***
“Dimana
dia?” Justin berteriak dengan penuh keresahan. Wajahnya berwarna merah. Ketika
malam menjemput Justin dan Cassandine, Justin pergi ke kamar Sherene tidak
mendapati Sherene di dalamnya. Ia sangat kesal. Cassandine ada di atas tempat
tidur Justin, memerhatikan kekasihnya sedang berjalan bolak-balik di tempatnya
dengan keadaan yang benar-benar kesal. Sesaat Cassandine berpikir, sebegitu
berharganyakah Sherene hingga Justin benar-benar marah? Ia menyuruh seluruh
prajurit mencari Sherene di seluruh sudut istana. Sherene pasti sedang
bersembunyi. Mengapa Sherene tidak ada habis-habisnya memancing amarah Justin?
Tidak mungkin Sherene benar-benar serius dengan perkataannya tadi malam bahwa ia
pergi dari Justin jika Justin menyakitinya. Justin terduduk di atas lantai dan
menyandarkan punggungnya pada tembok. Justin menjambak rambutnya dan menyesali
apa yang telah ia perbuat. Demi para dewa, Justin tidak percaya tadi malam ia
benar-benar menyakiti Sherene. Oh, ia menyakiti gadis yang ia butuhkan. Dan
kebutuhannya tidak bisa ia dapatkan dari siapa pun. Penawar penyakitnya
menghilang.
Jeritan-jeritan
malam itu menghampiri Justin. Tangisan Sherene. Tangan Sherene yang terus
menerus memukul punggung, dada dan lengannya. Namun Justin terus memperkosa
Sherene. Ia menjambak rambut Sherene penuh kekejaman. Dan ia mencekik gadis itu
sampai gadis itu hampir mati! Ia hampir saja membunuh sumber kebutuhannya!
Justin rasa ia benar-benar gila. Apa dia mencintai Sherene? Tidak mungkin. Ini
baru satu minggu ia menjalani kehidupannya sebagai raja dan ia telah mencintai
seorang harem? Dalam mimpi! Namun perasaan cemburu selalu menghampirinya ketika
ia mendengar Sherene dekat dengan lelaki lain. Seolah-olah Sherene hanya
miliknya seorang. Dan seakan-akan Sherene harta karun yang ia dapatkan! Justin
mendengar Cassandine mendesah.
“Apa
kau tidak menganggapku ada di sini Justin? Mengapa kau sibuk-sibuk memikirkan
dia? Aku cemburu perlu kau tahu,” tukas Cassandine kesal. Tapi Justin tidak
mempeduli Cassandine kesal atau tidak. Ia hanya butuh Sherene di hadapannya dan
akan memarahinya. Justin sangat khawatir sekarang. Bagaimana jika Sherene belum
makan di luar sana? Atau ia diperkosa oleh gelandangan? Gadisnya. Oh, andai waktu dapat terputar kembali, ia pasti tidak
akan menyakiti Sherene. Khazaz! Sial, Khazaz. Pasti dia yang menyembunyikan
Sherene. Justin bangkit dari lantai lalu mengambil pedangnya yang bertengger di
tembok. Lalu ia keluar dari kamarnya setelah ia membuka pintu.
“Kau
mau kemana Justin?” Cassandine bangkit dari tempat tidur Justin.
“Ke
kamar bajingan itu!” bentak Justin
menutup pintu kamarnya dengan kasar. Cassandine tersentak, ia mendengus kesal.
Rasanya ia ingin membunuh Justin sekarang! Tapi tidak, ia tidak bisa membunuh
Justin sebelum ia menjadi seorang ratu! Sial.
Justin
melangkahkan kakinya menuju kamar Khazaz yang dekat dengan kamarnya. Ia
menuruni tangga, di dekat tangga, di situlah kamar Khazaz berada. Berada di
depan pintu kamar Khazaz, ia tidak perlu mengetuk atau berteriak memanggil nama
Khazaz, ia segera mendobrak pintu kamar Khazaz dengan kakinya. Terlihat Khazaz
sedang berusaha tidur di atas tempat tidurnya. Ketika Khazaz membuka matanya,
ia segera bangkit dan memberikan hormat pada Justin.
“Yang
Mulia,”
“Simpan
kata-kata terakhirmu itu di tali yang akan kusiapkan untukmu,” ujar Justin. Ia
segera menarik kerah pakaian Khazaz lalu mendorong tubuh Khazaz ke tembok
hingga kepala Khazaz terbentur. “Dimana Sherene? Dimana gadisku?” Justin membentak.
“Yang
Mulia, aku sama sekali tidak tahu,” seru Khazaz mengangkat kedua tangannya,
ketakutan saat Justin memunculkan pedang itu di hadapannya. Ujung pedang yang
runcing itu menempel di bawah dagunya, di dekat lehernya. Khazaz memang
mengatakan yang sebenarnya. Awalnya, Patricia ingin mengajak Khazaz tapi ia
mengurungkan niatnya, sehingga Khazaz tidak diajak pergi keluar untuk mengantar
Sherene pergi. “D-dia pergi dari istana,”
“Kemana
bajingan?”
“Aku
tidak tahu, Yang Mulia, aku mengatakan yang sebenarnya,” Khazaz tergagap.
“Jika
aku mendapatimu berdusta, aku benar-benar akan melayangkan pedang ini ke
lehermu untuk menebas kepalamu. Lalu aku akan menancapkan kepalamu di salah
satu tombakku dan mempertontonkannya di tengah-tengah kota!” Ancam Justin melepaskan
Khazaz yang langsung saja melemas tubuhnya. Pedang itu sungguh runcing!
“Beritahu
seluruh prajurit untuk mencari Sherene ke seluruh pelosok negeri!” Perintah
Justin tegas.
“Ya,
Yang Mulia.” Khazaz menganggukan kepalanya.
***
Sherene
menatapi refleksinya dari pantulan cermin. Wajahnya tidak bengkak, hanya memar.
Sudut bibirnya terluka. Rambutnya menutupi leher bagian belakang, namun tidak
di bagian depan. Lehernya masih terasa sakit ketika ia menyentuhnya.
Bilur-bilur di sekitar lehernya terlihat membiru. Bekas cekikan dari Justin.
Apa Justin ingin ia mati dalam waktu dekat? Inilah yang ia dapat? Kematian dari
lelaki yang ia cintai? Menakjubkan. Kamarnya kali ini lebih indah. Ia
menyukainya. Lemari, meja dan cermin. Hanya saja rasanya berbeda. Ia berada di
luar istana. Nafas yang ia hirup bukan dari istana. Aroma-aroma kue dari luar
tercium. Adik Patricia berada di belakangnya, Beth, tersenyum padanya.
“Prajurit
dari istana kurasa sedang mencarimu. Seperti yang Patricia katakan, kita harus menyanggul
rambutmu dan menutupnya dengan kerudung. Kau akan terlihat sangat cantik,”
“Aku
tidak pernah memakai kerudung sebelumnya,”
“Seharusnya
sejak dulu kau memakainya, jika kau berada di Israel, kau pasti akan ditegur
karena tidak menutup rambutmu,” ujar Beth yang memegang kain persegi berwarna
hijau. Ia mulai menyanggul rambut Sherene hingga benar-benar tersanggul dengan
baik. Kemudian ia mulai memakaikan Sherene kain hijau itu dan memasangnya
menjadi kerudung. Selesai, Sherene mulai melihat dirinya kembali dari pantulan
cermin. Ya, ia terlihat berbeda dengan kerudung ini. Terlebih lagi, memar di
sekitar lehernya sudah tidak telihat lagi.
“Pakaianmu.
Kita harus mengganti pakaianmu,” tukas Beth keluar dari kamar Sherene, ia
hendak mengambil pakaian yang tidak begitu mewah bagi Sherene lalu membakar
pakaian itu agar tidak ada jejak dari Sherene.
“Tentu,”
Sherene tidak menolehkan kepalanya. Ia masih menatap dirinya sendiri. Ya,
Justin tidak akan bisa menemukannya. Tidak sekalipun. Entah mengapa, Sherene
merasa puas karena telah pergi dari istana.
Dari
kekangan.
Dan
Justin Cyrus Xerxes.
***
Hari
pertama mempunyai kesan menarik bagi Sherene. Setelah ia tinggal di istana, ia
tidak pernah memakai pakaian seperti ini. Meski memang sejenis gaun, tapi tidak
seburuk ini. Warna yang ia pakai biasanya pun selalu warna yang harganya sedang
melambung tinggi. Rambutnya tidak dihias lagi sejak ia tidak tinggal dengan
Patricia meski ia bisa melakukannya sendiri. Ia masih mencuci rambutnya, tapi
tidak sebersih di istana. Tidak apa-apa, ia masih sangat senang karena akhirnya
ia tahu bagaimana rasanya tinggal di sebuah rumah yang sederhana. Ia memakai
jubah berwarna cokelat kusam yang diberikan oleh Beth ketika ia menjadi pelayan
di toko kue itu. Menunggu pengunjung datang dengan senyum sumringah, menatapi
orang-orang yang berlalu lalang di depan toko kuenya.
Kue-kue
buatan Beth dan pelayan-pelayan yang lain di belakang dapur memang lezat.
Sarapan pagi Sherene kali ini lebih terasa nyata. Tidak seperti di istana. Di
satu sisi, ia merindukan Justin, ia membenci Justin, mencintai Justin dalam
waktu yang bersamaan. Ia tidak dapat menjelaskan bagaimana rasanya. Puas,
bahagia, sedih, dan bangga. Bangga karena ia dapat melawan Justin, mengancam
Justin, tidak ada harem yang berani melakukan itu selain dirinya. Meski sedari
tadi malam para prajurit dari istana mencarinya, untunglah ia memakai kerudung
berwarna hijau di kamarnya, ketika ia sedang tidur. Tapi prajurit-prajurit yang
masuk ke dalam kamarnya tidak mendapatinya karena ia sedang tidur dan Beth
mengatakan bahwa ia sedang sakit, tapi tidak memberitahu bahwa itu ialah
Sherene, tentu saja. Dan ada rasa sedikit senang, Justin ternyata cukup
perhatian padanya sampai-sampai mencarinya. Namun ia tahu, pada akhirnya, jika
ia bertemu denga
n Justin kembali, ia akan
merasakan hal yang sama jika Cassandine masih berada di tempat.
Ia
cukup khawatir dengan Khazaz yang tentu akan menjadi korban tamparan Justin.
Tapi kembali Sherene berpikir dua kali, tidak mungkin Khazaz lemah. Ia bahkan
memiliki tubuh lebih besar dibanding Justin. Pikiran Sherene terhenti di sana
ketika seseorang masuk ke dalam toko kuenya dengan pakaian yang ia sangat
kenal. Pakaian dari kerajaan. Tubuh tinggi besar. Lelaki yang baru saja ia
pikirkan sekarang. Khazaz datang dengan keadaan yang ..sempurna. Entah mengapa
Sherene sangat senang melihat Khazaz, rasanya ia ingin menceritakan padanya
betapa bahagianya ia tinggal di luar istana.
“Khazaz!”
Sherene berlari kecil dari balik meja kuenya ke depan untuk memeluk Khazaz yang
belum mengatakan apa-apa, menyapa saja belum. Sherene langsung memeluk Khazaz
dengan erat. Ia cukup merindukan Khazaz dan sekaligus khawatir, takut.
“Aku
sedang mencari Sherene Madrigal, apa dia ada di sini?” Khazaz mendorong tubuh
Sherene agar menjauh darinya. Ia sedang bercanda. Kepalanya menoleh ke
kanan-kiri untuk melihat apakah di sana ada Sherene Madrigal? Lalu Sherene ikut
menatap toko kue Beth.
“Kurasa
tidak, siapa dia?” Tanya Sherene, menahan tawanya. Ternyata ia bisa bersandiwara
dalam kegentingan yang ia rasa sangat santai. Khazaz mengedik bahunya lalu
mendecak.
“Entahlah.
Aku tidak bisa mendekskripsikannya seperti apa. Dia sangat sempurna. Dia adalah
harem kesayangan raja, tapi ia kabur dari istana sampai-sampai raja mengacungkan
pedangnya ke leherku. Apa kau percaya itu? Omong-omong, siapa namamu?”
“Eshter
Deylammi,” ujar Sherene asal. “Mengacungkan pedangnya ke lehermu? Dia berusaha
membunuhmu?” Sherene terkejut ketika kenyataan kembali masuk ke otaknya. Mata
Sherene segera terarah pada leher Khazaz, tapi ia tidak menemukan sedikitpun
goresan di sana. Tangannya terangkat dan menyentuh leher Khazaz, ia mengangkat
leher itu.
“Bagaimana
kau tahu aku ada di toko kue ini? Patricia memberitahumu?” Tanya Sherene.
Khazaz menganggukan kepalanya dan memegang tangan Sherene yang mungil itu dari
lehernya.
“Raja
benar-benar murka. Wajar saja ia marah, aku tidak ingin membantahnya malam
tadi. Meski aku tahu, aku berada pada penghujung kematian. Kau percaya ia
mengacungkan pedangnya padaku? Memang, benar, ia hampir membunuhku. Tapi aku
tahu ia tidak akan melakukannya karena ia berpikir akulah yang
menyembunyikanmu,”
“Secara
tidak langsung, kau memang menyembunyikanku meski ide itu muncul dari
Patricia,” gumam Sherene melipat bibirnya ke dalam kemudian menipiskan
bibirnya. “Setidaknya, kau tidak apa-apa. Biarkan ini menjadi pelajaran bagi
Justin. Ia telah menyakitiku, kau tidak tahu seberapa sakitnya tubuhku
sekarang. Tapi ya, aku berpikir, semua ini,”—Sherene mengangkat kedua
tangannya—“sempurna! Tak terbayangkan betapa senangnya aku sekarang. Meski aku
memang tidak boleh sering keluar. Dan jubah ini harus selalu menutupi tubuhku,”
“Harus
kuakui, kau tidak seperti Sherene Madrigal di istana yang selalu terlihat
bersinar. Tapi lihatlah kau sekarang. Pakaianmu kusam dan kau…” suara Khazaz
menghilang lalu ia mendekatkan hidungnya pada leher Sherene.
“Aku
apa?” Tanya Sherene menjauh dari Khazaz.
“Kau
tidak sewangi di istana,” ejek Khazaz. “Tapi tetap cantik,” lanjutnya
buru-buru. Seperti biasanya, pipi Sherene selalu memerah. Bedanya, pipinya kali
ini bersemu merah karena pujian dari Khazaz, sang panglima. Tangan Sherene
memukul pundak Khazaz, ia mendorong tubuh Khazaz lebih jauh darinya sambil
tertawa-tawa.
“Cepatlah
kembali ke istana, Sherene, aku merindukanmu,” gumam Khazaz tiba-tiba raut
wajahnya berubah. Untuk beberapa saat Sherene berpikir. Ia mengangkat kedua
alisnya seolah-olah ia tidak percaya. Ia bahagia di luar istana. Inilah
saat-saat ia tunggu selama bertahun-tahun. Keluar dari istana! Tentu ia tidak
ingin menikmati kehidupan luarnya hanya untuk sehari. Sepuluh banding satu
sangatlah tidak adil. Sherene butuh ketenangan. Terlebih lagi, raja akan
menikahi Cassandine. Itu sudah sangat jelas. Sherene menempatkan tangan
kanannya ke atas lengan Khazaz lalu mengelusnya dengan lembut. Ia menggelengkan
kepalanya kemudian ia mendongak untuk melihat Khazaz.
“Aku
senang tinggal di luar, Khazaz,” bisik Sherene. “Kau tidak tahu bagaimana
rasanya ..bertumbuh tanpa sepasang orangtua yang lengkap dan selalu dikekang.
Terlalu banyak cinta dalam diriku yang ingin kusalurkan pada orang-orang namun
aku tidak mempunyai orang-orang yang dapat kuberikan cinta. Di luar sini, aku
bisa melihat anak-anak kecil bermain di tanah yang kosong dan tertawa-tawa –baiklah
itu hanyalah bayanganku—tapi itulah yang ingin kulihat! Anak-anak kecil yang
bahagia. Membuat mereka bahagia, apa di istana kau melihat anak-anak kecil?
Tidak! Oh, aku sangat menyukai dunia luar,” jelas Sherene tak sadar telah
meremas tangannya sendiri dan menatap ke atas dengan wajah berangan-angan, ia
menggigit bibir bawahnya lalu bibirnya terlepas dari gigitannya sedetik
kemudian. Ia mendesah.
Khazaz
menelan ludahnya. “Aku mengerti,” gumamnya. “Jaga dirimu baik-baik. Jangan
sampai Justin mendapatkanmu. Aku akan selalu merindukanmu. Omong-omong, Chista
juga merindukanmu,”
“Chista!”
seru Sherene sadar. “Beritahu padanya kalau aku sangat merindukannya sekarang.
Hari ini sangat terasa ganjil ketika aku tidak melihatnya. Terima kasih sudah
berkunjung,”
“Aku
pastikan kata-kata yang kaukatakan tadi sampai pada Chista,” balas Khazaz
tersenyum. “Bagaimana luka-lukamu? Apa kau sudah sembuh?” Tanya Khazaz ingin
membuka tudung Sherene yang menutupi kepala Sherene. Sherene tersenyum dan
mengangguk, tanda ia sudah sembuh. “Bagus. Aku ingin membeli kuemu,” Khazaz
menggantikan topik pembicaraan.
“Tentu.
Kau ingin kue yang mana? Semuanya lezat!” Sherene mulai berjalan menuju
belakang mejanya dan mengeluarkan tempat-tempat kue untuk memperlihatkannya
pada Khazaz.
***
“Justin?”
Cassandine berusaha untuk membujuk Justin agar tidak terlalu memikirkan
Sherene. Malam sudah menjadi bagian dari mereka. Setelah seharian penuh para
prajurit masih mencari Sherene. Ada perasaan cemburu dalam diri Cassandine. Ia
benar-benar ingin membunuh Justin ketika Justin lebih mementingkan Sherene,
meski ia tidak benar-benar mengamini apa yang ia inginkan sekarang. Ia hanya
dibakar oleh api cemburu dan membutuhkan air yang memadamkannya. Mengapa harus
selalu Sherene? Apa Justin tidak merasa bahwa Cassandine benar-benar cemburu?
Untunglah, Cassandine adalah gadis yang cukup sabar untuk menangani Justin.
Untuk masalah ini, mungkin kesabaran Cassandine akan habis. Seharian penuh Justin
menenggak bergelas-gelas anggur mahalnya tanpa tanggung-tanggung. Cassandine
tidak ingin Justin mabuk. Tapi itu sudah terjadi sekarang. Justin mabuk.
Justin
tentu bukanlah raja yang patut ditiru oleh masyarakat. Mungkin memang, di luar
sana Justin bersikap sangat sopan. Tapi dibalik batu istana, ia adalah lelaki
yang benar-benar hancur. Terutama ketika Sherene masuk ke dalam kehidupannya
dan meninggalkannya tanpa tanggungjawab penuh. Bagaimana bisa Sherene
benar-benar melakukan apa yang ia
katakan? Justin kewalahan. Ia butuh anggur untuk menenangkannya. Sekilas Justin
memang merasa lebih baik, tapi tidak ketika bayang-bayang Sherene semakin
menghantui pikirannya. Justin terduduk di atas lantai kamarnya, menatap
Cassandine yang terduduk di atas tempat tidurnya sambil menatapnya dengan kedua
alis yang bertaut.
“Justin,
tidakkah sebaiknya kau membaringkan tubuhmu dan beristirahat? Aku sungguh
khawatir dengan keadaanmu,” ujar Cassandine lembut. Rasanya Cassandine ingin
menangis karena perlakuan Justin yang berubah semenjak Sherene datang ke
kehidupan Justin. Ada yang berubah antara Cassandine dan Sherene. Sherene tidak
tahu saja, ketika Justin dan Cassandine keluar dari istana, Justin selalu
menceritakan tentang Sherene pada Cassandine. Sudah berkali-kali Cassandine
berusaha untuk keluar dari topik pembicaraan itu, tapi Justin kembali
mengangkatnya. Terlebih lagi, Justin memberitahunya bahwa Sherene hampir sama
sepertinya. Cassandine tidak sama sekali dengan Sherene.
“Sherene,
kemana dia?” Lenguh Justin mengadahkan kepalanya ke atas, pasrah, putus asa.
“Aku
tidak ingin membicarakan tentang Sherene, Justin. Aku cemburu, terserah kau
mendengarku atau tidak. Tapi aku ingin tidur,” ujar Cassandine merangkak dari
tempatnya agar semakin naik ke atas tempat tidur. Ia membaringkan tubuhnya lalu
menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Cassandine memiringkan tubuhnya ke
samping, menatap pintu balkon kamar Justin yang terbuka. Posisinya benar-benar
sama ketika Sherene berbaring di atas tempat tidur itu. Bedanya, Cassandine
sekarang menangis. Tak terasa ia menitikan air matanya. Jika ia adalah orang
yang jahat, sudah pasti ia membunuh Justin. Belum saatnya atau tidak akan ada
saatnya ia akan membunuh Justin? Tidak mungkin ia sanggup membunuh Justin
ketika perasaan cintanya masih bersemi.
“Dia
tidak mengerti perasaanku bagaimana ketika ia membicarakan Sherene,” bisik
Cassandine masih membuka matanya dengan air mata yang kembali menitik. “Oh,
demi Tuhan, aku harap aku bisa hidup di Persia demi dirinya. Sherene benar-benar
membuat hubunganku dan Justin terhambat,”
“Cassandine?
Ada apa? Apa kau menangis?” Justin bangkit dari lantai. Sebisa mungkin Justin
berjalan tegak dan tidak sempoyongan, namun kepalanya benar-benar pening.
“Sayang, aku hanya …merindukan Sherene. Kau harus mengerti, ia haremku
satu-satunya yang dapat memenuhi kebutuhanku. Tapi hatiku hanya untukmu,
kumohon percayalah padaku,”
“Ya,
aku percaya padamu. Tidurlah,” ajak Cassandine berdeham. Ia mulai memejamkan
matanya.
“Temani
aku malam ini, Cassandine kumohon, aku membutuhkanmu. Tidak ada Sherene, oh dia
membuatku gila,” bujuk Justin ingin berhubungan badan dengan Cassandine. Ia
merangkak ke atas tempat tidur, mendekati Cassandine yang memunggunginya. Ia
menempatkan tangan kirinya ke atas lengan Cassandine lalu mengelusnya.
“Aku
sedang tidak ingin berhubungan badan dengamu, Justin, aku lelah,” tolak
Cassandine lembut. “Terkadang aku ingin sekali membunuhmu, Justin,” gumam
Cassandine mengutarakan perasaannya. Justin terkekeh pelan. Ia mengubur
kepalanya ke sela leher Cassandine, mencium lehernya dengan lembut. Justin tahu
itu hanyalah sebuah gurauan dari Cassandine. Ia tahu Cassandine mencintainya,
mungkin, karena Cassandine sangat cemburu. Mungkin benar apa yang dikatakan
Sherene padanya, Justin mencintai Sherene hanya saja Justin benci mengakuinya.
Sekarang, Justin seperti mencium wangi harum tubuh Sherene di tubuh Cassandine.
“Mengapa
kau ingin membunuhku?”
“Aku
kesal. Kau selalu memikirkan Sherene sejak kedatanganku. Mengutamakan dirinya
dibanding diriku. Apa kau pikir inilah yang kuinginkan jika aku bertemu
denganmu?” Tanya Cassandine putus asa. Ia membiarkan Justin terus menerus
mencium lehernya meski ia sama sekali tidak bergairah. Apalagi ia dapat mencium
wangi anggur dari mulut Justin. Ia tidak suka jika Justin mabuk seperti ini.
Sama seperti ketika di Roma. Saat ia bersusah payah mengangkat Justin ke atas
tempat tidur kamarnya karena Justin datang ke rumahnya dengan keadaan mabuk.
Cassandine mendesah.
“Jika
kau ingin menjadi istriku, kau harus menghapus segala rasa cemburu itu. Kau
tahu aku mencintaimu, mengapa kau harus ragu jika aku akan pergi darimu?”
“Karena
kau tidak pernah memperlakukanku seperti kau memperlakukan Sherene,” desah
Cassandine memejamkan matanya. Dan kembali, air matanya menetes. “Tampaknya ia
memang terlihat seperti haremmu. Tapi aku tahu, kau tidak menganggapnya hanya
sebagai seorang harem. Kau mencintainya, aku tahu itu,”
“Bagaimana
bisa kau tahu aku mencintainya?” Justin menautkan kedua alisnya, nada suaranya
terdengar protes.
“Kau
sangat peduli padanya. Kau selalu mengunjunginya. Tentu aku tahu apa yang
kaulakukan dengannya sejak aku dan Sherene bertemu pertama kali. Aku lebih
memilih untuk tidur di penginapan yang kumuh dibanding harus tidur di sebuah
istana,” ujar Cassandine mengerjap-kerjapkan matanya. “Berhenti menciumiku,
Justin,”
“Cassandine,
kumohon jangan marah padaku, ayo kita lalui malam ini dengan kenikmatan,” ajak
Justin terus membujuk. Tapi Cassandine memang tidak dapat dirayu secepat itu.
Ia masih kesal dengan Justin. Jika Sherene memang bisa membuat Justin kembali
normal seperti dulu, ia akan mencari Sherene dan membawa Sherene pada Justin.
Ya, jika itu benar-benar diperlukan. Cinta dewasa ketika melihat orang yang
kaucintai tersenyum, meski bukan karenamu.
“Tidak,”
bisik Cassandine benar-benar menolak. Ia menarik selimut itu semakin tinggi ke
sampai menutupi dadanya. Justin mendecak kesal, ia bangkit dari tempat tidur.
“Kau mau kemana? Istirahatlah, temani aku tidur,” ajak Cassandine.
“Aku
tidak bisa tidur jika bukan Sherene yang menemaniku tidur,”
“Lalu
mengapa kau ingin menikahiku? Lebih baik kau menikahi Sherene,”
“Cassandine,
jangan memulai,” tukas Justin segera sebelum ia marah. Cassandine terdiam. Ia
memejamkan matanya. Berusaha untuk masuk ke dalam alam bawah sadarnya agar
segala yang ia pikirkan sirna untuk sesaat. Setidaknya, selama ia memejamkan
matanya. Ia harap ada seseorang yang ingin memeluknya sekarang. “Aku ingin
mencari Patricia.”
***
“Bagaimana
rasanya?” Tanya Sherene memberikan beberapa kue yang ia beli dari toko kuenya
sendiri pada anak-anak kecil yang sedang bermain-main di tanah kosong dekat
toko kuenya. Mereka sedang bermain bola yang terbuat dari serabut kelapa dan
daun kelapa. Namun mereka sekarang sedang beristirahat. Sherene duduk di atas
pohon besar yang tumbang, menemani anak-anak kecil yang bermain bola itu dengan
kue yang ia bawa. Ia sangat senang berbagi.
“Lezat!”
Puji anak-anak itu berteriak. Sudah hampir satu bulan, hampir satu bulan ia
tinggal di luar istana. Ia merindukan Justin. Dan Justin juga belum turun ke
lapangan untuk mencari Sherene. Meski Sherene sebenarnya tidak begitu
mengharapkan Justin menemuinya kembali. Karena terakhir kali ia bertemu dengan
Justin, Justin menyakitinya. Rambut Sherene tidak tampak bersinar dan mengilau
seperti dulu. Warna lebih kusam sekarang. Sehingga ia tidak perlu repot-repot
memakai tudung meski ia masih memakai jubah kusamnya. Patricia bersandiwara di
depan Justin, ia ikut panik mencari-cari Sherene, tapi sebenarnya dalam hati
Patricia tertawa. Ada rasa takut dari Patricia ketika tiap kali Justin bertemu
dengan Khazaz, tatapan Justin menandakan kebencian terdalam dan matanya
berbicara. Seolah-olah Justin berkata pada Khazaz melalui matanya, bahwa
sebentar lagi ia akan mati di tangannya. Jika sudah lebih dari tiga minggu
Sherene tidak kembali ke istana, pasti akan ada sesuatu yang dapat
memanggilnya. Patricia juga sering mengunjungi Sherene dengan alasan pada
Justin kalau ia ingin mencari Sherene.
Berbeda
dengan Cassandine yang masih terkekang di dalam istana. Semakin hari keadaan
Justin semakin memburuk. Ia selalu saja berbicara dengan nada tinggi pada
Cassandine. Hingga siang ini, ketika sedang makan siang, di ruang makan,
Cassandine angkat bicara.
“Ada
sesuatu yang dapat membuat Sherene datang ke istana,” ujar Cassandine.
“Apa?”
Justin tertarik sambil memasukan makanan ke dalam mulutnya.
“Khazaz,”
ujar Cassandine. “Kau menginginkan Sherene? Tahan Khazaz, bawa dia ke
tengah-tengah kota dan tunggu Sherene datang. Kau mengerti maksudku? Memancing
Sherene untuk datang demi menyelamatkan Khazaz,” jelas Cassandine meski ia
sedikit enggan untuk melakukan itu. Ia tentu sebagai wanita yang normal tidak
ingin melihat Justin bersama dengan wanita lain. Tapi mau diapakan lagi? Justin
terlihat sangat resah. Tiap hari Cassandine harus menahan dirinya agar tak
menangis ketika Justin selalu mengusirnya dari kamar agar Justin dapat
menikmati 3 atau 4 haremnya di kamarnya. Bagaimana bisa Justin dengan mudahnya
melakukan itu pada Cassandine?
“Kau
memang cerdas,” puji Justin. “Lakukan sekarang,”
“Tentu,
jika itu maumu,” bisik Cassandine.
“Pengawal!”
Teriak Justin tak sabaran. Saat itu juga pengawal dari luar ruang makan masuk
ke dalam. Ia berjalan mendekati kursi Justin lalu berdiri dengan tegap. “Tahan
panglima Khazaz hari ini. Bawa dia ke tengah-tengah kota dan siapkan gantungan
untuknya,”
“Baik,
Yang Mulia,” ucap pengawal itu mantap. Ia berjalan keluar dari ruang makan lalu
pintu tertutup terdengar.
“Setelah
itu aku ingin pergi dari sini,” tukas Cassandine tiba-tiba. Justin terbelalak.
“Ap-apa?
Tidak, kau tidak bisa,” Justin menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Mengapa?
Bukankah kau yang menginginkan Sherene? Kau tidak menginginkanku, kau hanya
rindu denganku dalam jangka waktu yang singkat lalu ..sudah. Kau tidak
membutuhkanku lagi. Aku ingin kembali ke Roma,”
“Tidak,
kau tidak bisa!” Justin berteriak. Inilah Justin tiap harinya. Nada suaranya
tidak pernah rendah. Ia selalu membentak Cassandine. Itu semua dikarenakan
Justin benar-benar merindukan Sherene. Bahkan Justin pernah menangis sendirian
hanya karena ia merindukan Sherene. Ia putus asa. Rasanya kehidupannya
benar-benar hambar ketika ia tidak dapat melihat wajah Sherene. Apa yang telah
ia perbuat pada Sherene terakhir kali itu karena luapan amarahnya yang tidak
dapat ia tampung. Dia benar-benar menyesal dengan apa yang ia perbuat. Jika
hari ini ia dapat bertemu dengan Sherene, ia sudah pasti akan memeluk Sherene
dan mengatakan maaf entah harus berapa kali ia ucapkan. Ia seperti tubuh tanpa
jiwa. Tidak ada Sherene akalnya hilang. Ia akan memperlakukan Sherene sebaik
mungkin jika ia dapat bertemu dengan Sherene.
Cassandine
terdiam. Ia tidak ingin membantah Justin. Belum saatnya ia membantah Justin. Ia
mungkin bisa pergi dengan sendirinya dari istana tanpa sepengetahuan Justin.
Apa itu dapat membuat Justin mencarinya seperti Justin mencari Sherene? Tapi
tidak mungkin. Ia ingin segera pergi ke Roma. Tatapan tajam Justin pada garpu
yang ia pegang membuatnya memiliki niat untuk menahan Khazaz di tengah-tengah
kota selama dua hari dengan dua tangan tergantung. Jika Sherene belum muncul
juga, maka leher Khazaz yang akan tergantung. Banyak sekali bayang-bayang buruk
dari Justin terhadap Sherene. Apa pekerjaan Sherene di luar sana? Apa dia
baik-baik saja? Sampai ia berpikir, apa Sherene sudah mati terbunuh oleh
seorang pembunuh berantai? Ia sangat takut kehilangan Sherene. Ia butuh Sherene
kembali padanya dengan keadaan yang baik-baik saja.
Kenyataannya
adalah Justin tidak akan bertemu dengan Sherene sama seperti ia melihat Sherene
di istana. Keadaan Sherene secara jasmani memang sangat sehat. Tapi tidak
dengan penampilannya dari luar. Ia tidak secantik dulu. Tapi siapa yang peduli?
Justin hanya butuh Sherene sekarang. Memeluknya. Menciumnya. Mengelus rambutnya
seperti dulu. Meski waktu yang ia tempuh dengan Sherene sungguh singkat, namun
gadis itu pintar memikat. Patricia tidak memberitahu dimana gadisnya berada,
bahkan Patricia ikut membantunya. Lalu ia berpikir, apa Sherene pergi dari
tanah Persia? Tidak mungkin. Sherene tidak berani pergi sendiri keluar dari
tanah Persia, tapi cukup berani untuk melangkah pergi dari istana. Jika Sherene
bukan harem, melainkan tahanan, sudah pasti kepala Sherene akan terpisah dengan
kepalanya. Prajurit-prajuritnya tiap hari mencari Sherene, bertanya-tanya,
apakah ada perkembangan dari pencarian Sherene? Apa ada seseorang yang pernah
bertemu dengan Sherene? Mereka sudah memberitahu bagaimana bentuk fisik
Sherene. Tapi tidak ada yang pernah menemukan Sherene. Lalu sesuatu memukul
hati Justin, kencang, sangat kencang.
Ia
sadar sekarang.
Ia
mencintai Sherene.
Garpu
yang ia pegang lepas begitu saja dari genggamannya, menghasilkan bunyi yang
ricuh di ruang makan yang hening.
***
Sherene
hampir saja jatuh dari pohon yang ia duduki. Ia mengantuk. Ia butuh istirahat. Pikirannya
langsung tertuju pada Justin. Apa yang Justin lakukan sekarang? Tiap harinya ia
memang mengingat Justin, namun pikiran Justin pasti akan segera lenyap ketika
ia sangat sibuk di toko kuenya. Anak-anak berkulit hitam itu kembali bermain di
tanah yang kosong. Sherene bangkit dari pohon itu lalu melambaikan tangan pada
anak-anak itu yang segera dibalas oleh mereka. Tangan Sherene menarik cepat
tudung jubahnya untuk menutupi wajahnya. Meski rambutnya tak terlihat, tapi
tetap saja, matanya yang mencolok itu pasti membuat masyarakat sekitar dapat
curiga dengannya.
Ia
harus pulang dan beristirahat. Ia bersenandung kecil, entah lagu apa yang
sedang ia nyanyikan, hanya bersenandung. Ketika ia hampir sampai di depan
rumahnya itu, suara kaki kuda berjalan terdengar. Dengan segera ia menundukkan
kepalanya. Ia tahu siapa mereka. Para prajurit dari istana. Apa mereka tidak
lelah mencarinya terus menerus? Bahkan, mereka memberitahu pada masyarakat,
jika ada seseorang yang menemukan Sherene, mereka akan mendapatkan bayaran yang
sangat mahal dari sang raja. Apa Justin segila itu? Ya, Justin memang sinting
dan kehilangan akalnya. Sherene mengintip dari balik tudungnya, untuk melihat
apa yang terjadi, lalu matanya terbelalak. Khazaz! Demi para dewa apa yang akan
Justin lakukan pada Khazaz? Ia melihat Khazaz berada di dalam kereta kuda
melalui jendela bergigi itu dengan keadaan terikat. Kereta kuda itu sudah pergi
dari hadapannya, tapi masih ada kuda lain yang melewatinya. Ia mengintip
kembali.
Itu
Justin. Bukan kalimat, tapi pertanyaan. Itu Justin? Tidak mungkin! Tubuh Justin
tidak mungkin sekurus itu. Wajahnya terlihat pucat dan ia memiliki janggut yang
tumbuh di sekitar dagunya! Apa Justin tidak mencukur janggutnya? Tapi jika
dipikir-pikir, Justin cukup cocok dengan janggut yang tumbuh itu. Ia tersenyum
dengan pikirannya yang nakal itu. Justin sudah melewatinya. Dan ya, Sherene
melihat Justin seperti Justin memiliki tubuh tanpa jiwa. Ketika kuda-kuda itu
sudah tidak melewatinya, ia mengikuti kuda-kuda itu. Mereka ingin pergi kemana?
“Sherene!
Jangan ke sana, aku akan menjelaskannya padamu!” Suara Chista sungguh
mengejutkan tubuhnya. Ia hampir kehilangan nafas dan detak jantungnya berhenti
sesaat. Chista sungguh mengejutkannya! Kurang baik. Ia membalikkan tubuh untuk
melihat Chista. “Aku tahu apa yang akan mereka lakukan pada Khazaz. Aku keluar
dari istana sembunyi-sembunyi untuk menemuimu. Patricia ada di dalam kereta
kuda yang sama dengan Khazaz,”
“Apa?”
Sherene tidak sabar apa yang akan Chista katakan padanya. “Apa yang akan Justin
lakukan?” Tanya Sherene menarik tangan Chista menuju toko kuenya. Mereka masuk
ke dalam dan menutup pintu lalu menguncinya.
“Raja
Justin akan menggantung mereka di tengah-tengah kota!” Jerit Chista ketakutan.
“Apa?”
Teriak Sherene tidak dapat menahan keterkejutannya. Patricia akan dibunuh oleh
Justin? Oleh anak tirinya sendiri? Mengapa Justin begitu kejam?
“Ia
akan menghentikan acara gantungan leher itu ..jika kau datang. Mereka akan
ditahan selama dua hari di depan umum dan jika kau tidak datang, mereka akan
benar-benar digantung! Ya Tuhan!” Desah Chista tak percaya –masih tak percaya.
Mata Sherene membulat. Apa Justin sudah kehilangan otaknya? Sherene menelan
ludah. Mulut Sherene beku. Lidahnya kelu. Tidak ada yang harus katakan. Ia
kehabisan kata-kata, lebih tepatnya. Bibirnya tiba-tiba pucat begitu saja. Ia
hanya …tidak percaya. Apa Justin benar-benar melakukan itu hanya untuk
mendapatkan Sherene kembali? Sherene membalikkan tubuhnya ke belakang,
memunggungi Chista.
Jari-jarinya
sudah berada di mulutnya. Ia menggigit salah satu jarinya dengan mata yang
menatap lantai dengan perasaan resah. Ia merasakan dilema. Ia belum bisa
bertemu dengan Justin sekarang. Ia tidak ingin masa-masa kebahagiaannya
berakhir begitu saja. Jika ia kembali ke istana, ia tidak akan pernah bisa
keluar dari istana lagi. Ia tidak akan bisa melihat senyuman dari anak kecil
lagi. Tapi Khazaz dan Patricia adalah orang-orang yang berpengaruh dalam
hidupnya. Apa ia harus muncul di hadapan Justin secepat ini? Justin Sialan
Xerxes Picik! Sherene mendesah lalu ia berbalik.
“Aku
akan datang ke sana, sekarang,”
“Kau
yakin?”
“Jika
itu diperlukan.” Bisik Sherene pasrah. Ia menatap Chista dengan tatapan mantap
lalu menganggukan kepalanya satu kali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar