***
Sulit dipercaya ketika ibumu dan
teman lelakimu sekarang berbicara begitu akrab seperti keponakan yang tidak
pernah bertemu dengan bibinya selama bertahun-tahun. Aku bahkan diabaikan oleh
Aaron walau sesekali ia memegang tanganku yang bersandar di atas meja bar.
Awalnya aku memang berpikir untuk tidak mabuk, namun aku merasa bosan karena
menatapi mereka berbicara satu sama lain. Seolah-olah aku tidak ada di hadapan
mereka. Ibuku berdiri di tengah- tengah kami, menolak untuk duduk dekat
denganku. Atau menari di lantai dansa. Aaron mengangguk-angguk saat ibuku
berbicara tentangku –hanya yang baik-baik saja. Kebiasaan ibuku memang selalu
seperti itu, melebih-lebihkan kelebihanku dulu. Aaron memuji karya ibu terhadap
rambutku. Klasik. Tatapan mata ibuku terhadap Aaron benar-benar cerah. Biasanya
ia tidak suka aku dekat dengan seorang pria seperti Aaron, makanya saat aku
tahu ia akan datang ke sini, aku merasa itu adalah masalah besar. Ternyata aku
kalah telak. Sebentar lagi aku akan direstui dengan Aaron.
Kepalaku kusandar ke atas lengan
yang kusandarkan di atas bar. Memerhatikan mereka berbicara. Kupejamkan mataku
sesaat. Saat mataku terpejam, ruangan ini terasa sangat bising. Sebenarnya aku
tidak mengantunk, aku hanya merasa bosan karena diabaikan. Padahal aku yang
diajak oleh Aaron untuk minum-minum bersama. Tapi ibuku datang dengan segala
pesonanya. Sempurna sekali. Otakku berpikir tentang pendekatan Aaron yang lucu
karena ia mengajakku datang ke sini atas permintaan maafnya. Bodohnya, aku
menerima. Mataku terbuka saat kudengar Aaron tertawa mendengar cerita ibuku,
membuatku ikut tertawa meski tidak mengerti apa yang ibuku katakan. Jika
kuperhatikan Aaron, dia benar-benar tampan. Dan rasanya kurang nyata jika
sekarang aku berada di hadapannya sementara jari-jari kami saling mengait.
Diam-diam aku tersenyum. Aaron melirikku sebentar, ia menggigit bibir bawahnya
dengan tatapannya yang menggoda. Perutku menegang melihatnya sampai-sampai aku
harus menegakkan tubuhku. Ibu melirikku dengan mata yang menyipit.
“Apa?” Tanyaku bingung karena mereka
berdua menatapku. Aaron lebih memikat dibanding ibu. Aku merengut. “Apa yang
kulakukan?” Tanyaku semakin bingung, mereka tak menjawab dalam hitungan detik.
Aaron akhirnya tersenyum.
“Mom sepertinya harus pulang.
Berbicara dengan Aaron rasanya lebih puas dibanding minum-minum. Sampai jumpa
Aaron,” ibuku pergi dari hadapanku yang refleks membuatku beranjak dari kursi
lalu memegang tangannya dengan erat. Ibu membalikkan tubuhnya, melihat wajahku
dengan bingung. “Ada apa, Kath?”
“Bukankah aku harus pulang denganmu,
Mom? Mengapa kau pergi?” Tanyaku menautkan kedua alisku, sedikit takut. Entah
mengapa percakapan Aaron dan ibu ada hubungannya denganku namun aku tidak
memerhatikannya jadi aku ditinggal di sini dengan alasan ibu telah berbicara
dengan Aaron sesuatu tentangku. Ibuku terkekeh pelan dengan kepalanya yang
tergeleng-geleng. Apa-apaan yang sedang terjadi? Pasti aku terlalu mabuk untuk
mengerti apa yang terjadi. Aaron dari belakang memegang tanganku yang lain,
yang tidak memegang tangan ibuku. Aku menoleh ke arahnya, memprotes.
“Kau akan pulang dengannya. Mom
yakin kau akan baik-baik saja selama kau bersama dengan Aaron. Benar kan
Aaron?” Tanya Ibuku melihat Aaron dengan raut wajah membujuk. Seperti mendapat
angin, Aaron mengangguk-angguk penuh keyakinan. “Kalau begitu Mom pulang
sekarang. Selamat bersenang-senang,” ibu menarik tangannya dari genggamanku.
Dan Aaron menahan tanganku. Ibuku menghilang begitu saja dari pandanganku
setelah ia melewati lantai dansa. Sungguh, aku kesal sekarang. Setelah melewati
masa-masa bosan karena ibu dan Aaron mengabaikanku, sekarang aku ditinggalkan
–meski ada Aaron yang sekarang memegang tanganku.
“Sekarang apa?” Tanyaku kesal
melihat Aaron. “Sebenarnya kau tidak perlu mengajakku ke sini jika hanya untuk
meminta maaf atas apa yang kauperbuat kemarin,”
“Kau terlambat,” Aaron tidak
tersenyum. “Ayo menari,” ajak Aaron menarik tanganku. Kepalaku terlalu pening
untuk menari sekarang. Belum ada kejadian yang bisa kusaring di otakku. Tunggu
sebentar. Ibu datang ke kelab ayah Aaron. Berkenalan dengan Aaron lalu
berbincang-bincang selama kurang lebih 20 menit. Lalu aku hanya terdiam sambil
meminum minuman keras entah berapa gelas. Setelah itu ibuku pergi dari kelab
tiba-tiba. Sepertinya ia memiliki perjanjian dengan Aaron yang tidak kuketahui
tadi karena terlalu sibuk dengan pikiranku. Aaron memberikan kode pada
seseorang untuk mengencangkan music. Sontak tubuhku yang awalnya lesu karena
ditinggalkan, sekarang mataku terbuka lebar. “Kau sangat cantik,” puji Aaron
menyentuh pinggangku.
“Terima kasih,” aku memeluknya. Di
saat yang lain meliuk-liukkan tubuhnya seperti cacing yang menggeliat, aku dan
Aaron hanya berpelukan dan menggerakkan kaki satu atau dua langkah dengan
lambat. Kusandarkan kepalaku ke atas dadanya yang keras, ia menempatkan
kepalanya di atas kepalaku. “Apa yang kaubicarakan dengan ibuku?” Tanyaku ingin
tahu.
“Hanya tentangmu. Ternyata kau bukan
anak kandungnya,” ucap Aaron membuatku mendongak. Ia menunduk untuk melihatku,
bibirnya mengeras. Tidak tersenyum. Sepertinya sangat sulit untuk membuatnya
tersenyum. Yeah, ia benar. Aku bukan anak kandung dari ibu. Ibuku yang bernama
Selena. Ayahku dulu menikah dengan istri pertama bernama Debbie namun ibuku
meninggal saat melahirkanku. Selama bertahun-tahun ayahku nyaris gila karena
harus mengurusku seorang diri. Sebenarnya ayahku sudah memiliki pengasuh bayi
untukku, tetapi ia benare-benar protektif terhadapku. Melepaskanku dari rumah
untuk jalan-jalan dengan temanku saja dilarang—itu saat aku masih remaja. Lalu
ia bertemu dengan ibu angkatku, Selena, saat aku berumur 6 tahun. Ia menikah
dengan ayahku, aku ibu baruku jadi aku menerimanya. Ia menyayangiku seperti
anak kandung. Mungkin ia belum pernah mengasuh anak-anak sebelumnya, sepertinya
ia menyukai anak-anak. Aku sudah menganggapnya seperti ibu kandungku sendiri.
Tetapi hanya satu kekurangannya. Ia tidak ingin hamil saat aku meminta adik
padanya. Entah apa masalahnya, ia bilang ia hanya tidak ingin hamil. Dan ia
tidak pernah menyukai anak laki-laki. Hanya anak perempuan. Sampai sekarang aku
tidak tahu apa alasannya. Aaron mengecup hidungku hingga aku terkejut, ia
tertawa pelan. “Apa yang kaupikirkan?”
“Tidak,” aku menunduk untuk
menyembunyikan pipiku yang memerah. Sungguh, jantungku sepertinya berhenti
berdetak saat ia mengecup hidungku. Masalahnya, tidak ada yang pernah melakukan
itu padaku selain ayah. Dan sensasinya sungguh berbeda. Apalagi ia adalah pria
yang kusuka. Ada sesuatu yang ia berikan pada tubuhku hingga aku bergetar
seperti ini. Jika ia tidak memelukku, aku pasti jatuh kehilangan keseimbangan.
“Kau benar, aku bukan anak kandungnya. Tapi ia sudah menganggapku seperti anak
kandungnya sendiri,”
“Saat kulihat ibumu, kupikir kau
memang tidak mirip dengannya. Mungkin lebih mendominan pada wajah ayahmu. Tapi
ternyata kau memang bukan anaknya. Jadi, kau tidak punya adik, eh?” Eh. Desahan diakhir ucapannya
benar-benar menghipnotisku. Membayangkan bagaimana ia bisa membuatku bergetar
hanya karena ucapannya itu? Aku tidak tahu sihir apa yang ia pakai untuk
membuatku bisa memujanya berlebihan seperti ini. Sebelumnya, aku tidak pernah
begitu memuji pria selain ayahku. Pujian “tampan” sudah melebihi kapasitas
seharusnya. Tetapi Aaron membuatku memujinya lebih dari “tampan”, ia itu dewa.
Aku mengangguk.
“Yeah. Mom tidak mau hamil,” ucapku.
“Bagaimana denganmu? Apa kau memiliki banyak adik?” Tanyaku penasaran. Salah
tangan Aaron terangkat dari pinggangku, ia melihat tangannya yang mengenakan
jam tangan lalu ia tersenyum. “Apa? Ada apa?” Aku tiba-tiba khawatir, entah
mengapa. Meskipun ia tersenyum, pasti ia harus pergi sekarang dan
meninggalkanku.
“Kita masih punya waktu untuk pulang
ke rumah dan bertemu dengan adik-adikku. Mereka belum tidur.” Aaron sudah
menarikku beranjak dari lantai dansa, membuatku bingung. Bahkan aku belum
sempat menerima atau menolak tawarannya. Tahu-tahu kami sudah berada di luar
kelab. Aku akan bertemu dengan keluarganya? Tapi aku belum siap!
***
Niatku untuk menghubungi ayah hilang
sudah setelah aku berpikir kalau sekarang aku memiliki rumah sendiri. Aku sudah
tidak pulang ke rumah lagi dan meminta ayah untuk menyuruh penjaga rumah
membuka gerbang jika aku pulang –biasanya ayahku akan memarahiku jika aku
terlambat pulang tanpa mengabarinya. Mobil Aaron berhenti di depan sebuah rumah
–setelah melewati gerbang—yang besar, yang kuyakini bahwa rumah itu adalah
rumah keluarganya. Mengapa Aaron tidak memiliki tempat sendiri? Maksudku, ia
sudah sebesar diriku. Bahkan ia lebih tua dibanding diriku. Jadi, mengapa tetap
tinggal di rumah orangtuanya? Lalu aku teringat dengan anak pertamanya yang ia
ceritakan padaku. Tentu saja ia tidak akan tinggal di rumahnya sendiri—jika
memang ia memiliki rumah sendiri—karena istrinya telah meninggal. Siapa yang
akan mengurus anaknya jika Aaron tidak berada di rumah? Mungkin tinggal di
rumah orangtuanya satu-satunya jalan daripada ia harus memperkerjakan pengasuh
bayi. Sekarang banyak kasus penculikan anak melalui pengasuh bayi. Kalau anak
remaja yang mengasuh bayinya, pasti anaknya tidak akan terdidik. Sekarang aku
mengerti atau aku akan malu pada diriku sendiri karena sudah berpikir sok tahu.
Aaron turun dari mobil beberapa
detik yang lalu sebelum aku menyadarinya. Pintu mobil sudah terbuka, aku
menghargainya meski tak menyukainya. “Terima kasih,” ia menutup pintu.
Tangannya memegang tanganku begitu posesif. Membawaku ke dalam rumah besar ini
membuat aku susah bernafas. Apa yang harus kukatakan pada orangtuanya atau
adik-adiknya nanti? Aku belum mempersiapkan diri untuk bertemu dengan orangtua
dari pria yang kusukai. Biasanya kau latihan berbicara di depan cermin sebelum
ingin bertemu dengan orang penting. Orangtua Aaron sama dengan orang penting.
Pintu terbuka, Aaron melirik jam tangannya lagi.
“Masih jam 8,” gumamnya. Suara
berisik dari dalam terdengar. Ruang tamu yang super duper besar ini sepertinya
bisa menampung 50 orang dan ruang tamu ini kosong. Begitu banyak barang antic
yang tersimpan di dalam lemari. Lemarinya bahkan lebih dari 2 di ruang tamu
ini. Sebenarnya, apa guna memiliki barang-barang seperti ini? Mungkin jika
seseorang merusaknya, bagi Mr.Bieber –ayah Aaron—tidak menjadi masalah. Ia
tinggal membeli lagi lalu menyimpannya kembali. Bukankah mereka adalah keluarga
kaya? Tiba-tiba saja seorang anak kecil bertubuh mungil berlari-lari muncul
dari pintu penghubung ke suatu ruangan. Rumah ini terlihat sangat luas dan
dirancang begitu aneh. Dari ruang tamu ini, kau bisa menemukan beberapa pintu
keluar lalu sebuah bar di dekat ruang tamu dan tangga ke atas. Sungguh sial,
rumah ini sungguh besar dan aku tidak mengerti. Sepertinya jika Aaron memiliki
denah rumah ini, aku dengan sangat senang hati akan menerimanya. Munculnya anak
kecil ini membuatku bingung ia berasal dari ruangan mana. Ia hanya memakai
popok dengan bedak putih di perutnya.
“Daddy!” Anak kecil itu berlari
menuju Aaron lalu memeluk kaki ayahnya. Demi Tuhan ini adalah pemandangan
termanis yang belum pernah kulihat sebelumnya –oke, mungkin pernah berkali-kali
bedanya adalah pria yang kusukai yang memiliki anak itu. Disusul dengan
keluarnya seorang pria berwajah awet muda dengan janggut yang tercukur yang
terengah-engah memegang sebuah celan. Aaron sudah menggendong anaknya yang
bernama Justin –kemarin malam ia menyebutkan nama anaknya secara tak langsung.
Ia menempatkan kedua tangannya di ujung lututnya dengan tubuh terbungkuk lalu ia
mendongak.
“Si-siapa dia Aaron?” Tanyanya
santai tanpa merasa malu sedikitpun. Sungguh, ia adalah pria tersantai yang
belum pernah kutemui sebelumnya—kali ini benar-benar belum pernah kutemui.
Bahkan paman Brad lebih tahu malu dibanding dirinya. Dapat kupastikan ia adalah
pria yang kulihat di kelab, di Las Vegas. Mata menatap kamera dengan tatapan
tak acuh, bibirnya yang tak tersenyum, dan terlihat jahat. Sekarang aku
melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Dia tidak sejahat yang kulihat. Anak
Aaron menoleh padaku dengan dua jari yang ia isap. Super duper lucu! Aku tak
sanggup untuk tidak tersenyum dan membuat wajah konyol padanya –selagi Aaron
tidak menatapku—namun langsung kuhentikan saat ia mulai tertawa. Setelah itu ia
menggeleng-gelengkan kepalanya penuh bahagia. Mr.Justin Bieber mulai berdiri
dengan tegak, nafasnya sudah sedikit teratur lalu ia melangkah mendekati kami.
Ia mengangguk padaku, memberi kode pada Aaron untuk memperkenalkanku padanya.
Aaron bodoh sekali! Aku kesal padanya.
“Dia Kath, Dad. Kath, ini Dad.
Justin Bieber, kurasa kau sudah tahu,” Aaron memperkenalkanku pada ayahnya. Aku
melangkah satu langkah lalu mengulurkan tanganku padanya. Tangan Mr.Justin
Bieber yang memegang celana anak Aaron langsung menaruh celana itu ke atas
pundaknya dan menjabat tanganku penuh keyakinan. Aku suka ayah Aaron. Ia
percaya diri, seperti tidak ragu-ragu.
“Justin Bieber. Ayah Aaron. Kakek
Juber,”
“Dad!” Aaron menegur ayahnya. Aku
kebingungan. Apa masalahnya? Dan Juber? Siapa Juber? Lalu aku kembali sadar
kalau Juber adalah anak Aaron. Tentu saja, pasti anak Aaron adalah cucu pertama
Mr.Justin Bieber karena aku tidak pernah mendengar Grace memiliki suami atau
anak. Ayah Aaron hanya tertawa ketika Aaron menegurnya. “Jangan dengarkan apa
yang ayahku katakan, ayo masuk,” ajak Aaron.
“Yeah, ayo masuk. Kath,” Mr.Justin
Bieber menekankan nada saat ia menyebut namaku. Aku berjalan sejajar dengan
Aaron. Tangan anak Aaron yang dipanggil Juber oleh Mr.Justin Bieber itu
memegang tanganku dan tertawa-tawa saat menarik-nariknya. Ia bahagia, tapi aku
kesakitan. Rambutku dikepan seperti biasa, jadi hanya sedikit rambut yang ia
tarik. Cukup menyakitkan. “Hei, bung! Itu bukan susu. Kau tidak bisa
meminumnya. Lepaskan itu dari tanganmu,” Mr.Justin Bieber mendekati aku dan
Aaron saat baru memasuki ruangan yang baru. Aku dan Aaron berhenti melangkah,
ayah Aaron menarik Juber dari gendongan Aaron. Rambutku yang belum dilepaskan
ikut tertarik saat Juber ditarik.
“Tidak!” Juber langsung cemberut
saat tanganya terlepas dengan rambutku. “Tidak! Daddy!” Sungutnya tidak ingin
digendong kakeknya. Aku hanya tertawa melihat tingkah anak Aaron yang lucu.
Juber mirip sekali dengan Aaron, jika kuperhatikan, mungkin matanya berwarna
hitam. Berbeda dengan Aaron yang memiliki mata harimau. Perutku mulas saat aku
sadar beberapa pasang mata sedang menatapku dengan pandangan bingung. Tangan
Aaron memegang tanganku dengan erat seperti hendak melindungiku dari
keluarganya. Memang keluarganya akan menyerangku? Dua anak …kembar? Jantungku
berpindah tempat sekarang. Satu anak remaja laki-laki sedang duduk di atas sofa
menatapku dengan mata birunya. Hatiku mendesah melihat keindahannya. Dan satu
gadis yang kutemui tiga hari yang lalu menatapku dengan tatapan kesal. Lalu
seorang ibu yang memiliki mata berwarna biru duduk di atas sofa yang lain.
Mengapa bisa begitu banyak orang di sini? Rumahku tidak seramai ini. Bahkan
seperti pemakamana kalau kau ingin tahu. Juber masih merengek-rengek untuk
lepas dari pelukan Mr.Justin Bieber, itu tidak membuat mata keluarga Aaron
tidak memalingkan tatapannya. Seolah-olah kejadian Mr.Justin Bieber dan Juber
adalah kejadian yang biasa mereka lihat, jadi mereka tidak peduli.
“Semuanya, ini Kath. Kath
Bloodworth,” Aaron memperkenalkanku, aku mengangguk sopan pada mereka. Juber
yang sudah mengenakan celana itu langsung berlari menuju ibu Aaron –aku tahu
begitu saja—dengan air mata sudah membasahi pipinya. “Kath, dua anak kembar itu
adalah Monica dan Mozess. Monica dipanggil Moon sedangkan Mozess dipanggil Mozzy.
Sedangkan itu Jonathan,” –Aaron menunjuk dua anak kembar dan satu anak
laki-laki—“sebentar lagi ia berumur 13 tahun. Itu Grace, kalian sudah bertemu.
Dan yang ini adalah …”
“Aku ibu Aaron,” wanita paruh baya
itu melihatku dengan tatapan tak percaya. Bahkan matanya sekarang berkaca-kaca.
Oke, tapi sekarang aku ketakutan. “Jadi kau adalah Kath Bloodworth? Duduklah,”
ia meminta. Aaron menarik tanganku untuk duduk di sofa yang kosong. Demi Tuhan
mereka memiliki banyak sofa. Dan jika kulihat baik-baik, ini adalah ruang keluarga.
Karpet, sofa, televisi, kulkas kecil dan sebuah dapur –lagi. Aaron duduk di
sebelahku, ia masih memegang tanganku seolah-olah aku bisa membaca pikirannya
jika ia memegang tanganku atau ia yang memegang tanganku. Oke, jadi di sini ia
memiliki begitu banyak anggota keluarga. Dan Juber adalah anak pertama yang
bisa mengambil hatiku hanya karena ia menarik rambutku meski menyakitkan. Ia
berada di dalam pelukan neneknya, tengkurap dan masih terisak dalam tangisnya.
Sungguh menyedihkan ketika kau melihat seorang anak kecil menangis seperti itu.
“Jadi, apakah kalian berdua sudah
berpacaran?” Wow, pertanyaan itu sungguh pada intinya. Ternyata ayah Aaron
memang bukan pria yang menyukai basa-basi. Ia duduk di atas sofa, di sebelah
istrinya yang masih berusaha menenangkan anak Aaron. Aku menggeleng malu-malu.
Pipiku rasanya terbakar atas pertanyaannya. Itu adalah pemikiran yang membuatku
menangis kemarin malam karena berpikir kalau aku dan Aaron tidak akan pernah
menyentuh hubungan pacaran. Senyum ayah Aaron mengembang. “Hei, bung. Lihatlah
ibu barumu di sana,” Mr.Justin Bieber menyentuh pundak Juber agar Juber bangkit
dari tubuh neneknya. Lalu Juber membalikkan kepalanya ke arah Justin dengan
mata yang basah.
“Mana?” Tanyanya dengan suara kecil.
“Di sana dia. Calon ibumu,” ucap
Mr.Justin Bieber menunjuk padaku. Apakah ada yang lebih memalukan daripada ini?
Karena seumur hidup aku tidak pernah bisa semalu ini. Bahkan saat aku menjadi
pemandu sorak dan jatuh karena terpeleset tidak lebih memalukan dari ini. Juber
melirik padaku sambil mengisap dua jarinya lagi. Ibu Aaron hanya bisa tersenyum
padaku, memberikan tatapan bersahabat padaku. Sangat berbeda dengan anak
perempuannya yang paling besar. Entahlah, senyumnya penuh arti yang pastinya
tidak akan kumengerti karena ini kali petama aku bertemu dengannya. Hanya saja,
ia terlihat begitu bahagia. Mungkin satu-satunya yang wajahnya bersinar di
antara anggota keluarga ini.
“Dad, sudahlah. Jangan menggoda
Kath. Ia tidak suka,” Aaron menggelengkan kesal. “Ke kamarku,” ajak Aaron
menarik tanganku untuk bangkit dari sofa. Ke kamarnya? Kulirik Grace yang
memegang sekaleng soda, ia menatapku dengan tatapan benci. Bagus sekali Kath,
hari pertama bertemu dengan seluruh keluarga teman lelaki, salah satu anggota
keluarganya sudah membencimu. Usaha yang bagus. Aku mengejek diriku sendiri.
“Pakai pengaman!” Mr.Justin Bieber
berteriak saat kaki kami sudah menginjak tangga. “Jangan sampai si kembar dan
Jonathan mendengar kalian berdua,” lanjutnya tertawa. Kudengar suara pukulan
hingga Mr.Justin Bieber tersedak. Pipiku memerah mendengar ucapannya itu.
Mengetahui aku masih perawan membuatku sedikit malu karena di umur yang seperti
ini, aku belum berhubungan badan.
“Jangan dengarkan ayahku,” Aaron
memperingatkan. Aku hanya mengangguk. Lalu kami sudah berada di lantai dua.
Ruang keluarga yang lain. Ada lorong panjang. Di kedua sisi lorong terdapat
pintu-pintu kamar. Dan mungkin salah satunya adalah kamar Aaron. Tanganku terus
ditarik melewati lorong-lorong. Terdapat nama-nama di tiap pintu kamar. Moon and Mozzy room, don’t disturb. Jonathan is here. Leave me alone. Banyak
sekali tanda-tanda untukku agar tidak masuk ke dalam kamar mereka. Sepertinya
lebih menyenangkan jika aku hanya masuk ke dalam kamar Aaron. Dimana kamar
anaknya? Juber? Aku tidak sepenuhnya tahu siapa nama anak Aaron. Justin atau
Juber? Kami berhenti di sebuah ruangan besar yang lain. Ruang keluarga yang
lain, mungkin? Tetapi di sini aku melihat banyak mainan yang berserakan
dimana-mana. Kemungkinan besar ini adalah ruang bermain …Juber? Aku tak
sepenuhnya yakin. Tetapi Aaron tidak mungkin mengajakku bermain boneka-bonekaan
di hadapan kami sekarang. Sungguh itu tidak lucu sama sekali. Ia membuka pintu
berwarna abu-abu bergagang aluminium, ia mendorongnya. Aroma ruangan ini
seperti tak pernah tersentuh oleh orang. Saat berada di dalam ruangan ini,
semuanya serba abu-abu. Tempat tidurnya ukuran besar. Lemari berwarna abu-abu
dengan 4 pintu serta satu kaca yang menempel di salah satu pintu. Dan kulihat
sebuah pintu menuju …kamar mandi mungkin?
“Ini kamarmu,” ucapnya membuatku
bingung. Tangannya tak melepaskan tanganku. Sangat hangat sekarang –awalnya
terasa dingin. “Kau akan menginap di sini bukan? Aku harap kau mau,”
“Tapi…” aku tidak tahu apa yang
harus katakan untuk menolaknya. Sebenarnya tidak apa-apa jika aku menginap di
sini. Dan lalu aku ingat kalau besok aku harus bekerja. “Besok aku bekerja,”
“Kurasa Mr.Smith tidak akan
keberatan dengan ketidakhadiranmu besok, betul?” Aaron mengunci pintu kamar.
Perutku langsung menegang mendengar kuncian pintu itu. Apa yang akan kita
lakukan? “Duduklah, aku akan mengambil minum untukmu,” ucapnya melepaskan
tanganku.
“Aku tidak perlu,” tolakku. Aku
berjalan menuju tempat tidur, lalu menyentuhkan bokongku pada tempat tidur yang
empuk itu. Aaron hanya mengangguk akan tolakanku. Tempat tidur ini seperti tempat
tidurku. Aaron mengambil sebotol minuman keras dari kulkas kecil di kamar ini.
Sungguh hebat. Kamar tamu seperti ini sepertinya harus dimiliki masyarakat
Atlanta agar tamunya senang menginap di rumahnya. Atau kebalikannya untuk
mengusir tamunya secepat yang mereka bisa agar tak perlu memohon pada tamu
mereka untuk pergi dari rumah.
“Mari kita luruskan saja bahwa kita
berdua sama-sama tertarik,” Aaron berdiri tegak dengan satu botol minuman di
tangannya. Ia memerhatikan lututku yang bersatu. Aku tidak suka mengangkang
saat duduk mengenakan rok, rasanya akan salah. Ia mulai meminumnya. “Kau menginginkanku bukan?”
“Well, ya. Siapa yang akan
menolakmu?” Tanyaku malu-malu namun jujur. Aaron tergelak sebentar, ia
menyimpan botol itu ke atas meja dekat lemari buku.
“Tebak apa? Aku juga
menginginkanmu,” ia berjalan mendekatiku, ucapannya begitu seduktif. Perlahan-lahan
ia melepaskan jas yang ia kenakan ke atas lantai, detik setelahnya ia sudah
benar-benar berada di depanku. Kedua tangannya menyentuh pundakku. “Malam ini.”
Ia menunduk, tangannya memegang tengkukku lalu mengecup bibirku. Kupejamkan
mataku tak bisa menolak permintaan bibirnya untuk dipagut oleh bibirku. Ia
menciumku hingga lidahnya melesak masuk ke dalam mulutku, bermain di sana.
Dengan gerakan pelan ia mendorong tubuhku hingga punggungku menyentuh kasur
yang dingin. Bibir kami saling lepas menghasilkan bunyi cepakannya yang membuat
bagian bawahku terasa licin dan bergetar.
“Kau ingin melakukannya denganku?”
Tanyanya berbisik, matanya menatap pundak telanjangku.
“Well, ya,” aku malu-malu. “Tapi aku
masih perawan.” Tubuhnya menegang di atas tubuhku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar