberikan kata-kata manis di telinga wanita itu agar Emma
tenang. Sungguh, ini adalah omong kosong yang tak dapat Taylor terima. Taylor
tidak dapat berpikir lebih jauh lagi bagaimana kelakuan Emma. Wanita itu
berniat menemui Christopher mengenakan gaun ketat yang panjangnya hanya 3 inchi
dari bokongnya. Apakah itu patut dilihat oleh Christopher?
Tanpa Taylor sadari, ia menyandar
di bahu Java. Sudah beberapa menit dokter memeriksa Christopher namun dokter
itu masih belum keluar. Oh, kumohon Tuhan, jangan timpakan anakku sesuatu
yang sial, dia anak yang baik, mohon Taylor dalam hati. Dan Tuhan memang
tidak menimpakan sesuatu yang sial bagi Christopher. Anak itu hanya terserang
tifus sehingga ia perlu diopname beberapa hari di rumah sakit. Dokter keluar
dari ruang periksa dan berbicara empat mata dengan Taylor di depan pintu ruang
periksa. Kali ini Java dapat melihat raut wajah cemas dari Taylor. Dan Java tak
sanggup melihat wanita itu harus cemas seperti ini.
“Kau boleh menemuinya sebelum
memindahkannya ke ruang pasien,” ucap dokter ramah. Taylor mengangguk buru-buru
dan berjalan masuk ke dalam ruang periksa.
Mata Justin bagaikan elang. Ia
melihat Taylor masuk ke dalam ruang periksa dan tanpa berpikir lagi, ia bangkit
dari kursi dan meninggalkan Emma di tempat. Bagaimana pun juga Justin tahu
bahwa Christopher adalah anaknya. Dan sejauh ini, mengetahui Christopher sakit
merupakan berita terburuk dalam hidupnya. Seakan-akan Justin sekarang berada
dalam ambang kematian jika ia melihat Christopher harus terbaring di atas
tempat tidur rumah sakit.
Java menahan tubuh Justin saat
pria itu ingin masuk ke dalam ruang periksa. Sepertinya Java memiliki masalah
yang sama seperti Justin memiliki masalah dengan Java. Mereka sudah membenci
satu sama lain sejak Taylor masuk ke dalam kehidupan mereka. Sayangnya Java
tidak pernah menang dalam perlombaan cinta ini. Taylor selalu memilih Justin
dibanding Java yang selalu memberikan perhatian pada Taylor.
“Taylor tidak ingin kau mendekati
anaknya,” ucap Java tegas. “Christopher sakit karena kau, Justin. Tentu
saja Taylor tidak akan mengizinkanmu masuk ke dalam untuk melihat Christopher,”
“Hey, apa masalahmu jangkung? Aku
Ayahnya dan aku punya hak untuk menemui Christopher. Sementara kau,” Justin
memberikan tawa mengejek pada Java. “Kau hanyalah pria menyedihkan yang tidak
akan pernah mendapatkan Taylor. Tadi malam kami berdua melewati malam terbaik,”
“Omong kosong,” ucap Java
terdengar tak peduli, namun sebenarnya ucapan Justin cukup membuat Java
penasaran apa yang mereka lakukan. Tidak mungkin Taylor bercinta dengannya!
Taylor tak semurah itu. “Jangan mengubah topik pembicaraan, Almonde.
Kenyataannya sekarang adalah Taylor tidak ingin kau menemui Christopher lagi.
Kemarin adalah hari terakhirmu bersama-sama dengan Christopher. Sebentar lagi
mereka akan menjadi milikku. Aku yang akan menjadi kepala keluarga. Nama
belakang Christopher akan segera berubah menjadi Bulcher,”
“Pft! Kau bodoh atau apa? Kau
pikir kau tidak tahu apa yang kaulakukan pada Christina ketika kau ditolak
mentah-mentah oleh Taylor? Kau memerkosanya di lorong dekat apartemen
Christina! Aku melihatnya dengan mata kepalaku..”
“Aku tidak memerkosanya, kau
bajingan!” Bentak Java tertahan. Mata mereka berdua menyala-nyala penuh
kebencian. “Ia menginginkannya. Ia menginginkanku. Sudahlah, kau hanya
ingin membuatku terlihat lebih buruk darimu..”
“Java, kau itu menjijikan.
Sungguh, aku tidak akan berbohong padamu. Aku tidak berusaha membuatmu terlihat
lebih buruk dariku. Kau memang buruk. Hanya saja, Taylor belum mengetahui apa
pun tentangmu. Maksudku, yang benar saja berhubungan badan di lorong gelap? Ah,
y benar sekali, mungkin karena kau memiliki fantasi yang kauimpikan bersama
Taylor namun sayangnya Taylor tidak menginginkannya,” ucap Justin menggeleng
kepalanya sambil menggeleng kepala tak habis pikir jika ia mengingat Java
memerkosa Christina yang malang. Christina sudah tenang di surga sana bersama
Tuhan demi menyembunyikan kesalahan Java. Beberapa saat kemudian Justin
berucap. “Yang ia lihat darimu hanyalah perhatianmu padanya, ia belum melihat
Java sang pengacara yang selama ini ternyata pelaku dibalik kasus-kasus
Taylor,” lanjut Justin mendesah dan menatap kasih pada Java. Namun Java tidak
menggubris omong kosong Justin yang tak masuk akal.
“Justin, ada apa?” Suara lembut Emma
datang dari belakang tubuh Justin. Java menatap wanita itu. Ah, wanita cantik.
Java harus akui bahwa Justin memang pria bajingan yang pintar memilih kekasih
cantik. Namun Justin tidak menjawab pertanyaan Emma. Ia ingin menemui
Christopher.
“Aku..” ucapan Java terpotong
karena ia harus menahan tawanya. Java mengusap wajahnya berkali-kali lalu ia
tertawa mengejek. “Aku tidak habis pikir bahwa kau masih memiliki keberanian
bertemu dengan Taylor padahal kau telah memiliki kekasih,”
“Kami tidak ingin bertemu dengan
Taylor. Kami hanya ingin bertemu dengan Christopher,” balas Emma membantu
Justin, tetapi sungguh, dari hati Justin paling dalam, Emma tidak sama sekali
membantu Justin. Justru ia memperburuk keadaan. Dari ruang periksa, Taylor
keluar dengan wajah datarnya. Ah, wanita itu tidak pintar berekspresi. Dan
Taylor tidak cocok bermain film, well, mungkin ia cocok bermain di film
psikopat.
Mata Taylor langsung tertuju pada
Justin. Dan tidak sekalipun Taylor melirik ke belakang punggung Justin. Wanita
itu tampak seperti iblis di belakang Justin dan Taylor berusaha menghindari
pemandangan itu.
“Christopher ingin bertemu
Justin,” ucap Taylor tenang. Mata Justin tidak menatap Taylor, tetapi pada Java
yang berdiri dengan raut wajah tak percaya. Christopher ingin bertemu dengan
Justin? Ibu dan anak sama saja, pikir Java. Seulas senyuman mengejek terpampang
di wajah Justin ketika ia berjalan masuk ke dalam ruang periksa. Dan tentu
saja, Java dan Emma tidak diizinkan masuk.
***
Christopher terbaring di atas
tempat tidur, di ruang pasien. Ah, anak kecil periang itu tidak akan kelihatan
lagi keceriaannya untuk beberapa hari ke depan. Tetapi semua orang
menyayanginya berharap Christopher cepat keluar dari rumah sakit. Justin
membayar seluruh tagihan rumah sakit, meski Taylor memintanya untuk tidak
melakukan itu. Dan sampai sore itu, Justin belum memberitahu Christopher kalau
ia harus pulang malam ini karena ada pekerjaan yang menunggunya di Los Angeles.
Emma tak berhasil menemui Christopher karena Emma bukanlah keluarga
Christopher. Lagi pula, siapa yang mengharapkan kedatangan Emma?
Taylor sedang disibukkan
pekerjaan yang menumpuk. Ia terpaksa harus bekerja di rumah sakit dan sebentar
lagi ia akan kedatangan tamu. Sementara Justin terus memerhatikan Christopher
yang terlelap. Jadi seperti ini rasanya menjadi Ayah yang sangat khawatir
dengan keadaan anaknya. Dan perasaan itu tidak sama sekali menyenangkan. Tadi
siang Emma diantar pulang kembali ke hotel mereka dan Justin datang ke rumah
sakit lagi. Posisi Justin berhadapan dengan Taylor yang duduk di lantai, di
depan sofa yang berjarak kira-kira 3 meter dari tempat tidur Christopher.
Tempat tidur dan meja sebagai pembatas di antara mereka. Pemandangan yang sama
seperti dulu ketika mereka masih bersama. Jika Taylor sudah berhubungan dengan
pekerjaan, dunianya akan berpisah dengan dunia nyata.
“Taylor, malam ini aku harus
pulang,” ucap Justin membuka percakapan. Mereka tak berbicara setelah Justin
kembali lagi ke rumah sakit. Dan inilah yang dimaksud Justin! Ia tak tahan dengan
wanita yang mendiamkan atau mengabaikannya ketika ia sedang berbicara atau
bertanya. Wanita itu berhenti menulis di kertas itu lalu melirik Justin dengan
mata sayu.
“Kau pulang atau tidak pulang
bukan urusanku lagi, bukan?” Tanya Taylor menjilat bibir bawahnya,
kemudian ia kembali menunduk untuk menulis. Justin bersandar di kursinya dan ia
mengembus nafas panjang.
“Bagaimana jika aku tidak pulang
dan terus berada di sisi Christopher, apakah itu akan menjadi urusanmu?”
Pertanyaan Justin tampaknya tak pernah tak memancing amarah Taylor. Namun
Taylor bukanlah wanita yang menunjukkan amarahnya, ia memendamnya dan akan
meledakkannya jika waktunya sudah tepat. Ia kembali mendongak.
“Tentu saja,” ucapnya pelan, tak
ingin membangunkan Christopher. Ia melepaskan pulpen lalu melipat tangannya.
“Apa pun yang berhubungan dengan Christopher akan berurusan denganku. Dan
kusarankan, lebih baik kau pulang Justin karena Emma dan pekerjaanmu
membutuhkanmu untuk segera diselesaikan.” lanjut Taylor menelan
ludahnya. Melakukan percakapan dengan Justin membuat Taylor lapar. Ia ingin
pergi mencari makanan tetapi ia tidak ingin meninggalkan Christopher bersama
Justin. Apa pun yang tak dipikirkan orang lain bisa saja terjadi.
“Emma bukanlah wanita murahan
seperti yang kaupikirkan,” ucap Justin menuduh Taylor. Kedua alis Taylor
terangkat, tertarik karena ia telah membuat Justin tersinggung. Taylor mendesah
dalam hati, jika Emma bukanlah wanita murahan, mengapa nada suara Justin
terdengar tersinggung? Lucu sekali.
“Benarkah?” Pancing Taylor
menjadi-jadi. Ia mengabaikan pekerjaannya dan naik ke atas sofa. “Ceritakan
padaku tentangnya. Kuberikan waktu 5 menit, aku tidak ingin tertidur karena
mendengarmu bercerita,” ucap Taylor sarkastik. Justin menarik nafas
dalam-dalam, tangannya tanpa Justin sadari, memegang tangan Christopher yang
hangat. Christopher yang malang! Seharusnya Christopher tidak sakit seperti
ini. Justin cukup tersiksa sekarang. Ia menatap Taylor yang memerhatikannya.
“Emma wanita yang cantik. Ia
seorang pegawai bank dan ia penyayang anak kecil. Maka dari itu ia ingin
bertemu Christopher. Aku ingin menikahinya karena kurasa ia wanita yang tepat
untukku, maksudku, kupikir kita berdua adalah pasangan serasi. Emma memiliki
senyuman yang menawan, aku mengaguminya. Dan seksnya? Well, tidak sebaik dirimu
tetapi cukup memuaskan. Tetapi itu tidak akan menjadi kendala bukan?”
“Tidak terdengar seperti kau
mencintainya, tetapi terserah kau. Kuharap kalian menikah dan terus saling mencintai
sampai Tuhan menjemput kalian. Namun aku sangat ragu Tuhan akan menjemputmu
Justin,” ucap Taylor menggeleng kepala, raut wajahnya seolah-olah kasihan
dengan nasib Justin.
“Justru kau harus ragu Tuhan akan
menjemput Java. Pria itu tidak akan dijemput Tuhan ke rumahNya, tetapi akan
dijemput oleh iblis di kematiannya. Kehidupan Java selanjutnya? Ia akan menjadi
pasukan iblis,” ujar Justin membalas, ia tentu tak ingin kalah dari seorang
pengacara seperti Taylor. Meski ia tahu peluang yang ia dapat 0,1 persen.
“Mengapa kau bisa berkata seperti
itu Justin? Apa yang kau ketahui tentangnya sementara aku tidak tahu? Ia
menceritakan segala rahasianya padaku karena ia memercayaiku. Maksudku, siapa
kau berani berbicara seperti itu?” Tanya Taylor, namun nada suaranya tak
meninggi. Ia masih menjaga emosinya. Salah satu paha Taylor bertumpu ke pahanya
yang lain. Beruntung Taylor tak memakai rok pendeknya, ia memakai celana jins
biru panjang.
“Tetapi pasti kau tidak tahu
rahasianya yang satu ini,” ucap Justin tersenyum licik. Justin menegakkan cara
duduknya, tangannya sudah terlepas dari tangan hangat Christopher lalu jari
telunjuk tangan kirinya menunjuk Taylor. “Kau ingat Christina dan Glory?”
“Tentu saja. Mereka sahabatku dan
Java,” ucap Taylor menyandarkan kepalanya ke telapak tangannya, siku-siku
Taylor bersandar di sisi sandaran sofa. “Aku mendengarkan,”
“Kau tahu apa penyebab kematian
mereka? Java memerkosa mereka tetapi seperti yang kau tahu, sahabat,”
Justin memberikan tanda kutip. “Mereka bunuh diri karena pertama, mereka telah
ternodai. Kedua, mereka tidak ingin Java menghadapi masalah besar dan Java
terpaksa harus membunuh mereka agar mereka tutup mulut. Tetapi sayangnya, Java
tidak memiliki kesempatan membunuh mereka karena mereka sudah ditemukan mati
saat kau menangani kasus mereka. Benar?”
“Tidak,” ucap Taylor kali ini
menarik nafas tajam, tanda ia gugup. “Itu tidak benar. Mereka tidak bunuh diri,
tetapi mereka dibunuh mantan kekasih mereka. Kasus itu sudah ditutup dan
mantan kekasih mereka telah masuk penjara,”
“Dan kemudian mereka keluar
secepat itu? Wah, Taylor, orang baik hati mana yang ingin membayar tuntutan
mereka dalam waktu singkat dan bebas begitu saja? Kurasa kau memenjarakan orang
yang salah,”
“Kau bahkan tidak tahu apa yang
kaubicarakan, Justin,” ucap Taylor mulai muak dengan pencemaran nama baik ini.
Java tidak mungkin melakukan hal sekeji itu! Pria itu adalah pria terbaik dalam
hidupnya (setelah Justin meninggalkannya). “Percakapan selesai.”
Taylor bangkit dari sofanya untuk
mengambil air minum. Seorang suster tiba-tiba saja membuka pintu kamar
Christopher. “Ms. Stalwart, Detektif Huntington dan Lyttle ingin menemui Anda,”
“Ya, katakan pada mereka aku akan
segera keluar, terima kasih,” ucap Taylor berjalan menuju Christopher lalu
mengelus kepala anaknya. Dalam hati ia membisikan doa agar Christopher cepat
sembuh agar anak itu dapat bermanja-manja dalam pelukan Taylor.
“Well, sepertinya kalian akan
membuka kasus Christina dan Glory lagi.” sahut Justin merusak suasana hati
Taylor yang tenang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar