Sabtu, 11 Oktober 2014

Doomed Bab 8





Sebuah tamparan keras berbunyi membuat Justin mengerang kesakitan. Justin bisa menghitung berapa kali Taylor menamparnya, tetapi kali ini, tamparannya begitu menyakitkan dan terasa seperti terbakar api. Di ruangan yang remang-remang itu Taylor menatap Justin dengan benci. Apakah Taylor semurah itu di hadapannya? Padahal awal niat Taylor meminta Justin menggendongnya agar itu menjadi tanda bahwa Taylor tidak akan bersikap menjengkelkan seperti kemarin-kemarin. Namun ciuman itu mengubahnya kembali seperti semula, seperti awal setelah mereka bercerai.
Matanya berkaca-kaca tetapi tidak ingin menangis. Taylor bukan ingin menangis, tetapi amarahnya terbakar hingga matanya terasa perih. Apakah Justin tidak memikirkan Emma yang sedang menunggunya di apartemen? Talyor tidak peduli siapa itu Emma, yang ia inginkan hanyalah Justin segera enyah dari hadapannya dan Christopher dengan damai tanpa perlu membenci Justin lagi. Pria itu masih ada di hadapannya, mengelus pipinya.
“Pergilah,” lirih Taylor lemas. Ia begitu lelah dan tidak ingin berdebat lebih lama lagi. Dan ia berharap pada Tuhan agar pria ini tidak berbicara atau apa pun. Untungnya Tuhan menjawab permintaan Taylor. Pria itu bangkit dari tempat tidurnya, tidak mengatakan sepatah kata pun karena sesungguhnya ia begitu kecewa dengan balasan Taylor. Ia menginginkan Taylor, menginginkan kelembutan wanita itu meski hanya beberapa menit.
Ah! Tidak mungkin Taylor akan berbaik hati padaku, pikir Justin menutup pintu kamar Taylor. Justin mengembus nafas panjang, berharap agar Taylor memikirkan kembali apa yang telah Justin peringatkan padanya mengenai Java yang sebenarnya tidak sebaik yang dipikir Taylor. Pria itu lihai menutupi kejahatannya, hanya saja, Justin tidak tahu bagaimana bisa mengungkapkannya dan memberikan bukti nyata pada Taylor. Dan kepercayaan Taylor sangat sulit didapatkan.
Justin menyunggingkan senyum licik. Setidaknya Justin pernah menjadi salah satu orang yang sangat dipercayai Taylor.

***

Pria jangkung itu berlutut di depan tempat tidurnya dan sedang berdoa pada Tuhan agar segala dosanya diampuni. Meski ia tahu, dosa yang ia perbuat adalah perbuatan yang takkan termaafkan oleh manusia. Namun ia tahu, Tuhan akan mengabulkan doanya seperti doa-doanya yang lain. Ia mengucapkan kata ‘Amin’ setelah selesai berdoa. Pria itu bangkit dari lantai lalu beranjak naik ke atas tempat tidurnya.
“Selamat tidur sayang,” bisiknya lembut namun lebih terdengar seperti bisikan ancaman yang menjanjikan bahwa akan terjadi sesuatu yang buruk Semua orang akan menganggapnya seorang pria tampan yang gila. Karena sesungguhnya, ia tidak berbicara pada siapa pun selain foto yang berada di samping bantalannya.

***

Pagi itu, di hari Minggu, Taylor mendapati tubuh Christopher yang panas. Suhu tubuhnya mencapai 35 derajat dan sebelumnya Christopher tak pernah sakit panas seperti ini. Terkutuk! Wajah anaknya pucat dan sialnya ia mendapati Christopher tertutupi selimut seperti pasta. Apa-apaan yang Justin lakukan tadi malam? Sungguh, jika ada sesuatu yang membuat anaknya harus diopname di rumah sakit, Taylor tidak akan segan-segan menyalahkan Justin. Seharusnya Christopher tak selelah kemarin dan harus tidur jam 8 malam. Tetapi baru kemarin Christopher terpaksa tertidur jam 9 malam, itu pun dalam perjalanan pulang.
Tentu saja Taylor menghubungi Java untuk meminta pertolongan dari pria itu. Sejauh ini, Java satu-satunya orang yang dapat Taylor percayai. Christopher terduduk di sisi tempat tidurnya dengan wajah lesu. Ia tidak bersemangat pagi itu dan ingin kembali tidur. Ia merasa mual dan tidak ingin melakukan apa pun selain memeluk perut Ibunya. Taylor dengan sikap tenangnya memasang jaket tebal di tubuh anaknya agar mereka bisa pergi ke rumah sakit untuk memeriksa keadaannya.
Saat anaknya sudah siap memakai perlengkapan, Taylor menggendong Christopher. Telinga Taylor mendengar suara larian dari tangga dan tepat di depan pintu kamar Christopher, Java datang dengan air wajah panik. Oh, apa yang terjadi dengan anak kecil kesayangannya? Christopher hanya terus memeluk leher Ibunya dan tidak berbalik untuk melihat siapa yang datang. Kepala Christopher pusing dan ia ingin menangis. Mengapa sakit sekali? Dan anak kecil tetaplah anak kecil. Christopher tak dapat menahan tangisannya sehingga ia merengek sampai matanya berair.
“Mommy, kepalaku sakit,” sungut menangis di sela-sela leher Taylor. Java mengangguk tegas pada Taylor, tanda mereka harus sesegera mungkin pergi ke rumah sakit.
“Ssh,” bisik Taylor di telinga Christopher, ia berusaha menenangkan anaknya dengan kata-kata manis. “Christopher, kau anak yang manis. Kau tidak boleh cengeng karena kau seorang laki-laki. Tetapi karena kau sedang sakit, kau boleh bersungut di leher Mommy. Tetapi jangan sampai orang asing mendengar tangisanmu. Kau ingin kita berdua diculik oleh orang asing?”
“Tidak, Mommy,” bisik Christopher memiringkan kepalanya ke sisi yang lain. Sehingga sekarang wajahnya tak lagi menghadap leher Taylor. Mereka baru sampai di lantai bawah dan Java sudah berada di luar rumah Taylor menuju mobil yang ia bawa dari rumahnya.
Bukan keinginan Christopher, tetapi anak kecil itu tiba-tiba saja muntah namun tidak mengotori baju bagian belakang Taylor. Ibunya semakin cemas namun wajahnya menunjukkan ketenangan. Kerutan di kening Taylor terlihat beberapa detik namun saat keluar dari rumah, ia memperlihatkan wajah tenangnya kembali. Ia tidak mempunyai waktu untuk membersihkan muntahan Christopher.
Ia mengunci pintu rumahnya lalu menuruni anak tangga. Java sudah membuka pintu bagian depan bagi Taylor. Mata Taylor tidak melihat ke arah Java, melainkan melihat ke arah pria yang berdiri di belakang mereka. Justin datang bersama dengan seorang wanita di sampingnya. Namun Taylor sudah masuk ke dalam mobil Java. Sekarang, bukan egonya yang harus ia pentingkan, melainkan kesehatan Christopher yang berharga.

***

Di rumah sakit itu, Taylor berusaha untuk menenangkan dirinya selama Justin berada di hadapannya bersama dengan wanita yang lebih cantik dibanding dirinya. Bukan suatu masalah besar bagi Taylor, apakah kekasih Justin cantik atau tidak. Taylor mencemaskan Christopher, begitu juga dengan dirinya. Tentu saja Taylor mencemaskan dirinya! Ia tidak ingin amarahnya tiba-tiba saja meledak di rumah sakit. Taylor tidak tahu kalau suster memintanya harus menunggu di luar ruang periksa. Ini tidak masuk akal bagi Taylor.
Di dalam sana, Christopher membutuhkannya! Mengapa suster bodoh itu tidak membiarkan Taylor masuk saja untuk menenangkan Christopher? Anak itu tidak pernah bertemu dengan dokter setelah ia menginjak umur 1 tahun. Java duduk di sebelah Taylor namun ia menyentuh wanita itu. Ia tahu bagaimana Taylor jika ia sedang cemas seperti ini meski raut wajah Taylor tidak memperlihatkan ekspresi apa pun selain ekspresi datar. Mereka berada di lorong, di dekat ruang periksa Christopher. Sementara Justin duduk di ujung lorong bersama dengan kekasihnya.
Omong kosong! Taylor mengerang dalam hati ketika ia melihat wajah Emma yang tampak sekali dibuat-buat khawatir. Dan entah mengapa Justin memperlakukan Emma sama seperti Justin memperlakukan Taylor dulu. Pria itu mengelus kedua bahu Emma dengan penuh perhatian dan memberikan kata-kata manis di telinga wanita itu agar Emma tenang. Sungguh, ini adalah omong kosong yang tak dapat Taylor terima. Taylor tidak dapat berpikir lebih jauh lagi bagaimana kelakuan Emma. Wanita itu berniat menemui Christopher mengenakan gaun ketat yang panjangnya hanya 3 inchi dari bokongnya. Apakah itu patut dilihat oleh Christopher?
Tanpa Taylor sadari, ia menyandar di bahu Java. Sudah beberapa menit dokter memeriksa Christopher namun dokter itu masih belum keluar. Oh, kumohon Tuhan, jangan timpakan anakku sesuatu yang sial, dia anak yang baik, mohon Taylor dalam hati. Dan Tuhan memang tidak menimpakan sesuatu yang sial bagi Christopher. Anak itu hanya terserang tifus sehingga ia perlu diopname beberapa hari di rumah sakit. Dokter keluar dari ruang periksa dan berbicara empat mata dengan Taylor di depan pintu ruang periksa. Kali ini Java dapat melihat raut wajah cemas dari Taylor. Dan Java tak sanggup melihat wanita itu harus cemas seperti ini.
“Kau boleh menemuinya sebelum memindahkannya ke ruang pasien,” ucap dokter ramah. Taylor mengangguk buru-buru dan berjalan masuk ke dalam ruang periksa.
Mata Justin bagaikan elang. Ia melihat Taylor masuk ke dalam ruang periksa dan tanpa berpikir lagi, ia bangkit dari kursi dan meninggalkan Emma di tempat. Bagaimana pun juga Justin tahu bahwa Christopher adalah anaknya. Dan sejauh ini, mengetahui Christopher sakit merupakan berita terburuk dalam hidupnya. Seakan-akan Justin sekarang berada dalam ambang kematian jika ia melihat Christopher harus terbaring di atas tempat tidur rumah sakit.
Java menahan tubuh Justin saat pria itu ingin masuk ke dalam ruang periksa. Sepertinya Java memiliki masalah yang sama seperti Justin memiliki masalah dengan Java. Mereka sudah membenci satu sama lain sejak Taylor masuk ke dalam kehidupan mereka. Sayangnya Java tidak pernah menang dalam perlombaan cinta ini. Taylor selalu memilih Justin dibanding Java yang selalu memberikan perhatian pada Taylor.
“Taylor tidak ingin kau mendekati anaknya,” ucap Java tegas. “Christopher sakit karena kau, Justin. Tentu saja Taylor tidak akan mengizinkanmu masuk ke dalam untuk melihat Christopher,”
“Hey, apa masalahmu jangkung? Aku Ayahnya dan aku punya hak untuk menemui Christopher. Sementara kau,” Justin memberikan tawa mengejek pada Java. “Kau hanyalah pria menyedihkan yang tidak akan pernah mendapatkan Taylor. Tadi malam kami berdua melewati malam terbaik,”
“Omong kosong,” ucap Java terdengar tak peduli, namun sebenarnya ucapan Justin cukup membuat Java penasaran apa yang mereka lakukan. Tidak mungkin Taylor bercinta dengannya! Taylor tak semurah itu. “Jangan mengubah topik pembicaraan, Almonde. Kenyataannya sekarang adalah Taylor tidak ingin kau menemui Christopher lagi. Kemarin adalah hari terakhirmu bersama-sama dengan Christopher. Sebentar lagi mereka akan menjadi milikku. Aku yang akan menjadi kepala keluarga. Nama belakang Christopher akan segera berubah menjadi Bulcher,”
“Pft! Kau bodoh atau apa? Kau pikir kau tidak tahu apa yang kaulakukan pada Christina ketika kau ditolak mentah-mentah oleh Taylor? Kau memerkosanya di lorong dekat apartemen Christina! Aku melihatnya dengan mata kepalaku..”
“Aku tidak memerkosanya, kau bajingan!” Bentak Java tertahan. Mata mereka berdua menyala-nyala penuh kebencian. “Ia menginginkannya. Ia menginginkanku. Sudahlah, kau hanya ingin membuatku terlihat lebih buruk darimu..”
“Java, kau itu menjijikan. Sungguh, aku tidak akan berbohong padamu. Aku tidak berusaha membuatmu terlihat lebih buruk dariku. Kau memang buruk. Hanya saja, Taylor belum mengetahui apa pun tentangmu. Maksudku, yang benar saja berhubungan badan di lorong gelap? Ah, y benar sekali, mungkin karena kau memiliki fantasi yang kauimpikan bersama Taylor namun sayangnya Taylor tidak menginginkannya,” ucap Justin menggeleng kepalanya sambil menggeleng kepala tak habis pikir jika ia mengingat Java memerkosa Christina yang malang. Christina sudah tenang di surga sana bersama Tuhan demi menyembunyikan kesalahan Java. Beberapa saat kemudian Justin berucap. “Yang ia lihat darimu hanyalah perhatianmu padanya, ia belum melihat Java sang pengacara yang selama ini ternyata pelaku dibalik kasus-kasus Taylor,” lanjut Justin mendesah dan menatap kasih pada Java. Namun Java tidak menggubris omong kosong Justin yang tak masuk akal.
“Justin, ada apa?” Suara lembut Emma datang dari belakang tubuh Justin. Java menatap wanita itu. Ah, wanita cantik. Java harus akui bahwa Justin memang pria bajingan yang pintar memilih kekasih cantik. Namun Justin tidak menjawab pertanyaan Emma. Ia ingin menemui Christopher.
“Aku..” ucapan Java terpotong karena ia harus menahan tawanya. Java mengusap wajahnya berkali-kali lalu ia tertawa mengejek. “Aku tidak habis pikir bahwa kau masih memiliki keberanian bertemu dengan Taylor padahal kau telah memiliki kekasih,”
“Kami tidak ingin bertemu dengan Taylor. Kami hanya ingin bertemu dengan Christopher,” balas Emma membantu Justin, tetapi sungguh, dari hati Justin paling dalam, Emma tidak sama sekali membantu Justin. Justru ia memperburuk keadaan. Dari ruang periksa, Taylor keluar dengan wajah datarnya. Ah, wanita itu tidak pintar berekspresi. Dan Taylor tidak cocok bermain film, well, mungkin ia cocok bermain di film psikopat.
Mata Taylor langsung tertuju pada Justin. Dan tidak sekalipun Taylor melirik ke belakang punggung Justin. Wanita itu tampak seperti iblis di belakang Justin dan Taylor berusaha menghindari pemandangan itu.
“Christopher ingin bertemu Justin,” ucap Taylor tenang. Mata Justin tidak menatap Taylor, tetapi pada Java yang berdiri dengan raut wajah tak percaya. Christopher ingin bertemu dengan Justin? Ibu dan anak sama saja, pikir Java. Seulas senyuman mengejek terpampang di wajah Justin ketika ia berjalan masuk ke dalam ruang periksa. Dan tentu saja, Java dan Emma tidak diizinkan masuk.

***

Christopher terbaring di atas tempat tidur, di ruang pasien. Ah, anak kecil periang itu tidak akan kelihatan lagi keceriaannya untuk beberapa hari ke depan. Tetapi semua orang menyayanginya berharap Christopher cepat keluar dari rumah sakit. Justin membayar seluruh tagihan rumah sakit, meski Taylor memintanya untuk tidak melakukan itu. Dan sampai sore itu, Justin belum memberitahu Christopher kalau ia harus pulang malam ini karena ada pekerjaan yang menunggunya di Los Angeles. Emma tak berhasil menemui Christopher karena Emma bukanlah keluarga Christopher. Lagi pula, siapa yang mengharapkan kedatangan Emma?
Taylor sedang disibukkan pekerjaan yang menumpuk. Ia terpaksa harus bekerja di rumah sakit dan sebentar lagi ia akan kedatangan tamu. Sementara Justin terus memerhatikan Christopher yang terlelap. Jadi seperti ini rasanya menjadi Ayah yang sangat khawatir dengan keadaan anaknya. Dan perasaan itu tidak sama sekali menyenangkan. Tadi siang Emma diantar pulang kembali ke hotel mereka dan Justin datang ke rumah sakit lagi. Posisi Justin berhadapan dengan Taylor yang duduk di lantai, di depan sofa yang berjarak kira-kira 3 meter dari tempat tidur Christopher. Tempat tidur dan meja sebagai pembatas di antara mereka. Pemandangan yang sama seperti dulu ketika mereka masih bersama. Jika Taylor sudah berhubungan dengan pekerjaan, dunianya akan berpisah dengan dunia nyata.
“Taylor, malam ini aku harus pulang,” ucap Justin membuka percakapan. Mereka tak berbicara setelah Justin kembali lagi ke rumah sakit. Dan inilah yang dimaksud Justin! Ia tak tahan dengan wanita yang mendiamkan atau mengabaikannya ketika ia sedang berbicara atau bertanya. Wanita itu berhenti menulis di kertas itu lalu melirik Justin dengan mata sayu.
“Kau pulang atau tidak pulang bukan urusanku lagi, bukan?” Tanya Taylor menjilat bibir bawahnya, kemudian ia kembali menunduk untuk menulis. Justin bersandar di kursinya dan ia mengembus nafas panjang.
“Bagaimana jika aku tidak pulang dan terus berada di sisi Christopher, apakah itu akan menjadi urusanmu?” Pertanyaan Justin tampaknya tak pernah tak memancing amarah Taylor. Namun Taylor bukanlah wanita yang menunjukkan amarahnya, ia memendamnya dan akan meledakkannya jika waktunya sudah tepat. Ia kembali mendongak.
“Tentu saja,” ucapnya pelan, tak ingin membangunkan Christopher. Ia melepaskan pulpen lalu melipat tangannya. “Apa pun yang berhubungan dengan Christopher akan berurusan denganku. Dan kusarankan, lebih baik kau pulang Justin karena Emma dan pekerjaanmu membutuhkanmu untuk segera diselesaikan.” lanjut Taylor menelan ludahnya. Melakukan percakapan dengan Justin membuat Taylor lapar. Ia ingin pergi mencari makanan tetapi ia tidak ingin meninggalkan Christopher bersama Justin. Apa pun yang tak dipikirkan orang lain bisa saja terjadi.
“Emma bukanlah wanita murahan seperti yang kaupikirkan,” ucap Justin menuduh Taylor. Kedua alis Taylor terangkat, tertarik karena ia telah membuat Justin tersinggung. Taylor mendesah dalam hati, jika Emma bukanlah wanita murahan, mengapa nada suara Justin terdengar tersinggung? Lucu sekali.
“Benarkah?” Pancing Taylor menjadi-jadi. Ia mengabaikan pekerjaannya dan naik ke atas sofa. “Ceritakan padaku tentangnya. Kuberikan waktu 5 menit, aku tidak ingin tertidur karena mendengarmu bercerita,” ucap Taylor sarkastik. Justin menarik nafas dalam-dalam, tangannya tanpa Justin sadari, memegang tangan Christopher yang hangat. Christopher yang malang! Seharusnya Christopher tidak sakit seperti ini. Justin cukup tersiksa sekarang. Ia menatap Taylor yang memerhatikannya.
“Emma wanita yang cantik. Ia seorang pegawai bank dan ia penyayang anak kecil. Maka dari itu ia ingin bertemu Christopher. Aku ingin menikahinya karena kurasa ia wanita yang tepat untukku, maksudku, kupikir kita berdua adalah pasangan serasi. Emma memiliki senyuman yang menawan, aku mengaguminya. Dan seksnya? Well, tidak sebaik dirimu tetapi cukup memuaskan. Tetapi itu tidak akan menjadi kendala bukan?”
“Tidak terdengar seperti kau mencintainya, tetapi terserah kau. Kuharap kalian menikah dan terus saling mencintai sampai Tuhan menjemput kalian. Namun aku sangat ragu Tuhan akan menjemputmu Justin,” ucap Taylor menggeleng kepala, raut wajahnya seolah-olah kasihan dengan nasib Justin.
“Justru kau harus ragu Tuhan akan menjemput Java. Pria itu tidak akan dijemput Tuhan ke rumahNya, tetapi akan dijemput oleh iblis di kematiannya. Kehidupan Java selanjutnya? Ia akan menjadi pasukan iblis,” ujar Justin membalas, ia tentu tak ingin kalah dari seorang pengacara seperti Taylor. Meski ia tahu peluang yang ia dapat 0,1 persen.
“Mengapa kau bisa berkata seperti itu Justin? Apa yang kau ketahui tentangnya sementara aku tidak tahu? Ia menceritakan segala rahasianya padaku karena ia memercayaiku. Maksudku, siapa kau berani berbicara seperti itu?” Tanya Taylor, namun nada suaranya tak meninggi. Ia masih menjaga emosinya. Salah satu paha Taylor bertumpu ke pahanya yang lain. Beruntung Taylor tak memakai rok pendeknya, ia memakai celana jins biru panjang.
“Tetapi pasti kau tidak tahu rahasianya yang satu ini,” ucap Justin tersenyum licik. Justin menegakkan cara duduknya, tangannya sudah terlepas dari tangan hangat Christopher lalu jari telunjuk tangan kirinya menunjuk Taylor. “Kau ingat Christina dan Glory?”
“Tentu saja. Mereka sahabatku dan Java,” ucap Taylor menyandarkan kepalanya ke telapak tangannya, siku-siku Taylor bersandar di sisi sandaran sofa. “Aku mendengarkan,”
“Kau tahu apa penyebab kematian mereka? Java memerkosa mereka tetapi seperti yang kau tahu, sahabat,” Justin memberikan tanda kutip. “Mereka bunuh diri karena pertama, mereka telah ternodai. Kedua, mereka tidak ingin Java menghadapi masalah besar dan Java terpaksa harus membunuh mereka agar mereka tutup mulut. Tetapi sayangnya, Java tidak memiliki kesempatan membunuh mereka karena mereka sudah ditemukan mati saat kau menangani kasus mereka. Benar?”
“Tidak,” ucap Taylor kali ini menarik nafas tajam, tanda ia gugup. “Itu tidak benar. Mereka tidak bunuh diri, tetapi mereka dibunuh mantan kekasih mereka. Kasus itu sudah ditutup dan mantan kekasih mereka telah masuk penjara,”
“Dan kemudian mereka keluar secepat itu? Wah, Taylor, orang baik hati mana yang ingin membayar tuntutan mereka dalam waktu singkat dan bebas begitu saja? Kurasa kau memenjarakan orang yang salah,”
“Kau bahkan tidak tahu apa yang kaubicarakan, Justin,” ucap Taylor mulai muak dengan pencemaran nama baik ini. Java tidak mungkin melakukan hal sekeji itu! Pria itu adalah pria terbaik dalam hidupnya (setelah Justin meninggalkannya). “Percakapan selesai.”
Taylor bangkit dari sofanya untuk mengambil air minum. Seorang suster tiba-tiba saja membuka pintu kamar Christopher. “Ms. Stalwart, Detektif Huntington dan Lyttle ingin menemui Anda,”
“Ya, katakan pada mereka aku akan segera keluar, terima kasih,” ucap Taylor berjalan menuju Christopher lalu mengelus kepala anaknya. Dalam hati ia membisikan doa agar Christopher cepat sembuh agar anak itu dapat bermanja-manja dalam pelukan Taylor.
“Well, sepertinya kalian akan membuka kasus Christina dan Glory lagi.” sahut Justin merusak suasana hati Taylor yang tenang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar