Senin, 14 April 2014

A Beautiful Nightmare Bab 10



CHAPTER TEN

LAURA HARE

            Penglihatanku sudah kembali normal. Selama tiga hari aku tidak bisa melihat dan dibawa ke rumah sakit, dokter bilang aku hanya tidak bisa melihat sementara waktu. Aku panik saat itu. Tanganku memegang erat lengan Justin, ketakutan dan tidak tahu harus melakukan apa. Tapi ia menenangkanku. Ia membawaku pulang ke rumah orangtuanya lalu membaringkanku ke atas tempat tidur, memelukku erat di atas ranjang. Semuanya tampak baik-baik saja. Lily masuk rumah sakit lagi. Ia tidak bisa berada di luar lingkungan yang tidak bersih. Kami sudah satu minggu berada di Kanada. Dua hari lagi adalah malam natal. Oh, malam natal kali ini akan terasa sangat berbeda. Kali ini aku bisa merayakan natal bersama dengan salah satu keluarga teman dekat—kurasa itu panggilan yang cocok untuk Justin—di rumahnya atau di rumah sakit. Aku tidak yakin. Justin sedang berkutat bersama dengan laptopnya. Tidak bisakah hanya sehari saja ia tidak menyentuh benda itu? Ia benar-benar tidak bisa melepaskan dirinya dari laptop! Aku muak melihatnya terus bekerja. Tidakkah ia sadar bahwa aku kesepian di rumahnya? Hanya dia yang benar-benar kukenal.
            Aku bangkit dari tempat tidur untuk menghampiri Justin yang berada di atas sofa kamar. Tanpa ada sopan santun, tanganku menutup laptopnya lalu mengambil laptopnya itu dari atas pahanya lalu menempatkan laptop itu ke sebelahnya. Ia menggumamkan kata kotor dengan raut wajah tidak terima.
            “Bisakah kita berbaring di atas tempat tidur sebentar?” Omong-omong aku memang ingin melakukan sesuatu. “Aku akan menyalakan lagu sebentar,” ucapku menjauhi lalu mengambil sebuah remote. Remote pemutar lagu di kamar Justin. Kuputar lagu Bruce Springteen. Lagu kesukaanku dan Justin, yang membuatku menari bersama dengan Justin. Lagu itu refleks membuatku menggoyangkan pinggul dan mengangkat kedua tanganku di udara. Kupejamkan mataku untuk menikmati suara dari Bruce yang benar-benar enak didengar. Baru beberapa detik lagu ini terputar, kurasakan tangan Justin yang menyentuh pinggulku.
            “Well, kau menang,” bisik Justin mengecup leherku. Aku memberikan akses yang lebih padanya, jadi aku memiringkan kepalaku. Bibir terus mencium leherku hingga aku benar-benar mendesah. Kakiku melemas dan tidak, aku tidak bisa lama-lama berdiri. Langsung saja aku memutarbalikkan tubuhku lalu mendorong tubuh Justin ke atas tempat tidur. Lagu itu masih mengiringi kami jadi aku masih menggerakkan pinggulku. Justin tertawa saat aku merangkak naik, mengangkangi perutku yang keras itu. Lagu itu cepat sekali habis, namun kembali terputar. Kugunakan remote sebagai microphone untukku.
            Got a wife and kids in Baltimore Jack. I went out for a ride and I never went back!” Aku bernyanyi tanpa peduli apa suaraku bagus atau tidak. Justin langsung meraih remote itu dari tanganku, dan mematikan lagunya. Sedetik setelah ia melempar remote itu, ia menarik kepalaku dan mengecup bibirku tergesa-gesa. Mau tak mau aku membalas ciumannya. Ia benar-benar agresif sekarang. Tangannya menelusuri punggungku dan menarik kaosku ke atas sehingga kulit telapak tanganna mengelus punggung telanjangku. Aku mendesah dan bergetar di bawah sentuhannya. Tanpa berpikir panjang, ia memutar tubuhku sehingga aku berada di bawah tubuhnya sekarang.
            “Kau mau melakukannya, huh? Kau mau melakukannya?” Tanya Justin menarik paksa pakaianku agar lepas dari tubuhku. Aku mengangguk. “Aku tidak mendengar apa-apa, sayang. Jawab aku. Aku menginginkannya?” Tanya Justin mulai membuka kaos hitam yang ia pakai. Sekarang aku bisa melihat pemandangan yang benar-benar menggiurkan. Tubuhnya benar-benar atletis dan rasanya aku ingin menjilati setiap inchinya.
            “Ya.” Dia menyergap tubuhku begitu saja. Mungkin malam ini aku akan kelelahan!


***


            Untungnya, Justin masih memakai otaknya untuk memakai pengaman tadi malam. Pagi ini tubuhku benar-benar tidak dapat digerakkan. Aku lelah karena tadi malam Justin tidak henti-hentinya bermain denganku sampai subuh. Sejujurnya, aku memang menyukai permainan tadi malam. Kali ini ia tidak beranjak dariku. Tidak mengabaikanku seperti pertama kali kami berhubungan badan. Aku tersenyum miring mengingat betapa nikmatnya tadi malam. Ya Tuhan, benarkah aku melakukan itu bersama dengannya? Hatiku berdegup kencang, mataku terpejam, bayang-bayang itu kembali muncul. Tangannya yang meremas buah dadaku lalu mengelus paha dalamku, sangat merangsang. Kepalaku menoleh ke sebelah kanan, melihat Justin yang masih terlelap tengkurap dengan mulut yang sedikit terbuka. Aku menggeser tubuhku agar lebih dekat dengannya lalu kakiku bertumpu di atas kakinya. Tanganku memeluk punggungnya, merasakan betapa hangat tubuhnya. Aku menggigit bibirku, kagum dengan mahluk yang ada di hadapanku. Bahkan aku masih menerka-nerka, apakah ia benar-benar manusia? Ia seperti dewa. Dewa Ketampanan. Oke, aku hanya mengada-ada.  Tanganku mulai menelusuri punggungnya dari bawah, lalu ke atas hingga menyentuh lehernya. Jari-jariku kumainkan dalam rambutnya, sangat lembut dan harum.
            Senyumanku mengembang ketika Justin mengerjap-kerjapkan matanya berkali-kali. Mata cokelat madu itu akhirnya terlihat. Oh, sangat bening. Justin menutup mulutnya begitu saja lalu salah satu tangan mengucek-ucek mata. Rasanya aku ingin tertawa melihat Justin yang manis.
            “Selamat pagi,” ucapku mengelus pipinya. Ia tersenyum lalu menarik wajah dan mengecup bibirku. “Balasan yang menarik,” aku berkomentar. Justin tertawa lalu tangannya mulai bertumpu pada pinggangku yang telanjang. Selimut ini benar-benar menutupi tubuh kami. Jika pintu kamar Justin tidak dikunci, mungkin dari tadi, ibu atau ayah Justin sudah masuk dan pingsan di tempatnya. Justin memejamkan matanya untuk beberapa saat lalu mengembuskan nafas panjang.
            “Aku rasa kita harus datang ke rumah sakit hari ini. Menemani Lily. Aku kuatir ada sesuatu yang akan terjadi padanya,” ucap Justin membuka mata. Aku mengangguk setuju. Tanpa berkata apa-apa, aku menarik tubuhku dari Justin lalu menarik selimut yang menutupi tubuh kami berdua. “Tidak perlu menutup tubuhmu seperti itu. Kita bisa mandi bersama,” tukas Justin tiba-tiba menarik selimutku hingga aku menjerit malu. Refleks aku menutupi bagian terlarangku dengan tangan. Satu di bawah dan seluruh lengan menutupi buah dada. Ya Tuhan, apa aku benar-benar telanjang di dalam kamar dan ada seseorang yang menatapiku? Dan yang menatapiku yang tidak lain dan tidak bukan adalah Justin Herich? Justin tertawa melihatku. Ia bangkit dari tempat tidur, ia sudah memakai boxernya. Hei, itu tidak adil!
            “Justin, kau benar-benar tidak adil—“
            “Jangan buat aku menyetubuhimu di dalam kamar mandi,” ucap Justin mendorong kedua pundakku. Mulutnya sudah menyumpal mulutku. Ia melumat bibirku dengan lembut. Tidak bisa. Aku tidak bisa menolak godaan ini. Bunyi cepakan bibir kami terdengar ketika kami telah masuk ke dalam kamar mandi. Ia menutup pintu dan menguncinya. Tanganku masih menutupi bagian-bagian terlarangku.
            “Oh ya Tuhan, Justin!” Jeritku tertahan ketika Justin menyalakan pancuran air hangat. Refleks aku memegang kedua siku-siku Justin karena takut terjatuh. Air hangat ini membuat seluruh otot-otot tubuhku melemas. Oh, rasanya sangat nyaman sekali. Aku mendongak, menatap Justin yang memerhatikanku dengan senyumnya. Oke, tapi keadaan ini benar-benar canggung. Berada di bawah pancuran, telanjang, memegang siku-siku seorang pria tampan di depanmu, dan dia sedang menatapimu sekarang. Lalu Justin terkekeh.
            “Kau sangat cantik,” ucap Justin meremas kedua pinggangku yang ia pegang. Aku mengerang tertahan ketika ia melakukan itu. Tidak sakit, hanya saja, aku tidak ingin kita berhubungan badan lagi di dalam kamar mandi. Aku tidak pernah mencobanya seumur hidupku dan aku memang tidak pernah berpikir untuk mencobanya.
            “Justin, kita harus cepat-cepat mandi. Aku ingin melihat Lily sekarang,” ucapku. Justin tertawa lalu ia memelukku, sekarang ia berada di bawah pancuran bersama denganku.
            “Kau memang yang perusak suasana romantis!” Ujar Justin jengkel denganku.
            “Itu keahlianku sejauh ini,” ucapku tertawa dan sedetik kemudian aku mendesah ketika Justin mulai menggigit leherku, merangsangku.


***


            Keadaan Lily semakin memburuk selama dua hari terakhir ini, aku jadi kuatir. Ia belum bangun dari tidurnya pagi ini. Justin terduduk di sebelah ranjang Lily sambil memegang tangan mungil Lily. Dapat kulihat Justin benar-benar kuatir dengan keadaan Lily, begitupun aku. Sebelumnya, aku tidak pernah mendengar Lily tidak terbangun selama lebih dari 24 jam. Natal ini tidak akan spesial jika Lily tidak bangun dari tidurnya. Orangtua Justin memberitahu padaku bahwa Lily sangat menyukai natal. Kata Lily, ia mendapat banyak kado dari ayahnya, kakek, nenek dan para suster di rumah sakit. Aku memiringkan kepalaku ke samping, melipat bibirku ke dalam lalu menggigit bibir bagian dalam. Apa yang harus kubelikan untuk Lily dan apa kesukaannya? Omong-omong, Justin memang telah memberikan salah satu kartu kreditnya untukku selama aku berada di Kanada. Ia berpikir, mungkin dengan memberikanku kartunya tidak akan membuatku nekat pergi ke Amerika. Tentu saja. Aku tidak memiliki paspor untuk kembali ke Amerika.
            Gitarkah? Tidak mungkin aku memberikan seorang anak kecil sebuah gitar. Aku bingung. Aku membungkukkan tubuhku, kedua siku-sikuku bertumpu pada ujung lutut, tanganku menumpu dagu. Oh, aku benar-benar ingin memberi hadiah natal spesial untuk Lily tapi aku tidak tahu apa. Jari telunjukku menelusuri bibir dan menepuk-nepuk bibirku setelah beberapa detik.
            “Hei,” panggil Justin yang membuatku mendongak dari sofa. Kedua alisku langsung terangkat, memberikan raut wajah ‘apa?’ padanya. “Apa yang sedang kaupikirkan?” Tanyanya mengangkat kursinya dan menempatkannya di hadapanku. Langsung saja aku menegakkan tubuhku agar bisa melihatnya dengan jelas.
            “Menurutmu, hadiah apa yang cocok untuk Lily?” Tanyaku menyelonjorkan kakiku ke bawah kursi Justin. Raut wajah Justin langsung berubah, ia berpikir.
            “Lily senang puzzle. Kau bisa membelikannya sebuah puzzle jika kau mau. Hari ini kita bisa pergi membelinya. Malam ini malam natal, kau tahu,” ucapnya mengusap kedua telapak tangannya. Oh ya, benar sekali. Malam ini adalah malam natal. Berarti aku hanya memiliki waktu kurang dari 24 jam untuk membelikan Lily sebuah hadiah.
            “Kau benar. Apa kita akan pergi ke sekarang? Tapi Perry belum datang dari rumah. Kita tunggu dia sampai ia datang ke sini,” ucapku memberitahu Justin. Justin terkekeh pelan, ia menggeleng-gelengkan kepalanya seolah-olah apa yang kuucapkan adalah konyol. Apa yang salah? Jujur saja, Justin adalah manusia teraneh yang belum pernah kutemui sepanjang hidupku. Rekor yang bagus. Ia sekarang berada di urutan pertama dalam daftar Orang-Yang-Tidak-Akan-Kulupakan. “Apa? Apa yang lucu?” Tanyaku.
            Justin berhenti tertawa lalu ia menatap mataku. “Aku tidak bodoh, Laura. Aku tahu kita harus menunggu Perry datang. Apa kau pikir aku gila akan meninggalkan anak tunggal di sini?” Oh, ternyata. Aku mendesah menyetujui apa yang ia katakan. Tentu saja Justin tahu ia akan menunggu Perry. Mengapa aku terkesan lambat berpikir?
            “Well, aku punya rencana malam ini,” ucap Justin. Aku menatapnya. “Kita akan pergi ke pusat kota. Hanya kita berdua. Biasanya di sana diadakan acara berdansa bersama. Kau tahulah, Cium Aku di Bawah Mistletoe. Aku ingin kita ke sana,” jelas Justin yang berhasil membuat raut wajahku berubah menjadi jijik. Benarkah ia akan membawaku ke tempat itu? Bukan apa-apa, tapi aku memang tidak menyukai dansa atau hal-hal yang berbau romantis.
            “Jangan berikan aku wajah seperti itu,” tegur Justin. Aku langsung berhenti memberi wajah jijik.
            “Tapi Justin, kau tahu aku seperti apa. Tidak mungkin kita ke sana,” ucapku melipat tanganku di depan dada. Kuhempaskan tubuhku ke sandaran sofa dan membuang wajah dari Justin.
            “Kita harus ke sana.” Ucap Justin dengan tegas dan aku tahu, aku tidak bisa membantahnya. Tepat ketika ia mengembalikan kursinya ke tempat semula, Perry datang dengan tas besar berisi pakaian-pakaian Lily. Yeah, dia harus mengambil pakaian Lily yang bersih. “Tepat waktu. Ayo Laura.” Ajak Justin menarik tanganku keluar dari kamar Lily.


***


            Aku sudah membeli beberapa puzzle untuk Lily. Bergambar Santa Claus, Hello Kitty, dan masih banyak lagi. Kurasa ia akan kewalahan karena aku membelikan begitu banyak puzzle untuknya. Tidak apa-apalah, tapi aku membelikannya yang kerumitannya lebih susah dibanding yang dibelikan Justin. Kita akan melihat seberapa cepat Lily bisa menyelesaikan puzzle. Aku sudah membungkusnya dalam satu kotak hadiah dengan gambar pohon natal berwarna hijau bercampur dengan garis-garis berwarna merah. Dan Justin akan memberikan Lily sebuah gelang kaki dengan bungkusan berwarna merah muda. Aku memukul Justin ketika aku sadar bahwa Lily menyukai warna merah muda! Rasanya aku terkalahkan oleh Justin.
            Hadiah itu sudah berada di bawah pohon natal rumah orangtua Justin, kecuali gelang kaki yang dibelikan Justin, tentunya. Hadiah itu terlalu kecil namun sangat berharga. Hampir seharian kami berada di Mall hanya untuk mencari hadiah Lily. Rasanya kakiku ingin patah. Aku tidak terbiasa pergi ke Mall selama tadi. Dan malam ini aku harus pergi bersama Justin ke pusat kota untuk berdansa dan bla, bla, bla. Aku tidak suka dengan hal-hal seperti itu! Jika bukan Justin yang mengajakku, sudah pasti aku menolaknay mentah-mentah. Aku menarik retsleting gaun yang kupakai. Gaun yang memiliki potongan rok di atas lutut serta tidak memiliki lengan ini tampaknya benar-benar membuatku merasa daun pohon pisang dan melilitkannya pada tubuhku. Dan hanya dengan satu hentakan ke bawah, maka yang masih akan menempel di tubuhku hanyalah bra tanpa tali dan celana dalam. Bukankah itu hal yang menarik?
            Setelah membenarkan pakaianku, aku berdiri di depan cermin besar di hadapanku. Gaun ini memang pas denganku. Warnanya hitam polos. Kata Justin ini adalah warna kesukaannya. Tentu saja ia menyukai warna hitam. Bagaimana tidak? Sifatnya saja sudah terkesan gelap. Tapi buah dadaku. Justin lebih tinggi dariku, tentu saja jika ia menunduk untuk melihat wajahku, pasti penglihatannya akan teralihkan pada buah dadaku.
            Pintu kamar Justin terbuka. Aku langsung melihat Justin muncul dari pantulan cermin. Ia sudah siap. Memakai setelan berwarna hitam tanpa dasi. Oh, dia memang selalu terlihat tampan dalam pakaian apa pun. Aku membalas senyumnya ketika ia tersenyum padaku lalu ia berjalan mendekatiku.
            “Hai,” sapaku tanpa membalikkan tubuhku. Kami terus melakukan kontak mata dari pantulan cermin. Justin sudah berada di belakangku. Kedua tangannya sudah menyentuh pundakku, ia mengelusnya dengan lembut. “Sudah siap?” Tanyaku. Aku bahkan belum memakai sepatuku. Tanpa mengatakan sepatah katapun, Justin merogoh kantong celananya lalu ia mengeluarkan sebuah kalung. Ia mengenakannya pada leherku.
            “Sudah siap,” ucapnya tersenyum. “Kau tampak luar biasa dengan pakaian ini,” pujinya yang membuatku tersipu malu. Tanganku tanpa sadar sudah mengelus liontin berbentuk H. Matanya ikut tertuju pada liontin yang kupegang melalui cermin lalu ia berbisik, “Herich,” bisiknya. Oke seharusnya aku tahu bahwa ini adalah inisial dari namanya Cukup adil. Mungkin ia tidak ingin aku melupakannya jika kita berpisah nanti.
            “Aku harus memakai sepatuku,” ucapku membungkukkan tubuhku, menarik sepatu yang berada di depanku. Namun tangan Justin langsung mengambil salah satu sepatu itu dengan menyodorkannya pada kakiku. Ia memegang betisku agar aku bisa memakainya. “Sebenarya kau tidak perlu---“
            “Hanya membantu,” ucap Justin tanpa mau dibantah. Aku hanya mengikutinya. Sesekali telapak tangannya mengelus-elus betisku. Oh, apa yang sebenarnya ia lakukan? Ia mengenakan sepatuku yang lain sampai benar-benar terpasang. Lalu ia bangkit.
            “Terima kasih,” ucapku tersenyum.
            “Apa pun untuk melihatmu tersenyum.”


***

            Musik melankolis terputar mengiringi malam natal kami. Begitu banyak pasangan yang datang ke pusat kota hanya untuk berdansa bersama. Lagi pula, ini gratis, sederhana namun meriah. Aku suka. Baiklah, egoku memang besar. Kami sebenarnya tidak berdansa. Hanya berpelukan di tengah-tengah keramaian sambil menggerakkan kaki ke sana kemari. Kepalaku kusandarkan pada dada Justin, menghirup aroma harum dari tubuhnya. Tangannya melingkar di sekitar pinggangku, sangat posesif. Andaikan waktu bisa dihentikan, aku pasti akan menjadi wanita beruntung di dunia.
            “Aku tidak sabar untuk mistletoe di atas kita,” ucap Justin yang membuatku tertawa. Ya ampun, bisakah ia berhenti berpikir untuk menciumku? Aku hanya ingin menikmati pelukan ini. Pelukannya termasuk pelukan yang hangat, kau tahu. Aku senang berada dalam pelukannya. “Aku serius.”
            “Ya, tentu saja. Aku juga,” dustaku. Padahal aku tidak begitu menginginkan mistletoe berada di atas kepala kami. Namun ternyata keberuntungan jatuh pada Justin. Tiba-tiba saja dua orang pria berisik dengan aksen Kanada datang kepada kami. Aku langsung melepaskan pelukan kami.
            “Oh, lihatlah kalian berdua. Tampak sangat manis saat bersama. Tidak maukah kalian mistletoe ini berada di atas kepala kalian? Kami enyediakan fotografer untuk mengabadikan ciuman kalian di sini. Hanya 10 dolar satu foto, hanya butuh 5 menit untuk menunggunya di sana,” ucapnya pria bertubuh pendek serta sedikit gempal itu menunjuk pada salah satu toko kecil. Aku melirik Justin untuk melihat reaksinya. Ia terlihat ragu-ragu, namun ia malah menyetujuinya.
            “Baiklah,” ucap Justin. Pria bertubuh gempal itu yang memegang satu tangkai panjang itu dengan di ujungnya terdapat mistletoe dan lalu mengangkatnya ke atas kepala kami. Salah seorang fotografer yang berada di belakangnya langsung mengambil posisi yang tepat untuk mengambil foto kami. Tanpa berpikir panjang, Justin langsung meraup pipiku dan mengecup bibirku. Ia melesakkan lidahnya masuk ke dalam mulutku, mau tak mau kami mengadu lidah sana. Kami mengisap bibir satu sama lain. Mataku terpejam. Saat itu juga aku mendengar suara jepretan foto. Tangannya mulai mengelus leher telanjangku dengan lembut, aku mendesah. Saat itulah kami melepaskan ciuman ini.
            Pria gempal itu mengipas-kipas wajahnya dengan telapak tangannya dan memberikan suara kepanasan. “Ternyata malam ini sangat panas. Mari kita ambil foto kalian yang manis itu,” ucap pria gempal itu mengajak kami keluar dari kerumunan orang yang masih berdansa. Fotografer itu langsung melakukan halnya di depan komputer. Tangan Justin memegang pinggangku, seolah-olah ia takut aku akan pergi darinya. Mengapa ia begitu posesif? Aku mendongak, memerhatikan Justin yang tidak tersenyum. “Ada apa?” Bisikku kuatir. Ia menunduk dan langsung tersenyum melihatku.
            “Tidak ada. Memang kaupikir aku kenapa?” Tanyanya yang membuatku tidak tahu harus membalas apa. Aku hanya takut Justin marah padaku akan sesuatu yang kulakukan namun aku tidak tahu itu apa. Benar, ternyata hanya 5 menit. Dua foto berukurang sedang itu langsung diberikan pada kami.
            “Tapi kita hanya meminta satu foto,” ucapku menggeleng kepala. Pria gempal itu tertawa lalu ia mendesah. “Ada apa?”
            “Aku melihat kalian benar-benar jatuh cinta di malam natal ini. Satu foto bonus untuk kalian, gratis,” ucap pria gempal itu terdengar memaksa kami untuk menerima fotonya. Justin tidak mengatakan apa-apa, ia mengeluarkan beberapa lembar uang dolar dan memberikannya pada pria gempal itu. “Oh, tidak, tuan. Ini terlalu banyak. Hanya 5 dolar,”
            “Tidak apa-apa. Tip untuk kalian,” ucap Justin menaruh uang itu ke atas meja komputer mereka. Raut wajah pria gempal itu merasa tidak enak namun sepertinya Justin tidak peduli. Justin malah langsung mengambil foto itu dari tangan pria gempal dan menggumamkan kata terima kasih.
            “Terima kasih,” bisikku. Ia mengangguk.
            “Semoga cinta kalian tidak akan pudar sampai maut menjemput kalian!” Teriak pria gempal itu yang membuatku menoleh ke belakang. Namun ia menghilang begitu saja karena kerumunan orang yang menari-nari itu. Justin terus menarik tanganku, meninggalkan pusat kota. Kami berjalan menuju parkiran mobil Justin tadi. Saat berada di dalam mobil, Justin tidak melakukan apa pun. Tidak menyalakan mobil atau mengatakan sepatah kata pun. Ia mulai mengangkat dua foto yang kami terima tadi ke atas setir mobil. Kuperhatikan wajahnya dan senyum mulai muncul di sana.
            “Orang gila,” ucap Justin. “Tapi dia benar,” lanjut Justin memerhatikan foto kami. Tidak ada pria gempal di foto itu. Hanya kami berdua yang di belakangnya terdapat orang-orang yang menari. Sebuah mistletoe berada di atas kepala kami dan kami sedang berciuman. Kami yang paling bersinar di sana.
            “Aku akan menyimpan yang ini,” ucapku mengambil salah satu foto di tangan Justin.
            “Dua-duanya sama saja,” komentarnya terkekeh. Aku tidak peduli. Ponsel Justin berdering begitu saja ketika ia sedang menertawaiku. Air wajahnya langsung berubah menjadi kuatir. Ia mengambil ponsel yang berada di dalam kantong jas dalamnya lalu melihat layar ponselnya.
            “Perry,” ucapnya menerima panggilan itu. “Ada apa Perry?” Baru beberapa detik ia mengangkat panggilan itu, ia langsung menggumamkan kata kotor. Apa yang terjadi pada Lily? Seketika itu juga aku takut ada sesuatu yang terjadi pada Lily. Mobil langsung melaju cepat meninggalkan pusat kota.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar