Sabtu, 21 September 2013

Innocent Bab 4



***

            Air mata gadis itu masih terasa asin ketika air matanya turun mencapai ujung bibirnya. Tangannya bergetar memeluk punggung sang pangeran yang masih berada di atas tubuhnya. Ia masih mencari nafasnya yang hilang selama beberapa saat. Pangeran Justin dengan lembut membaringkan Sherene ke atas tempat tidur dengan perasaan tenang meski ia juga mendengar suara isak tangis dari sang gadis. Gadis polos yang telah ternoda itu mengerang kesakitan ketiak tiba-tiba saja sang pangeran mengeluarkan barang yang paling berharga bagi sang pangeran keluar dari tubuh Sherene. Ada bercak darah yang mengitari bagian bawah Sherene begitu juga dengan tempat tidur sang pangeran. Sprei putih tipis itu sekarang telah dinodai oleh darah keperawanan Sherene. Pangeran Justin membersihkan barang berharganya itu dengan pakaian Sherene yang berwarna putih hingga benar-benar bersih lalu melempar gaun itu ke sembarang tempat. Ia ingin sekali tidur dan melewatkan penobatannya sebagai Raja –meski ia tahu penobatannya sebagai Raja tengah hari nanti.
            Pangeran Justin menarik selimut yang berada di bawah kaki mereka hingga tubuhnya dan tubuh Sherene benar-benar tertutup. Sherene masih menangis. Bukan karena ia kehilangan keperawanannya—karena ia tahu ia akan dipakai oleh sang pangeran—tapi karena rasa sakit yang ia terima tak dapat ia tanggung. Bahkan sekarang Sherene tidak dapat merapatkan kakinya takut-takut bagian bawahnya bertambah rasa sakitnya. Rambutnya tergerai basah di atas bantal sang pangeran dimana-mana. Sehingga pangeran yang ingin membaringkan kepalanya ke atas bantal yang satunya terpaksa harus bersikap selembut mungkin pada Sherene, ia mengangkat kepala Sherene dengan tangan sebelah kirinya, tangannya yang lain mengambil seluruh rambut Sherene dan mengesampingkannya ke tempat yang tidak menutupi bantalnya.
            “Karena kau baru saja kuperawani, kau boleh beristirahat. Kemarilah,” ujar Justin menarik tubuh Sherene yang ringan itu dengan santai ke dadanya. Kulit mereka kembali bersentuhan sehingga Justin merasakan sengatan yang sama seperti tadi ingin melakukannya kembali. Tapi ia tahu Sherene seorang gadis polos yang tidak dapat melakukan hubungan intim begitu lama sehingga ia mengurung niatnya untuk menikmati gadis ini kembali. Hebatnya Justin mendapatkan pelepasan hanya dalam satu kali masuk. Justin mulai berpikir, ia tidak akan pernah puas dengan Sherene –kemungkinan besar sepertinya, ya, ia tidak akan pernah puas dengan Sherene. Mata Sherene terpejam meski dari sudut matanya terus mengeluarkan sedikit air mata yang melewati hidungnya hingga menetes ke atas tempat tidur. Ia masih berusaha menenangkan dirinya. Justin menempatkan dagunya di atas kepala Sherene dengan mata yang terbuka. Ia tidak bisa tidur jika gadis ini masih menangis. Sebelumnya, ia memang pernah tidur bersama dengan seorang gadis yang sama cantiknya dengan Sherene. Mungkin hanya perbedaan rambut mereka dan warna mata Sherene yang langka itu. Ia pergi ke Roma hanya untuk bersekolah di sana tapi ternyata tidak, ada hal lain yang membuatnya bertambah bahagia tinggal di sana.
            Di Roma, Justin bagaikan pangeran yang terbuang. Ia diajar untuk hidup mandiri di sebuah kota—yang sebenarnya hampir sama seperti pedesaan. Di sana ia bertemu dengan gadis cantik dengan mata biru alami seperti hamparan laut yang membentang sempurna di hadapan Justin. Ia berkenalan dengan gadis itu ketika ia mendatangi sebuah toko pakaian. Pertemuan pertama mereka tidak akan pernah Justin lupakan seumur hidupnya. Rambut hitam mengilau gadis itu terikat rapi di belakang punggungnya bersama dengan pakaiannya yang sangat cocok dengan bentuk tubuhnya yang menggiurkan. Justin tentu sebagai pemuda yang normal menyukai gadis ini. Ia mendekati gadis muda itu, bertanya siapa namanya. Namanya sangat cantik, Cassandine. Dari sana mereka mulai akrab. Cass tentu tidak tahu bahwa Justin adalah seorang anak Raja alias pangeran dari Persia, itu yang membuat Justin berpikir bahwa gadis ini dekat dengannya bukan karena untuk bertahan hidup atau bisa dikatakan, gadis itu bukanlah gadis yang mementingkan kekayaan. Justin sering kali mendatangi toko pakaian Cass hanya untuk melihat-lihat bahan baju yang cocok untuk dijahit. Ia mulai menyukai seorang gadis untuk yang pertama kalinya, bukan menyukai. Tapi ia jatuh cinta dengan seorang gadis untuk yang pertama kalinya. Mereka mengelilingi kota Roma dengan kuda milik Justin, memilih untuk makan siang bersama di sebuah hutan, atau sekedar bermain-main di hutan. Dan hal yang tidak akan pernah ia lupakan seumur hidupnya adalah permainannya dengan Cassandine di atas ranjang sungguh memukaunya. Semua itu sangat membuat Justin merasa sangat muda dan bahagia. Hingga pada akhirnya, ketika ia ingin melamar Cassandine dan membawanya ke Persia, ia mendapat kabar bahwa Ayahnya meninggal dan harus dibawa ke Mesir. Segala impian Justin untuk melamar Cass hancur sudah. Itulah alasan mengapa tadi malam Justin tidak menikmati pesta penyambutannya. Dan di pagi hari yang cerah, ia dipertemukan dengan seorang gadis polos dengan mata hijau serta rambut yang jarang ditemuinya –sangat panjang.
            “Pangeran Justin,” suara Sherene membuat matanya mengedip beberapa kali. “Apa aku boleh bertanya?” lanjut Sherene. Sebenarnya, Sherene sangat tidak sopan memiliki percakapan dengan sang pangeran karena Sherene hanyalah seorang pelayan sekaligus harem di istana. Justin memejamkan matanya beberapa saat berusaha untuk tidak terpancing emosinya karena gadis ini merusak saat ia sedang mengenang masa-masa indahnya bersama dengan Cass.
            “Tentu,” suara Justin terdengar sangat dingin di telinga Sherene. Mata hijau Sherene tadinya terbuka, sekarang kembali tertutup bersamaan dengan air mata sisanya yang membendung sedari tadi.
            “Bagaimana keadaan Roma? Aku tak pernah ke sana sebelumnya,” mata Sherene kembali terbuka namun masih berkaca-kaca akibat tangisannya tadi. Ia menatap kosong pada tembok berwarna tanah kering dengan hati yang remuk. Mengapa ia bertanya seperti itu? Sebenarnya, bukan itu maksud Sherene bertanya pada Justin. Bahkan memang bukan pertanyaan itu yang seharusnya ia lontarkan. Ia ingin sekali bertanya apa Justin mengingatnya atau tidak. Meski Patricia telah memberitahunya bahwa begitu banyak kemungkinan Justin dapat melupakannya. Sherene terlalu naïf untuk bertanya seperti itu karena ia telah mengetahui jawabannya. Justin terdiam sampai akhir mulut Justin terbuka.
            “Aku pulang kembali dengan selamat. Apa kau tahu apa artinya?” Justin tidak ingin sibuk-sibuk menceritakan kisah cinta dengan Cass hanya pada seorang harem seperti Sherene. Kepala Sherene terangguk. Rasa sakitnya sedikit demi sedikit mulai menghilang dari bagian bawahnya. Apa sang pangeran pernah jatuh cinta di Roma? Apa dia telah menemukan belahan jiwanya? Bagaimana jika pangeran benar-benar telah mendapatkan gadis lain? Apa Sherene harus menangis kembali seperti tahun-tahun yang telah berlalu itu? Mengapa Sherene harus merasakan hal yang namanya jatuh cinta pada seorang pangeran? Tapi tentu saja harem-harem di istana mencintai sang pangeran. Siapa yang tidak? Hanya orang yang tidak mempunyai otak yang tidak menyukai sang pangeran. Cerdas, tampan, serta akan menjadi seorang Raja. Siapa yang tidak ingin menjadi pasangan sang Raja? Tentu banyak. Sherene kembali menegaskan pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan pernah merasakan cinta seperti ini kembali. Ia harus benar-benar menghilangkan perasaan ini meski pikirannya memang ingin melakukannya tapi apa hatinya akan sama seperti pikirannya? Sherene mengembuskan nafasnya. Tidak ada lagi air mata yang harus mengalir di pipiku, pikir Sherene memperingati dirinya sendiri. Ia tak berhak memiliki perasaan cemburu dan marah pada gadis yang akan menjadi kekasih sang pangeran karena ia hanyalah seorang harem. Harem yang melakukan apa yang sang pangeran katakan. Nafas Justin teratur dari atas sana sehingga Sherene menyimpulkan bahwa pangeran telah terlelap. Ia ingin melepaskan pelukan Justin yang menutupi tubuhnya –bahkan tangan Justin menangkup buah dadanya—yang berkeringat. Ia harus membersihkan dirinya sebersih mungkin dan membantu Patricia untuk mempersiapkan upacara penobatan Raja baru.
            Ketika Sherene baru saja ingin mengangkat tangan Justin dari atas tubuhnya, tiba-tiba saja kepala Justin bergerak satu kali lalu ia menggumamkan sebuah nama dari mulutnya. Siapa? Cassandine.

***

            “Aku sudah bertekad untuk mengabaikan perasaan bodoh ini, Patricia,” Sherene sedang merapikan daging-daging yang baru saja dipanggang ke atas piring-piring yang besar untuk pesta setelah penobatan Raja Justin. Dapur yang besar itu dipenuhi oleh pelayan-pelayan yang sibuk ke sana-sini hanya untuk mempersiapkan makanan untuk nanti. Anggur-anggur biasa hanya diberikan pada para prajurit. Tentu sang Raja tidak akan disajikan anggur biasa seperti itu, ia meminum anggur terbaik di Persia. Dan Patricia dari tadi memerhatikan tingkah Sherene yang berubah sejak ia bertemu dengan sang pangeran di kamar. Patricia tahu, Sherene baru saja memiliki hubungan intim bersama dengan sang pangeran. Tapi yang membuat Patricia bingung adalah mengapa wajah Sherene masih saja datar? Bukankah seharusnya Sherene tersenyum karena sang pangeran kembali menyukainya? Alasan mengapa Sherene tidak ingin bercerita banyak apa yang terjadi tadi pagi adalah karena gumaman dari sang pangeran. Mungkin saja sang pangeran ingin tidur dengannya hanya karena ia rindu dengan seseorang sehingga Sherene hanya dijadikan sebagai pelampiasan sang pangeran. Dari gumaman itu Sherene semakin meyakinkan dirinya bahwa ia akan menghilang perasaan cinta ini dari dirinya.
            “Jika memang begitu, mengapa aku bisa melihat kau baru saja menangis setelah keluar dari kamarnya?” Patricia berdiri di ujung meja makan yang di atasnya terdapat daging-daging yang lezat berjejer di sana. Sherene berpura-pura sibuk memutar-mutar panggangannya agar daging yang ia panggang cepat matang. Ia menghentikan tangannya yang bergerak lalu melepaskan panggangan yang ia pegang, menatap Patricia dengan dua alis yang saling bertautan.
            “Aku hanya ..urgh, Patricia!” ia meremas udara hingga kedua tangannya mengepal. “Aku menangis karena kesakitan, aku perawan dan aku merasakan sakit ketika ia melakukannya padaku. Itu saja. Dan aku tidak ingin menjadi seorang gadis yang lemah hanya karena seorang lelaki sepertinya! Masih banyak lelaki lain yang kelak akan mencintai, dulu aku hanya berpikir dialah satu-satunya lelaki yang akan menjadi kekasihku. Tapi kenyataannya tidak! Aku yakin suatu saat nanti akan ada seorang lelaki yang mendatangiku dengan setangkai bunga sambil menyatakan cintanya padaku,” Sherene ingin sekali berteriak, tapi ia tahu,  ia tidak akan pernah bisa melakukannya jika amarahnya benar-benar meluap. Sherene tidak pernah berteriak karena tiap kali amarahnya terpancing, ia menghitung satu sampai sepuluh untuk menenangkan dirinya agar ia tidak mengeluarkan kata-kata yang seharusnya harem tidak katakan. Ia ingin menjadi harem yang baik seperti putri Raja. Kembali Sherene memutar-putar alat pemanggangnya dengan wajah yang masam. Dan ya, ia menghitung satu sama sepuluh kembali agar apa yang Patricia katakan tentang pangeran Justin lenyap dari otaknya. Patricia tercengang dengan ucapan Sherene yang sepertinya memang, Sherene akan menghilangkan perasaan cintanya pada sang pangeran. Lalu Patricia menganggukan kepalanya satu kali, mulutnya terbuka.
            “Baiklah,” gumamnya. “Kau telah memutuskan keputusanmu. Tidak banyak yang dapat kulakukan, Sherene. Kau sudah dewasa. Tapi entah mengapa aku sangat yakin bahwa kau adalah kekasih sang pangeran kelak,”
            “Patricia, kumohon untuk tidak membicarakannya hari ini?” Sherene mendongakkan kepalanya agar ia dapat melihat wajah Patricia. Kedua alis Sherene mendukung ekspresi wajah Sherene yang memohon sehingga Patricia harus menganggukan kepalanya. Patricia mengerti benar apa yang sedang Sherene rasakan, Sherene pasti mendengar sesuatu dari mulut Justin yang tidak ingin Sherene dengar –sebenarnya—tapi ia terpaksa mendengarnya sehingga ada perasaan yang menyeruak di hatinya yang dinamakan cemburu.
            “Kau yakin tidak ada lagi yang ingin kauceritakan? Tapi aku mencium bau rahasia di sini,” Patricia menggoda Sherene. Ia ingin mencairkan suasana yang tegang itu. Sherene mendengus, ia menggelengkan kepalanya. “Baiklah jika tidak ada yang ingin kauceritakan lagi. Jika kau memerlukanku, temui aku di dalam puri istana,” ujar Patricia membalikkan tubuhnya. Saat Patricia baru saja akan melangkah pergi, Sherene berteriak –bahkan tak terdengar seperti berteriak—nama kepala pelayan itu.
            “Patricia,” lenguh Sherene kembali. “Ada sebuah nama yang ia sebutkan,” desah Sherene tidak dapat berbohong dan menyimpan rahasia. Selama ini, hanya Patricia orang kepercayaannya. Dan hanya Patricia yang tahu bagaimana perasaannya tiap harinya. Patricia tersenyum dengan lega, tubuhnya berbalik kembali.
            “Siapa?”
            “Cassandine,” gumam Sherene membuang muka dari Patricia. Ia menatap daging yang tengah ia panggang itu untuk berusaha tak menatap Patricia. “Kurasa dia seorang gadis yang pangeran Justin temui di Roma. Aku tak yakin,” Sherene mengangkat kedua bahunya, berusaha bersikap acuh padahal ia tahu ia tidak bisa.
            “Kau seharusnya bertanya padanya. Jika nanti malam ia akan memanggilmu untuk menemani malamnya, kau harus bertanya padanya,”
            “Tapi aku hanyalah seorang harem! Tentu aku tidak akan dianggap olehnya. Untuk apa aku bertanya padanya tentang masalah pribadinya? Aku sudah bilang, seharusnya kita tidak membicarakan ini. Ini hanya memperburuk keadaanku,”
            “Setidaknya, tidak ada rahasia yang kausembunyikan, Sherene. Kau sudah tenang. Mungkin Cassandine kekasihnya di Roma. Kita tidak tahu, tapi jika aku bertemu dengannya aku akan berusaha berbicara dengannya baik-baik,” Patricia memberikan senyum lembut keibuannya pada Sherene yang sedang putus asa.
            “Baiklah,”

***

            Sherene mengikat rambutnya di depan cermin sambil menatapi pakaiannya yang tengah ia pakai. Atasan berwarna hijau daun yang menutupi hanya sampai buah dadanya membuatnya sedikit malu karena perutnya terbuka. Ia biasanya memakai pakaian yang tertutup. Mungkin memang ia pernah berpakaian seperti ini sebelumnya, tapi keadaan berbeda. Ia telah menemani sang pangeran pagi tadi sehingga sore ini kemungkinan besar sang pangeran telah mengenalnya. Rok panjang berwarna merah darah telah melekat di pinggulnya yang berbentuk. Ia menatapi dirinya di depan cermin dengan raut wajah yang datar. Ia terus menyingkirkan pikirannya dari Justin, tapi semakin ia berusaha, semakin sering Justin menghampiri pikirannya. Apa yang harus ia lakukan? Tidak ada selain ia harus menikmati pesta penobatan sang Raja. Ia berharap pesta ini akan melupakan sejenak pikirannya dari Justin.
            Chista mengetuk pintu kamar harem –sejak lima tahun yang lalu, para harem telah memiliki kamarnya sendiri-sendiri—Sherene ragu-ragu dari balik pintu. Seharusnya Sherene tadi datang ke upacara penobatan sang Raja tapi dengan alasan sakit, Sherene diizinkan untuk tetap tinggal di dalam kamarnya.         
            “Sherene, tidakkah kau ingin keluar menikmati pesta? Teman-teman mengharapkan kedatanganmu. Apa kau sudah merasa lebih baik?” suara lembut dari Chista seperti menarik tubuh Sherene yang tengah berjalan menuju pintu kamarnya lalu membuka pintunya. Chista tidak lebih tinggi dari Sherene, sehingga dari bawah sana Chista melihat Sherene tampak begitu cantik. Terlebih lagi pakaian yang tengah Sherene kenakan membuat Chista merasa iri dengan lekukan tubuh Sherene yang benar-benar terbentuk. Andaikan ia memiliki bentuk tubuh seperti Sherene, mungkin sang Raja Justin sekarang telah memintanya untuk pergi menemani malamnya sekarang. Chista diam seribu bahasa hingga Sherene berteriak –yang tidak seperti berteriak.
            “Chista,” kali ini suara Sherene lebih lembut.
            “Y-ya, ayolah Sherene. Kita semua menunggumu untuk menikmati anggur,” ajak Chista menarik tangan Sherene paksa keluar dari kamarnya. Pintu kamarnya tertutup hingga mereka keluar dari harem. Lapangan istana tampak ramai seperti kemarin malam. Keadaannya tetap sama seperti kemarin, tapi mungkin perbedaannya hanyalah dari sang Raja yang baru. Raja Justin sekarang telah memakai mahkotanya yang besar di atas kepalanya. Terlihat dari wajah sang Raja ia terpaksa menikmati pesta yang dibuatkan untuknya. Sherene dari jarak jauh telah mengetahui apa penyebabnya. Mungkin karena sang Raja sedang merindukan Cassandine, kekasihnya di Roma itu. Tiba-tiba saja segelas anggur berada di hadapannya dipegang oleh Chista.
            “Ayo, minumlah. Ini lebih baik daripada air manis,” ujar Chista menganggukan kepalanya. Sherene meraih gelas berisikan anggur itu dari tangan Chista. Kakinya melangkah semakin mendekat dengan kerumunan orang-orang yang sedang menikmati musik rebana yang dimainkan. Semuanya meliuk-liukkan tubuhnya seperti tidak ada hari esok. Tapi pandangan Sherene tak lepas dari sang Raja yang secara tak sengaja menatapinya sekarang. Perasaan Sherene tiba-tiba saja gugup, ia meneguk anggur yang ia pegang dan melemparkan pandangannya pada penari erotis yang berada  di tengah-tengah lapangan. Ada beberapa penari erotis yang menggoyangkan perutnya. Setelah ini mungkin Sherene akan muntah. Tidak sampai satu menit, Sherene kembali mendongakkan kepalanya ke atas untuk melihat sang Raja yang duduk. Tapi tidak ada. Sang Raja tidak ada di tempat duduknya, tidak juga dengan dua pelayan yang mengipas-kipas dirinya. Oh, kemanakah sang Raja pergi?
            “Hari ini kau tampak sangat cantik, Sherene,” didengarnya suara berat dari seorang lelaki yang berdiri di belakangnya. Sherene sudah tahu siapa lelaki itu, dia Panglima yang baru. Tiap kali Sherene keluar dari harem, ia selalu bertemu dengan Panglima dan berbicara hal-hal yang tak penting. Tapi tetap saja Panglima tidak akan melekat di otak Sherene selain Raja Justin. Panglima Khazaz selalu memberikan senyum padanya. Mungkin hanya padanya karena biasanya Panglima Khazaz terkenal dengan sifatnya yang dingin serta angkuh pada para gadis di istana –tidak termasuk Patricia. Sherene membalikkan tubuhnya ke belakang dengan senyum yang telah ia persiapkan.
            “Terima kasih,” gumamnya. “Pesta sang Raja. Siapa yang tidak ingin tampil cantik?” Sherene berusaha untuk tidak terdengar membosankan. Panglima Khazaz hanya terkekeh sambil mengangguk-anggukan kepalanya. Satu hal yang membuat Sherene terpukau dengan Panglima Khazaz adalah seseksi apapun pakaianmu, ia tidak akan pernah melirik buah dada atau bahkan bokongmu. Tidak di depanmu. Tetap saja Sherene merasa dihormati oleh sang Panglima Khazaz. Itulah mengapa Sherene selalu memberikan senyum pada Panglima Khazaz, meski memang Panglima Khazaz senang sekali jika melihat Sherene memberikan senyum padanya. Karena Patricia pernah bercerita pada Panglima Khazaz bahwa beberapa tahun terakhir, Sherene jarang tersenyum. Jadi, Panglima Khazaz merasa senang karena ia adalah salah satu orang yang Sherene berikan senyum.
            “Kurasa aku harus kembali ke haremku,” Sherene mengundurkan diri dan menundukkan kepalanya pada Panglima penuh dengan hormat. Panglima Khazaz hanya menganggukan kepalanya sambil menatapi Sherene yang pergi dari hadapannya menuju haremnya kembali. Dari belakang ia dapat melihat rambut Sherene yang berwarna emas madu itu melambai-lambai dengan anggun kemudian lenyap ketika Sherene menutup pintu haremnya. Ia selalu tertarik dengan gadis polos itu. Jika seluruh orang Persia telah melihat wajah Sherene, mereka akan berpikir bahwa Sherene-lah gadis tercantik di Persia. Dengan mata hijau serta rambut emas madu yang mengilau yang selalu menjadi ciri khas dari Sherene.
            Sherene masuk ke dalam kamarnya dengan gelas anggur yang masih berada di tangannya. Ia segera menaruh gelas itu ke atas meja yang ada di kamarnya. Pesta itu benar-benar membuatnya mula hingga ia tidak tahan untuk bertahan di sana. Terlebih lagi, sudah tidak ada pemandangan yang bagus untuk ia lihat. Sang Raja mungkin telah pergi tidur. Sherene harus mengganti pakaiannya yang tidak nyaman ia pakai dengan gaun yang lain. Setelah hampir satu jam Sherene mempersiapkan diri hanya untuk sebuah pesta, ia kembali melepaskan pakaiannya padahal ia menikmati pesta sang Raja tidak sampai sepuluh menit. Demi para dewa, Sherene adalah gadis yang tidak tahu yang namanya kesenangan. Tentu saja, Sherene hanya perlu kebebasan. Ia ingin melihat orang-orang Persia di luar sana yang terakhir ia lihat, mereka seperti dijajah. Ketukan pintu kamar Sherene membuat Sherene menghentikan tangannya yang baru saja akan membuka atasannya. Ia berjalan sambil melepaskan ikatan rambutnya lalu merapikannya serapi mungkin.
            “Ya?” sapa Sherene membukakan pintu kamarnya. Tapi yang ia lihat bukanlah seorang gadis atau Patricia, tapi Raja Justin yang masih memakai pakaian kerjanya –tampak kebesaran di tubuhnya karena mungkin tubuh Raja Justin tidak besar seperti Ayahnya. “Yang Mulia,” Sherene segera membungkukkan kepalanya sambil mengangkat rok merahnya dengan kedua tangannya. Justin memerhatikan dari atas tindakan gadis yang ada di hadapannya sedang membungkukkan tubuhnya penuh dengan kehormatan. Tapi Justin hanya memperlihatkan wajah datarnya sambil matanya memerhatikan gadis ini. Sherene menegakkan tubuhnya beberapa detik kemudian lalu tersenyum. Oh, senyum itu sungguh manis.
            “Apa yang dapat kuberikan untukmu, Yang Mulia?” Sherene bertanya dengan suaranya yang memang sudah dari dulu penuh dengan kelembutan. Justin tidak menjawab pertanyaan Sherene, ia berjalan melewati tubuh Sherene, masuk ke dalam kamarnya tanpa rasa takut. Tentu saja, Justin adalah seorang Raja. Semua orang akan selalu menghormatinya. Berada di kamar Sherene yang kecil membuat keadaan semakin panas. Rasanya Justin ingin sekali menurunkan pakaian atasan Sherene cepat-cepat agar dapat melihat buah dadanya yang kencang itu. Demi para dewa, puting gadis itu terlihat jelas tercetak meski kecil sekali.
            “Kunci pintu kamarmu,” suruh Justin masih memerhatikan luasnya kamar ini. Cermin oval berada di sudut kamarnya bersama dengan sebuah kursi kecil. Pasti gadis itu sering bercermin di sana. Justin membuka jubahnya lalu melemparnya ke atas meja yang berada di sebelah cermin oval itu. Sherene telah mengunci pintu kamarnya dengan palang yang berada di pintunya. Sherene membalikkan tubuhnya dengan keadaan gugup. Oh, demi para dewa, apa yang akan Raja Justin lakukan padanya? Apa ia akan melakukan kejadian tadi pagi?
            “Apa kau mencoba menggodaku dengan pakaian yang sedang kaukenakan sekarang? Jika benar, itu benar-benar berhasil karena aku telah berada di dalam kamarmu,” pertanyaan Justin membuat Sherene terkesiap –bahkan Justin tidak membalikkan kepalanya saat bertanya pada Sherene. Tangan kanan Sherene menyentuh dadanya berusaha untuk bernafas karena nafasnya tercekat. Mengapa bisa-bisanya sang Raja bertanya seperti itu? Tidak sama sekali! Ia melipat mulutnya ke dalam, ia tidak ingin mengatakan kata-kata kotor yang tidak seharusnya ia katakan. Tentu ia marah dengan pertanyaan yang Raja ajukan padanya karena ia bukanlah gadis semurah itu.
            “Tidak, Yang Mulia,” jawabnya singkat. Lalu ia baru saja tersadar, sang Raja sudah tidak memakai pakaian atasannya. Hanya celana sepanjang mata kaki berwarna putih telah melekat di kakinya. Cahaya api dari obor membuat tubuh sang Raja terlihat mengilap berkeringat. Kaki Sherene melemas, bagaimana caranya ia bisa tidak mencintai lelaki ini jika lelaki ini selalu berada di hadapannya? Sherene mengutuk dirinya sendiri. Sherene menyandarkan tubuhnya ke tembok batunya sambil melipat bibir ke dalam. Sang Raja melangkah mendekatinya dengan wajah yang datar lalu ia tersenyum penuh dengan kelicikan. Kelicikan? Sherene menelan ludahnya. Tubuh Raja menghimpit tubuhnya dengan tembok yang menempel di punggungnya. Mata hijau Sherene tampak sangat cantik jika dilihat dari jarak dekat, tapi bukan itu yang membuat Raja tertarik. Tapi keseluruhannya. Wajah polosnya bersama dengan tubuhnya yang sungguh molek benar-benar membuat Raja terangsang. Tangan kanan Justin terangkat dengan jari telunjuknya yang mengacung lemah berniat untuk mengelus pipi halus Sherene. Pipi Sherene merona ketika ia diperhadapkan oleh dewa Yunani yang memiliki pahatan pipi yang luar biasa sempurna keras. Tubuhnya bergetar di bawah sentuhan Raja yang halus.
            “Kau sangat cantik, Sherene,” bisik Raja mengecup bibir Sherene singkat. Bunyi cepakannya sangat terdengar manis membawa Sherene pada rangsangan yang sama seperti yang Justin rasakan sekarang. Tangan Raja yang lain mulai menyentuh pinggang Sherene yang telanjang itu ke atas ke bawah dengan lembut. Sesekali tangannya tak sengaja menyentuh buah dada Sherene hingga Sherene terpaksa harus terkesiap dengan rangsangan yang diberikan oleh sang Raja.
            “Terima kasih, Yang Mulia,” hanya itu yang dapat dikatakan oleh Sherene. Tangan kanan Justin yang dari tadi mengelus pipi Sherene mulai memeluk leher Sherene, dengan satu kali tarikan ke depan, bibir mereka telah bertemu. Mulut Sherene kembali terkatup seperti tadi pagi, sungguh membuat Justin gemas dengan tingkahnya yang malu-malu. Ia memukul pinggang Sherene hingga terdengar bunyi pukulannya meski memang pukulan dari Justin tidak begitu sakit. Namun berhasil membuat Sherene membuka mulutnya sehingga Justin dengan leluasa melesakan lidahnya masuk ke dalam mulut Sherene. Bibir Justin terus mengisap bibir Sherene, baik di atas maupun bawah bibirnya. Detik berikutnya Justin menarik kepalanya dari Sherene hingga mata mereka langsung bertemu. Sherene melipat mulutnya ke dalam lalu menjilat bibirnya ingin merasakan bibir Justin yang masih terasa membekas. Nafas mereka terengah-engah padahal Sherene belum membalas ciuman dari Justin.
            “Mengapa pipimu mudah sekali merona, Sherene?” tanya Justin yang semakin membuat pipi Sherene merona. Mengapa sang Raja bertanya seperti itu? Tentu ia tahu mengapa. Tidak mendengar jawaban dari Sherene, Justin menarik rok Sherene ke atas. Ia sudah tahu pasti Sherene telah siap untuknya, Justin tidak memiliki banyak waktu untuk berlama-lama di kamar Sherene karena ia telah memberitahu pada pelayan-pelayannya bahwa ia ingin mengelilingi istana yang luar biasa luas itu untuk mencari udara segar. Kedua tangan Justin menurunkan pakaian dalam Sherene ke bawah dan menarik paksa kedua kaki Sherene hingga benar-benar terbuka untuk Justin.
            “Kau mengingatkanku pada seorang gadis di Roma, Sherene,” gumam Justin memberitahu sambil ia menurunkan celananya ke bawah sehingga sekarang barang berharga Justin terlihat jelas. Namun Sherene tidak sama sekali meliriknya ke bawah, ia takut.
            “Apa dia gadis baik-baik?” Sherene sungguh polos, bahkan di saat-saat seperti ini.
            “Tentu,” gumam Justin. “Lingkarkan tanganmu di sekitar leherku, aku akan menggendongmu dan berjanji tidak akan membuatmu jatuh,”
            “Bagaimana jika aku jatuh, Yang Mulia?”
            “Aku sudah bilang aku berjanji,” ujar Justin tidak ingin membuang-buang waktu. Ia ingin melakukan ini secepat mungkin. Sangat cepat seperti kilat. Besok ia akan pergi ke luar istana dan kemungkinan besar ia tidak dapat bertemu dengan Sherene. Ia sudah duga, ia tidak akan pernah puas dengan gadis polos yang mulai memeluk lehernya. Tangan Justin meraih bokong Sherene dan mengangkatnya. “Lingkarkan kakimu di sekitar pinggangku,” perintah Justin kembali. Sherene tentu menuruti perkataan Justin, ia melingkarkan kedua kakinya di sekitar pinggang Justin. Ia merasakan sedikit angin masuk ke dalam roknya sehingga miliknya yang telah basah itu terasa sangat dingin. Ia mendesah pelan tepat di telinga Justin. Sungguh, desahan itu terdengar sangat manis di telinga Justin. Pelan-pelan Justin menurunkan tubuh Sherene sambil melesakkan barang berharganya ke dalam tubuh Sherene.
            “Oh, Raja,” desah Sherene memasukan kepalanya ke dalam leher sang Raja. Justin mendongakkan kepalanya ke belakang dengan mata yang terpejam. Demi apapun, gadis ini sungguh nikmat. Justin tak kuasa untuk tidak berlaku kasar pada gadis ini. “Auw!” erang Sherene.
            “Aku akan berusaha melakukannya selembut mungkin,” bisik Justin di telinga Sherene lalu salah satu tangan Justin menarik rambut Sherene ke belakang sehingga kepala Sherene mendongak. Erangan Sherene sungguh keras, bersamaan dengan gerakan tubuh Justin yang membuat erangan itu semakin berkelanjutan.
            “Ah, Raja!” desah Sherene merasakan sebuah benda keluar masuk dalam tubuhnya. Erangannya dengan sang Raja terus bersahut-sahutan, tapi itu berhenti ketika suara ketukan pintu terdengar.
            “Oh, Raja,” desahnya berusaha menahan erangannya. “Siapa itu? Ah, tidak,” desahnya pelan-pelan ketika sang Raja kembali menyentakkan tubuhnya ke atas.
            “Kau baik-baik saja di dalam Sherene?” suara dari salah satu prajurit terdengar di telinganya.
            “Aku ..oh, Raja,” desahnya menggigit bibir. “Aku baik-baik saja,” lanjutnya. Namun kembali ia mengerang ketika Justin menggigit-gigit leher Sherene dengan rakus.
            “Kau yakin?”

            “Ooh! Ya ..ah! Tentu saja.” Tapi tidak, ia tidak baik-baik saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar