Rabu, 08 Oktober 2014

Beautiful Slave Prolog - Eleanor Hughes




ELEANOR HUGHES

Aku sering melihat pembunuhan.
Atau lebih tepatnya, orang mati yang terbunuh dilempar ke danau. Bagiku, pembunuhan sudah menjadi tontonan biasa yang tak perlu kuberitahu pada siapa pun. Tak aka nada yang ingin mendengar pembunuhan, orang menganggapnya sesuatu yang tabu dibicarakan. Dalam satu minggu, aku dapat melihat 5 orang yang menyeret-nyeret atau menggendong seorang yang telah mati. Bahkan seringnya, mata orang mati itu terbuka. Menatap kosong langit-langit atau bahkan menatapku tanpa arti karena sudah mati, tentu saja. Aku penasaran, apa yang orang mati itu lihat saat ia sebentar lagi akan dilempar ke danau? Yang jelas bukan dunia. Namun mulutku selalu terutup rapat. Lagi pula, pembunuhan sudah sering terjadi di Cardwell. Seolah-olah pembunuhan merupakan perbuatan biasa-biasa saja.
Mataku memerhatikan seorang pria bertopeng membawa orang mati di punggungnya dari sisi hutan yang lain. Darah menetes di ujung rambut orang mati itu, namun aku tak dapat melihat siapa yang mati dibunuh itu. Perhatianku kemudian jatuh pada dua orang yang mengikut dari belakang pria yang membopong orang mati itu sambil melihat ke sekitar namun tidak melihat ke daerah tempatku bersembunyi. Ilalang-ilalang yang menjulang tinggi ini selalu menutupi tubuhku atau jika aku ketahuan, aku pasti akan membaringkan tubuhku agar si pembunuh tak melihatku. Dan aku selalu lolos dari tangan dingin mereka. Entah mengapa Tuhan bisa begitu mencintaiku semenakjubkan itu.
Kejadiannya sama seperti pembunuhan yang lain. Pria bertopeng itu melempar orang mati itu ke danau yang selalu menjadi tempat pembuangan mayat. Aku tak pernah memberitahu siapa pun bahwa aku sering datang ke tempat ini hanya untuk menyendiri dan bersembunyi. Jika aku memberitahu siapa pun, mereka pasti akan mengira aku gila. Orang normal mana yang ingin mengunjungi tempat pembuangan mayat? Aku tak pernah mendekati danau berwarna hijau itu sekalipun. Ilalang-ilalang ini menjadi batasan tempatku bersembunyi namun melangkah lebih jauh? Aku tak pernah. Keberanianku hanya sampai batas melihat para pembunuh ini. Selebihnya, aku tak bisa.
Pria bertopeng itu mengatakan sesuatu pada dua orang di belakangnya kemudian dua orang itu berjalan meninggalkan pria bertopeng itu. Aku tak bergerak sama sekali. Karena aku tahu, jika aku bergerak maka tubuhku akan ditemukan mengambang di danau. Pria itu memiliki rambut rapi, ia memakai pakaian serba hitam dan sebuah pedang menggantung di samping pinggangnya. Pasti ia orang kaya. Pria itu melangkah sambil kepalanya menoleh ke segala arah, seolah-olah ia dapat mencium aroma manusia hidup. Dan manusia itu hanyalah aku.
Aku terpaku di tempat dan nafasku tertahan di dadaku. Kepalanya menoleh lurus tepat ke arahku. Aku dapat melihat matanya yang terselubung di topeng itu yang sekarang melihatku bersembunyi. Jadi aku memutuskan menundukkan kepala dan berharap pada Tuhan agar orang ini tidak mendatangiku lalu mematahkan leherku begitu saja. Aku dapat mendengar detak jantung yang berdebar-debar di telingaku. Mataku terpejam, menunggu beberapa saat, lalu terbuka kembali. Kuberanikan diriku mengangkat kepala, melihat apa orang itu sudah menghilang atau belum.
Aku mengembus nafas lega saat kulihat tidak ada seorang pun berdiri di sana. Aku bangkit dari dudukku lalu membersihkan gaun bagian bokongku agar Ayah tak perlu bertanya-tanya saat aku pulang. Terlebih lagi jika Ibu yang melihat bokongku kotor, ia pasti akan sangat menceramahiku. Kakiku melangkah ke belakang, namun punggungku sudah menyentuh sesuatu atau seseorang. Kembali, aku terpaku ingin mati. Kupejamkan mataku lagi, jantungku kembali berdebar dan berharap agar berhenti berdetak. Bibirku gemetaran, kedua kakiku lemas, lalu kuberanikan diri untuk berbalik. Aku tahu yang berhadapan denganku adalah pria bertopeng itu. Dapat kurasakan hembusan nafasnya yang menerpa wajahku.
“Kumohon, jangan bunuh aku,” bisikku gemetar. Telapak tangannya menyentuh pipiku lalu mengelusnya dengan lembut. Di bawah sentuhannya, aku semakin gemetar dan hampir menangis. Jika ini memang akhir kehidupanku, kumohon sampaikan permintaanku terakhir ini; jangan jual kuda kesayanganku.
“Buka matamu, sayang,” pinta pria itu dengan suara lembut. Ibu jarinya menyentuh sudut bibirku lalu mengelusnya. Kulakukan apa yang ia minta. Ia masih mengenakan topengnya, tetapi aku dapat melihat warna matanya. Mata biru gelapnya berbanding terbalik dengan mata biru terangku. Seulas senyum manis dari bibirnya membuatku tak percaya bahwa ia nyata.
“Mata yang indah,” pujinya memberi seulas senyum pesona. Bibirnya tipis ketika ia tersenyum. Tetapi jantungku masih berdetak kencang meski senyumannya terlihat begitu memesona. Air mata mulai berkumpul di pelupuk mataku karena keberadaannya yang begitu mencekam dan menakutkan. Senyumnya menghilang.
“Jangan bunuh aku, Tuan. Aku tidak akan memberitahu siapa pun tentang ini. Aku berjanji,” ucapku memohon, namun bibirku bergemetar hebat. Pria itu terdiam lalu mengecup ringan pipiku.
“Berapa umurmu?” Tanyanya, tetapi kali ini ibu jarinya menyentuh bibir bawahku. Mengelusnya seolah-olah itu adalah sesuatu yang berharga. Sebisa mungkin aku menjawab pertanyaannya lalu aku menjawab lirih.
“14 tahun, Tuan,” jawabku menelan ludah. Pria itu terdiam sejenak. Dan aku berpikir, inilah saatnya. Inilah saat dimana aku akan bertemu Tuhan.
“Kau terlalu cantik untuk kubunuh, Nona. Kau boleh pergi.” Pria itu mengangkat tangannya dari pipiku. Baru saja aku ingin berlari, tangannya mencengkeram lenganku hingga aku meringis dan menyesal membisikkan ucapan berkat bagi pria ini. “Ini hanya di antara kita, saying. Kujanjikan kau, kita akan bertemu lagi.” Ia mengucapkannya penuh janji. Aku mengangguk layak orang bodoh sekaligus ketakutan akan dibunuh, lalu cengkeramannya lepas dari lenganku.
Dan seperti wanita yang hampir diperkosa, aku lari secepat yang kubisa. Pria itu tidak menahanku kali ini. Saat berlari, aku membisikan doa terima kasih. Semoga Tuhan memberkati pria itu. Aku masuk ke dalam hutan, tempat dimana aku menyimpan kudaku di sana agar ia tetap aman. Kuda putih itu masih tetap di tempatnya, membuatku bernafas lega. Siapa tahu saja dua pengikut pria bertopeng itu menemukan kudaku dan membunuhnya? Aku mungkin lebih mencintai kudaku dibanding pria-pria di luar sana yang berusaha menjadikanku istri mereka.
Segera aku berlari sambil mengangkat rok gaunku kemudian berusaha menaiki kuda putihku. Aku memegang pengekangnya lalu memukulnya dengan cambukan agar cepat berlari dari tempat.
Kudaku berlari agar kami keluar dari hutan. Mataku basah, tanpa kusadari aku menangis selama aku berlari. Jantungku masih berdegup kencang karena pria itu menyentuhku. Aku meminta Tuhan memberkatinya karena ia tidak membunuhku. Ironisnya, pria itu baru saja membunuh, jadi bagaimana bisa Tuhan memberkati pria itu?

***

Aku tidak pernah kembali ke tempat persembunyianku sejak saat itu. Kemungkinan besar, pria itu akan datang kembali ke sana. Tetapi ia tidak akan membiarkanku hidup. Sudah dua tahun aku tidak datang mengunjungi tempat itu dan aku merindukannya. Aku merindukan hiburan itu. Orang-orang mati yang dibawa ke sana lalu dilempar. Atau dua orang yang memutuskan berkelahi di sana dan siapa pun yang mati, sudah pasti akan dilempar di danau itu. Sekarang, hiburanku satu-satunya hanyalah pria yang sering mengajakku berjalan-jalan di sekitar kota Cardwell.
Ayahku membawa beberapa pria untuk dijadikan suami. Tetapi sebelum mereka menjadi suamiku, Ayah akan melihat bagaimana perilaku mereka selama aku dan pria-pria itu hanya menjadi sepasang kekasih. Sejauh ini dari 3 orang yang telah menjadi kekasihku, tidak ada seorang pun membuatku jatuh hati padanya. Umurku sudah menginjak 16 tahun dan seharusnya aku sudah menikah. Anak perempuan raja Cardwell baru-baru ini menikah padahal umurnya baru menginjak 12 tahun. Dan itu tidak membuatku heran atau malu terhadap diriku sendiri. Maksudku, anak perempuan raja? Siapa pun menginginkannya.
Seharusnya aku menemui kekasih baruku yang keempat. Aku penasaran dengan rupa pria itu seperti apa. Apakah ia tampan? Apakah ia seorang Duke? Tetapi tidak mungkin. Aku hanyalah anak prajurit kerajaan. Ayahku dua bulan terakhir ini sakit sehingga aku yang mengambil alih urusan rumah dan adik-adikku. Meninggalnya Ibu merupakan perubahan besar bagi Ayah dan diriku sendiri. Aku perlu merawat adik-adikku saat Ayah tidak ada di rumah. Untungnya, aku memiliki adik yang manis-manis—kecuali Isabel. Dan hari ini aku akan datang ke istana untuk membeli persediaan makanan beberapa minggu ke depan.
Cardwell sedang mengalami masa kelaparan. Musim kemarau ini membuat hewan-hewan sulit mendapat makanan sehingga mereka mati. Para peternak rugi besar, begitu juga para petani. Musim ini, air tidak begitu banyak mengalir di Cardwell. Bahkan kita terpaksa harus mandi di sungai karena air tak mengalir. Sebenarnya, kekasih-kekasihku sudah baik sekali memberikan kami persediaan makanan. Sebagian besar mereka bekerja sebagai mitra kerja di pelabuhan. Mereka tentu kaya, maka dari it Ayah membawakannya padaku. Dan tetang persediaan makanan yang selalu mereka berikan, aku tidak pernah memintanya, tetapi mereka yang memberinya. Dan mereka memberikannya bukan padaku, namun Ayahku.
10 pasang mata memerhatikanku sementara aku sedang memasang kantong-kantong di atas kuda untuk menyimpan persediaan makanan kami nanti. Dua adik perempuanku yang paling tua sepertinya tak terarik untuk membantuku.
“Tidakkah seharusnya kau membantuku, Isabel? Priscilla?” Tegurku menepuk leher kuda putihku. Kedua adikku akhirnya melangkah keluar dari teras rumah dan membantuku membereskan perlengkapan kami. Isabel memiliki rambut merah sementara Prisicilla berambut hitam. Ibu memiliki paras cantik dan yang membuatnya menakjubkan adalah rambutnya yang berwarna merah. Mereka hanya terlalu takut kulit mereka terbakar matahari. Padahal mereka memakai topi yang lebih lebar dari bahu mereka. Kudengar suara batuk dari dalam rumah. Aku mengangkat rok gaunku dan berlari masuk ke dalam rumah.
“Kakak?” Tiga adikku yang lain memanggil dengan suara khawatir.
“Kalian tunggu di sini,” perintahku tegas. Aku menutup pintu rumah saat sudah berada di dalam. “Ayah?”
“Eleanor,” panggil Ayahku dari dalam kamarnya. Kakiku melangkah lebih cepat lalu membuka pintu kamar Ayahku. Seorang pria tua terbaring lemas di atas tempat tidur. Pipinya tirus dan tubuhnya begitu kurus. Ayah memang sakit parah dan aku sudah memanggil tabib untuk menyembuhkannya. Ia sempat sembuh namun penyakitnya datang kembali. Dan itu membuatku sangat khawatir hingga rasanya pembuluh dariku tersumbat.
“Ya, Ayah?” Aku berlutut di samping tempat tidurnya. Tanganku memegang tangan Ayah yang dingin. Ia memejamkan matanya, bibirnya kering namun mulutnya terbuka.
“Jika raja meminta apa pun darimu, berikanlah. Tetapi Ayah yakin, raja tidak akan meminta apa pun darimu. Ia menyayangi rakyatnya,” ucap Ayahku yang memang selalu mengagumi sang raja. Namun kedengaran seperti omong kosong saat Ayah mengatakan bahwa raja menyayangi rakyatnya. Jika memang benar, mengapa Ayah tidak mendapatkan tanggungan perawatan dari kerajaannya meski Ayah hanyalah prajurit keraajan?
“Tentu saja, Ayah,” ucapku terpaksa setuju. “Aku dan adik-adik akan pergi ke istana. Isabel akan menjaga Ayah di sini,”
“Ya.. ya. Kau pergilah ke istana dengan selamat. Semoga Tuhan menyertaimu selama perjalanan, Eleanor.” Ayah mengelus belakang kepalaku dengan lembut. Aku mengangguk dan membisikan doa yang sama. Kuharap tidak ada orang yang berusaha merampok atau membunuh kami. Perjalanan menuju istana cukup jauh, dibutuhkan waktu 1 hari 1 malam untuk sama ke sana. Dan aku membawa adik-adikku ke sana, bahkan yang paling terkecil pun ikut denganku.
Aku bangkit. Kurapikan selimut yang menutup tubuh Ayahku dan mengecup pipi Ayahku. Kakiku melangkah keluar kamar. Telingaku mendengar suara Isabel yang tertawa kecil di depan rumah lalu suara seorang pria yang ikut terkekeh. Tiap langkah yang kuambil, aku bersumpah akan meninju pria itu jika ia menyakiti Isabel. Saat aku sampai di luar rumah, kulihat Isabel sedang bercakap-cakap dengan seorang pria bertubuh jangkung, rambutnya hitam ikal dan memakai pakaian serba hitam. Aku teringat akan pria bertopeng yang kutemui di tempat persembunyianku. Tetapi pria yang sedang menikmati waktunya dengan adikku tidak memiliki pedang di pinggangnya.
“Isabel!” Panggilku membuatnya terperanjat. Ia menoleh melihatku dengan wajah takut. Setelah Ibu meninggal, aku memiliki tanggungjawab merawat adik-adikku. Termasuk mengenai kekasih-kekasih mereka. Aku tidak ingin Ayahku khawatir di masa tuanya. Pria yang berdiri di samping kudaku ikut menatapku lalu ia melangkah lebih dulu dari Isabel lalu membungkuk.
“Nonaku,” ucapnya lalu menegakkan tubuhnya kembali. “Selamat siang, Nonaku,” lanjutnya memberi senyuman. Tidak, pria ini bukan pria yang kutemui di dekat danau itu. Rambutnya juga tidak ikal dan tidak berwarna hitam sepenuhnya.
“Eleanor, perkenalkan Andres Wrestling. Ia tinggal tak jauh dari sini. Dan baru saja membantuku membereskan perlengkapan keberangkatanmu,” ucap Isabel kelihatan tertarik dengan pria ini. Aku tidak suka pria ini, dari mana pun dia. Isabel tidak akan menikah dengannya. Jadi, aku tidak sama sekali mengindahkan ucapan Isabel atau pun sapaan Andres. Aku mengangkat tangan kananku, lalu menggerakan dua jariku, memanggil adik-adikku di belakang. Mereka tidak memanggilku atau melakukan sesuatu saat melihat Isabel dengan pria ini. Mereka hanya berdiri, menungguku menegur Isabel.
Aku menarik tali kekang kuda putihku untuk melangkah menjauh dari Andres. Adik laki-laki yang paling kecil berlari ke arahku lalu memanjat kuda sendiri. Kuambil sarung tangan di dalam kantong yang tergantung di antara kudaku lalu memasangnya di tangan. Mataku memerhatikan Andres yang sekarang tidak berani mengajak bicara adikku yang paling tua. Saat kutatap Andres tajam, pria itu mengangguk satu kali.
“Kurasa aku harus pergi.” Aku mengangguk setuju. “Nona-nona,” pamitnya membungkuk sebentar lalu berjalan meninggalkan kami semua. Isabel menatap Andres dengan tatapan kagum. Bahkan ia memainkan rambut merahnya seperti wanita genit.
“Kuharap kau menjaga sikapmu selama aku tidak berada di rumah Isabel. Ayah sakit, kau harus merawatnya sebaik mungkin. Saat aku pulang, kuharap Ayah sudah sembuh dan mataku tidak mendapati kau dengan pria itu lagi,” ucapku selesai memakai sarung tangan. Isabel membuat raut wajah jengkel, ia memutar bola mata lalu beranjak pergi dari tempatnya.
“Kau hanya cemburu!” Serunya tak seperti wanita Cardwell yang sopan. Aku juga mengabaikannya. Ia masuk dalam rumah dan menutup pintu. Aku mendongak melihat adikku, Lucas yang menatapku polos. Ia adikku yang paling tampan karena ia satu-satunya anak laki-laki dari 6 bersaudara. Aku anak pertama dan Isabel anak kedua yang menyukai banyak pria. Wajar saja, ia sudah berumur 14 tahun Prisicilla anak ketiga yang paling penurut, maka dari itu aku membawanya padahal ia masih berumur 12 tahun. Adikku setelah Priscilla masih berumur 10 tahun, namanya Elizabeth. Adikku perempuan yang terakhir bernama Sarah, ia masih 7 tahun dan pendiam. Dan yang terakhir, Lucas, masih berumur 5 tahun. Aku cukup gila membawa adik-adikku yang masih kecil ke istana dalam perjalanan yang memiliki banyak kemungkinan buruk.
“Priscilla, apa semuanya aman?” Tanyaku memastikan dan melangkah menuju kuda cokelatnya. Priscilla membawa Sarah, sementara Elizabeth menunggang kudanya sendiri. “Elizabeth?” Mereka berdua mengangguk. Aku tersenyum yakin lalu mengangkat rokku dan memanjat kuda.
“Mari kita membeli persediaan makanan,” ucapku menarik Lucas agar ia dapat bersandar padaku. “Maukah kau Lucas?”

***

            Banyak orang berbondong-bondong datang ke istana membeli persediaan orang-orang. Beberapa diantaranya berusaha menerobos tetapi prajurit istana membuat keadaan menjadi lebih tenang. Setelah antrian panjang berjam-jam, akhirnya kami bisa dapat masuk ke singgasana raja. Priscilla di sampingku tampak gugup, tidak seperti biasanya. Priscilla percaya diri sama sepertiku—meski seringnya aku pemalu. Elizabeth menyendiri di samping Lucas. Sarah berada dalam naungan Priscilla, sementara Lucas berada di sampingku. Tangannya yang kecil menggenggam tanganku. Sejak Ibu meninggal, Sarah memang menjadi penyendiri. Menggantikanku yang dulunya sering menyendiri, tetapi aku tak tahu dimana tempat biasa ia menyendiri.
            Kuperhatikan singgsana raja yang luas. Tiang-tiang tebal berdiri tegak di kedua sisi sepanjang singgasana. Patung-patung setengah pinggang berada di antara tiang-tiang, siapa pun yang memahatnya sudah pasti memiliki keahlian khusus. Tingkap-tingkap di atas kepala raja terbuka, tidak tertutup sama sekali sehingga membuat sinar matahari langsung mengenai kulit siapa pun yang ada di bawahnya. Dan raja tidak sama sekali tak terganggu akan kenyataan bahwa kulitnya akan terbakar jika ia melepas jubahnya yang besar.
Kulihat dua orang wanita cantik yang hanya mengenakan kain putih yang dililit di sekujur tubuhnya sedang mengipasi sang raja. Di samping raja, terdapat wanita yang luar biasa cantik dengan gaunnya yang mewah duduk dengan tenang. Dan aku sangat yakin, ia adalah Margaret Thaddeus yang melegenda. Menurut cerita yang kudengar, Margaret seorang biarawati di sebuah tempat terpencil—aku lupa nama tempat itu—dan dulu raja sempat mendatangi gereja di sana, tempat Margaret menjadi biarawati dan mengabdikan seluruh jiwanya pada Tuhan.
            Raja tentu tidak akan setuju dengan fakta itu. Ia tidak ingin Margaret menjadi milik Tuhan sepenuhnya. Melihat kecantikan Margaret yang tersembunyi itu membuat raja gila! Bagaimana mungkin seorang wanita secantik itu harus terbalut dalam pakaian yang tak menunjukkan kecantikan sepenuhnya? Raja memanggil Margaret untuk ikut dengannya ke istana dan tidak ada yang dapat menahan sang raja. Semuanya terjadi begitu cepat. Margaret menjadi kesayangan raja. Ia dibuai dengan kasih sayang dan hal-hal yang menyenangkan. Margaret menjadi ratu kemudian hari dan melahirkan anak-anak yang sah bagi raja. Dan paduan kecantikan dan ketampanan yang dimiliki mereka berdua menghasilkan kesempurnaan yang sulit diterima menjadi kenyataan.
            Namun kecantikan itu hanya bertahan 20 tahun yang lalu. Mungkin Tuhan tidak senang Margaret direbut dariNya oleh raja Cardwell. Tetapi itu bukan urusanku. Tanpa kusadari, hanya aku dan Lucas yang belum melangkah mendekat. Seorang prajurit menepuk pundakku, berbisik agar aku cepat berjalan. Sekarang aku merasa begitu bodoh! Aku berjalan sementara Priscilla dan adikku yang lain sudah hampir sampai di depan sang raja. Mataku jatuh pada pria muda yang duduk di sebelah Margaret. Belum sempat aku mengaguminya, sang raja sudah berseru ramah pada adikku, Sarah yang paling kecil. Ia bangkit dari tahtanya sehingga juga merahnya yang besar itu terseret-seret saat ia menuruni anak tangga dan membungkuk untuk menyentuh wajah adikku. Aku membungkuk bersama Lucas, member penghormatan pada sang raja saat sudah ada di hadapannya.
            Kulihat cengkeraman tangan Priscilla mengerat di bahu Sarah. Bagaimana tidak? Sarah adik perempuan kami yang paling kecil dan Ibu sudah berpesan pada kami untuk merawatnya sebaik mungkin. Sarah dan Lucas tidak dapat merasakan kasih sayang Ibu sebanyak yang kami terima. Dan menjaga Sarah merupakan kewajibanku, Isabel dan Priscilla. Raja bertanya apa yang kami inginkan dan Priscilla dengan percaya diri memberitahu apa yang kami inginkan.
            “Clement, berikan apa yang mereka minta!” Perintah raja tanpa sekalipun menatap pria yang berdiri tegap di sampingnya. Clement mengangguk lalu bertepuk tangan dua kali dan para prajurit segera menghambur begitu saja. Mungkin mengambil kebutuhan kami. “Siapakah nama adik kecilmu yang cantik ini?” Tanya raja menyentuh dagu Sarah yang mungil.
            “Sarah.” Aku menjawabnya. Suaraku tegas meski darahku bergemuruh di seluruh tubuh. Mahkota raja mengkilap begitu memantulkan cahaya dari matahari pada mataku membuatku silau. Raja mendongak, ia memandangku lalu tersenyum. Wajahnya sudah tua, memiliki janggut halus di sekitar dagu dan rahangnya. Entah mengapa melihat senyumannya, ia memiliki arti tersendiri yang tak dapat kutebak. Raja Gregory dikenal sebagai pecinta wanita dan ulung di atas ranjang. Tak diragukan lagi. Banyak anak haramnya yang berkeliaran di kota Cardwell. Aku tak menyukainya.
            “Nama yang cantik,” pujinya menarik diri dari Sarah lalu kembail naik ke atas tahtanya, duduk di sana. Mataku terus menatapnya lalu jatuh pada pria yang duduk di sebelah Margaret. Bukan raja, tapi anak sulung mereka. Tidak, tidak, tidak. Mengapa ia bisa begitu tampan? Matanya tampak seperti air sungai jernih di bawah sinar matahari, tidak ada yang pernah seindah itu. Rahang bawahnya yang keras membuktikan bahwa ia adalah pria jantan. Dan caranya duduk tegak di kursinya membuatku sangat yakin, ia pria yang percaya diri. Saat mata kami bertemu, aku memalingkan pandanganku darinya.
           “Yang Mulia,” suara berat, pria itu berbicara. “Aku harus bertemu seseorang sekarang.” Secara tidak langsung, pria itu meminta izin agar segera lenyap dari hadapanku.
            “Miguel,” ucap sang raja menyebut namanya. Miguel. Miguel Thaddeus. “Bagaimana jika kau tetap di sini sampai para gadis-gadis dan anak laki-laki ini meninggalkan kita? Tidak sopan pergi dari hadapan rakyat saat mereka membutuhkan kita. Kau penerusku.”
            Pangeran Miguel hanya terdiam di tempat. Tidak sepatah kata pun keluar dari mulutnya yang indah padahal aku ingin mendengar suaranya lebih lama lagi. Ia menyampaikannya seolah-olah sedang bernyanyi di telingaku. Banyak penyanyi yang memiliki suara merdu, tapi tidak ada yang bisa membuatku ketagihan seperti ini selain pangeran Miguel. Aku tahu pasti, ini adalah pertemuan pertama dan terakhir kami. Pemikirkan konyolku seharusnya kusingkirkan.
            Prajurit-prajurit tadi kembali bersama Clement.
“Semua persediaan makanannya sudah kami tempatkan di kudamu, Nonaku,” ujar Clement sopan. Raja tidak mengatakan apa-apa saat Priscilla mengucapkan kata terima kasih. Tetapi pangeran Miguel mengangguk ramah pada adikku. Matanya terangkat, bertemu dengan mataku lagi. Aku dan adik-adikku membungkukkan tubuh namun kepalaku terus terangkat, menatap lurus padanya. Priscilla membayar persediaan makanan kami pada Clement lalu kami beranjak dari tempat. Baru saja kami mengambil beberapa langkah keluar, tiba-tiba raja memanggil.
            “Eleanor,” panggilnya. Ia tahu namaku padahal aku belum memperkenalkan diri. Ya, aku tahu aku tidak sopan, tapi aku yakin Priscilla sudah memperkenalkan kami semua saat tadi aku terlalu sibuk dengan pikiranku. Aku berbalik dan melangkah sendirian menuju sang raja.
            “Ya, Yang Mulia?”
          “Apakah Ayahmu yang bernama Henry Hughes?” Tanya raja membuatku terkejut. Oh, dia tahu siapa Ayahku? Cukup mengesankan. Aku mengangguk dan bergumam. “Katakan pada Ayahmu, aku menginginkan Sarah.”
Saat itu juga, aku sangat membencinya.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar