Sabtu, 21 September 2013

Innocent Bab 6



***

            Tidak mungkin. Jika benar lelaki ini mengingat kejadian 10 tahun yang lalu, akankah ini bagian akhir dari kehidupannya? Inilah yang ia inginkan selama ini, dan apa selanjutnya? Apa yang raja juga rasakan terhadapnya apakah sama dengan perasaannya terhadap raja? Anggur-anggur sialan! Jika ia tidak meminum anggur itu sudah pasti ia dapat tidur nyenyak sekarang. Lelaki tampan itu masih ada di hadapannya yang sama bisunya dengan Sherene. Setelah Sherene berkata “tunggu” saat itu juga raja terdiam ditempatnya menunggu Sherene mengucapkan sepatah kata selanjutnya. Raja bahkan belum memakai jubahnya kembali.
            “Bagaimana bisa kau mengingatnya?” Akhirnya suara lembut itu keluar dari mulut Sherene. Sherene si Gadis Sopan.
            “Aku bergumul selama dua hari ini memikirkan tentangmu. Siapa yang dapat melupakanmu? Rambut panjang berwarna emas madu yang tak mungkin orang lain lupakan. Ternyata kau semakin tinggi dan sopan,” sindiran dari raja membuat pipinya memerah. Kembali Sherene mengutuk anggur yang tadi ia minum. Padahal niatnya meminum anggur hanyalah untuk menghangatkan tubuhnya. Tapi ternyata ia berakhir di atas tempat tidur dan berhadapan dengan raja yang sungguh menyiksanya dengan pemandangan yang disuguhkan.
            “Dengan segala kerendahan hati, Yang Mulia, aku sungguh minta maaf atas segala ucapanku—“
            “Kau harus diberi hukuman,” sebelum Sherene dapat menyelesaikan ucapannya, raja telah melangkah lebih dekat ke arahnya yang kali ini, Sherene tidak beranjak dari tempatnya. Sudut bibir Justin berkedut ketika ia melihat gadis polos itu mendongakkan kepalanya dengan pipi yang merah. Apa tidak ada yang lebih manis dibanding ini? “Tid—“
            “Jika itu berhubungan dengan bersenggama, aku sungguh tidak bisa, Yang Mulia. Dan jika itu berhubungan dengan Cassandine, lebih baik aku diberi hukum mati,”
            “Kau mencintaiku,” Justin telah berada di hadapannya. Tangan kanannya memegang dagu Sherene, mengangkatnya lebih tinggi agar gadis itu benar-benar melihatnya. “Bagaimana bisa?”
            Pipi Sherene kembali bersemu merah. “Semua orang mencintaimu, kecuali para pria,”
            “Alasan yang tidak masuk akal, sayang,” Justin bersikap sangat lembut. Tidak! Jangan rayu aku dengan kelembutanmu yang memabukkan! Apa dia gila? Dia adalah kelemahanku! ucapan Sherene dalam hati tak menyentuh mulut. Ibu jari Justin mulai menelusuri bibir Sherene yang tipis berwarna merah muda. Ternyata inilah mengapa Justin tidak bisa berada dalam jarak jauh dari Sherene, Sherene adalah gadisnya yang telah ia janjikan 10 tahun yang lalu. Bagaimana dengan Cassandine? Sumber utama dari nafsunya hanyalah Sherene seorang! Ia bisa …bersenggama dengan tiga atau empat gadis dalam waktu satu hari hanya dengan mendapatkan dua kali pelepasan. Tapi dengan Sherene? Semuanya terasa lebih cepat daripada biasanya. Justin menelan ludahnya, tidak ingin menyakiti Sherene, berusaha untuk menahan nafsunya yang bergejolak. Bahkan darahnya sekarang mendidih panas.
            “Semuanya masuk akal ketika segalanya terlihat tidak masuk akal,” bibir sialan Sherene harus segera ditutup rapat-rapat! Sherene mengutuk dirinya sendiri. Justin mengerutkan bibirnya lalu ia menundukkan kepalanya untuk menampar bibir Sherene dengan bibirnya.
            “Bibir ini harus tertutup rapat ketika kau mabuk maupun tak mabuk,” Justin mengecup bibir itu berkali-kali dengan mata yang masih terbuka.
            “Aku setuju, Yang Mulia,” Sherene sedikit menjauhi kepalanya dari kepala Justin sehingga ketika Justin ingin menyentuh bibirnya kembali, ia tidak mendapatkannya. “Terima kasih telah mengingatku,”
            “Kau harus bertanggungjawab, Sherene, ini semua kesalahanmu,”
            “Hukuman pertama belum kausebutkan dan kau telah membicarakan kesalahan keduaku yang bahkan aku tidak tahu, kesalahan apa yang telah kuperbuat padamu. Padahal dalam catatan—“
            “Sudah kubilang, bibir ini harus tetap tertutup rapat,” Justin menyumpal mulut Sherene dengan mulutnya untuk beberapa detik. “Kau sudah tahu hukuman apa yang kaudapatkan, tapi syaratmu menghalangiku. Jika begitu, tidurlah bersamaku di kamar. Tapi kau harus berada di sana dengan keadaan telanjang,”
            “Tidak seperti itu, kumohon, Yang Mulia,” Sherene menautkan kedua alisnya, menatap Justin dengan tatapan memohon. Apa lagi yang dapat menghalangi Justin jika itu bukan Sherene? Hatinya luluh begitu saja. Gadis 12 tahunnya yang ia kecup itu semakin menggemaskan namun dengan bentuk fisik yang lebih menggiurkan. Tapi kesopanannya telah memudar.
            “Tidurlah bersamaku di kamar dan kita akan membicarakan kesalahan keduamu.” Justin memutuskan. “Pakaikan aku jubah terlebih dahulu.”

***

            Justin memeluk Sherene begitu erat. Ketika Sherene hampir saja terlelap, Justin bergerak. Itu membuat Sherene sulit kembali tidur. Itu memang Sherene, ia adalah gadis yang peka akan suara atau gerakan apa pun. Telinganya bagaikan serigala yang mendengar pemburu datang dari jarak jauh. Sherene hampir saja masuk ke dalam alam bawah sadarnya ketika tiba-tiba saja Justin menggerakan pinggulnya kembali ke arahnya, untuk yang kesekian kalinya, Sherene mendengar Justin mendengus. Posisi Sherene sedang memunggungi Justin, sehingga dada Justin yang telanjang terasa di punggung Sherene. Dan sudah beberapa kali Sherene berusaha tertidur, Justin terus menggerakan pinggulnya dan mendengus kembali. Apa masalahnya?
            Ketika itu juga tangan kiri Justin yang awalnay berada di atas lengan Sherene terangkat menuju kepala Sherene. Mengelus-elus rambut Sherene yang wangi, lembut serta panjang. Cassandine tidak ada di kamarnya, tentu saja. Ia berada di kamar lain, tapi tidak sama seperti kamar-kamar harem. Tentu saja. Kamar Justin yang dulu, lebih tepatnya. Sherene sendiri penasaran dimana Cassandine berada, ia tidak bertanya pada Justin yang –sekali lagi—menggerakan pinggulnya ke arah Sherene.
            “Aku tidak bisa tidur,” gumam Sherene dengan suara yang kecil.
            “Begitupun aku,” Justin menghela nafasnya. Saat itu juga Sherene menggerakan tubuhnya agar menghadap pada Jutsin. Di atas tempat tidur yang besar, ditemani 4 tiang di setiap sudut, serta tirai tipis berwarna putih yang bertengger di setiap tiang, dan dua manusia di atasnya tengah berbaring berusaha untuk terlelap. Sherene memakai gaun putih tipis untuk tidurnya, sedangkan Justin memakai celana putih selutut tanpa atasan menutupi tubuhnya. Sherene mendongak, mata hijaunya tidak segelap tadi. Tangannya yang mungil itu menyentuh dada Justin yang bidang. Itu menjadi sebuah siksaan tersendiri bagi Justin.
            “Apa yang kauinginkan? Kau terus menggerakan pinggulmu ke arahku, harus kautahu, aku orang yang mudah terjaga,” Sherene menelan ludahnya. Karena takut, Sherene meluruskan kepalanya ke depan, ke arah dada bidang Justin.
            “Kau menolakku, aku tidak biasa dengan yang namanya penolakan,”
            “Apa sekarang kita akan bergadang untuk membicarakan tentang kehidupan? Jika ya, aku tertarik,” ucap Sherene melipat bibirnya ke dalam. “Oh!” Sherene tersentak ketika tangan besar Justin menarik bokongnya ke depan agar lebih dekat dengan Justin. Kaki Justin menindih kaki Sherene, seperti bantal kedua bagi Justin.
            “Kau ingin membicarakan itu agar kau tetap terjaga?” tanya Justin menundukkan kepalanya.
            “Aku tertarik mendengar tentang kehidupanmu,” gumam Sherene mendekatkan kepalanya ke arah dada Justin, menempelkan pipinya pada dada bidang Justin. Tangan Sherene yang awalnya menyentuh dada Justin sekarang telah memeluk pinggang Justin. Seumur hidupnya, Sherene tidak pernah sedekat ini dengan seorang lelaki selain Justin.
            “Aku sebenarnya anak yang tidak diakui,” gumam Justin memejamkan matanya, mendengus ketika ia merasakan bibir Sherene menyentuh dadanya. Dasar gadis polos! Jika gadis ini tidak berada dalam keadaan sakit, sudah pasti Justin menyetubuhinya sekarang juga. Ini sungguh menyiksanya. Sherene mendesah karena ia tidak mengerti. Apa maksudnya?
            “Aku tidak mengerti,”
            “Untungnya, aku bukan anak Paus. Jika ya, aku adalah anak haram,” Justin semakin mempersulit Sherene untuk mengerti apa yang ia bicarakan. “Ibuku dulu sama sepertimu. Ia adalah seorang harem. Harem yang hamil harus segera dinikahkan. Kau sama sepertinya, ia bukan dari Persia. Ia harem dari luar negeri yang datang ke Persia untuk mencaritahu tentang Persia. Tapi ia beruntung, ia berakhir di sebuah istana dan menjadi seorang Ratu,”
            “Maksudmu, ibumu hamil di luar nikah?” Sherene tersentak. “Apa aku akan sama seperti ibumu? Kau akan menikahkanku karena aku hamil di luar nikah? Tapi aku …aku belum memiliki minyak wangi untuk pernikahanku,” ceracau Sherene menatap obor yang menempel di dinding kamar yang ada di hadapannya. Justin tertawa, suara tawa itu bergetar di dada Justin sama seperti ketika Sherene mendekatkan telinganya pada dada Khazaz –setidaknya Khazaz tidak berani menindih kakinya ke atas kaki Sherene.
            “Kau ingin menikah denganku?” Justin bertanya namun kali ini suaranya terdengar lebih riang.
            “Itu semua impian para harem,” gumam Sherene. Ia terdengar tidak ingin mengakui keinginan terbesarnya, tapi secara tidak langsung juga, ia memberitahu Justin bahwa ia menginginkan Justin.

*Justin Xerxes POV*

            Sherene Madrigal. Gadis yang kutemui 10 tahun yang lalu. Gadis yang membuatku terpukau akan kecantikannya. Dari dulu aku mencari tahu siapa penyebab yang membuatku mudah sekali bernafsu, ternyata dia ada di rumahku sendiri. Di istanaku sendiri. Bahkan ia sedang kupeluk dengan pipinya yang menempel di dadaku. Ia sangat menyiksaku secara lewat fisik meski ia tidak menyakitiku, kebutuhanku sekarang harus dipenuhi. Tapi ia malah memintaku untuk menceritakan kisah hidupku yang bahkan Cassandine tidak pernah tahu. Ibuku adalah seorang harem yang dihamili oleh sang raja, istri raja tidak banyak. Hanya ibuku dan Patricia. Tapi karena anak Patricia meninggal karena penyakit mematikan, ibukulah yang lebih diakui sebagai ratu. Ia ingin aku menjadi suaminya. Apa dia gila? Tentu saja aku mau menikah dengannya. Aku tidak mencintainya, memang, tapi ia adalah kebutuhanku. Yang kucintai adalah Cassandine, tapi Sherene adalah kebutuhanku.
            Aku harus pintar-pintar menjaga perasaan mereka. Cassandine sudah pasti akan kunikahi, tapi apakah Sherene mau kunikahkan jika aku telah menikah dengan Cassandine? Raja bisa melakukan itu, aku bisa menghamili Sherene sehingga ia akan menjadi istriku. Cassandine tidak akan keberatan. Aku tahu Sherene sangat mencintaiku, Patricia memberitahunya padaku. Dengan segala rendah hati aku menghargai perasaannya. Untunglah Patricia, ibu tiriku, memberitahu siapa Sherene Madrigal itu. Awalnya aku tidak tahu apa-apa tentang gadis yang dengan mudahnya menyalakan kobaran api nafsu dalam diriku, tapi Patricia memberitahunya padaku beberapa jam yang lalu kurasa.
            “Impian semua harem?”
            “Ya, tentu saja,” gumam Sherene. “Siapa yang tidak? Kau adalah raja yang tampan, sopan, dan mempesona. Tidak akan ada cela yang terselubung dalam dirimu,” jelas Sherene memujiku. Aku sudah sering mendengar perkataan ini pada harem-harem yang lain, yang bahkan belum kupakai, tapi jika itu dikeluarkan oleh mulut Sherene, tiap suku kata yang keluar terasa sangat istimewa. Bibirku berkedut, menahan senyuman dan tawa kecil. Suaranya yang lembut membuatku gemas ingin membuatnya mendesah. Gadis polos yang sudah 4 kali kutiduri, pipinya selalu memerah tiap kali kupuji atau kutatap, itu yang membuatnya terlihat begitu menarik. Di satu sisi, aku merindukan Cassandine. Tapi di satu sisi, aku juga membutuhkan Sherene. Hanya saja, Sherene belum menyentuhku sampai hati seperti yang Cassandine lakukan padaku.
            “Tapi aku membutuhkan ratu yang memiliki sopan santun,” godaku. Ya, Sherene tidak memiliki sopan santun yang tinggi. Dari tadi ia berbicara denganku seperti bukan berbicara dengan seorang raja –meski bagiku itu tidak masalah. Anggur yang diberikan Patricia pada Sherene memang benar-benar berguna untuk Sherene agar ia berbicara jujur padaku. Mungkin jika kembali normal, sopan santunnya akan kembali.
            “Apa kesalahan keduaku?” Alur percakapan yang diangkat oleh Sherene benar-benar tidak mudah ditebak. Ia cukup pintar membuatku melupakan percakapan sebelumnya, atau bisa kubilang, ia pintar menggantik topik pembicaraan. Sherene bukanlah gadis yang mudah ditebak, aku tidak tahu kalau ia bisa menjadi gadis pemberontak seperti di kamarnya tadi. Kupikir ia hanyalah gadis yang mudah ditiduri seperti harem-harem lainnya. Itu membuatku sedikit berhati-hati padanya, jika ia tidak ingin berhubungan badan denganku lagi, itu akan menjadi masalah berat. Tidak mungkin aku menghukumnya dengan hukuman yang berat jika itu akan merusak keindahan tubuhnya! Kuhembuskan nafasku.
            “Kau adalah penyebab utama yang membangkitkan nafsuku,” ujarku membisikan doa. “Kau harus bertanggungjawab, sebenarnya,”
            “Bukan keinginanku untuk membangkitkan nafsumu. Semuanya kembali padamu,”
            “Nah, inilah yang kubicarakan, kau adalah gadis yang sangat jujur namun tak disaring,” aku menggeser tubuhku menjauh darinya agar aku dapat melihatnya. Ia tampak sangat mungil, aku bisa saja membunuhnya dengan cara memeluknya selama beberapa jam dengan sangat erat. Rambutnya yang panjang tertindih oleh tubuhnya, mata hijau  itu menatapku apa adanya, tidak tersenyum. Bibirnya terkatup raput lalu lehernya bergerak menelan ludah.
            “Maaf,” bisik Sherene menyesal. “Inilah aku. Aku rasa aku harus pergi agar kau bisa tidur dengan tenang,” ujarnya tiba-tiba saja bangkit dari tempat tidurku. Panik seketika menyerangku. Sialan! Dia sedang menggodaku. Ketika ia mulai bangkit, tanganku menarik lengannya. Oh, dia sedang ingin bermain. “Tidak,  biarkan aku pergi. Aku tidak cocok berada di atas tempat tidurmu. Mulutku saja kotor,” ujarnya menarik lengannya dari genggaman tanganku.
            “Sherene, aku tidak serius dengan apa yang kuucapkan,” aku menariknya agar kembali tidur di atas tempat tidurku. Aku ikut bangkit agar dapat menahannya. Tangan kiriku memegang pundak kanannya dengan tangan kananku memegang pundaknya yang lain. “Aku tidak peduli apa kau sopan atau tidak selama kau ada di sisiku, itu tidak apa-apa,”
            “Tidak, kau benar. Aku memang tidak pernah menyaring apa yang ingin kukatakan,” Sherene mengangkat tangannya agar lengannya lepas dari genggamanku. Ia pintar bersandiwara. Ini semakin membuatku bernafsu padanya. “Kau tidak membutuhkanku,” gumamnya. Kulihat sudut bibirnya mulai terangkat, kepalanya tertunduk berusaha untuk tidak terlihat lucu. Demi para dewa, ia sulit ditebak.
            “Kau bilang padaku untuk tidak bersenggama denganmu. Tapi kau yang memancingku, Sherene,”
            “Awalnya, memang benar,” ujarnya sekarang terlihat lebih menyenangkan. Inikah candaan dari seorang Sherene Madrigal? Penggoda dan sangat membangkitkan nafsu? Ia jelas adalah penggoda cilik yang licik!

*Author POV*

            Justin memegang kedua bahu Sherene dengan tangannya yang besar. Jelas mereka sedang berhadapan satu sama lain, Sherene sedang menahan tawanya ketika ia melihat wajah Justin yang panik ketika ia hendak pergi dari tempat tidur. Berarti Justin benar-benar menginginkannya seperti kejadian 10 tahun yang lalu ketika Justin mengecup bibirnya. Justin masih menunggu lanjutan ucapan dari Sherene, ia ingin kejelasan agar ia tidak menyakiti Sherene. Meski ia tahu ia tidak mencintai Sherene tapi tetap saja, jika Sherene tidak ada di sisinya itu akan menjadi bencana. Dan jika ia menyakiti Sherene, tentu ia tidak bisa bertemu dengan Sherene kembali. Patricia pasti tidak akan mengizinkan Justin untuk melakukan itu. Patricia adalah satu-satunya anggota keluarganya –meski Patricia dan Ayahnya telah cerai—di istana yang ia patuhi. Ia adalah ibu tiri Justin, dulunya. Dan Patricia memberi pesan pada Justin untuk tidak menyakiti Sherene jika ia masih mau berhubungan Sherene.
            Pipinya bersemu merah. “Aku tidak ingin bersenggama,” gumamnya. “Aku ingin kau menjilatiku di bawah sana,” lanjutnya. Apa? Justin melongo. Benarkah? Apa gadis ini sedang mempermainkannya? Justin mau-mau saja melakukan itu, tapi ia juga ingin kebutuhannya dipenuhi. Ia ingin mendapatkan pelepasannya juga. Apakah mulut Sherene dapat membuatnya mendapatkan pelepasan? Mungkin. Ia hanya melakukan itu dengan Cassandine, sebenarnya, Cassandine yang menunjukkannya melakukan ‘senggama dengan mulut’. Tapi Sherene? Mulutnya sangat kecil, sudah jelas ia tidak dapat memasukan alat vital Justin ke dalam mulut Sherene.
            “Kau benar-benar menginginkannya?”
            “Aku tidak tahu, percakapan yang kita bicarakan membuatku sedikit… bergairah,” bisiknya. Sherene yang bergairah memang terlihat lebih menggiurkan. Bahkan sudah berhasil membujukku untuk menjilatinya, dalam hati Justin berkata.
            “Jika begitu, angkat gaunmu ke atas dan buka pakaian dalammu, kau penggoda cilik yang licik!” Justin menggeleng-gelengkan kepalanya. Sherene menjauh dari tubuh Justin, membuat tangan Justin yang menggenggam pundaknya lepas begitu saja. Malu-malu ia membuka pakaian dalamnya dengan posisi terduduk, lalu ia melemparnya ke atas lantai samping tempat tidurnya. Ia menutup lututnya rapat-rapat kemudian menundukkan kepalanya.
            “Apa masalahmu di sana, gadis kecil?” Justin merangkak mendekatinya.
            “Aku hanya malu…” Sherene mendongakkan kepalanya. “Oh, aku sangat naïf. Di satu sisi aku menginginkannya, tapi di satu sisi aku malu,”
            “Tidak ada yang perlu kau permalukan,” bisik Justin yang telah berada di depan kedua lutut Sherene. Ia pelan-pelan membuka kedua lutut itu, kemudian pemandangan indah terpampang indah di hadapannya. Tidak ada bulu, mungil dan …basah. Justin bahkan tidak memberikan rangsangan apa pun! “Kau selalu membuatku terkejut. Entah mengapa,” gumam Justin menenggelamkan kepalanya di antara paha Sherene yang putih. Saat itu juga tubuh Sherene menegang, ia jatuh ke terlentang. Kedua tangannya menegang begitu saja, jari-jarinya mencari sesuatu yang dapat ia remas. Bibir Justin mengapit bagian sensitifnya—klitoris—lalu menjilatnya pelan-pelan. Menyapunya hingga cairan Sherene terus mengalir. Pinggul Sherene bergerak-gerak, namun kedua tangan Justin menahan paha Sherene agar Sherene tetap diam.
            “Oh ya… benar, di sana!” Sherene menggeleng-gelengkan kepalanya, dadanya membusung ke atas. “Demi para dewa, raja!” Lidah Justin menghujam lubang bagian bawah Sherene. Sherene tidak dapat merapatkan pahanya, tangan Justin menahannya. Tubuhnya bergetar seketika. Ini bahkan tidak sampai 5 menit. Tapi Sherene sudah merasa akan meledak.
            “Oh, sial,” kata kotor itu terucap begitu saja. “Raja aku…” tapi tidak ada kata-kata yang keluar selain erangannya yang kencang serta kedua kakinya yang menegang, bersama dengan perut.
            Semuanya terjadi sangat cepat.

***

            Dari kegelapan, ia mengerjap-kerjapkan matanya mencari terang. Bulu matanya samar-samar terlihat di penglihatannya sampai pada akhirnya ia benar-benar membuka matanya sehingga bulu matanya tak terlihat. Hanya sinar matahari dari pintu balkon yang menyinari kamar raja. Gadis yang berbaring di sebelah raja masih berusaha mengumpulkan jiwanya yang terpisah-pisah. Ia mulai merasakan berat tangan dari raja yang berada di pinggangnya. Kulitnya dengan kulit raja bersentuhan. Oh, ia berhubungan badan lagi dengan raja. Malam yang aneh. Ia tidak pernah merasa begitu nakal seperti tadi malam dan ia sangat menyesali apa yang ia perbuat. Seharusnya ia mendengar perkataan Patricia untuk tidak berhubungan badan dengan Justin karena ketika Patricia berusaha menyisir rambut Sherene, ia melihat tanda-tanda biru di sekitar lehernya. Tentu itu akan memicu orang-orang bertanya apa yang terjadi pada Sherene. Raja sudah kelewatan berhubungan badan dengannya.
            Tubuh Sherene terasa begitu lemas. Mungkin ia sakit. Kepalanya dari tadi malam sangat pening. Ditambah lagi ia harus berhubungan badan lagi dengan raja yang semakin mendukung keadaannya semakin memburuk. Raja terasa sangat dingin di atas tubuhnya, mungkin ia demam. Ia kurang yakin akan kesehatannya. Keningnya mengerut ketika pening itu kembali menyerang kepalanya. Rasanya ia tak sanggup untuk mengangkat tangan Justin dari lengannya. Ia harus melakukan sesuatu untuk pergi dari kamar raja. Bagaimanapun juga ia harus menghargai perasaan Cassandine sebagai calon ratunya –tadi malam ia benar-benar mabuk. Sherene hanya kesal semalam, serangan panik, yang membuatnya harus menenangkan diri dengan anggur yang membuatnya berakhir dengan tubuh yang kurang sehat.
            “Yang Mulia,” bisiknya pelan, bahkan tidak akan ada yang bisa mendengar. Ia menelan ludahnya lalu berdeham dua detik. “Yang Mulia,” panggilnya.
            “Mhmm,” gumam Justin yang langsung terjaga meski matanya masih tetap terpejam. Tangan Justin memeluk tubuh Sherene, kepalanya berada di atas kepala Sherene, kakinya menindih kaki Sherene.
            “Aku harus pergi ke kamarku,” gumam Sherene sungguh pelan. Justin hanya mendengar beberapa kata dari mulut Sherene. Mata Justin terbuka saat itu juga, mata cokelat indahnya, ia mengerjap-kerjap matanya untuk beberapa detik. “Aku harus pergi ke kamarku,” kembali Sherene berucap, kali ini terdengar lebih jelas.
            “Badanmu panas,” ujar Justin mengangkat tubuhnya dari Sherene. Ketika Justin benar-benar mengumpulkan jiwanya, ia dapat merasakan kulit Sherene yang terasa panas, padahal mereka hanya menutupi tubuhnya dengan selimut sebatas betis. “Apa kau sakit?”
            “Mungkin, aku tidak yakin,” gumam Sherene sebisa mungkin bangkit dari tempat tidur Justin. “A-aku akan menyiapkan sarapan untukmu, Yang Mulia,” ujar Sherene menemukan suara sepenuhnya. Kakinya yang mungil itu menyentuh lantai kamar raja, ia mencari-cari sandal sederhananya lalu memakainya ketika ia menemukannya. Justin menahan tangan Sherene saat Sherene mulai bangkit dari tempat tidurnya.
            “Tidak perlu, kau harus istirahat. Biar aku antar kau ke kamarmu,”
            “Tidak perlu, Yang Mulia, terima kasih,” Sherene menolaknya dengan penuh dengan kesopanan. Akhirnya Sherene dapat menemukan kesopanannya kembali. Mungkin ia memang tidak bersikap ketika ia sedang bersenggama dengan raja. Lagi pula raja Justin tidak begitu peduli dengan kesopanan Sherene ketika sedang bersenggama dengannya, tapi ia sangat menghargai Sherene jika di luar kamarnya, Sherene bersikap sopan. Mungkin Sherene akan menjadi ratu.
            “Sherene, biar aku antar, jika tidak kau akan pingsan,” Justin memaksa. Justin menggeser tubuhnya ke tepi tempat tidur –di sebelah Sherene—kemudian ia memegang lengan Sherene agar bangkit dari tempat tidur. Sherene bangkit, ada jeda beberapa saat ketika Sherene memerhatikan Justin, ia merasa ada sesuatu yang kurang dari Justin. Oh, ia baru sadar sekarang. Justin belum memakai jubahnya. Dengan penuh perhatian, Sherene berjalan ke salah satu kursi yang menyangga jubah Justin di sana. Tangannya yang mungil meraih jubah itu kemudian ia berjalan ke arah Justin kembali.
            “Jubahmu, Yang Mulia,”
            “Kau terlihat sangat manis saat kau bersikap sopan,” komentar Justin sambil memakai jubahnya. Pening memang menyerang Sherene tiap detik, tapi Justin memang tetap bisa membuat pipi Sherene memerah dan terbang. “Apa keahlianmu hanya memerahkan pipi?”
            “Bukan keinginanku mendapatkan keahlian itu, Yang Mulia,” Sherene menjawab seadanya. Penuh perhatian, Justin memegang kembali lengan Sherene setelah ia selesai memakai jubahnya yang panjang. Satu hal yang mereka lupakan adalah Sherene belum memakai pakaian dalamnya. Tapi siapa yang peduli? Tidak akan ada yang memerhatikan. Justin membuka pintu kamarnya, mengajak Sherene keluar, dan kejutan yang tidak diharapkan muncul di hadapan mereka.
            “Oh, Justin, aku baru saja ingin masuk… oh,” Cassandine muncul dengan segala keanggunanya, pakaian berwarna merah dan rangkaian bunga di sekitar kepalanya. Sherene mengutuk gadis yang ada di hadapannya. Rangkaian bunga itu pasti hasil karya Patricia! Entah mengapa Sherene merasa cemburu seketika setelah ia menyadari betapa sayangnya ia terhadap Patricia. Cassandine memiliki warna mata hitam yang penuh dengan kemisteriusan, ia menatap Sherene dengan tatapan terkejut sekaligus terpukau. Jelas Sherene mengintimidasi Cassandine melalui kecantikannya, Cassandine kalah telak jika ia harus melawan Sherene dalam lomba kecantikan. Ketegangan mulai menyeruak masuk ke dalam suasana. Justin tegang, begitu juga dengan Sherene, meski Sherene menundukkan kepalanya.
            “Selamat pagi, Yang Mulia,” ujar Cassandine mengangkat gaunnya dengan kedua tangannya dengan tubuh yang setengah membungkuk. “Jika boleh aku bertanya, siapakah gadis cantik yang ada di hadapanku?” Kesopanan memang segalanya.
            “Cassandine,” gumam Justin tenang. Ia memang pintar bersandiwara. “Sherene Madrigal, pelayan istanaku. Dia termasuk haremku. Masuklah ke kamarku terlebih dahulu, aku ingin mengantar Sherene ke kamarnya,”
            Sherene mengintip dari bawah ke arah Justin. “Aku bisa pergi ke kamar sendiri, Yang Mulia, tidak apa-apa,” ucap Sherene menarik lengannya dari genggaman Justin agar ia dapat lepas dari tatapan Cassandine yang tentu saja, Cassandine tidak menyukainya. Terlihat dari nada bicara Cassandine yang entahlah …ada kesan negative yang Sherene dapatkan ketika suara itu keluar dari mulut Cassandine. Namun kembali, Justin meraih lengannya dengan sigap.
            “Kau yakin?” Tanya Justin ragu-ragu melepaskan Sherene. Cassandine melihat pertunjukan sandiwara di depannya dengan tatapan tidak suka. Rasanya ia ingin mengetuk-ketuk ujung kakinya ke atas lantai memberitahu pada mereka bahwa ia bosan dengan pertunjukan yang dipertontonkan. Cassandine menilai penampilan Sherene. Rambut panjang yang tergerai, mata hijau, bibir ranum berwarna merah jambu, hidung mancung dengan postur tubuh yang tidak begitu tinggi serta mungil. Bagaimana bisa Justin tertarik dengan gadis ini? Api cemburu mulai menyala, membakar hatinya, namun ia masih tidak ingin menambahkan kayu-kayu.
            “Yang Mulia, bukankah kau berjanji padaku pagi ini kita akan pergi?” Cassandine mulai membuka mulutnya saat Justin dan Sherene sedang bertengkar hanya karena masalah Sherene tidak ingin diantar oleh Justin. Mengapa Justin bisa begitu peduli dengan Sherene? Tapi tidak ketika Cassandine sudah berbicara. Pertengkaran mereka berakhir, akhirnya.
            “Ya, tentu saja. Tapi aku harus membersihkan tubuhku terlebih dahulu,” ujar Justin pada Cassandine lalu ia menolehkan kepalanya pada Sherene. “Sherene, kau yakin kau bisa pergi ke kamarmu sendiri?”
            “Aku berjanji padamu, Yang Mulia, aku akan sampai ke kamarku tanpa kekurangan suatu apa pun,” ucap Sherene meyakinkan. Pelan-pelan Justin melepaskan kulit Sherene yang panas itu, detik setelahnya, Sherene mulai berjalan pergi menuruni tangga menuju kamarnya. Rambutnya yang panjang itu berterbangan saat angin menerpanya namun menghilang ketika Sherene telah mencapai tangga yang kesekian. Cassandine menatap Justin yang memerhatikan Sherene, ia cukup cemburu. Api cemburunya telah padam setelah gadis itu pergi dari hadapannya. Kecantikannya jelas mengalahkan kecantikan Cassandine yang hanya memiliki rambut hitam panjang serta mata berwarna hitam. Sedangkan gadis itu, mata hijau dan rambut emas madu panjang? Meski Cassandine cukup yakin Justin tidak akan meninggalkannya. Apalagi setelah ia mengetahui Justin adalah seorang raja. Ia pikir, saat Justin memberitahu Cassandine untuk datang ke Persia, Justin mengajaknya untuk memulai kehidupan yang baru bersama-sama. Memang benar, Justin mengajaknya, tapi dengan keadaannya sebagai raja. Ini nilai tambah yang benar-benar lebih.
            “Apa yang kaulakukan dengannya? Dia sepertinya tidak memakai pakaian dalamnya,”
            “Tidak ada yang perlu kaubicarakan tentangnya, masuklah ke kamar,” suruh Justin merangkul Cassandine dan membuka pintu kamarnya kembali. Justin hanya tidak ingin membicarakan apa yang ia lakukan bersama Sherene di luar kamarnya, terlebih lagi, ada dua orang prajurit yang berada di depan pintunya tiap pagi sampai sore. Justin sadar betul apa yang sedang ia lakukan, ia sedang membuat dirinya dalam kesusahan. Tapi tidak ada yang dapat menghentikannya untuk mendapatkan Sherene, sekalipun itu Cassandine.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar