CHAPTER TEN
LAURA
HARE
Penglihatanku
sudah kembali normal. Selama tiga hari aku tidak bisa melihat dan dibawa ke
rumah sakit, dokter bilang aku hanya tidak bisa melihat sementara waktu. Aku
panik saat itu. Tanganku memegang erat lengan Justin, ketakutan dan tidak tahu
harus melakukan apa. Tapi ia menenangkanku. Ia membawaku pulang ke rumah
orangtuanya lalu membaringkanku ke atas tempat tidur, memelukku erat di atas
ranjang. Semuanya tampak baik-baik saja. Lily masuk rumah sakit lagi. Ia tidak
bisa berada di luar lingkungan yang tidak bersih. Kami sudah satu minggu berada
di Kanada. Dua hari lagi adalah malam natal. Oh, malam natal kali ini akan
terasa sangat berbeda. Kali ini aku bisa merayakan natal bersama dengan salah
satu keluarga teman dekat—kurasa itu
panggilan yang cocok untuk Justin—di rumahnya atau di rumah sakit. Aku tidak
yakin. Justin sedang berkutat bersama dengan laptopnya. Tidak bisakah hanya
sehari saja ia tidak menyentuh benda itu? Ia benar-benar tidak bisa melepaskan
dirinya dari laptop! Aku muak melihatnya terus bekerja. Tidakkah ia sadar bahwa
aku kesepian di rumahnya? Hanya dia yang benar-benar kukenal.
Aku
bangkit dari tempat tidur untuk menghampiri Justin yang berada di atas sofa
kamar. Tanpa ada sopan santun, tanganku menutup laptopnya lalu mengambil laptopnya
itu dari atas pahanya lalu menempatkan laptop itu ke sebelahnya. Ia
menggumamkan kata kotor dengan raut wajah tidak terima.
“Bisakah
kita berbaring di atas tempat tidur sebentar?” Omong-omong aku memang ingin
melakukan sesuatu. “Aku akan menyalakan lagu sebentar,” ucapku menjauhi lalu
mengambil sebuah remote. Remote pemutar lagu di kamar Justin. Kuputar lagu
Bruce Springteen. Lagu kesukaanku dan Justin, yang membuatku menari bersama
dengan Justin. Lagu itu refleks membuatku menggoyangkan pinggul dan mengangkat
kedua tanganku di udara. Kupejamkan mataku untuk menikmati suara dari Bruce
yang benar-benar enak didengar. Baru beberapa detik lagu ini terputar,
kurasakan tangan Justin yang menyentuh pinggulku.
“Well,
kau menang,” bisik Justin mengecup leherku. Aku memberikan akses yang lebih
padanya, jadi aku memiringkan kepalaku. Bibir terus mencium leherku hingga aku
benar-benar mendesah. Kakiku melemas dan tidak, aku tidak bisa lama-lama
berdiri. Langsung saja aku memutarbalikkan tubuhku lalu mendorong tubuh Justin
ke atas tempat tidur. Lagu itu masih mengiringi kami jadi aku masih
menggerakkan pinggulku. Justin tertawa saat aku merangkak naik, mengangkangi
perutku yang keras itu. Lagu itu cepat sekali habis, namun kembali terputar.
Kugunakan remote sebagai microphone untukku.
“Got a wife and kids in Baltimore Jack. I
went out for a ride and I never went back!” Aku bernyanyi tanpa peduli apa
suaraku bagus atau tidak. Justin langsung meraih remote itu dari tanganku, dan
mematikan lagunya. Sedetik setelah ia melempar remote itu, ia menarik kepalaku
dan mengecup bibirku tergesa-gesa. Mau tak mau aku membalas ciumannya. Ia
benar-benar agresif sekarang. Tangannya menelusuri punggungku dan menarik
kaosku ke atas sehingga kulit telapak tanganna mengelus punggung telanjangku.
Aku mendesah dan bergetar di bawah sentuhannya. Tanpa berpikir panjang, ia
memutar tubuhku sehingga aku berada di bawah tubuhnya sekarang.
“Kau
mau melakukannya, huh? Kau mau melakukannya?” Tanya Justin menarik paksa
pakaianku agar lepas dari tubuhku. Aku mengangguk. “Aku tidak mendengar
apa-apa, sayang. Jawab aku. Aku menginginkannya?” Tanya Justin mulai membuka
kaos hitam yang ia pakai. Sekarang aku bisa melihat pemandangan yang
benar-benar menggiurkan. Tubuhnya benar-benar atletis dan rasanya aku ingin
menjilati setiap inchinya.
“Ya.”
Dia menyergap tubuhku begitu saja. Mungkin malam ini aku akan kelelahan!
***
Untungnya,
Justin masih memakai otaknya untuk memakai pengaman tadi malam. Pagi ini
tubuhku benar-benar tidak dapat digerakkan. Aku lelah karena tadi malam Justin
tidak henti-hentinya bermain denganku sampai subuh. Sejujurnya, aku memang
menyukai permainan tadi malam. Kali ini ia tidak beranjak dariku. Tidak
mengabaikanku seperti pertama kali kami berhubungan badan. Aku tersenyum miring
mengingat betapa nikmatnya tadi malam. Ya Tuhan, benarkah aku melakukan itu
bersama dengannya? Hatiku berdegup kencang, mataku terpejam, bayang-bayang itu
kembali muncul. Tangannya yang meremas buah dadaku lalu mengelus paha dalamku,
sangat merangsang. Kepalaku menoleh ke sebelah kanan, melihat Justin yang masih
terlelap tengkurap dengan mulut yang sedikit terbuka. Aku menggeser tubuhku
agar lebih dekat dengannya lalu kakiku bertumpu di atas kakinya. Tanganku
memeluk punggungnya, merasakan betapa hangat tubuhnya. Aku menggigit bibirku,
kagum dengan mahluk yang ada di
hadapanku. Bahkan aku masih menerka-nerka, apakah ia benar-benar manusia? Ia
seperti dewa. Dewa Ketampanan. Oke, aku hanya mengada-ada. Tanganku mulai menelusuri punggungnya dari
bawah, lalu ke atas hingga menyentuh lehernya. Jari-jariku kumainkan dalam
rambutnya, sangat lembut dan harum.
Senyumanku
mengembang ketika Justin mengerjap-kerjapkan matanya berkali-kali. Mata cokelat
madu itu akhirnya terlihat. Oh, sangat bening. Justin menutup mulutnya begitu
saja lalu salah satu tangan mengucek-ucek mata. Rasanya aku ingin tertawa
melihat Justin yang manis.
“Selamat
pagi,” ucapku mengelus pipinya. Ia tersenyum lalu menarik wajah dan mengecup
bibirku. “Balasan yang menarik,” aku berkomentar. Justin tertawa lalu tangannya
mulai bertumpu pada pinggangku yang telanjang. Selimut ini benar-benar menutupi
tubuh kami. Jika pintu kamar Justin tidak dikunci, mungkin dari tadi, ibu atau
ayah Justin sudah masuk dan pingsan di tempatnya. Justin memejamkan matanya
untuk beberapa saat lalu mengembuskan nafas panjang.
“Aku
rasa kita harus datang ke rumah sakit hari ini. Menemani Lily. Aku kuatir ada
sesuatu yang akan terjadi padanya,” ucap Justin membuka mata. Aku mengangguk
setuju. Tanpa berkata apa-apa, aku menarik tubuhku dari Justin lalu menarik
selimut yang menutupi tubuh kami berdua. “Tidak perlu menutup tubuhmu seperti
itu. Kita bisa mandi bersama,” tukas Justin tiba-tiba menarik selimutku hingga
aku menjerit malu. Refleks aku menutupi bagian terlarangku dengan tangan. Satu
di bawah dan seluruh lengan menutupi buah dada. Ya Tuhan, apa aku benar-benar
telanjang di dalam kamar dan ada seseorang yang menatapiku? Dan yang menatapiku
yang tidak lain dan tidak bukan adalah Justin Herich? Justin tertawa melihatku.
Ia bangkit dari tempat tidur, ia sudah memakai boxernya. Hei, itu tidak adil!
“Justin,
kau benar-benar tidak adil—“
“Jangan
buat aku menyetubuhimu di dalam kamar mandi,” ucap Justin mendorong kedua
pundakku. Mulutnya sudah menyumpal mulutku. Ia melumat bibirku dengan lembut.
Tidak bisa. Aku tidak bisa menolak godaan ini. Bunyi cepakan bibir kami
terdengar ketika kami telah masuk ke dalam kamar mandi. Ia menutup pintu dan
menguncinya. Tanganku masih menutupi bagian-bagian terlarangku.
“Oh
ya Tuhan, Justin!” Jeritku tertahan ketika Justin menyalakan pancuran air
hangat. Refleks aku memegang kedua siku-siku Justin karena takut terjatuh. Air
hangat ini membuat seluruh otot-otot tubuhku melemas. Oh, rasanya sangat nyaman
sekali. Aku mendongak, menatap Justin yang memerhatikanku dengan senyumnya.
Oke, tapi keadaan ini benar-benar canggung. Berada di bawah pancuran,
telanjang, memegang siku-siku seorang pria tampan di depanmu, dan dia sedang
menatapimu sekarang. Lalu Justin terkekeh.
“Kau
sangat cantik,” ucap Justin meremas kedua pinggangku yang ia pegang. Aku
mengerang tertahan ketika ia melakukan itu. Tidak sakit, hanya saja, aku tidak
ingin kita berhubungan badan lagi di dalam kamar mandi. Aku tidak pernah
mencobanya seumur hidupku dan aku memang tidak pernah berpikir untuk
mencobanya.
“Justin,
kita harus cepat-cepat mandi. Aku ingin melihat Lily sekarang,” ucapku. Justin
tertawa lalu ia memelukku, sekarang ia berada di bawah pancuran bersama
denganku.
“Kau
memang yang perusak suasana romantis!” Ujar Justin jengkel denganku.
“Itu
keahlianku sejauh ini,” ucapku tertawa dan sedetik kemudian aku mendesah ketika
Justin mulai menggigit leherku, merangsangku.
***
Keadaan
Lily semakin memburuk selama dua hari terakhir ini, aku jadi kuatir. Ia belum
bangun dari tidurnya pagi ini. Justin terduduk di sebelah ranjang Lily sambil
memegang tangan mungil Lily. Dapat kulihat Justin benar-benar kuatir dengan
keadaan Lily, begitupun aku. Sebelumnya, aku tidak pernah mendengar Lily tidak
terbangun selama lebih dari 24 jam. Natal ini tidak akan spesial jika Lily
tidak bangun dari tidurnya. Orangtua Justin memberitahu padaku bahwa Lily
sangat menyukai natal. Kata Lily, ia mendapat banyak kado dari ayahnya, kakek,
nenek dan para suster di rumah sakit. Aku memiringkan kepalaku ke samping,
melipat bibirku ke dalam lalu menggigit bibir bagian dalam. Apa yang harus
kubelikan untuk Lily dan apa kesukaannya? Omong-omong, Justin memang telah
memberikan salah satu kartu kreditnya untukku selama aku berada di Kanada. Ia
berpikir, mungkin dengan memberikanku kartunya tidak akan membuatku nekat pergi
ke Amerika. Tentu saja. Aku tidak memiliki paspor untuk kembali ke Amerika.
Gitarkah?
Tidak mungkin aku memberikan seorang anak kecil sebuah gitar. Aku bingung. Aku
membungkukkan tubuhku, kedua siku-sikuku bertumpu pada ujung lutut, tanganku
menumpu dagu. Oh, aku benar-benar ingin memberi hadiah natal spesial untuk Lily
tapi aku tidak tahu apa. Jari telunjukku menelusuri bibir dan menepuk-nepuk
bibirku setelah beberapa detik.
“Hei,”
panggil Justin yang membuatku mendongak dari sofa. Kedua alisku langsung
terangkat, memberikan raut wajah ‘apa?’ padanya. “Apa yang sedang kaupikirkan?”
Tanyanya mengangkat kursinya dan menempatkannya di hadapanku. Langsung saja aku
menegakkan tubuhku agar bisa melihatnya dengan jelas.
“Menurutmu,
hadiah apa yang cocok untuk Lily?” Tanyaku menyelonjorkan kakiku ke bawah kursi
Justin. Raut wajah Justin langsung berubah, ia berpikir.
“Lily
senang puzzle. Kau bisa membelikannya sebuah puzzle jika kau mau. Hari ini kita
bisa pergi membelinya. Malam ini malam natal, kau tahu,” ucapnya mengusap kedua
telapak tangannya. Oh ya, benar sekali. Malam ini adalah malam natal. Berarti
aku hanya memiliki waktu kurang dari 24 jam untuk membelikan Lily sebuah
hadiah.
“Kau
benar. Apa kita akan pergi ke sekarang? Tapi Perry belum datang dari rumah.
Kita tunggu dia sampai ia datang ke sini,” ucapku memberitahu Justin. Justin
terkekeh pelan, ia menggeleng-gelengkan kepalanya seolah-olah apa yang
kuucapkan adalah konyol. Apa yang salah? Jujur saja, Justin adalah manusia
teraneh yang belum pernah kutemui sepanjang hidupku. Rekor yang bagus. Ia
sekarang berada di urutan pertama dalam daftar Orang-Yang-Tidak-Akan-Kulupakan.
“Apa? Apa yang lucu?” Tanyaku.
Justin
berhenti tertawa lalu ia menatap mataku. “Aku tidak bodoh, Laura. Aku tahu kita
harus menunggu Perry datang. Apa kau pikir aku gila akan meninggalkan anak
tunggal di sini?” Oh, ternyata. Aku mendesah menyetujui apa yang ia katakan.
Tentu saja Justin tahu ia akan menunggu Perry. Mengapa aku terkesan lambat
berpikir?
“Well,
aku punya rencana malam ini,” ucap Justin. Aku menatapnya. “Kita akan pergi ke
pusat kota. Hanya kita berdua. Biasanya di sana diadakan acara berdansa bersama.
Kau tahulah, Cium Aku di Bawah Mistletoe. Aku ingin kita ke sana,” jelas Justin
yang berhasil membuat raut wajahku berubah menjadi jijik. Benarkah ia akan
membawaku ke tempat itu? Bukan apa-apa, tapi aku memang tidak menyukai dansa
atau hal-hal yang berbau romantis.
“Jangan
berikan aku wajah seperti itu,” tegur Justin. Aku langsung berhenti memberi
wajah jijik.
“Tapi
Justin, kau tahu aku seperti apa. Tidak mungkin kita ke sana,” ucapku melipat
tanganku di depan dada. Kuhempaskan tubuhku ke sandaran sofa dan membuang wajah
dari Justin.
“Kita
harus ke sana.” Ucap Justin dengan tegas dan aku tahu, aku tidak bisa
membantahnya. Tepat ketika ia mengembalikan kursinya ke tempat semula, Perry
datang dengan tas besar berisi pakaian-pakaian Lily. Yeah, dia harus mengambil
pakaian Lily yang bersih. “Tepat waktu. Ayo Laura.” Ajak Justin menarik
tanganku keluar dari kamar Lily.
***
Aku
sudah membeli beberapa puzzle untuk Lily. Bergambar Santa Claus, Hello Kitty,
dan masih banyak lagi. Kurasa ia akan kewalahan karena aku membelikan begitu
banyak puzzle untuknya. Tidak apa-apalah, tapi aku membelikannya yang
kerumitannya lebih susah dibanding yang dibelikan Justin. Kita akan melihat
seberapa cepat Lily bisa menyelesaikan puzzle. Aku sudah membungkusnya dalam
satu kotak hadiah dengan gambar pohon natal berwarna hijau bercampur dengan
garis-garis berwarna merah. Dan Justin akan memberikan Lily sebuah gelang kaki
dengan bungkusan berwarna merah muda. Aku memukul Justin ketika aku sadar bahwa
Lily menyukai warna merah muda! Rasanya aku terkalahkan oleh Justin.
Hadiah
itu sudah berada di bawah pohon natal rumah orangtua Justin, kecuali gelang
kaki yang dibelikan Justin, tentunya. Hadiah itu terlalu kecil namun sangat
berharga. Hampir seharian kami berada di Mall hanya untuk mencari hadiah Lily.
Rasanya kakiku ingin patah. Aku tidak terbiasa pergi ke Mall selama tadi. Dan
malam ini aku harus pergi bersama Justin ke pusat kota untuk berdansa dan bla,
bla, bla. Aku tidak suka dengan hal-hal seperti itu! Jika bukan Justin yang
mengajakku, sudah pasti aku menolaknay mentah-mentah. Aku menarik retsleting
gaun yang kupakai. Gaun yang memiliki potongan rok di atas lutut serta tidak
memiliki lengan ini tampaknya benar-benar membuatku merasa daun pohon pisang
dan melilitkannya pada tubuhku. Dan hanya dengan satu hentakan ke bawah, maka
yang masih akan menempel di tubuhku hanyalah bra tanpa tali dan celana dalam.
Bukankah itu hal yang menarik?
Setelah
membenarkan pakaianku, aku berdiri di depan cermin besar di hadapanku. Gaun ini
memang pas denganku. Warnanya hitam polos. Kata Justin ini adalah warna
kesukaannya. Tentu saja ia menyukai warna hitam. Bagaimana tidak? Sifatnya saja
sudah terkesan gelap. Tapi buah dadaku. Justin lebih tinggi dariku, tentu saja
jika ia menunduk untuk melihat wajahku, pasti penglihatannya akan teralihkan
pada buah dadaku.
Pintu
kamar Justin terbuka. Aku langsung melihat Justin muncul dari pantulan cermin.
Ia sudah siap. Memakai setelan berwarna hitam tanpa dasi. Oh, dia memang selalu
terlihat tampan dalam pakaian apa pun. Aku membalas senyumnya ketika ia
tersenyum padaku lalu ia berjalan mendekatiku.
“Hai,”
sapaku tanpa membalikkan tubuhku. Kami terus melakukan kontak mata dari
pantulan cermin. Justin sudah berada di belakangku. Kedua tangannya sudah
menyentuh pundakku, ia mengelusnya dengan lembut. “Sudah siap?” Tanyaku. Aku
bahkan belum memakai sepatuku. Tanpa mengatakan sepatah katapun, Justin merogoh
kantong celananya lalu ia mengeluarkan sebuah kalung. Ia mengenakannya pada
leherku.
“Sudah
siap,” ucapnya tersenyum. “Kau tampak luar biasa dengan pakaian ini,” pujinya
yang membuatku tersipu malu. Tanganku tanpa sadar sudah mengelus liontin
berbentuk H. Matanya ikut tertuju pada liontin yang kupegang melalui cermin
lalu ia berbisik, “Herich,” bisiknya. Oke seharusnya aku tahu bahwa ini adalah
inisial dari namanya Cukup adil. Mungkin ia tidak ingin aku melupakannya jika
kita berpisah nanti.
“Aku
harus memakai sepatuku,” ucapku membungkukkan tubuhku, menarik sepatu yang
berada di depanku. Namun tangan Justin langsung mengambil salah satu sepatu itu
dengan menyodorkannya pada kakiku. Ia memegang betisku agar aku bisa memakainya.
“Sebenarya kau tidak perlu---“
“Hanya
membantu,” ucap Justin tanpa mau dibantah. Aku hanya mengikutinya. Sesekali
telapak tangannya mengelus-elus betisku. Oh, apa yang sebenarnya ia lakukan? Ia
mengenakan sepatuku yang lain sampai benar-benar terpasang. Lalu ia bangkit.
“Terima
kasih,” ucapku tersenyum.
“Apa
pun untuk melihatmu tersenyum.”
***
Musik
melankolis terputar mengiringi malam natal kami. Begitu banyak pasangan yang
datang ke pusat kota hanya untuk berdansa bersama. Lagi pula, ini gratis,
sederhana namun meriah. Aku suka. Baiklah, egoku memang besar. Kami sebenarnya
tidak berdansa. Hanya berpelukan di tengah-tengah keramaian sambil menggerakkan
kaki ke sana kemari. Kepalaku kusandarkan pada dada Justin, menghirup aroma
harum dari tubuhnya. Tangannya melingkar di sekitar pinggangku, sangat posesif.
Andaikan waktu bisa dihentikan, aku pasti akan menjadi wanita beruntung di
dunia.
“Aku
tidak sabar untuk mistletoe di atas
kita,” ucap Justin yang membuatku tertawa. Ya ampun, bisakah ia berhenti
berpikir untuk menciumku? Aku hanya ingin menikmati pelukan ini. Pelukannya
termasuk pelukan yang hangat, kau tahu. Aku senang berada dalam pelukannya.
“Aku serius.”
“Ya,
tentu saja. Aku juga,” dustaku. Padahal aku tidak begitu menginginkan mistletoe berada di atas kepala kami.
Namun ternyata keberuntungan jatuh pada Justin. Tiba-tiba saja dua orang pria
berisik dengan aksen Kanada datang kepada kami. Aku langsung melepaskan pelukan
kami.
“Oh,
lihatlah kalian berdua. Tampak sangat manis saat bersama. Tidak maukah kalian mistletoe ini berada di atas kepala
kalian? Kami enyediakan fotografer untuk mengabadikan ciuman kalian di sini.
Hanya 10 dolar satu foto, hanya butuh 5 menit untuk menunggunya di sana,”
ucapnya pria bertubuh pendek serta sedikit gempal itu menunjuk pada salah satu
toko kecil. Aku melirik Justin untuk melihat reaksinya. Ia terlihat ragu-ragu,
namun ia malah menyetujuinya.
“Baiklah,”
ucap Justin. Pria bertubuh gempal itu yang memegang satu tangkai panjang itu
dengan di ujungnya terdapat mistletoe
dan lalu mengangkatnya ke atas kepala kami. Salah seorang fotografer yang
berada di belakangnya langsung mengambil posisi yang tepat untuk mengambil foto
kami. Tanpa berpikir panjang, Justin langsung meraup pipiku dan mengecup
bibirku. Ia melesakkan lidahnya masuk ke dalam mulutku, mau tak mau kami
mengadu lidah sana. Kami mengisap bibir satu sama lain. Mataku terpejam. Saat
itu juga aku mendengar suara jepretan foto. Tangannya mulai mengelus leher
telanjangku dengan lembut, aku mendesah. Saat itulah kami melepaskan ciuman
ini.
Pria
gempal itu mengipas-kipas wajahnya dengan telapak tangannya dan memberikan
suara kepanasan. “Ternyata malam ini sangat panas. Mari kita ambil foto kalian
yang manis itu,” ucap pria gempal itu mengajak kami keluar dari kerumunan orang
yang masih berdansa. Fotografer itu langsung melakukan halnya di depan komputer. Tangan Justin memegang pinggangku,
seolah-olah ia takut aku akan pergi darinya. Mengapa ia begitu posesif? Aku
mendongak, memerhatikan Justin yang tidak tersenyum. “Ada apa?” Bisikku kuatir.
Ia menunduk dan langsung tersenyum melihatku.
“Tidak
ada. Memang kaupikir aku kenapa?” Tanyanya yang membuatku tidak tahu harus
membalas apa. Aku hanya takut Justin marah padaku akan sesuatu yang kulakukan
namun aku tidak tahu itu apa. Benar, ternyata hanya 5 menit. Dua foto
berukurang sedang itu langsung diberikan pada kami.
“Tapi
kita hanya meminta satu foto,” ucapku menggeleng kepala. Pria gempal itu
tertawa lalu ia mendesah. “Ada apa?”
“Aku
melihat kalian benar-benar jatuh cinta di malam natal ini. Satu foto bonus
untuk kalian, gratis,” ucap pria gempal itu terdengar memaksa kami untuk
menerima fotonya. Justin tidak mengatakan apa-apa, ia mengeluarkan beberapa
lembar uang dolar dan memberikannya pada pria gempal itu. “Oh, tidak, tuan. Ini
terlalu banyak. Hanya 5 dolar,”
“Tidak
apa-apa. Tip untuk kalian,” ucap Justin menaruh uang itu ke atas meja komputer
mereka. Raut wajah pria gempal itu merasa tidak enak namun sepertinya Justin
tidak peduli. Justin malah langsung mengambil foto itu dari tangan pria gempal
dan menggumamkan kata terima kasih.
“Terima
kasih,” bisikku. Ia mengangguk.
“Semoga
cinta kalian tidak akan pudar sampai maut menjemput kalian!” Teriak pria gempal
itu yang membuatku menoleh ke belakang. Namun ia menghilang begitu saja karena
kerumunan orang yang menari-nari itu. Justin terus menarik tanganku,
meninggalkan pusat kota. Kami berjalan menuju parkiran mobil Justin tadi. Saat
berada di dalam mobil, Justin tidak melakukan apa pun. Tidak menyalakan mobil
atau mengatakan sepatah kata pun. Ia mulai mengangkat dua foto yang kami terima
tadi ke atas setir mobil. Kuperhatikan wajahnya dan senyum mulai muncul di
sana.
“Orang
gila,” ucap Justin. “Tapi dia benar,” lanjut Justin memerhatikan foto kami.
Tidak ada pria gempal di foto itu. Hanya kami berdua yang di belakangnya
terdapat orang-orang yang menari. Sebuah mistletoe
berada di atas kepala kami dan kami sedang berciuman. Kami yang paling bersinar
di sana.
“Aku
akan menyimpan yang ini,” ucapku mengambil salah satu foto di tangan Justin.
“Dua-duanya
sama saja,” komentarnya terkekeh. Aku tidak peduli. Ponsel Justin berdering
begitu saja ketika ia sedang menertawaiku. Air wajahnya langsung berubah
menjadi kuatir. Ia mengambil ponsel yang berada di dalam kantong jas dalamnya
lalu melihat layar ponselnya.
“Perry,”
ucapnya menerima panggilan itu. “Ada apa Perry?” Baru beberapa detik ia
mengangkat panggilan itu, ia langsung menggumamkan kata kotor. Apa yang terjadi
pada Lily? Seketika itu juga aku takut ada sesuatu yang terjadi pada Lily.
Mobil langsung melaju cepat meninggalkan pusat kota.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar