Sabtu, 21 September 2013

Innocent Bab 5


***

            Sherene terpaksa harus membersihkan tubuhnya kembali karena Raja Justin telah bersenggama dengannya dalam waktu yang singkat. Tidak ada yang spesial di kejadian itu selain saat ia mendapatkan pelepasannya dengan posisi berdiri. Raja Justin tampak kaku setelah ia memakai pakaiannya kembali dan keluar dari harem Sherene. Mereka tidak mengucapkan sepatah kata perpisahan untuk menutupi malam mereka yang nikmat. Raja Justin kembali membersihkan miliknya dengan pakaian Sherene yang berwarna merah itu. Tidak ada ketakutan dalam diri Justin fakta bahwa sebentar lagi ia percaya, ia akan mendapatkan seorang anak dari Sherene. Sudah dua kali ia berhubungan badan dengan Sherene dalam kurung waktu satu hari. Bagaimana mungkin Justin tidak berpikir ke depan? Ia tentu sepenuhnya sadar, Sherene akan segera hamil dalam waktu dekat. Jika memang itu terjadi, apa yang akan menyusahkannya? Dia mungkin akan merasa beruntung karena akan mendapatkan Sherene. Atau mungkin juga, Justin akan menikahi Sherene dalam waktu dekat jika ia tidak bisa mengontrol nafsunya yang terus menggebu-gebu ketika pikirannya kembali terjatuh pada tubuh Sherene yang luar biasa molek.
            Malam itu pesta masih berjalan dengan baik bersama dengan music yang tidak berhenti bermain. Sherene mengepang rambutnya sebelum ia tidur sambil berhadapan dengan cermin di hadapannya dengan pipi yang merona. Merah di pipinya dari tadi tak kunjung menghilang dari pipinya ketika tiap kali Sherene mengingat mata Raja Justin yang menatap Sherene begitu lekat serta kedua alisnya yang menyatu ketika ia akan mendapatkan pelepasannya lalu berteriak, menyebut nama Sherene. Ia mendesah, memikirkan apa yang tidak akan mungkin terjadi di dalam kehidupannya. Ia hanyalah seorang harem yang berguna untuk memuaskan nafsu sang Raja jika Raja membutuhkannya atau hanya sekedar menemani sang Raja untuk sesuatu yang tak penting seperti mengipasi sang Raja. Kenyataan ini membawanya ke dalam pengharapan yang tak akan terjadi. Mimpi ini tidak akan pernah berjalan menuju kenyataan setelah ia melihat kondisinya. Semuanya tampak jelas, Raja hanya menginginkan seorang wanita bernama Cassandine dari Roma. Kemungkinan terbesarnya Raja akan mendatangi wanita itu di Roma lalu menikahinya dan menjadikan Cassandine sebagai Ratu Persia.
            Sherene merasa begitu bodoh. Selama delapan tahun ini ia tidak merenungkannya, ia hanya menunggu sang Raja untuk kembali dan kembali mengecupnya –dan memang Raja mengecupnya, lebih dari sebuah kecupan malah. Ketakutan Sherene bertanya apakah Raja Justin mengingatnya atau tidak adalah karena ia takut ..ia takut jika Raja akan menjauhinya. Bisa saja Raja Justin menjauhinya, jika Raja sadar bahwa dulu ia mengecup gadis yang aneh dengan rambut emas yang beda dari yang lain akan membuatnya jijik.  Pikiran Sherene memang tidak masuk akal, ia terlalu polos untuk berpikir ke depan. Di satu sisi, jika memang sang Raja mengetahuinya, mungkin Raja akan menikahinya sebagai Ratu meski pemikiran itu tidak akan pernah terjadi. Itu tidak akan pernah terjadi dan bodoh. Bukan, bukan itu yang dimaksudkan Sherene selama ini. Ia hanya ingin Raja tahu, setelah kecupan yang ia berikan beberapa tahun yang lalu, ia menumbuh perasaan cinta yang tak sirna sampai kedatangannya ke Persia. Dirinya mendesak untuk memberitahu sang Raja agar ia  ..di dunia ini tidak akan merasa ada sesuatu yang tersembunyi di dirinya atau sang Raja sendiri. Hanya sepatah atau dua kata akan membuat Sherene tidak akan merasa berhenti di tempat itu saja. Ia akan berjalan, jika Raja telah tahu perasaannya selama ini. Walau Sherene sadar betul, Raja akan menganggapnya sama seperti harem lain yang tentu mencintai Raja sama sepertinya. Sherene menggeleng-gelengkan kepalanya berusaha untuk menghilangkan pikirannya yang semakin lama semakin ia tak mengerti. Ia bangkit dari tempat duduknya menuju tempat tidurnya.
            Ia membaringkan tubuh mungilnya ke atas tempat tidur dengan perasaan gundah. Menatap langit-langit kamarnya yang tidak sama sekali menarik. Obor yang menerangi kamarnya membuat Sherene terbawa suasana untuk memejamkan matanya, terlebih lagi, obor itu membuatnya merasa semakin hangat.  Perlahan-lahan matanya terpejam ..ia masuk ke dalam kegelapan yang takkan ia pikirkan.

***

            Saat Sherene membuka matanya, ia tidak mendapati dirinya di atas tempat tidurnya yang tidak empuk itu. Melainkan di sebuah tempat tidur besar dengan tirai yang menggantung di atap tempat tidur milik sang ..Raja. Oh, mengapa tiba-tiba ia bisa berada di tempat tidur Raja? Kepalanya menghadap ke sisi yang lain. Yang Mulia, Raja, sedang tertidur nyenyak saat ayam belum berkokok. Memang, matahari belum muncul, sekarang masih subuh. Bagaimana bisa tiba-tiba ia berada di sebelah sang Raja dengan tubuh yang ..telanjang. Oh, ya ampun. Sherene menarik selimut yang menutupi tubuhnya dengan Raja, pipinya tiba-tiba bersemu merah. Ia tahu, ia telah tidur dengan sang Raja dua kali, tapi tetap saja ia merasa malu. Ia memerhatikan wajah Justin dengan seksama, bulu mata yang lentik serta kulit putih bersih dengan wajah yang sangat tampan. Bibirnya yang pernah mengecup seluruh tubuhnya, bahkan di sana. Matanya yang selalu mengagumi kemolekan tubuh Sherene tertutup. Wajah Justin menghadap kepada Sherene, jarak wajah mereka tidak begitu jauh. Mungkin hanya pakaian dalam saja yang Sherene kenakan sekarang, namun ia masih dapat merasakan kesejukan di kamar Justin.
            Ketika pikiran itu melesat, entah mengapa tiba-tiba saja Justin menggerakan tubuhnya lebih dekat dengan Sherene. Tangan kirinya mulai melingkar di sekitar pinggang Sherene yang telanjang. Didengarnya suara Justin yang mendengus bersamaan ketika Sherene mendesah merasakan aliran listrik yang menyengatnya ketika tangan Justin menyentuh tubuhnya.
            “Oh, demi para dewa, Yang Mulia! Kau sangat mengejutkanku!” Teriak Sherene –yang tidak terdengar berteriak—menjauhkan wajahnya dari wajah sang Raja ketika tiba-tiba saja kedua mata Justin terbuka. Mata Justin yang semula melotot itu melayu begitu saja, oh ternyata gadisnya masih berada di sebelahnya. Ia ingat malam itu, ia mendobrak pintu kamar Sherene hanya untuk masuk ke dalam tanpa membangunkan Sherene. Justin baru sadar, jika Sherene sudah terlelap, ia tidur benar-benar nyenyak. Wajahnya sangat cantik serta penuh kedamaian ketika ia memejamkan matanya. Senyum Justin muncul, tapi tidak menyentuh matanya. Senyum kecil yang sangat berarti bagi Sherene. Oh, kejadian ini. Ia ingat 8 tahun lalu ketika sang Raja masih terlelap dan mengejutkan Sherene ketika ia berusaha membangunkan sang Raja.
            “Sherene,” Justin menggumamkan namanya. “Kau sangat cantik,” lanjut Justin mengangkat kepalanya dengan tangan kirinya yang telah naik ke atas untuk menarik leher Sherene agar wajah mereka bertemu. Bibir mereka bertemu selama beberapa detik, lalu terpisah.
            “Sherene Madrigal, apa yang telah kaulakukan padaku?” Justin menggeram. Wajah polos gadis ini membangkitkan gairahnya di pagi yang masih gelap. Ia tahu Sherene terlihat sangat lelah setelah tadi malam ia bermain kilat bersama dengan Sherene. Tapi sungguh, demi para dewa, Justin sangat membutuhkan Sherene membalutnya dengan kenikmatan.
            “Yang Mulia,” gumam Sherene. “Aku bahkan tidak mengerti mengapa kau sangat menginginkanku,” ujar Sherene yang membuat mata Justin terbuka seutuhnya. Sherene Madrigal, seorang harem, telah berkata seperti itu kepada sang Raja? Sang Raja menginginkan Sherene Madrigal? Jika Eshter tahu ini, ia tidak akan pernah percaya dan akan menghina Sherene adalah gadis yang sinting. Jika begitu, Justin akan memenggal kepala Eshter. Apa yang Sherene katakan memanglah benar. Ia sangat menginginkan Sherene dalam jangka waktu singkat. Mereka bahkan baru bertemu selama dua hari –termasuk hari ini. Permainan mereka akan memasuki permainan ketiga.
            “Kau sangat manis, Sherene,” puji Justin mengangkat tubuhnya, tidak sampai tiga detik, Justin telah berada di atas tubuh Sherene. Selimut putih masih menutupi tubuh mereka sampai sepinggang Justin. Kedua tangan Justin berada di antara kepala Sherene, ia melihat wajah polos tanpa dosa itu dari atas sana. Memerhatikan betapa cantiknya harem yang satu ini. Mata hijau yang terang itu menatap Justin tanpa senyum, bulu matanya yang lentik terkibas ketika Sherene mengedipkan matanya. Lalu bibir itu. Bibir mungil yang terkatup itu rasanya harus Justin terkam setiap saat. Seperti sekarang ini.
            “Yang Mulia, apakah kau tidak lelah melakukan ini? Aku harus jujur, Yang Mulia, aku sangat malu berada di bawah tubuhmu dalam keadaan telanjang seperti ini. Aku seperti domba yang hendak disembelih,” ujar Sherene dengan kelancangannya. Tapi kelancangan itulah yang membuat Justin semakin bergairah. Justin tidak marah, tentu saja, ia menyukai cara berbicara Sherene yang penuh dengan kejujuran. Nah, pipi merah jambu itu kembali terlihat ketika Justin memberikan senyum misterius tersendiri.
            “Itu yang membuatmu lebih menarik, Sherene. Kelancanganmu semakin membuatku menginginkanmu. Mengapa kau melakukan itu? Apa kau tidak takut aku akan memenggal kepalamu hanya karena kelancanganmu?” Justin bertanya, menggoda. Oh, menggoda, Justin sudah lama tidak menggoda gadis seperti ini selain pada Cassandine. Sherene terdiam sejenak, ia menelan ludahnya, ada perasaan takut yang tiba-tiba menyerangnya namun ia tepis segera mungkin.
            “Tidak, Yang Mulia,” gumamnya.
            “Mengapa?”
            “Kau yang menginginkanku, Yang Mulia. Tidak ada alasan mengapa kau harus memenggalku ketika kebutuhanmu ada dalam diriku,” jelas Sherene memberikan jawaban yang cukup masuk akal. Mengapa sepertinya gadis ini tahu apa yang Justin butuhkan? Ya, Justin membutuhkan Sherene, seperti setiap saat. Seperti ia tidak menginginkan jangka waktu hanya karena jabatannya sebagai seorang Raja Persia. Tapi ya, ia memiliki jangka waktu untuk menahan segala nafsunya ketika wajah Sherene terlintas di otaknya.
            “Dan jika aku tidak menginginkanmu lagi?”
            “Maka kau bukanlah Raja teradil yang pernah kutemui,”
            Justin tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Diamlah dan berikan kebutuhanku yang dapat kaupenuhi,” mulut Justin segera menutup mulut Sherene. Tangan kanan Justin mengangkat kepala Sherene ke atas lalu ia meremas rambut itu dengan lembut, desah dari mulut Sherene berhasil membuka mulut Sherene yang dengan lembut Justin melesakan lidahnya masuk ke dalam sana. Erangan tertahan Sherene kembali terdengar ketika tangan kiri Justin mulai menurunkan pakaian dalamnya. Ketika ia merasakan kulit dada Justin yang menekan dada telanjangnya, Sherene tahu, Justin tidak mengenakan apa pun selain celananya. Bibir mereka terpisah.
            “Kau tahu sebesar apa aku menginginkanmu sekarang?”
            “Oh, Yang Mulia, demi para dewa, aku tidak tahu!” Seru Sherene mengangkat punggungnya ke atas ketika mulut Justin mulai mengecup putingnya yang berwarna merah jambu itu dengan ukuran yang kecil! “Yang Mulia, berhenti…” desah Sherene yang tangannya yang mungil itu mulai meremas rambut Justin dengan kasar. Ia menarik rambutnya yang cukup panjang itu agar lebih dalam lagi menangkap buah dadanya yang berukuran pas untuk tubuhnya. Ketika mulutnya berkata tidak, ia sebenarnya benar-benar menginginkannya. Sangat menginginkannya.
            “Ngh, kau sangat …” Justin tidak dapat berkata-kata ketika jari tengahnya mulai menyelip di antara belahan bagian bawah Sherene yang basah. Oh, ia sangat menginginkan Sherene sekarang juga. Ia ingin berada dalam tubuh Sherene! Jari tengah itu menggesek-gesek dinding bagian luar Sherene yang semakin lama semakin licin. Sherene benar-benar sensitif. Justin mengangkat kepalanya dari buah dada Sherene yang kencang, ia ingin menatap wajah Sherene yang sedang menikmati sentuhan-sentuhannya. Mata Sherene terpejam dengan punggung yang terangkat, tangannya sudah tidak meremas rambut Justin.
            “Buka kakimu lebih lebar, sayang,” suruh Justin dengan lembut. Sherene hanya melakukan apa yang Justin katakan. Ia melebarkan kakinya yang membuat telapak tangan Justin sekarang menangkup seluruh bagian bawah Sherene. Jari tengah Justin ia lesakan ke dalam bagian bawah Sherene. Dinding bagian dalam Sherene tergesek-gesek yang membuat pinggul Sherene ikut bergerak.
            “Ssh… Diam, Sherene. Jangan bergerak, buka matamu,” kembali Justin memerintah. Sherene menghentikan gerakan pinggulnya. Matanya terbuka, memperlihatkan mata hijaunya yang cerah itu penuh dengan gairah pada Justin. Pipinya memerah, Sherene benar-benar menikmati permainan yang sebenarnya, ia tidak ingin melakukannya karena ia cukup lelah. Namun ia sangat menginginkan untuk mendapatkan pelepasan.
            “Ngh, Yang Mulia, kumohon!” seru Sherene menautkan kedua alisnya. Justin tidak tersenyum atau apa pun, selain hanya mendengus. Tangannya bergerak-gerak maju mundur di bawah sana. Sherene merasakan satu jari kembali melesak sehingga dua jari telah berada dalam tubuhnya. Sherene sangat ingin memejamkan matanya, tapi ia tidak bisa, ia harus tetap membuka matanya untuk sang Raja. “Yang Mulia…”
            “Ada apa Sherene? Apa yang kauinginkan?” Ibu jari Justin mulai ikut bermain di bagian paling sensitif Sherene, matanya menatap Sherene lebih intens, ibu jarinya berputar-putar bersama dengan dua jari yang lain keluar masuk dalam tubuh Sherene.
            “Pelepasan! Aku ingin pelepasanku!”
            “Kupikir ini semua tentang kebutuhanku,”
            “Oh, Yang Mulia, kumohon jangan siksa diriku…ah, demi para dewa, Yang Mulia!” desah Sherene dengan tubuh yang melengkung ke bawah, pinggulnya menekan tempat tidur lebih dalam lagi. Tangannya ingin meraih pundak Justin, namun ia tidak dapat meraihnya. Tangan Justin sekarang benar-benar basah di bawah dengan gerakan yang semakin cepat. Bunyi dari tangan dan bagian bawah Sherene terdengar sangat merangsang.
            “Aku senang melihatmu tersiksa, Sherene,” ujar Justin. “Tapi aku tidak tega melihatmu tersiksa dalam jangka waktu yang lama karena aku ingin kebutuhan terpenuhi,” lanjut Justin mendengus. Kedua tangan Sherene terangkat, ia ingin menyentuh Justin. Tapi ia tidak dapat meraih.
            “Oh …Yang Mulia …Ngh—“ ketika Sherene akan mengerang, Justin membungkukkan tubuhnya ke bawah dengan bibirnya yang meredamkan erangan Sherene dalam mulutnya. Erangannya kembali teredam ketika ia mendapatkan pelepasannya yang membuat pinggul Sherene bergerak-gerak merasakan kenikmatannya. Kedua tangannya yang menegang segera memeluk Justin, begitu juga dengan jarinya yang kaku. Desahan-desahan yang keluar dari mulut Sherene tidak terdengar karena Justin terus menutup mulutnya dengan mulut juga. Mulutnya kembali terbuka ketika Justin mengangkat kepalanya, menjauh darinya.
            “Yang Mulia,” desah Sherene. “Aku sangat lelah,” lanjut Sherene. Tubuhnya melemas, ia tidak tahu, apakah ia dapat melanjutkan permainan ini lagi? Jika ya, mungkin ia akan pingsan. Justin baru saja memasukan kedua jarinya ke dalam mulutnya, menjilat cairan Sherene yang baginya, enak. Ereksinya begitu keras, ia ingin sekali memasuki tubuh Sherene sekarang juga, tapi kedua alis yang bertautan dengan ekspresi lelah itu membuat Justin tak tega untuk bersetubuh dengannya. Mungkin pagi nanti, ketika ia akan pergi bekerja.
            “Tidurlah.” Bisik Justin.

***

            Sherene baru saja kembali dari dapur untuk membawakan sang Raja sarapannya. Ternyata tadi malam sang Raja telah menyiapkan pakaian untuknya. Gaun merah dengan motif berwarna hitam yang menghiasi gaunnya membuat Sherene terlihat sangat cantik. Namun dalam gaun itu, para prajurit melihatnya sepertinya Sherene terbebani oleh pakaian yang besar itu. Sebenarnya, memang, gaun ini bagi Sherene sangat berat. Ia hanya menyukainya, makanya ia memakai pakaian merah ini. Kebetulan warna merah di Persia adalah kain dengan warna yang harganya sangat mahal.
            “Abdullah, bisakah kau membukakan pintu ini untukku?” Sherene telah berada di depan pintu kamar sang Raja. Prajurit yang kemarin bertemu dengan Sherene itu terkejut, mengapa Sherene bisa mengetahui namanya? Tentu saja dari Patricia. Patricia memberikan senyum lebar ketika ia tahu Sherene tidur di kamar Raja tadi malam. Rambut Sherene kali ini di sanggul sehingga lehernya yang jenjang itu terlihat sangat putih.  Segera saja Abdullah membuka pintu kamar Raja yang kali ini, Sherene merasa lebih percaya diri dibanding kemarin. Ia masuk ke dalam meski ada rasa takut jika dirinya tiba-tiba saja tersandung lalu terjatuh. Pintu besar itu terbanting ketika Sherene telah berada di dalam tanpa menjepit gaun Sherene di bagian belakang. Ia melihat Raja telah siap dengan jubah yang ia pakai.
            “Sarapan datang, Yang Mulia,”
            “Kita berdua itu tahu, Sherene,” suara yang Raja keluarkan terdengar santai namun matanya tidak melihat pada Sherene. Sherene menyukainya. Raja sedang membuka sebuah buku, membacanya sebentar, kemudian kepalanya terangkat. “Tapi aku tidak membutuhkan itu,”
            “Oh?” Sherene terkejut. Ia baru saja menaruh nampan sarapan itu ke atas meja Justin yang lain. Justin memerhatikan Sherene yang berdiri di hadapannya dalam jarak yang tidak begitu jauh. Pakaian itu. Pakaian yang seharusnya, Cassandine pakai, ia membawa pakaian itu dari Roma. Tapi Sherene cocok memakai gaun itu. Ia seperti mendengar suara percikan api gairah yang menyulutnya, gairahnya terbakar sudah. Gadis polos dengan pipi yang bersemu merah –untuk yang kesekian kalinya—membuatnya kembali bergairah. Tapi ia tidak memiliki waktu yang banyak. Sedari tadi ereksinya telah mengeras karena pikirannya selalu tertuju pada Sherene. Ia membuka celananya, saat itu juga pipi Sherene memerah. Lagi.
            “Aku membutuhkanmu. Kau berhutang tadi malam padaku,” Justin berjalan mendekati Sherene. Ia menarik pinggang Sherene yang kecil itu, kemudian mulutnya menutup mulut Sherene. “Kita akan memainkan ini secepat kilat, sayang,” bisiknya. Seperti tanpa ampun, Justin mengecup-kecup leher Sherene tiba-tiba. Kedua tangan Justin mengangkat gaun Sherene ke atas, memang sangat berat, tapi ia harus memenuhi kebutuhannya yang belum terpenuhi. “Aku menyukai sanggulanmu. Itu membuatku semakin mudah mencium lehermu,” bisik Justin menggigit kecil leher Sherene.
            “Tapi kita tidak memiliki waktu,” bisik Justin melesakan ereksinya ke dalam tubuh Sherene. Sontak Sherene mendesah. Kedua tangannya memeluk pundak Justin. Justin melakukannya berdiri. Ia terus mengeluarkan masukan ereksinya ke dalam tubuh Sherene. Basah. Bunyi dari kedua tubuh mereka membuat Sherene menautkan kedua alisnya, kenikmatan ini sangat cepat dan tidak terduga.
            “Datanglah untukku, Sherene!”
            Sherene mengambil seluruh nafasnya ketika tiba-tiba pelepasannya menyerangnya. Sangat cepat. “Demi apa pun, Yang Mulia …Ah! Ah!”
            “Sialan!” Justin mendapatkan pelepasannya.
            Kurang dari 5 menit. Menakjubkan. Kilat. Benar-benar kilat.

***

            “Apa yang kaulakukan?” Suara berat dari panglima Khazaz membuat Sherene tersentak. Benaknya yang tengah memikirkan Raja Justin yang telah pergi itu buyar begitu saja ketika suara itu menyeruak ke telinganya memberi panggilan ke kepalanya. Ia menoleh ke sebelah kanan untuk melihat panglima. Oh. Panglima Khazaz baru saja turun dari kuda yang tadi ia tunggangi, ia memegang tali pengekang kudanya untuk menahan kudanya agar tidak pergi darinya.
            “Aku hanya menatapi pintu gerbang,” ia menjawab seadanya. Kemudian kepalanya kembali menoleh pada pintu gerbang yang ada di hadapannya. Jika pintu gerbang itu terbuka dengan Sherene berada di belakang gerbang itu, mungkin Sherene akan mati terlindas atau tertampar pintu gerbang itu. “Apa kau akan keluar dari istana ini?”
            “Ya,” gumam panglima. Ia menautkan kedua alisnya, heran mengapa Sherene menatapi pintu gerbang dan mempertanyakan hal yang bisa dikatakan bodoh. “Tentu saja aku keluar dari istana ini, tiap hari. Hanya untuk melihat keadaan masyarakat. Tapi hari ini aku dan prajurit lainnya akan mengambil gadis-gadis kecil,”
            “Apa aku boleh ikut?” Sherene tidak dapat menahan keinginan terbesarnya. Ia ingin keluar dari istana ini hanya untuk beberapa saat. Bahkan sepanjang hidupnya, ia tidak pernah berada di depan pintu gerbang besar sedekat ini. Untuk beberapa saat panglima Khazaz berpikir sebentar. Tidak ada Raja, mungkin ini adalah kesempatan terbesarnya untuk mendekati Sherene. Lagi pula, Raja pernah bercerita padanya bahwa sepulangnya dari luar hari ini, ia akan kembali dengan seorang gadis yang ia suruh untuk datang ke Persia. Perjalanan yang cukup jauh namun tidak akan memakan waktu satu hari. Baiklah, Raja akan pulang tengah malam nanti. Kepala Sherene menoleh padanya dengan wajah penuh harap ingin keluar dari istana. Bibir Khazaz terlipat ke dalam, ragu-ragu akan keputusan yang ia ambil. Ya, Sherene bisa keluar siang ini. Raja tidak mungkin menghukumnya.
            “Tentu, naiklah ke atas kuda,”
            Kedua alis Sherene terangkat. “Benarkah?” Ia tidak dapat menahan teriakannya yang penuh dengan kebahagiaan. “Aku takut jika Patricia akan marah,”
            “Tidak, aku akan bertanggungjawab jika sesuatu terjadi padamu meski aku yakin tidak mungkin ada hal yang buruk menimpa dirimu selama kau berada di sisiku,” panglima Khazaz berkata penuh dengan keyakinan. Sejenak Sherene merenungkan kehidupannya dan lelaki yang berada di hadapannya. Jika ia tidak bisa mendapatkan sang Raja, apa Khazaz yang akan menjadi sasarannya yang berikutnya? Tidak mungkin! Tidak keduanya, lebih tepatnya. Alis tebal berwarna hitam, hidung yang sangat mancung, dagu yang sedikit terbelah dua yang ditumbuhi bulu-bulu halus, dan bibir itu …bibir yang selalu melengkung ke atas ketika bertemu dengannya. Panglima Khazaz tentu adalah lelaki yang sangat tampan. Teman-temannya di harem menyukainya, termasuk Chista. “Kau masih bersamaku, Sherene?”
            “Ya, tentu saja, Khazaz,” gumam Sherene mendongakkan kepalanya ke atas –Khazaz sangatlah tinggi. Sherene mulai menaiki kudanya dengan kaki kiri yang menginjak tumpuan kaki di samping tubuh kuda. “Bisakah kau membantuku …Oh, terima kasih,” Sherene duduk menyamping dengan gaunnya yang mekar. Oh, pakaian yang tidak cocok untuk menaiki kuda, gaunnya begitu meriah, menurutnya. Tidak masalah bagi Khazaz yang sudah duduk di belakangnya. Khazaz memegang tali kuda untuk menyetirnya sehingga lengan Khazaz sekarang memeluk tubuh Sherene.
            “Apa kau baik-baik saja di atas sini?” Khazaz bertanya di atas kepalanya. Telinga Sherene yang menempel di dada Khazaz mendengar suara Khazaz yang mendengung serta bergetar. Oh, sangat menakjubkan –kebetulan sekali Khazaz tidak memakai pakaian besi. Kuda yang mereka tunggangi mundur beberapa langkah dari depan pintu gerbang agar pintu gerbang dapat terbuka. Dari belakang sana, Sherene dapat mendengar suara kaki kuda yang berlari ke arah mereka bersama dengan keretanya. Oh, prajurit lainnya.
            “Tidak pernah merasa lebih baik seperti sekarang,” gumam Sherene sangat senang, namun sebisa mungkin ia menyembunyikan suara kegirangannya ketika pintu gerbang terbuka. Mulut Sherene terbuka berbentuk huruf O sempurna dengan kedua alis yang terangkat, desahannya terdengar. Bukan karena ia takjub dengan apa yang tengah ia lihat, ia ..tidak terima. Orang yang sama sepertinya, yang hidup sepertinya, diperlakukan seperti ini? Menjadi budak? Bahkan anak kecil yang seharusnya menikmati masa kecilnya dengan bermain-main sekarang harus mengangkat bebatuan yang akan diangkut untuk membuat sebuah ruang di luar istana. Ruangan yang akan menyambung dengan istana. Jika ia dapat menjadi seorang Ratu, ia sudah pasti tidak akan memperlakukan mereka seperti ini. Tanpa bayaran? Tentu saja, mereka hanya budak-budak. Mereka tampak kotor, meski tidak ada perempuan yang menjadi budak, tapi tetap saja itu menggerakan hati Sherene untuk melakukan kebaikan. Perasaan girangnya memudar sedikit demi sedikit seiring kuda berjalan melewati orang-orang yang mengangkat batu-batu itu.
            Kulit mereka hitam akibat panas matahari. Debu menempel di sekujur tubuhnya, kotor. Sangat kotor. Tapi bukankah memang seperti itu penampilan seorang budak? Sampai ketika mata Sherene melihat pada seorang anak kecil berkulit hitam mendongakkan kepalanya melihat Sherene dengan jari telunjuk yang kotor masuk ke dalam mulutnya. Anak itu harus dimandikan. Jika Sherene memiliki keberanian yang cukup, Sherene akan meminta turun dari kuda untuk membawa anak kecil itu masuk kembali ke dalam istana dan memandikannya. Tapi tidak. Sherene sudah tahu jawaban yang akan ia terima. Bukankah budak-budak ini berada di depan istana karena orang-orang dari dalam istana? Untuk apa Khazaz sibuk-sibuk menuruti permintaan Sherene jika ia adalah penyebab anak kecil itu menatap Sherene dengan tubuh yang kotor? Sekarang Sherene merasa lebih terberkati.
            Segalanya hilang begitu saja ketika ia masuk ke daerah perkotaan.
            Dari sudut bibir Sherene, setitik air masuk ke dalam. Oh, ternyata Sherene menangis.
            “Apa mereka diberi makan?” Sherene bertanya sambil mengelap air matanya dengan satu jari telunjuk. “Para budak itu,”
            “Mengapa kau begitu tertarik dengan mereka? Mereka hanyalah budak, tidak ada yang istimewa,” Khazaz membalasnya dengan nada suara yang bosan. Ternyata dibalik ketampanan Khazaz, ia sama seperti lelaki lainnya yang tidak peduli dengan orang-orang kecil seperti budak-budak tadi.
            “Tapi mereka sama seperti kita,”
            “Tidak sama sekali,” Khazaz membalasnya ketus. “Tidak ada pekerjaan yang cocok dibanding menjadi budak untuk mereka,”
            “Kau hanya belum memberi mereka kesempatan pekerjaan pada hal-hal yang mereka kuasai,”
            “Tidak perlu,” Khazaz menghela nafasnya. Ini bukan hal yang ia harapkan. Seharusnya ia tidak membicarakan hal-hal seperti ini dengan Sherene. Untuk apa? Usaha pendekatannya gagal sia-sia hanya karena budak-budak sialan yang berada di depan pintu gerbang. Kuda yang mereka tunggangi membawa mereka ke sebuah pedesaan dimana-mana memang banyak gadis-gadis yang cantik di dalamnya. Ia menarik tali kudanya agar berhenti di tempatnya sebelum kudanya melangkah lebih jauh.
            “Perjalanan yang menyenangkan?” Khazaz bertanya, ia menyandarkan dagunya ke atas bahu Sherene. Kereta kuda yang mengikuti mereka dari belakang melewati kuda Khazaz untuk masuk lebih jauh ke dalam. Sesaat Sherene teringat dengan apa yang terjadi dengannya 10 tahun yang lalu. Dimana ia diambil oleh sang panglima yang melihatnya dengan wajah yang heran. Sekarang, ialah yang sedang disandari oleh sang panglima.
            “Tidakkah seharusnya kita masuk lebih dalam lagi?”
            “Tentu,” Khazaz menggerakan talinya. Kuda mereka berjalan perlahan-lahan menelusuri pedesaan. “Apa keinginan terbesarmu?” Bibir Khazaz menyentuh leher Sherene. Sherene dengan hati-hati menarik lehernya dari wajah Khazaz, ia mendongak.
            “Melihat anak-anak di Persia bahagia. Tidak seperti anak kecil yang baru saja kulihat,” dan menikahi sang raja. Sherene menatap mata Khazaz dalam-dalam. Ia mempertajam tatapannya, memperingatkan pada Khazaz bahwa ia sedang serius.
            “Tidak ada yang lain?” Menikahi sang raja. Ia menjawab dalam hati.
            “Tidak,” Sherene berbohong. Oh, pertama kalinya ia berbohong. “Apa raja akan pulang malam ini?” Sherene mengubah topik pembicaraan.
            “Kurasa,” Khazaz menghentikan kudanya. Lalu ia turun. “Dengan seorang perempuan.”
           

***

            “Aku tidak ingin bertemu dengannya,” Sherene menjawab lalu menutup mulutnya rapat-rapat. Ia menyisir rambutnya di depan cermin dengan sisirnya yang baru. Patricia yang berdiri di mulut pintu kamarnya menatap Sherene dengan alis yang bertaut, prihatin dengan keadaan anak kesayangannya. Oh, dasar wanita dursila! Rasanya Sherene ingin memukul cermin yang ada di hadapannya untuk menghilangkan rasa kesalnya. Benar saja! Seorang gadis dibawa oleh raja Justin dengan wajah yang tentu saja lebih cantik dan lebih menarik dibanding Sherene! Sherene merasa tersingkirkan, perasaan irinya tumbuh begitu saja ketika tangan Raja dan gadis itu berpegangan. Sherene tidak menangis, ia sudah berjanji untuk tidak menangisi lelaki seperti Justin, Raja Persia.
            “Sherene, itu tidak seburuk yang kaukira,” Patricia masih berusaha membujuk Sherene.
            “Tidak seburuk yang kukira? Berpegangan tangan tidak seburuk yang kukira? Aku telah menunggunya selama bertahun-tahun dan ia membawa seorang gadis yang akan ia nikahi yang tidak lain dan tidak bukan adalah bukan diriku?”
            “Ia tidak akan menjadi istri dari raja Justin, Sherene!” Kali ini suara Patricia tegas.
            “Cassandine! Cassandine, wanita dursila yang menjijikan itu pasti sedang berada di atas tempat tidur sang Raja dengan tubuh yang telanjang! Sama seperti sang Raja memperlakukanku,” Sherene menyisir rambutnya semakin kasar, kepalanya cukup pening.
            “Aku yakin kau tidak ingin merusak rambut cantikmu, Sherene,” Patricia memperingati Sherene. “Dan jaga mulut manismu itu, nona muda. Cassandine datang bukan untuk dinikahi oleh sang Raja,”
            “Lalu untuk apa?” Pertanyaan sederhana yang keluar dari mulut Sherene membuat Patricia tertegun sejenak. Raja hanya merindukan Cassandine, ia ingin Cassandine berada di sekitar istana, menyesuaikan diri di Persia. Lalu …akan dilamar untuk yang kedua kalinya. Tapi tentu Patricia tidak akan menjelaskan hingga Raja Justin akan melamar Cassandine.
            “Kau mabuk, Sherene. Raja Justin merindukan Cassandine, ia membutuhkan Cassandine untuk beberapa saat. Lagi pula, Cassandine datang ke sini juga untuk melihat keadaan Persia. Tidak ada yang salah dengan hubungan mereka,” Patricia telah berada di belakang tubuh Sherene dan mengambil sisir yang berada di tangan Sherene, menggantikan Sherene agar ia dapat menyisir rambut emas berkilau itu. “Tidak apa-apa, Sherene. Raja Justin sangat membutuhkanmu, kau pasti tidak ingin dihukum,”
            “Aku lebih memilih dihukum dibanding aku harus bertemu dengan raja,” ceracau Sherene dengan wajah yang masam. Mata hijaunya gelap, kali ini. Ia benar-benar membenci Cassandine sejak nama itu keluar dari mulut raja sejak pertama kali mereka bertemu setelah 10 tahun mereka berpisah. Cassandine, nama yang dianggap Sherene adalah nama dari seorang wanita dursila! Tapi keinginan Sherene tidak dapat terpenuhi malam itu. Sang Raja telah berdiri di mulut pintu kamarnya dengan wajah tanpa ekspresi.
            “Patricia, kau boleh keluar sekarang. Terima kasih telah membantuku membujuknya,” Patricia terperanjat dari tempatnya ketika ia mendengar suara raja. Tidak ada raja sesopan raja Justin. Sherene memejamkan matanya untuk beberapa saat. Ia berharap dewa Hades mengambil nyawanya sekarang. Patricia –dengan sisir yang masih berada di tangannya—berjalan keluar dari kamar Sherene, namun sebelum ia keluar, ia memberikan hormat pada Justin lalu kembali berjalan. “Mengapa kau tidak ingin bertemu denganku …Sherene?”
            Sherene bangkit dari tempat duduknya, ia memutarbalikan tubuhnya untuk berhadapan dengan raja. Pintu kamarnya telah tertutup tepat ketika ia menghadap sang raja.
            “Kudengar kau keluar dari istana siang ini,” Justin mulai membuka jubahnya yang ia pakai. Apa mereka akan bersenggama lagi? Tapi keadaan Sherene tak mendukung hal itu. “Bersama dengan Khazaz, apa itu benar, Sherene?” Justin menekankan nama Sherene di bagian akhir pertanyaan.
            “Ya, Yang Mulia,”
            “Kau tahu betapa marahnya aku sekarang?” Justin membuka kancing pakaiannya. Dadanya yang bidang sekarang terlihat. Pemandangan sialan! “Aku bersyukur karena membawa Cassandine malam ini. Aku tahu kau tidak menyukainya. Sama seperti aku tidak menyukaimu ketika bersama dengan lelaki lain,”
            “Bagaimana kau tahu aku tidak menyukainya?” Sherene bertanya, tanpa kesopanan.
            “Patricia menceritakannya padaku,” Patricia sialan! Sherene mengutuk Patricia. Bagaimana mungkin Ibu angkatnya sendiri menceritakan kelemahannya pada lelaki yang ia sukai? Antara amarah dan malu, Sherene mengangkat dagunya ke atas agar terlihat lebih berani. “Mengapa kau memberikanku tatapan angkuh seperti itu?”
            “Karena aku tidak ingin berhubungan badan denganmu lagi! Lebih baik aku mendapatkan hukuman mati dibanding aku harus bersentuhan denganmu!” seru Sherene kesal. Sangat kesal. “Aku tahu kau telah berhubungan badan dengan Cassandine sebelum aku, oh, semuanya tampak sempurna Yang Mulia. Kau memang hebat untuk membuatku sakit hati, inilah mengapa aku tidak ingin berhadapan denganmu malam ini,”
            Justin menggeleng-gelengkan kepalanya dengan sedikit senyum muncul di sudut bibirnya. “Aku …kepanasan. Panas karena ruanganmu yang kecil dan kau …buah dadamu tampak menggiurkan dari jarak jauh. Hanya aku yang boleh melihatnya dan merasakannya,”
            “Tapi hanya aku yang memutuskan siapa yang boleh merasakannya! Dan itu bukan kau lagi, Yang Mulia, Raja Justin,” Sherene rasanya mabuk. Apa yang ia minum malam ini? Padahal ia hanya meminum beberapa gelas anggur dari dapur. Inikah efek yang ia dapatkan? Padahal baru-baru tadi …ia menghina Cassandine sebagai wanita dursila! Harem macam apa ia berani-beraninya menghina calon Ratu? Dan ia baru saja meneriaki Raja dengan kata-kata yang tidak seharusnya harem katakan. Kesadaran mulai menyelinap masuk ke dalam otaknya. Justin memberikan ekspresi biasa saja, pemberontakan dari seorang gadis polos memang sangat menggoda dan panas.
            “Jujur saja, Sherene,” gumam Justin, “kau tampak sangat cantik dengan rambut yang tergerai. Tanpa rangkaian bunga atau ikatan. Natural,” Justin melangkah lebih dekat. Saat itu juga kaki Sherene bergerak ke belakang, kakinya tak sengaja mennyenggol kursi yang tadi ia duduki namun tak terjatuh, untunglah. Tidak! Jangan berbicara atau kau akan merusaknya lebih parah lagi, Sherene! Sherene berteriak dalam hati.
            “Kau sama seperti Cassandine. Cantik, pemberani, tapi kau lebih polos,”
            “Aku tidak sama dengan Cassandine! Demi para dewa, Raja, lebih baik kau menghukumku sehingga kau memiliki kehidupan tenang tanpa diriku,”
            “Bukankah kau yang bilang bahwa kebutuhanku ada dalam dirimu? Kau benar tentang itu. Aku tidak mungkin menghukummu jika kebutuhanku sendiri ada pada gadis cantik sepertimu. Aku marah, sebenarnya, tapi melihat keadaanmu …aku tidak ingin membuatnya lebih buruk,” Justin melangkah lebih dekat. Tapi dengan gerakan cepat, Justin menarik lengan Sherene sehingga Sherene tertarik ke arahnya. Tangannya yang lain dengan sigap menahan kepala Sherene agar bibir mereka bertemu. Justin mengecup-kecup bibir Sherene berkali-kali. Tidak, Sherene tidak merasakan getaran yang sama seperti tadi malam.
            “Yang Mulia, Raja! Aku tidak dapat melakukannya! Kau dapat merusakku dalam waktu yang singkat!” Sherene memberontak. Ia mendorong tubuh Justin menjauh darinya, kepalanya tiba-tiba saja pening ketika seluruh tenaganya ia keluarkan hanya untuk mendorong tubuh Justin, untungnya ia jatuh ke atas tempat tidurnya. Salah satu siku-sikunya bertumpu di atas tempat tidur. “Tidak sekarang,”
            “Mengapa?” Justin memejamkan matanya. Ia menghitung sampai 10.
            “Kau membuat keadaanku semakin memburuk, Yang Mulia. Tidak sekarang, aku mabuk. Aku sedang mabuk, milikku sedang sakit karena kau telah bersenggama denganku sebanyak 4 kali! Kau pikir aku boneka yang dapat dimainkan kapan saja? Demi para dewa, Yang Mulia, kau memperburuk segalanya,”
            Hitungan kesepuluh, mata Justin kembali terbuka. “Baiklah.” Justin mengalah.
            “Oh terima kasih, dewa! Apa kau keberatan untuk meninggalkanku sekarang?” Sherene tidak seperti berbicara dengan seorang Raja. Ia tidak menunjukkan kesopanannya, mungkin ini akibat ia meminum anggur lebih dari yang ia bisa. Ia mengalami mabuk ringan sehingga ia menjadi gadis polos yang penuh dengan kejujuran –namun kelewatan. Lagi pula raja tidak keberatan, justru raja menyukainya.
            “Ada dua pertanyaan yang harus kaujawab, Sherene,”
            “Apa pun itu, Yang Mulia,” Sherene baru saja duduk dengan tegak di atas tempat tidurnya.
            “Mengapa kau tidak menyukai Cassandine? Apa kau mencintaiku?” Justin bertanya.
            “Itu sudah termasuk dua pertanyaan, Yang Mulia,” Sherene memperingati Justin. “Untuk pertanyaan pertama, itu karena kau mencintainya! Aku cemburu! Nah, untuk jawaban yang kedua, aku memang mencintaimu. Semua orang mencintaimu, Yang Mulia!” seru Sherene terkekeh. Keadaannya semakin buruk namun cukup membantu Justin untuk mengorek kebenaran.
            “Jadi kau mencintaiku, Sherene Madrigal gadis yang kukecup 10 tahun yang lalu?”

            “Siapa yang tidak?” Sherene bertanya. “Tunggu…” kesadarannya kembali menyelinap masuk. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar