CHAPTER ONE
Tidak,
tidak, tidak. Dia tidak sama seperti istri yang kuimpikan selama ini. Tidak
mendekati, bahkan sejengkal pun tidak, Justin Moore berkata dalam hati. Ia
memerhatikan wanita muda berambut cokelat madu itu duduk di hadapannya dengan
posisi sembrono. Wanita itu bersandar di dinding kereta kuda sambil menatap
keluar jendela, entah apa yang ia lihat. Salah satu pahanya menumpu paha yang
lain, bibirnya cemberut dan matanya tampak letih. Jika saja ia tidak memberikan
gaun pantas untuk wanita itu, sudah jelas kulit putih wanita itu terekspos
seperti ikan segar yang dijual di pasar. Meski Justin berpikir bila ada pria
yang mengatakan wanita itu jelek, berarti pria itu sinting. Wanita muda itu
memiliki kulit putih pucat, rambut cokelat madu yang dipadu dengan mata
berwarna biru laut. Bibirnya berwarna merah manis yang mungil sehingga terlihat
seperti kuncup bunga. Kepala wanita itu hanya sebatas setengah lengannya
sehingga wanita itu kelihatan pendek. Terlebih lagi dengan posisi duduk hampir
tenggelam itu semakin membuat wanita itu terlihat kecil daripada yang sebenarnya.
Grisell
Parnell, ujar Justin dalam hati, mengingat nama wanita itu. Grisell tidak
tampak seperti yang ia bayangkan. Ia pikir, Grisell akan tampak lebih tua
dengan bibir tebal yang lebar. Atau rambut hitam keriting sebagai mahkota
kepalanya. Bahkan, Grisell tak tampak seperti pelacur—bila dilihat dengan pakaian
tertutup seperti ini, tentu saja. Setelah dua tahun kepergian sang Ayah ke
rumah Tuhan, Justin Moore diberi perintah untuk menikahi wanita bernama Grisell
Parnell oleh Ayahnya. Karena gelarnya sebagai Earl of Moore membuat Justin
sibuk pergi ke sana kemari untuk mengurus estat keluarga Moore, Welshing Park
yang terkenal di Cheshire, ia tidak sempat pergi mencari wanita itu di kota
London. Ia tidak sama sekali tahu bahwa Grisell Parnell yang Ayahnya maksudkan
adalah seorang pelacur terkenal di London.
Tidak, Grisell Parnell tidak terkenal. Ia dikenal di London karena kemolekan tubuhnya meski wanita itu tidak
tinggi seperti wanita pada umumnya. Banyak rumor mengatakan bahwa Grisell
adalah keturunan bangsawan, namun tak ada yang dapat membuktikannya sebab ia
adalah anak haram. Justin tidak pernah mengira ia akan diperhadapkan dengan
wanita seperti Grisell. Wanita muda yang tak peduli tata krama, suka merayu,
dan nakal. Ia membutuhkan istri yang sopan, bermatabat, dan dapat mengurus
anak-anaknya. Oh Tuhan, tolong aku, Justin
kembali berseru dalam hati.
Dibutuhkan waktu setengah hari untuk
sampai ke Cheshire dari London. Setelah membayar sebesar 20 shilling pada sang
germo, Justin membawa pergi Grisell dari rumah pelacuran itu. Setelahnya Justin
hanya perlu mengirim penjahit pada germo Grisell agar wanita itu memiliki
banyak pakaian mewah—dengan batas sebanyak 10 gaun. Dan di sinilah ia
berhadapan dengan pelacur yang dikenal hampir seluruh London, duduk dengan
posisi tak sopan bahkan pada orang asing yang baru dikenalnya.
Karena tak ada yang berbicara,
akhirnya Justin membuka mulut. “Apakah kau pernah ke Cheshire sebelumnya, Miss
Parnell?” Tanya Justin yang sering disapa Lord Moore itu. Merasa dirinya sedang
diajak bicara, Grisell mengangkat kepalanya dari dinding kereta kuda. Kemudian
ia menoleh menatap pria kaku itu. Tidak
sama sekali menyenangkan berada dalam satu kereta dengan pria kaku sepertinya!
Grisell berseru dalam hati. Seumur hidupnya, Grisell tidak pernah gagal merayu
seorang pria. Namun pria yang satu ini justru berbanding terbalik dari
harapannya! Begitu Justin Moore masuk ke dalam tempat pelacuran Bibinya, Grisell
mulai tertarik akan pesona pria itu yang keluar dan memenuhi ruangan. Ia duduk
bersama teman-temannya di atas sofa yang sudah usang sambil memerhatikan
bangsawan itu yang juga sedang memerhatikan mereka satu per satu.
Bibi Millicent muncul dari ruangan
lain ke ruang tamu, tempat para pelacur dipamerkan seperti sayuran, merasa ada
seorang pelanggan masuk. Grisell melihat wajah Bibinya berseri-seri menyambut
pria berpakaian aristokrat itu. Kemeja tanpa kerah, rompi hitam, cravat putih
yang terselip masuk dan celana panjang hitam. Apakah ada mahluk yang lebih
indah daripada pria ini? Grisell tidak yakin. Pria itu berbicara dengan suara
pelan dengan Bibinya mengakibatkan rasa penasaran bagi teman-teman Grisell,
termasuk dirinya sendiri. Bibinya yang setengah mabuk itu terkejut sesaat
mendengar perkataan pria itu kemudian ia menoleh ke belakang melihat Grisell.
Grisell bangkit dari sofa dengan
pakaiannya yang luar biasa terbuka. Belahan dadanya tampak dalam balutan gaun
hitam tipis yang panjangnya tak melewati lutut. Stoking hitamnya tertarik
sampai lutut sehingga ia tampak begitu panas. Rambut cokelat madunya digerai
panjang dengan aroma mawar menyeruak ke seluruh ruangan. Bibinya menarik
Grisell agar lebih dekat dengannya lalu memamerkan Grisell pada pria tinggi itu
seolah-olah Grisell adalah perhiasan terbaiknya.
“Inikah Grisell Parnell yang kau
cari itu, My Lord?” Tanya Bibi Millicent pada bangsawan itu. Sudah Grisell duga
pria itu seorang bangsawan! Tapi demi Tuhan ia tidak pernah mendapat pelanggan
bangsawan, apalagi yang setampan dirinya. “Dia keponakanku.” Bibi Millicent
menambahkan saat pria bangsawan itu tak menjawabnya. Mata cokelat pria menatap
Grisell dengan tatapan menilai namun juga takjub. Mengapa pria ini
menginginkannya? Dan dari mana pria itu tahu namanya padahal mereka belum
pernah bertemu satu sama lain?
Sebelum pria itu sempat menjawab,
Grisell sudah memajukan dirinya pada pria itu. Ia menempatkan tangannya di
tengkuk pria itu sementara yang lain di pinggangnya. Tangannya mengelus tengkuk
si mata cokelat, lalu memberi senyum memikat. “Kau mencariku, My Lord? Apakah
selama ini istrimu tak memberimu kepuasan? Sebab jika kau memakaiku malam ini,
kau tidak akan pernah beranjak dariku,” bisik Grisell dengan suara yang akan
menggoyahkan kesetiaan pria London. “Aku bisa melakukan dalam posisi apa pun.
Konvensional? Menungging? Berdiri? Kasar? Lembut? Di lantai? Di meja? Pilihlah yang kau suka,
Tampan. Aku akan selalu siap basah untukmu.” Grisell menempelkan tubuhnya pada
pria itu sehingga dadanya yang membusung menekan-nekan perut keras pria itu.
Tidak hanya tampan, tapi ia juga berotot. Mau tak mau Grisell terangsang
melihat pemandangan dewa Yunani di hadapannya.
“Maafkan aku yang tidak sopan ini
Miss Parnell. Aku Justin Walter Moore, Earl of Moore. Aku datang ke tempat ini
berniat untuk… menukar dirimu dengan uang agar kau bisa ikut denganku ke
Cheshire,” ucap pria itu tegas namun lembut. Grisell tak mengerti. Matanya
mengedip beberapa kali dan bingung akan reaksi pria itu. Tidak ada belaian di
tubuhnya? Tidak ada remasan di buah dadanya? Demi iblis yang merasuki pria itu!
Grisell benar-benar tercengang, ia memaku di tempatnya namun tak menarik
sentuhannya di tubuh pria itu.
“Orang-orang biasa membayarnya 5
shilling,” ucap Bibi Millicent terdengar masa bodoh. “Tidak lebih dari itu, kau
tidak bisa memilikinya.”
“20 shilling,” ucap Lord Moore tegas
lalu ia menambahkan. “Dengan satu penjahit terkenal di London untuk
membuatkanmu gaun mewah. 5 gaun mewah dan seluruhnya aku tanggung. Setelahnya
ia akan menjadi milikku seumur hidup.” Mata Bibi Millicent membulat tak
percaya. Ia tidak pernah memiliki penjahit pribadi atau bahkan gaun mewah! 20
shilling sangat murah bagi seorang Earl of Moore—dan ia hampir mengejek pria
itu sebelum pria itu menambahkan tawarannya. Dan memiliki Grisell Parnell untuk
seumur hidup? Ia tak percaya pria itu ingin memelihara si parasit manja itu.
Tapi sepertinya akan sebanding dengan apa yang ia dapat dari tawaran itu.
“20 shilling dan 10 gaun mewah, maka
kau bisa membawa si Parnell dariku malam ini.”
“Sepakat.” Lord Moore mengeluarkan
sekantong shilling dari kantong celana panjangnya pada Bibi Millicent. “Bisakah
aku menunggu kalian 15 menit untuk bersiap-siap? Dan kupikir Miss Parnell akan
memakai gaun yang kubawakan untuknya.” Lord Moore menarik diri dari sentuhan Grisell.
Wanita muda itu masih tak dapat berkata-kata atau bereaksi lebih daripada
memaku di tempatnya. Pria itu membelinya hanya dengan 20 shilling dan 10 gaun
mewah pada Bibinya? Sulit dipercaya!
Saat Lord Moore pergi keluar dari
ruang tamu selama beberapa saat, pria itu muncul kembali bersama seorang wanita
muda berpakaian pelayan dan memegang sebuah gaun di tangannya. Gaun berwarna
biru yang berumbai-rumbai di bagian bawahnya. Bagian lehernya sangat tinggi
sehingga buah dadanya tidak akan terlihat seperti sekarang. Terdapat stoking
baru beserta sepatu hitam di atasnya. Semuanya masih baru dan itu hanya
diberikan untuk Grisell. Beberapa teman Grisell mengerang iri melihat
keberuntungan Grisell lalu salah satu menyeletuk.
“My Lord, tidakkah kau ingin
menukarnya denganku?” Tanya si rambut hitam duduk sembrono, menampakkan pahanya
yang putih. Lord Moore tak menghiraukan godaan-godaan yang dilontarkan para
pelacur itu tetapi ia fokus pada wanita muda di depannya yang masih tampak
terguncang. Bibi Millicent tak ingin kesempatannya hangus. Ia segera memandu
sang pelayan dan Grisell untuk masuk ke ruangan agar keponakannya dapat memakai
gaun itu sesegera mungkin. Melihat gaun cantik itu saja sudah membuat Millicent
hampir meneteskan air liur, bagaimana nanti ia memiliki 10 gaun yang mewah
seperti itu? Demi seluruh pelacur di London, Millicent tidak akan
membuang-buang waktunya untuk memikirkan apakah ia setuju atau tidak setuju
pada perjanjian itu. Sudah jelas ia setuju!
Sementara Grisell memakai gaun
barunya—yang dibantu oleh pelayan itu—ia memikirkan pria bernama Justin Moore
itu. Mengapa godaannya tak mampu membuat pria itu mengelusnya? Bahkan pria itu
tidak berusaha menggerakan tangannya sama sekali. Mungkinkah seluruh bangsawan
seperti itu? Tapi Bibi Millicent bilang para bangsawan yang beristri sering
memakai pelacur untuk memuaskan nafsunya. Dan tentu saja pria itu telah
mempunyai istri di… dimana itu? Cheshire. Tempat macam apa itu? Grisell hampir menghabiskan seumur hidupnya di
London bersama Bibi Millicent dan tak pernah sekalipun mendengar kota atau desa
bernama Cheshire. Dan Grisell sangat yakin, dalam waktu beberapa jam ke depan,
beritanya dibeli oleh seorang bangsawan akan tersebar di seluruh London. Wah, langkah yang bagus Lord Kaku!
Grisell mengejek dalam hati.
“Mengapa aku harus memakai gaun
ini?” Tanya Grisell saat menyadari hampir seluruh tubuhnya terutup kecuali
pergelangan tangan dan lehernya. Pelayan itu sedang merapikan bagian gaun yang
kusut di bawah sana lalu mendongak.
“Karena Lord Moore menginginkannya,
Miss. Apakah kau ingin memakai bonnet, Miss?” Tanya pelayan itu kelewat sopan.
Grisell merasa situasi begitu kaku dan canggung namun ia menjawab pelayan itu
dengan gelengan cepat. Ia tidak ingin memakai bonnet konyol itu! Ia pasti akan
terlihat seperti bayi. Grisell kemudian menatap pada cermin panjang di
hadapannya lalu ia memutar tubuhnya lalu gaun itu tampak terbang sehingga
Grisell cekikikan seperti anak kecil. Bibi Millicent tidak ada di ruangan, ia
menunggu di luar—dan mungkin sedang berbincang-bincang dengan pria itu. Meski
pria itu kaku, setidaknya ia pria yang sudah jelas kaya.
Pelayan itu tampak terkejut akan
prilaku Grisell namun ia tidak mengomentari apa pun. “Apakah ada barang-barang
yang harus kusiapkan untuk kepergian Anda ke Cheshire?”
“Oh, tentu. Ada di kamarku, di
sebelah kamar ini. Tapi aku bisa membereskannya sendiri.” Grisell melangkah
menuju pintu. Pelayan itu ikut membuntutinya sambil mengatakan keberatannya.
“Tidak perlu, Miss. Aku bisa
menyiapkannya untukmu. Lord Moore akan marah bila aku tidak mengerjakan
tugasku.” Pelayan itu bersikeras. Grisell berbalik menatap pelayan muda itu
lalu akhirnya ia mengangguk menurut. Jika itu memang yang ia inginkan, maka
siapkanlah. Saat Grisell masuk dalam ruang tamu, beberapa pelacur sudah tidak
ada di sofa dan bibi Millicent tampak tak sabaran di mulut pintu.
Begitu ia melihat Grisell muncul
dengan gaun berwarna biru itu, Millicent tercengang. Betapa luar biasanya
Grisell dalam balutan gaun tertutup itu. Millicent menggeleng-geleng kepalanya
cepat-cepat lalu menarik tangan Grisell agar cepat keluar dari rumah pelacuran
itu karena Lord Moore sudah menunggunya di depan kereta kuda besar. “Cheshire
menunggumu, Grisell. Dan jangan sampai ia mengembalikanmu, apa kau mengerti?”
“Ya, Bibi Millicent,” bisik Grisell
setengah jengkel. Mungkinkah ia tidak akan pernah bertemu dengan Bibi Millicent
lagi? Meski Bibi Millicent galak, wanita itu tetap bertahan menjaganya selama
17 tahun sejak Ibu Grisell meninggalkannya pada Bibi Millicent. Dan kadang Bibi
Millicent bersikap lembut bila ia tidak sedang mabuk atau dalam keadaan buruk.
Suara dehaman dari Lord Moore mengembalikannya pada waktu sekarang. Mereka baru
setengah perjalanan menuju Cheshire dan bokong Grisell bisa memanggang tupai
hanya dengan menduduki hewan itu. Dan ia tidak bisa membiarkan satu orang pria
diam-diam saja di depannya. Ia harus mencumbu pria itu. Membuat pria itu puas.
Seolah-olah ia hidup hanya untuk memuaskan para pria. Namun kali ini berbeda.
Ia tidak akan memuaskan para pria, ia
hanya memuaskan satu pria. Earl of
Moore yang sudah membelinya untuk seumur hidup.
“Miss Parnell, apakah kau mendengar
pertanyaanku?” Tanya Lord Moore kelewat sopan. “Apa kau pernah pergi ke
Cheshire sebelumnya?” Pria itu mengulang pertanyaannya lagi. Rahang tegas,
hidung mancung lancip, bibir tipis yang tampak manis bila dilumat dan dua mata
cokelat hangat sedang menatapnya. Tubuh pria itu tinggi dan pinggangnya ramping.
Ia masih tergolong muda meski bakal janggutnya mulai tumbuh sehingga ia
terlihat lebih maskulin. Grisell ingin menabrak tubuh itu, menyambar mulut itu
dengan mulutnya sambil ia mengelus-elus kejantanan pria itu. Sebelum Lord Moore
marah, Grisell cepat-cepat menjawab.
“Tidak, My Lord. Dulu aku pernah
tinggal di desa tapi aku lupa nama desa itu, tapi tidak lebih dari 2 bulan.
Setelah itu aku pindah ke London bersama Bibi Millicent.”
“Sebelumnya, maafkan aku karena
memberi pertanyaan ini padamu. Apakah memang keinginanmu menjadi pelacur, Miss
Parnell?” Tanya Lord Moore hati-hati. Grisell mengingat kembali awal karirnya
sebagai seorang pelacur. Rasanya sangat tak nyaman di hari pertama ia menjual
diri, terutama biasanya pria-pria yang memakainya sering memperlakukannya
kasar. Bahkan banyak bekas luka di sekitar punggungnya. Karena belum tahu tata
krama Inggris—meski telah tinggal di Inggris seumur hidupnya—Grisell mengangkat
kedua kakinya ke atas kursi lalu memeluk lutut itu. Ia merasa takut. Ia takut
kalau saja pria di hadapannya ini sama dengan pria yang pertama kali memakai
tubuhnya. Tidak, rasanya sangat tidak
enak, bisik Grisell dalam hati.
Justin menyadari dari sorot mata
Grisell bahwa wanita itu tidak ingin mendiskusikan pekerjaan lamanya—sebab
Justin tidak akan membiarkan Grisell menjual dirinya lagi. Apakah seburuk itu?
Saat mereka sampai di Cheshire, ia akan membawa Grisell pada dokter untuk
memeriksa apakah ia terjangkit penyakit seks atau tidak. Mata Grisell
meluruskan pandangannya pada satu titik namun dengan tatapan ketakutan.
Kemudian mulutnya yang mungil terbuka.
“Tidak,” bisik wanita gugup. Lalu
Grisell mengangkat pandangannya, menatap langsung pada kedua mata cokelat
Justin. “Bagaimana denganmu, Lord Moore? Apakah kau pernah memakai pelacur?
Apakah istrimu pernah memergokimu berciuman dengan seorang pelacur?” Pertanyaan
itu tidak sama sekali menggambarkan seorang Lady. Namun untuk menjaga
kesopanannya, Justin menjawab kaku.
“Sayangnya, Miss Parnell, aku belum
menikah,” ucap pria memakukan tatapannya pada Grisell. “Dan aku tidak pernah
memakai jasa pelacur.” Grisell tak terkejut sama sekali setelah ia ditolak
mentah-mentah oleh pria itu saat ia menggodanya! Mengingat hal itu kembali
membuat Grisell jengkel. Apakah ia tidak cukup menarik untuk membuat pria itu
terangsang? Atau pria itu impoten? Grisell mendengus—merupakan prilaku yang
tidak diterima oleh masyarakat Inggris.
“Sayang sekali. Tapi, apa kau akan
tidur denganku, My Lord?” Tanya Grisell mengangkat tangannya menyentuh bagian
depan lehernya. Untuk sesaat Lord Moore tampaknya kehilangan fokus saat melihat
leher putih itu disentuh oleh tangan Grisell. Ia masih ingat bagaimana tangan
itu menyentuh tengkuknya dan mengelus rambut-rambut nakalnya seperti belaian
seorang kekasih. Sayangnya, Grisell bukan kekasihnya—belum. Kata-kata yang
terlontar dari mulut Grisell merupakan kejahatan tak termaafkan! Lord Moore
hampir saja menerkam wanita itu tepat di tempat itu seperti orang kelaparan.
Dan terima kasih Tuhan, Lord Moore tak pernah melewati batas atau melecehkan
wanita. Masyarakat Cheshire yakin, meski Lord Moore bersikap sopan dan
bermatabat, ia adalah seorang pria yang hebat di ranjang. Kelugasannya
berbicara dengan wanita saja sudah berhasil membuat tubuh wanita itu memerah.
Bagaimana di atas ranjang? Tidak pernah ada yang tahu misteri kisah cinta Lord
Moore.
“Aku tidak akan tidur denganmu, Miss
Parnell. Dan begitu kita tiba di Cheshire, aku akan memperkenalkanmu pada
pengajar pribadimu agar kau memiliki tata-krama yang baik sebagai wanita
Inggris pada umumnya. Kupikir kita harus memperbaiki bagaimana kau harus
berkata-kata,”
“Pengajar pribadi? Aku bahkan sudah
berumur 22 tahun! Aku tak membutuhkan pengajar pribadi, oh tidak akan.” Grisell
melipat kedua tangannya di depan dada lalu membuang mukanya dari Lord Moore.
Demi surga, Lord Moore tak pernah bertemu dengan wanita tak sopan seperti
Grisell Parnell. Wanita ini kebalikan dari Henrietta, mantan kekasihnya di
Cheshire. Henrietta gambaran sempurna seorang wanita muda Inggris. Punggungnya
tegak, dagunya terangkat dan rambutnya tersanggul rapi saat ia berjalan. Ia
bahkan tidak pernah tertawa terbahak-bahak atau mendapat kesenangan berlebihan
sehingga ia tidak berlaku sembrono seperti Grisell.
Dengan wajah tenang, Lord Moore
membalas. “Kau membutuhkan pengajar pribadi dan kau tidak akan membantahku,
Miss Parnell,” ujarnya tegas. Grisell mau tak mau harus memenuhi keinginan pria
itu. Ia terdiam sesaat kemudian ia melirik pria itu dari ekor matanya.
Mungkinkah pria seperti Lord Moore memiliki kekasih? Ya, kekasih yang sama
membosankannya. Pasti mereka hanya membicarakan omong kosong tentang kabar
mereka dan bagiamana hari mereka begitu indah. Bagaimana mungkin mereka
memiliki hari yang indah dan konsisten? Setahu Grisell, ia bukan anak bangsawan
dan ia bersyukur karena tidak terlahir sebagai keturunan bangsawan. Ia tidak
ingin menghabiskan waktu merajut atau menyanyikan lagu sedih di kursi
goyangnya. Karena sepertinya Lord Moore tak akan mengatakan apa-apa, Grisell
bertanya.
“Apa kau punya kekasih di Cheshire,
My Lord?” Tanya Grisell penasaran.
“Aku tidak memiliki kekasih saat
ini, Miss Parnell. Mungkin sebentar lagi aku akan memiliki kekasih. Bagaimana
denganmu, Miss Parnell?” Lord Moore bertanya dengan rasa penasaran yang sangat
jelas dari nada pertanyaannya. Grisell tidak akan tertipu akan keseriusan dan
ketenangan dari wajah pria itu, dan ia yakin Lord Moore penasaran akan masa
lalunya. Grisell menggeleng kepalanya
“Aku tidak memiliki kekasih tetap.
Tapi aku memiliki banyak kekasih di London, mereka datang di hari yang
berbeda.”
“Tentu saja,” ujar Lord Moore tanpa
pria itu sadari. Tubuh Grisell menegang mendengar ucapan yang terlontar dari
mulut Lord Moore. Pria itu memaki dirinya sendiri, seharusnya tak mengatakan
kalimat sarkastik itu. Grisell menoleh tersinggung namun ia tidak bisa
membantah apa yang Lord Moore katakan. Memang Grisell memiliki banyak pria yang
memujanya namun tak satu pun dari mereka setia pada Grisell. Tidak pernah ada
pria yang setia dan bertahan untuknya. Melihat kedua mata biru Grisell yang
menyiratkan kekesalan, Lord Moore cepat-cepat meminta maaf. “Miss Parnell, aku
tak bermaksud berkata seperti itu. Maksudku, tentu saja kau memiliki banyak
pria yang memujamu. Sungguh, aku tak bermaksud menyakiti perasaanmu,”
Grisell berhasil tersenyum palsu.
“My Lord, apakah sangat penting memikirkan kalimat apa yang harus dilontarkan
pada seorang pelacur sepertiku? Tidak ada gunanya memikirkan perasaanku jika
kau ingin berbicara denganku. Karena pada dasarnya, aku tak berperasaan.”
***
Moore House, rumah utama keluarga
Moore yang harus melewati estat Weshling Park untuk sampai di depan halaman
luas rumahnya saja. Halaman rumah itu ditumbuhi pohon buah-buahan yang
berbeda-beda di setiap areanya. Di sepanjang jalan setapak menuju rumah utama
terdapat bunga-bunga cantik berwarna-warni di pinggirannya. Jalan setapak itu
berujung pada jalan setapak lain yang berbentuk lingkaran besar dan di
tengahnya terdapat air mancur cantik berbentuk bayi memiliki sayap dengan anak
panah mengarah ke atas. Sudah jelas Cheshire merupakan daerah yang sangat subur
tanahnya dengan tumbuh-tumbuhan langka di hampir setiap jengkal tanahnya.
Penyewa rumah estat sudah jelas menyukai suasana Cheshire yang sejuk dan
tenang. Terutama di musim gugur seperti ini tampaknya tidak mengurangi
kecantikan alam Cheshire.
Pintu gerbang besar terbuka
menyambut kereta kuda Lord Moore. Perjalanan panjang yang melelahkan berhasil
membuat Grisell terlelap di dada Lord Moore. Grisell mengantuk saat perjalanan
dan membutuhkan sandaran yang hangat untuk tubuhnya yang kedinginan. Saat
sedang mengganti kuda mereka, Lord Moore menawarkan dadanya sebagai sandaran
kepala Grisell. Wanita gila mana yang mau menolak tawaran seperti itu dari Lord
Moore? Grisell tak sempat menggoda pria itu sebab tubuhnya memang tegang dan
butuh istirahat. Untungnya, perjalanan mereka selesai begitu kereta kuda
berhenti di depan teras Moore House. Pintu kereta kuda terbuka, namun tidak ada
tanda-tanda keluar seorang pria atau wanita dari dalam.
Rupanya Lord Moore sedang kesulitan
membangunkan Grisell yang tidur seperti orang mati. Ia menggoyang-goyangkan
bahu Grisell agar wanita itu bangun dan tak mempermalukan diri mereka sendiri.
Setelah menampar pelan pipi Grisell dan wanita itu tetap tak membuka matanya,
Lord Moore terpaksa harus keluar lebih dulu untuk menggendong Grisell. Namun
saat tangannya yang merangkul bahu itu berusaha melepaskan pelukan Grisell,
secara tak sengaja tangan itu menyenggol buah dada Grisell. Demi malaikat di
sorga! Grisell bangun tiba-tiba. Matanya mengedip beberapa kali lalu menoleh
kepalanya ke sana kemari melihat sekelilingnya seperti orang takut, lalu ia
mendesah lega saat ia melihat Lord Moore masih ada di sebelahnya.
“Kupikir aku diculik,” ceracaunya
tak jelas. Telinga Grisell mendengar suara asing yang jarang ia dengar. Burung
bercicit? Dan tidak ada kebisingan roda kereta kuda atau asap yang keluar dari
toko kue? Lalu ia sadar bahwa kereta kuda sudah berhenti. “Kita sudah sampai?”
Tanyanya melirik pintu kereta kuda yang sudah terbuka. Sebelum Lord Moore
sempat menjawab, Grisell sudah turun lebih dulu menjejakkan kakinya di jalan
setapak berbatu itu. Seorang pelayan membantu Grisell turun dari kereta kuda
dengan kesopanan yang janggal bagi Grisell. Jadi, inilah Cheshire? Desa sunyi
yang tak memaparkan kesenangan? Oh, tak mengejutkan melihat prilaku Earl of
Moore yang kaku.
Pelayan pria yang membantunya turun
dari kereta kuda mundur beberapa langkah saat Lord Moore keluar dari kereta
kudanya. Tubuh tingginya benar-benar membuat Grisell tampak seperti kurcaci.
Tapi kurcaci yang manis, tentu saja. Pelayan pria itu membungkuk memberi hormat
pada Lord Moore lalu ia tersenyum ramah.
“Selamat datang kembali di rumah, My
Lord,” ucap pelayan pria yang Grisell duga adalah kepala pelayan rumah.
“Terima kasih, Cornelius. Saya harap
kepergianku tak membuat kewaspadaanmu berkurang,” balas Lord Moore sama
ramahnya namun dibumbui ketegasan.
“Tidak sedetikpun, My Lord,”
Cornelius berujar. Pria itu memiliki rambut di belakang dan botak di bagian
depan kepalanya dengan kumis lebat di bawah hidungnya. Sudah jelas pria itu
berumur 40 tahun ke atas. Merasa diabaikan kehadirannya, Grisell memperkenalkan
diri.
“Dan aku Grisell Parnell, pela—“
“Cornelius, aku hampir lupa
memperkenalkan nona cantik ini padamu. Perkenalkan Grisell Parnell, orang yang
dijanjikan Ayah untukku dari London. Bukankah ia terlihat begitu memesona?”
Tanya Lord Moore memotong ucapan Grisell. Seharusnya Lord Moore membuat
peraturan bagi wanita ini agar tak mengatakan hal-hal bodoh.
“Oh, mutiara tercantik yang pernah
kulihat! Cornelius siap melayani Anda, My Lady,” ucap Cornelius menarik tangan
Grisell—yang ternyata sudah dibalut sarung tangan putih, bahkan Grisell sendiri
baru menyadarinya—lalu mencium buku-buku jarinya. “Suatu kehormatan berkenalan
denganmu My Lady,” tambah Cornelius yang tampaknya memang terpesona akan
kecantikan Grisell. Oh dia tidak tahu saja sudah berapa pria yang pernah tidur
dengan Grisell.
“Kurasa sudah cukup perkenalan ini,
Cornelius. Kau bisa memperkenalkan para pelayan pada Grisell setelah ia
membersihkan diri dan beristirahat,” tukas Lord Moore memberi lengannya pada
wanita itu. Grisell menggamit lengan Lord Moore dengan tangannya sehingga
mereka tampak seperti sepasang kekasih. Cornelius mengiyakan, lalu ia undur
diri dari hadapan majikannya. Lord Moore dan Grisell melangkah menaiki beberapa
anak tangga teras lalu dua pelayan laki-laki membukakan pintu kembar yang besar
bagi mereka.
“Apakah kalian selalu berbicara
seformal itu?” Tanya Grisell saat mereka melangkah masuk. Lord Moore mengangguk
pasti. Grisell berhenti melangkah membuat Lord Moore juga berhenti melangkah.
“Ya, itu menjaga—“
“Kau yakin ini rumahmu?” Bisik
Grisell terpana melihat keindahan rumahnya. Entah ini sudah yang keberapa
kalinya wanita itu memotong ucapannya. Namun ia tetap menjawab.
“Aku selalu yakin dan percaya bahwa
ini adalah rumahku. Selamat datang di Moore House, Miss Parnell.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar