Jumat, 09 Januari 2015

Lucky Slut Bab 1

CHAPTER ONE

            Tidak, tidak, tidak. Dia tidak sama seperti istri yang kuimpikan selama ini. Tidak mendekati, bahkan sejengkal pun tidak, Justin Moore berkata dalam hati. Ia memerhatikan wanita muda berambut cokelat madu itu duduk di hadapannya dengan posisi sembrono. Wanita itu bersandar di dinding kereta kuda sambil menatap keluar jendela, entah apa yang ia lihat. Salah satu pahanya menumpu paha yang lain, bibirnya cemberut dan matanya tampak letih. Jika saja ia tidak memberikan gaun pantas untuk wanita itu, sudah jelas kulit putih wanita itu terekspos seperti ikan segar yang dijual di pasar. Meski Justin berpikir bila ada pria yang mengatakan wanita itu jelek, berarti pria itu sinting. Wanita muda itu memiliki kulit putih pucat, rambut cokelat madu yang dipadu dengan mata berwarna biru laut. Bibirnya berwarna merah manis yang mungil sehingga terlihat seperti kuncup bunga. Kepala wanita itu hanya sebatas setengah lengannya sehingga wanita itu kelihatan pendek. Terlebih lagi dengan posisi duduk hampir tenggelam itu semakin membuat wanita itu terlihat kecil daripada yang  sebenarnya.
            Grisell Parnell, ujar Justin dalam hati, mengingat nama wanita itu. Grisell tidak tampak seperti yang ia bayangkan. Ia pikir, Grisell akan tampak lebih tua dengan bibir tebal yang lebar. Atau rambut hitam keriting sebagai mahkota kepalanya. Bahkan, Grisell tak tampak seperti pelacur—bila dilihat dengan pakaian tertutup seperti ini, tentu saja. Setelah dua tahun kepergian sang Ayah ke rumah Tuhan, Justin Moore diberi perintah untuk menikahi wanita bernama Grisell Parnell oleh Ayahnya. Karena gelarnya sebagai Earl of Moore membuat Justin sibuk pergi ke sana kemari untuk mengurus estat keluarga Moore, Welshing Park yang terkenal di Cheshire, ia tidak sempat pergi mencari wanita itu di kota London. Ia tidak sama sekali tahu bahwa Grisell Parnell yang Ayahnya maksudkan adalah seorang pelacur terkenal di London.
            Tidak, Grisell Parnell tidak terkenal. Ia dikenal di London karena kemolekan tubuhnya meski wanita itu tidak tinggi seperti wanita pada umumnya. Banyak rumor mengatakan bahwa Grisell adalah keturunan bangsawan, namun tak ada yang dapat membuktikannya sebab ia adalah anak haram. Justin tidak pernah mengira ia akan diperhadapkan dengan wanita seperti Grisell. Wanita muda yang tak peduli tata krama, suka merayu, dan nakal. Ia membutuhkan istri yang sopan, bermatabat, dan dapat mengurus anak-anaknya. Oh Tuhan, tolong aku, Justin kembali berseru dalam hati.
            Dibutuhkan waktu setengah hari untuk sampai ke Cheshire dari London. Setelah membayar sebesar 20 shilling pada sang germo, Justin membawa pergi Grisell dari rumah pelacuran itu. Setelahnya Justin hanya perlu mengirim penjahit pada germo Grisell agar wanita itu memiliki banyak pakaian mewah—dengan batas sebanyak 10 gaun. Dan di sinilah ia berhadapan dengan pelacur yang dikenal hampir seluruh London, duduk dengan posisi tak sopan bahkan pada orang asing yang baru dikenalnya.
            Karena tak ada yang berbicara, akhirnya Justin membuka mulut. “Apakah kau pernah ke Cheshire sebelumnya, Miss Parnell?” Tanya Justin yang sering disapa Lord Moore itu. Merasa dirinya sedang diajak bicara, Grisell mengangkat kepalanya dari dinding kereta kuda. Kemudian ia menoleh menatap pria kaku itu. Tidak sama sekali menyenangkan berada dalam satu kereta dengan pria kaku sepertinya! Grisell berseru dalam hati. Seumur hidupnya, Grisell tidak pernah gagal merayu seorang pria. Namun pria yang satu ini justru berbanding terbalik dari harapannya! Begitu Justin Moore masuk ke dalam tempat pelacuran Bibinya, Grisell mulai tertarik akan pesona pria itu yang keluar dan memenuhi ruangan. Ia duduk bersama teman-temannya di atas sofa yang sudah usang sambil memerhatikan bangsawan itu yang juga sedang memerhatikan mereka satu per satu.
            Bibi Millicent muncul dari ruangan lain ke ruang tamu, tempat para pelacur dipamerkan seperti sayuran, merasa ada seorang pelanggan masuk. Grisell melihat wajah Bibinya berseri-seri menyambut pria berpakaian aristokrat itu. Kemeja tanpa kerah, rompi hitam, cravat putih yang terselip masuk dan celana panjang hitam. Apakah ada mahluk yang lebih indah daripada pria ini? Grisell tidak yakin. Pria itu berbicara dengan suara pelan dengan Bibinya mengakibatkan rasa penasaran bagi teman-teman Grisell, termasuk dirinya sendiri. Bibinya yang setengah mabuk itu terkejut sesaat mendengar perkataan pria itu kemudian ia menoleh  ke belakang melihat Grisell.
            Grisell bangkit dari sofa dengan pakaiannya yang luar biasa terbuka. Belahan dadanya tampak dalam balutan gaun hitam tipis yang panjangnya tak melewati lutut. Stoking hitamnya tertarik sampai lutut sehingga ia tampak begitu panas. Rambut cokelat madunya digerai panjang dengan aroma mawar menyeruak ke seluruh ruangan. Bibinya menarik Grisell agar lebih dekat dengannya lalu memamerkan Grisell pada pria tinggi itu seolah-olah Grisell adalah perhiasan terbaiknya.
            “Inikah Grisell Parnell yang kau cari itu, My Lord?” Tanya Bibi Millicent pada bangsawan itu. Sudah Grisell duga pria itu seorang bangsawan! Tapi demi Tuhan ia tidak pernah mendapat pelanggan bangsawan, apalagi yang setampan dirinya. “Dia keponakanku.” Bibi Millicent menambahkan saat pria bangsawan itu tak menjawabnya. Mata cokelat pria menatap Grisell dengan tatapan menilai namun juga takjub. Mengapa pria ini menginginkannya? Dan dari mana pria itu tahu namanya padahal mereka belum pernah bertemu satu sama lain?
            Sebelum pria itu sempat menjawab, Grisell sudah memajukan dirinya pada pria itu. Ia menempatkan tangannya di tengkuk pria itu sementara yang lain di pinggangnya. Tangannya mengelus tengkuk si mata cokelat, lalu memberi senyum memikat. “Kau mencariku, My Lord? Apakah selama ini istrimu tak memberimu kepuasan? Sebab jika kau memakaiku malam ini, kau tidak akan pernah beranjak dariku,” bisik Grisell dengan suara yang akan menggoyahkan kesetiaan pria London. “Aku bisa melakukan dalam posisi apa pun. Konvensional? Menungging? Berdiri? Kasar? Lembut?  Di lantai? Di meja? Pilihlah yang kau suka, Tampan. Aku akan selalu siap basah untukmu.” Grisell menempelkan tubuhnya pada pria itu sehingga dadanya yang membusung menekan-nekan perut keras pria itu. Tidak hanya tampan, tapi ia juga berotot. Mau tak mau Grisell terangsang melihat pemandangan dewa Yunani di hadapannya.
            “Maafkan aku yang tidak sopan ini Miss Parnell. Aku Justin Walter Moore, Earl of Moore. Aku datang ke tempat ini berniat untuk… menukar dirimu dengan uang agar kau bisa ikut denganku ke Cheshire,” ucap pria itu tegas namun lembut. Grisell tak mengerti. Matanya mengedip beberapa kali dan bingung akan reaksi pria itu. Tidak ada belaian di tubuhnya? Tidak ada remasan di buah dadanya? Demi iblis yang merasuki pria itu! Grisell benar-benar tercengang, ia memaku di tempatnya namun tak menarik sentuhannya di tubuh pria itu.
            “Orang-orang biasa membayarnya 5 shilling,” ucap Bibi Millicent terdengar masa bodoh. “Tidak lebih dari itu, kau tidak bisa memilikinya.”
            “20 shilling,” ucap Lord Moore tegas lalu ia menambahkan. “Dengan satu penjahit terkenal di London untuk membuatkanmu gaun mewah. 5 gaun mewah dan seluruhnya aku tanggung. Setelahnya ia akan menjadi milikku seumur hidup.” Mata Bibi Millicent membulat tak percaya. Ia tidak pernah memiliki penjahit pribadi atau bahkan gaun mewah! 20 shilling sangat murah bagi seorang Earl of Moore—dan ia hampir mengejek pria itu sebelum pria itu menambahkan tawarannya. Dan memiliki Grisell Parnell untuk seumur hidup? Ia tak percaya pria itu ingin memelihara si parasit manja itu. Tapi sepertinya akan sebanding dengan apa yang ia dapat dari tawaran itu.
            “20 shilling dan 10 gaun mewah, maka kau bisa membawa si Parnell dariku malam ini.”
            “Sepakat.” Lord Moore mengeluarkan sekantong shilling dari kantong celana panjangnya pada Bibi Millicent. “Bisakah aku menunggu kalian 15 menit untuk bersiap-siap? Dan kupikir Miss Parnell akan memakai gaun yang kubawakan untuknya.” Lord Moore menarik diri dari sentuhan Grisell. Wanita muda itu masih tak dapat berkata-kata atau bereaksi lebih daripada memaku di tempatnya. Pria itu membelinya hanya dengan 20 shilling dan 10 gaun mewah pada Bibinya? Sulit dipercaya!
            Saat Lord Moore pergi keluar dari ruang tamu selama beberapa saat, pria itu muncul kembali bersama seorang wanita muda berpakaian pelayan dan memegang sebuah gaun di tangannya. Gaun berwarna biru yang berumbai-rumbai di bagian bawahnya. Bagian lehernya sangat tinggi sehingga buah dadanya tidak akan terlihat seperti sekarang. Terdapat stoking baru beserta sepatu hitam di atasnya. Semuanya masih baru dan itu hanya diberikan untuk Grisell. Beberapa teman Grisell mengerang iri melihat keberuntungan Grisell lalu salah satu menyeletuk.
            “My Lord, tidakkah kau ingin menukarnya denganku?” Tanya si rambut hitam duduk sembrono, menampakkan pahanya yang putih. Lord Moore tak menghiraukan godaan-godaan yang dilontarkan para pelacur itu tetapi ia fokus pada wanita muda di depannya yang masih tampak terguncang. Bibi Millicent tak ingin kesempatannya hangus. Ia segera memandu sang pelayan dan Grisell untuk masuk ke ruangan agar keponakannya dapat memakai gaun itu sesegera mungkin. Melihat gaun cantik itu saja sudah membuat Millicent hampir meneteskan air liur, bagaimana nanti ia memiliki 10 gaun yang mewah seperti itu? Demi seluruh pelacur di London, Millicent tidak akan membuang-buang waktunya untuk memikirkan apakah ia setuju atau tidak setuju pada perjanjian itu. Sudah jelas ia setuju!
            Sementara Grisell memakai gaun barunya—yang dibantu oleh pelayan itu—ia memikirkan pria bernama Justin Moore itu. Mengapa godaannya tak mampu membuat pria itu mengelusnya? Bahkan pria itu tidak berusaha menggerakan tangannya sama sekali. Mungkinkah seluruh bangsawan seperti itu? Tapi Bibi Millicent bilang para bangsawan yang beristri sering memakai pelacur untuk memuaskan nafsunya. Dan tentu saja pria itu telah mempunyai istri di… dimana itu? Cheshire. Tempat macam apa itu?  Grisell hampir menghabiskan seumur hidupnya di London bersama Bibi Millicent dan tak pernah sekalipun mendengar kota atau desa bernama Cheshire. Dan Grisell sangat yakin, dalam waktu beberapa jam ke depan, beritanya dibeli oleh seorang bangsawan akan tersebar di seluruh London. Wah, langkah yang bagus Lord Kaku! Grisell mengejek dalam hati.
            “Mengapa aku harus memakai gaun ini?” Tanya Grisell saat menyadari hampir seluruh tubuhnya terutup kecuali pergelangan tangan dan lehernya. Pelayan itu sedang merapikan bagian gaun yang kusut di bawah sana lalu mendongak.
            “Karena Lord Moore menginginkannya, Miss. Apakah kau ingin memakai bonnet, Miss?” Tanya pelayan itu kelewat sopan. Grisell merasa situasi begitu kaku dan canggung namun ia menjawab pelayan itu dengan gelengan cepat. Ia tidak ingin memakai bonnet konyol itu! Ia pasti akan terlihat seperti bayi. Grisell kemudian menatap pada cermin panjang di hadapannya lalu ia memutar tubuhnya lalu gaun itu tampak terbang sehingga Grisell cekikikan seperti anak kecil. Bibi Millicent tidak ada di ruangan, ia menunggu di luar—dan mungkin sedang berbincang-bincang dengan pria itu. Meski pria itu kaku, setidaknya ia pria yang sudah jelas kaya.
            Pelayan itu tampak terkejut akan prilaku Grisell namun ia tidak mengomentari apa pun. “Apakah ada barang-barang yang harus kusiapkan untuk kepergian Anda ke Cheshire?”
            “Oh, tentu. Ada di kamarku, di sebelah kamar ini. Tapi aku bisa membereskannya sendiri.” Grisell melangkah menuju pintu. Pelayan itu ikut membuntutinya sambil mengatakan keberatannya.
            “Tidak perlu, Miss. Aku bisa menyiapkannya untukmu. Lord Moore akan marah bila aku tidak mengerjakan tugasku.” Pelayan itu bersikeras. Grisell berbalik menatap pelayan muda itu lalu akhirnya ia mengangguk menurut. Jika itu memang yang ia inginkan, maka siapkanlah. Saat Grisell masuk dalam ruang tamu, beberapa pelacur sudah tidak ada di sofa dan bibi Millicent tampak tak sabaran di mulut pintu.
            Begitu ia melihat Grisell muncul dengan gaun berwarna biru itu, Millicent tercengang. Betapa luar biasanya Grisell dalam balutan gaun tertutup itu. Millicent menggeleng-geleng kepalanya cepat-cepat lalu menarik tangan Grisell agar cepat keluar dari rumah pelacuran itu karena Lord Moore sudah menunggunya di depan kereta kuda besar. “Cheshire menunggumu, Grisell. Dan jangan sampai ia mengembalikanmu, apa kau mengerti?”
            “Ya, Bibi Millicent,” bisik Grisell setengah jengkel. Mungkinkah ia tidak akan pernah bertemu dengan Bibi Millicent lagi? Meski Bibi Millicent galak, wanita itu tetap bertahan menjaganya selama 17 tahun sejak Ibu Grisell meninggalkannya pada Bibi Millicent. Dan kadang Bibi Millicent bersikap lembut bila ia tidak sedang mabuk atau dalam keadaan buruk. Suara dehaman dari Lord Moore mengembalikannya pada waktu sekarang. Mereka baru setengah perjalanan menuju Cheshire dan bokong Grisell bisa memanggang tupai hanya dengan menduduki hewan itu. Dan ia tidak bisa membiarkan satu orang pria diam-diam saja di depannya. Ia harus mencumbu pria itu. Membuat pria itu puas. Seolah-olah ia hidup hanya untuk memuaskan para pria. Namun kali ini berbeda. Ia tidak akan memuaskan para pria, ia hanya memuaskan satu pria. Earl of Moore yang sudah membelinya untuk seumur hidup.
            “Miss Parnell, apakah kau mendengar pertanyaanku?” Tanya Lord Moore kelewat sopan. “Apa kau pernah pergi ke Cheshire sebelumnya?” Pria itu mengulang pertanyaannya lagi. Rahang tegas, hidung mancung lancip, bibir tipis yang tampak manis bila dilumat dan dua mata cokelat hangat sedang menatapnya. Tubuh pria itu tinggi dan pinggangnya ramping. Ia masih tergolong muda meski bakal janggutnya mulai tumbuh sehingga ia terlihat lebih maskulin. Grisell ingin menabrak tubuh itu, menyambar mulut itu dengan mulutnya sambil ia mengelus-elus kejantanan pria itu. Sebelum Lord Moore marah, Grisell cepat-cepat menjawab.
            “Tidak, My Lord. Dulu aku pernah tinggal di desa tapi aku lupa nama desa itu, tapi tidak lebih dari 2 bulan. Setelah itu aku pindah ke London bersama Bibi Millicent.”
            “Sebelumnya, maafkan aku karena memberi pertanyaan ini padamu. Apakah memang keinginanmu menjadi pelacur, Miss Parnell?” Tanya Lord Moore hati-hati. Grisell mengingat kembali awal karirnya sebagai seorang pelacur. Rasanya sangat tak nyaman di hari pertama ia menjual diri, terutama biasanya pria-pria yang memakainya sering memperlakukannya kasar. Bahkan banyak bekas luka di sekitar punggungnya. Karena belum tahu tata krama Inggris—meski telah tinggal di Inggris seumur hidupnya—Grisell mengangkat kedua kakinya ke atas kursi lalu memeluk lutut itu. Ia merasa takut. Ia takut kalau saja pria di hadapannya ini sama dengan pria yang pertama kali memakai tubuhnya. Tidak, rasanya sangat tidak enak, bisik Grisell dalam hati.
            Justin menyadari dari sorot mata Grisell bahwa wanita itu tidak ingin mendiskusikan pekerjaan lamanya—sebab Justin tidak akan membiarkan Grisell menjual dirinya lagi. Apakah seburuk itu? Saat mereka sampai di Cheshire, ia akan membawa Grisell pada dokter untuk memeriksa apakah ia terjangkit penyakit seks atau tidak. Mata Grisell meluruskan pandangannya pada satu titik namun dengan tatapan ketakutan. Kemudian mulutnya yang mungil terbuka.
            “Tidak,” bisik wanita gugup. Lalu Grisell mengangkat pandangannya, menatap langsung pada kedua mata cokelat Justin. “Bagaimana denganmu, Lord Moore? Apakah kau pernah memakai pelacur? Apakah istrimu pernah memergokimu berciuman dengan seorang pelacur?” Pertanyaan itu tidak sama sekali menggambarkan seorang Lady. Namun untuk menjaga kesopanannya, Justin menjawab kaku.
            “Sayangnya, Miss Parnell, aku belum menikah,” ucap pria memakukan tatapannya pada Grisell. “Dan aku tidak pernah memakai jasa pelacur.” Grisell tak terkejut sama sekali setelah ia ditolak mentah-mentah oleh pria itu saat ia menggodanya! Mengingat hal itu kembali membuat Grisell jengkel. Apakah ia tidak cukup menarik untuk membuat pria itu terangsang? Atau pria itu impoten? Grisell mendengus—merupakan prilaku yang tidak diterima oleh masyarakat Inggris.
            “Sayang sekali. Tapi, apa kau akan tidur denganku, My Lord?” Tanya Grisell mengangkat tangannya menyentuh bagian depan lehernya. Untuk sesaat Lord Moore tampaknya kehilangan fokus saat melihat leher putih itu disentuh oleh tangan Grisell. Ia masih ingat bagaimana tangan itu menyentuh tengkuknya dan mengelus rambut-rambut nakalnya seperti belaian seorang kekasih. Sayangnya, Grisell bukan kekasihnya—belum. Kata-kata yang terlontar dari mulut Grisell merupakan kejahatan tak termaafkan! Lord Moore hampir saja menerkam wanita itu tepat di tempat itu seperti orang kelaparan. Dan terima kasih Tuhan, Lord Moore tak pernah melewati batas atau melecehkan wanita. Masyarakat Cheshire yakin, meski Lord Moore bersikap sopan dan bermatabat, ia adalah seorang pria yang hebat di ranjang. Kelugasannya berbicara dengan wanita saja sudah berhasil membuat tubuh wanita itu memerah. Bagaimana di atas ranjang? Tidak pernah ada yang tahu misteri kisah cinta Lord Moore.
            “Aku tidak akan tidur denganmu, Miss Parnell. Dan begitu kita tiba di Cheshire, aku akan memperkenalkanmu pada pengajar pribadimu agar kau memiliki tata-krama yang baik sebagai wanita Inggris pada umumnya. Kupikir kita harus memperbaiki bagaimana kau harus berkata-kata,”
            “Pengajar pribadi? Aku bahkan sudah berumur 22 tahun! Aku tak membutuhkan pengajar pribadi, oh tidak akan.” Grisell melipat kedua tangannya di depan dada lalu membuang mukanya dari Lord Moore. Demi surga, Lord Moore tak pernah bertemu dengan wanita tak sopan seperti Grisell Parnell. Wanita ini kebalikan dari Henrietta, mantan kekasihnya di Cheshire. Henrietta gambaran sempurna seorang wanita muda Inggris. Punggungnya tegak, dagunya terangkat dan rambutnya tersanggul rapi saat ia berjalan. Ia bahkan tidak pernah tertawa terbahak-bahak atau mendapat kesenangan berlebihan sehingga ia tidak berlaku sembrono seperti Grisell.
            Dengan wajah tenang, Lord Moore membalas. “Kau membutuhkan pengajar pribadi dan kau tidak akan membantahku, Miss Parnell,” ujarnya tegas. Grisell mau tak mau harus memenuhi keinginan pria itu. Ia terdiam sesaat kemudian ia melirik pria itu dari ekor matanya. Mungkinkah pria seperti Lord Moore memiliki kekasih? Ya, kekasih yang sama membosankannya. Pasti mereka hanya membicarakan omong kosong tentang kabar mereka dan bagiamana hari mereka begitu indah. Bagaimana mungkin mereka memiliki hari yang indah dan konsisten? Setahu Grisell, ia bukan anak bangsawan dan ia bersyukur karena tidak terlahir sebagai keturunan bangsawan. Ia tidak ingin menghabiskan waktu merajut atau menyanyikan lagu sedih di kursi goyangnya. Karena sepertinya Lord Moore tak akan mengatakan apa-apa, Grisell bertanya.
            “Apa kau punya kekasih di Cheshire, My Lord?” Tanya Grisell penasaran.
            “Aku tidak memiliki kekasih saat ini, Miss Parnell. Mungkin sebentar lagi aku akan memiliki kekasih. Bagaimana denganmu, Miss Parnell?” Lord Moore bertanya dengan rasa penasaran yang sangat jelas dari nada pertanyaannya. Grisell tidak akan tertipu akan keseriusan dan ketenangan dari wajah pria itu, dan ia yakin Lord Moore penasaran akan masa lalunya. Grisell menggeleng kepalanya
            “Aku tidak memiliki kekasih tetap. Tapi aku memiliki banyak kekasih di London, mereka datang di hari yang berbeda.”
            “Tentu saja,” ujar Lord Moore tanpa pria itu sadari. Tubuh Grisell menegang mendengar ucapan yang terlontar dari mulut Lord Moore. Pria itu memaki dirinya sendiri, seharusnya tak mengatakan kalimat sarkastik itu. Grisell menoleh tersinggung namun ia tidak bisa membantah apa yang Lord Moore katakan. Memang Grisell memiliki banyak pria yang memujanya namun tak satu pun dari mereka setia pada Grisell. Tidak pernah ada pria yang setia dan bertahan untuknya. Melihat kedua mata biru Grisell yang menyiratkan kekesalan, Lord Moore cepat-cepat meminta maaf. “Miss Parnell, aku tak bermaksud berkata seperti itu. Maksudku, tentu saja kau memiliki banyak pria yang memujamu. Sungguh, aku tak bermaksud menyakiti perasaanmu,”
            Grisell berhasil tersenyum palsu. “My Lord, apakah sangat penting memikirkan kalimat apa yang harus dilontarkan pada seorang pelacur sepertiku? Tidak ada gunanya memikirkan perasaanku jika kau ingin berbicara denganku. Karena pada dasarnya, aku tak berperasaan.”

***

            Moore House, rumah utama keluarga Moore yang harus melewati estat Weshling Park untuk sampai di depan halaman luas rumahnya saja. Halaman rumah itu ditumbuhi pohon buah-buahan yang berbeda-beda di setiap areanya. Di sepanjang jalan setapak menuju rumah utama terdapat bunga-bunga cantik berwarna-warni di pinggirannya. Jalan setapak itu berujung pada jalan setapak lain yang berbentuk lingkaran besar dan di tengahnya terdapat air mancur cantik berbentuk bayi memiliki sayap dengan anak panah mengarah ke atas. Sudah jelas Cheshire merupakan daerah yang sangat subur tanahnya dengan tumbuh-tumbuhan langka di hampir setiap jengkal tanahnya. Penyewa rumah estat sudah jelas menyukai suasana Cheshire yang sejuk dan tenang. Terutama di musim gugur seperti ini tampaknya tidak mengurangi kecantikan alam Cheshire.
            Pintu gerbang besar terbuka menyambut kereta kuda Lord Moore. Perjalanan panjang yang melelahkan berhasil membuat Grisell terlelap di dada Lord Moore. Grisell mengantuk saat perjalanan dan membutuhkan sandaran yang hangat untuk tubuhnya yang kedinginan. Saat sedang mengganti kuda mereka, Lord Moore menawarkan dadanya sebagai sandaran kepala Grisell. Wanita gila mana yang mau menolak tawaran seperti itu dari Lord Moore? Grisell tak sempat menggoda pria itu sebab tubuhnya memang tegang dan butuh istirahat. Untungnya, perjalanan mereka selesai begitu kereta kuda berhenti di depan teras Moore House. Pintu kereta kuda terbuka, namun tidak ada tanda-tanda keluar seorang pria atau wanita dari dalam.
            Rupanya Lord Moore sedang kesulitan membangunkan Grisell yang tidur seperti orang mati. Ia menggoyang-goyangkan bahu Grisell agar wanita itu bangun dan tak mempermalukan diri mereka sendiri. Setelah menampar pelan pipi Grisell dan wanita itu tetap tak membuka matanya, Lord Moore terpaksa harus keluar lebih dulu untuk menggendong Grisell. Namun saat tangannya yang merangkul bahu itu berusaha melepaskan pelukan Grisell, secara tak sengaja tangan itu menyenggol buah dada Grisell. Demi malaikat di sorga! Grisell bangun tiba-tiba. Matanya mengedip beberapa kali lalu menoleh kepalanya ke sana kemari melihat sekelilingnya seperti orang takut, lalu ia mendesah lega saat ia melihat Lord Moore masih ada di sebelahnya.
            “Kupikir aku diculik,” ceracaunya tak jelas. Telinga Grisell mendengar suara asing yang jarang ia dengar. Burung bercicit? Dan tidak ada kebisingan roda kereta kuda atau asap yang keluar dari toko kue? Lalu ia sadar bahwa kereta kuda sudah berhenti. “Kita sudah sampai?” Tanyanya melirik pintu kereta kuda yang sudah terbuka. Sebelum Lord Moore sempat menjawab, Grisell sudah turun lebih dulu menjejakkan kakinya di jalan setapak berbatu itu. Seorang pelayan membantu Grisell turun dari kereta kuda dengan kesopanan yang janggal bagi Grisell. Jadi, inilah Cheshire? Desa sunyi yang tak memaparkan kesenangan? Oh, tak mengejutkan melihat prilaku Earl of Moore yang kaku.
            Pelayan pria yang membantunya turun dari kereta kuda mundur beberapa langkah saat Lord Moore keluar dari kereta kudanya. Tubuh tingginya benar-benar membuat Grisell tampak seperti kurcaci. Tapi kurcaci yang manis, tentu saja. Pelayan pria itu membungkuk memberi hormat pada Lord Moore lalu ia tersenyum ramah.
            “Selamat datang kembali di rumah, My Lord,” ucap pelayan pria yang Grisell duga adalah kepala pelayan rumah.
            “Terima kasih, Cornelius. Saya harap kepergianku tak membuat kewaspadaanmu berkurang,” balas Lord Moore sama ramahnya namun dibumbui ketegasan.
            “Tidak sedetikpun, My Lord,” Cornelius berujar. Pria itu memiliki rambut di belakang dan botak di bagian depan kepalanya dengan kumis lebat di bawah hidungnya. Sudah jelas pria itu berumur 40 tahun ke atas. Merasa diabaikan kehadirannya, Grisell memperkenalkan diri.
            “Dan aku Grisell Parnell, pela—“
            “Cornelius, aku hampir lupa memperkenalkan nona cantik ini padamu. Perkenalkan Grisell Parnell, orang yang dijanjikan Ayah untukku dari London. Bukankah ia terlihat begitu memesona?” Tanya Lord Moore memotong ucapan Grisell. Seharusnya Lord Moore membuat peraturan bagi wanita ini agar tak mengatakan hal-hal bodoh.
            “Oh, mutiara tercantik yang pernah kulihat! Cornelius siap melayani Anda, My Lady,” ucap Cornelius menarik tangan Grisell—yang ternyata sudah dibalut sarung tangan putih, bahkan Grisell sendiri baru menyadarinya—lalu mencium buku-buku jarinya. “Suatu kehormatan berkenalan denganmu My Lady,” tambah Cornelius yang tampaknya memang terpesona akan kecantikan Grisell. Oh dia tidak tahu saja sudah berapa pria yang pernah tidur dengan Grisell.
            “Kurasa sudah cukup perkenalan ini, Cornelius. Kau bisa memperkenalkan para pelayan pada Grisell setelah ia membersihkan diri dan beristirahat,” tukas Lord Moore memberi lengannya pada wanita itu. Grisell menggamit lengan Lord Moore dengan tangannya sehingga mereka tampak seperti sepasang kekasih. Cornelius mengiyakan, lalu ia undur diri dari hadapan majikannya. Lord Moore dan Grisell melangkah menaiki beberapa anak tangga teras lalu dua pelayan laki-laki membukakan pintu kembar yang besar bagi mereka.
            “Apakah kalian selalu berbicara seformal itu?” Tanya Grisell saat mereka melangkah masuk. Lord Moore mengangguk pasti. Grisell berhenti melangkah membuat Lord Moore juga berhenti melangkah.
            “Ya, itu menjaga—“
            “Kau yakin ini rumahmu?” Bisik Grisell terpana melihat keindahan rumahnya. Entah ini sudah yang keberapa kalinya wanita itu memotong ucapannya. Namun ia tetap menjawab.
            “Aku selalu yakin dan percaya bahwa ini adalah rumahku. Selamat datang di Moore House, Miss Parnell.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar