Sabtu, 21 September 2013

Innocent Bab 7



***

            Sherene sedang berada di dalam taman puri. Duduk di salah satu tangga dengan wajah yang pucat. Tubuhnya sudah tidak panas lagi setelah ia meminum susu yang dibuatkan oleh Patricia. Namun nafsu makannya berkurang. Setelah ia melihat Cassandine, oh, ini semakin buruk. Benar, alam bawah sadarnya memberitahu padanya bahwa Cassandine akan menjadi ratunya. Jelas Justin mencintai Cassandine dan lebih menginginkan Cassandine dibanding Justin menginginkannya. Untuk apa ia mengharapkan seorang raja? Ia ingin pergi keluar lagi dengan Khazaz, membeli minyak wangi lalu menikah dengan Khazaz. Apa itu benar-benar jalan yang tepat agar ia dapat melupakan raja? Tindakannya tadi adalah tindakan yang salah. Seharusnya ia membiarkan Justin mengantarkannya ke kamar sehingga Cassandine akan cemburu lalu beberapa bulan kemudian, jika mereka menikah, Cassandine tentu akan mengusirnya dari istana karena Sherene selalu mendekati raja. Nah, jika begitu, itu akan membuatnya merasa bebas. Ia dapat mencari pekerjaan, kekasih yang ia mau, lalu menikah dan memiliki anak. Tidak ada yang lebih menyenangkan dari alam luar.
            Mungkin itu karena Sherene hanya satu kali pergi keluar dari istana, itupun kemarin. Dan raja marah padanya. Apa ia berani pergi keluar lagi dengan Khazaz? Lagi pula raja Justin tidak ada di istana, ia juga sedang menikmati waktu-waktu berkualitasnya dengan Cassandine, calon ratu.
            “Cassandine,” gumam seorang wanita setengah baya. “Pasti dia yang sedang kaupikirkan,” lanjut wanita itu yang tidak lain adalah Patricia.
            “Hampir betul, tapi aku sedang memikirkan apakah aku bisa pergi keluar dari istana hari ini bersama dengan Khazaz,” ujar Sherene segera menyandarkan kepalanya ke atas bahu Patricia. Apa pun yang Patricia beritahukan Justin tentang Sherene adalah untuk kebaikan Sherene. Ia ingin Sherene merasakan kasih dari seorang raja. Patricia memang tahu, Justin mencintai Cassandine, tapi dari apa yang ia telaah beberapa tahun ini, Sherene memang satu-satunya untuk Justin. Jika Justin tidak memperlakukan Sherene sebaik mungkin, ia tentu akan memarahi Justin. Memberitahu Justin kembali bahwa selama 10 tahun Sherene telah menunggu untuknya dan Justin kembali hanya untuk merasakan tubuh Sherene semata? Patricia akan berterima kasih pada dewa jika Sherene hamil karena Justin. Sherene akan menikah dengan Justin, perhatian Justin akan lebih mengacu pada Sherene, dan apa itu tidak dapat menggerakan hati Justin untuk mencintai Patricia? Ini hanyalah sedikit dari skenario yang ia buat. Ia dapat merasakan reaksi yang berbeda ketika mereka bersama.
            “Jangan,” Patricia memperingati. “Jika kau tidak ingin Justin marah padamu,”
            “Tidak apa-apa. Aku hanya tidak peduli lagi. Ia mencintai Cassandine, aku ingin kebebasanku sekarang. Mengapa ia dapat bersenang-senang dan aku tidak?” Tanya Sherene mengerutkan kening. Patricia terdiam. Ya, Sherene sudah tahu jawaban apa yang akan ia dapat. Sungguh tidak adil. Ia bangkit dari tangga, berniat untuk pergi keluar dari purinya, mencari Khazaz. Ia harus memberontak!

***

            Sherene berlari-lari penuh dengan keceriaan. Ia tidak pernah merasa begitu bahagia. Khazaz bermain dengannya bagaikan anak kecil. Tidak di dalam istana, ia tahu ia sedang memberontak, tapi ini menyenangkan. Jika boleh, ia akan melakukannya terus menerus. Khazaz tampak tampan dari jarak jauh dari balik pohon kelapa. Mereka sedang berada di pinggir pantai, perjalanan yang cukup jauh untuk mencapai pantai dari istana. Namun kebahagiaan yang ia dapatkan benar-benar sebanding dengan perjalanan yang ia tempuh. Si mata hijau itu sedang berusaha pergi dari Khazaz yang akan segera menggelitiki tubuhnya, seperti yang kita tahu, Sherene adalah gadis yang peka. Itu semua juga karena salahnya sendiri karena telah mengejek Khazaz.
            Rambut Sherene tidak terikat ketika ia keluar dari istana, tapi dengan otak, Sherene mengambil akar-akar pohon yang ia dapat dipinggiran pantai. Akar-akar pohon itu cukup panjang dan ya, bisa mengikat rambutnya. Jaraknya berdiri dengan jarak Khazaz tidak begitu jauh. Jika Khazaz dapat berlari seperti harimau, kemungkinan besar ia dapat meraih tubuh Sherene yang mungil.
            “Hanya itu yang kaupunya, Panglima?” Sherene berteriak –berusaha. “Hanya itu yang kaupunya?” Teriak Sherene kembali menggoda Khazaz. Bagi Khazaz, inilah yang ia harapkan sejak kemarin. Mengapa ia tidak membawa Sherene ke pantai saja? Berenang bersama jika perlu. Semakin ke sini, Khazaz semakin yakin, Sherene menyukainya.
            “Kau menantangku?” Khazaz melangkahkan kakinya satu langkah, namun itu berhasil membuat Sherene berlari cukup jauh darinya, sangat ketakutan. “Kau seperti rusa yang akan dimakan oleh harimau,”
            “Kau memang harimau! Ish, sangat menjijikan jika kubayangkan mereka memakan rusa secara hidup-hidup,” ceracau Sherene berhenti berlari. Jarak mereka semakin jauh.
            “Tidak,” Khazaz menggeleng-gelengkan kepalanya. “Pertama, mereka akan menggelitik mangsanya terlebih dahulu. Lalu ia akan mencium-ciumnya dan berakhir dalam kegelapan,” jelas Khazaz yang tentu saja tahu apa yang sedang ia bicarakan. Sherene mengerti apa yang Khazaz sedang bicarakan, namun itu bukan Khazaz yang Sherene kenal. Bagaimana bisa Khazaz mengatakan itu? Apa Khazaz ingin menciumnya dan menidurinya sama seperti Justin menidurinya? Mengingat Justin membuatnya kembali kesal. Rasanya ia ingin mengambil batu dan menimpuki Cassandine agar Justin bersama dengannya. Ia kesal dengan Justin karena memberikan harapan yang tak pasti pada Sherene.
            “Baiklah,” gumam Sherene. “Bisa kita istirahat sebentar?” Tanya Sherene duduk di atas pasir putih yang ia pijak. Senyum Khazaz yang lebar itu langsung saja surut. Dia sudah melewati batas! Segera Khazaz berlari menuju Sherene dan duduk di sebelahnya.
            “Sherene? Jika itu menyinggungmu, dengan kerendahan hati, aku sangat minta maaf. Aku tidak bermaksud,” Khazaz menatap Sherene hati-hati. Sherene menyunggingkan senyum kecut.
            “Tidak, bukan itu,” gumamnya. “Tiba-tiba aku berpikir tentang raja. Apa menurutmu raja serasi dengan Cassandine?” Sherene bertanya pasrah.
            “Raja dan Cassandine?” Khazaz bertanya, terkejut. Mengapa tiba-tiba Sherene membicarakan tentang raja? Khazaz berdeham. “Ya, mereka serasi,” lanjut Khazaz. Tentu Khazaz akan berucap seperti itu karena Khazaz menyukai Sherene. Ia tidak ingin jika ia mengatakan hal yang sebaliknya setelah apa yang ia katakan tadi pada Sherene, Sherene akan menginginkan raja lebih lagi. Khazaz tahu Sherene mencintai Justin, dan semakin ia mendukung hubungan Justin dan Cassandine, itu pasti akan membuat harapan Sherene pupus dan beralih pada Khazaz. Khazaz tidak ingin mengambil resiko apa pun.
            Sherene mendesah. “Kau jujur?”
            “Ya. Mereka mempunyai banyak kesamaan. Tinggi mereka, selera mereka yang sama, mereka sopan. Cassandine cantik dan raja …kau tahu sendiri bagaimana tampannya dia bagi para harem. Mereka adalah pasangan yang serasi,” jelas Khazaz semakin meyakinkan Sherene bahwa Sherene bukanlah yang terbaik bagi raja. “Mengapa? Kau mencintainya?”
            “Dulu.” Bisik Sherene.

***

            Justin mengecup Cassandine dengan penuh kelembutan ketika malam mulai menemani mereka. Di balik kecupan yang lembut itu, Justin sebenarnya benar-benar marah. Ia hanya tidak ingin memperlihatkannya pada Cassandine. Di atas tempat tidur Cassandine, Justin menindih tubuh Cassandine, mereka saling bertatapan. Jari-jari Cassandine menelusuri rambut Justin yang tebal berwarna cokelat kehitaman. Hari ini adalah hari yang paling menyenangkan bagi Cassandine. Terlebih lagi kejadian tadi pagi, ia merasa menang karena Justin lebih memilihnya dibanding Sherene.
            “Apa kau mencintaiku?” Cassandine bertanya, ia menyelipkan rambut Justin yang cukup panjang itu ke belakang telinga Justin, tapi tidak berhasil, rambut itu kembali pada tempatnya. “Karena aku mencintaimu,”
            “Tentu saja,” gumam Justin mengecup-kecup bibir Cassandine beberapa kali. “Siapa yang tidak mencintaimu? Kau wanita yang pintar, cantik, dan sopan,”
            “Bagaimana perasaanmu terhadap Sherene?” Pertanyaan sederhana yang Justin dapat mereka-reka jawabannya membuatnya tertegun sejenak. Ia menatap Cassandine sambil ia menjilat bibirnya. “Apa dia gadis yang manis? Ia sepertinya baru berumur 18 tahun,”
            “22 tahun lebih tepatnya,” cepat-cepat Justin mengoreksi ucapan Cassandine. “Ya, dia gadis yang manis. Tapi dia tidak sopan. Aku tidak mencintainya seperti aku mencintaimu. Ia hanyalah …haremku,” jelas Justin enggan mengatakan bahwa Sherene adalah haremnya.
            “Dia cantik,” puji Cassandine, terpaksa. “Apa kau akan menikahiku, Justin?”
            “Ya,” bisik Justin mengecup bibir Cassandine untuk yang kesekian kalinya kemudian ia bangkit dari tubuh Cassandine. “Tidurlah, aku harus mengurus sesuatu,”
            “Kapan kau akan menikahiku?” Cassandine menahan tangan Justin saat Justin beranjak dari tempat tidurnya. Ia menautkan kedua alisnya menatap Justin, seolah-olah ia sangat berharap Justin akan menikahinya.
            “Suatu saat nanti.” Gumam Justin menarik tangannya dari genggaman Cassandine. Selama beberapa detik, ia menatap Cassandine seperti ia menatapi Sherene. Bukan! Cassandine terlihat seperti Sherene. Apa dia Sherene? Itu hanya halusinasi. Justin membuka pintu kamar Cassandine dan menutupnya. Sudah berkali-kali ia menghitung satu sampai sepuluh tapi ia tidak berhasil untuk memadamkan amarahnya. Ia suduh cukup muak dengan tingkah Sherene. Apa maksudnya bersenang-senang dengan panglima Khazaz? Apa Khazaz ingin berakhir di atas pohon dengan keadaan tergantung dan terpajang di tengah-tengah kota? Khazaz yang bodoh. Justin berjalan menuju kamar Sherene sambil membisikan doa agar ia tidak menyakiti Sherene meski ia marah.
            Namun membayangkan Sherene tertawa bersama dengan Khazaz membuatnya membanting pintu harem. Ia masuk ke dalam lorong untuk mencari kamar Sherene. Apa tubuh Sherene telah disentuh oleh Khazaz? Wanita murahan! Wanita dursila! Justin mengutuk Sherene. Justin sudah berkali-kali memberitahu Sherene, tidak boleh ada yang menyentuh Sherene selain dirinya. Sherene harus bersih di tangannya, tidak boleh ada tangan yang menyentuhnya. Tapi Sherene sedang menguji Justin. Dan inilah hasil yang Sherene dapatkan. Amarah dari sang Raja Xerxes. Ketika Justin telah berada di depan pintu kamar Sherene, ia menghitung satu sampai sepuluh. Sepuluh. Tapi tidak berhasil. Ia membuka pintu kamar Sherene, mendorongnya dengan kasar.
            “Oh! Demi para dewa siapa pun itu aku sedang…” kata-kata yang keluar dari mulut Sherene berhenti ketika Sherene melihat sang raja masuk ke dalam kamarnya. “Mengganti pakaian.”
            “Kau pikir kau bisa lari dariku setelah kau bersenang-senang dengan Khazaz sialan itu? Di sini amarahku sekarang! Beritahu padaku, sekaya apa dia sampai-sampai kau ingin ditiduri olehnya? Aku bisa menghancurkannya maka kau akan menjadi milikku seutuhnya!”
            “Demi para dewa, Yang Mulia, aku tidak mengerti apa yang kaubicarakan,” Sherene terkejut dengan apa yang raja katakan. Tidur dengan Khazaz? Tidak mungkin! Bagaimana bisa …? Pintu tertutup. Terkunci. “Aku hanya pergi berjalan-jalan dengannya ke pantai, Yang Mulia,”
            “Dengan tujuan membuatku cemburu? Jika benar, itu berhasil,” Justin benar-benar marah.  Ia mendekati Sherene lalu menarik kasar lengan Sherene agar berdiri di dekatnya. Pakaian yang baru saja menutupi tubuh Sherene dengan segera dirobek oleh Justin dalah satu hentakan. Buah dadanya langsung saja terlihat dari depan. “Aku bisa membayarmu sepuluh kali lipat dari yang telah ia berikan padamu!” bentak Justin menarik kasar pakaiannya.
            “Yang Mulia, tidak!” Sherene memberontak. Ia menarik tubuhnya dari Justin dan masih berusaha agar tubuhnya tertutupi oleh pakaian. “Aku tidak tidur dengannya!”
            “Aku sangat membencimu, Sherene Madrigal.” Bisik Justin mengamini perkataannya.
***

            Sherene masih berusaha untuk menarik tubuhnya dari pelukan Justin. Tangannya berusaha menyentuh palang pintu yang mengunci kamar. Air matanya telah mengalir, rasanya sia-sia jika ia berteriak, tidak akan ada yang mendengarnya. Teriakannya seolah-olah tak nyata, hanya mulutnya saja yang terbuka. Air matanya mengalir saat ia merasa kesakitan saat Justin berusaha menarik pakaiannya. Ia berharap Justin tidak menarik rambutnya.
            “Kemari kau!” Tapi ternyata Justin menjambak rambutnya yang terikat itu dengan kencang hingga ia jatuh ke atas tempat tidur. Tubuhnya terbanting, punggungnya seperti tertampar begitu saja, tapi ia tidak mempunyai banyak waktu untuk menangis. Ia segera bangkit dari tempat tidur, merangkak ke seberang tempat tidur. Sprei putihnya langsung saja teracak! Tapi kakinya yang mungil diraih oleh tangan Justin dengan gerakan sigap. Sherene tidak cukup cekatan untuk pergi dari genggaman Justin.
            “Tidak, Yang Mulia!” Tangisan Sherene memecah. Kedua tangannya meremas spreinya. “Kumohon jangan sakiti aku!”
            “Terlambat! Kau yang memintanya padaku, Sherene!” Bentak Justin tak berhenti menarik-tarik pakaian Sherene agar benar-benar lepas dari tubuh Sherene. Tidak, Justin belum memukul Sherene, belum saatnya. Ia masih menjambak. Dasar gadis lemah sialan! Justin terus mengutuk Sherene dengan kosa kata kotornya yang ia miliki. “Seorang harem tidak berhak keluar dari istana! Terlebih lagi dengan seorang panglima! Kau taruh dimana harga dirimu, wanita murahan? Aku sudah memperingatimu kemarin bahwa aku marah mendengar kau keluar bersama dengan Khazaz! Semuanya adalah salahmu jika ia berakhir di atas pohon di tengah-tengah kota dengan keadaan menggantung!” Justin membalikkan tubuh Sherene agar Sherene dapat terlihat. Buah dadanya terpampang jelas di depan matanya, ia nafsu sekaligus marah pada gadis kecil ini.
            “Jangan sakiti dia, Yang Mulia, kumohon,” pekik Sherene terkejut sekaligus memohon ketika Justin mulai menarik kasar pakaian dalam yang Sherene kenakan.
            “Mengapa? Kau mencintainya? Kupikir kau mencintaiku!” Teriak Justin menampar pipi Sherene yang tembam itu dengan tangannya yang besar. Pipinya langsung saja memerah, kali ini bukan karena ia tersipu malu. Ia disakiti secara fisik dan ia tidak pernah tahu seperti inilah rasanya. Sangat sakit. Sherene tidak pernah dipukul oleh siapa pun. Termasuk Patricia. Justin adalah orang pertama yang menyakiti hati Sherene sekaligus tubuhnya. Bagaimana bisa Sherene jatuh cinta pada orang yang salah? Namun Sherene memiliki suatu perasaan yang tidak dapat ia jabarkan, hatinya terus menerus memilih Justin akan menjadi pasangan hidupnya, tapi mengapa ini yang ia dapatkan? Mulutnya membeku, tangisannya terhenti, namun ia terisak.Keheningan mulai melingkupi mereka. Justin berada di atas tubuh Sherene dengan tatapan api menyala. “Jawab aku, bisu!”
            Satu kali lagi Justin menampar Sherene, kali ini hingga sudut bibir Sherene berdarah. Namun Sherene mati rasa. Sherene bahkan tidak menolehkan kepalanya untuk menghadap Justin, ia tidak berani menatap mata Justin yang penuh dengan api amarah. “Dulu,” bisik Sherene. Lalu ia menolehkan kepala pada Justin.
            “Dulu aku memang mencintaimu sebelum kau menyebutkan wanita dursila itu! Cassandine Jalang Xerxes! Aku sudah memberitahumu bahwa aku mencintaimu, tapi apa yang kaubalas? Tidak ada kata cinta! Aku membencimu sekarang! Kau seharusnya memikir dengan otakmu yang cerdas, aku adalah gadis yang menunggu selama 10 tahun hanya untuk lelaki bejat sepertimu! Tapi oh, aku memang gadis yang bodoh telah menunggumu selama 10 tahun,” jelas Sherene, dalam beberapa kata ia meninggikan nada bicaranya. “Oh, seharusnya aku menikahi Khazaz,” gumamnya menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia lelah memberontak pada Justin. Tapi kembali Justin menampar pipinya.
            “Jaga mulut kotormu itu, Sherene Madrigal,” Justin memperingati. Tidak ada belas kasihan kali ini. Ini sangat aneh.
            “Kau benci fakta bahwa kau mencintaiku, Justin Cyrus Xerxes! Kau tidak mungkin sibuk-sibuk mencariku hanya karena aku pergi bersenang-senang dengan panglima. Kau tidak mungkin ingin membunuh panglima hanya karena ia pergi dengan salah satu haremmu! Kau sangat egois,” jelas Sherene menatap Justin dengan tatapan tajam. Entah ia mendapat keberanian dari mana hingga ia dapat mengatakan hal-hal itu dengan berani. Kali ini Justin tidak menamparnya. Darah segar itu masih mengalir di sudut bibir Sherene. Bahkan gadis itu tidak memekik ketika Justin menamparnya, tentu saja, Sherene sudah mati rasa. Ia lelah. Tapi ia tidak akan berhenti pergi dari Justin jika Justin berusaha untuk memakai tubuhnya kembali. Sudah cukup raja egois ini memakainya.
            “Alasan bodoh,” komentar Justin. “Tidak ada alasan pasti mengapa aku mencintaimu. Kau hanyalah seorang harem yang kupakai jika aku butuh,”
            “Bajingan,” gumam Sherene, tak mabuk, ia membuang muka dari Justin.
            “Oh, Sherene Madrigal, aku tidak ingin menyakitimu jauh lebih lagi tapi kau yang meminta,” Justin melenguh di atas tubuhnya dengan kepala yang menunduk.
            “Sakiti aku, maka kau tidak akan pernah bertemu denganku lagi,” ucap Sherene yang berhasil membuat Justin mendongakkan kepalanya.
            “Kau berani?”
            “Tidak ada yang dapat menghentikanku,” gumam Sherene. “Sekalipun seorang raja.” Lanjut Sherene kembali menatap Justin. Ia tiba-tiba merasa lebih kuat, tapi ia tahu, kekuatannya tidak akan pernah bisa melebih kekuatan raja. Beberapa detik Justin kagum terhadap Sherene yang memiliki keberanian yang cukup untuk melawannya, dan juga cukup membawanya kepada kesakitan.
            “Coba aku.” Bisik Justin mulai menarik menjambak rambut Sherene. Sherene memekik. Sial!

***

            Pagi itu keadaannya benar-benar buruk. Justin meninggalkan Sherene dengan keadaan yang tak dapat dijabarkan dengan kata-kata. Wajah Sherene memar, hidungnya juga berdarah, dan banyak sekali jejak yang Justin tinggalkan di sekitar dada sekaligus leher Sherene. Justin menyakiti Sherene tak tanggung-tanggung. Sprei putihnya menutupi buah dada Sherene hingga pahanya. Rambutnya acak-acakan, ia benar-benar baru saja melawan singa dan ia kalah. Tidak ada yang menyadari keadaan Sherene, padahal pintu kamarnya terbuka lebar, sampai Chista masuk ke dalam kamarnya. Mata Chista membulat ketika melihat sahabatnya yang keadaan tubuhnya benar-benar hancur. Sherene tidak pernah terlihat seburuk itu. Siapa yang tega melakukan hal keji itu pada Sherene? Siapa yang telah melukai Sherene? Ia mendekati Sherene. Seharusnya sekarang Sherene sudah memberikan sarapan pada sang raja. Raja! Demi dewa matahari, apakah raja yang menyakiti Sherene hingga seperti ini?
            “Sherene? Kau dengar aku?” Chista bertanya dengan nada suara yang was-was. Entah apa yang harus ia perbuat selain ia mengangkat leher Sherene agar ia dapat menumpukan kepalanya ke atas bantal. “Sherene?” Tiba-tiba saja prasangka bahwa Sherene meninggal menyerangnya, namun menghilang ketika ia masih dapat merasa detak jantung Sherene di dada. Ia butuh Patricia. Chista keluar dari kamar Sherene, namun sebelumnya ia menutup pintu kamarnya agar orang lain tak dapat melihat.
            Ketika Chista keluar dari harem, ia melihat dari jarak jauh, di tengah-tengah lapangan …Raja Justin bersama dengan Cassandine sedang bermesraan. Mereka bagaikan dua pasangan yang tidak pernah bertemu selama bertahun-tahun. Dari tadi Justin memegang pipi Cassandine dan mengecup bibirnya berkali-kali. Chista berjalan melewati koridor untuk pergi ke dapur yang dimana, memang di sana Patricia bekerja. Namun matanya sedari tadi tak lepas dari raja. Kereta kuda telah berhenti di depan keduanya ketika mereka sedang sibuk-sibuknya berciuman. Apa mereka tak punya malu berciuman di depan umum? Namun siapa yang peduli? Cassandine masuk ke dalam kereta kuda bersama dengan raja Justin. Mereka ingin pergi kemana? Jawabannya tak ia temukan dalam pikirannya saat ia tak sengaja menabrak seseorang.
            “Oh, aku sungguh minta maaf,” Chista dengan segala kesopanannya mundur ke belakang dan membungkukkan tubuhnya. “Aku sungguh minta maaf, tapi aku sedang buru-buru,”
            “Chista, ada apa?” Panglima Khazaz ternyata yang ia tabrak. Pipinya bersemu merah. Lelaki ini juga termasuk lelaki yang ia sukai. Tentu saja, panglima Khazaz sangat tampan. Khazaz tahu siapa Chista, ia adalah sahabat terdekat Sherene setelah Patricia. Chista membisu untuk beberapa saat lalu ia membuka mulutnya.
            “Sherene,” gumamnya. Baru saja ia ingin melanjutkan ucapannya, Khazaz telah memotongnya.
            “Ada apa dengan Sherene? Apa dia baik-baik saja?” Nada suara yang dikeluarkan Khazaz benar-benar menandakan ia khawatir. Kedua alisnya bersatu dan keningnya mengerut. Bahkan tak sadar, Khazaz telah memegang kedua bahu Chista. “Maaf,” ia segera melepaskan tangannya dari bahu Chista.
            “Ia sedang dalam keadaan yang buruk. Aku membutuhkan Patricia. Tubuhnya memar,” Chista menjelaskan. Mata Khazaz kali ini membulat. Tidak ada hujan, namun Patricia muncul secara tiba-tiba seperti hujan panggilan dari salah satu suku.  Patricia muncul dari balik punggung Khazaz lalu menyapa Chista dan Khazaz dengan ramah.
            “Selamat pagi,” sapa Patricia ramah. “Chista, kau terlihat cantik pagi ini,”
            “Patricia, Sherene membutuhkanmu,” seru Chista. Patricia hanya tersenyum, memang, Sherene selalu membutuhkannya. Reaksi Patricia tidak begitu berlebihan seperti Khazaz. Ia hanya menganggukan kepalanya, yakin, memang Sherene membutuhkannya.
            “Oh Chista, kita tahu ia selalu membutuhkanku,” Patricia tertawa renyah sambil memukul udara seperti wanita sopan yang mendengarkan lelucon dari seorang pria tampan. Chista menggelengkan kepalanya, ia langsung menarik tangan Patricia untuk pergi ke kamar Sherene. Tentu Khazaz mengikuti mereka, Khazaz bisa masuk ke dalam kamar harem. Dari mana sang raja mendapatkan harem kalau bukan darinya? Patricia terkejut dengan tindakan Chista yang terburu-buru. Tak menyangka Sherene sebegitu membutuhkannya pagi ini. Tentu saja Patricia akan merangkai bunga-bungaan di sekitar kepalanya. Tapi biasanya, Sherene yang membujuk Patricia dari dapur untuk pergi ke kamarnya dan menghias rambutnya. Oh, baiklah, cukup ganjil.
            Sesampainya mereka di depan pintu kamar Sherene, Chista menelan ludahnya. Namun Khazaz tak sabar, ia tidak ingin waktunya terbuang. Dengan kasar Khazaz mendorong pintu kamar Sherene. Jantungnya berdetak lebih kencang ketika ia melihat pujaan hatinya tergeletak di atas tempat tidur dengan keadaan yang benar-benar buruk. Rambutnya tidak pernah berantakan seperti itu.
            “Sherene!” teriak Patricia, terkejut. Sifat keibuannya muncul begitu saja. Ia tidak ingin kehilangan Sherene seperti ia kehilangan gadis pertamanya yang meninggal. Tidak mungkin Sherene meninggal. Tidak, tidak, tidak. Sudut bibirnya menyisakan darah yang kering. Patricia tidak perlu bertanya siapa yang melakukan ini, ia sudah tahu, Justin yang melakukannya pada Sherene. Semua ini memang salah Sherene sendiri. Patricia telah memperingati Sherene untuk tidak pergi dengan Khazaz, tapi Sherene memberontak. Tapi Patricia tidak habis pikir, mengapa Justin tega memukul Sherene hanya karena Sherene bersenang-senang dengan Khazaz? Tidak ada waktu bagi Patricia untuk pergi ke kamar Justin sekarang –lagi pula Justin tidak ada istana sekarang—dan memarahinya. Khazaz mengangkat tubuh Sherene agar ia dapat memposisikan tubuh Sherene dengan baik. “Keluar, Khazaz. Sekarang.” Perintah Patricia tegas. Segera saja Khazaz keluar dari kamar Sherene, ia tahu, Patricia akan melakukan yang terbaik bagi pujaan hatinya.
            Sherene akan baik-baik saja.
            Pintu terkunci. Chista mengambil salah satu pakaian Sherene yang memiliki bahan yang paling lembut. Tidak megah. Patricia mengamat-amati wajah Sherene yang memar. Oh, dia tertampar. Berkali-kali. Namun secara keseluruhan, Patricia menyimpulkan, Sherene baru saja diperkosa oleh anak tirinya. Kejamnya Justin telah menyakiti Sherene! Sherene harus pergi dari istana, sekarang. Bertepatan dengan pemikiran Patricia, Sherene terbangun. Keningnya mengerut. Sherene membuka matanya, namun penglihatannya buram hingga ia mengerjap-kerjapkan matanya dan sekarang semuanya terlihat jelas.
            “Patricia?” bisiknya. “Ini semua salahku,” gumamnya segera menyadari.
            “Dengan berat hati aku memang harus mengatakan bahwa ini semua salahmu,” ujar Patricia. “Apa yang kaukatakan padanya sampai-sampai kau diperkosa olehnya?”
            “Aku hanya tidak ingin ia menyakiti Khazaz,”
            “Chista, bisakah kau mengambil air hangat dari dapur?” Patricia bertanya. Dalam satu anggukan, Chista berjalan menuju pintu kamar Sherene dan membuka pintunya. Pertanyaan Khazaz terdengar namun lenyap ketika pintu kamar itu tertutup kembali. “Apa dia ingin membunuh Khazaz?”
            “Ia ingin menggantung Khazaz di tengah-tengah kota,” gumam Sherene dengan suara yang benar-benar kecil. “Dan aku menantangnya untuk menyakitiku, oh, aku sangat bodoh,”
            “Kau hanya terbawa emosi,” gumam Patricia. “Apa yang ia lakukan terhadapmu?”
            “Ia menamparku berkali-kali. Memperkosaku. Dan menjambak rambutku,” Sherene tidak menatap Patricia, ia tak seberani malam tadi. “Oh, dan mencekikku ketika ia mendapatkan pelepasannya, aku hampir mati,” jelas Sherene yang membuat Patricia mendesah. Tidak ada pilihan lain. Sherene harus pergi dari istana sebelum Justin menyiksa Sherene lebih lagi. Ia tidak ingin Sherene terus menerus disakiti, sudah cukup penderitaan Sherene.
            “Aku ingin pergi dari sini, Patricia,” gumam Sherene yang ucapannya tak diberi respon oleh Patricia. Patricia menganggukkan kepalanya.
            “Tentu, aku akan membawamu pergi ke… toko kue milikku. Aku akan membuatmu tidak terlihat seperti Sherene Madrigal, Justin akan mencarimu, itu sudah pasti. Khazaz akan baik-baik saja bersamaku. Di sana, adikku tinggal, ia akan menjagamu baik-baik. Aku akan mendatangimu setiap hari,”
            “Aku bodoh telah mencintainya,”
            “Tidak, ini kebodohan Justin tidak dapat melihat bidadari di hadapannya. Kau hanya perlu memberinya pembelajaran sedikit agar ia tahu bagaimana rasanya ditinggalkan,” ucap Patricia tersenyum manis. Ia merapikan rambut Sherene dengan lembut lalu setitik air mata keluar dari matanya. “Kau benar-benar tersakiti,”
            “Aku akan pergi hari ini?” Sherene tidak ingin apa yang terjadi dengannya dibicarakan. Kenyataannya benar-benar pahit ketika Justin terus menerus mengutuknya sebagai wanita murahan, jalang. Itu hanya membuat hatinya terpukul. Ia butuh kesenangan, sekarang.
            “Tentu saja. Aku dan Khazaz akan mengantarmu,”
            “Terima kasih,” gumam Sherene. “Aku mengancamnya tadi malam, jika ia menyakitiku, aku akan pergi darinya. Dan ya, aku melakukannya sekarang karena bantuanmu,”
            “Kau mengancamnya?” Patricia terkejut. Sherene mengangguk tersenyum dan pintu kamarnya mulai terbuka, Chista muncul.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar