Justin
menekuk kepalanya dengan tangan memegang bola kecil berwarna biru tua. Tangan
kirinya meremas-remas bola itu dengan gemas. Tatapannya kosong melihat lantai
kamarnya yang sudah bersih dari air yang kemarin tumpah. Gadis kemarin
benar-benar membuat Justin nyaris gila hanya karena Justin menyentuh tangannya
yang lembut dan kejadian tadi malam yang memalukan. Mata biru alami itu yang tidak akan pernah Justin
lupakan. Gadis itu memang memikat, lagi pula, siapa yang tidak? Kakak-kakak
dari Justin, mungkin. Justin dihina habis-habisan oleh Angelo dan Robert karena
Justin tidak berani membuat Elanie terbaring di atas tempat tidur dengan
keadaan telanjang—yang diresponi oleh Justin dengan cara mengadukannya pada
ayahnya.
Kepala
Justin meneleng ke sebelah kanan lalu ia mengembus nafas panjang. Memberikan
pakaian pada seorang gadis bugil di hadapannya saja sudah berhasil membuat
Justin hampir pipis di celana. Apalagi jika membuat seorang gadis terbaring di
atas tempat tidur dengan keadaan telanjang? Membayangkan saja Justin tidak
bisa. Hari ini ia akan bertemu dengan Elanie lagi di tempat pengambilan gambar
untuk undangan pernikahan mereka. Ia pernah mendapatkan undangan pernikahan
dari teman-teman kerja dan mainnya agar ia bisa datang ke pernikahan mereka.
Dan sekarang, ia yang akan memberikan undangan-undangan itu pada mereka, tapi
kali ini, Justin akan mengangkat dagunya ke atas. Tentu saja! Teman-teman
Justin selalu mengejek Justin karena ia belum menikah. Hinaan itu sudah
berlangsung selama 4 tahun tiap kali Justin dan teman-temannya bertemu. Luka
batin yang mendalam sekarang akan sirna karena pembalasan dendam melalui
undangan pernikahan sebentar lagi akan terwujud! Dan di hari pernikahannya,
jika teman-temannya datang, ia akan membuat jari telunjuk dan tengahnya
menyatu, lalu ia akan mengecupnya dan menyentuhkan dua jari pada bokong Justin.
Cium bokongnya!
Bayang-bayang
itu membuat Justin cekikikan sendiri seperti orang gila—dan memang gila jika
orang bertanya pada kakak-kakaknya. Seseorang mengetuk pintu, membuat Justin
menegakkan tubuhnya lalu bangkit dari pinggiran tempat tidur. Ia melempar
sembarang bola biru kecil itu sambil berjalan menuju pintu kamarnya.
“Justin,
sayang, apa kau sudah siap?” Suara ibunya terdengar. Ia membuka pintu kamar.
Ibunya tersenyum, anaknya memang sudah sangat besar. Justin memakai kemeja
putih yang mahal—yang sudah disetrika—serta celana jins biru yang menggantung
di pinggang Justin. Memang Justin disuruh memakai pakaian sederhana seperti ini
agar mereka tidak dihina terlalu mewah. Keluarga Bieber bukan tipe keluarga
yang suka memamerkan barang-barang mereka yang memang mahal. Tetapi siapa pun
yang melihat salah satu anggota keluarga mereka pasti akan menilai kalau
ia—entah Angelo, Robert atau Justin—adalah orang kaya. Keluarga Bieber yang
kaya itu mempunyai aura kekayaan sendiri meski mereka tidak menunjukkannya.
“Sebentar
lagi kau akan menikah. Bukankah Elanie sangat cantik?” Kedua tangan ibu Justin
menggantung di kedua bahu Justin. Justin menganggukkan kepalanya berkali-kali,
seperti anak kecil yang sangat senang karena telah diberikan mainan. “Satu
bulan lagi kau akan menikah.”
“Satu
bulan?” Justin terkejut. Bukan terkejut ingin protes, tetapi terkejut senang!
Sebentar lagi ia akan meminta teman-temannya mencium bokongnya. “Itu sangat
bagus, bu.”
Ibu
Justin mendesah. “Elanie juga akan berada di sana sebentar lagi, tidakkah kau
ingin berangkat sekarang?” Tanya ibu Justin lembut. Justin mengangguk satu kali
sambil tersenyum, ia tidak sabar ingin bertemu dengan Elanie lagi! Ibunya
melepaskan tangan dari bahu Justin, ia membalikkan tubuhnya untuk turun ke
lantai bawah.
“Eh!”
Justin menahan ibunya hingga ibunya membalikkan tubuh kembali. “Boleh aku
membawa dua dinosaurusku?” Tanya Justin menjinjit-jinjit berkali-kali. Tangan
ibunya menyentuh tangan Justin yang berada di atas bahunya.
“Tidak
ada yang melarangmu.”
***
Siang
itu Elanie memakai pakaian yang cantik. Gaun selutut yang tipis telah menempel
di tubuhnya. Rambutnya sudah diikat sedemikian rupa hingga dihias dengan
bunga-bungaan berukuran kecil di sekitar kepalanya beserta daun-daun kecilnya
juga. Ia sudah dirias oleh penata rias yang disewa oleh keluarganya dan
keluarga Bieber. Ia sedang menunggu Justin yang katanya sebentar lagi akan
datang. Suasana hati Elanie sedang memburuk. Eline tidak bisa datang dihari
pernikahannya nanti. Padahal satu-satunya saudara yang ia miliki hanyalah
Eline. Ia membutuhkan Eline! Eline sudah menikah, otomatis Eline tahu bagaimana
menjadi istri. Elanie sudah canggung berbicara dengan ibunya tentang bagaimana
menjadi istri yang baik. Bukan tentang memasak atau mengepel lantai, hanya,
saja …hal-hal yang teman-temannya sering bicarakan. Seks. Bagaimana caranya?
Elanie menelan ludah melihat cerminan dirinya di depan.
Mengingat
kejadian tadi malam tentu menjadi salah satu alasan Elanie ragu kalau ia akan
disentuh oleh Justin. Elanie benar-benar menghargai Justin karena Justin tidak
berani menyentuhnya atau mengintip ketika ia mengganti pakaian, tetapi,
menggandeng tangan saja Justin sudah gemetaran! Bagaimana berhubungan badan
nanti? Sebuah suara mengalihkan pikiran Elanie hingga Elanie membalikkan
tubuhnya ke belakang. Dari mulut pintu tenda terlihat seorang pria yang
kelihatan tampan, bersemangat dan hebat di ranjang. Sangat diragukan jika itu
bukan Justin. Pria itu berlari ke arah Elanie hingga rambutnya naik-turun.
Lucu.
“Hey,”
sapa Justin menelan ludah. Perasaan ganjil yang kemarin itu kembali terasa di
sekujur tubuh Justin. Entahlah, tapi Justin merasakan panas dari dalam tubuh.
Ia melihat Elanie dari atas, lalu ia mendesah. Gadis ini sangat cantik
bagaimana pun pakaiannya dan riasannya. Ia tak sabar ingin mengambil foto
dengan Elanie. Justin cukup merasa bangga karena ia telah memegang tangan
Elanie dan sekarang ia akan melakukannya lagi. “Kau sangat cantik.”
Elanie
terkekeh. “Pujian klasik,” komentar Elanie. “Kau tampak lebih tampan dari
kemarin. Kemana yang lain? Maksudku, kakak-kakakmu?” Tanya Elanie. Justin
mendesah dengan kesal. Hinaan dari kakak-kakaknya masih membakar perasaannya.
Ia butuh Elanie untuk menyiramnya dengan air, tetapi Elanie malah memberikan
kayu lebih banyak lagi.
“Jangan
tanya tentang mereka,” ujar Justin dengan raut wajah masam. “Tapi kita akan
menikah 1 bulan lagi, oh yeah,” Justin menari-nari kecil di tempatnya sambil
menjentikkan jarinya. Elanie terkekeh
dengan tingkah Justin. Setidaknya Justin tidak mudah terlarut dalam
kesedihannya. Elanie tahu bagaimana rasanya menjadi seorang adik. Dari nada
bicara Justin di kalimat awal, dapat terdengar Justin sedang marah pada
kakak-kakaknya. Pipi Elanie memerah,
tangan Justin menarik tubuhnya agar bangkit dari kursi. “Ayo, menari. Jangan
malu-malu,”
Elanie
menggelengkan kepalanya. “Tidak, Justin. Itu konyol,” Elanie berusaha
melepaskan tangannya dari genggaman Justin. Namun Justin malah menggoyangkan
pinggulnya pada pinggul Elanie. Kalau saja kakak-kakak Justin berada di hadapan
Justin sekarang, mereka tahu sebentar lagi Justin akan mati karena gugup menari
bersama seorang gadis seperti Elanie. Justin hanya pintar menyembunyikan
perasaan itu dari gerak-geriknya.
“Justin,”
suara seseorang yang benar-benar ia kenal terdengar. “Apa yang kaulakukan?”
Tanya seorang pria bertubuh tinggi serta kulitnya yang hitam dengan sebuah
kamera menggantung di lehernya. Sontak Justin menghentikan gerakannya. Entah
dari mana asalnya, Justin langsung maju satu langkah ke depan Elanie, berniat
untuk melindungi Elanie.
“Kau
yang akan mengambil foto hari ini?” Tanya dengan suara yang berbeda. Oh.
Pria
berkulit hitam itu terkekeh. “Tentu saja, bodoh! Kau pikir kamera ini gunanya
untuk apa?” Tanya pria kulit hitam itu menatap Justin dengan tatapan mengejek.
Elanie dapat mendengar dengusan dari hidung Justin.
“Kaupikir
aku lupa dengan apa yang telah kaulakukan padaku? Kau tahu apa? Ingatan itu
masih segar seperti daging yang diambil dari kulkas. Aku tidak akan pernah
melupakannya, Jimmy,” ucap Justin seperti mengalami sakit hati yang mendalam.
Sebenarnya, apa masalah mereka berdua? Pipi Elanie merah padam sekarang.
Didengarnya pria bernama Jimmy tertawa lalu berhenti seketika. Seperti yang ada
di film-film.
“Saat
itu aku tidak sengaja, Mr.Bieber,” ucap Jimmy menghela nafas panjang. “Kau
orang kaya. Jadi, untuk apa kau memikirkannya? Kau bisa membelinya lagi,”
“Kau
merusak Brachiosaurus-ku!” Isak Justin.
“Kau sengaja memberikan Brachiosaurus-ku pada anjing bodoh itu! Kaupikir aku
tidak akan sakit hati?” Tanya Justin menunjuk-nunjuk dadanya. Jimmy hanya
menganggap Justin seperti lelucon. Kejadian itu sudah lama sekali terjadi.
Bahkan saat itu mereka masih berumur 10 tahun, siapa yang akan mengingat itu
selama 17 tahun? Justin. Mungkin hanya Justin yang melakukannya karena tiap
kali Jimmy bertemu dengan Justin, Justin selalu mengungkit masalah dinosaurus
kesayangannya itu. Jimmy pikir, Justin sudah tidak mengingatnya lagi. Well,
sebenarnya, salah Jimmy juga karena keesokan harinya Jimmy tidak mau bermain
lagi bersama Justin lagi di sekolah karena ia merasa bersalah. Elanie maju ke
depan, melewati Justin.
“Jadi semua ini hanya karena mainan
dinosaurus bodoh itu?” Desah Elanie memegang lengan Jimmy, ia hampir jatuh.
Justin menatap Elanie dengan tidak tatapan tak percaya.
“Dinosaurus bodoh itu? Itu bukan
dinosaurus bodoh, Elanie! Brachiosaurus adalah dinosaurus yang baik sepanjang
sejarah. Teganya kau!” Justin membuang wajah, marah. Elanie menggelengkan
kepalanya, ia tidak percaya Justin bertingkah seperti anak kecil. “Sudahlah.
Tidak ada yang mengerti perasaanku. Kita ambil foto saja sekarang.”
***
“Sudah cukup. Kita sudah mendapat
foto-foto yang bagus,” teriak Jimmy bangkit dari tanah. Justin yang baru saja
memegang pinggang Elanie langsung menjauhkan tubuhnya dari Elanie. Ucapan
Elanie masih membekas di hatinya. Dinosaurus bukanlah hewan yang bodoh. Elanie
hanya belum tahu betapa berharganya mereka bagi Justin. Elanie memerhatikan
Justin berjalan menuju tenda putih tanpa mengucapkan apa pun. Ia harus meminta
maaf pada Justin. Tidak seharusnya ia mengatakan seperti itu pada Justin. Siapa
tahu memang mainan dulu itu sangat berarti bagi Justin hingga Justin
mengingatnya. Elanie mendesah, ia berjalan cepat menuju tenda itu.
Justin terduduk di atas kursi, di
depan meja bercermin di hadapannya. Pria itu sedang bermain dengan dua mainan
dinosaurusnya, berimajinasi. Elanie tersenyum kecil. Bagaimana pun juga, pasti
Justin memiliki sisi kedewasannya. Sebentar lagi ia akan menjadi suami Elanie,
Elanie tentu harus menerima apa adanya Justin. Ia berjalan hingga berhenti di
belakang kursi Justin. Justin berteriak kecil dengan suaranya lain sambil
mengangkat salah satu dinosaurusnya.
“Mati kau! Mati kau!” Seru Justin
menelan ludahnya. “Ah, tidak! Kau yang akan mati, pergi kau!” Seru Justin
kembali dengan suara yang benar-benar lucu. Elanie memerhatikan Justin terus
menerus hingga detik berubah menjadi menit. Justin masih tidak menyadari akan
kedatangan Elanie sampai akhirnya Elanie terpaksa harus menepuk pundaknya.
“Hey,” bisik Elanie. Justin melirik
pada pundaknya yang disentuh Elanie. Bukan jijik atau apa, tapi ia tidak pernah
sesering ini disentuh oleh seorang gadis! Rasanya sangat ganjil ketika Elanie
menyentuhnya seperti ini. Ia merasakan getaran yang sama lagi. “A-aku minta
maaf karena telah menghina dinosaurus atau apalah, yang jelas aku minta maaf,”
“Kau tidak perlu meminta maaf,” ucap
Justin berpura-pura. Padahal jeritan di hatinya berbeda. Mengapa ia bisa-bisanya menghina dinosaurusnya yang paling aku sayang? Lalu
Justin kembali memainkan mainannya itu. Tangan yang masih berada di pundak
Justin berubah menjadi sebuah usapan. Justin tidak meminta Elanie untuk
berhenti melakukan itu karena jujur saja, Justin menyukai elusan itu. Sabar Justin, kau akan menikah dengannya
satu bulan lagi. Hanya satu bulan lagi.
“Aku akan pulang sebentar lagi,”
ucap Elanie tersenyum. “Dah,” ia mulai berjalan meninggalkan Justin. Justin
melirik Elanie yang sekarang memunggunginya dari cermin di hadapannya. Gadis
itu benar-benar akan pergi dan Justin tidak mengatakan apa-apa! Pria macam apa
Justin? Ia berdiri dari kursi itu, berlari ke arah Elanie lalu menahan gadis
itu.
“Elanie,” panggil Justin. “Tidak
apa-apa soal tadi. Aku serius, kau tidak perlu meminta maaf. Ini. Untukmu,
ambillah, tidak apa-apa. Sebelumnya aku tidak pernah memberikan mainan
dinosaurusku pada siapa pun, kecuali kau. Ayo, ambil,” ucap Justin memberikan
salah satu mainannya pada Elanie. Elanie menatap tangan Justin yang memegang
dinosaurus itu selama beberapa detik lalu tersenyum. Oh, inilah perbedaan
Justin dari pria lain. Di saat yang lain memberikan bunga mawar mewah atau
perhiasan, Justin malah memberikan mainan dinosaurus. Tanpa ragu-ragu Elanie
mengambil mainan itu dari tangan Justin.
“Terima kasih, aku akan menyimpannya
sebaik mungkin,”
“Ya, memang harusnya begitu,” ujar
Justin seperti memberikan anaknya pada
orang lain selama 1 hari karena ia sibuk bekerja. Elanie tertawa lalu ia
mengangguk. “Hati-hati di jalan, Elanie.” sambung Justin tersenyum. Elanie
mengangguk lalu berjalan meninggalkan Justin yang tetap berdiri di
tempatnya. Kedua pasang matanya menatap
Elanie dengan tatapan kagum, tanpa sadar ia menyentuh pundak yang baru saja
dielus oleh Elanie. Gadis itu tiba-tiba saja tersandung. Justin terkesiap, ia
langsung berlari ke arah Elanie dan mengangkat tubuh Elanie yang terjatuh.
Sempat Justin berpikir, bagaimana bisa? Ini adalah padang rumput dan
kemungkinan kecil ada batu…
“Aku tersandung kakiku sendiri, ya
Tuhan, ini sangat memalukan. Terima kasih,” ucap Elanie tertawa-tawa. Ya ampun,
tawaan Elanie benar-benar indah. Ini pertama kalinya Justin mendengar Elanie
tertawa lepas dengan jarak yang sangat dekat. Setelah benar-benar berdiri,
Justin masih memegang lengan Elanie. Apa
yang terjadi padaku ya Tuhan? Justin ingin menjambak rambutnya. “Aku
pulang,”
“Ya, tentu saja.”
***
Sejak saat itu Justin dan Elanie
tidak perna bertemu. Tidak sekalipun. Bahkan saat mencoba gaun pernikahan
Elanie, Justin tidak ada. Kata orangtua Elanie, biarkanlah wujud mereka menjadi
kejutan di hari pernikahan mereka nanti. Cincin juga sudah ada. Cincin
peninggalan dari kakek-nenek Justin, lebih tepatnya. Sangat manis. Elanie sudah
menghubungi Eline berkali-kali dan memohon agar saudara kembarnya datang ke
acara pernikahannya.Tetapi Eline tetap tak bisa ikut pergi ke pernikahan Elanie
nanti. Elanie meminum jus yang ia pesan tadi di café, tempat ia biasa berkumpul
dengan teman-temannya. Fanny dan Pearl sudah datang, mereka tinggal menunggu
Linda yang lama sekali datang. Dari tadi Fanny dan Pearl membicarakan hal-hal
yang Elanie belum pernah rasakan. Dua temannya ini sudah menikah dan bahkan
sudah memiliki anak. Elanie jadi penasaran mengapa mereka bisa sebahagia ini.
Apa memang nyaman menikah dengan seorang pria? Maksudku, tinggal satu atap
dengan seorang pria? Elanie belum pernah mencobanya.
Diam-diam Elanie merindukan Justin
beberapa hari terakhir ini. Mainan yang diberikan oleh Justin itu selalu Elanie
bawa kemana-mana. Jadi, jika Elanie merindukan pria itu, ia hanya perlu melihat
mainan dinosaurus lalu membayangkan pria lucu kekanak-kanakan itu. Elanie
tersenyum seperti orang tolol sekarang. Omong-omong, undangan sudah disebarkan.
Fanny dan Pearl juga mendapatkannya.
Pearl yang berambut merah itu
bersiul. “Aku tahu, aku tahu kau akan menikah. Tapi kumohon, El, jangan segila
ini. Aku tahu calon suamimu tampan, tapi kau bukan El yang kukenal sebelumnya,”
goda Pearl bersandar di kursi empuknya. Elanie hanya terkekeh pelan, ia membuka
retsleting tas selempang kecilnya lalu mengeluarkan mainan dinosaurus dari
dalam. Air wajah Fanny dan Pearl berubah, mereka menatap Elanie dengan ngeri.
“Dia merubahmu menjadi seorang wanita yang menyukai mainan? Apa-apaan,”
“Bukan,” ujar Elanie. “Benda
romantis apa yang suamimu berikan padamu?” Tanya Elanie pada Pearl dan Fanny.
Fanny berpikir sebentar.
“Kalung ini? Sepatu? Entahlah, mungkin
kedua itu,” ucap Fanny menunjukkan kalung yang menggantung di lehernya. Elanie
mengangguk satu kali, lalu ia menatap Pearl.
“Benda romantis yang ia berikan
padaku sepertinya …ya, perhiasan. Bunga. Cokelat. Apa lagi memangnya—oh! Ini
adalah benda romantis yang ia berikan padamu El? A-aku masih tidak percaya.
Dibalik wajahnya yang tampan itu, ia ternyata memiliki kelainan. Aku tidak
setuju kau dengannya, El. Dia membuatmu seperti orang gila!” Seru Pearl tidak
percaya. Elanie mengedik bahu. Bukan Elanie yang meminta untuk bertemu dengan
Justin. Tetapi, Elanie juga berterima kasih pada kedua orangtuanya karena telah
mempertemukan Elanie dengan Justin. Jika tidak, pasti Elanie tidak merasa
sespesial ini.
“Romantis itu relatif,” ucap Elanie
mengelus-elus mainan Justin itu. “Aku yakin, ada orang di luar sana yang merasa
spesial ketika suaminya mengambil tampon untuknya. Sekarang apa yang kalian
rasakan sedang kurasakan. Dan sebentar lagi, apa yang benar-benar kalian
rasakan akan kurasakan,”
“Maksudmu?”
“Aku jatuh cinta, tidakkah kau
sadar? Aku memang baru bertemu dengannya sebanyak 2 kali. Tapi dua-duanya
benar-benar berkesan, apalagi sebentar lagi aku akan menikah. Lalu, aku akan
merasakan bagaimana rasanya menjadi seorang istri seperti kalian,” ucap Elanie
menoleh ke kiri lalu mencium pundaknya malu-malu. Astaga, ia baru saja mengaku
kalau ia jatuh cinta pada Justin. Padahal ia baru saja bertemu dengan Justin
sebanyak 2 kali. Itu tidak wajar. Elanie tersenyum-senyum kembali. Ia
memikirkan apa yang Justin lakukan sekarang. Perbedaan Justin dari pria lain
membuat imajinasi Elanie terhadapnya juga berubah. Ia membayangkan Justin
bermain mainan dinosaurus di kamarnya dengan suara-suara buatan yang konyol.
“El! El! Lihat!” Seru Pearl
menepuk-nepuk pundak Elanie yang lain lalu menunjuk ke sebuah tempat. Pandangan
Elanie terjatuh pada seseorang yang sedang berada di pikirannya. Ia sedang
terduduk bersebelahan dengan seorang wanita dan berhadapan dengan dua orang
lain. Pria dan wanita juga. “Bukankah itu Justin?” Tanya Pearl berbisik. Elanie
mengangguk satu kali.
Ia memerhatikan Justin yang
bersandar di kursi empuk itu. Justin mengenakan setelan berwarna hitam sambil
tangan kirinya memegang sebuah bolpoin. Pria itu mendesah terus menerus,
sepertinya kebosanan. Seolah-olah ia mendesah, ah kapan aku bisa pulang? Dua orang di hadapanku ini seperti tidak
berguna sama sekali. Tak sadar, Elanie tersenyum. Pria itu sedang bekerja
sampai sore seperti ini, pasti ia lelah. Justin memainkan lidahnya di dalam
mulut, kepalanya menoleh ke segala arah sampai akhirnya Justin menatap Elanie.
Itu hanya berlangsung beberapa detik, kemudian Justin mengalihkan pandangannya
dari Elanie. Justin mulai berbicara. Tidak tersenyum? Apa yang terjadi pada
Justin? Bahu Elanie merosot begitu saja. Saat itu juga Linda muncul dengan
heboh. Mereka mulai berbicara tentang suaminya lagi dan lagi. Elanie mendengar
apa yang mereka ceritakan tapi sesekali ia menoleh pada Justin yang tidak sama
sekali menoleh padanya.
Mungkin
ia memiliki masalah. Hanya itu yang bisa Elanie pikirkan. Tak terasa malam
mulai menjemput mereka. Elanie harus segera pulang sebelum orangtuanya
mencarinya.
“Hey, semuanya, aku harus pulang,”
ucap Elanie. Linda menatap Elanie dengan tatapan kecewa.
“Oh ayolah, aku baru sebentar di
sini,”
“Tapi aku ben—eh,” Elanie terkejut
ketika dua buah tangan menyentuh bahunya. Sontak Elanie mendongak. Ia mendapati
Justin yang menatapnya dari atas sana sambil tersenyum. Justin memberikan
senyuman maut pada ketika temannya hingga membuat lidah Linda kelu.
“Boleh aku mengambil calon istriku
di sini? A-aku …oh, maaf. Aku benar-benar merindukannya. Bukankah dia gadis
yang mudah dirindukan? Aku tidak bisa tidur, tidak bisa makan, tidak bisa
mandi—“
Elanie segera bangkit dari kursinya.
Ia tidak ingin Justin berucap lebih jauh lagi sebelum hal yang tidak diinginkan
terjadi. “Oke, baiklah. Aku akan pulang dengan Justin. Sampai jumpa kalian!”
Seru Elanie mendorong Justin untuk menjauhkan Justin dari teman-temannya.
Elanie hanya malu jika Justin harus memamerkan kemesraannya—meski Elanie
sedikit ragu—di depan para teman.
“Jangan lupa pakai pengaman!” Pearl
berteriak. Elanie tidak membalik, ia hanya memutar bola mata. Setelah berada di
luar, Elanie melepaskan tangan Justin.
“Aku akan pulang sendiri,” ucap
Elanie. Justin mengangkat salah satu alisnya.
“Bukankah tadi kau bilang kau ingin
pulang denganku?” Elanie menepuk keningnya. Elanie lupa kalau Justin memiliki
sifat anak kecil! “Kau memang tidak ingin pulang denganku? Callahan sudah
berada di mobil,”
“Baiklah, ayo.”
Berada di dalam mobil membuat
keadaan terasa lebih canggung. Justin dan Elanie belum pernah satu mobil.
Bahkan duduk berdekatan seperti ini saja tidak pernah. Justin mengingat apa
yang kakak-kakaknya katakan. Jika seorang
gadis berada di sebelahmu, sentuh saja pahanya. Justin melirik paha Elanie
yang tertutup rok hitam lipat selutut. Ingin melihat pahanya saja Justin ngeri,
apalagi menyentuhnya. Mungkin Justin bisa pingsan di tempat. Pertanyaan yang
menurut Justin berkecamuk di pikirannya, untuk apa menyentuh paha seorang
gadis? Apa ada gunanya? Kalau begitu, apa? Justin tidak pernah mendengar jika
menyentuh paha maka ia akan mendapatkan mainan dinosaurus. Malah Justin tahu
dari cerita temannya yang bernama Ryan ketika Ryan menyentuh paha seorang
wanita, ia mendapat tamparan. Tanpa sadar Justin menyentuh pipinya dan
meringis. Elanie menoleh.
“Ada apa?” Tanya Elanie. Justin
menelah ludah.
“Aku ingin bertanya,” ucap Justin.
“Ap-apa yang kaulakukan ketika seorang pria menyentuh pahamu?” Tanya Justin
tanpa ragu-ragu dan sadar kalau pertanyaan itu akan menyinggung Elanie. Elanie
menarik lehernya ke belakang, raut wajahnya tidak percaya dengan pertanyaan.
“Apa?!” Saat itu juga Justin
memutuskan untuk tidak menyentuh paha Elanie.
“M-mau bermain dinosaurus?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar