PROLOG
Saat itu musim gugur baru dimulai.
Daun-daun berwarna oranye, cokelat dan campuran keduanya mulai berjatuhan di
sepanjang jalan Cheshire. Langit desa saat itu begitu cerah dan berawan,
keduanya perpaduan yang menakjubkan. Para wanita tua dan muda berjalan melewati
jalan yang dilapisi dedaunan itu dengan risih. Beberapa pria tua menyapu
dedaunan itu, menyingkirkannya ke sisi jalan agar para wanita dapat melewatinya
tanpa menggerutu. Bagi para warga Inggris, menggerutu jelas membuang-buang
waktu dan bukan kebiasaan yang baik.
Sementara para wanita itu berjalan
menuju pasar, di dekat jalan tersebut terdapat rumah tua yang ditempati wanita
muda tanpa suami. Wanita itu dikenal ketus, galak, dan jarang berbaur dengan
warga desa. Bahkan wanita itu tidak memiliki teman dengan pendapatan per bulan
yang sangat minim. Tidak ada tunjangan lain selain peninggalan Ayahnya yang tak
begitu berharga, terutama kakaknya sudah tak menguntungkan lagi. Ia bukan
keturunan bangsawan, keberadaannya di desa yang penuh bangsawan itu sama sekali
tidak dianggap. Beberapa orang yang melewati rumah itu memerhatikan apa yang
sedang terjadi. Dalam waktu beberapa jam lagi, gosip di desa itu akan menyebar.
“Ingat,
kau akan baik-baik saja bersama Bibi Millicent. Mengerti?” Tanya seorang wanita
paruh baya berjongkok di depan anak perempuan cantik. Anak itu mengangguk
mengerti apa yang dikatakan Ibunya. Raut wajah Ibu itu dipenuhi dengan
kekhawatiran, wajah dan bibirnya sama-sama berwarna putih pucat, kemudian ia
memeluk anaknya untuk yang terakhir kalinya. Anak kecil itu kira-kira baru
berumur 5 tahun, ia belum mengerti apa pun selain mengikuti Ibunya. Sementara
melihat Ibu dan anak itu saling memeluk dengan sayang, wanita yang lebih muda
dari si Ibu itu menunggu sambil melipat tangan di depan dada seolah-olah
pemandangan itu biasa-biasa saja. Tidak ada yang perlu dikasihani. Setelah
memeluk anak tunggalnya, Ibu itu berdiri mundur menjauhi anak itu di mulut
pintu rumah reyot itu.
“Millicent, tolong jaga Grisell
sebaik mungkin. Aku berjanji akan pulang kembali dan membayar semua uang yang
kau keluarkan merawatnya,” ucap Ibu itu dengan bibir bergetar. Kening Ibu itu
berkeringat, ia kelihatan sangat tidak sehat. Wanita yang bernama
Millicent—yang melipat tangan di depan dada itu—mengangguk mengerti namun tak
mengatakan apa-apa. Ibu itu menarik tangan Millicent, memberikannya sekantong
shilling—koin London—padanya. Millicent menerima kantong kain itu secara
terbuka, tidak malu-malu atau berbasa basi.
“Aku akan merawatnya sebaik yang
kubisa,” ucap Millicent dengan suara kasar. “Mengapa kau tidak mendapat uang
lagi dari Lord Myhill?”
“Demi Tuhan, Millicent, itu sudah
tak layak dibicarakan lagi,” ucap wanita itu dengan kening mengerut. Wanita itu
terdiam sesaat menatap pada satu titik seperti mengenang sesuatu, namun dengan
segera ia menggeleng kepala. Melihat raut wajah kakaknya, Millicent menghela
nafas prihatin.
“Kembalilah setelah kau sehat, aku
berjanji akan merawat anakmu, Samantha.” Millicent meyakinkannya dengan suara
yang halus. Samantha mengangguk kemudian ia menunduk melihat anaknya yang
berambut panjang itu mendongak menatapnya berharap. Demi Tuhan ia tidak
mempunyai pilihan lain selain menempatkan anak itu jauh dari jangkauannya.
“Mama harus pergi bekerja sayang,
Mama akan kembali,” ucap Samantha mengelus pundak anak kecil yang dipanggil
Grisell itu kemudian ia menunduk memberi kecupan di pipi tembam anak itu. “Mama
mencintaimu.”
“Aku mencintaimu juga, Mama. Aku
akan menunggumu di sini.” Grisell tersenyum manis membuat Samantha tak tahan
berdiri lebih lama lagi. Samantha berjalan menjauhi rumah itu menuju kereta
kuda yang disewanya. Samantha mengeluarkan saputangan putih dari kantong roknya
lalu terbatuk-batuk sampai ia hampir kehilangan nafas. Darah merah menodai
saputangan putih itu lalu ia melipatnya dengan hati-hati. Sebelum ia masuk ke
dalam kereta kuda, ia melirik pada Grisell, untuk yang terakhir kalinya. Grisell
memerhatikan sosok Ibunya yang tinggi dan berbadan kurus, namun parasnya sangat
cantik, bahkan saat tidak ada warna lain selain putih pucat yang menghiasi
wajah Ibunya.
Gadis kecil itu melambaikan tangan
di mulut pintu itu dengan senyum penuh semangat sementara Millicent hanya
menatapnya dengan mulut cemberut. Ia berharap apa yang ia lakukan benar. Kemudian
ia melangkah menaiki kereta kuda, duduk di atas kursinya kemudian mengeluarkan
kembali sapu tangan itu. Ia terbatuk-batuk di sisi saputangan yang belum ternoda
darah, kembali darah tampak di saputangan putih itu. Ia memejamkan mata,
berharap agar Tuhan mengambil dirinya saat itu juga.
Kemudian dari belakang ia mendengar
suara teriakan dari Grisell memanggil-manggilnya dengan sebutan “Mama”. Namun
ia tidak sama sekali berani menoleh melihat ke belakang. Karena ia tahu, bila
ia menoleh ke belakang tidak akan ada harapan untuk anak itu lagi. Tangannya
mengambil tas kecil yang ia tinggalkan dalam kereta tadi, di sebelahnya, lalu
membukanya. Terdapat sebuah gulungan kertas putih kusam di dalamnya. Dengan
tangan bergetar, ia mengambil kertas yang terikat gulung itu lalu ia mendesah
lemah. Jari-jarinya dengan cekatan membuka tali kertas gulung itu lalu
memutar-mutar gulungan itu agar terbuka. Sebuah tulisan tangan yang familiar
membuat jantungnya berdebar-debar tak menentu.
Dear Samantha, pujaan hatiku
Tiap
jantungku berdetak, jantungku menjerit mengharapkanmu datang padaku. Seluruh
sarafku menginginkanmu menenangkannya dengan pelukan hangat. Bibirku begitu
merindukan kecupan manis hangatmu yang sangat menenangkan. Andai ada lagu yang
dapat menggambarkan betapa aku sangat merindukanmu, aku akan menyanyikannya
tiap hari sambil berharap kau akan datang padaku. Kuharap suatu saat kita bisa
bertemu lagi di bawah rembulan saat musim semi.
Sebelumnya,
maafkan aku Samantha karena membalas surat ini membutuhkan waktu yang sangat
lama. Kuharap kau baik-baik saja di London karena aku akan berada di London 3
minggu ke depan untuk mengurus hal penting. Dan kuharap kau ingin bertemu
denganku di sela-sela waktu kerjaku. Aku akan menjemputmu dan Grisell untuk
makan siang bersama bila aku memiliki waktu luang. Bagaimana dengan malaikat
kecil itu? Apa dia bertumbuh menjadi gadis cantik seperti Ibunya atau ia telah
menjadi primadona London? Sudah lama aku tak bertemu denganmu Samantha, aku
mengharapkan hubungan ini terus berjalan.
Apa
Grisell tahu tentangku selama 5 tahun terakhir ini? Atau kau akan
menyembunyikanku darinya? Bila kau sudah mendapat surat ini, Samantha, pujaan
hatiku, kuharap kau mengabulkan permintaanku untuk mengurusmu seperti kekasih
yang kauimpikan. Tunggu aku di pintu rumahmu, aku akan datang. Kuharapkan
balasan kepastian darimu, Samantha.
Yours,
LM
Samantha menggulung kembali surat
itu lalu menghapus air matanya yang menetes. 3 minggu ke depan? Dengan
pernafasan yang tersendat-sendat sepeti ini akan sangat mustahil ia berada di depan pintu rumahnya, menunggu pria
itu datang. Sudah 6 tahun mereka berpisah, namun Samantha masih dapat merasakan
pria itu mencintainya. Samantha mengeluarkan saputangan bersih yang lain di
dalam tas kecilnya dan terbatuk-batuk keras sampai kepalanya pening. Ia yakin
tidak akan berhasil sampai 3 minggu ke depan. Samantha memejamkan matanya
kembali, berharap ia memejamkan mata selamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar