Tidak mungkin. Jika benar lelaki ini
mengingat kejadian 10 tahun yang lalu, akankah ini bagian akhir dari
kehidupannya? Inilah yang ia inginkan selama ini, dan apa selanjutnya? Apa yang
raja juga rasakan terhadapnya apakah sama dengan perasaannya terhadap raja?
Anggur-anggur sialan! Jika ia tidak meminum anggur itu sudah pasti ia dapat
tidur nyenyak sekarang. Lelaki tampan itu masih ada di hadapannya yang sama
bisunya dengan Sherene. Setelah Sherene berkata “tunggu” saat itu juga raja
terdiam ditempatnya menunggu Sherene mengucapkan sepatah kata selanjutnya. Raja
bahkan belum memakai jubahnya kembali.
“Bagaimana
bisa kau mengingatnya?” Akhirnya suara lembut itu keluar dari mulut Sherene.
Sherene si Gadis Sopan.
“Aku
bergumul selama dua hari ini memikirkan tentangmu. Siapa yang dapat
melupakanmu? Rambut panjang berwarna emas madu yang tak mungkin orang lain
lupakan. Ternyata kau semakin tinggi dan sopan,”
sindiran dari raja membuat pipinya memerah. Kembali Sherene mengutuk anggur
yang tadi ia minum. Padahal niatnya meminum anggur hanyalah untuk menghangatkan
tubuhnya. Tapi ternyata ia berakhir di atas tempat tidur dan berhadapan dengan
raja yang sungguh menyiksanya dengan pemandangan yang disuguhkan.
“Dengan
segala kerendahan hati, Yang Mulia, aku sungguh minta maaf atas segala
ucapanku—“
“Kau
harus diberi hukuman,” sebelum Sherene dapat menyelesaikan ucapannya, raja
telah melangkah lebih dekat ke arahnya yang kali ini, Sherene tidak beranjak
dari tempatnya. Sudut bibir Justin berkedut ketika ia melihat gadis polos itu
mendongakkan kepalanya dengan pipi yang merah. Apa tidak ada yang lebih manis
dibanding ini? “Tid—“
“Jika
itu berhubungan dengan bersenggama, aku sungguh tidak bisa, Yang Mulia. Dan
jika itu berhubungan dengan Cassandine, lebih baik aku diberi hukum mati,”
“Kau
mencintaiku,” Justin telah berada di hadapannya. Tangan kanannya memegang dagu
Sherene, mengangkatnya lebih tinggi agar gadis itu benar-benar melihatnya.
“Bagaimana bisa?”
Pipi
Sherene kembali bersemu merah. “Semua orang mencintaimu, kecuali para pria,”
“Alasan
yang tidak masuk akal, sayang,” Justin bersikap sangat lembut. Tidak! Jangan rayu aku dengan kelembutanmu
yang memabukkan! Apa dia gila? Dia adalah kelemahanku! ucapan Sherene dalam
hati tak menyentuh mulut. Ibu jari Justin mulai menelusuri bibir Sherene yang
tipis berwarna merah muda. Ternyata inilah mengapa Justin tidak bisa berada
dalam jarak jauh dari Sherene, Sherene adalah gadisnya yang telah ia janjikan
10 tahun yang lalu. Bagaimana dengan Cassandine? Sumber utama dari nafsunya
hanyalah Sherene seorang! Ia bisa …bersenggama dengan tiga atau empat gadis
dalam waktu satu hari hanya dengan mendapatkan dua kali pelepasan. Tapi dengan
Sherene? Semuanya terasa lebih cepat daripada biasanya. Justin menelan
ludahnya, tidak ingin menyakiti Sherene, berusaha untuk menahan nafsunya yang
bergejolak. Bahkan darahnya sekarang mendidih panas.
“Semuanya
masuk akal ketika segalanya terlihat tidak masuk akal,” bibir sialan Sherene
harus segera ditutup rapat-rapat! Sherene mengutuk dirinya sendiri. Justin
mengerutkan bibirnya lalu ia menundukkan kepalanya untuk menampar bibir Sherene
dengan bibirnya.
“Bibir
ini harus tertutup rapat ketika kau mabuk maupun tak mabuk,” Justin mengecup
bibir itu berkali-kali dengan mata yang masih terbuka.
“Aku
setuju, Yang Mulia,” Sherene sedikit menjauhi kepalanya dari kepala Justin
sehingga ketika Justin ingin menyentuh bibirnya kembali, ia tidak
mendapatkannya. “Terima kasih telah mengingatku,”
“Kau
harus bertanggungjawab, Sherene, ini semua kesalahanmu,”
“Hukuman
pertama belum kausebutkan dan kau telah membicarakan kesalahan keduaku yang
bahkan aku tidak tahu, kesalahan apa yang telah kuperbuat padamu. Padahal dalam
catatan—“
“Sudah
kubilang, bibir ini harus tetap tertutup rapat,” Justin menyumpal mulut Sherene
dengan mulutnya untuk beberapa detik. “Kau sudah tahu hukuman apa yang
kaudapatkan, tapi syaratmu menghalangiku. Jika begitu, tidurlah bersamaku di
kamar. Tapi kau harus berada di sana dengan keadaan telanjang,”
“Tidak
seperti itu, kumohon, Yang Mulia,” Sherene menautkan kedua alisnya, menatap
Justin dengan tatapan memohon. Apa lagi yang dapat menghalangi Justin jika itu
bukan Sherene? Hatinya luluh begitu saja. Gadis 12 tahunnya yang ia kecup itu
semakin menggemaskan namun dengan bentuk fisik yang lebih menggiurkan. Tapi
kesopanannya telah memudar.
“Tidurlah
bersamaku di kamar dan kita akan membicarakan kesalahan keduamu.” Justin
memutuskan. “Pakaikan aku jubah terlebih dahulu.”
***
Justin
memeluk Sherene begitu erat. Ketika Sherene hampir saja terlelap, Justin
bergerak. Itu membuat Sherene sulit kembali tidur. Itu memang Sherene, ia
adalah gadis yang peka akan suara atau gerakan apa pun. Telinganya bagaikan
serigala yang mendengar pemburu datang dari jarak jauh. Sherene hampir saja
masuk ke dalam alam bawah sadarnya ketika tiba-tiba saja Justin menggerakan
pinggulnya kembali ke arahnya, untuk yang kesekian kalinya, Sherene mendengar
Justin mendengus. Posisi Sherene sedang memunggungi Justin, sehingga dada
Justin yang telanjang terasa di punggung Sherene. Dan sudah beberapa kali
Sherene berusaha tertidur, Justin terus menggerakan pinggulnya dan mendengus
kembali. Apa masalahnya?
Ketika
itu juga tangan kiri Justin yang awalnay berada di atas lengan Sherene
terangkat menuju kepala Sherene. Mengelus-elus rambut Sherene yang wangi,
lembut serta panjang. Cassandine tidak ada di kamarnya, tentu saja. Ia berada
di kamar lain, tapi tidak sama seperti kamar-kamar harem. Tentu saja. Kamar
Justin yang dulu, lebih tepatnya. Sherene sendiri penasaran dimana Cassandine
berada, ia tidak bertanya pada Justin yang –sekali lagi—menggerakan pinggulnya
ke arah Sherene.
“Aku
tidak bisa tidur,” gumam Sherene dengan suara yang kecil.
“Begitupun
aku,” Justin menghela nafasnya. Saat itu juga Sherene menggerakan tubuhnya agar
menghadap pada Jutsin. Di atas tempat tidur yang besar, ditemani 4 tiang di
setiap sudut, serta tirai tipis berwarna putih yang bertengger di setiap tiang,
dan dua manusia di atasnya tengah berbaring berusaha untuk terlelap. Sherene
memakai gaun putih tipis untuk tidurnya, sedangkan Justin memakai celana putih
selutut tanpa atasan menutupi tubuhnya. Sherene mendongak, mata hijaunya tidak
segelap tadi. Tangannya yang mungil itu menyentuh dada Justin yang bidang. Itu
menjadi sebuah siksaan tersendiri bagi Justin.
“Apa
yang kauinginkan? Kau terus menggerakan pinggulmu ke arahku, harus kautahu, aku
orang yang mudah terjaga,” Sherene menelan ludahnya. Karena takut, Sherene
meluruskan kepalanya ke depan, ke arah dada bidang Justin.
“Kau
menolakku, aku tidak biasa dengan yang namanya penolakan,”
“Apa
sekarang kita akan bergadang untuk membicarakan tentang kehidupan? Jika ya, aku
tertarik,” ucap Sherene melipat bibirnya ke dalam. “Oh!” Sherene tersentak
ketika tangan besar Justin menarik bokongnya ke depan agar lebih dekat dengan
Justin. Kaki Justin menindih kaki Sherene, seperti bantal kedua bagi Justin.
“Kau
ingin membicarakan itu agar kau tetap terjaga?” tanya Justin menundukkan
kepalanya.
“Aku
tertarik mendengar tentang kehidupanmu,” gumam Sherene mendekatkan kepalanya ke
arah dada Justin, menempelkan pipinya pada dada bidang Justin. Tangan Sherene
yang awalnya menyentuh dada Justin sekarang telah memeluk pinggang Justin.
Seumur hidupnya, Sherene tidak pernah sedekat ini dengan seorang lelaki selain
Justin.
“Aku
sebenarnya anak yang tidak diakui,” gumam Justin memejamkan matanya, mendengus
ketika ia merasakan bibir Sherene menyentuh dadanya. Dasar gadis polos! Jika
gadis ini tidak berada dalam keadaan sakit, sudah pasti Justin menyetubuhinya
sekarang juga. Ini sungguh menyiksanya. Sherene mendesah karena ia tidak
mengerti. Apa maksudnya?
“Aku
tidak mengerti,”
“Untungnya,
aku bukan anak Paus. Jika ya, aku adalah anak haram,” Justin semakin
mempersulit Sherene untuk mengerti apa yang ia bicarakan. “Ibuku dulu sama
sepertimu. Ia adalah seorang harem. Harem yang hamil harus segera dinikahkan.
Kau sama sepertinya, ia bukan dari Persia. Ia harem dari luar negeri yang
datang ke Persia untuk mencaritahu tentang Persia. Tapi ia beruntung, ia
berakhir di sebuah istana dan menjadi seorang Ratu,”
“Maksudmu,
ibumu hamil di luar nikah?” Sherene tersentak. “Apa aku akan sama seperti
ibumu? Kau akan menikahkanku karena aku hamil di luar nikah? Tapi aku …aku
belum memiliki minyak wangi untuk pernikahanku,” ceracau Sherene menatap obor
yang menempel di dinding kamar yang ada di hadapannya. Justin tertawa, suara
tawa itu bergetar di dada Justin sama seperti ketika Sherene mendekatkan
telinganya pada dada Khazaz –setidaknya Khazaz tidak berani menindih kakinya ke
atas kaki Sherene.
“Kau
ingin menikah denganku?” Justin bertanya namun kali ini suaranya terdengar
lebih riang.
“Itu
semua impian para harem,” gumam Sherene. Ia terdengar tidak ingin mengakui keinginan
terbesarnya, tapi secara tidak langsung juga, ia memberitahu Justin bahwa ia
menginginkan Justin.
*Justin Xerxes POV*
Sherene
Madrigal. Gadis yang kutemui 10 tahun yang lalu. Gadis yang membuatku terpukau
akan kecantikannya. Dari dulu aku mencari tahu siapa penyebab yang membuatku
mudah sekali bernafsu, ternyata dia ada di rumahku sendiri. Di istanaku
sendiri. Bahkan ia sedang kupeluk dengan pipinya yang menempel di dadaku. Ia
sangat menyiksaku secara lewat fisik meski ia tidak menyakitiku, kebutuhanku
sekarang harus dipenuhi. Tapi ia malah memintaku untuk menceritakan kisah
hidupku yang bahkan Cassandine tidak pernah tahu. Ibuku adalah seorang harem
yang dihamili oleh sang raja, istri raja tidak banyak. Hanya ibuku dan
Patricia. Tapi karena anak Patricia meninggal karena penyakit mematikan,
ibukulah yang lebih diakui sebagai ratu. Ia ingin aku menjadi suaminya. Apa dia
gila? Tentu saja aku mau menikah dengannya. Aku tidak mencintainya, memang,
tapi ia adalah kebutuhanku. Yang kucintai adalah Cassandine, tapi Sherene
adalah kebutuhanku.
Aku
harus pintar-pintar menjaga perasaan mereka. Cassandine sudah pasti akan
kunikahi, tapi apakah Sherene mau kunikahkan jika aku telah menikah dengan
Cassandine? Raja bisa melakukan itu, aku bisa menghamili Sherene sehingga ia
akan menjadi istriku. Cassandine tidak akan keberatan. Aku tahu Sherene sangat
mencintaiku, Patricia memberitahunya padaku. Dengan segala rendah hati aku
menghargai perasaannya. Untunglah Patricia, ibu tiriku, memberitahu siapa
Sherene Madrigal itu. Awalnya aku tidak tahu apa-apa tentang gadis yang dengan
mudahnya menyalakan kobaran api nafsu dalam diriku, tapi Patricia
memberitahunya padaku beberapa jam yang lalu kurasa.
“Impian
semua harem?”
“Ya,
tentu saja,” gumam Sherene. “Siapa yang tidak? Kau adalah raja yang tampan,
sopan, dan mempesona. Tidak akan ada cela yang terselubung dalam dirimu,” jelas
Sherene memujiku. Aku sudah sering mendengar perkataan ini pada harem-harem
yang lain, yang bahkan belum kupakai, tapi jika itu dikeluarkan oleh mulut
Sherene, tiap suku kata yang keluar terasa sangat istimewa. Bibirku berkedut,
menahan senyuman dan tawa kecil. Suaranya yang lembut membuatku gemas ingin
membuatnya mendesah. Gadis polos yang sudah 4 kali kutiduri, pipinya selalu
memerah tiap kali kupuji atau kutatap, itu yang membuatnya terlihat begitu
menarik. Di satu sisi, aku merindukan Cassandine. Tapi di satu sisi, aku juga
membutuhkan Sherene. Hanya saja, Sherene belum menyentuhku sampai hati seperti
yang Cassandine lakukan padaku.
“Tapi
aku membutuhkan ratu yang memiliki sopan santun,” godaku. Ya, Sherene tidak
memiliki sopan santun yang tinggi. Dari tadi ia berbicara denganku seperti
bukan berbicara dengan seorang raja –meski bagiku itu tidak masalah. Anggur
yang diberikan Patricia pada Sherene memang benar-benar berguna untuk Sherene
agar ia berbicara jujur padaku. Mungkin jika kembali normal, sopan santunnya
akan kembali.
“Apa
kesalahan keduaku?” Alur percakapan yang diangkat oleh Sherene benar-benar
tidak mudah ditebak. Ia cukup pintar membuatku melupakan percakapan sebelumnya,
atau bisa kubilang, ia pintar menggantik topik pembicaraan. Sherene bukanlah
gadis yang mudah ditebak, aku tidak tahu kalau ia bisa menjadi gadis
pemberontak seperti di kamarnya tadi. Kupikir ia hanyalah gadis yang mudah
ditiduri seperti harem-harem lainnya. Itu membuatku sedikit berhati-hati
padanya, jika ia tidak ingin berhubungan badan denganku lagi, itu akan menjadi
masalah berat. Tidak mungkin aku menghukumnya dengan hukuman yang berat jika
itu akan merusak keindahan tubuhnya! Kuhembuskan nafasku.
“Kau
adalah penyebab utama yang membangkitkan nafsuku,” ujarku membisikan doa. “Kau
harus bertanggungjawab, sebenarnya,”
“Bukan
keinginanku untuk membangkitkan nafsumu. Semuanya kembali padamu,”
“Nah,
inilah yang kubicarakan, kau adalah gadis yang sangat jujur namun tak
disaring,” aku menggeser tubuhku menjauh darinya agar aku dapat melihatnya. Ia
tampak sangat mungil, aku bisa saja membunuhnya dengan cara memeluknya selama
beberapa jam dengan sangat erat. Rambutnya yang panjang tertindih oleh
tubuhnya, mata hijau itu menatapku apa
adanya, tidak tersenyum. Bibirnya terkatup raput lalu lehernya bergerak menelan
ludah.
“Maaf,”
bisik Sherene menyesal. “Inilah aku. Aku rasa aku harus pergi agar kau bisa
tidur dengan tenang,” ujarnya tiba-tiba saja bangkit dari tempat tidurku. Panik
seketika menyerangku. Sialan! Dia sedang menggodaku. Ketika ia mulai bangkit,
tanganku menarik lengannya. Oh, dia sedang ingin bermain. “Tidak, biarkan aku pergi. Aku tidak cocok berada di
atas tempat tidurmu. Mulutku saja kotor,” ujarnya menarik lengannya dari
genggaman tanganku.
“Sherene,
aku tidak serius dengan apa yang kuucapkan,” aku menariknya agar kembali tidur
di atas tempat tidurku. Aku ikut bangkit agar dapat menahannya. Tangan kiriku
memegang pundak kanannya dengan tangan kananku memegang pundaknya yang lain.
“Aku tidak peduli apa kau sopan atau tidak selama kau ada di sisiku, itu tidak
apa-apa,”
“Tidak,
kau benar. Aku memang tidak pernah menyaring apa yang ingin kukatakan,” Sherene
mengangkat tangannya agar lengannya lepas dari genggamanku. Ia pintar
bersandiwara. Ini semakin membuatku bernafsu padanya. “Kau tidak
membutuhkanku,” gumamnya. Kulihat sudut bibirnya mulai terangkat, kepalanya
tertunduk berusaha untuk tidak terlihat lucu. Demi para dewa, ia sulit ditebak.
“Kau
bilang padaku untuk tidak bersenggama denganmu. Tapi kau yang memancingku,
Sherene,”
“Awalnya,
memang benar,” ujarnya sekarang terlihat lebih menyenangkan. Inikah candaan
dari seorang Sherene Madrigal? Penggoda dan sangat membangkitkan nafsu? Ia
jelas adalah penggoda cilik yang licik!
*Author POV*
Justin
memegang kedua bahu Sherene dengan tangannya yang besar. Jelas mereka sedang
berhadapan satu sama lain, Sherene sedang menahan tawanya ketika ia melihat
wajah Justin yang panik ketika ia hendak pergi dari tempat tidur. Berarti
Justin benar-benar menginginkannya seperti kejadian 10 tahun yang lalu ketika
Justin mengecup bibirnya. Justin masih menunggu lanjutan ucapan dari Sherene,
ia ingin kejelasan agar ia tidak menyakiti Sherene. Meski ia tahu ia tidak
mencintai Sherene tapi tetap saja, jika Sherene tidak ada di sisinya itu akan
menjadi bencana. Dan jika ia menyakiti Sherene, tentu ia tidak bisa bertemu
dengan Sherene kembali. Patricia pasti tidak akan mengizinkan Justin untuk
melakukan itu. Patricia adalah satu-satunya anggota keluarganya –meski Patricia
dan Ayahnya telah cerai—di istana yang ia patuhi. Ia adalah ibu tiri Justin,
dulunya. Dan Patricia memberi pesan pada Justin untuk tidak menyakiti Sherene
jika ia masih mau berhubungan Sherene.
Pipinya
bersemu merah. “Aku tidak ingin bersenggama,” gumamnya. “Aku ingin kau
menjilatiku di bawah sana,” lanjutnya. Apa? Justin melongo. Benarkah? Apa gadis
ini sedang mempermainkannya? Justin mau-mau saja melakukan itu, tapi ia juga
ingin kebutuhannya dipenuhi. Ia ingin mendapatkan pelepasannya juga. Apakah
mulut Sherene dapat membuatnya mendapatkan pelepasan? Mungkin. Ia hanya
melakukan itu dengan Cassandine, sebenarnya, Cassandine yang menunjukkannya
melakukan ‘senggama dengan mulut’. Tapi Sherene? Mulutnya sangat kecil, sudah
jelas ia tidak dapat memasukan alat vital Justin ke dalam mulut Sherene.
“Kau
benar-benar menginginkannya?”
“Aku
tidak tahu, percakapan yang kita bicarakan membuatku sedikit… bergairah,”
bisiknya. Sherene yang bergairah memang
terlihat lebih menggiurkan. Bahkan sudah berhasil membujukku untuk menjilatinya,
dalam hati Justin berkata.
“Jika
begitu, angkat gaunmu ke atas dan buka pakaian dalammu, kau penggoda cilik yang
licik!” Justin menggeleng-gelengkan kepalanya. Sherene menjauh dari tubuh
Justin, membuat tangan Justin yang menggenggam pundaknya lepas begitu saja.
Malu-malu ia membuka pakaian dalamnya dengan posisi terduduk, lalu ia melemparnya
ke atas lantai samping tempat tidurnya. Ia menutup lututnya rapat-rapat
kemudian menundukkan kepalanya.
“Apa
masalahmu di sana, gadis kecil?” Justin merangkak mendekatinya.
“Aku
hanya malu…” Sherene mendongakkan kepalanya. “Oh, aku sangat naïf. Di satu sisi
aku menginginkannya, tapi di satu sisi aku malu,”
“Tidak
ada yang perlu kau permalukan,” bisik Justin yang telah berada di depan kedua
lutut Sherene. Ia pelan-pelan membuka kedua lutut itu, kemudian pemandangan
indah terpampang indah di hadapannya. Tidak ada bulu, mungil dan …basah. Justin
bahkan tidak memberikan rangsangan apa pun! “Kau selalu membuatku terkejut.
Entah mengapa,” gumam Justin menenggelamkan kepalanya di antara paha Sherene
yang putih. Saat itu juga tubuh Sherene menegang, ia jatuh ke terlentang. Kedua
tangannya menegang begitu saja, jari-jarinya mencari sesuatu yang dapat ia
remas. Bibir Justin mengapit bagian sensitifnya—klitoris—lalu menjilatnya
pelan-pelan. Menyapunya hingga cairan Sherene terus mengalir. Pinggul Sherene
bergerak-gerak, namun kedua tangan Justin menahan paha Sherene agar Sherene
tetap diam.
“Oh
ya… benar, di sana!” Sherene menggeleng-gelengkan kepalanya, dadanya membusung
ke atas. “Demi para dewa, raja!” Lidah Justin menghujam lubang bagian bawah
Sherene. Sherene tidak dapat merapatkan pahanya, tangan Justin menahannya.
Tubuhnya bergetar seketika. Ini bahkan tidak sampai 5 menit. Tapi Sherene sudah
merasa akan meledak.
“Oh,
sial,” kata kotor itu terucap begitu saja. “Raja aku…” tapi tidak ada kata-kata
yang keluar selain erangannya yang kencang serta kedua kakinya yang menegang,
bersama dengan perut.
Semuanya
terjadi sangat cepat.
***
Dari
kegelapan, ia mengerjap-kerjapkan matanya mencari terang. Bulu matanya
samar-samar terlihat di penglihatannya sampai pada akhirnya ia benar-benar
membuka matanya sehingga bulu matanya tak terlihat. Hanya sinar matahari dari
pintu balkon yang menyinari kamar raja. Gadis yang berbaring di sebelah raja
masih berusaha mengumpulkan jiwanya yang terpisah-pisah. Ia mulai merasakan berat
tangan dari raja yang berada di pinggangnya. Kulitnya dengan kulit raja
bersentuhan. Oh, ia berhubungan badan lagi dengan raja. Malam yang aneh. Ia
tidak pernah merasa begitu nakal seperti tadi malam dan ia sangat menyesali apa
yang ia perbuat. Seharusnya ia mendengar perkataan Patricia untuk tidak
berhubungan badan dengan Justin karena ketika Patricia berusaha menyisir rambut
Sherene, ia melihat tanda-tanda biru di sekitar lehernya. Tentu itu akan memicu
orang-orang bertanya apa yang terjadi pada Sherene. Raja sudah kelewatan
berhubungan badan dengannya.
Tubuh
Sherene terasa begitu lemas. Mungkin ia sakit. Kepalanya dari tadi malam sangat
pening. Ditambah lagi ia harus berhubungan badan lagi dengan raja yang semakin
mendukung keadaannya semakin memburuk. Raja terasa sangat dingin di atas
tubuhnya, mungkin ia demam. Ia kurang yakin akan kesehatannya. Keningnya
mengerut ketika pening itu kembali menyerang kepalanya. Rasanya ia tak sanggup
untuk mengangkat tangan Justin dari lengannya. Ia harus melakukan sesuatu untuk
pergi dari kamar raja. Bagaimanapun juga ia harus menghargai perasaan
Cassandine sebagai calon ratunya –tadi malam ia benar-benar mabuk. Sherene
hanya kesal semalam, serangan panik, yang membuatnya harus menenangkan diri
dengan anggur yang membuatnya berakhir dengan tubuh yang kurang sehat.
“Yang
Mulia,” bisiknya pelan, bahkan tidak akan ada yang bisa mendengar. Ia menelan
ludahnya lalu berdeham dua detik. “Yang Mulia,” panggilnya.
“Mhmm,”
gumam Justin yang langsung terjaga meski matanya masih tetap terpejam. Tangan
Justin memeluk tubuh Sherene, kepalanya berada di atas kepala Sherene, kakinya
menindih kaki Sherene.
“Aku
harus pergi ke kamarku,” gumam Sherene sungguh pelan. Justin hanya mendengar
beberapa kata dari mulut Sherene. Mata Justin terbuka saat itu juga, mata
cokelat indahnya, ia mengerjap-kerjap matanya untuk beberapa detik. “Aku harus
pergi ke kamarku,” kembali Sherene berucap, kali ini terdengar lebih jelas.
“Badanmu
panas,” ujar Justin mengangkat tubuhnya dari Sherene. Ketika Justin benar-benar
mengumpulkan jiwanya, ia dapat merasakan kulit Sherene yang terasa panas,
padahal mereka hanya menutupi tubuhnya dengan selimut sebatas betis. “Apa kau
sakit?”
“Mungkin,
aku tidak yakin,” gumam Sherene sebisa mungkin bangkit dari tempat tidur
Justin. “A-aku akan menyiapkan sarapan untukmu, Yang Mulia,” ujar Sherene
menemukan suara sepenuhnya. Kakinya yang mungil itu menyentuh lantai kamar
raja, ia mencari-cari sandal sederhananya lalu memakainya ketika ia
menemukannya. Justin menahan tangan Sherene saat Sherene mulai bangkit dari
tempat tidurnya.
“Tidak
perlu, kau harus istirahat. Biar aku antar kau ke kamarmu,”
“Tidak
perlu, Yang Mulia, terima kasih,” Sherene menolaknya dengan penuh dengan
kesopanan. Akhirnya Sherene dapat menemukan kesopanannya kembali. Mungkin ia
memang tidak bersikap ketika ia sedang bersenggama dengan raja. Lagi pula raja
Justin tidak begitu peduli dengan kesopanan Sherene ketika sedang bersenggama
dengannya, tapi ia sangat menghargai Sherene jika di luar kamarnya, Sherene
bersikap sopan. Mungkin Sherene akan menjadi ratu.
“Sherene,
biar aku antar, jika tidak kau akan pingsan,” Justin memaksa. Justin menggeser
tubuhnya ke tepi tempat tidur –di sebelah Sherene—kemudian ia memegang lengan
Sherene agar bangkit dari tempat tidur. Sherene bangkit, ada jeda beberapa saat
ketika Sherene memerhatikan Justin, ia merasa ada sesuatu yang kurang dari
Justin. Oh, ia baru sadar sekarang. Justin belum memakai jubahnya. Dengan penuh
perhatian, Sherene berjalan ke salah satu kursi yang menyangga jubah Justin di
sana. Tangannya yang mungil meraih jubah itu kemudian ia berjalan ke arah
Justin kembali.
“Jubahmu,
Yang Mulia,”
“Kau
terlihat sangat manis saat kau bersikap sopan,” komentar Justin sambil memakai
jubahnya. Pening memang menyerang Sherene tiap detik, tapi Justin memang tetap
bisa membuat pipi Sherene memerah dan terbang. “Apa keahlianmu hanya memerahkan
pipi?”
“Bukan
keinginanku mendapatkan keahlian itu, Yang Mulia,” Sherene menjawab seadanya.
Penuh perhatian, Justin memegang kembali lengan Sherene setelah ia selesai
memakai jubahnya yang panjang. Satu hal yang mereka lupakan adalah Sherene
belum memakai pakaian dalamnya. Tapi siapa yang peduli? Tidak akan ada yang
memerhatikan. Justin membuka pintu kamarnya, mengajak Sherene keluar, dan
kejutan yang tidak diharapkan muncul di hadapan mereka.
“Oh,
Justin, aku baru saja ingin masuk… oh,” Cassandine muncul dengan segala
keanggunanya, pakaian berwarna merah dan rangkaian bunga di sekitar kepalanya.
Sherene mengutuk gadis yang ada di hadapannya. Rangkaian bunga itu pasti hasil
karya Patricia! Entah mengapa Sherene merasa cemburu seketika setelah ia
menyadari betapa sayangnya ia terhadap Patricia. Cassandine memiliki warna mata
hitam yang penuh dengan kemisteriusan, ia menatap Sherene dengan tatapan
terkejut sekaligus terpukau. Jelas Sherene mengintimidasi Cassandine melalui
kecantikannya, Cassandine kalah telak jika ia harus melawan Sherene dalam lomba
kecantikan. Ketegangan mulai menyeruak masuk ke dalam suasana. Justin tegang,
begitu juga dengan Sherene, meski Sherene menundukkan kepalanya.
“Selamat
pagi, Yang Mulia,” ujar Cassandine mengangkat gaunnya dengan kedua tangannya
dengan tubuh yang setengah membungkuk. “Jika boleh aku bertanya, siapakah gadis
cantik yang ada di hadapanku?” Kesopanan memang segalanya.
“Cassandine,”
gumam Justin tenang. Ia memang pintar bersandiwara. “Sherene Madrigal, pelayan
istanaku. Dia termasuk haremku. Masuklah ke kamarku terlebih dahulu, aku ingin
mengantar Sherene ke kamarnya,”
Sherene
mengintip dari bawah ke arah Justin. “Aku bisa pergi ke kamar sendiri, Yang
Mulia, tidak apa-apa,” ucap Sherene menarik lengannya dari genggaman Justin
agar ia dapat lepas dari tatapan Cassandine yang tentu saja, Cassandine tidak
menyukainya. Terlihat dari nada bicara Cassandine yang entahlah …ada kesan
negative yang Sherene dapatkan ketika suara itu keluar dari mulut Cassandine.
Namun kembali, Justin meraih lengannya dengan sigap.
“Kau
yakin?” Tanya Justin ragu-ragu melepaskan Sherene. Cassandine melihat pertunjukan
sandiwara di depannya dengan tatapan tidak suka. Rasanya ia ingin
mengetuk-ketuk ujung kakinya ke atas lantai memberitahu pada mereka bahwa ia
bosan dengan pertunjukan yang dipertontonkan. Cassandine menilai penampilan
Sherene. Rambut panjang yang tergerai, mata hijau, bibir ranum berwarna merah
jambu, hidung mancung dengan postur tubuh yang tidak begitu tinggi serta
mungil. Bagaimana bisa Justin tertarik dengan gadis ini? Api cemburu mulai
menyala, membakar hatinya, namun ia masih tidak ingin menambahkan kayu-kayu.
“Yang
Mulia, bukankah kau berjanji padaku pagi ini kita akan pergi?” Cassandine mulai
membuka mulutnya saat Justin dan Sherene sedang bertengkar hanya karena masalah
Sherene tidak ingin diantar oleh Justin. Mengapa Justin bisa begitu peduli
dengan Sherene? Tapi tidak ketika Cassandine sudah berbicara. Pertengkaran
mereka berakhir, akhirnya.
“Ya,
tentu saja. Tapi aku harus membersihkan tubuhku terlebih dahulu,” ujar Justin
pada Cassandine lalu ia menolehkan kepalanya pada Sherene. “Sherene, kau yakin
kau bisa pergi ke kamarmu sendiri?”
“Aku
berjanji padamu, Yang Mulia, aku akan sampai ke kamarku tanpa kekurangan suatu
apa pun,” ucap Sherene meyakinkan. Pelan-pelan Justin melepaskan kulit Sherene
yang panas itu, detik setelahnya, Sherene mulai berjalan pergi menuruni tangga
menuju kamarnya. Rambutnya yang panjang itu berterbangan saat angin menerpanya
namun menghilang ketika Sherene telah mencapai tangga yang kesekian. Cassandine
menatap Justin yang memerhatikan Sherene, ia cukup cemburu. Api cemburunya
telah padam setelah gadis itu pergi dari hadapannya. Kecantikannya jelas
mengalahkan kecantikan Cassandine yang hanya memiliki rambut hitam panjang
serta mata berwarna hitam. Sedangkan gadis itu, mata hijau dan rambut emas madu
panjang? Meski Cassandine cukup yakin Justin tidak akan meninggalkannya.
Apalagi setelah ia mengetahui Justin adalah seorang raja. Ia pikir, saat Justin
memberitahu Cassandine untuk datang ke Persia, Justin mengajaknya untuk memulai
kehidupan yang baru bersama-sama. Memang benar, Justin mengajaknya, tapi dengan
keadaannya sebagai raja. Ini nilai tambah yang benar-benar lebih.
“Apa
yang kaulakukan dengannya? Dia sepertinya tidak memakai pakaian dalamnya,”
“Tidak
ada yang perlu kaubicarakan tentangnya, masuklah ke kamar,” suruh Justin
merangkul Cassandine dan membuka pintu kamarnya kembali. Justin hanya tidak
ingin membicarakan apa yang ia lakukan bersama Sherene di luar kamarnya,
terlebih lagi, ada dua orang prajurit yang berada di depan pintunya tiap pagi
sampai sore. Justin sadar betul apa yang sedang ia lakukan, ia sedang membuat
dirinya dalam kesusahan. Tapi tidak ada yang dapat menghentikannya untuk
mendapatkan Sherene, sekalipun itu Cassandine.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar