***
Air
mata gadis itu masih terasa asin ketika air matanya turun mencapai ujung
bibirnya. Tangannya bergetar memeluk punggung sang pangeran yang masih berada
di atas tubuhnya. Ia masih mencari nafasnya yang hilang selama beberapa saat.
Pangeran Justin dengan lembut membaringkan Sherene ke atas tempat tidur dengan
perasaan tenang meski ia juga mendengar suara isak tangis dari sang gadis.
Gadis polos yang telah ternoda itu mengerang kesakitan ketiak tiba-tiba saja
sang pangeran mengeluarkan barang yang paling berharga bagi sang pangeran
keluar dari tubuh Sherene. Ada bercak darah yang mengitari bagian bawah Sherene
begitu juga dengan tempat tidur sang pangeran. Sprei putih tipis itu sekarang
telah dinodai oleh darah keperawanan Sherene. Pangeran Justin membersihkan
barang berharganya itu dengan pakaian Sherene yang berwarna putih hingga
benar-benar bersih lalu melempar gaun itu ke sembarang tempat. Ia ingin sekali
tidur dan melewatkan penobatannya sebagai Raja –meski ia tahu penobatannya
sebagai Raja tengah hari nanti.
Pangeran
Justin menarik selimut yang berada di bawah kaki mereka hingga tubuhnya dan
tubuh Sherene benar-benar tertutup. Sherene masih menangis. Bukan karena ia
kehilangan keperawanannya—karena ia tahu ia akan dipakai oleh sang
pangeran—tapi karena rasa sakit yang ia terima tak dapat ia tanggung. Bahkan
sekarang Sherene tidak dapat merapatkan kakinya takut-takut bagian bawahnya
bertambah rasa sakitnya. Rambutnya tergerai basah di atas bantal sang pangeran
dimana-mana. Sehingga pangeran yang ingin membaringkan kepalanya ke atas bantal
yang satunya terpaksa harus bersikap selembut mungkin pada Sherene, ia mengangkat
kepala Sherene dengan tangan sebelah kirinya, tangannya yang lain mengambil
seluruh rambut Sherene dan mengesampingkannya ke tempat yang tidak menutupi
bantalnya.
“Karena
kau baru saja kuperawani, kau boleh beristirahat. Kemarilah,” ujar Justin
menarik tubuh Sherene yang ringan itu dengan santai ke dadanya. Kulit mereka
kembali bersentuhan sehingga Justin merasakan sengatan yang sama seperti tadi
ingin melakukannya kembali. Tapi ia tahu Sherene seorang gadis polos yang tidak
dapat melakukan hubungan intim begitu lama sehingga ia mengurung niatnya untuk
menikmati gadis ini kembali. Hebatnya Justin mendapatkan pelepasan hanya dalam
satu kali masuk. Justin mulai berpikir, ia tidak akan pernah puas dengan
Sherene –kemungkinan besar sepertinya, ya, ia tidak akan pernah puas dengan
Sherene. Mata Sherene terpejam meski dari sudut matanya terus mengeluarkan
sedikit air mata yang melewati hidungnya hingga menetes ke atas tempat tidur.
Ia masih berusaha menenangkan dirinya. Justin menempatkan dagunya di atas
kepala Sherene dengan mata yang terbuka. Ia tidak bisa tidur jika gadis ini
masih menangis. Sebelumnya, ia memang pernah tidur bersama dengan seorang gadis
yang sama cantiknya dengan Sherene. Mungkin hanya perbedaan rambut mereka dan
warna mata Sherene yang langka itu. Ia pergi ke Roma hanya untuk bersekolah di
sana tapi ternyata tidak, ada hal lain yang membuatnya bertambah bahagia
tinggal di sana.
Di
Roma, Justin bagaikan pangeran yang terbuang. Ia diajar untuk hidup mandiri di
sebuah kota—yang sebenarnya hampir sama seperti pedesaan. Di sana ia bertemu
dengan gadis cantik dengan mata biru alami seperti hamparan laut yang
membentang sempurna di hadapan Justin. Ia berkenalan dengan gadis itu ketika ia
mendatangi sebuah toko pakaian. Pertemuan pertama mereka tidak akan pernah
Justin lupakan seumur hidupnya. Rambut hitam mengilau gadis itu terikat rapi di
belakang punggungnya bersama dengan pakaiannya yang sangat cocok dengan bentuk
tubuhnya yang menggiurkan. Justin tentu sebagai pemuda yang normal menyukai
gadis ini. Ia mendekati gadis muda itu, bertanya siapa namanya. Namanya sangat
cantik, Cassandine. Dari sana mereka mulai akrab. Cass tentu tidak tahu bahwa
Justin adalah seorang anak Raja alias pangeran dari Persia, itu yang membuat
Justin berpikir bahwa gadis ini dekat dengannya bukan karena untuk bertahan
hidup atau bisa dikatakan, gadis itu bukanlah gadis yang mementingkan kekayaan.
Justin sering kali mendatangi toko pakaian Cass hanya untuk melihat-lihat bahan
baju yang cocok untuk dijahit. Ia mulai menyukai seorang gadis untuk yang
pertama kalinya, bukan menyukai. Tapi ia jatuh cinta dengan seorang gadis untuk
yang pertama kalinya. Mereka mengelilingi kota Roma dengan kuda milik Justin,
memilih untuk makan siang bersama di sebuah hutan, atau sekedar bermain-main di
hutan. Dan hal yang tidak akan pernah ia lupakan seumur hidupnya adalah
permainannya dengan Cassandine di atas ranjang sungguh memukaunya. Semua itu
sangat membuat Justin merasa sangat muda dan bahagia. Hingga pada akhirnya, ketika
ia ingin melamar Cassandine dan membawanya ke Persia, ia mendapat kabar bahwa
Ayahnya meninggal dan harus dibawa ke Mesir. Segala impian Justin untuk melamar
Cass hancur sudah. Itulah alasan mengapa tadi malam Justin tidak menikmati
pesta penyambutannya. Dan di pagi hari yang cerah, ia dipertemukan dengan
seorang gadis polos dengan mata hijau serta rambut yang jarang ditemuinya
–sangat panjang.
“Pangeran
Justin,” suara Sherene membuat matanya mengedip beberapa kali. “Apa aku boleh
bertanya?” lanjut Sherene. Sebenarnya, Sherene sangat tidak sopan memiliki
percakapan dengan sang pangeran karena Sherene hanyalah seorang pelayan
sekaligus harem di istana. Justin memejamkan matanya beberapa saat berusaha
untuk tidak terpancing emosinya karena gadis ini merusak saat ia sedang
mengenang masa-masa indahnya bersama dengan Cass.
“Tentu,”
suara Justin terdengar sangat dingin di telinga Sherene. Mata hijau Sherene
tadinya terbuka, sekarang kembali tertutup bersamaan dengan air mata sisanya
yang membendung sedari tadi.
“Bagaimana
keadaan Roma? Aku tak pernah ke sana sebelumnya,” mata Sherene kembali terbuka
namun masih berkaca-kaca akibat tangisannya tadi. Ia menatap kosong pada tembok
berwarna tanah kering dengan hati yang remuk. Mengapa ia bertanya seperti itu?
Sebenarnya, bukan itu maksud Sherene bertanya pada Justin. Bahkan memang bukan
pertanyaan itu yang seharusnya ia lontarkan. Ia ingin sekali bertanya apa
Justin mengingatnya atau tidak. Meski Patricia telah memberitahunya bahwa
begitu banyak kemungkinan Justin dapat melupakannya. Sherene terlalu naïf untuk
bertanya seperti itu karena ia telah mengetahui jawabannya. Justin terdiam
sampai akhir mulut Justin terbuka.
“Aku
pulang kembali dengan selamat. Apa kau tahu apa artinya?” Justin tidak ingin
sibuk-sibuk menceritakan kisah cinta dengan Cass hanya pada seorang harem
seperti Sherene. Kepala Sherene terangguk. Rasa sakitnya sedikit demi sedikit
mulai menghilang dari bagian bawahnya. Apa sang pangeran pernah jatuh cinta di
Roma? Apa dia telah menemukan belahan jiwanya? Bagaimana jika pangeran
benar-benar telah mendapatkan gadis lain? Apa Sherene harus menangis kembali
seperti tahun-tahun yang telah berlalu itu? Mengapa Sherene harus merasakan hal
yang namanya jatuh cinta pada seorang pangeran? Tapi tentu saja harem-harem di
istana mencintai sang pangeran. Siapa yang tidak? Hanya orang yang tidak
mempunyai otak yang tidak menyukai sang pangeran. Cerdas, tampan, serta akan
menjadi seorang Raja. Siapa yang tidak ingin menjadi pasangan sang Raja? Tentu
banyak. Sherene kembali menegaskan pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan
pernah merasakan cinta seperti ini kembali. Ia harus benar-benar menghilangkan
perasaan ini meski pikirannya memang ingin melakukannya tapi apa hatinya akan
sama seperti pikirannya? Sherene mengembuskan nafasnya. Tidak ada lagi air mata yang harus mengalir di pipiku, pikir
Sherene memperingati dirinya sendiri. Ia tak berhak memiliki perasaan cemburu
dan marah pada gadis yang akan menjadi kekasih sang pangeran karena ia hanyalah
seorang harem. Harem yang melakukan apa yang sang pangeran katakan. Nafas
Justin teratur dari atas sana sehingga Sherene menyimpulkan bahwa pangeran
telah terlelap. Ia ingin melepaskan pelukan Justin yang menutupi tubuhnya
–bahkan tangan Justin menangkup buah dadanya—yang berkeringat. Ia harus
membersihkan dirinya sebersih mungkin dan membantu Patricia untuk mempersiapkan
upacara penobatan Raja baru.
Ketika
Sherene baru saja ingin mengangkat tangan Justin dari atas tubuhnya, tiba-tiba
saja kepala Justin bergerak satu kali lalu ia menggumamkan sebuah nama dari
mulutnya. Siapa? Cassandine.
***
“Aku
sudah bertekad untuk mengabaikan perasaan bodoh ini, Patricia,” Sherene sedang
merapikan daging-daging yang baru saja dipanggang ke atas piring-piring yang
besar untuk pesta setelah penobatan Raja Justin. Dapur yang besar itu dipenuhi
oleh pelayan-pelayan yang sibuk ke sana-sini hanya untuk mempersiapkan makanan
untuk nanti. Anggur-anggur biasa hanya diberikan pada para prajurit. Tentu sang
Raja tidak akan disajikan anggur biasa seperti itu, ia meminum anggur terbaik
di Persia. Dan Patricia dari tadi memerhatikan tingkah Sherene yang berubah
sejak ia bertemu dengan sang pangeran di kamar. Patricia tahu, Sherene baru
saja memiliki hubungan intim bersama dengan sang pangeran. Tapi yang membuat
Patricia bingung adalah mengapa wajah Sherene masih saja datar? Bukankah
seharusnya Sherene tersenyum karena sang pangeran kembali menyukainya? Alasan
mengapa Sherene tidak ingin bercerita banyak apa yang terjadi tadi pagi adalah
karena gumaman dari sang pangeran. Mungkin saja sang pangeran ingin tidur
dengannya hanya karena ia rindu dengan seseorang sehingga Sherene hanya
dijadikan sebagai pelampiasan sang pangeran. Dari gumaman itu Sherene semakin
meyakinkan dirinya bahwa ia akan menghilang perasaan cinta ini dari dirinya.
“Jika
memang begitu, mengapa aku bisa melihat kau baru saja menangis setelah keluar
dari kamarnya?” Patricia berdiri di ujung meja makan yang di atasnya terdapat
daging-daging yang lezat berjejer di sana. Sherene berpura-pura sibuk
memutar-mutar panggangannya agar daging yang ia panggang cepat matang. Ia
menghentikan tangannya yang bergerak lalu melepaskan panggangan yang ia pegang,
menatap Patricia dengan dua alis yang saling bertautan.
“Aku
hanya ..urgh, Patricia!” ia meremas udara hingga kedua tangannya mengepal. “Aku
menangis karena kesakitan, aku perawan dan aku merasakan sakit ketika ia
melakukannya padaku. Itu saja. Dan aku tidak ingin menjadi seorang gadis yang
lemah hanya karena seorang lelaki sepertinya! Masih banyak lelaki lain yang
kelak akan mencintai, dulu aku hanya berpikir dialah satu-satunya lelaki yang
akan menjadi kekasihku. Tapi kenyataannya tidak! Aku yakin suatu saat nanti
akan ada seorang lelaki yang mendatangiku dengan setangkai bunga sambil
menyatakan cintanya padaku,” Sherene ingin sekali berteriak, tapi ia tahu, ia tidak akan pernah bisa melakukannya jika
amarahnya benar-benar meluap. Sherene tidak pernah berteriak karena tiap kali
amarahnya terpancing, ia menghitung satu sampai sepuluh untuk menenangkan
dirinya agar ia tidak mengeluarkan kata-kata yang seharusnya harem tidak
katakan. Ia ingin menjadi harem yang baik seperti putri Raja. Kembali Sherene
memutar-putar alat pemanggangnya dengan wajah yang masam. Dan ya, ia menghitung
satu sama sepuluh kembali agar apa yang Patricia katakan tentang pangeran
Justin lenyap dari otaknya. Patricia tercengang dengan ucapan Sherene yang
sepertinya memang, Sherene akan menghilangkan perasaan cintanya pada sang
pangeran. Lalu Patricia menganggukan kepalanya satu kali, mulutnya terbuka.
“Baiklah,”
gumamnya. “Kau telah memutuskan keputusanmu. Tidak banyak yang dapat kulakukan,
Sherene. Kau sudah dewasa. Tapi entah mengapa aku sangat yakin bahwa kau adalah
kekasih sang pangeran kelak,”
“Patricia,
kumohon untuk tidak membicarakannya hari ini?” Sherene mendongakkan kepalanya
agar ia dapat melihat wajah Patricia. Kedua alis Sherene mendukung ekspresi
wajah Sherene yang memohon sehingga Patricia harus menganggukan kepalanya.
Patricia mengerti benar apa yang sedang Sherene rasakan, Sherene pasti
mendengar sesuatu dari mulut Justin yang tidak ingin Sherene dengar
–sebenarnya—tapi ia terpaksa mendengarnya sehingga ada perasaan yang menyeruak
di hatinya yang dinamakan cemburu.
“Kau
yakin tidak ada lagi yang ingin kauceritakan? Tapi aku mencium bau rahasia di
sini,” Patricia menggoda Sherene. Ia ingin mencairkan suasana yang tegang itu.
Sherene mendengus, ia menggelengkan kepalanya. “Baiklah jika tidak ada yang
ingin kauceritakan lagi. Jika kau memerlukanku, temui aku di dalam puri
istana,” ujar Patricia membalikkan tubuhnya. Saat Patricia baru saja akan
melangkah pergi, Sherene berteriak –bahkan tak terdengar seperti berteriak—nama
kepala pelayan itu.
“Patricia,”
lenguh Sherene kembali. “Ada sebuah nama yang ia sebutkan,” desah Sherene tidak
dapat berbohong dan menyimpan rahasia. Selama ini, hanya Patricia orang
kepercayaannya. Dan hanya Patricia yang tahu bagaimana perasaannya tiap
harinya. Patricia tersenyum dengan lega, tubuhnya berbalik kembali.
“Siapa?”
“Cassandine,”
gumam Sherene membuang muka dari Patricia. Ia menatap daging yang tengah ia
panggang itu untuk berusaha tak menatap Patricia. “Kurasa dia seorang gadis
yang pangeran Justin temui di Roma. Aku tak yakin,” Sherene mengangkat kedua
bahunya, berusaha bersikap acuh padahal ia tahu ia tidak bisa.
“Kau
seharusnya bertanya padanya. Jika nanti malam ia akan memanggilmu untuk
menemani malamnya, kau harus bertanya padanya,”
“Tapi
aku hanyalah seorang harem! Tentu aku tidak akan dianggap olehnya. Untuk apa
aku bertanya padanya tentang masalah pribadinya? Aku sudah bilang, seharusnya
kita tidak membicarakan ini. Ini hanya memperburuk keadaanku,”
“Setidaknya,
tidak ada rahasia yang kausembunyikan, Sherene. Kau sudah tenang. Mungkin
Cassandine kekasihnya di Roma. Kita tidak tahu, tapi jika aku bertemu dengannya
aku akan berusaha berbicara dengannya baik-baik,” Patricia memberikan senyum
lembut keibuannya pada Sherene yang sedang putus asa.
“Baiklah,”
***
Sherene
mengikat rambutnya di depan cermin sambil menatapi pakaiannya yang tengah ia
pakai. Atasan berwarna hijau daun yang menutupi hanya sampai buah dadanya
membuatnya sedikit malu karena perutnya terbuka. Ia biasanya memakai pakaian
yang tertutup. Mungkin memang ia pernah berpakaian seperti ini sebelumnya, tapi
keadaan berbeda. Ia telah menemani sang pangeran pagi tadi sehingga sore ini
kemungkinan besar sang pangeran telah mengenalnya. Rok panjang berwarna merah
darah telah melekat di pinggulnya yang berbentuk. Ia menatapi dirinya di depan
cermin dengan raut wajah yang datar. Ia terus menyingkirkan pikirannya dari
Justin, tapi semakin ia berusaha, semakin sering Justin menghampiri pikirannya.
Apa yang harus ia lakukan? Tidak ada selain ia harus menikmati pesta penobatan
sang Raja. Ia berharap pesta ini akan melupakan sejenak pikirannya dari Justin.
Chista
mengetuk pintu kamar harem –sejak lima tahun yang lalu, para harem telah
memiliki kamarnya sendiri-sendiri—Sherene ragu-ragu dari balik pintu.
Seharusnya Sherene tadi datang ke upacara penobatan sang Raja tapi dengan
alasan sakit, Sherene diizinkan untuk tetap tinggal di dalam kamarnya.
“Sherene,
tidakkah kau ingin keluar menikmati pesta? Teman-teman mengharapkan
kedatanganmu. Apa kau sudah merasa lebih baik?” suara lembut dari Chista
seperti menarik tubuh Sherene yang tengah berjalan menuju pintu kamarnya lalu
membuka pintunya. Chista tidak lebih tinggi dari Sherene, sehingga dari bawah
sana Chista melihat Sherene tampak begitu cantik. Terlebih lagi pakaian yang
tengah Sherene kenakan membuat Chista merasa iri dengan lekukan tubuh Sherene
yang benar-benar terbentuk. Andaikan ia memiliki bentuk tubuh seperti Sherene,
mungkin sang Raja Justin sekarang telah memintanya untuk pergi menemani
malamnya sekarang. Chista diam seribu bahasa hingga Sherene berteriak –yang
tidak seperti berteriak.
“Chista,”
kali ini suara Sherene lebih lembut.
“Y-ya,
ayolah Sherene. Kita semua menunggumu untuk menikmati anggur,” ajak Chista
menarik tangan Sherene paksa keluar dari kamarnya. Pintu kamarnya tertutup
hingga mereka keluar dari harem. Lapangan istana tampak ramai seperti kemarin
malam. Keadaannya tetap sama seperti kemarin, tapi mungkin perbedaannya
hanyalah dari sang Raja yang baru. Raja Justin sekarang telah memakai
mahkotanya yang besar di atas kepalanya. Terlihat dari wajah sang Raja ia
terpaksa menikmati pesta yang dibuatkan untuknya. Sherene dari jarak jauh telah
mengetahui apa penyebabnya. Mungkin karena sang Raja sedang merindukan
Cassandine, kekasihnya di Roma itu. Tiba-tiba saja segelas anggur berada di
hadapannya dipegang oleh Chista.
“Ayo,
minumlah. Ini lebih baik daripada air manis,” ujar Chista menganggukan
kepalanya. Sherene meraih gelas berisikan anggur itu dari tangan Chista.
Kakinya melangkah semakin mendekat dengan kerumunan orang-orang yang sedang
menikmati musik rebana yang dimainkan. Semuanya meliuk-liukkan tubuhnya seperti
tidak ada hari esok. Tapi pandangan Sherene tak lepas dari sang Raja yang secara
tak sengaja menatapinya sekarang. Perasaan Sherene tiba-tiba saja gugup, ia
meneguk anggur yang ia pegang dan melemparkan pandangannya pada penari erotis
yang berada di tengah-tengah lapangan.
Ada beberapa penari erotis yang menggoyangkan perutnya. Setelah ini mungkin
Sherene akan muntah. Tidak sampai satu menit, Sherene kembali mendongakkan
kepalanya ke atas untuk melihat sang Raja yang duduk. Tapi tidak ada. Sang Raja
tidak ada di tempat duduknya, tidak juga dengan dua pelayan yang mengipas-kipas
dirinya. Oh, kemanakah sang Raja pergi?
“Hari
ini kau tampak sangat cantik, Sherene,” didengarnya suara berat dari seorang
lelaki yang berdiri di belakangnya. Sherene sudah tahu siapa lelaki itu, dia
Panglima yang baru. Tiap kali Sherene keluar dari harem, ia selalu bertemu
dengan Panglima dan berbicara hal-hal yang tak penting. Tapi tetap saja
Panglima tidak akan melekat di otak Sherene selain Raja Justin. Panglima Khazaz
selalu memberikan senyum padanya. Mungkin hanya padanya karena biasanya
Panglima Khazaz terkenal dengan sifatnya yang dingin serta angkuh pada para
gadis di istana –tidak termasuk Patricia. Sherene membalikkan tubuhnya ke
belakang dengan senyum yang telah ia persiapkan.
“Terima
kasih,” gumamnya. “Pesta sang Raja. Siapa yang tidak ingin tampil cantik?”
Sherene berusaha untuk tidak terdengar membosankan. Panglima Khazaz hanya
terkekeh sambil mengangguk-anggukan kepalanya. Satu hal yang membuat Sherene
terpukau dengan Panglima Khazaz adalah seseksi apapun pakaianmu, ia tidak akan
pernah melirik buah dada atau bahkan bokongmu. Tidak di depanmu. Tetap saja
Sherene merasa dihormati oleh sang Panglima Khazaz. Itulah mengapa Sherene
selalu memberikan senyum pada Panglima Khazaz, meski memang Panglima Khazaz
senang sekali jika melihat Sherene memberikan senyum padanya. Karena Patricia
pernah bercerita pada Panglima Khazaz bahwa beberapa tahun terakhir, Sherene
jarang tersenyum. Jadi, Panglima Khazaz merasa senang karena ia adalah salah
satu orang yang Sherene berikan senyum.
“Kurasa
aku harus kembali ke haremku,” Sherene mengundurkan diri dan menundukkan
kepalanya pada Panglima penuh dengan hormat. Panglima Khazaz hanya menganggukan
kepalanya sambil menatapi Sherene yang pergi dari hadapannya menuju haremnya
kembali. Dari belakang ia dapat melihat rambut Sherene yang berwarna emas madu
itu melambai-lambai dengan anggun kemudian lenyap ketika Sherene menutup pintu
haremnya. Ia selalu tertarik dengan gadis polos itu. Jika seluruh orang Persia
telah melihat wajah Sherene, mereka akan berpikir bahwa Sherene-lah gadis
tercantik di Persia. Dengan mata hijau serta rambut emas madu yang mengilau
yang selalu menjadi ciri khas dari Sherene.
Sherene
masuk ke dalam kamarnya dengan gelas anggur yang masih berada di tangannya. Ia
segera menaruh gelas itu ke atas meja yang ada di kamarnya. Pesta itu
benar-benar membuatnya mula hingga ia tidak tahan untuk bertahan di sana.
Terlebih lagi, sudah tidak ada pemandangan yang bagus untuk ia lihat. Sang Raja
mungkin telah pergi tidur. Sherene harus mengganti pakaiannya yang tidak nyaman
ia pakai dengan gaun yang lain. Setelah hampir satu jam Sherene mempersiapkan
diri hanya untuk sebuah pesta, ia kembali melepaskan pakaiannya padahal ia
menikmati pesta sang Raja tidak sampai sepuluh menit. Demi para dewa, Sherene
adalah gadis yang tidak tahu yang namanya kesenangan. Tentu saja, Sherene hanya
perlu kebebasan. Ia ingin melihat orang-orang Persia di luar sana yang terakhir
ia lihat, mereka seperti dijajah. Ketukan pintu kamar Sherene membuat Sherene
menghentikan tangannya yang baru saja akan membuka atasannya. Ia berjalan
sambil melepaskan ikatan rambutnya lalu merapikannya serapi mungkin.
“Ya?”
sapa Sherene membukakan pintu kamarnya. Tapi yang ia lihat bukanlah seorang
gadis atau Patricia, tapi Raja Justin yang masih memakai pakaian kerjanya
–tampak kebesaran di tubuhnya karena mungkin tubuh Raja Justin tidak besar
seperti Ayahnya. “Yang Mulia,” Sherene segera membungkukkan kepalanya sambil
mengangkat rok merahnya dengan kedua tangannya. Justin memerhatikan dari atas
tindakan gadis yang ada di hadapannya sedang membungkukkan tubuhnya penuh
dengan kehormatan. Tapi Justin hanya memperlihatkan wajah datarnya sambil
matanya memerhatikan gadis ini. Sherene menegakkan tubuhnya beberapa detik
kemudian lalu tersenyum. Oh, senyum itu sungguh manis.
“Apa
yang dapat kuberikan untukmu, Yang Mulia?” Sherene bertanya dengan suaranya
yang memang sudah dari dulu penuh dengan kelembutan. Justin tidak menjawab
pertanyaan Sherene, ia berjalan melewati tubuh Sherene, masuk ke dalam kamarnya
tanpa rasa takut. Tentu saja, Justin adalah seorang Raja. Semua orang akan
selalu menghormatinya. Berada di kamar Sherene yang kecil membuat keadaan
semakin panas. Rasanya Justin ingin sekali menurunkan pakaian atasan Sherene
cepat-cepat agar dapat melihat buah dadanya yang kencang itu. Demi para dewa,
puting gadis itu terlihat jelas tercetak meski kecil sekali.
“Kunci
pintu kamarmu,” suruh Justin masih memerhatikan luasnya kamar ini. Cermin oval
berada di sudut kamarnya bersama dengan sebuah kursi kecil. Pasti gadis itu
sering bercermin di sana. Justin membuka jubahnya lalu melemparnya ke atas meja
yang berada di sebelah cermin oval itu. Sherene telah mengunci pintu kamarnya
dengan palang yang berada di pintunya. Sherene membalikkan tubuhnya dengan
keadaan gugup. Oh, demi para dewa, apa yang akan Raja Justin lakukan padanya?
Apa ia akan melakukan kejadian tadi pagi?
“Apa
kau mencoba menggodaku dengan pakaian yang sedang kaukenakan sekarang? Jika
benar, itu benar-benar berhasil karena aku telah berada di dalam kamarmu,”
pertanyaan Justin membuat Sherene terkesiap –bahkan Justin tidak membalikkan
kepalanya saat bertanya pada Sherene. Tangan kanan Sherene menyentuh dadanya
berusaha untuk bernafas karena nafasnya tercekat. Mengapa bisa-bisanya sang
Raja bertanya seperti itu? Tidak sama sekali! Ia melipat mulutnya ke dalam, ia
tidak ingin mengatakan kata-kata kotor yang tidak seharusnya ia katakan. Tentu
ia marah dengan pertanyaan yang Raja ajukan padanya karena ia bukanlah gadis
semurah itu.
“Tidak,
Yang Mulia,” jawabnya singkat. Lalu ia baru saja tersadar, sang Raja sudah
tidak memakai pakaian atasannya. Hanya celana sepanjang mata kaki berwarna
putih telah melekat di kakinya. Cahaya api dari obor membuat tubuh sang Raja
terlihat mengilap berkeringat. Kaki Sherene melemas, bagaimana caranya ia bisa
tidak mencintai lelaki ini jika lelaki ini selalu berada di hadapannya? Sherene
mengutuk dirinya sendiri. Sherene menyandarkan tubuhnya ke tembok batunya
sambil melipat bibir ke dalam. Sang Raja melangkah mendekatinya dengan wajah
yang datar lalu ia tersenyum penuh dengan kelicikan. Kelicikan? Sherene menelan
ludahnya. Tubuh Raja menghimpit tubuhnya dengan tembok yang menempel di
punggungnya. Mata hijau Sherene tampak sangat cantik jika dilihat dari jarak
dekat, tapi bukan itu yang membuat Raja tertarik. Tapi keseluruhannya. Wajah
polosnya bersama dengan tubuhnya yang sungguh molek benar-benar membuat Raja
terangsang. Tangan kanan Justin terangkat dengan jari telunjuknya yang
mengacung lemah berniat untuk mengelus pipi halus Sherene. Pipi Sherene merona
ketika ia diperhadapkan oleh dewa Yunani yang memiliki pahatan pipi yang luar
biasa sempurna keras. Tubuhnya bergetar di bawah sentuhan Raja yang halus.
“Kau
sangat cantik, Sherene,” bisik Raja mengecup bibir Sherene singkat. Bunyi
cepakannya sangat terdengar manis membawa Sherene pada rangsangan yang sama
seperti yang Justin rasakan sekarang. Tangan Raja yang lain mulai menyentuh
pinggang Sherene yang telanjang itu ke atas ke bawah dengan lembut. Sesekali
tangannya tak sengaja menyentuh buah dada Sherene hingga Sherene terpaksa harus
terkesiap dengan rangsangan yang diberikan oleh sang Raja.
“Terima
kasih, Yang Mulia,” hanya itu yang dapat dikatakan oleh Sherene. Tangan kanan
Justin yang dari tadi mengelus pipi Sherene mulai memeluk leher Sherene, dengan
satu kali tarikan ke depan, bibir mereka telah bertemu. Mulut Sherene kembali
terkatup seperti tadi pagi, sungguh membuat Justin gemas dengan tingkahnya yang
malu-malu. Ia memukul pinggang Sherene hingga terdengar bunyi pukulannya meski
memang pukulan dari Justin tidak begitu sakit. Namun berhasil membuat Sherene
membuka mulutnya sehingga Justin dengan leluasa melesakan lidahnya masuk ke
dalam mulut Sherene. Bibir Justin terus mengisap bibir Sherene, baik di atas
maupun bawah bibirnya. Detik berikutnya Justin menarik kepalanya dari Sherene
hingga mata mereka langsung bertemu. Sherene melipat mulutnya ke dalam lalu
menjilat bibirnya ingin merasakan bibir Justin yang masih terasa membekas.
Nafas mereka terengah-engah padahal Sherene belum membalas ciuman dari Justin.
“Mengapa
pipimu mudah sekali merona, Sherene?” tanya Justin yang semakin membuat pipi
Sherene merona. Mengapa sang Raja bertanya seperti itu? Tentu ia tahu mengapa.
Tidak mendengar jawaban dari Sherene, Justin menarik rok Sherene ke atas. Ia
sudah tahu pasti Sherene telah siap untuknya, Justin tidak memiliki banyak
waktu untuk berlama-lama di kamar Sherene karena ia telah memberitahu pada
pelayan-pelayannya bahwa ia ingin mengelilingi istana yang luar biasa luas itu
untuk mencari udara segar. Kedua tangan Justin menurunkan pakaian dalam Sherene
ke bawah dan menarik paksa kedua kaki Sherene hingga benar-benar terbuka untuk
Justin.
“Kau
mengingatkanku pada seorang gadis di Roma, Sherene,” gumam Justin memberitahu
sambil ia menurunkan celananya ke bawah sehingga sekarang barang berharga
Justin terlihat jelas. Namun Sherene tidak sama sekali meliriknya ke bawah, ia
takut.
“Apa
dia gadis baik-baik?” Sherene sungguh polos, bahkan di saat-saat seperti ini.
“Tentu,”
gumam Justin. “Lingkarkan tanganmu di sekitar leherku, aku akan menggendongmu
dan berjanji tidak akan membuatmu jatuh,”
“Bagaimana
jika aku jatuh, Yang Mulia?”
“Aku
sudah bilang aku berjanji,” ujar Justin tidak ingin membuang-buang waktu. Ia
ingin melakukan ini secepat mungkin. Sangat cepat seperti kilat. Besok ia akan
pergi ke luar istana dan kemungkinan besar ia tidak dapat bertemu dengan
Sherene. Ia sudah duga, ia tidak akan pernah puas dengan gadis polos yang mulai
memeluk lehernya. Tangan Justin meraih bokong Sherene dan mengangkatnya.
“Lingkarkan kakimu di sekitar pinggangku,” perintah Justin kembali. Sherene
tentu menuruti perkataan Justin, ia melingkarkan kedua kakinya di sekitar
pinggang Justin. Ia merasakan sedikit angin masuk ke dalam roknya sehingga miliknya
yang telah basah itu terasa sangat dingin. Ia mendesah pelan tepat di telinga
Justin. Sungguh, desahan itu terdengar sangat manis di telinga Justin.
Pelan-pelan Justin menurunkan tubuh Sherene sambil melesakkan barang
berharganya ke dalam tubuh Sherene.
“Oh,
Raja,” desah Sherene memasukan kepalanya ke dalam leher sang Raja. Justin
mendongakkan kepalanya ke belakang dengan mata yang terpejam. Demi apapun,
gadis ini sungguh nikmat. Justin tak kuasa untuk tidak berlaku kasar pada gadis
ini. “Auw!” erang Sherene.
“Aku
akan berusaha melakukannya selembut mungkin,” bisik Justin di telinga Sherene
lalu salah satu tangan Justin menarik rambut Sherene ke belakang sehingga
kepala Sherene mendongak. Erangan Sherene sungguh keras, bersamaan dengan
gerakan tubuh Justin yang membuat erangan itu semakin berkelanjutan.
“Ah,
Raja!” desah Sherene merasakan sebuah benda keluar masuk dalam tubuhnya.
Erangannya dengan sang Raja terus bersahut-sahutan, tapi itu berhenti ketika
suara ketukan pintu terdengar.
“Oh,
Raja,” desahnya berusaha menahan erangannya. “Siapa itu? Ah, tidak,” desahnya
pelan-pelan ketika sang Raja kembali menyentakkan tubuhnya ke atas.
“Kau
baik-baik saja di dalam Sherene?” suara dari salah satu prajurit terdengar di
telinganya.
“Aku
..oh, Raja,” desahnya menggigit bibir. “Aku baik-baik saja,” lanjutnya. Namun
kembali ia mengerang ketika Justin menggigit-gigit leher Sherene dengan rakus.
“Kau
yakin?”
“Ooh!
Ya ..ah! Tentu saja.” Tapi tidak, ia tidak baik-baik saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar