Sabtu, 21 September 2013

Innocent Bab 8



***

            “Dimana dia?” Justin berteriak dengan penuh keresahan. Wajahnya berwarna merah. Ketika malam menjemput Justin dan Cassandine, Justin pergi ke kamar Sherene tidak mendapati Sherene di dalamnya. Ia sangat kesal. Cassandine ada di atas tempat tidur Justin, memerhatikan kekasihnya sedang berjalan bolak-balik di tempatnya dengan keadaan yang benar-benar kesal. Sesaat Cassandine berpikir, sebegitu berharganyakah Sherene hingga Justin benar-benar marah? Ia menyuruh seluruh prajurit mencari Sherene di seluruh sudut istana. Sherene pasti sedang bersembunyi. Mengapa Sherene tidak ada habis-habisnya memancing amarah Justin? Tidak mungkin Sherene benar-benar serius dengan perkataannya tadi malam bahwa ia pergi dari Justin jika Justin menyakitinya. Justin terduduk di atas lantai dan menyandarkan punggungnya pada tembok. Justin menjambak rambutnya dan menyesali apa yang telah ia perbuat. Demi para dewa, Justin tidak percaya tadi malam ia benar-benar menyakiti Sherene. Oh, ia menyakiti gadis yang ia butuhkan. Dan kebutuhannya tidak bisa ia dapatkan dari siapa pun. Penawar penyakitnya menghilang.
            Jeritan-jeritan malam itu menghampiri Justin. Tangisan Sherene. Tangan Sherene yang terus menerus memukul punggung, dada dan lengannya. Namun Justin terus memperkosa Sherene. Ia menjambak rambut Sherene penuh kekejaman. Dan ia mencekik gadis itu sampai gadis itu hampir mati! Ia hampir saja membunuh sumber kebutuhannya! Justin rasa ia benar-benar gila. Apa dia mencintai Sherene? Tidak mungkin. Ini baru satu minggu ia menjalani kehidupannya sebagai raja dan ia telah mencintai seorang harem? Dalam mimpi! Namun perasaan cemburu selalu menghampirinya ketika ia mendengar Sherene dekat dengan lelaki lain. Seolah-olah Sherene hanya miliknya seorang. Dan seakan-akan Sherene harta karun yang ia dapatkan! Justin mendengar Cassandine mendesah.
            “Apa kau tidak menganggapku ada di sini Justin? Mengapa kau sibuk-sibuk memikirkan dia? Aku cemburu perlu kau tahu,” tukas Cassandine kesal. Tapi Justin tidak mempeduli Cassandine kesal atau tidak. Ia hanya butuh Sherene di hadapannya dan akan memarahinya. Justin sangat khawatir sekarang. Bagaimana jika Sherene belum makan di luar sana? Atau ia diperkosa oleh gelandangan? Gadisnya. Oh, andai waktu dapat terputar kembali, ia pasti tidak akan menyakiti Sherene. Khazaz! Sial, Khazaz. Pasti dia yang menyembunyikan Sherene. Justin bangkit dari lantai lalu mengambil pedangnya yang bertengger di tembok. Lalu ia keluar dari kamarnya setelah ia membuka pintu.
            “Kau mau kemana Justin?” Cassandine bangkit dari tempat tidur Justin.
            “Ke kamar bajingan itu!” bentak Justin menutup pintu kamarnya dengan kasar. Cassandine tersentak, ia mendengus kesal. Rasanya ia ingin membunuh Justin sekarang! Tapi tidak, ia tidak bisa membunuh Justin sebelum ia menjadi seorang ratu! Sial.
            Justin melangkahkan kakinya menuju kamar Khazaz yang dekat dengan kamarnya. Ia menuruni tangga, di dekat tangga, di situlah kamar Khazaz berada. Berada di depan pintu kamar Khazaz, ia tidak perlu mengetuk atau berteriak memanggil nama Khazaz, ia segera mendobrak pintu kamar Khazaz dengan kakinya. Terlihat Khazaz sedang berusaha tidur di atas tempat tidurnya. Ketika Khazaz membuka matanya, ia segera bangkit dan memberikan hormat pada Justin.
            “Yang Mulia,”
            “Simpan kata-kata terakhirmu itu di tali yang akan kusiapkan untukmu,” ujar Justin. Ia segera menarik kerah pakaian Khazaz lalu mendorong tubuh Khazaz ke tembok hingga kepala Khazaz terbentur. “Dimana Sherene? Dimana gadisku?” Justin membentak.
            “Yang Mulia, aku sama sekali tidak tahu,” seru Khazaz mengangkat kedua tangannya, ketakutan saat Justin memunculkan pedang itu di hadapannya. Ujung pedang yang runcing itu menempel di bawah dagunya, di dekat lehernya. Khazaz memang mengatakan yang sebenarnya. Awalnya, Patricia ingin mengajak Khazaz tapi ia mengurungkan niatnya, sehingga Khazaz tidak diajak pergi keluar untuk mengantar Sherene pergi. “D-dia pergi dari istana,”
            “Kemana bajingan?”
            “Aku tidak tahu, Yang Mulia, aku mengatakan yang sebenarnya,” Khazaz tergagap.
            “Jika aku mendapatimu berdusta, aku benar-benar akan melayangkan pedang ini ke lehermu untuk menebas kepalamu. Lalu aku akan menancapkan kepalamu di salah satu tombakku dan mempertontonkannya di tengah-tengah kota!” Ancam Justin melepaskan Khazaz yang langsung saja melemas tubuhnya. Pedang itu sungguh runcing!
            “Beritahu seluruh prajurit untuk mencari Sherene ke seluruh pelosok negeri!” Perintah Justin tegas.
            “Ya, Yang Mulia.” Khazaz menganggukan kepalanya.

***

            Sherene menatapi refleksinya dari pantulan cermin. Wajahnya tidak bengkak, hanya memar. Sudut bibirnya terluka. Rambutnya menutupi leher bagian belakang, namun tidak di bagian depan. Lehernya masih terasa sakit ketika ia menyentuhnya. Bilur-bilur di sekitar lehernya terlihat membiru. Bekas cekikan dari Justin. Apa Justin ingin ia mati dalam waktu dekat? Inilah yang ia dapat? Kematian dari lelaki yang ia cintai? Menakjubkan. Kamarnya kali ini lebih indah. Ia menyukainya. Lemari, meja dan cermin. Hanya saja rasanya berbeda. Ia berada di luar istana. Nafas yang ia hirup bukan dari istana. Aroma-aroma kue dari luar tercium. Adik Patricia berada di belakangnya, Beth, tersenyum padanya.
            “Prajurit dari istana kurasa sedang mencarimu. Seperti yang Patricia katakan, kita harus menyanggul rambutmu dan menutupnya dengan kerudung. Kau akan terlihat sangat cantik,”
            “Aku tidak pernah memakai kerudung sebelumnya,”
            “Seharusnya sejak dulu kau memakainya, jika kau berada di Israel, kau pasti akan ditegur karena tidak menutup rambutmu,” ujar Beth yang memegang kain persegi berwarna hijau. Ia mulai menyanggul rambut Sherene hingga benar-benar tersanggul dengan baik. Kemudian ia mulai memakaikan Sherene kain hijau itu dan memasangnya menjadi kerudung. Selesai, Sherene mulai melihat dirinya kembali dari pantulan cermin. Ya, ia terlihat berbeda dengan kerudung ini. Terlebih lagi, memar di sekitar lehernya sudah tidak telihat lagi.
            “Pakaianmu. Kita harus mengganti pakaianmu,” tukas Beth keluar dari kamar Sherene, ia hendak mengambil pakaian yang tidak begitu mewah bagi Sherene lalu membakar pakaian itu agar tidak ada jejak dari Sherene.
            “Tentu,” Sherene tidak menolehkan kepalanya. Ia masih menatap dirinya sendiri. Ya, Justin tidak akan bisa menemukannya. Tidak sekalipun. Entah mengapa, Sherene merasa puas karena telah pergi dari istana.
            Dari kekangan.
            Dan Justin Cyrus Xerxes.
***

            Hari pertama mempunyai kesan menarik bagi Sherene. Setelah ia tinggal di istana, ia tidak pernah memakai pakaian seperti ini. Meski memang sejenis gaun, tapi tidak seburuk ini. Warna yang ia pakai biasanya pun selalu warna yang harganya sedang melambung tinggi. Rambutnya tidak dihias lagi sejak ia tidak tinggal dengan Patricia meski ia bisa melakukannya sendiri. Ia masih mencuci rambutnya, tapi tidak sebersih di istana. Tidak apa-apa, ia masih sangat senang karena akhirnya ia tahu bagaimana rasanya tinggal di sebuah rumah yang sederhana. Ia memakai jubah berwarna cokelat kusam yang diberikan oleh Beth ketika ia menjadi pelayan di toko kue itu. Menunggu pengunjung datang dengan senyum sumringah, menatapi orang-orang yang berlalu lalang di depan toko kuenya.
            Kue-kue buatan Beth dan pelayan-pelayan yang lain di belakang dapur memang lezat. Sarapan pagi Sherene kali ini lebih terasa nyata. Tidak seperti di istana. Di satu sisi, ia merindukan Justin, ia membenci Justin, mencintai Justin dalam waktu yang bersamaan. Ia tidak dapat menjelaskan bagaimana rasanya. Puas, bahagia, sedih, dan bangga. Bangga karena ia dapat melawan Justin, mengancam Justin, tidak ada harem yang berani melakukan itu selain dirinya. Meski sedari tadi malam para prajurit dari istana mencarinya, untunglah ia memakai kerudung berwarna hijau di kamarnya, ketika ia sedang tidur. Tapi prajurit-prajurit yang masuk ke dalam kamarnya tidak mendapatinya karena ia sedang tidur dan Beth mengatakan bahwa ia sedang sakit, tapi tidak memberitahu bahwa itu ialah Sherene, tentu saja. Dan ada rasa sedikit senang, Justin ternyata cukup perhatian padanya sampai-sampai mencarinya. Namun ia tahu, pada akhirnya, jika ia bertemu denga
n Justin kembali, ia akan merasakan hal yang sama jika Cassandine masih berada di tempat.
            Ia cukup khawatir dengan Khazaz yang tentu akan menjadi korban tamparan Justin. Tapi kembali Sherene berpikir dua kali, tidak mungkin Khazaz lemah. Ia bahkan memiliki tubuh lebih besar dibanding Justin. Pikiran Sherene terhenti di sana ketika seseorang masuk ke dalam toko kuenya dengan pakaian yang ia sangat kenal. Pakaian dari kerajaan. Tubuh tinggi besar. Lelaki yang baru saja ia pikirkan sekarang. Khazaz datang dengan keadaan yang ..sempurna. Entah mengapa Sherene sangat senang melihat Khazaz, rasanya ia ingin menceritakan padanya betapa bahagianya ia tinggal di luar istana.
            “Khazaz!” Sherene berlari kecil dari balik meja kuenya ke depan untuk memeluk Khazaz yang belum mengatakan apa-apa, menyapa saja belum. Sherene langsung memeluk Khazaz dengan erat. Ia cukup merindukan Khazaz dan sekaligus khawatir, takut.
            “Aku sedang mencari Sherene Madrigal, apa dia ada di sini?” Khazaz mendorong tubuh Sherene agar menjauh darinya. Ia sedang bercanda. Kepalanya menoleh ke kanan-kiri untuk melihat apakah di sana ada Sherene Madrigal? Lalu Sherene ikut menatap toko kue Beth.
            “Kurasa tidak, siapa dia?” Tanya Sherene, menahan tawanya. Ternyata ia bisa bersandiwara dalam kegentingan yang ia rasa sangat santai. Khazaz mengedik bahunya lalu mendecak.
            “Entahlah. Aku tidak bisa mendekskripsikannya seperti apa. Dia sangat sempurna. Dia adalah harem kesayangan raja, tapi ia kabur dari istana sampai-sampai raja mengacungkan pedangnya ke leherku. Apa kau percaya itu? Omong-omong, siapa namamu?”
            “Eshter Deylammi,” ujar Sherene asal. “Mengacungkan pedangnya ke lehermu? Dia berusaha membunuhmu?” Sherene terkejut ketika kenyataan kembali masuk ke otaknya. Mata Sherene segera terarah pada leher Khazaz, tapi ia tidak menemukan sedikitpun goresan di sana. Tangannya terangkat dan menyentuh leher Khazaz, ia mengangkat leher itu.
            “Bagaimana kau tahu aku ada di toko kue ini? Patricia memberitahumu?” Tanya Sherene. Khazaz menganggukan kepalanya dan memegang tangan Sherene yang mungil itu dari lehernya.
            “Raja benar-benar murka. Wajar saja ia marah, aku tidak ingin membantahnya malam tadi. Meski aku tahu, aku berada pada penghujung kematian. Kau percaya ia mengacungkan pedangnya padaku? Memang, benar, ia hampir membunuhku. Tapi aku tahu ia tidak akan melakukannya karena ia berpikir akulah yang menyembunyikanmu,”
            “Secara tidak langsung, kau memang menyembunyikanku meski ide itu muncul dari Patricia,” gumam Sherene melipat bibirnya ke dalam kemudian menipiskan bibirnya. “Setidaknya, kau tidak apa-apa. Biarkan ini menjadi pelajaran bagi Justin. Ia telah menyakitiku, kau tidak tahu seberapa sakitnya tubuhku sekarang. Tapi ya, aku berpikir, semua ini,”—Sherene mengangkat kedua tangannya—“sempurna! Tak terbayangkan betapa senangnya aku sekarang. Meski aku memang tidak boleh sering keluar. Dan jubah ini harus selalu menutupi tubuhku,”
            “Harus kuakui, kau tidak seperti Sherene Madrigal di istana yang selalu terlihat bersinar. Tapi lihatlah kau sekarang. Pakaianmu kusam dan kau…” suara Khazaz menghilang lalu ia mendekatkan hidungnya pada leher Sherene.
            “Aku apa?” Tanya Sherene menjauh dari Khazaz.
            “Kau tidak sewangi di istana,” ejek Khazaz. “Tapi tetap cantik,” lanjutnya buru-buru. Seperti biasanya, pipi Sherene selalu memerah. Bedanya, pipinya kali ini bersemu merah karena pujian dari Khazaz, sang panglima. Tangan Sherene memukul pundak Khazaz, ia mendorong tubuh Khazaz lebih jauh darinya sambil tertawa-tawa.
            “Cepatlah kembali ke istana, Sherene, aku merindukanmu,” gumam Khazaz tiba-tiba raut wajahnya berubah. Untuk beberapa saat Sherene berpikir. Ia mengangkat kedua alisnya seolah-olah ia tidak percaya. Ia bahagia di luar istana. Inilah saat-saat ia tunggu selama bertahun-tahun. Keluar dari istana! Tentu ia tidak ingin menikmati kehidupan luarnya hanya untuk sehari. Sepuluh banding satu sangatlah tidak adil. Sherene butuh ketenangan. Terlebih lagi, raja akan menikahi Cassandine. Itu sudah sangat jelas. Sherene menempatkan tangan kanannya ke atas lengan Khazaz lalu mengelusnya dengan lembut. Ia menggelengkan kepalanya kemudian ia mendongak untuk melihat Khazaz.
            “Aku senang tinggal di luar, Khazaz,” bisik Sherene. “Kau tidak tahu bagaimana rasanya ..bertumbuh tanpa sepasang orangtua yang lengkap dan selalu dikekang. Terlalu banyak cinta dalam diriku yang ingin kusalurkan pada orang-orang namun aku tidak mempunyai orang-orang yang dapat kuberikan cinta. Di luar sini, aku bisa melihat anak-anak kecil bermain di tanah yang kosong dan tertawa-tawa –baiklah itu hanyalah bayanganku—tapi itulah yang ingin kulihat! Anak-anak kecil yang bahagia. Membuat mereka bahagia, apa di istana kau melihat anak-anak kecil? Tidak! Oh, aku sangat menyukai dunia luar,” jelas Sherene tak sadar telah meremas tangannya sendiri dan menatap ke atas dengan wajah berangan-angan, ia menggigit bibir bawahnya lalu bibirnya terlepas dari gigitannya sedetik kemudian. Ia mendesah.
            Khazaz menelan ludahnya. “Aku mengerti,” gumamnya. “Jaga dirimu baik-baik. Jangan sampai Justin mendapatkanmu. Aku akan selalu merindukanmu. Omong-omong, Chista juga merindukanmu,”
            “Chista!” seru Sherene sadar. “Beritahu padanya kalau aku sangat merindukannya sekarang. Hari ini sangat terasa ganjil ketika aku tidak melihatnya. Terima kasih sudah berkunjung,”
            “Aku pastikan kata-kata yang kaukatakan tadi sampai pada Chista,” balas Khazaz tersenyum. “Bagaimana luka-lukamu? Apa kau sudah sembuh?” Tanya Khazaz ingin membuka tudung Sherene yang menutupi kepala Sherene. Sherene tersenyum dan mengangguk, tanda ia sudah sembuh. “Bagus. Aku ingin membeli kuemu,” Khazaz menggantikan topik pembicaraan.
            “Tentu. Kau ingin kue yang mana? Semuanya lezat!” Sherene mulai berjalan menuju belakang mejanya dan mengeluarkan tempat-tempat kue untuk memperlihatkannya pada Khazaz.

***

            “Justin?” Cassandine berusaha untuk membujuk Justin agar tidak terlalu memikirkan Sherene. Malam sudah menjadi bagian dari mereka. Setelah seharian penuh para prajurit masih mencari Sherene. Ada perasaan cemburu dalam diri Cassandine. Ia benar-benar ingin membunuh Justin ketika Justin lebih mementingkan Sherene, meski ia tidak benar-benar mengamini apa yang ia inginkan sekarang. Ia hanya dibakar oleh api cemburu dan membutuhkan air yang memadamkannya. Mengapa harus selalu Sherene? Apa Justin tidak merasa bahwa Cassandine benar-benar cemburu? Untunglah, Cassandine adalah gadis yang cukup sabar untuk menangani Justin. Untuk masalah ini, mungkin kesabaran Cassandine akan habis. Seharian penuh Justin menenggak bergelas-gelas anggur mahalnya tanpa tanggung-tanggung. Cassandine tidak ingin Justin mabuk. Tapi itu sudah terjadi sekarang. Justin mabuk.
            Justin tentu bukanlah raja yang patut ditiru oleh masyarakat. Mungkin memang, di luar sana Justin bersikap sangat sopan. Tapi dibalik batu istana, ia adalah lelaki yang benar-benar hancur. Terutama ketika Sherene masuk ke dalam kehidupannya dan meninggalkannya tanpa tanggungjawab penuh. Bagaimana bisa Sherene benar-benar melakukan apa yang  ia katakan? Justin kewalahan. Ia butuh anggur untuk menenangkannya. Sekilas Justin memang merasa lebih baik, tapi tidak ketika bayang-bayang Sherene semakin menghantui pikirannya. Justin terduduk di atas lantai kamarnya, menatap Cassandine yang terduduk di atas tempat tidurnya sambil menatapnya dengan kedua alis yang bertaut.
            “Justin, tidakkah sebaiknya kau membaringkan tubuhmu dan beristirahat? Aku sungguh khawatir dengan keadaanmu,” ujar Cassandine lembut. Rasanya Cassandine ingin menangis karena perlakuan Justin yang berubah semenjak Sherene datang ke kehidupan Justin. Ada yang berubah antara Cassandine dan Sherene. Sherene tidak tahu saja, ketika Justin dan Cassandine keluar dari istana, Justin selalu menceritakan tentang Sherene pada Cassandine. Sudah berkali-kali Cassandine berusaha untuk keluar dari topik pembicaraan itu, tapi Justin kembali mengangkatnya. Terlebih lagi, Justin memberitahunya bahwa Sherene hampir sama sepertinya. Cassandine tidak sama sekali dengan Sherene.
            “Sherene, kemana dia?” Lenguh Justin mengadahkan kepalanya ke atas, pasrah, putus asa.
            “Aku tidak ingin membicarakan tentang Sherene, Justin. Aku cemburu, terserah kau mendengarku atau tidak. Tapi aku ingin tidur,” ujar Cassandine merangkak dari tempatnya agar semakin naik ke atas tempat tidur. Ia membaringkan tubuhnya lalu menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Cassandine memiringkan tubuhnya ke samping, menatap pintu balkon kamar Justin yang terbuka. Posisinya benar-benar sama ketika Sherene berbaring di atas tempat tidur itu. Bedanya, Cassandine sekarang menangis. Tak terasa ia menitikan air matanya. Jika ia adalah orang yang jahat, sudah pasti ia membunuh Justin. Belum saatnya atau tidak akan ada saatnya ia akan membunuh Justin? Tidak mungkin ia sanggup membunuh Justin ketika perasaan cintanya masih bersemi.
            “Dia tidak mengerti perasaanku bagaimana ketika ia membicarakan Sherene,” bisik Cassandine masih membuka matanya dengan air mata yang kembali menitik. “Oh, demi Tuhan, aku harap aku bisa hidup di Persia demi dirinya. Sherene benar-benar membuat hubunganku dan Justin terhambat,”
            “Cassandine? Ada apa? Apa kau menangis?” Justin bangkit dari lantai. Sebisa mungkin Justin berjalan tegak dan tidak sempoyongan, namun kepalanya benar-benar pening. “Sayang, aku hanya …merindukan Sherene. Kau harus mengerti, ia haremku satu-satunya yang dapat memenuhi kebutuhanku. Tapi hatiku hanya untukmu, kumohon percayalah padaku,”
            “Ya, aku percaya padamu. Tidurlah,” ajak Cassandine berdeham. Ia mulai memejamkan matanya.
            “Temani aku malam ini, Cassandine kumohon, aku membutuhkanmu. Tidak ada Sherene, oh dia membuatku gila,” bujuk Justin ingin berhubungan badan dengan Cassandine. Ia merangkak ke atas tempat tidur, mendekati Cassandine yang memunggunginya. Ia menempatkan tangan kirinya ke atas lengan Cassandine lalu mengelusnya.
            “Aku sedang tidak ingin berhubungan badan dengamu, Justin, aku lelah,” tolak Cassandine lembut. “Terkadang aku ingin sekali membunuhmu, Justin,” gumam Cassandine mengutarakan perasaannya. Justin terkekeh pelan. Ia mengubur kepalanya ke sela leher Cassandine, mencium lehernya dengan lembut. Justin tahu itu hanyalah sebuah gurauan dari Cassandine. Ia tahu Cassandine mencintainya, mungkin, karena Cassandine sangat cemburu. Mungkin benar apa yang dikatakan Sherene padanya, Justin mencintai Sherene hanya saja Justin benci mengakuinya. Sekarang, Justin seperti mencium wangi harum tubuh Sherene di tubuh Cassandine.
            “Mengapa kau ingin membunuhku?”
            “Aku kesal. Kau selalu memikirkan Sherene sejak kedatanganku. Mengutamakan dirinya dibanding diriku. Apa kau pikir inilah yang kuinginkan jika aku bertemu denganmu?” Tanya Cassandine putus asa. Ia membiarkan Justin terus menerus mencium lehernya meski ia sama sekali tidak bergairah. Apalagi ia dapat mencium wangi anggur dari mulut Justin. Ia tidak suka jika Justin mabuk seperti ini. Sama seperti ketika di Roma. Saat ia bersusah payah mengangkat Justin ke atas tempat tidur kamarnya karena Justin datang ke rumahnya dengan keadaan mabuk. Cassandine mendesah.
            “Jika kau ingin menjadi istriku, kau harus menghapus segala rasa cemburu itu. Kau tahu aku mencintaimu, mengapa kau harus ragu jika aku akan pergi darimu?”
            “Karena kau tidak pernah memperlakukanku seperti kau memperlakukan Sherene,” desah Cassandine memejamkan matanya. Dan kembali, air matanya menetes. “Tampaknya ia memang terlihat seperti haremmu. Tapi aku tahu, kau tidak menganggapnya hanya sebagai seorang harem. Kau mencintainya, aku tahu itu,”
            “Bagaimana bisa kau tahu aku mencintainya?” Justin menautkan kedua alisnya, nada suaranya terdengar protes.
            “Kau sangat peduli padanya. Kau selalu mengunjunginya. Tentu aku tahu apa yang kaulakukan dengannya sejak aku dan Sherene bertemu pertama kali. Aku lebih memilih untuk tidur di penginapan yang kumuh dibanding harus tidur di sebuah istana,” ujar Cassandine mengerjap-kerjapkan matanya. “Berhenti menciumiku, Justin,”
            “Cassandine, kumohon jangan marah padaku, ayo kita lalui malam ini dengan kenikmatan,” ajak Justin terus membujuk. Tapi Cassandine memang tidak dapat dirayu secepat itu. Ia masih kesal dengan Justin. Jika Sherene memang bisa membuat Justin kembali normal seperti dulu, ia akan mencari Sherene dan membawa Sherene pada Justin. Ya, jika itu benar-benar diperlukan. Cinta dewasa ketika melihat orang yang kaucintai tersenyum, meski bukan karenamu.
            “Tidak,” bisik Cassandine benar-benar menolak. Ia menarik selimut itu semakin tinggi ke sampai menutupi dadanya. Justin mendecak kesal, ia bangkit dari tempat tidur. “Kau mau kemana? Istirahatlah, temani aku tidur,” ajak Cassandine.
            “Aku tidak bisa tidur jika bukan Sherene yang menemaniku tidur,”
            “Lalu mengapa kau ingin menikahiku? Lebih baik kau menikahi Sherene,”

            “Cassandine, jangan memulai,” tukas Justin segera sebelum ia marah. Cassandine terdiam. Ia memejamkan matanya. Berusaha untuk masuk ke dalam alam bawah sadarnya agar segala yang ia pikirkan sirna untuk sesaat. Setidaknya, selama ia memejamkan matanya. Ia harap ada seseorang yang ingin memeluknya sekarang. “Aku ingin mencari Patricia.”



***

            “Bagaimana rasanya?” Tanya Sherene memberikan beberapa kue yang ia beli dari toko kuenya sendiri pada anak-anak kecil yang sedang bermain-main di tanah kosong dekat toko kuenya. Mereka sedang bermain bola yang terbuat dari serabut kelapa dan daun kelapa. Namun mereka sekarang sedang beristirahat. Sherene duduk di atas pohon besar yang tumbang, menemani anak-anak kecil yang bermain bola itu dengan kue yang ia bawa. Ia sangat senang berbagi.
            “Lezat!” Puji anak-anak itu berteriak. Sudah hampir satu bulan, hampir satu bulan ia tinggal di luar istana. Ia merindukan Justin. Dan Justin juga belum turun ke lapangan untuk mencari Sherene. Meski Sherene sebenarnya tidak begitu mengharapkan Justin menemuinya kembali. Karena terakhir kali ia bertemu dengan Justin, Justin menyakitinya. Rambut Sherene tidak tampak bersinar dan mengilau seperti dulu. Warna lebih kusam sekarang. Sehingga ia tidak perlu repot-repot memakai tudung meski ia masih memakai jubah kusamnya. Patricia bersandiwara di depan Justin, ia ikut panik mencari-cari Sherene, tapi sebenarnya dalam hati Patricia tertawa. Ada rasa takut dari Patricia ketika tiap kali Justin bertemu dengan Khazaz, tatapan Justin menandakan kebencian terdalam dan matanya berbicara. Seolah-olah Justin berkata pada Khazaz melalui matanya, bahwa sebentar lagi ia akan mati di tangannya. Jika sudah lebih dari tiga minggu Sherene tidak kembali ke istana, pasti akan ada sesuatu yang dapat memanggilnya. Patricia juga sering mengunjungi Sherene dengan alasan pada Justin kalau ia ingin mencari Sherene.
            Berbeda dengan Cassandine yang masih terkekang di dalam istana. Semakin hari keadaan Justin semakin memburuk. Ia selalu saja berbicara dengan nada tinggi pada Cassandine. Hingga siang ini, ketika sedang makan siang, di ruang makan, Cassandine angkat bicara.
            “Ada sesuatu yang dapat membuat Sherene datang ke istana,” ujar Cassandine.
            “Apa?” Justin tertarik sambil memasukan makanan ke dalam mulutnya.
            “Khazaz,” ujar Cassandine. “Kau menginginkan Sherene? Tahan Khazaz, bawa dia ke tengah-tengah kota dan tunggu Sherene datang. Kau mengerti maksudku? Memancing Sherene untuk datang demi menyelamatkan Khazaz,” jelas Cassandine meski ia sedikit enggan untuk melakukan itu. Ia tentu sebagai wanita yang normal tidak ingin melihat Justin bersama dengan wanita lain. Tapi mau diapakan lagi? Justin terlihat sangat resah. Tiap hari Cassandine harus menahan dirinya agar tak menangis ketika Justin selalu mengusirnya dari kamar agar Justin dapat menikmati 3 atau 4 haremnya di kamarnya. Bagaimana bisa Justin dengan mudahnya melakukan itu pada Cassandine?
            “Kau memang cerdas,” puji Justin. “Lakukan sekarang,”
            “Tentu, jika itu maumu,” bisik Cassandine.
            “Pengawal!” Teriak Justin tak sabaran. Saat itu juga pengawal dari luar ruang makan masuk ke dalam. Ia berjalan mendekati kursi Justin lalu berdiri dengan tegap. “Tahan panglima Khazaz hari ini. Bawa dia ke tengah-tengah kota dan siapkan gantungan untuknya,”
            “Baik, Yang Mulia,” ucap pengawal itu mantap. Ia berjalan keluar dari ruang makan lalu pintu tertutup terdengar.
            “Setelah itu aku ingin pergi dari sini,” tukas Cassandine tiba-tiba. Justin terbelalak.
            “Ap-apa? Tidak, kau tidak bisa,” Justin menggeleng-gelengkan kepalanya.
            “Mengapa? Bukankah kau yang menginginkan Sherene? Kau tidak menginginkanku, kau hanya rindu denganku dalam jangka waktu yang singkat lalu ..sudah. Kau tidak membutuhkanku lagi. Aku ingin kembali ke Roma,”
            “Tidak, kau tidak bisa!” Justin berteriak. Inilah Justin tiap harinya. Nada suaranya tidak pernah rendah. Ia selalu membentak Cassandine. Itu semua dikarenakan Justin benar-benar merindukan Sherene. Bahkan Justin pernah menangis sendirian hanya karena ia merindukan Sherene. Ia putus asa. Rasanya kehidupannya benar-benar hambar ketika ia tidak dapat melihat wajah Sherene. Apa yang telah ia perbuat pada Sherene terakhir kali itu karena luapan amarahnya yang tidak dapat ia tampung. Dia benar-benar menyesal dengan apa yang ia perbuat. Jika hari ini ia dapat bertemu dengan Sherene, ia sudah pasti akan memeluk Sherene dan mengatakan maaf entah harus berapa kali ia ucapkan. Ia seperti tubuh tanpa jiwa. Tidak ada Sherene akalnya hilang. Ia akan memperlakukan Sherene sebaik mungkin jika ia dapat bertemu dengan Sherene.
            Cassandine terdiam. Ia tidak ingin membantah Justin. Belum saatnya ia membantah Justin. Ia mungkin bisa pergi dengan sendirinya dari istana tanpa sepengetahuan Justin. Apa itu dapat membuat Justin mencarinya seperti Justin mencari Sherene? Tapi tidak mungkin. Ia ingin segera pergi ke Roma. Tatapan tajam Justin pada garpu yang ia pegang membuatnya memiliki niat untuk menahan Khazaz di tengah-tengah kota selama dua hari dengan dua tangan tergantung. Jika Sherene belum muncul juga, maka leher Khazaz yang akan tergantung. Banyak sekali bayang-bayang buruk dari Justin terhadap Sherene. Apa pekerjaan Sherene di luar sana? Apa dia baik-baik saja? Sampai ia berpikir, apa Sherene sudah mati terbunuh oleh seorang pembunuh berantai? Ia sangat takut kehilangan Sherene. Ia butuh Sherene kembali padanya dengan keadaan yang baik-baik saja.
            Kenyataannya adalah Justin tidak akan bertemu dengan Sherene sama seperti ia melihat Sherene di istana. Keadaan Sherene secara jasmani memang sangat sehat. Tapi tidak dengan penampilannya dari luar. Ia tidak secantik dulu. Tapi siapa yang peduli? Justin hanya butuh Sherene sekarang. Memeluknya. Menciumnya. Mengelus rambutnya seperti dulu. Meski waktu yang ia tempuh dengan Sherene sungguh singkat, namun gadis itu pintar memikat. Patricia tidak memberitahu dimana gadisnya berada, bahkan Patricia ikut membantunya. Lalu ia berpikir, apa Sherene pergi dari tanah Persia? Tidak mungkin. Sherene tidak berani pergi sendiri keluar dari tanah Persia, tapi cukup berani untuk melangkah pergi dari istana. Jika Sherene bukan harem, melainkan tahanan, sudah pasti kepala Sherene akan terpisah dengan kepalanya. Prajurit-prajuritnya tiap hari mencari Sherene, bertanya-tanya, apakah ada perkembangan dari pencarian Sherene? Apa ada seseorang yang pernah bertemu dengan Sherene? Mereka sudah memberitahu bagaimana bentuk fisik Sherene. Tapi tidak ada yang pernah menemukan Sherene. Lalu sesuatu memukul hati Justin, kencang, sangat kencang.
            Ia sadar sekarang.
            Ia mencintai Sherene.
            Garpu yang ia pegang lepas begitu saja dari genggamannya, menghasilkan bunyi yang ricuh di ruang makan yang hening.

***

            Sherene hampir saja jatuh dari pohon yang ia duduki. Ia mengantuk. Ia butuh istirahat. Pikirannya langsung tertuju pada Justin. Apa yang Justin lakukan sekarang? Tiap harinya ia memang mengingat Justin, namun pikiran Justin pasti akan segera lenyap ketika ia sangat sibuk di toko kuenya. Anak-anak berkulit hitam itu kembali bermain di tanah yang kosong. Sherene bangkit dari pohon itu lalu melambaikan tangan pada anak-anak itu yang segera dibalas oleh mereka. Tangan Sherene menarik cepat tudung jubahnya untuk menutupi wajahnya. Meski rambutnya tak terlihat, tapi tetap saja, matanya yang mencolok itu pasti membuat masyarakat sekitar dapat curiga dengannya.
            Ia harus pulang dan beristirahat. Ia bersenandung kecil, entah lagu apa yang sedang ia nyanyikan, hanya bersenandung. Ketika ia hampir sampai di depan rumahnya itu, suara kaki kuda berjalan terdengar. Dengan segera ia menundukkan kepalanya. Ia tahu siapa mereka. Para prajurit dari istana. Apa mereka tidak lelah mencarinya terus menerus? Bahkan, mereka memberitahu pada masyarakat, jika ada seseorang yang menemukan Sherene, mereka akan mendapatkan bayaran yang sangat mahal dari sang raja. Apa Justin segila itu? Ya, Justin memang sinting dan kehilangan akalnya. Sherene mengintip dari balik tudungnya, untuk melihat apa yang terjadi, lalu matanya terbelalak. Khazaz! Demi para dewa apa yang akan Justin lakukan pada Khazaz? Ia melihat Khazaz berada di dalam kereta kuda melalui jendela bergigi itu dengan keadaan terikat. Kereta kuda itu sudah pergi dari hadapannya, tapi masih ada kuda lain yang melewatinya. Ia mengintip kembali.
            Itu Justin. Bukan kalimat, tapi pertanyaan. Itu Justin? Tidak mungkin! Tubuh Justin tidak mungkin sekurus itu. Wajahnya terlihat pucat dan ia memiliki janggut yang tumbuh di sekitar dagunya! Apa Justin tidak mencukur janggutnya? Tapi jika dipikir-pikir, Justin cukup cocok dengan janggut yang tumbuh itu. Ia tersenyum dengan pikirannya yang nakal itu. Justin sudah melewatinya. Dan ya, Sherene melihat Justin seperti Justin memiliki tubuh tanpa jiwa. Ketika kuda-kuda itu sudah tidak melewatinya, ia mengikuti kuda-kuda itu. Mereka ingin pergi kemana?
            “Sherene! Jangan ke sana, aku akan menjelaskannya padamu!” Suara Chista sungguh mengejutkan tubuhnya. Ia hampir kehilangan nafas dan detak jantungnya berhenti sesaat. Chista sungguh mengejutkannya! Kurang baik. Ia membalikkan tubuh untuk melihat Chista. “Aku tahu apa yang akan mereka lakukan pada Khazaz. Aku keluar dari istana sembunyi-sembunyi untuk menemuimu. Patricia ada di dalam kereta kuda yang sama dengan Khazaz,”
            “Apa?” Sherene tidak sabar apa yang akan Chista katakan padanya. “Apa yang akan Justin lakukan?” Tanya Sherene menarik tangan Chista menuju toko kuenya. Mereka masuk ke dalam dan menutup pintu lalu menguncinya.
            “Raja Justin akan menggantung mereka di tengah-tengah kota!” Jerit Chista ketakutan.
            “Apa?” Teriak Sherene tidak dapat menahan keterkejutannya. Patricia akan dibunuh oleh Justin? Oleh anak tirinya sendiri? Mengapa Justin begitu kejam?
            “Ia akan menghentikan acara gantungan leher itu ..jika kau datang. Mereka akan ditahan selama dua hari di depan umum dan jika kau tidak datang, mereka akan benar-benar digantung! Ya Tuhan!” Desah Chista tak percaya –masih tak percaya. Mata Sherene membulat. Apa Justin sudah kehilangan otaknya? Sherene menelan ludah. Mulut Sherene beku. Lidahnya kelu. Tidak ada yang harus katakan. Ia kehabisan kata-kata, lebih tepatnya. Bibirnya tiba-tiba pucat begitu saja. Ia hanya …tidak percaya. Apa Justin benar-benar melakukan itu hanya untuk mendapatkan Sherene kembali? Sherene membalikkan tubuhnya ke belakang, memunggungi Chista.
            Jari-jarinya sudah berada di mulutnya. Ia menggigit salah satu jarinya dengan mata yang menatap lantai dengan perasaan resah. Ia merasakan dilema. Ia belum bisa bertemu dengan Justin sekarang. Ia tidak ingin masa-masa kebahagiaannya berakhir begitu saja. Jika ia kembali ke istana, ia tidak akan pernah bisa keluar dari istana lagi. Ia tidak akan bisa melihat senyuman dari anak kecil lagi. Tapi Khazaz dan Patricia adalah orang-orang yang berpengaruh dalam hidupnya. Apa ia harus muncul di hadapan Justin secepat ini? Justin Sialan Xerxes Picik! Sherene mendesah lalu ia berbalik.
            “Aku akan datang ke sana, sekarang,”
            “Kau yakin?”

            “Jika itu diperlukan.” Bisik Sherene pasrah. Ia menatap Chista dengan tatapan mantap lalu menganggukan kepalanya satu kali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar