Sabtu, 31 Mei 2014

Pure Love Bab 1



            Justin menekuk kepalanya dengan tangan memegang bola kecil berwarna biru tua. Tangan kirinya meremas-remas bola itu dengan gemas. Tatapannya kosong melihat lantai kamarnya yang sudah bersih dari air yang kemarin tumpah. Gadis kemarin benar-benar membuat Justin nyaris gila hanya karena Justin menyentuh tangannya yang lembut dan kejadian tadi malam yang memalukan. Mata biru alami itu yang tidak akan pernah Justin lupakan. Gadis itu memang memikat, lagi pula, siapa yang tidak? Kakak-kakak dari Justin, mungkin. Justin dihina habis-habisan oleh Angelo dan Robert karena Justin tidak berani membuat Elanie terbaring di atas tempat tidur dengan keadaan telanjang—yang diresponi oleh Justin dengan cara mengadukannya pada ayahnya.
            Kepala Justin meneleng ke sebelah kanan lalu ia mengembus nafas panjang. Memberikan pakaian pada seorang gadis bugil di hadapannya saja sudah berhasil membuat Justin hampir pipis di celana. Apalagi jika membuat seorang gadis terbaring di atas tempat tidur dengan keadaan telanjang? Membayangkan saja Justin tidak bisa. Hari ini ia akan bertemu dengan Elanie lagi di tempat pengambilan gambar untuk undangan pernikahan mereka. Ia pernah mendapatkan undangan pernikahan dari teman-teman kerja dan mainnya agar ia bisa datang ke pernikahan mereka. Dan sekarang, ia yang akan memberikan undangan-undangan itu pada mereka, tapi kali ini, Justin akan mengangkat dagunya ke atas. Tentu saja! Teman-teman Justin selalu mengejek Justin karena ia belum menikah. Hinaan itu sudah berlangsung selama 4 tahun tiap kali Justin dan teman-temannya bertemu. Luka batin yang mendalam sekarang akan sirna karena pembalasan dendam melalui undangan pernikahan sebentar lagi akan terwujud! Dan di hari pernikahannya, jika teman-temannya datang, ia akan membuat jari telunjuk dan tengahnya menyatu, lalu ia akan mengecupnya dan menyentuhkan dua jari pada bokong Justin. Cium bokongnya!
            Bayang-bayang itu membuat Justin cekikikan sendiri seperti orang gila—dan memang gila jika orang bertanya pada kakak-kakaknya. Seseorang mengetuk pintu, membuat Justin menegakkan tubuhnya lalu bangkit dari pinggiran tempat tidur. Ia melempar sembarang bola biru kecil itu sambil berjalan menuju pintu kamarnya.
            “Justin, sayang, apa kau sudah siap?” Suara ibunya terdengar. Ia membuka pintu kamar. Ibunya tersenyum, anaknya memang sudah sangat besar. Justin memakai kemeja putih yang mahal—yang sudah disetrika—serta celana jins biru yang menggantung di pinggang Justin. Memang Justin disuruh memakai pakaian sederhana seperti ini agar mereka tidak dihina terlalu mewah. Keluarga Bieber bukan tipe keluarga yang suka memamerkan barang-barang mereka yang memang mahal. Tetapi siapa pun yang melihat salah satu anggota keluarga mereka pasti akan menilai kalau ia—entah Angelo, Robert atau Justin—adalah orang kaya. Keluarga Bieber yang kaya itu mempunyai aura kekayaan sendiri meski mereka tidak menunjukkannya.
            “Sebentar lagi kau akan menikah. Bukankah Elanie sangat cantik?” Kedua tangan ibu Justin menggantung di kedua bahu Justin. Justin menganggukkan kepalanya berkali-kali, seperti anak kecil yang sangat senang karena telah diberikan mainan. “Satu bulan lagi kau akan menikah.”
            “Satu bulan?” Justin terkejut. Bukan terkejut ingin protes, tetapi terkejut senang! Sebentar lagi ia akan meminta teman-temannya mencium bokongnya. “Itu sangat bagus, bu.”
            Ibu Justin mendesah. “Elanie juga akan berada di sana sebentar lagi, tidakkah kau ingin berangkat sekarang?” Tanya ibu Justin lembut. Justin mengangguk satu kali sambil tersenyum, ia tidak sabar ingin bertemu dengan Elanie lagi! Ibunya melepaskan tangan dari bahu Justin, ia membalikkan tubuhnya untuk turun ke lantai bawah.
            “Eh!” Justin menahan ibunya hingga ibunya membalikkan tubuh kembali. “Boleh aku membawa dua dinosaurusku?” Tanya Justin menjinjit-jinjit berkali-kali. Tangan ibunya menyentuh tangan Justin yang berada di atas bahunya.
            “Tidak ada yang melarangmu.”



***


            Siang itu Elanie memakai pakaian yang cantik. Gaun selutut yang tipis telah menempel di tubuhnya. Rambutnya sudah diikat sedemikian rupa hingga dihias dengan bunga-bungaan berukuran kecil di sekitar kepalanya beserta daun-daun kecilnya juga. Ia sudah dirias oleh penata rias yang disewa oleh keluarganya dan keluarga Bieber. Ia sedang menunggu Justin yang katanya sebentar lagi akan datang. Suasana hati Elanie sedang memburuk. Eline tidak bisa datang dihari pernikahannya nanti. Padahal satu-satunya saudara yang ia miliki hanyalah Eline. Ia membutuhkan Eline! Eline sudah menikah, otomatis Eline tahu bagaimana menjadi istri. Elanie sudah canggung berbicara dengan ibunya tentang bagaimana menjadi istri yang baik. Bukan tentang memasak atau mengepel lantai, hanya, saja …hal-hal yang teman-temannya sering bicarakan. Seks. Bagaimana caranya? Elanie menelan ludah melihat cerminan dirinya di depan.
            Mengingat kejadian tadi malam tentu menjadi salah satu alasan Elanie ragu kalau ia akan disentuh oleh Justin. Elanie benar-benar menghargai Justin karena Justin tidak berani menyentuhnya atau mengintip ketika ia mengganti pakaian, tetapi, menggandeng tangan saja Justin sudah gemetaran! Bagaimana berhubungan badan nanti? Sebuah suara mengalihkan pikiran Elanie hingga Elanie membalikkan tubuhnya ke belakang. Dari mulut pintu tenda terlihat seorang pria yang kelihatan tampan, bersemangat dan hebat di ranjang. Sangat diragukan jika itu bukan Justin. Pria itu berlari ke arah Elanie hingga rambutnya naik-turun. Lucu.
            “Hey,” sapa Justin menelan ludah. Perasaan ganjil yang kemarin itu kembali terasa di sekujur tubuh Justin. Entahlah, tapi Justin merasakan panas dari dalam tubuh. Ia melihat Elanie dari atas, lalu ia mendesah. Gadis ini sangat cantik bagaimana pun pakaiannya dan riasannya. Ia tak sabar ingin mengambil foto dengan Elanie. Justin cukup merasa bangga karena ia telah memegang tangan Elanie dan sekarang ia akan melakukannya lagi. “Kau sangat cantik.”
            Elanie terkekeh. “Pujian klasik,” komentar Elanie. “Kau tampak lebih tampan dari kemarin. Kemana yang lain? Maksudku, kakak-kakakmu?” Tanya Elanie. Justin mendesah dengan kesal. Hinaan dari kakak-kakaknya masih membakar perasaannya. Ia butuh Elanie untuk menyiramnya dengan air, tetapi Elanie malah memberikan kayu lebih banyak lagi.
            “Jangan tanya tentang mereka,” ujar Justin dengan raut wajah masam. “Tapi kita akan menikah 1 bulan lagi, oh yeah,” Justin menari-nari kecil di tempatnya sambil menjentikkan jarinya.  Elanie terkekeh dengan tingkah Justin. Setidaknya Justin tidak mudah terlarut dalam kesedihannya. Elanie tahu bagaimana rasanya menjadi seorang adik. Dari nada bicara Justin di kalimat awal, dapat terdengar Justin sedang marah pada kakak-kakaknya.  Pipi Elanie memerah, tangan Justin menarik tubuhnya agar bangkit dari kursi. “Ayo, menari. Jangan malu-malu,”
            Elanie menggelengkan kepalanya. “Tidak, Justin. Itu konyol,” Elanie berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Justin. Namun Justin malah menggoyangkan pinggulnya pada pinggul Elanie. Kalau saja kakak-kakak Justin berada di hadapan Justin sekarang, mereka tahu sebentar lagi Justin akan mati karena gugup menari bersama seorang gadis seperti Elanie. Justin hanya pintar menyembunyikan perasaan itu dari gerak-geriknya.
            “Justin,” suara seseorang yang benar-benar ia kenal terdengar. “Apa yang kaulakukan?” Tanya seorang pria bertubuh tinggi serta kulitnya yang hitam dengan sebuah kamera menggantung di lehernya. Sontak Justin menghentikan gerakannya. Entah dari mana asalnya, Justin langsung maju satu langkah ke depan Elanie, berniat untuk melindungi Elanie.
            “Kau yang akan mengambil foto hari ini?” Tanya dengan suara yang berbeda. Oh.
            Pria berkulit hitam itu terkekeh. “Tentu saja, bodoh! Kau pikir kamera ini gunanya untuk apa?” Tanya pria kulit hitam itu menatap Justin dengan tatapan mengejek. Elanie dapat mendengar dengusan dari hidung Justin.
            “Kaupikir aku lupa dengan apa yang telah kaulakukan padaku? Kau tahu apa? Ingatan itu masih segar seperti daging yang diambil dari kulkas. Aku tidak akan pernah melupakannya, Jimmy,” ucap Justin seperti mengalami sakit hati yang mendalam. Sebenarnya, apa masalah mereka berdua? Pipi Elanie merah padam sekarang. Didengarnya pria bernama Jimmy tertawa lalu berhenti seketika. Seperti yang ada di film-film.
            “Saat itu aku tidak sengaja, Mr.Bieber,” ucap Jimmy menghela nafas panjang. “Kau orang kaya. Jadi, untuk apa kau memikirkannya? Kau bisa membelinya lagi,”
            “Kau merusak Brachiosaurus-ku!” Isak Justin. “Kau sengaja memberikan Brachiosaurus-ku pada anjing bodoh itu! Kaupikir aku tidak akan sakit hati?” Tanya Justin menunjuk-nunjuk dadanya. Jimmy hanya menganggap Justin seperti lelucon. Kejadian itu sudah lama sekali terjadi. Bahkan saat itu mereka masih berumur 10 tahun, siapa yang akan mengingat itu selama 17 tahun? Justin. Mungkin hanya Justin yang melakukannya karena tiap kali Jimmy bertemu dengan Justin, Justin selalu mengungkit masalah dinosaurus kesayangannya itu. Jimmy pikir, Justin sudah tidak mengingatnya lagi. Well, sebenarnya, salah Jimmy juga karena keesokan harinya Jimmy tidak mau bermain lagi bersama Justin lagi di sekolah karena ia merasa bersalah. Elanie maju ke depan, melewati Justin.
            “Jadi semua ini hanya karena mainan dinosaurus bodoh itu?” Desah Elanie memegang lengan Jimmy, ia hampir jatuh. Justin menatap Elanie dengan tidak tatapan tak percaya.
            “Dinosaurus bodoh itu? Itu bukan dinosaurus bodoh, Elanie! Brachiosaurus adalah dinosaurus yang baik sepanjang sejarah. Teganya kau!” Justin membuang wajah, marah. Elanie menggelengkan kepalanya, ia tidak percaya Justin bertingkah seperti anak kecil. “Sudahlah. Tidak ada yang mengerti perasaanku. Kita ambil foto saja sekarang.”


***


            “Sudah cukup. Kita sudah mendapat foto-foto yang bagus,” teriak Jimmy bangkit dari tanah. Justin yang baru saja memegang pinggang Elanie langsung menjauhkan tubuhnya dari Elanie. Ucapan Elanie masih membekas di hatinya. Dinosaurus bukanlah hewan yang bodoh. Elanie hanya belum tahu betapa berharganya mereka bagi Justin. Elanie memerhatikan Justin berjalan menuju tenda putih tanpa mengucapkan apa pun. Ia harus meminta maaf pada Justin. Tidak seharusnya ia mengatakan seperti itu pada Justin. Siapa tahu memang mainan dulu itu sangat berarti bagi Justin hingga Justin mengingatnya. Elanie mendesah, ia berjalan cepat menuju tenda itu.
            Justin terduduk di atas kursi, di depan meja bercermin di hadapannya. Pria itu sedang bermain dengan dua mainan dinosaurusnya, berimajinasi. Elanie tersenyum kecil. Bagaimana pun juga, pasti Justin memiliki sisi kedewasannya. Sebentar lagi ia akan menjadi suami Elanie, Elanie tentu harus menerima apa adanya Justin. Ia berjalan hingga berhenti di belakang kursi Justin. Justin berteriak kecil dengan suaranya lain sambil mengangkat salah satu dinosaurusnya.
            “Mati kau! Mati kau!” Seru Justin menelan ludahnya. “Ah, tidak! Kau yang akan mati, pergi kau!” Seru Justin kembali dengan suara yang benar-benar lucu. Elanie memerhatikan Justin terus menerus hingga detik berubah menjadi menit. Justin masih tidak menyadari akan kedatangan Elanie sampai akhirnya Elanie terpaksa harus menepuk pundaknya.
            “Hey,” bisik Elanie. Justin melirik pada pundaknya yang disentuh Elanie. Bukan jijik atau apa, tapi ia tidak pernah sesering ini disentuh oleh seorang gadis! Rasanya sangat ganjil ketika Elanie menyentuhnya seperti ini. Ia merasakan getaran yang sama lagi. “A-aku minta maaf karena telah menghina dinosaurus atau apalah, yang jelas aku minta maaf,”
            “Kau tidak perlu meminta maaf,” ucap Justin berpura-pura. Padahal jeritan di hatinya berbeda. Mengapa ia bisa-bisanya menghina dinosaurusnya yang paling aku sayang? Lalu Justin kembali memainkan mainannya itu. Tangan yang masih berada di pundak Justin berubah menjadi sebuah usapan. Justin tidak meminta Elanie untuk berhenti melakukan itu karena jujur saja, Justin menyukai elusan itu. Sabar Justin, kau akan menikah dengannya satu bulan lagi. Hanya satu bulan lagi.
            “Aku akan pulang sebentar lagi,” ucap Elanie tersenyum. “Dah,” ia mulai berjalan meninggalkan Justin. Justin melirik Elanie yang sekarang memunggunginya dari cermin di hadapannya. Gadis itu benar-benar akan pergi dan Justin tidak mengatakan apa-apa! Pria macam apa Justin? Ia berdiri dari kursi itu, berlari ke arah Elanie lalu menahan gadis itu.
            “Elanie,” panggil Justin. “Tidak apa-apa soal tadi. Aku serius, kau tidak perlu meminta maaf. Ini. Untukmu, ambillah, tidak apa-apa. Sebelumnya aku tidak pernah memberikan mainan dinosaurusku pada siapa pun, kecuali kau. Ayo, ambil,” ucap Justin memberikan salah satu mainannya pada Elanie. Elanie menatap tangan Justin yang memegang dinosaurus itu selama beberapa detik lalu tersenyum. Oh, inilah perbedaan Justin dari pria lain. Di saat yang lain memberikan bunga mawar mewah atau perhiasan, Justin malah memberikan mainan dinosaurus. Tanpa ragu-ragu Elanie mengambil mainan itu dari tangan Justin.
            “Terima kasih, aku akan menyimpannya sebaik mungkin,”
            “Ya, memang harusnya begitu,” ujar Justin seperti memberikan anaknya  pada orang lain selama 1 hari karena ia sibuk bekerja. Elanie tertawa lalu ia mengangguk. “Hati-hati di jalan, Elanie.” sambung Justin tersenyum. Elanie mengangguk lalu berjalan meninggalkan Justin yang tetap berdiri di tempatnya.  Kedua pasang matanya menatap Elanie dengan tatapan kagum, tanpa sadar ia menyentuh pundak yang baru saja dielus oleh Elanie. Gadis itu tiba-tiba saja tersandung. Justin terkesiap, ia langsung berlari ke arah Elanie dan mengangkat tubuh Elanie yang terjatuh. Sempat Justin berpikir, bagaimana bisa? Ini adalah padang rumput dan kemungkinan kecil ada batu…
            “Aku tersandung kakiku sendiri, ya Tuhan, ini sangat memalukan. Terima kasih,” ucap Elanie tertawa-tawa. Ya ampun, tawaan Elanie benar-benar indah. Ini pertama kalinya Justin mendengar Elanie tertawa lepas dengan jarak yang sangat dekat. Setelah benar-benar berdiri, Justin masih memegang lengan Elanie. Apa yang terjadi padaku ya Tuhan? Justin ingin menjambak rambutnya. “Aku pulang,”
            “Ya, tentu saja.”


***


            Sejak saat itu Justin dan Elanie tidak perna bertemu. Tidak sekalipun. Bahkan saat mencoba gaun pernikahan Elanie, Justin tidak ada. Kata orangtua Elanie, biarkanlah wujud mereka menjadi kejutan di hari pernikahan mereka nanti. Cincin juga sudah ada. Cincin peninggalan dari kakek-nenek Justin, lebih tepatnya. Sangat manis. Elanie sudah menghubungi Eline berkali-kali dan memohon agar saudara kembarnya datang ke acara pernikahannya.Tetapi Eline tetap tak bisa ikut pergi ke pernikahan Elanie nanti. Elanie meminum jus yang ia pesan tadi di café, tempat ia biasa berkumpul dengan teman-temannya. Fanny dan Pearl sudah datang, mereka tinggal menunggu Linda yang lama sekali datang. Dari tadi Fanny dan Pearl membicarakan hal-hal yang Elanie belum pernah rasakan. Dua temannya ini sudah menikah dan bahkan sudah memiliki anak. Elanie jadi penasaran mengapa mereka bisa sebahagia ini. Apa memang nyaman menikah dengan seorang pria? Maksudku, tinggal satu atap dengan seorang pria? Elanie belum pernah mencobanya.
            Diam-diam Elanie merindukan Justin beberapa hari terakhir ini. Mainan yang diberikan oleh Justin itu selalu Elanie bawa kemana-mana. Jadi, jika Elanie merindukan pria itu, ia hanya perlu melihat mainan dinosaurus lalu membayangkan pria lucu kekanak-kanakan itu. Elanie tersenyum seperti orang tolol sekarang. Omong-omong, undangan sudah disebarkan. Fanny dan Pearl juga mendapatkannya.
            Pearl yang berambut merah itu bersiul. “Aku tahu, aku tahu kau akan menikah. Tapi kumohon, El, jangan segila ini. Aku tahu calon suamimu tampan, tapi kau bukan El yang kukenal sebelumnya,” goda Pearl bersandar di kursi empuknya. Elanie hanya terkekeh pelan, ia membuka retsleting tas selempang kecilnya lalu mengeluarkan mainan dinosaurus dari dalam. Air wajah Fanny dan Pearl berubah, mereka menatap Elanie dengan ngeri. “Dia merubahmu menjadi seorang wanita yang menyukai mainan? Apa-apaan,”
            “Bukan,” ujar Elanie. “Benda romantis apa yang suamimu berikan padamu?” Tanya Elanie pada Pearl dan Fanny. Fanny berpikir sebentar.
            “Kalung ini? Sepatu? Entahlah, mungkin kedua itu,” ucap Fanny menunjukkan kalung yang menggantung di lehernya. Elanie mengangguk satu kali, lalu ia menatap Pearl.
            “Benda romantis yang ia berikan padaku sepertinya …ya, perhiasan. Bunga. Cokelat. Apa lagi memangnya—oh! Ini adalah benda romantis yang ia berikan padamu El? A-aku masih tidak percaya. Dibalik wajahnya yang tampan itu, ia ternyata memiliki kelainan. Aku tidak setuju kau dengannya, El. Dia membuatmu seperti orang gila!” Seru Pearl tidak percaya. Elanie mengedik bahu. Bukan Elanie yang meminta untuk bertemu dengan Justin. Tetapi, Elanie juga berterima kasih pada kedua orangtuanya karena telah mempertemukan Elanie dengan Justin. Jika tidak, pasti Elanie tidak merasa sespesial ini.
            “Romantis itu relatif,” ucap Elanie mengelus-elus mainan Justin itu. “Aku yakin, ada orang di luar sana yang merasa spesial ketika suaminya mengambil tampon untuknya. Sekarang apa yang kalian rasakan sedang kurasakan. Dan sebentar lagi, apa yang benar-benar kalian rasakan akan kurasakan,”
            “Maksudmu?”
            “Aku jatuh cinta, tidakkah kau sadar? Aku memang baru bertemu dengannya sebanyak 2 kali. Tapi dua-duanya benar-benar berkesan, apalagi sebentar lagi aku akan menikah. Lalu, aku akan merasakan bagaimana rasanya menjadi seorang istri seperti kalian,” ucap Elanie menoleh ke kiri lalu mencium pundaknya malu-malu. Astaga, ia baru saja mengaku kalau ia jatuh cinta pada Justin. Padahal ia baru saja bertemu dengan Justin sebanyak 2 kali. Itu tidak wajar. Elanie tersenyum-senyum kembali. Ia memikirkan apa yang Justin lakukan sekarang. Perbedaan Justin dari pria lain membuat imajinasi Elanie terhadapnya juga berubah. Ia membayangkan Justin bermain mainan dinosaurus di kamarnya dengan suara-suara buatan yang konyol.
            “El! El! Lihat!” Seru Pearl menepuk-nepuk pundak Elanie yang lain lalu menunjuk ke sebuah tempat. Pandangan Elanie terjatuh pada seseorang yang sedang berada di pikirannya. Ia sedang terduduk bersebelahan dengan seorang wanita dan berhadapan dengan dua orang lain. Pria dan wanita juga. “Bukankah itu Justin?” Tanya Pearl berbisik. Elanie mengangguk satu kali.
            Ia memerhatikan Justin yang bersandar di kursi empuk itu. Justin mengenakan setelan berwarna hitam sambil tangan kirinya memegang sebuah bolpoin. Pria itu mendesah terus menerus, sepertinya kebosanan. Seolah-olah ia mendesah, ah kapan aku bisa pulang? Dua orang di hadapanku ini seperti tidak berguna sama sekali. Tak sadar, Elanie tersenyum. Pria itu sedang bekerja sampai sore seperti ini, pasti ia lelah. Justin memainkan lidahnya di dalam mulut, kepalanya menoleh ke segala arah sampai akhirnya Justin menatap Elanie. Itu hanya berlangsung beberapa detik, kemudian Justin mengalihkan pandangannya dari Elanie. Justin mulai berbicara. Tidak tersenyum? Apa yang terjadi pada Justin? Bahu Elanie merosot begitu saja. Saat itu juga Linda muncul dengan heboh. Mereka mulai berbicara tentang suaminya lagi dan lagi. Elanie mendengar apa yang mereka ceritakan tapi sesekali ia menoleh pada Justin yang tidak sama sekali menoleh padanya.
            Mungkin ia memiliki masalah. Hanya itu yang bisa Elanie pikirkan. Tak terasa malam mulai menjemput mereka. Elanie harus segera pulang sebelum orangtuanya mencarinya.
            “Hey, semuanya, aku harus pulang,” ucap Elanie. Linda menatap Elanie dengan tatapan kecewa.
            “Oh ayolah, aku baru sebentar di sini,”
            “Tapi aku ben—eh,” Elanie terkejut ketika dua buah tangan menyentuh bahunya. Sontak Elanie mendongak. Ia mendapati Justin yang menatapnya dari atas sana sambil tersenyum. Justin memberikan senyuman maut pada ketika temannya hingga membuat lidah Linda kelu.
            “Boleh aku mengambil calon istriku di sini? A-aku …oh, maaf. Aku benar-benar merindukannya. Bukankah dia gadis yang mudah dirindukan? Aku tidak bisa tidur, tidak bisa makan, tidak bisa mandi—“
            Elanie segera bangkit dari kursinya. Ia tidak ingin Justin berucap lebih jauh lagi sebelum hal yang tidak diinginkan terjadi. “Oke, baiklah. Aku akan pulang dengan Justin. Sampai jumpa kalian!” Seru Elanie mendorong Justin untuk menjauhkan Justin dari teman-temannya. Elanie hanya malu jika Justin harus memamerkan kemesraannya—meski Elanie sedikit ragu—di depan para teman.
            “Jangan lupa pakai pengaman!” Pearl berteriak. Elanie tidak membalik, ia hanya memutar bola mata. Setelah berada di luar, Elanie melepaskan tangan Justin.
            “Aku akan pulang sendiri,” ucap Elanie. Justin mengangkat salah satu alisnya.
            “Bukankah tadi kau bilang kau ingin pulang denganku?” Elanie menepuk keningnya. Elanie lupa kalau Justin memiliki sifat anak kecil! “Kau memang tidak ingin pulang denganku? Callahan sudah berada di mobil,”
            “Baiklah, ayo.”

            Berada di dalam mobil membuat keadaan terasa lebih canggung. Justin dan Elanie belum pernah satu mobil. Bahkan duduk berdekatan seperti ini saja tidak pernah. Justin mengingat apa yang kakak-kakaknya katakan. Jika seorang gadis berada di sebelahmu, sentuh saja pahanya. Justin melirik paha Elanie yang tertutup rok hitam lipat selutut. Ingin melihat pahanya saja Justin ngeri, apalagi menyentuhnya. Mungkin Justin bisa pingsan di tempat. Pertanyaan yang menurut Justin berkecamuk di pikirannya, untuk apa menyentuh paha seorang gadis? Apa ada gunanya? Kalau begitu, apa? Justin tidak pernah mendengar jika menyentuh paha maka ia akan mendapatkan mainan dinosaurus. Malah Justin tahu dari cerita temannya yang bernama Ryan ketika Ryan menyentuh paha seorang wanita, ia mendapat tamparan. Tanpa sadar Justin menyentuh pipinya dan meringis. Elanie menoleh.
            “Ada apa?” Tanya Elanie. Justin menelah ludah.
            “Aku ingin bertanya,” ucap Justin. “Ap-apa yang kaulakukan ketika seorang pria menyentuh pahamu?” Tanya Justin tanpa ragu-ragu dan sadar kalau pertanyaan itu akan menyinggung Elanie. Elanie menarik lehernya ke belakang, raut wajahnya tidak percaya dengan pertanyaan.
            “Apa?!” Saat itu juga Justin memutuskan untuk tidak menyentuh paha Elanie.

            “M-mau bermain dinosaurus?” 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar