Sherene
sedang berada di dalam taman puri. Duduk di salah satu tangga dengan wajah yang
pucat. Tubuhnya sudah tidak panas lagi setelah ia meminum susu yang dibuatkan
oleh Patricia. Namun nafsu makannya berkurang. Setelah ia melihat Cassandine,
oh, ini semakin buruk. Benar, alam bawah sadarnya memberitahu padanya bahwa
Cassandine akan menjadi ratunya. Jelas Justin mencintai Cassandine dan lebih
menginginkan Cassandine dibanding Justin menginginkannya. Untuk apa ia
mengharapkan seorang raja? Ia ingin pergi keluar lagi dengan Khazaz, membeli
minyak wangi lalu menikah dengan Khazaz. Apa itu benar-benar jalan yang tepat
agar ia dapat melupakan raja? Tindakannya tadi adalah tindakan yang salah.
Seharusnya ia membiarkan Justin mengantarkannya ke kamar sehingga Cassandine
akan cemburu lalu beberapa bulan kemudian, jika mereka menikah, Cassandine
tentu akan mengusirnya dari istana karena Sherene selalu mendekati raja. Nah,
jika begitu, itu akan membuatnya merasa bebas. Ia dapat mencari pekerjaan,
kekasih yang ia mau, lalu menikah dan memiliki anak. Tidak ada yang lebih menyenangkan
dari alam luar.
Mungkin
itu karena Sherene hanya satu kali pergi keluar dari istana, itupun kemarin.
Dan raja marah padanya. Apa ia berani pergi keluar lagi dengan Khazaz? Lagi
pula raja Justin tidak ada di istana, ia juga sedang menikmati waktu-waktu
berkualitasnya dengan Cassandine, calon ratu.
“Cassandine,”
gumam seorang wanita setengah baya. “Pasti dia yang sedang kaupikirkan,” lanjut
wanita itu yang tidak lain adalah Patricia.
“Hampir
betul, tapi aku sedang memikirkan apakah aku bisa pergi keluar dari istana hari
ini bersama dengan Khazaz,” ujar Sherene segera menyandarkan kepalanya ke atas
bahu Patricia. Apa pun yang Patricia beritahukan Justin tentang Sherene adalah
untuk kebaikan Sherene. Ia ingin Sherene merasakan kasih dari seorang raja. Patricia
memang tahu, Justin mencintai Cassandine, tapi dari apa yang ia telaah beberapa
tahun ini, Sherene memang satu-satunya untuk Justin. Jika Justin tidak
memperlakukan Sherene sebaik mungkin, ia tentu akan memarahi Justin.
Memberitahu Justin kembali bahwa selama 10 tahun Sherene telah menunggu
untuknya dan Justin kembali hanya untuk merasakan tubuh Sherene semata?
Patricia akan berterima kasih pada dewa jika Sherene hamil karena Justin.
Sherene akan menikah dengan Justin, perhatian Justin akan lebih mengacu pada
Sherene, dan apa itu tidak dapat menggerakan hati Justin untuk mencintai
Patricia? Ini hanyalah sedikit dari skenario yang ia buat. Ia dapat merasakan
reaksi yang berbeda ketika mereka bersama.
“Jangan,”
Patricia memperingati. “Jika kau tidak ingin Justin marah padamu,”
“Tidak
apa-apa. Aku hanya tidak peduli lagi. Ia mencintai Cassandine, aku ingin
kebebasanku sekarang. Mengapa ia dapat bersenang-senang dan aku tidak?” Tanya
Sherene mengerutkan kening. Patricia terdiam. Ya, Sherene sudah tahu jawaban
apa yang akan ia dapat. Sungguh tidak adil. Ia bangkit dari tangga, berniat
untuk pergi keluar dari purinya, mencari Khazaz. Ia harus memberontak!
***
Sherene
berlari-lari penuh dengan keceriaan. Ia tidak pernah merasa begitu bahagia.
Khazaz bermain dengannya bagaikan anak kecil. Tidak di dalam istana, ia tahu ia
sedang memberontak, tapi ini menyenangkan. Jika boleh, ia akan melakukannya
terus menerus. Khazaz tampak tampan dari jarak jauh dari balik pohon kelapa.
Mereka sedang berada di pinggir pantai, perjalanan yang cukup jauh untuk
mencapai pantai dari istana. Namun kebahagiaan yang ia dapatkan benar-benar
sebanding dengan perjalanan yang ia tempuh. Si mata hijau itu sedang berusaha
pergi dari Khazaz yang akan segera menggelitiki tubuhnya, seperti yang kita
tahu, Sherene adalah gadis yang peka. Itu semua juga karena salahnya sendiri
karena telah mengejek Khazaz.
Rambut
Sherene tidak terikat ketika ia keluar dari istana, tapi dengan otak, Sherene
mengambil akar-akar pohon yang ia dapat dipinggiran pantai. Akar-akar pohon itu
cukup panjang dan ya, bisa mengikat rambutnya. Jaraknya berdiri dengan jarak
Khazaz tidak begitu jauh. Jika Khazaz dapat berlari seperti harimau,
kemungkinan besar ia dapat meraih tubuh Sherene yang mungil.
“Hanya
itu yang kaupunya, Panglima?” Sherene berteriak –berusaha. “Hanya itu yang
kaupunya?” Teriak Sherene kembali menggoda Khazaz. Bagi Khazaz, inilah yang ia
harapkan sejak kemarin. Mengapa ia tidak membawa Sherene ke pantai saja?
Berenang bersama jika perlu. Semakin ke sini, Khazaz semakin yakin, Sherene
menyukainya.
“Kau
menantangku?” Khazaz melangkahkan kakinya satu langkah, namun itu berhasil
membuat Sherene berlari cukup jauh darinya, sangat ketakutan. “Kau seperti rusa
yang akan dimakan oleh harimau,”
“Kau
memang harimau! Ish, sangat menjijikan jika kubayangkan mereka memakan rusa
secara hidup-hidup,” ceracau Sherene berhenti berlari. Jarak mereka semakin
jauh.
“Tidak,”
Khazaz menggeleng-gelengkan kepalanya. “Pertama, mereka akan menggelitik
mangsanya terlebih dahulu. Lalu ia akan mencium-ciumnya dan berakhir dalam
kegelapan,” jelas Khazaz yang tentu saja tahu apa yang sedang ia bicarakan.
Sherene mengerti apa yang Khazaz sedang bicarakan, namun itu bukan Khazaz yang
Sherene kenal. Bagaimana bisa Khazaz mengatakan itu? Apa Khazaz ingin
menciumnya dan menidurinya sama seperti Justin menidurinya? Mengingat Justin
membuatnya kembali kesal. Rasanya ia ingin mengambil batu dan menimpuki
Cassandine agar Justin bersama dengannya. Ia kesal dengan Justin karena memberikan
harapan yang tak pasti pada Sherene.
“Baiklah,”
gumam Sherene. “Bisa kita istirahat sebentar?” Tanya Sherene duduk di atas
pasir putih yang ia pijak. Senyum Khazaz yang lebar itu langsung saja surut.
Dia sudah melewati batas! Segera Khazaz berlari menuju Sherene dan duduk di
sebelahnya.
“Sherene?
Jika itu menyinggungmu, dengan kerendahan hati, aku sangat minta maaf. Aku
tidak bermaksud,” Khazaz menatap Sherene hati-hati. Sherene menyunggingkan
senyum kecut.
“Tidak,
bukan itu,” gumamnya. “Tiba-tiba aku berpikir tentang raja. Apa menurutmu raja
serasi dengan Cassandine?” Sherene bertanya pasrah.
“Raja
dan Cassandine?” Khazaz bertanya, terkejut. Mengapa tiba-tiba Sherene
membicarakan tentang raja? Khazaz berdeham. “Ya, mereka serasi,” lanjut Khazaz.
Tentu Khazaz akan berucap seperti itu karena Khazaz menyukai Sherene. Ia tidak
ingin jika ia mengatakan hal yang sebaliknya setelah apa yang ia katakan tadi
pada Sherene, Sherene akan menginginkan raja lebih lagi. Khazaz tahu Sherene
mencintai Justin, dan semakin ia mendukung hubungan Justin dan Cassandine, itu
pasti akan membuat harapan Sherene pupus dan beralih pada Khazaz. Khazaz tidak
ingin mengambil resiko apa pun.
Sherene
mendesah. “Kau jujur?”
“Ya.
Mereka mempunyai banyak kesamaan. Tinggi mereka, selera mereka yang sama,
mereka sopan. Cassandine cantik dan raja …kau tahu sendiri bagaimana tampannya
dia bagi para harem. Mereka adalah pasangan yang serasi,” jelas Khazaz semakin
meyakinkan Sherene bahwa Sherene bukanlah yang terbaik bagi raja. “Mengapa? Kau
mencintainya?”
“Dulu.”
Bisik Sherene.
***
Justin
mengecup Cassandine dengan penuh kelembutan ketika malam mulai menemani mereka.
Di balik kecupan yang lembut itu, Justin sebenarnya benar-benar marah. Ia hanya
tidak ingin memperlihatkannya pada Cassandine. Di atas tempat tidur Cassandine,
Justin menindih tubuh Cassandine, mereka saling bertatapan. Jari-jari Cassandine
menelusuri rambut Justin yang tebal berwarna cokelat kehitaman. Hari ini adalah
hari yang paling menyenangkan bagi Cassandine. Terlebih lagi kejadian tadi
pagi, ia merasa menang karena Justin lebih memilihnya dibanding Sherene.
“Apa
kau mencintaiku?” Cassandine bertanya, ia menyelipkan rambut Justin yang cukup
panjang itu ke belakang telinga Justin, tapi tidak berhasil, rambut itu kembali
pada tempatnya. “Karena aku mencintaimu,”
“Tentu
saja,” gumam Justin mengecup-kecup bibir Cassandine beberapa kali. “Siapa yang
tidak mencintaimu? Kau wanita yang pintar, cantik, dan sopan,”
“Bagaimana
perasaanmu terhadap Sherene?” Pertanyaan sederhana yang Justin dapat
mereka-reka jawabannya membuatnya tertegun sejenak. Ia menatap Cassandine
sambil ia menjilat bibirnya. “Apa dia gadis yang manis? Ia sepertinya baru
berumur 18 tahun,”
“22
tahun lebih tepatnya,” cepat-cepat Justin mengoreksi ucapan Cassandine. “Ya,
dia gadis yang manis. Tapi dia tidak sopan. Aku tidak mencintainya seperti aku
mencintaimu. Ia hanyalah …haremku,” jelas Justin enggan mengatakan bahwa
Sherene adalah haremnya.
“Dia
cantik,” puji Cassandine, terpaksa. “Apa kau akan menikahiku, Justin?”
“Ya,”
bisik Justin mengecup bibir Cassandine untuk yang kesekian kalinya kemudian ia
bangkit dari tubuh Cassandine. “Tidurlah, aku harus mengurus sesuatu,”
“Kapan
kau akan menikahiku?” Cassandine menahan tangan Justin saat Justin beranjak
dari tempat tidurnya. Ia menautkan kedua alisnya menatap Justin, seolah-olah ia
sangat berharap Justin akan menikahinya.
“Suatu
saat nanti.” Gumam Justin menarik tangannya dari genggaman Cassandine. Selama
beberapa detik, ia menatap Cassandine seperti ia menatapi Sherene. Bukan!
Cassandine terlihat seperti Sherene. Apa dia Sherene? Itu hanya halusinasi.
Justin membuka pintu kamar Cassandine dan menutupnya. Sudah berkali-kali ia
menghitung satu sampai sepuluh tapi ia tidak berhasil untuk memadamkan
amarahnya. Ia suduh cukup muak dengan tingkah Sherene. Apa maksudnya
bersenang-senang dengan panglima Khazaz? Apa Khazaz ingin berakhir di atas
pohon dengan keadaan tergantung dan terpajang di tengah-tengah kota? Khazaz
yang bodoh. Justin berjalan menuju kamar Sherene sambil membisikan doa agar ia
tidak menyakiti Sherene meski ia marah.
Namun
membayangkan Sherene tertawa bersama dengan Khazaz membuatnya membanting pintu
harem. Ia masuk ke dalam lorong untuk mencari kamar Sherene. Apa tubuh Sherene
telah disentuh oleh Khazaz? Wanita murahan! Wanita dursila! Justin mengutuk
Sherene. Justin sudah berkali-kali memberitahu Sherene, tidak boleh ada yang
menyentuh Sherene selain dirinya. Sherene harus bersih di tangannya, tidak
boleh ada tangan yang menyentuhnya. Tapi Sherene sedang menguji Justin. Dan
inilah hasil yang Sherene dapatkan. Amarah dari sang Raja Xerxes. Ketika Justin
telah berada di depan pintu kamar Sherene, ia menghitung satu sampai sepuluh. Sepuluh. Tapi tidak berhasil. Ia membuka
pintu kamar Sherene, mendorongnya dengan kasar.
“Oh!
Demi para dewa siapa pun itu aku sedang…” kata-kata yang keluar dari mulut
Sherene berhenti ketika Sherene melihat sang raja masuk ke dalam kamarnya.
“Mengganti pakaian.”
“Kau
pikir kau bisa lari dariku setelah kau bersenang-senang dengan Khazaz sialan
itu? Di sini amarahku sekarang! Beritahu padaku, sekaya apa dia sampai-sampai
kau ingin ditiduri olehnya? Aku bisa menghancurkannya maka kau akan menjadi
milikku seutuhnya!”
“Demi
para dewa, Yang Mulia, aku tidak mengerti apa yang kaubicarakan,” Sherene
terkejut dengan apa yang raja katakan. Tidur dengan Khazaz? Tidak mungkin!
Bagaimana bisa …? Pintu tertutup. Terkunci. “Aku hanya pergi berjalan-jalan
dengannya ke pantai, Yang Mulia,”
“Dengan
tujuan membuatku cemburu? Jika benar, itu berhasil,” Justin benar-benar
marah. Ia mendekati Sherene lalu menarik
kasar lengan Sherene agar berdiri di dekatnya. Pakaian yang baru saja menutupi
tubuh Sherene dengan segera dirobek oleh Justin dalah satu hentakan. Buah
dadanya langsung saja terlihat dari depan. “Aku bisa membayarmu sepuluh kali
lipat dari yang telah ia berikan padamu!” bentak Justin menarik kasar
pakaiannya.
“Yang
Mulia, tidak!” Sherene memberontak. Ia menarik tubuhnya dari Justin dan masih
berusaha agar tubuhnya tertutupi oleh pakaian. “Aku tidak tidur dengannya!”
“Aku
sangat membencimu, Sherene Madrigal.” Bisik Justin mengamini perkataannya.
***
Sherene
masih berusaha untuk menarik tubuhnya dari pelukan Justin. Tangannya berusaha
menyentuh palang pintu yang mengunci kamar. Air matanya telah mengalir, rasanya
sia-sia jika ia berteriak, tidak akan ada yang mendengarnya. Teriakannya seolah-olah
tak nyata, hanya mulutnya saja yang terbuka. Air matanya mengalir saat ia
merasa kesakitan saat Justin berusaha menarik pakaiannya. Ia berharap Justin
tidak menarik rambutnya.
“Kemari
kau!” Tapi ternyata Justin menjambak rambutnya yang terikat itu dengan kencang
hingga ia jatuh ke atas tempat tidur. Tubuhnya terbanting, punggungnya seperti
tertampar begitu saja, tapi ia tidak mempunyai banyak waktu untuk menangis. Ia
segera bangkit dari tempat tidur, merangkak ke seberang tempat tidur. Sprei putihnya
langsung saja teracak! Tapi kakinya yang mungil diraih oleh tangan Justin
dengan gerakan sigap. Sherene tidak cukup cekatan untuk pergi dari genggaman
Justin.
“Tidak,
Yang Mulia!” Tangisan Sherene memecah. Kedua tangannya meremas spreinya.
“Kumohon jangan sakiti aku!”
“Terlambat!
Kau yang memintanya padaku, Sherene!” Bentak Justin tak berhenti menarik-tarik
pakaian Sherene agar benar-benar lepas dari tubuh Sherene. Tidak, Justin belum
memukul Sherene, belum saatnya. Ia masih menjambak. Dasar gadis lemah sialan! Justin terus mengutuk Sherene dengan kosa
kata kotornya yang ia miliki. “Seorang harem tidak berhak keluar dari istana!
Terlebih lagi dengan seorang panglima! Kau taruh dimana harga dirimu, wanita
murahan? Aku sudah memperingatimu kemarin bahwa aku marah mendengar kau keluar
bersama dengan Khazaz! Semuanya adalah salahmu jika ia berakhir di atas pohon
di tengah-tengah kota dengan keadaan menggantung!” Justin membalikkan tubuh
Sherene agar Sherene dapat terlihat. Buah dadanya terpampang jelas di depan
matanya, ia nafsu sekaligus marah pada gadis kecil ini.
“Jangan
sakiti dia, Yang Mulia, kumohon,” pekik Sherene terkejut sekaligus memohon
ketika Justin mulai menarik kasar pakaian dalam yang Sherene kenakan.
“Mengapa?
Kau mencintainya? Kupikir kau mencintaiku!” Teriak Justin menampar pipi Sherene
yang tembam itu dengan tangannya yang besar. Pipinya langsung saja memerah,
kali ini bukan karena ia tersipu malu. Ia disakiti secara fisik dan ia tidak
pernah tahu seperti inilah rasanya. Sangat sakit. Sherene tidak pernah dipukul
oleh siapa pun. Termasuk Patricia. Justin adalah orang pertama yang menyakiti
hati Sherene sekaligus tubuhnya. Bagaimana bisa Sherene jatuh cinta pada orang
yang salah? Namun Sherene memiliki suatu perasaan yang tidak dapat ia jabarkan,
hatinya terus menerus memilih Justin akan menjadi pasangan hidupnya, tapi
mengapa ini yang ia dapatkan? Mulutnya membeku, tangisannya terhenti, namun ia
terisak.Keheningan mulai melingkupi mereka. Justin berada di atas tubuh Sherene
dengan tatapan api menyala. “Jawab aku, bisu!”
Satu
kali lagi Justin menampar Sherene, kali ini hingga sudut bibir Sherene
berdarah. Namun Sherene mati rasa. Sherene bahkan tidak menolehkan kepalanya
untuk menghadap Justin, ia tidak berani menatap mata Justin yang penuh dengan
api amarah. “Dulu,” bisik Sherene. Lalu ia menolehkan kepala pada Justin.
“Dulu
aku memang mencintaimu sebelum kau menyebutkan wanita dursila itu! Cassandine
Jalang Xerxes! Aku sudah memberitahumu bahwa aku mencintaimu, tapi apa yang
kaubalas? Tidak ada kata cinta! Aku membencimu sekarang! Kau seharusnya memikir
dengan otakmu yang cerdas, aku adalah gadis yang menunggu selama 10 tahun hanya
untuk lelaki bejat sepertimu! Tapi oh, aku memang gadis yang bodoh telah
menunggumu selama 10 tahun,” jelas Sherene, dalam beberapa kata ia meninggikan
nada bicaranya. “Oh, seharusnya aku menikahi Khazaz,” gumamnya
menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia lelah memberontak pada Justin. Tapi kembali
Justin menampar pipinya.
“Jaga
mulut kotormu itu, Sherene Madrigal,” Justin memperingati. Tidak ada belas
kasihan kali ini. Ini sangat aneh.
“Kau
benci fakta bahwa kau mencintaiku, Justin Cyrus Xerxes! Kau tidak mungkin
sibuk-sibuk mencariku hanya karena aku pergi bersenang-senang dengan panglima.
Kau tidak mungkin ingin membunuh panglima hanya karena ia pergi dengan salah
satu haremmu! Kau sangat egois,” jelas Sherene menatap Justin dengan tatapan
tajam. Entah ia mendapat keberanian dari mana hingga ia dapat mengatakan
hal-hal itu dengan berani. Kali ini Justin tidak menamparnya. Darah segar itu
masih mengalir di sudut bibir Sherene. Bahkan gadis itu tidak memekik ketika
Justin menamparnya, tentu saja, Sherene sudah mati rasa. Ia lelah. Tapi ia
tidak akan berhenti pergi dari Justin jika Justin berusaha untuk memakai tubuhnya
kembali. Sudah cukup raja egois ini memakainya.
“Alasan
bodoh,” komentar Justin. “Tidak ada alasan pasti mengapa aku mencintaimu. Kau
hanyalah seorang harem yang kupakai jika aku butuh,”
“Bajingan,”
gumam Sherene, tak mabuk, ia membuang muka dari Justin.
“Oh,
Sherene Madrigal, aku tidak ingin menyakitimu jauh lebih lagi tapi kau yang
meminta,” Justin melenguh di atas tubuhnya dengan kepala yang menunduk.
“Sakiti
aku, maka kau tidak akan pernah bertemu denganku lagi,” ucap Sherene yang
berhasil membuat Justin mendongakkan kepalanya.
“Kau
berani?”
“Tidak
ada yang dapat menghentikanku,” gumam Sherene. “Sekalipun seorang raja.” Lanjut
Sherene kembali menatap Justin. Ia tiba-tiba merasa lebih kuat, tapi ia tahu,
kekuatannya tidak akan pernah bisa melebih kekuatan raja. Beberapa detik Justin
kagum terhadap Sherene yang memiliki keberanian yang cukup untuk melawannya,
dan juga cukup membawanya kepada kesakitan.
“Coba
aku.” Bisik Justin mulai menarik menjambak rambut Sherene. Sherene memekik.
Sial!
***
Pagi
itu keadaannya benar-benar buruk. Justin meninggalkan Sherene dengan keadaan
yang tak dapat dijabarkan dengan kata-kata. Wajah Sherene memar, hidungnya juga
berdarah, dan banyak sekali jejak yang Justin tinggalkan di sekitar dada
sekaligus leher Sherene. Justin menyakiti Sherene tak tanggung-tanggung. Sprei
putihnya menutupi buah dada Sherene hingga pahanya. Rambutnya acak-acakan, ia
benar-benar baru saja melawan singa dan ia kalah. Tidak ada yang menyadari
keadaan Sherene, padahal pintu kamarnya terbuka lebar, sampai Chista masuk ke
dalam kamarnya. Mata Chista membulat ketika melihat sahabatnya yang keadaan
tubuhnya benar-benar hancur. Sherene tidak pernah terlihat seburuk itu. Siapa
yang tega melakukan hal keji itu pada Sherene? Siapa yang telah melukai
Sherene? Ia mendekati Sherene. Seharusnya sekarang Sherene sudah memberikan
sarapan pada sang raja. Raja! Demi dewa matahari, apakah raja yang menyakiti
Sherene hingga seperti ini?
“Sherene?
Kau dengar aku?” Chista bertanya dengan nada suara yang was-was. Entah apa yang
harus ia perbuat selain ia mengangkat leher Sherene agar ia dapat menumpukan
kepalanya ke atas bantal. “Sherene?” Tiba-tiba saja prasangka bahwa Sherene
meninggal menyerangnya, namun menghilang ketika ia masih dapat merasa detak jantung
Sherene di dada. Ia butuh Patricia. Chista keluar dari kamar Sherene, namun
sebelumnya ia menutup pintu kamarnya agar orang lain tak dapat melihat.
Ketika
Chista keluar dari harem, ia melihat dari jarak jauh, di tengah-tengah lapangan
…Raja Justin bersama dengan Cassandine sedang bermesraan. Mereka bagaikan dua
pasangan yang tidak pernah bertemu selama bertahun-tahun. Dari tadi Justin
memegang pipi Cassandine dan mengecup bibirnya berkali-kali. Chista berjalan
melewati koridor untuk pergi ke dapur yang dimana, memang di sana Patricia
bekerja. Namun matanya sedari tadi tak lepas dari raja. Kereta kuda telah
berhenti di depan keduanya ketika mereka sedang sibuk-sibuknya berciuman. Apa
mereka tak punya malu berciuman di depan umum? Namun siapa yang peduli?
Cassandine masuk ke dalam kereta kuda bersama dengan raja Justin. Mereka ingin
pergi kemana? Jawabannya tak ia temukan dalam pikirannya saat ia tak sengaja
menabrak seseorang.
“Oh,
aku sungguh minta maaf,” Chista dengan segala kesopanannya mundur ke belakang
dan membungkukkan tubuhnya. “Aku sungguh minta maaf, tapi aku sedang
buru-buru,”
“Chista,
ada apa?” Panglima Khazaz ternyata yang ia tabrak. Pipinya bersemu merah.
Lelaki ini juga termasuk lelaki yang ia sukai. Tentu saja, panglima Khazaz
sangat tampan. Khazaz tahu siapa Chista, ia adalah sahabat terdekat Sherene
setelah Patricia. Chista membisu untuk beberapa saat lalu ia membuka mulutnya.
“Sherene,”
gumamnya. Baru saja ia ingin melanjutkan ucapannya, Khazaz telah memotongnya.
“Ada
apa dengan Sherene? Apa dia baik-baik saja?” Nada suara yang dikeluarkan Khazaz
benar-benar menandakan ia khawatir. Kedua alisnya bersatu dan keningnya
mengerut. Bahkan tak sadar, Khazaz telah memegang kedua bahu Chista. “Maaf,” ia
segera melepaskan tangannya dari bahu Chista.
“Ia
sedang dalam keadaan yang buruk. Aku membutuhkan Patricia. Tubuhnya memar,”
Chista menjelaskan. Mata Khazaz kali ini membulat. Tidak ada hujan, namun
Patricia muncul secara tiba-tiba seperti hujan panggilan dari salah satu suku. Patricia muncul dari balik punggung Khazaz
lalu menyapa Chista dan Khazaz dengan ramah.
“Selamat
pagi,” sapa Patricia ramah. “Chista, kau terlihat cantik pagi ini,”
“Patricia,
Sherene membutuhkanmu,” seru Chista. Patricia hanya tersenyum, memang, Sherene
selalu membutuhkannya. Reaksi Patricia tidak begitu berlebihan seperti Khazaz.
Ia hanya menganggukan kepalanya, yakin, memang Sherene membutuhkannya.
“Oh
Chista, kita tahu ia selalu membutuhkanku,” Patricia tertawa renyah sambil
memukul udara seperti wanita sopan yang mendengarkan lelucon dari seorang pria
tampan. Chista menggelengkan kepalanya, ia langsung menarik tangan Patricia
untuk pergi ke kamar Sherene. Tentu Khazaz mengikuti mereka, Khazaz bisa masuk
ke dalam kamar harem. Dari mana sang raja mendapatkan harem kalau bukan
darinya? Patricia terkejut dengan tindakan Chista yang terburu-buru. Tak
menyangka Sherene sebegitu membutuhkannya pagi ini. Tentu saja Patricia akan
merangkai bunga-bungaan di sekitar kepalanya. Tapi biasanya, Sherene yang
membujuk Patricia dari dapur untuk pergi ke kamarnya dan menghias rambutnya.
Oh, baiklah, cukup ganjil.
Sesampainya
mereka di depan pintu kamar Sherene, Chista menelan ludahnya. Namun Khazaz tak
sabar, ia tidak ingin waktunya terbuang. Dengan kasar Khazaz mendorong pintu kamar
Sherene. Jantungnya berdetak lebih kencang ketika ia melihat pujaan hatinya
tergeletak di atas tempat tidur dengan keadaan yang benar-benar buruk.
Rambutnya tidak pernah berantakan seperti itu.
“Sherene!”
teriak Patricia, terkejut. Sifat keibuannya muncul begitu saja. Ia tidak ingin
kehilangan Sherene seperti ia kehilangan gadis pertamanya yang meninggal. Tidak
mungkin Sherene meninggal. Tidak, tidak, tidak. Sudut bibirnya menyisakan darah
yang kering. Patricia tidak perlu bertanya siapa yang melakukan ini, ia sudah
tahu, Justin yang melakukannya pada Sherene. Semua ini memang salah Sherene
sendiri. Patricia telah memperingati Sherene untuk tidak pergi dengan Khazaz,
tapi Sherene memberontak. Tapi Patricia tidak habis pikir, mengapa Justin tega
memukul Sherene hanya karena Sherene bersenang-senang dengan Khazaz? Tidak ada
waktu bagi Patricia untuk pergi ke kamar Justin sekarang –lagi pula Justin
tidak ada istana sekarang—dan memarahinya. Khazaz mengangkat tubuh Sherene agar
ia dapat memposisikan tubuh Sherene dengan baik. “Keluar, Khazaz. Sekarang.”
Perintah Patricia tegas. Segera saja Khazaz keluar dari kamar Sherene, ia tahu,
Patricia akan melakukan yang terbaik bagi pujaan hatinya.
Sherene
akan baik-baik saja.
Pintu
terkunci. Chista mengambil salah satu pakaian Sherene yang memiliki bahan yang
paling lembut. Tidak megah. Patricia mengamat-amati wajah Sherene yang memar.
Oh, dia tertampar. Berkali-kali. Namun secara keseluruhan, Patricia
menyimpulkan, Sherene baru saja diperkosa oleh anak tirinya. Kejamnya Justin
telah menyakiti Sherene! Sherene harus pergi dari istana, sekarang. Bertepatan
dengan pemikiran Patricia, Sherene terbangun. Keningnya mengerut. Sherene
membuka matanya, namun penglihatannya buram hingga ia mengerjap-kerjapkan
matanya dan sekarang semuanya terlihat jelas.
“Patricia?”
bisiknya. “Ini semua salahku,” gumamnya segera menyadari.
“Dengan
berat hati aku memang harus mengatakan bahwa ini semua salahmu,” ujar Patricia.
“Apa yang kaukatakan padanya sampai-sampai kau diperkosa olehnya?”
“Aku
hanya tidak ingin ia menyakiti Khazaz,”
“Chista,
bisakah kau mengambil air hangat dari dapur?” Patricia bertanya. Dalam satu
anggukan, Chista berjalan menuju pintu kamar Sherene dan membuka pintunya.
Pertanyaan Khazaz terdengar namun lenyap ketika pintu kamar itu tertutup
kembali. “Apa dia ingin membunuh Khazaz?”
“Ia
ingin menggantung Khazaz di tengah-tengah kota,” gumam Sherene dengan suara
yang benar-benar kecil. “Dan aku menantangnya untuk menyakitiku, oh, aku sangat
bodoh,”
“Kau
hanya terbawa emosi,” gumam Patricia. “Apa yang ia lakukan terhadapmu?”
“Ia
menamparku berkali-kali. Memperkosaku. Dan menjambak rambutku,” Sherene tidak
menatap Patricia, ia tak seberani malam tadi. “Oh, dan mencekikku ketika ia
mendapatkan pelepasannya, aku hampir mati,” jelas Sherene yang membuat Patricia
mendesah. Tidak ada pilihan lain. Sherene harus pergi dari istana sebelum
Justin menyiksa Sherene lebih lagi. Ia tidak ingin Sherene terus menerus
disakiti, sudah cukup penderitaan Sherene.
“Aku
ingin pergi dari sini, Patricia,” gumam Sherene yang ucapannya tak diberi
respon oleh Patricia. Patricia menganggukkan kepalanya.
“Tentu,
aku akan membawamu pergi ke… toko kue milikku. Aku akan membuatmu tidak
terlihat seperti Sherene Madrigal, Justin akan mencarimu, itu sudah pasti.
Khazaz akan baik-baik saja bersamaku. Di sana, adikku tinggal, ia akan
menjagamu baik-baik. Aku akan mendatangimu setiap hari,”
“Aku
bodoh telah mencintainya,”
“Tidak,
ini kebodohan Justin tidak dapat melihat bidadari di hadapannya. Kau hanya
perlu memberinya pembelajaran sedikit agar ia tahu bagaimana rasanya
ditinggalkan,” ucap Patricia tersenyum manis. Ia merapikan rambut Sherene
dengan lembut lalu setitik air mata keluar dari matanya. “Kau benar-benar
tersakiti,”
“Aku
akan pergi hari ini?” Sherene tidak ingin apa yang terjadi dengannya
dibicarakan. Kenyataannya benar-benar pahit ketika Justin terus menerus
mengutuknya sebagai wanita murahan, jalang. Itu hanya membuat hatinya terpukul.
Ia butuh kesenangan, sekarang.
“Tentu
saja. Aku dan Khazaz akan mengantarmu,”
“Terima
kasih,” gumam Sherene. “Aku mengancamnya tadi malam, jika ia menyakitiku, aku
akan pergi darinya. Dan ya, aku melakukannya sekarang karena bantuanmu,”
“Kau
mengancamnya?” Patricia terkejut. Sherene mengangguk tersenyum dan pintu
kamarnya mulai terbuka, Chista muncul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar