***
Sherene
terpaksa harus membersihkan tubuhnya kembali karena Raja Justin telah
bersenggama dengannya dalam waktu yang singkat. Tidak ada yang spesial di
kejadian itu selain saat ia mendapatkan pelepasannya dengan posisi berdiri.
Raja Justin tampak kaku setelah ia memakai pakaiannya kembali dan keluar dari
harem Sherene. Mereka tidak mengucapkan sepatah kata perpisahan untuk menutupi
malam mereka yang nikmat. Raja Justin kembali membersihkan miliknya dengan
pakaian Sherene yang berwarna merah itu. Tidak ada ketakutan dalam diri Justin
fakta bahwa sebentar lagi ia percaya, ia akan mendapatkan seorang anak dari
Sherene. Sudah dua kali ia berhubungan badan dengan Sherene dalam kurung waktu
satu hari. Bagaimana mungkin Justin tidak berpikir ke depan? Ia tentu sepenuhnya
sadar, Sherene akan segera hamil dalam waktu dekat. Jika memang itu terjadi,
apa yang akan menyusahkannya? Dia mungkin akan merasa beruntung karena akan
mendapatkan Sherene. Atau mungkin juga, Justin akan menikahi Sherene dalam
waktu dekat jika ia tidak bisa mengontrol nafsunya yang terus menggebu-gebu
ketika pikirannya kembali terjatuh pada tubuh Sherene yang luar biasa molek.
Malam
itu pesta masih berjalan dengan baik bersama dengan music yang tidak berhenti
bermain. Sherene mengepang rambutnya sebelum ia tidur sambil berhadapan dengan
cermin di hadapannya dengan pipi yang merona. Merah di pipinya dari tadi tak
kunjung menghilang dari pipinya ketika tiap kali Sherene mengingat mata Raja
Justin yang menatap Sherene begitu lekat serta kedua alisnya yang menyatu
ketika ia akan mendapatkan pelepasannya lalu berteriak, menyebut nama Sherene.
Ia mendesah, memikirkan apa yang tidak akan mungkin terjadi di dalam
kehidupannya. Ia hanyalah seorang harem yang berguna untuk memuaskan nafsu sang
Raja jika Raja membutuhkannya atau hanya sekedar menemani sang Raja untuk
sesuatu yang tak penting seperti mengipasi sang Raja. Kenyataan ini membawanya
ke dalam pengharapan yang tak akan terjadi. Mimpi ini tidak akan pernah
berjalan menuju kenyataan setelah ia melihat kondisinya. Semuanya tampak jelas,
Raja hanya menginginkan seorang wanita bernama Cassandine dari Roma.
Kemungkinan terbesarnya Raja akan mendatangi wanita itu di Roma lalu
menikahinya dan menjadikan Cassandine sebagai Ratu Persia.
Sherene
merasa begitu bodoh. Selama delapan tahun ini ia tidak merenungkannya, ia hanya
menunggu sang Raja untuk kembali dan kembali mengecupnya –dan memang Raja
mengecupnya, lebih dari sebuah kecupan malah. Ketakutan Sherene bertanya apakah
Raja Justin mengingatnya atau tidak adalah karena ia takut ..ia takut jika Raja
akan menjauhinya. Bisa saja Raja Justin menjauhinya, jika Raja sadar bahwa dulu
ia mengecup gadis yang aneh dengan rambut emas yang beda dari yang lain akan
membuatnya jijik. Pikiran Sherene memang
tidak masuk akal, ia terlalu polos untuk berpikir ke depan. Di satu sisi, jika
memang sang Raja mengetahuinya, mungkin Raja akan menikahinya sebagai Ratu
meski pemikiran itu tidak akan pernah terjadi. Itu tidak akan pernah terjadi
dan bodoh. Bukan, bukan itu yang dimaksudkan Sherene selama ini. Ia hanya ingin
Raja tahu, setelah kecupan yang ia berikan beberapa tahun yang lalu, ia
menumbuh perasaan cinta yang tak sirna sampai kedatangannya ke Persia. Dirinya
mendesak untuk memberitahu sang Raja agar ia
..di dunia ini tidak akan merasa ada sesuatu yang tersembunyi di dirinya
atau sang Raja sendiri. Hanya sepatah atau dua kata akan membuat Sherene tidak
akan merasa berhenti di tempat itu saja. Ia akan berjalan, jika Raja telah tahu
perasaannya selama ini. Walau Sherene sadar betul, Raja akan menganggapnya sama
seperti harem lain yang tentu mencintai Raja sama sepertinya. Sherene
menggeleng-gelengkan kepalanya berusaha untuk menghilangkan pikirannya yang
semakin lama semakin ia tak mengerti. Ia bangkit dari tempat duduknya menuju
tempat tidurnya.
Ia
membaringkan tubuh mungilnya ke atas tempat tidur dengan perasaan gundah.
Menatap langit-langit kamarnya yang tidak sama sekali menarik. Obor yang
menerangi kamarnya membuat Sherene terbawa suasana untuk memejamkan matanya,
terlebih lagi, obor itu membuatnya merasa semakin hangat. Perlahan-lahan matanya terpejam ..ia masuk ke
dalam kegelapan yang takkan ia pikirkan.
***
Saat
Sherene membuka matanya, ia tidak mendapati dirinya di atas tempat tidurnya
yang tidak empuk itu. Melainkan di sebuah tempat tidur besar dengan tirai yang
menggantung di atap tempat tidur milik sang ..Raja. Oh, mengapa tiba-tiba ia
bisa berada di tempat tidur Raja? Kepalanya menghadap ke sisi yang lain. Yang
Mulia, Raja, sedang tertidur nyenyak saat ayam belum berkokok. Memang, matahari
belum muncul, sekarang masih subuh. Bagaimana bisa tiba-tiba ia berada di
sebelah sang Raja dengan tubuh yang ..telanjang. Oh, ya ampun. Sherene menarik
selimut yang menutupi tubuhnya dengan Raja, pipinya tiba-tiba bersemu merah. Ia
tahu, ia telah tidur dengan sang Raja dua kali, tapi tetap saja ia merasa malu.
Ia memerhatikan wajah Justin dengan seksama, bulu mata yang lentik serta kulit putih
bersih dengan wajah yang sangat tampan. Bibirnya yang pernah mengecup seluruh
tubuhnya, bahkan di sana. Matanya
yang selalu mengagumi kemolekan tubuh Sherene tertutup. Wajah Justin menghadap
kepada Sherene, jarak wajah mereka tidak begitu jauh. Mungkin hanya pakaian
dalam saja yang Sherene kenakan sekarang, namun ia masih dapat merasakan
kesejukan di kamar Justin.
Ketika
pikiran itu melesat, entah mengapa tiba-tiba saja Justin menggerakan tubuhnya
lebih dekat dengan Sherene. Tangan kirinya mulai melingkar di sekitar pinggang
Sherene yang telanjang. Didengarnya suara Justin yang mendengus bersamaan
ketika Sherene mendesah merasakan aliran listrik yang menyengatnya ketika
tangan Justin menyentuh tubuhnya.
“Oh,
demi para dewa, Yang Mulia! Kau sangat mengejutkanku!” Teriak Sherene –yang
tidak terdengar berteriak—menjauhkan wajahnya dari wajah sang Raja ketika
tiba-tiba saja kedua mata Justin terbuka. Mata Justin yang semula melotot itu
melayu begitu saja, oh ternyata gadisnya
masih berada di sebelahnya. Ia ingat malam itu, ia mendobrak pintu kamar
Sherene hanya untuk masuk ke dalam tanpa membangunkan Sherene. Justin baru
sadar, jika Sherene sudah terlelap, ia tidur benar-benar nyenyak. Wajahnya
sangat cantik serta penuh kedamaian ketika ia memejamkan matanya. Senyum Justin
muncul, tapi tidak menyentuh matanya. Senyum kecil yang sangat berarti bagi
Sherene. Oh, kejadian ini. Ia ingat 8 tahun lalu ketika sang Raja masih
terlelap dan mengejutkan Sherene ketika ia berusaha membangunkan sang Raja.
“Sherene,”
Justin menggumamkan namanya. “Kau sangat cantik,” lanjut Justin mengangkat
kepalanya dengan tangan kirinya yang telah naik ke atas untuk menarik leher
Sherene agar wajah mereka bertemu. Bibir mereka bertemu selama beberapa detik,
lalu terpisah.
“Sherene
Madrigal, apa yang telah kaulakukan padaku?” Justin menggeram. Wajah polos
gadis ini membangkitkan gairahnya di pagi yang masih gelap. Ia tahu Sherene
terlihat sangat lelah setelah tadi malam ia bermain kilat bersama dengan
Sherene. Tapi sungguh, demi para dewa, Justin sangat membutuhkan Sherene
membalutnya dengan kenikmatan.
“Yang
Mulia,” gumam Sherene. “Aku bahkan tidak mengerti mengapa kau sangat
menginginkanku,” ujar Sherene yang membuat mata Justin terbuka seutuhnya.
Sherene Madrigal, seorang harem, telah berkata seperti itu kepada sang Raja?
Sang Raja menginginkan Sherene Madrigal? Jika Eshter tahu ini, ia tidak akan
pernah percaya dan akan menghina Sherene adalah gadis yang sinting. Jika
begitu, Justin akan memenggal kepala Eshter. Apa yang Sherene katakan memanglah
benar. Ia sangat menginginkan Sherene dalam jangka waktu singkat. Mereka bahkan
baru bertemu selama dua hari –termasuk hari ini. Permainan mereka akan memasuki
permainan ketiga.
“Kau
sangat manis, Sherene,” puji Justin mengangkat tubuhnya, tidak sampai tiga
detik, Justin telah berada di atas tubuh Sherene. Selimut putih masih menutupi
tubuh mereka sampai sepinggang Justin. Kedua tangan Justin berada di antara
kepala Sherene, ia melihat wajah polos tanpa dosa itu dari atas sana. Memerhatikan
betapa cantiknya harem yang satu ini. Mata hijau yang terang itu menatap Justin
tanpa senyum, bulu matanya yang lentik terkibas ketika Sherene mengedipkan
matanya. Lalu bibir itu. Bibir mungil yang terkatup itu rasanya harus Justin
terkam setiap saat. Seperti sekarang ini.
“Yang
Mulia, apakah kau tidak lelah melakukan ini? Aku harus jujur, Yang Mulia, aku
sangat malu berada di bawah tubuhmu dalam keadaan telanjang seperti ini. Aku
seperti domba yang hendak disembelih,” ujar Sherene dengan kelancangannya. Tapi
kelancangan itulah yang membuat Justin semakin bergairah. Justin tidak marah,
tentu saja, ia menyukai cara berbicara Sherene yang penuh dengan kejujuran.
Nah, pipi merah jambu itu kembali terlihat ketika Justin memberikan senyum
misterius tersendiri.
“Itu
yang membuatmu lebih menarik, Sherene. Kelancanganmu semakin membuatku
menginginkanmu. Mengapa kau melakukan itu? Apa kau tidak takut aku akan
memenggal kepalamu hanya karena kelancanganmu?” Justin bertanya, menggoda. Oh,
menggoda, Justin sudah lama tidak menggoda gadis seperti ini selain pada
Cassandine. Sherene terdiam sejenak, ia menelan ludahnya, ada perasaan takut
yang tiba-tiba menyerangnya namun ia tepis segera mungkin.
“Tidak,
Yang Mulia,” gumamnya.
“Mengapa?”
“Kau
yang menginginkanku, Yang Mulia. Tidak ada alasan mengapa kau harus memenggalku
ketika kebutuhanmu ada dalam diriku,” jelas Sherene memberikan jawaban yang
cukup masuk akal. Mengapa sepertinya gadis ini tahu apa yang Justin butuhkan?
Ya, Justin membutuhkan Sherene, seperti setiap saat. Seperti ia tidak
menginginkan jangka waktu hanya karena jabatannya sebagai seorang Raja Persia.
Tapi ya, ia memiliki jangka waktu untuk menahan segala nafsunya ketika wajah
Sherene terlintas di otaknya.
“Dan
jika aku tidak menginginkanmu lagi?”
“Maka
kau bukanlah Raja teradil yang pernah kutemui,”
Justin
tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Diamlah dan berikan kebutuhanku
yang dapat kaupenuhi,” mulut Justin segera menutup mulut Sherene. Tangan kanan
Justin mengangkat kepala Sherene ke atas lalu ia meremas rambut itu dengan
lembut, desah dari mulut Sherene berhasil membuka mulut Sherene yang dengan
lembut Justin melesakan lidahnya masuk ke dalam sana. Erangan tertahan Sherene
kembali terdengar ketika tangan kiri Justin mulai menurunkan pakaian dalamnya.
Ketika ia merasakan kulit dada Justin yang menekan dada telanjangnya, Sherene
tahu, Justin tidak mengenakan apa pun selain celananya. Bibir mereka terpisah.
“Kau
tahu sebesar apa aku menginginkanmu sekarang?”
“Oh,
Yang Mulia, demi para dewa, aku tidak tahu!” Seru Sherene mengangkat
punggungnya ke atas ketika mulut Justin mulai mengecup putingnya yang berwarna
merah jambu itu dengan ukuran yang kecil! “Yang Mulia, berhenti…” desah Sherene
yang tangannya yang mungil itu mulai meremas rambut Justin dengan kasar. Ia
menarik rambutnya yang cukup panjang itu agar lebih dalam lagi menangkap buah
dadanya yang berukuran pas untuk tubuhnya. Ketika mulutnya berkata tidak, ia
sebenarnya benar-benar menginginkannya. Sangat menginginkannya.
“Ngh,
kau sangat …” Justin tidak dapat berkata-kata ketika jari tengahnya mulai
menyelip di antara belahan bagian bawah Sherene yang basah. Oh, ia sangat
menginginkan Sherene sekarang juga. Ia ingin berada dalam tubuh Sherene! Jari
tengah itu menggesek-gesek dinding bagian luar Sherene yang semakin lama
semakin licin. Sherene benar-benar sensitif. Justin mengangkat kepalanya dari
buah dada Sherene yang kencang, ia ingin menatap wajah Sherene yang sedang
menikmati sentuhan-sentuhannya. Mata Sherene terpejam dengan punggung yang
terangkat, tangannya sudah tidak meremas rambut Justin.
“Buka
kakimu lebih lebar, sayang,” suruh Justin dengan lembut. Sherene hanya
melakukan apa yang Justin katakan. Ia melebarkan kakinya yang membuat telapak
tangan Justin sekarang menangkup seluruh bagian bawah Sherene. Jari tengah
Justin ia lesakan ke dalam bagian bawah Sherene. Dinding bagian dalam Sherene
tergesek-gesek yang membuat pinggul Sherene ikut bergerak.
“Ssh…
Diam, Sherene. Jangan bergerak, buka matamu,” kembali Justin memerintah.
Sherene menghentikan gerakan pinggulnya. Matanya terbuka, memperlihatkan mata
hijaunya yang cerah itu penuh dengan gairah pada Justin. Pipinya memerah,
Sherene benar-benar menikmati permainan yang sebenarnya, ia tidak ingin
melakukannya karena ia cukup lelah. Namun ia sangat menginginkan untuk
mendapatkan pelepasan.
“Ngh,
Yang Mulia, kumohon!” seru Sherene menautkan kedua alisnya. Justin tidak
tersenyum atau apa pun, selain hanya mendengus. Tangannya bergerak-gerak maju
mundur di bawah sana. Sherene merasakan satu jari kembali melesak sehingga dua
jari telah berada dalam tubuhnya. Sherene sangat ingin memejamkan matanya, tapi
ia tidak bisa, ia harus tetap membuka matanya untuk sang Raja. “Yang Mulia…”
“Ada
apa Sherene? Apa yang kauinginkan?” Ibu jari Justin mulai ikut bermain di
bagian paling sensitif Sherene, matanya menatap Sherene lebih intens, ibu
jarinya berputar-putar bersama dengan dua jari yang lain keluar masuk dalam
tubuh Sherene.
“Pelepasan!
Aku ingin pelepasanku!”
“Kupikir
ini semua tentang kebutuhanku,”
“Oh,
Yang Mulia, kumohon jangan siksa diriku…ah, demi para dewa, Yang Mulia!” desah
Sherene dengan tubuh yang melengkung ke bawah, pinggulnya menekan tempat tidur
lebih dalam lagi. Tangannya ingin meraih pundak Justin, namun ia tidak dapat
meraihnya. Tangan Justin sekarang benar-benar basah di bawah dengan gerakan
yang semakin cepat. Bunyi dari tangan dan bagian bawah Sherene terdengar sangat
merangsang.
“Aku
senang melihatmu tersiksa, Sherene,” ujar Justin. “Tapi aku tidak tega
melihatmu tersiksa dalam jangka waktu yang lama karena aku ingin kebutuhan
terpenuhi,” lanjut Justin mendengus. Kedua tangan Sherene terangkat, ia ingin
menyentuh Justin. Tapi ia tidak dapat meraih.
“Oh
…Yang Mulia …Ngh—“ ketika Sherene akan mengerang, Justin membungkukkan tubuhnya
ke bawah dengan bibirnya yang meredamkan erangan Sherene dalam mulutnya.
Erangannya kembali teredam ketika ia mendapatkan pelepasannya yang membuat
pinggul Sherene bergerak-gerak merasakan kenikmatannya. Kedua tangannya yang menegang
segera memeluk Justin, begitu juga dengan jarinya yang kaku. Desahan-desahan
yang keluar dari mulut Sherene tidak terdengar karena Justin terus menutup
mulutnya dengan mulut juga. Mulutnya kembali terbuka ketika Justin mengangkat
kepalanya, menjauh darinya.
“Yang
Mulia,” desah Sherene. “Aku sangat lelah,” lanjut Sherene. Tubuhnya melemas, ia
tidak tahu, apakah ia dapat melanjutkan permainan ini lagi? Jika ya, mungkin ia
akan pingsan. Justin baru saja memasukan kedua jarinya ke dalam mulutnya, menjilat
cairan Sherene yang baginya, enak. Ereksinya begitu keras, ia ingin sekali
memasuki tubuh Sherene sekarang juga, tapi kedua alis yang bertautan dengan
ekspresi lelah itu membuat Justin tak tega untuk bersetubuh dengannya. Mungkin
pagi nanti, ketika ia akan pergi bekerja.
“Tidurlah.”
Bisik Justin.
***
Sherene
baru saja kembali dari dapur untuk membawakan sang Raja sarapannya. Ternyata
tadi malam sang Raja telah menyiapkan pakaian untuknya. Gaun merah dengan motif
berwarna hitam yang menghiasi gaunnya membuat Sherene terlihat sangat cantik. Namun
dalam gaun itu, para prajurit melihatnya sepertinya Sherene terbebani oleh
pakaian yang besar itu. Sebenarnya, memang, gaun ini bagi Sherene sangat berat.
Ia hanya menyukainya, makanya ia memakai pakaian merah ini. Kebetulan warna
merah di Persia adalah kain dengan warna yang harganya sangat mahal.
“Abdullah,
bisakah kau membukakan pintu ini untukku?” Sherene telah berada di depan pintu
kamar sang Raja. Prajurit yang kemarin bertemu dengan Sherene itu terkejut,
mengapa Sherene bisa mengetahui namanya? Tentu saja dari Patricia. Patricia
memberikan senyum lebar ketika ia tahu Sherene tidur di kamar Raja tadi malam.
Rambut Sherene kali ini di sanggul sehingga lehernya yang jenjang itu terlihat
sangat putih. Segera saja Abdullah
membuka pintu kamar Raja yang kali ini, Sherene merasa lebih percaya diri
dibanding kemarin. Ia masuk ke dalam meski ada rasa takut jika dirinya
tiba-tiba saja tersandung lalu terjatuh. Pintu besar itu terbanting ketika
Sherene telah berada di dalam tanpa menjepit gaun Sherene di bagian belakang.
Ia melihat Raja telah siap dengan jubah yang ia pakai.
“Sarapan
datang, Yang Mulia,”
“Kita
berdua itu tahu, Sherene,” suara yang Raja keluarkan terdengar santai namun
matanya tidak melihat pada Sherene. Sherene menyukainya. Raja sedang membuka
sebuah buku, membacanya sebentar, kemudian kepalanya terangkat. “Tapi aku tidak
membutuhkan itu,”
“Oh?”
Sherene terkejut. Ia baru saja menaruh nampan sarapan itu ke atas meja Justin
yang lain. Justin memerhatikan Sherene yang berdiri di hadapannya dalam jarak
yang tidak begitu jauh. Pakaian itu. Pakaian yang seharusnya, Cassandine pakai,
ia membawa pakaian itu dari Roma. Tapi Sherene cocok memakai gaun itu. Ia
seperti mendengar suara percikan api gairah yang menyulutnya, gairahnya
terbakar sudah. Gadis polos dengan pipi yang bersemu merah –untuk yang kesekian
kalinya—membuatnya kembali bergairah. Tapi ia tidak memiliki waktu yang banyak.
Sedari tadi ereksinya telah mengeras karena pikirannya selalu tertuju pada
Sherene. Ia membuka celananya, saat itu juga pipi Sherene memerah. Lagi.
“Aku
membutuhkanmu. Kau berhutang tadi malam padaku,” Justin berjalan mendekati
Sherene. Ia menarik pinggang Sherene yang kecil itu, kemudian mulutnya menutup
mulut Sherene. “Kita akan memainkan ini secepat kilat, sayang,” bisiknya.
Seperti tanpa ampun, Justin mengecup-kecup leher Sherene tiba-tiba. Kedua
tangan Justin mengangkat gaun Sherene ke atas, memang sangat berat, tapi ia
harus memenuhi kebutuhannya yang belum terpenuhi. “Aku menyukai sanggulanmu.
Itu membuatku semakin mudah mencium lehermu,” bisik Justin menggigit kecil
leher Sherene.
“Tapi
kita tidak memiliki waktu,” bisik Justin melesakan ereksinya ke dalam tubuh
Sherene. Sontak Sherene mendesah. Kedua tangannya memeluk pundak Justin. Justin
melakukannya berdiri. Ia terus mengeluarkan masukan ereksinya ke dalam tubuh
Sherene. Basah. Bunyi dari kedua tubuh mereka membuat Sherene menautkan kedua
alisnya, kenikmatan ini sangat cepat dan tidak terduga.
“Datanglah
untukku, Sherene!”
Sherene
mengambil seluruh nafasnya ketika tiba-tiba pelepasannya menyerangnya. Sangat
cepat. “Demi apa pun, Yang Mulia …Ah! Ah!”
“Sialan!”
Justin mendapatkan pelepasannya.
Kurang
dari 5 menit. Menakjubkan. Kilat. Benar-benar kilat.
***
“Apa
yang kaulakukan?” Suara berat dari panglima Khazaz membuat Sherene tersentak.
Benaknya yang tengah memikirkan Raja Justin yang telah pergi itu buyar begitu
saja ketika suara itu menyeruak ke telinganya memberi panggilan ke kepalanya.
Ia menoleh ke sebelah kanan untuk melihat panglima. Oh. Panglima Khazaz baru
saja turun dari kuda yang tadi ia tunggangi, ia memegang tali pengekang kudanya
untuk menahan kudanya agar tidak pergi darinya.
“Aku
hanya menatapi pintu gerbang,” ia menjawab seadanya. Kemudian kepalanya kembali
menoleh pada pintu gerbang yang ada di hadapannya. Jika pintu gerbang itu
terbuka dengan Sherene berada di belakang gerbang itu, mungkin Sherene akan
mati terlindas atau tertampar pintu gerbang itu. “Apa kau akan keluar dari
istana ini?”
“Ya,”
gumam panglima. Ia menautkan kedua alisnya, heran mengapa Sherene menatapi
pintu gerbang dan mempertanyakan hal yang bisa dikatakan bodoh. “Tentu saja aku
keluar dari istana ini, tiap hari. Hanya untuk melihat keadaan masyarakat. Tapi
hari ini aku dan prajurit lainnya akan mengambil gadis-gadis kecil,”
“Apa
aku boleh ikut?” Sherene tidak dapat menahan keinginan terbesarnya. Ia ingin
keluar dari istana ini hanya untuk beberapa saat. Bahkan sepanjang hidupnya, ia
tidak pernah berada di depan pintu gerbang besar sedekat ini. Untuk beberapa
saat panglima Khazaz berpikir sebentar. Tidak ada Raja, mungkin ini adalah
kesempatan terbesarnya untuk mendekati Sherene. Lagi pula, Raja pernah
bercerita padanya bahwa sepulangnya dari luar hari ini, ia akan kembali dengan
seorang gadis yang ia suruh untuk datang ke Persia. Perjalanan yang cukup jauh
namun tidak akan memakan waktu satu hari. Baiklah, Raja akan pulang tengah
malam nanti. Kepala Sherene menoleh padanya dengan wajah penuh harap ingin
keluar dari istana. Bibir Khazaz terlipat ke dalam, ragu-ragu akan keputusan
yang ia ambil. Ya, Sherene bisa keluar siang ini. Raja tidak mungkin
menghukumnya.
“Tentu,
naiklah ke atas kuda,”
Kedua
alis Sherene terangkat. “Benarkah?” Ia tidak dapat menahan teriakannya yang
penuh dengan kebahagiaan. “Aku takut jika Patricia akan marah,”
“Tidak,
aku akan bertanggungjawab jika sesuatu terjadi padamu meski aku yakin tidak
mungkin ada hal yang buruk menimpa dirimu selama kau berada di sisiku,”
panglima Khazaz berkata penuh dengan keyakinan. Sejenak Sherene merenungkan
kehidupannya dan lelaki yang berada di hadapannya. Jika ia tidak bisa
mendapatkan sang Raja, apa Khazaz yang akan menjadi sasarannya yang berikutnya?
Tidak mungkin! Tidak keduanya, lebih tepatnya. Alis tebal berwarna hitam,
hidung yang sangat mancung, dagu yang sedikit terbelah dua yang ditumbuhi
bulu-bulu halus, dan bibir itu …bibir yang selalu melengkung ke atas ketika
bertemu dengannya. Panglima Khazaz tentu adalah lelaki yang sangat tampan.
Teman-temannya di harem menyukainya, termasuk Chista. “Kau masih bersamaku,
Sherene?”
“Ya,
tentu saja, Khazaz,” gumam Sherene mendongakkan kepalanya ke atas –Khazaz
sangatlah tinggi. Sherene mulai menaiki kudanya dengan kaki kiri yang menginjak
tumpuan kaki di samping tubuh kuda. “Bisakah kau membantuku …Oh, terima kasih,”
Sherene duduk menyamping dengan gaunnya yang mekar. Oh, pakaian yang tidak
cocok untuk menaiki kuda, gaunnya begitu meriah, menurutnya. Tidak masalah bagi
Khazaz yang sudah duduk di belakangnya. Khazaz memegang tali kuda untuk
menyetirnya sehingga lengan Khazaz sekarang memeluk tubuh Sherene.
“Apa
kau baik-baik saja di atas sini?” Khazaz bertanya di atas kepalanya. Telinga
Sherene yang menempel di dada Khazaz mendengar suara Khazaz yang mendengung serta
bergetar. Oh, sangat menakjubkan –kebetulan sekali Khazaz tidak memakai pakaian
besi. Kuda yang mereka tunggangi mundur beberapa langkah dari depan pintu
gerbang agar pintu gerbang dapat terbuka. Dari belakang sana, Sherene dapat
mendengar suara kaki kuda yang berlari ke arah mereka bersama dengan keretanya.
Oh, prajurit lainnya.
“Tidak
pernah merasa lebih baik seperti sekarang,” gumam Sherene sangat senang, namun
sebisa mungkin ia menyembunyikan suara kegirangannya ketika pintu gerbang
terbuka. Mulut Sherene terbuka berbentuk huruf O sempurna dengan kedua alis
yang terangkat, desahannya terdengar. Bukan karena ia takjub dengan apa yang
tengah ia lihat, ia ..tidak terima. Orang yang sama sepertinya, yang hidup
sepertinya, diperlakukan seperti ini? Menjadi budak? Bahkan anak kecil yang
seharusnya menikmati masa kecilnya dengan bermain-main sekarang harus
mengangkat bebatuan yang akan diangkut untuk membuat sebuah ruang di luar
istana. Ruangan yang akan menyambung dengan istana. Jika ia dapat menjadi seorang
Ratu, ia sudah pasti tidak akan memperlakukan mereka seperti ini. Tanpa
bayaran? Tentu saja, mereka hanya budak-budak. Mereka tampak kotor, meski tidak
ada perempuan yang menjadi budak, tapi tetap saja itu menggerakan hati Sherene
untuk melakukan kebaikan. Perasaan girangnya memudar sedikit demi sedikit
seiring kuda berjalan melewati orang-orang yang mengangkat batu-batu itu.
Kulit
mereka hitam akibat panas matahari. Debu menempel di sekujur tubuhnya, kotor.
Sangat kotor. Tapi bukankah memang seperti itu penampilan seorang budak? Sampai
ketika mata Sherene melihat pada seorang anak kecil berkulit hitam mendongakkan
kepalanya melihat Sherene dengan jari telunjuk yang kotor masuk ke dalam
mulutnya. Anak itu harus dimandikan. Jika Sherene memiliki keberanian yang
cukup, Sherene akan meminta turun dari kuda untuk membawa anak kecil itu masuk
kembali ke dalam istana dan memandikannya. Tapi tidak. Sherene sudah tahu
jawaban yang akan ia terima. Bukankah budak-budak ini berada di depan istana
karena orang-orang dari dalam istana? Untuk apa Khazaz sibuk-sibuk menuruti
permintaan Sherene jika ia adalah penyebab anak kecil itu menatap Sherene
dengan tubuh yang kotor? Sekarang Sherene merasa lebih terberkati.
Segalanya
hilang begitu saja ketika ia masuk ke daerah perkotaan.
Dari
sudut bibir Sherene, setitik air masuk ke dalam. Oh, ternyata Sherene menangis.
“Apa
mereka diberi makan?” Sherene bertanya sambil mengelap air matanya dengan satu
jari telunjuk. “Para budak itu,”
“Mengapa
kau begitu tertarik dengan mereka? Mereka hanyalah budak, tidak ada yang
istimewa,” Khazaz membalasnya dengan nada suara yang bosan. Ternyata dibalik
ketampanan Khazaz, ia sama seperti lelaki lainnya yang tidak peduli dengan
orang-orang kecil seperti budak-budak tadi.
“Tapi
mereka sama seperti kita,”
“Tidak
sama sekali,” Khazaz membalasnya ketus. “Tidak ada pekerjaan yang cocok
dibanding menjadi budak untuk mereka,”
“Kau
hanya belum memberi mereka kesempatan pekerjaan pada hal-hal yang mereka
kuasai,”
“Tidak
perlu,” Khazaz menghela nafasnya. Ini bukan hal yang ia harapkan. Seharusnya ia
tidak membicarakan hal-hal seperti ini dengan Sherene. Untuk apa? Usaha
pendekatannya gagal sia-sia hanya karena budak-budak sialan yang berada di
depan pintu gerbang. Kuda yang mereka tunggangi membawa mereka ke sebuah
pedesaan dimana-mana memang banyak gadis-gadis yang cantik di dalamnya. Ia
menarik tali kudanya agar berhenti di tempatnya sebelum kudanya melangkah lebih
jauh.
“Perjalanan
yang menyenangkan?” Khazaz bertanya, ia menyandarkan dagunya ke atas bahu
Sherene. Kereta kuda yang mengikuti mereka dari belakang melewati kuda Khazaz
untuk masuk lebih jauh ke dalam. Sesaat Sherene teringat dengan apa yang
terjadi dengannya 10 tahun yang lalu. Dimana ia diambil oleh sang panglima yang
melihatnya dengan wajah yang heran. Sekarang, ialah yang sedang disandari oleh
sang panglima.
“Tidakkah
seharusnya kita masuk lebih dalam lagi?”
“Tentu,”
Khazaz menggerakan talinya. Kuda mereka berjalan perlahan-lahan menelusuri
pedesaan. “Apa keinginan terbesarmu?” Bibir Khazaz menyentuh leher Sherene.
Sherene dengan hati-hati menarik lehernya dari wajah Khazaz, ia mendongak.
“Melihat
anak-anak di Persia bahagia. Tidak seperti anak kecil yang baru saja kulihat,” dan menikahi sang raja. Sherene menatap
mata Khazaz dalam-dalam. Ia mempertajam tatapannya, memperingatkan pada Khazaz
bahwa ia sedang serius.
“Tidak
ada yang lain?” Menikahi sang raja.
Ia menjawab dalam hati.
“Tidak,”
Sherene berbohong. Oh, pertama kalinya ia berbohong. “Apa raja akan pulang
malam ini?” Sherene mengubah topik pembicaraan.
“Kurasa,”
Khazaz menghentikan kudanya. Lalu ia turun. “Dengan seorang perempuan.”
***
“Aku
tidak ingin bertemu dengannya,” Sherene menjawab lalu menutup mulutnya
rapat-rapat. Ia menyisir rambutnya di depan cermin dengan sisirnya yang baru. Patricia
yang berdiri di mulut pintu kamarnya menatap Sherene dengan alis yang bertaut,
prihatin dengan keadaan anak kesayangannya. Oh, dasar wanita dursila! Rasanya
Sherene ingin memukul cermin yang ada di hadapannya untuk menghilangkan rasa
kesalnya. Benar saja! Seorang gadis dibawa oleh raja Justin dengan wajah yang
tentu saja lebih cantik dan lebih menarik dibanding Sherene! Sherene merasa
tersingkirkan, perasaan irinya tumbuh begitu saja ketika tangan Raja dan gadis
itu berpegangan. Sherene tidak menangis, ia sudah berjanji untuk tidak
menangisi lelaki seperti Justin, Raja Persia.
“Sherene,
itu tidak seburuk yang kaukira,” Patricia masih berusaha membujuk Sherene.
“Tidak
seburuk yang kukira? Berpegangan tangan tidak seburuk yang kukira? Aku telah
menunggunya selama bertahun-tahun dan ia membawa seorang gadis yang akan ia
nikahi yang tidak lain dan tidak bukan adalah bukan diriku?”
“Ia
tidak akan menjadi istri dari raja Justin, Sherene!” Kali ini suara Patricia
tegas.
“Cassandine!
Cassandine, wanita dursila yang menjijikan itu pasti sedang berada di atas
tempat tidur sang Raja dengan tubuh yang telanjang! Sama seperti sang Raja
memperlakukanku,” Sherene menyisir rambutnya semakin kasar, kepalanya cukup
pening.
“Aku
yakin kau tidak ingin merusak rambut cantikmu, Sherene,” Patricia memperingati
Sherene. “Dan jaga mulut manismu itu, nona muda. Cassandine datang bukan untuk
dinikahi oleh sang Raja,”
“Lalu
untuk apa?” Pertanyaan sederhana yang keluar dari mulut Sherene membuat
Patricia tertegun sejenak. Raja hanya merindukan Cassandine, ia ingin
Cassandine berada di sekitar istana, menyesuaikan diri di Persia. Lalu …akan
dilamar untuk yang kedua kalinya. Tapi tentu Patricia tidak akan menjelaskan
hingga Raja Justin akan melamar Cassandine.
“Kau
mabuk, Sherene. Raja Justin merindukan Cassandine, ia membutuhkan Cassandine
untuk beberapa saat. Lagi pula, Cassandine datang ke sini juga untuk melihat
keadaan Persia. Tidak ada yang salah dengan hubungan mereka,” Patricia telah
berada di belakang tubuh Sherene dan mengambil sisir yang berada di tangan
Sherene, menggantikan Sherene agar ia dapat menyisir rambut emas berkilau itu.
“Tidak apa-apa, Sherene. Raja Justin sangat membutuhkanmu, kau pasti tidak
ingin dihukum,”
“Aku
lebih memilih dihukum dibanding aku harus bertemu dengan raja,” ceracau Sherene
dengan wajah yang masam. Mata hijaunya gelap, kali ini. Ia benar-benar membenci
Cassandine sejak nama itu keluar dari mulut raja sejak pertama kali mereka
bertemu setelah 10 tahun mereka berpisah. Cassandine, nama yang dianggap
Sherene adalah nama dari seorang wanita dursila! Tapi keinginan Sherene tidak
dapat terpenuhi malam itu. Sang Raja telah berdiri di mulut pintu kamarnya
dengan wajah tanpa ekspresi.
“Patricia,
kau boleh keluar sekarang. Terima kasih telah membantuku membujuknya,” Patricia
terperanjat dari tempatnya ketika ia mendengar suara raja. Tidak ada raja
sesopan raja Justin. Sherene memejamkan matanya untuk beberapa saat. Ia
berharap dewa Hades mengambil nyawanya sekarang. Patricia –dengan sisir yang
masih berada di tangannya—berjalan keluar dari kamar Sherene, namun sebelum ia
keluar, ia memberikan hormat pada Justin lalu kembali berjalan. “Mengapa kau
tidak ingin bertemu denganku …Sherene?”
Sherene
bangkit dari tempat duduknya, ia memutarbalikan tubuhnya untuk berhadapan
dengan raja. Pintu kamarnya telah tertutup tepat ketika ia menghadap sang raja.
“Kudengar
kau keluar dari istana siang ini,” Justin mulai membuka jubahnya yang ia pakai.
Apa mereka akan bersenggama lagi? Tapi keadaan Sherene tak mendukung hal itu.
“Bersama dengan Khazaz, apa itu benar, Sherene?” Justin menekankan nama Sherene
di bagian akhir pertanyaan.
“Ya,
Yang Mulia,”
“Kau
tahu betapa marahnya aku sekarang?” Justin membuka kancing pakaiannya. Dadanya
yang bidang sekarang terlihat. Pemandangan sialan! “Aku bersyukur karena
membawa Cassandine malam ini. Aku tahu kau tidak menyukainya. Sama seperti aku
tidak menyukaimu ketika bersama dengan lelaki lain,”
“Bagaimana
kau tahu aku tidak menyukainya?” Sherene bertanya, tanpa kesopanan.
“Patricia
menceritakannya padaku,” Patricia sialan!
Sherene mengutuk Patricia. Bagaimana mungkin Ibu angkatnya sendiri menceritakan
kelemahannya pada lelaki yang ia sukai? Antara amarah dan malu, Sherene
mengangkat dagunya ke atas agar terlihat lebih berani. “Mengapa kau
memberikanku tatapan angkuh seperti itu?”
“Karena
aku tidak ingin berhubungan badan denganmu lagi! Lebih baik aku mendapatkan
hukuman mati dibanding aku harus bersentuhan denganmu!” seru Sherene kesal.
Sangat kesal. “Aku tahu kau telah berhubungan badan dengan Cassandine sebelum
aku, oh, semuanya tampak sempurna Yang Mulia. Kau memang hebat untuk membuatku
sakit hati, inilah mengapa aku tidak ingin berhadapan denganmu malam ini,”
Justin
menggeleng-gelengkan kepalanya dengan sedikit senyum muncul di sudut bibirnya.
“Aku …kepanasan. Panas karena ruanganmu yang kecil dan kau …buah dadamu tampak
menggiurkan dari jarak jauh. Hanya aku yang boleh melihatnya dan merasakannya,”
“Tapi
hanya aku yang memutuskan siapa yang boleh merasakannya! Dan itu bukan kau
lagi, Yang Mulia, Raja Justin,” Sherene rasanya mabuk. Apa yang ia minum malam
ini? Padahal ia hanya meminum beberapa gelas anggur dari dapur. Inikah efek
yang ia dapatkan? Padahal baru-baru tadi …ia menghina Cassandine sebagai wanita
dursila! Harem macam apa ia berani-beraninya menghina calon Ratu? Dan ia baru
saja meneriaki Raja dengan kata-kata yang tidak seharusnya harem katakan. Kesadaran
mulai menyelinap masuk ke dalam otaknya. Justin memberikan ekspresi biasa saja,
pemberontakan dari seorang gadis polos memang sangat menggoda dan panas.
“Jujur
saja, Sherene,” gumam Justin, “kau tampak sangat cantik dengan rambut yang
tergerai. Tanpa rangkaian bunga atau ikatan. Natural,” Justin melangkah lebih
dekat. Saat itu juga kaki Sherene bergerak ke belakang, kakinya tak sengaja
mennyenggol kursi yang tadi ia duduki namun tak terjatuh, untunglah. Tidak! Jangan berbicara atau kau akan
merusaknya lebih parah lagi, Sherene! Sherene berteriak dalam hati.
“Kau
sama seperti Cassandine. Cantik, pemberani, tapi kau lebih polos,”
“Aku
tidak sama dengan Cassandine! Demi para dewa, Raja, lebih baik kau menghukumku
sehingga kau memiliki kehidupan tenang tanpa diriku,”
“Bukankah
kau yang bilang bahwa kebutuhanku ada dalam dirimu? Kau benar tentang itu. Aku
tidak mungkin menghukummu jika kebutuhanku sendiri ada pada gadis cantik
sepertimu. Aku marah, sebenarnya, tapi melihat keadaanmu …aku tidak ingin
membuatnya lebih buruk,” Justin melangkah lebih dekat. Tapi dengan gerakan
cepat, Justin menarik lengan Sherene sehingga Sherene tertarik ke arahnya.
Tangannya yang lain dengan sigap menahan kepala Sherene agar bibir mereka
bertemu. Justin mengecup-kecup bibir Sherene berkali-kali. Tidak, Sherene tidak
merasakan getaran yang sama seperti tadi malam.
“Yang
Mulia, Raja! Aku tidak dapat melakukannya! Kau dapat merusakku dalam waktu yang
singkat!” Sherene memberontak. Ia mendorong tubuh Justin menjauh darinya,
kepalanya tiba-tiba saja pening ketika seluruh tenaganya ia keluarkan hanya
untuk mendorong tubuh Justin, untungnya ia jatuh ke atas tempat tidurnya. Salah
satu siku-sikunya bertumpu di atas tempat tidur. “Tidak sekarang,”
“Mengapa?”
Justin memejamkan matanya. Ia menghitung sampai 10.
“Kau
membuat keadaanku semakin memburuk, Yang Mulia. Tidak sekarang, aku mabuk. Aku
sedang mabuk, milikku sedang sakit karena kau telah bersenggama denganku
sebanyak 4 kali! Kau pikir aku boneka yang dapat dimainkan kapan saja? Demi
para dewa, Yang Mulia, kau memperburuk segalanya,”
Hitungan
kesepuluh, mata Justin kembali terbuka. “Baiklah.” Justin mengalah.
“Oh
terima kasih, dewa! Apa kau keberatan untuk meninggalkanku sekarang?” Sherene
tidak seperti berbicara dengan seorang Raja. Ia tidak menunjukkan kesopanannya,
mungkin ini akibat ia meminum anggur lebih dari yang ia bisa. Ia mengalami
mabuk ringan sehingga ia menjadi gadis polos yang penuh dengan kejujuran –namun
kelewatan. Lagi pula raja tidak keberatan, justru raja menyukainya.
“Ada
dua pertanyaan yang harus kaujawab, Sherene,”
“Apa
pun itu, Yang Mulia,” Sherene baru saja duduk dengan tegak di atas tempat
tidurnya.
“Mengapa
kau tidak menyukai Cassandine? Apa kau mencintaiku?” Justin bertanya.
“Itu
sudah termasuk dua pertanyaan, Yang Mulia,” Sherene memperingati Justin. “Untuk
pertanyaan pertama, itu karena kau mencintainya! Aku cemburu! Nah, untuk
jawaban yang kedua, aku memang mencintaimu. Semua orang mencintaimu, Yang
Mulia!” seru Sherene terkekeh. Keadaannya semakin buruk namun cukup membantu
Justin untuk mengorek kebenaran.
“Jadi
kau mencintaiku, Sherene Madrigal gadis yang kukecup 10 tahun yang lalu?”
“Siapa
yang tidak?” Sherene bertanya. “Tunggu…” kesadarannya kembali menyelinap masuk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar