Senin, 14 April 2014

Touching Fire's Water Bab 5




***


            Sulit dipercaya ketika ibumu dan teman lelakimu sekarang berbicara begitu akrab seperti keponakan yang tidak pernah bertemu dengan bibinya selama bertahun-tahun. Aku bahkan diabaikan oleh Aaron walau sesekali ia memegang tanganku yang bersandar di atas meja bar. Awalnya aku memang berpikir untuk tidak mabuk, namun aku merasa bosan karena menatapi mereka berbicara satu sama lain. Seolah-olah aku tidak ada di hadapan mereka. Ibuku berdiri di tengah- tengah kami, menolak untuk duduk dekat denganku. Atau menari di lantai dansa. Aaron mengangguk-angguk saat ibuku berbicara tentangku –hanya yang baik-baik saja. Kebiasaan ibuku memang selalu seperti itu, melebih-lebihkan kelebihanku dulu. Aaron memuji karya ibu terhadap rambutku. Klasik. Tatapan mata ibuku terhadap Aaron benar-benar cerah. Biasanya ia tidak suka aku dekat dengan seorang pria seperti Aaron, makanya saat aku tahu ia akan datang ke sini, aku merasa itu adalah masalah besar. Ternyata aku kalah telak. Sebentar lagi aku akan direstui dengan Aaron.
            Kepalaku kusandar ke atas lengan yang kusandarkan di atas bar. Memerhatikan mereka berbicara. Kupejamkan mataku sesaat. Saat mataku terpejam, ruangan ini terasa sangat bising. Sebenarnya aku tidak mengantunk, aku hanya merasa bosan karena diabaikan. Padahal aku yang diajak oleh Aaron untuk minum-minum bersama. Tapi ibuku datang dengan segala pesonanya. Sempurna sekali. Otakku berpikir tentang pendekatan Aaron yang lucu karena ia mengajakku datang ke sini atas permintaan maafnya. Bodohnya, aku menerima. Mataku terbuka saat kudengar Aaron tertawa mendengar cerita ibuku, membuatku ikut tertawa meski tidak mengerti apa yang ibuku katakan. Jika kuperhatikan Aaron, dia benar-benar tampan. Dan rasanya kurang nyata jika sekarang aku berada di hadapannya sementara jari-jari kami saling mengait. Diam-diam aku tersenyum. Aaron melirikku sebentar, ia menggigit bibir bawahnya dengan tatapannya yang menggoda. Perutku menegang melihatnya sampai-sampai aku harus menegakkan tubuhku. Ibu melirikku dengan mata yang menyipit.
            “Apa?” Tanyaku bingung karena mereka berdua menatapku. Aaron lebih memikat dibanding ibu. Aku merengut. “Apa yang kulakukan?” Tanyaku semakin bingung, mereka tak menjawab dalam hitungan detik. Aaron akhirnya tersenyum.
            “Mom sepertinya harus pulang. Berbicara dengan Aaron rasanya lebih puas dibanding minum-minum. Sampai jumpa Aaron,” ibuku pergi dari hadapanku yang refleks membuatku beranjak dari kursi lalu memegang tangannya dengan erat. Ibu membalikkan tubuhnya, melihat wajahku dengan bingung. “Ada apa, Kath?”
            “Bukankah aku harus pulang denganmu, Mom? Mengapa kau pergi?” Tanyaku menautkan kedua alisku, sedikit takut. Entah mengapa percakapan Aaron dan ibu ada hubungannya denganku namun aku tidak memerhatikannya jadi aku ditinggal di sini dengan alasan ibu telah berbicara dengan Aaron sesuatu tentangku. Ibuku terkekeh pelan dengan kepalanya yang tergeleng-geleng. Apa-apaan yang sedang terjadi? Pasti aku terlalu mabuk untuk mengerti apa yang terjadi. Aaron dari belakang memegang tanganku yang lain, yang tidak memegang tangan ibuku. Aku menoleh ke arahnya, memprotes.
            “Kau akan pulang dengannya. Mom yakin kau akan baik-baik saja selama kau bersama dengan Aaron. Benar kan Aaron?” Tanya Ibuku melihat Aaron dengan raut wajah membujuk. Seperti mendapat angin, Aaron mengangguk-angguk penuh keyakinan. “Kalau begitu Mom pulang sekarang. Selamat bersenang-senang,” ibu menarik tangannya dari genggamanku. Dan Aaron menahan tanganku. Ibuku menghilang begitu saja dari pandanganku setelah ia melewati lantai dansa. Sungguh, aku kesal sekarang. Setelah melewati masa-masa bosan karena ibu dan Aaron mengabaikanku, sekarang aku ditinggalkan –meski ada Aaron yang sekarang memegang tanganku.
            “Sekarang apa?” Tanyaku kesal melihat Aaron. “Sebenarnya kau tidak perlu mengajakku ke sini jika hanya untuk meminta maaf atas apa yang kauperbuat kemarin,”
            “Kau terlambat,” Aaron tidak tersenyum. “Ayo menari,” ajak Aaron menarik tanganku. Kepalaku terlalu pening untuk menari sekarang. Belum ada kejadian yang bisa kusaring di otakku. Tunggu sebentar. Ibu datang ke kelab ayah Aaron. Berkenalan dengan Aaron lalu berbincang-bincang selama kurang lebih 20 menit. Lalu aku hanya terdiam sambil meminum minuman keras entah berapa gelas. Setelah itu ibuku pergi dari kelab tiba-tiba. Sepertinya ia memiliki perjanjian dengan Aaron yang tidak kuketahui tadi karena terlalu sibuk dengan pikiranku. Aaron memberikan kode pada seseorang untuk mengencangkan music. Sontak tubuhku yang awalnya lesu karena ditinggalkan, sekarang mataku terbuka lebar. “Kau sangat cantik,” puji Aaron menyentuh pinggangku.
            “Terima kasih,” aku memeluknya. Di saat yang lain meliuk-liukkan tubuhnya seperti cacing yang menggeliat, aku dan Aaron hanya berpelukan dan menggerakkan kaki satu atau dua langkah dengan lambat. Kusandarkan kepalaku ke atas dadanya yang keras, ia menempatkan kepalanya di atas kepalaku. “Apa yang kaubicarakan dengan ibuku?” Tanyaku ingin tahu.
            “Hanya tentangmu. Ternyata kau bukan anak kandungnya,” ucap Aaron membuatku mendongak. Ia menunduk untuk melihatku, bibirnya mengeras. Tidak tersenyum. Sepertinya sangat sulit untuk membuatnya tersenyum. Yeah, ia benar. Aku bukan anak kandung dari ibu. Ibuku yang bernama Selena. Ayahku dulu menikah dengan istri pertama bernama Debbie namun ibuku meninggal saat melahirkanku. Selama bertahun-tahun ayahku nyaris gila karena harus mengurusku seorang diri. Sebenarnya ayahku sudah memiliki pengasuh bayi untukku, tetapi ia benare-benar protektif terhadapku. Melepaskanku dari rumah untuk jalan-jalan dengan temanku saja dilarang—itu saat aku masih remaja. Lalu ia bertemu dengan ibu angkatku, Selena, saat aku berumur 6 tahun. Ia menikah dengan ayahku, aku ibu baruku jadi aku menerimanya. Ia menyayangiku seperti anak kandung. Mungkin ia belum pernah mengasuh anak-anak sebelumnya, sepertinya ia menyukai anak-anak. Aku sudah menganggapnya seperti ibu kandungku sendiri. Tetapi hanya satu kekurangannya. Ia tidak ingin hamil saat aku meminta adik padanya. Entah apa masalahnya, ia bilang ia hanya tidak ingin hamil. Dan ia tidak pernah menyukai anak laki-laki. Hanya anak perempuan. Sampai sekarang aku tidak tahu apa alasannya. Aaron mengecup hidungku hingga aku terkejut, ia tertawa pelan. “Apa yang kaupikirkan?”
            “Tidak,” aku menunduk untuk menyembunyikan pipiku yang memerah. Sungguh, jantungku sepertinya berhenti berdetak saat ia mengecup hidungku. Masalahnya, tidak ada yang pernah melakukan itu padaku selain ayah. Dan sensasinya sungguh berbeda. Apalagi ia adalah pria yang kusuka. Ada sesuatu yang ia berikan pada tubuhku hingga aku bergetar seperti ini. Jika ia tidak memelukku, aku pasti jatuh kehilangan keseimbangan. “Kau benar, aku bukan anak kandungnya. Tapi ia sudah menganggapku seperti anak kandungnya sendiri,”
            “Saat kulihat ibumu, kupikir kau memang tidak mirip dengannya. Mungkin lebih mendominan pada wajah ayahmu. Tapi ternyata kau memang bukan anaknya. Jadi, kau tidak punya adik, eh?” Eh. Desahan diakhir ucapannya benar-benar menghipnotisku. Membayangkan bagaimana ia bisa membuatku bergetar hanya karena ucapannya itu? Aku tidak tahu sihir apa yang ia pakai untuk membuatku bisa memujanya berlebihan seperti ini. Sebelumnya, aku tidak pernah begitu memuji pria selain ayahku. Pujian “tampan” sudah melebihi kapasitas seharusnya. Tetapi Aaron membuatku memujinya lebih dari “tampan”, ia itu dewa. Aku mengangguk.
            “Yeah. Mom tidak mau hamil,” ucapku. “Bagaimana denganmu? Apa kau memiliki banyak adik?” Tanyaku penasaran. Salah tangan Aaron terangkat dari pinggangku, ia melihat tangannya yang mengenakan jam tangan lalu ia tersenyum. “Apa? Ada apa?” Aku tiba-tiba khawatir, entah mengapa. Meskipun ia tersenyum, pasti ia harus pergi sekarang dan meninggalkanku.
            “Kita masih punya waktu untuk pulang ke rumah dan bertemu dengan adik-adikku. Mereka belum tidur.” Aaron sudah menarikku beranjak dari lantai dansa, membuatku bingung. Bahkan aku belum sempat menerima atau menolak tawarannya. Tahu-tahu kami sudah berada di luar kelab. Aku akan bertemu dengan keluarganya? Tapi aku belum siap!


***


            Niatku untuk menghubungi ayah hilang sudah setelah aku berpikir kalau sekarang aku memiliki rumah sendiri. Aku sudah tidak pulang ke rumah lagi dan meminta ayah untuk menyuruh penjaga rumah membuka gerbang jika aku pulang –biasanya ayahku akan memarahiku jika aku terlambat pulang tanpa mengabarinya. Mobil Aaron berhenti di depan sebuah rumah –setelah melewati gerbang—yang besar, yang kuyakini bahwa rumah itu adalah rumah keluarganya. Mengapa Aaron tidak memiliki tempat sendiri? Maksudku, ia sudah sebesar diriku. Bahkan ia lebih tua dibanding diriku. Jadi, mengapa tetap tinggal di rumah orangtuanya? Lalu aku teringat dengan anak pertamanya yang ia ceritakan padaku. Tentu saja ia tidak akan tinggal di rumahnya sendiri—jika memang ia memiliki rumah sendiri—karena istrinya telah meninggal. Siapa yang akan mengurus anaknya jika Aaron tidak berada di rumah? Mungkin tinggal di rumah orangtuanya satu-satunya jalan daripada ia harus memperkerjakan pengasuh bayi. Sekarang banyak kasus penculikan anak melalui pengasuh bayi. Kalau anak remaja yang mengasuh bayinya, pasti anaknya tidak akan terdidik. Sekarang aku mengerti atau aku akan malu pada diriku sendiri karena sudah berpikir sok tahu.
            Aaron turun dari mobil beberapa detik yang lalu sebelum aku menyadarinya. Pintu mobil sudah terbuka, aku menghargainya meski tak menyukainya. “Terima kasih,” ia menutup pintu. Tangannya memegang tanganku begitu posesif. Membawaku ke dalam rumah besar ini membuat aku susah bernafas. Apa yang harus kukatakan pada orangtuanya atau adik-adiknya nanti? Aku belum mempersiapkan diri untuk bertemu dengan orangtua dari pria yang kusukai. Biasanya kau latihan berbicara di depan cermin sebelum ingin bertemu dengan orang penting. Orangtua Aaron sama dengan orang penting. Pintu terbuka, Aaron melirik jam tangannya lagi.
            “Masih jam 8,” gumamnya. Suara berisik dari dalam terdengar. Ruang tamu yang super duper besar ini sepertinya bisa menampung 50 orang dan ruang tamu ini kosong. Begitu banyak barang antic yang tersimpan di dalam lemari. Lemarinya bahkan lebih dari 2 di ruang tamu ini. Sebenarnya, apa guna memiliki barang-barang seperti ini? Mungkin jika seseorang merusaknya, bagi Mr.Bieber –ayah Aaron—tidak menjadi masalah. Ia tinggal membeli lagi lalu menyimpannya kembali. Bukankah mereka adalah keluarga kaya? Tiba-tiba saja seorang anak kecil bertubuh mungil berlari-lari muncul dari pintu penghubung ke suatu ruangan. Rumah ini terlihat sangat luas dan dirancang begitu aneh. Dari ruang tamu ini, kau bisa menemukan beberapa pintu keluar lalu sebuah bar di dekat ruang tamu dan tangga ke atas. Sungguh sial, rumah ini sungguh besar dan aku tidak mengerti. Sepertinya jika Aaron memiliki denah rumah ini, aku dengan sangat senang hati akan menerimanya. Munculnya anak kecil ini membuatku bingung ia berasal dari ruangan mana. Ia hanya memakai popok dengan bedak putih di perutnya.
            “Daddy!” Anak kecil itu berlari menuju Aaron lalu memeluk kaki ayahnya. Demi Tuhan ini adalah pemandangan termanis yang belum pernah kulihat sebelumnya –oke, mungkin pernah berkali-kali bedanya adalah pria yang kusukai yang memiliki anak itu. Disusul dengan keluarnya seorang pria berwajah awet muda dengan janggut yang tercukur yang terengah-engah memegang sebuah celan. Aaron sudah menggendong anaknya yang bernama Justin –kemarin malam ia menyebutkan nama anaknya secara tak langsung. Ia menempatkan kedua tangannya di ujung lututnya dengan tubuh terbungkuk lalu ia mendongak.
            “Si-siapa dia Aaron?” Tanyanya santai tanpa merasa malu sedikitpun. Sungguh, ia adalah pria tersantai yang belum pernah kutemui sebelumnya—kali ini benar-benar belum pernah kutemui. Bahkan paman Brad lebih tahu malu dibanding dirinya. Dapat kupastikan ia adalah pria yang kulihat di kelab, di Las Vegas. Mata menatap kamera dengan tatapan tak acuh, bibirnya yang tak tersenyum, dan terlihat jahat. Sekarang aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Dia tidak sejahat yang kulihat. Anak Aaron menoleh padaku dengan dua jari yang ia isap. Super duper lucu! Aku tak sanggup untuk tidak tersenyum dan membuat wajah konyol padanya –selagi Aaron tidak menatapku—namun langsung kuhentikan saat ia mulai tertawa. Setelah itu ia menggeleng-gelengkan kepalanya penuh bahagia. Mr.Justin Bieber mulai berdiri dengan tegak, nafasnya sudah sedikit teratur lalu ia melangkah mendekati kami. Ia mengangguk padaku, memberi kode pada Aaron untuk memperkenalkanku padanya. Aaron bodoh sekali! Aku kesal padanya.
            “Dia Kath, Dad. Kath, ini Dad. Justin Bieber, kurasa kau sudah tahu,” Aaron memperkenalkanku pada ayahnya. Aku melangkah satu langkah lalu mengulurkan tanganku padanya. Tangan Mr.Justin Bieber yang memegang celana anak Aaron langsung menaruh celana itu ke atas pundaknya dan menjabat tanganku penuh keyakinan. Aku suka ayah Aaron. Ia percaya diri, seperti tidak ragu-ragu.
            “Justin Bieber. Ayah Aaron. Kakek Juber,”
            “Dad!” Aaron menegur ayahnya. Aku kebingungan. Apa masalahnya? Dan Juber? Siapa Juber? Lalu aku kembali sadar kalau Juber adalah anak Aaron. Tentu saja, pasti anak Aaron adalah cucu pertama Mr.Justin Bieber karena aku tidak pernah mendengar Grace memiliki suami atau anak. Ayah Aaron hanya tertawa ketika Aaron menegurnya. “Jangan dengarkan apa yang ayahku katakan, ayo masuk,” ajak Aaron.
            “Yeah, ayo masuk. Kath,” Mr.Justin Bieber menekankan nada saat ia menyebut namaku. Aku berjalan sejajar dengan Aaron. Tangan anak Aaron yang dipanggil Juber oleh Mr.Justin Bieber itu memegang tanganku dan tertawa-tawa saat menarik-nariknya. Ia bahagia, tapi aku kesakitan. Rambutku dikepan seperti biasa, jadi hanya sedikit rambut yang ia tarik. Cukup menyakitkan. “Hei, bung! Itu bukan susu. Kau tidak bisa meminumnya. Lepaskan itu dari tanganmu,” Mr.Justin Bieber mendekati aku dan Aaron saat baru memasuki ruangan yang baru. Aku dan Aaron berhenti melangkah, ayah Aaron menarik Juber dari gendongan Aaron. Rambutku yang belum dilepaskan ikut tertarik saat Juber ditarik.
            “Tidak!” Juber langsung cemberut saat tanganya terlepas dengan rambutku. “Tidak! Daddy!” Sungutnya tidak ingin digendong kakeknya. Aku hanya tertawa melihat tingkah anak Aaron yang lucu. Juber mirip sekali dengan Aaron, jika kuperhatikan, mungkin matanya berwarna hitam. Berbeda dengan Aaron yang memiliki mata harimau. Perutku mulas saat aku sadar beberapa pasang mata sedang menatapku dengan pandangan bingung. Tangan Aaron memegang tanganku dengan erat seperti hendak melindungiku dari keluarganya. Memang keluarganya akan menyerangku? Dua anak …kembar? Jantungku berpindah tempat sekarang. Satu anak remaja laki-laki sedang duduk di atas sofa menatapku dengan mata birunya. Hatiku mendesah melihat keindahannya. Dan satu gadis yang kutemui tiga hari yang lalu menatapku dengan tatapan kesal. Lalu seorang ibu yang memiliki mata berwarna biru duduk di atas sofa yang lain. Mengapa bisa begitu banyak orang di sini? Rumahku tidak seramai ini. Bahkan seperti pemakamana kalau kau ingin tahu. Juber masih merengek-rengek untuk lepas dari pelukan Mr.Justin Bieber, itu tidak membuat mata keluarga Aaron tidak memalingkan tatapannya. Seolah-olah kejadian Mr.Justin Bieber dan Juber adalah kejadian yang biasa mereka lihat, jadi mereka tidak peduli.
            “Semuanya, ini Kath. Kath Bloodworth,” Aaron memperkenalkanku, aku mengangguk sopan pada mereka. Juber yang sudah mengenakan celana itu langsung berlari menuju ibu Aaron –aku tahu begitu saja—dengan air mata sudah membasahi pipinya. “Kath, dua anak kembar itu adalah Monica dan Mozess. Monica dipanggil Moon sedangkan Mozess dipanggil Mozzy. Sedangkan itu Jonathan,” –Aaron menunjuk dua anak kembar dan satu anak laki-laki—“sebentar lagi ia berumur 13 tahun. Itu Grace, kalian sudah bertemu. Dan yang ini adalah …”
            “Aku ibu Aaron,” wanita paruh baya itu melihatku dengan tatapan tak percaya. Bahkan matanya sekarang berkaca-kaca. Oke, tapi sekarang aku ketakutan. “Jadi kau adalah Kath Bloodworth? Duduklah,” ia meminta. Aaron menarik tanganku untuk duduk di sofa yang kosong. Demi Tuhan mereka memiliki banyak sofa. Dan jika kulihat baik-baik, ini adalah ruang keluarga. Karpet, sofa, televisi, kulkas kecil dan sebuah dapur –lagi. Aaron duduk di sebelahku, ia masih memegang tanganku seolah-olah aku bisa membaca pikirannya jika ia memegang tanganku atau ia yang memegang tanganku. Oke, jadi di sini ia memiliki begitu banyak anggota keluarga. Dan Juber adalah anak pertama yang bisa mengambil hatiku hanya karena ia menarik rambutku meski menyakitkan. Ia berada di dalam pelukan neneknya, tengkurap dan masih terisak dalam tangisnya. Sungguh menyedihkan ketika kau melihat seorang anak kecil menangis seperti itu.
            “Jadi, apakah kalian berdua sudah berpacaran?” Wow, pertanyaan itu sungguh pada intinya. Ternyata ayah Aaron memang bukan pria yang menyukai basa-basi. Ia duduk di atas sofa, di sebelah istrinya yang masih berusaha menenangkan anak Aaron. Aku menggeleng malu-malu. Pipiku rasanya terbakar atas pertanyaannya. Itu adalah pemikiran yang membuatku menangis kemarin malam karena berpikir kalau aku dan Aaron tidak akan pernah menyentuh hubungan pacaran. Senyum ayah Aaron mengembang. “Hei, bung. Lihatlah ibu barumu di sana,” Mr.Justin Bieber menyentuh pundak Juber agar Juber bangkit dari tubuh neneknya. Lalu Juber membalikkan kepalanya ke arah Justin dengan mata yang basah.
            “Mana?” Tanyanya dengan suara kecil.
            “Di sana dia. Calon ibumu,” ucap Mr.Justin Bieber menunjuk padaku. Apakah ada yang lebih memalukan daripada ini? Karena seumur hidup aku tidak pernah bisa semalu ini. Bahkan saat aku menjadi pemandu sorak dan jatuh karena terpeleset tidak lebih memalukan dari ini. Juber melirik padaku sambil mengisap dua jarinya lagi. Ibu Aaron hanya bisa tersenyum padaku, memberikan tatapan bersahabat padaku. Sangat berbeda dengan anak perempuannya yang paling besar. Entahlah, senyumnya penuh arti yang pastinya tidak akan kumengerti karena ini kali petama aku bertemu dengannya. Hanya saja, ia terlihat begitu bahagia. Mungkin satu-satunya yang wajahnya bersinar di antara anggota keluarga ini.
            “Dad, sudahlah. Jangan menggoda Kath. Ia tidak suka,” Aaron menggelengkan kesal. “Ke kamarku,” ajak Aaron menarik tanganku untuk bangkit dari sofa. Ke kamarnya? Kulirik Grace yang memegang sekaleng soda, ia menatapku dengan tatapan benci. Bagus sekali Kath, hari pertama bertemu dengan seluruh keluarga teman lelaki, salah satu anggota keluarganya sudah membencimu. Usaha yang bagus. Aku mengejek diriku sendiri.
            “Pakai pengaman!” Mr.Justin Bieber berteriak saat kaki kami sudah menginjak tangga. “Jangan sampai si kembar dan Jonathan mendengar kalian berdua,” lanjutnya tertawa. Kudengar suara pukulan hingga Mr.Justin Bieber tersedak. Pipiku memerah mendengar ucapannya itu. Mengetahui aku masih perawan membuatku sedikit malu karena di umur yang seperti ini, aku belum berhubungan badan.
            “Jangan dengarkan ayahku,” Aaron memperingatkan. Aku hanya mengangguk. Lalu kami sudah berada di lantai dua. Ruang keluarga yang lain. Ada lorong panjang. Di kedua sisi lorong terdapat pintu-pintu kamar. Dan mungkin salah satunya adalah kamar Aaron. Tanganku terus ditarik melewati lorong-lorong. Terdapat nama-nama di tiap pintu kamar. Moon and Mozzy room, don’t disturb. Jonathan is here. Leave me alone. Banyak sekali tanda-tanda untukku agar tidak masuk ke dalam kamar mereka. Sepertinya lebih menyenangkan jika aku hanya masuk ke dalam kamar Aaron. Dimana kamar anaknya? Juber? Aku tidak sepenuhnya tahu siapa nama anak Aaron. Justin atau Juber? Kami berhenti di sebuah ruangan besar yang lain. Ruang keluarga yang lain, mungkin? Tetapi di sini aku melihat banyak mainan yang berserakan dimana-mana. Kemungkinan besar ini adalah ruang bermain …Juber? Aku tak sepenuhnya yakin. Tetapi Aaron tidak mungkin mengajakku bermain boneka-bonekaan di hadapan kami sekarang. Sungguh itu tidak lucu sama sekali. Ia membuka pintu berwarna abu-abu bergagang aluminium, ia mendorongnya. Aroma ruangan ini seperti tak pernah tersentuh oleh orang. Saat berada di dalam ruangan ini, semuanya serba abu-abu. Tempat tidurnya ukuran besar. Lemari berwarna abu-abu dengan 4 pintu serta satu kaca yang menempel di salah satu pintu. Dan kulihat sebuah pintu menuju …kamar mandi mungkin?
            “Ini kamarmu,” ucapnya membuatku bingung. Tangannya tak melepaskan tanganku. Sangat hangat sekarang –awalnya terasa dingin. “Kau akan menginap di sini bukan? Aku harap kau mau,”
            “Tapi…” aku tidak tahu apa yang harus katakan untuk menolaknya. Sebenarnya tidak apa-apa jika aku menginap di sini. Dan lalu aku ingat kalau besok aku harus bekerja. “Besok aku bekerja,”
            “Kurasa Mr.Smith tidak akan keberatan dengan ketidakhadiranmu besok, betul?” Aaron mengunci pintu kamar. Perutku langsung menegang mendengar kuncian pintu itu. Apa yang akan kita lakukan? “Duduklah, aku akan mengambil minum untukmu,” ucapnya melepaskan tanganku.
            “Aku tidak perlu,” tolakku. Aku berjalan menuju tempat tidur, lalu menyentuhkan bokongku pada tempat tidur yang empuk itu. Aaron hanya mengangguk akan tolakanku. Tempat tidur ini seperti tempat tidurku. Aaron mengambil sebotol minuman keras dari kulkas kecil di kamar ini. Sungguh hebat. Kamar tamu seperti ini sepertinya harus dimiliki masyarakat Atlanta agar tamunya senang menginap di rumahnya. Atau kebalikannya untuk mengusir tamunya secepat yang mereka bisa agar tak perlu memohon pada tamu mereka untuk pergi dari rumah.
            “Mari kita luruskan saja bahwa kita berdua sama-sama tertarik,” Aaron berdiri tegak dengan satu botol minuman di tangannya. Ia memerhatikan lututku yang bersatu. Aku tidak suka mengangkang saat duduk mengenakan rok, rasanya akan salah. Ia mulai meminumnya.  “Kau menginginkanku bukan?”
            “Well, ya. Siapa yang akan menolakmu?” Tanyaku malu-malu namun jujur. Aaron tergelak sebentar, ia menyimpan botol itu ke atas meja dekat lemari buku.
            “Tebak apa? Aku juga menginginkanmu,” ia berjalan mendekatiku, ucapannya begitu seduktif. Perlahan-lahan ia melepaskan jas yang ia kenakan ke atas lantai, detik setelahnya ia sudah benar-benar berada di depanku. Kedua tangannya menyentuh pundakku. “Malam ini.” Ia menunduk, tangannya memegang tengkukku lalu mengecup bibirku. Kupejamkan mataku tak bisa menolak permintaan bibirnya untuk dipagut oleh bibirku. Ia menciumku hingga lidahnya melesak masuk ke dalam mulutku, bermain di sana. Dengan gerakan pelan ia mendorong tubuhku hingga punggungku menyentuh kasur yang dingin. Bibir kami saling lepas menghasilkan bunyi cepakannya yang membuat bagian bawahku terasa licin dan bergetar.
            “Kau ingin melakukannya denganku?” Tanyanya berbisik, matanya menatap pundak telanjangku.
            “Well, ya,” aku malu-malu. “Tapi aku masih perawan.” Tubuhnya menegang di atas tubuhku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar