***
*Author POV*
Pagi
ini tidak ada yang spesial bagi Sherene. Tidak bagi dirinya atau Patricia yang
tengah menyisir rambut Sherene yang lembut itu. Pandangan Sherene kosong pada lantai batu yang
ia pijak begitu juga dengan pikirannya yang dari tadi tidak dapat berkompromi.
Bagaimana mungkin lelaki itu melupakannya? Apa di luar negeri sana ia telah
memiliki wanita yang lebih menarik dibanding dirinya? Mungkin. Sherene tidak
berhak memiliki perasaan cemburu ini, ia tahu ia hanyalah seorang harem yang
akan segera menemani malam pangeran Justin. Ia tidak dipilih tadi malam.
Patricia melarangnya untuk tidur dengan pangeran Justin. Lagi pula pangeran
Justin hanya butuh beberapa wanita murahan yang harus menemaninya malam itu.
Sherene bukan termasuk dari gadis-gadis murahan yang sering dipakai Raja maka
dari itu Patricia tidak mengizinkan Sherene untuk menemani pangeran saat ini.
Semuanya akan datang pada waktunya. Tidak ada yang dipikirkan Sherene selain
empat wanita yang dipilih untuk menemani pangeran malam tadi yang sekarang
tengah mandi bersama untuk membersihkan diri. Sebenarnya, sejak dari tengah
malam mereka telah kembali. Suara cekikikan mereka membuat Sherene yang tengah
terlelap tiba-tiba saja terjaga. Ya, Sherene memiliki indra pendengaran yang
sangat peka. Suara sekecil apapun dapat membangunkannya.
Ia
mendengar betapa hebatnya sang pangeran di ranjang dan dapat bermain dengan
empat wanita sekaligus. Mungkin karena di umur pangeran yang masih muda dapat
membuatnya lebih berstamina. Sherene yang mendengar bisikan-bisikan itu rasanya
ingin sekali melempari obor pada empat wanita itu. Tidak seperti Raja, pangeran
Justin mengembalikan harem-haremnya di malam hari. Raja selalu mengembalikan
harem-harem yang telah menemaninya tadi malam di pagi hari atau bahkan siang
hari. Mata Sherene mengedip perlahan-lahan membuat bulu matanya mengibas dan
memperlihatkan warna mata hijaunya yang berkilau seperti laut yang terpancar
oleh sinar matahari. Tak terasa air mata mulai membendung menitik melalui bulu
mata bawahnya yang pendek dan tak mengenai pipinya. Patricia yang sedang
mengambil sebagian rambut Sherene yang panjang menatapi Sherene dari pantulan
cermin. Gadis kecil yang malang yang tak mengerti cinta itu keadaannya tampak
buruk pagi ini. Patricia tidak suka melihat Sherene yang selalu murung tak seperti
Sherene yang selalu ceria dengan bibir mungilnya terbuka mengeluarkan suara
tawa yang kecil bahkan hampir tak terdengar.
“Pagi
ini kau yang akan membawakan sarapan pagi sang pangeran. Kau sudah tahu itu?”
Patricia akhirnya membuka percakapan yang memecahkan keheningan yang telah
melingkupi mereka selama beberapa menit. Sherene tidak bersuara atau
menganggukan kepalanya tapi ia tidak mendengar suara apapun dari luar
pikirannya. Ia berpikir bahwa sekarang ia sedang gila.
“Sherene,
kau dengar aku?” suara yang Patricia keluarkan kali ini lebih besar. Suaranya
yang besar itu akhirnya membuat Sherene mengangkat kepalanya lebih tegak untuk
melihat Patricia dari pantulan cermin lalu ia mengangguk.
“Maafkan
aku, Patricia. Aku hanya sedang memikirkan sesuatu,” ucap Sherene dengan
suaranya yang kecil serta lembut. Siku-sikunya bertumpu pada ujung lututnya
sambil menopang dagunya di atas telapak tangannya. “Bagaimana bisa dia melupakanku?”
“Sherene,”
Patricia mendesah sambil mulai menyisir rambut Sherene yang ia genggam dengan
tangannya yang lain. “Kemungkinannya banyak sekali, sayang. Pangeran Justin
selama hidupnya bukan untuk bersantai-santai. Ia keluar negeri untuk belajar
bagaimana menjadi seorang Raja kelak dan bersekolah di sana. Begitu banyak
pelajaran yang ia dapatkan yang kemungkinan besar dapat menutupi masa lalunya
yang telah ia lewati. Tidak selamanya masa lalu akan melekat di otaknya,” jelas
Patricia. Sherene hanya mendesah, kepalanya terangguk pelan.
“Pagi
ini aku akan membawakan sarapan untuk pangeran Justin? Dan merapikan tempat
tidurnya yang kotor akibat perbuatannya tadi malam bersama dengan harem-harem
yang kotor serta najis merayu-rayunya. Lalu bibir mereka bertemu membuat bara
api terpecik di antara mereka, tangannya mengelus-elus tubuh pangeran Justin
yang gagah lalu yang lain tengah sibuk membuka celana pangeran Justin dan yang
satunya hanya menonton menunggu gilirannya. Demi para dewa Yunani, aku sangat
benci istana ini!” sembur Sherene meremas tangannya sendiri dengan gemas.
Hampir saja ia berdiri dari tempat duduknya saat Patricia sedang
menyelip-selipkan sebagian rambutnya ke dalam rambut yang tak terikat namun
masih tergerai dengan sempurna. Sherene memejamkan matanya untuk menenangkan
dirinya agar ia tidak merasakan amarah yang sebelumnya belum pernah ia rasakan.
Baru kali ini ia berbicara banyak kata kotor yang seharusnya harem-harem tak
katakan. Patricia tidak melarang Sherene untuk mengatakan kata-kata kotor itu
sekarang karena Patricia tahu bagaimana perasaan Sherene yang kesal sekarang.
Ia tahu, putri yang telah ia anggap sebagai anaknya itu sedang marah. Cintanya
yang dulu tak terbalaskan hingga sekarang bahkan pergi sangat jauh kemudian
saat ia sedang berusaha untuk melupakan lelaki itu, tiba-tiba saja sang pujaan
hati kembali dengan keadaan yang lebih tampan dibanding sebelumnya serta
terlihat lebih menggoda dibanding sebelumnya. Bagaimana mungkin Sherene tidak
akan marah jika di hari pertama sang pangeran baru saja berada di istana
langsung mengambil beberapa harem yang Sherene sendiri tak dipilih! Ia masih
perawan. Tak pernah disentuh oleh siapapun di istana.
Ia
juga ingin merasakan hal yang sama dengan Chista, sahabatnya, yang sekarang
terlihat lebih berpengalaman dibanding dirinya. Bahkan, harem-harem yang baru
saja menginjak umur 17 tahun pernah dipakai oleh sang Raja. Sedangkan Sherene
harus menanggung nasibnya di dalam harem sambil menatapi taman yang sama. Tidak
ada spesial dalam kehidupannya setelah sang pangeran pergi meninggalkannya
dengan sebuah kecupan terakhir sebagai tanda selamat tinggal yang menyakitkan.
“Sherene,
kurasa pangeran telah menunggu untuk sarapannya,” suara Patricia menyeruak
masuk kembali ke dalam telinganya. Ia segera bangkit dari tempatnya sambil
menatapi dirinya ke depan cermin. Tiba-tiba saja ia seperti melihat dirinya
sewaktu ia masih berumur 14 tahun dengan rambut yang digerai –meski sekarang
hanya diikat sebagian kecil rambutnya—tengah bersiap-siap untuk membawakan
sarapan bagi sang pangeran untuk yang kedua kalinya. Tapi perbedaannya hanyalah
satu, ia tak tersenyum seperti kala itu. Ia tampak sangat cantik. Mahkota bunga
yang berada di sekitar kepalanya yang dimana dedaunan di sekitarnya membuat
bunga-bunga itu tampak tumbuh dari kepala Sherene sungguh perpaduan yang sangat
pas dengan mata Sherene yang berwarna hijau. Gaun putih tipis yang jika gaun
itu ditarik dengan satu tangan ke bawah akan memperlihatkan tubuh Sherene yang
molek telah menutupi tubuhnya. Ikat pinggang emas membuat bentuk tubuh Sherene
semakin terlihat meski pakaian yang ia kenakan tak ketat.
“Kau
hanya perlu bersikap biasa-biasa saja, Sherene. Tidak ada yang berubah darinya
selain fisiknya yang semakin lama semakin terlihat sempurna,” ujar Patricia
menempatkan tangannya di pundak Sherene. Ia mendorong tubuh Sherene untuk keluar
dari harem sekarang juga dan pergi ke dapur untuk membawakan sarapan bagi sang
pangeran yang akan segera menjadi seorang Raja dalam waktu beberapa jam lagi.
Sherene menganggukkan kepalanya, kakinya melangkah tanpa meluarkan suara dari
sandalnya yang menghias kakinya. Setelah
bertahun-tahun lamanya ia tak bertemu, akhirnya, ia dapat bertemu kembali
dengan sang pangeran. Anugerah terindah sekaligus menyakitkan bagi Sherene.
Keluar dari harem, ia mulai mengeluarkan senyum manisnya untuk menutupi segala
perasaannya.
***
Sherene
berdiri di depan pintu kamar pangeran Justin tanpa berbicara apapun pada
penjaga kamar pangeran Justin. Tuan Christopher sekarang sudah tidak bekerja
lagi di istana. Sherene melipat bibirnya ke dalam tanpa melirik siapapun, entah
mengapa perasaannya sekarang benar-benar hancur. Mengapa harus dia yang
membawakan sarapan pagi bagi sang pangeran? Mengapa tidak orang lain saja?
Sherene menundukkan kepalanya selama beberapa detik sambil menghitung agar ia
tidak menangis. Ia harus menenangkan dirinya. Angin menerpanya membuat
rambutnya yang tergerai itu terkibas-kibas indah lembut bahkan penjaga yang
baru saja berniat untuk membukapintu kamar sang pangeran terhipnotis selama
beberapa detik saat melihat keindahan rambut gadis ini. Ya, penjaga baru itu
tidak tahu keberadaan Sherene yang telah berada di istana selama 10 tahun.
“Bisakah
kau cepat-cepat membukakan pintu besar dan berat ini untukku? Kurasa pangeran
akan sangat marah jika aku terlambat membawakan sarapan untuknya,” Sherene akhirnya
membuka mulutnya. Acara melihat rambut Sherene tiba-tiba saja rusak di mata
penjaga itu. Dengan gerakannya yang kaku ia membukakan pintu kamar yang sangat
besar itu. Kamar yang sama seperti dulu tak ada bedanya. Sherene menarik
nafasnya dengan kepalanya yang kembali menegak sempurna menatap lurus ke depan.
Kaki jenjangnya melangkah masuk ke dalam dengan sarapan yang kali ini lebih
banyak namun tetap dengan menu yang sama. Penjaga baru itu tidak ada bedanya
dengan Tuan Christopher yang langsung menutup pintu kamar sang pangeran. Aroma
kamar pangerannya berbeda. Ia tidak penah mencium aroma yang beda ini. Dari
pintu kamar pangeran, Sherene melihat sang pangeran yang tengah terbaring
nyaman dibalik selimut putihnya yang tebal. Apa pangeran masih memakai
pakaiannya? Ia hanya melihat baju atasan sang pangeran yang terdampar di atas
kursi. Serta ia dapat melihat tubuh bagian atas sang pangeran terlanjang
bersama dengan otot-ototnya yang terpahat indah. Pangeran tidur membalikkan
tubuhnya ke arah pintu kamarnya sehingga sekarang ia dapat melihat betapa
menyenangkannya menonton sang pangeran yang tengah tidur tenang tanpa ada
masalah. Ia menaruh nampan yang ia pegang ke atas meja kamar pangeran. Ia tak
ingin sarapan pagi sang pangeran tidak enak karena pangeran terlambat bangun
untuk memakannya.
Kakinya
melangkah mendekati sang pangeran. Jantungnya berdegup kencang. Ia melipat
bibirnya ke dalam takut-takut berteriak karena sesuatu yang mengejutkan.
Tangannya yang kecil itu terangkat berniat untuk menyentuh kulit pangeran
Justin yang putih. Demi para dewa, Sherene tidak pernah melihat tubuh seorang
lelaki yang kencang seperti pangeran Justin. Jadi inilah hasil yang ia terima
setelah pangeran Justin pergi ke luar negeri. Sherene tersentak saat ia
menyentuhkan kulitnya dengan kulit sang pangeran. Nafasnya begitu teratur
sambil sesekali sang pangeran menelan ludahnya, bagaimana mungkin pangeran
Justin bisa begitu tampan seperti dewa Yunani sekarang? Sherene tidak tahu apa
yang harus ia lakukan selain harus membangunkan sang pangeran sambil berusaha
menyingkirkan perasaan sakit hatinya. Setelah melihat wajah tenang dari sang
pangeran ia merasa lebih lega karena ia tahu satu hal, ia tidak akan pernah
mendapatkan sang pangeran. Ia hanya sekedar harem yang tinggal di istana dan
entah kapan ia akan menemani malam sang pangeran suatu hari nanti. Sherene
membuka mulutnya.
“Pangeran
Justin, sarapanmu telah siap,” ujar Sherene sangat lembut. Bahkan itu tak cukup
untuk membangunkan sangat pangeran. “Pangeran Justin, sarapanmu telah siap,”
kali ini suara Sherene terdengar lebih kencang. Telapak tangannya masih
mengelus lengan pangeran Justin yang berotot bersamaan dengan tenggorokannya
tiba-tiba saja terasa kering sehingga ia harus menelan ludahnya untuk
melicinkan tenggorokannya. Tepat setelah Sherene mengangkat tangannya salah
satu mata pangeran Justin terbuka secara tiba-tiba. Itu membuat Sherene
terperanjat dari tempatnya, terkejut setengah mati akan gerakan Justin yang
tiba-tiba.
“Pangeran
Justin! Kau sungguh mengejutkanku!” serunya sungguh lembut. Justin memejamkan
matanya beberapa saat lalu kembali terbuka kali ini dengan dua mata yang
terbuka. “Sarapanmu telah siap,” lanjut Sherene tersenyum manis. Dari bawah,
Justin melihat bidadari yang tengah tersenyum manis padanya. Ia menyipitkan
matanya mengamati Sherene. Apa dia benar-benar sedang melihat seorang gadis
dengan tubuh yang sangat menggiurkan dibalik pakainnya yang sangat tipis serta
rambut emas madu yang tergerai dengan indahnya berada di depan dua pundaknya
sedang berterbangan di hadapannya? Bayangan tubuh dari balik pakaian yang gadis
ini kenakan membuat gairah Justin tiba-tiba saja naik kembali setelah tadi
malam ia bermain dengan empat wanita. Tapi empat wanita itu sama sekali tak
dapat memuaskannya. Oh, betapa kuatnya sang pangeran Justin di atas ranjang.
Pasti istrinya kelak akan sangat beruntung mendapatkannya!
“Hei,
kemarilah,” suara pangeran Justin yang serak-serak basah membuat sekujur tubuh
Sherene merinding. Bibirnya tiba-tiba saja bergetar saat ia semakin mendekati
Justin. Berada di depan tempat tidur Justin, Sherene teringat dengan kejadian 8
tahun yang lalu dimana Justin mengajaknya berbicara. Justin tak mengatakan
apapun namun tangannya yang besar berada di luar selimut itu terangkat dan
menarik tangan Sherene agar terduduk di atas tempat tidurnya. “Apa sarapanku
pagi ini?” Justin bertanya mengangkat tubuhnya agar ia dapat setengah duduk.
Tidak, ia tidak ingin langsung meniduri gadis di hadapannya. Ia ingin menikmati
pemandangan menarik yang disuguhkan pagi ini.
“Susu
sapi perah dengan roti kesukaanmu, pangeran Justin,”
“Roti
kesukaanku? Kau tahu roti kesukaanku? Bagaimana bisa kau tahu?” Justin
bertanya, penasaran. Tidak ada pikiran yang melintas di otak Justin bahwa ia
pernah bertemu dengan gadis ini. Sherene terdiam tak menjawab pertanyaan
Justin. Bibir yang ranum itu terlipat ke dalam tertutup rapat-rapat untuk tak
mengatakan hal yang tak ingin ia katakan. Karena rasanya ia ingin meneriaki
–meski ia tahu ia tidak bisa melakukan itu—sang pangeran bahwa sang pangeran
pernah mencium bibirnya.
“Kau
cantik sekali. Siapa namamu?” Justin bertanya dengan dua tangannya yang
tiba-tiba saja menarik pinggang Sherene ke arahnya –bahkan Sherene seperti
boneka mainan yang ia angkat tanpa beban! Sherene menelan ludahnya, jarak
wajahnya dengan pangeran Justin sungguh dekat. Hembusan nafas Justin yang
hangat menerpa wajahnya, anggur. Ia mencium wangi anggur dari mulut Justin.
“S-sherene,”
gumam Sherene pelan.
“Sherene,”
gumam Justin. “Nama yang cantik seperti orangnya. Kau sangat cantik Sherene,”
puji Justin. “Nah, Sherene. Mengapa kau datang ke kamarku dan membangunkanku
hanya untuk memberitahu padaku bahwa sarapan telah siap? Apa kau tidak tahu aku
sedang begitu kelelahan tadi malam?” kali ini suara nada dari sang pangeran
tiba-tiba saja marah sekaligus protes akibat perbuatan Sherene. Sherene tidak
tahu apa-apa selain harus membangunkan sang pangeran karena jika tidak, mungkin
saja ia akan dimarahi juga
“Aku
tidak ingin sarapanmu menjadi tidak enak jika lama didiamkan, pangeran Justin,”
Sherene menunduk kepala, takut akan tatapan Justin. Kedua alis Justin menyatu
melihat Sherene yang malu-malu menundukkan kepalanya. Sebenarnya, Justin tidak
benar-benar marah hanya karena alasan ia dibangunkan tapi ini bisa menjadi
sebuah alasan hukuman karena telah membuat Justin marah di pagi hari. Alasan
hukuman dimana gadis ini bahkan akan bingung, apa yang nanti ia rasakan adalah
hukuman atau hadiah?
“Kau
harus dihukum, Sherene,” gumam Justin penuh dengan nada ancaman yang memicu
kepala Sherene terangkat. Sherene menatap Justin seperti anak kecil yang ingin
sekali mengatakan pada orangtuanya bahwa bukanlah dia yang mencuri kue di
dapur. Tidak perlu waktu yang banyak untuk membuat Justin mencium Sherene, ia
menarik leher Sherene cepat-cepat. Bibirnya bersentuhan dengan bibir ranum dari
Sherene yang tiba-tiba saja kaku. Ciuman ini terasa sangat berbeda. Dan tapi
balasan Sherene masih tetap sama seperti dulu. Ia menutup rapat bibirnya saat
bibir sang pangeran menyentuh. Namun Justin tak ingin kalah dengan gadis lemah
seperti Sherene. Sherene mendorong tubuh Justin untuk menjauh darinya. Ia tidak
ingin dicium oleh Justin, ini sangat salah. Mengapa harus sekarang?
“Pangeran
Justin, tidak,” Sherene mendorong Justin sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Ouh, tidak pangeran Justin. Ah!” desah Sherene ketika tangan Justin yang besar
memukul pinggangnya yang membuatnya lemas seketika. Perasaan aneh menyerang
tubuhnya. Darah di bawah kulitnya tiba-tiba saja mendidih ketika pangeran
Justin mulai mengecupi lehernya. Jika tangan pangeran Justin tidak melingkar di
sekitar pinggangnya, Sherene akan terjatuh ke atas tempat tidur. Tapi itulah
tujuan Justin memukul Sherene dengan pelan agar Sherene lemas.
“Pangeran
Justin, berhenti,” Sherene berusaha menarik rambut sang pangeran dengan kencang
namun pangeran bahkan seperti tak merasakan remasan tangan Sherene terhadap
rambutnya. Ia masih sibuk mengisap-isap leher bagian dalam Sherene.
Menyingkirkan rambut berkilaunya dari depan bahunya yang menutupi lehernya.
Tangan pangeran Justin yang melingkar di sekitar pinggang Sherene dengan
mudahnya mengangkat tubuh Sherene semakin naik ke atas tempat tidur membuat Sherene
segera terbaring di atas tempat tidurnya yang telah hancur tadi malam.
“Pangeran
Just—“ tolakan Sherene tertahan saat mulut Justin mendarat ke atas mulutnya
yang langsung terkatup rapat. Bibirnya tak terbuka membuat Justin gemas kembali
memukul Sherene kali ini di bokongnya. “Ah!” desah Sherene memejamkan matanya.
Ia tersedak ketika lidah Justin masuk ke dalam mulutnya. Melilitkan lidahnya
dengan lidah Sherene. Justin mendengus ketika kedua tangannya mengangkat
pinggang Sherene agar posisi Sherene di atas tempat tidurnya sempurna. Berada
di tengah-tengah tempat tidur dalam keadaan ditindih oleh sang pangeran membuat
Sherene kehilangan nafasnya. Oh, demi para dewa Yunani, apa yang menyerang
tubuhnya? Ia sungguh terlena ketika lidah Justin kembali mengecupi lehernya
yang jenjang itu.
“Kau
sangat cantik, Sherene,” puji Justin terus mengecup leher Sherene dari atas
dengan lidah yang terjulur menjilati bagian dadanya. Sherene merinding di bawah
tubuh Justin dengan tangan yang teremas sendiri. “Bahkan aku tak ingin ada
sehelai benangpun melekat di tubuhmu,” ujar Justin yang mengangkat tubuhnya
dari tubuh Sherene namun masih tetap menduduki Sherene. Ia merobek gaun putih
tipis Sherene dengan kasar tepat di bagian tengahnya. Menarik ke bawah kedua
lengan pakaian Sherene ke bawah hingga bagian atas tubuh itu terlihat sangat
menggiurkan. Buah dada yang kencang terpampang di depan mata Justin tanpa
ragu-ragu. Putingnya yang berwarna merah muda terpaksa harus membuat Justin
menelan ludah.
“Kau
adalah ciptaan terindah yang tak pernah kulihat sebelumnya, Sherene,” puji
Justin. Namun Sherene begitu malu. Ia memang benar-benar menginginkan tidur
bersama dengan sang pangeran namun di satu sisi ia sangat malu ketika mata
Justin yang terbuka melihat buah dadanya yang terbuka. Kedua telapak tangan
Sherene menutupi buah dadanya yang bahkan telapak tangannya sendiri tak cukup
untuk menutupi buah dadanya. “Tidak perlu malu-malu, sayang,” Justin menarik
kedua tangan Sherene dari buah dadanya. Sherene tidak dapat melakukan apapun
ketika dari bawah ia melihat dada pangeran Justin yang bidang beserta dengan
otot-ototnya yang kencang. Terlihat dari kondisi tubuh Sherene, ia tidak dapat
melawan pangeran Justin yang tentunya kekuatan pangeran Justin lebih kencang
darinya. Ia bahkan tidak dapat menggeser tubuhnya dari dudukan sang pangeran di
atas perutnya meski ia tidak begitu merasa keberatan karena sang pangeran tak
benar-benar mendudukinya. Kedua tangan Justin terselip ke bagian bawah punggung
Sherene sehingga tubuh Sherene terangkat sedikit. Namun dengan posisi seperti
itu semakin mempermudah Justin untuk memainkan kedua buah dada Sherene. Mulut
Justin mulai menjilati buah dada sebelah kiri Sherene, ia mengisap puting
Sherene sambil sesekali ia menggigitnya. Sherene mendongakkan kepalanya ke
belakang, memejamkan matanya, menikmati apa yang Justin perbuat padanya. Ia
mendesah lembut tak dapat berteriak. Kedua tangannya yang melayang di udara
terangkat untuk memeluk tubuh sang pangeran. Ia memeluk sang pangeran, meremas
punggung sang pangeran dengan tubuh yang bergetar. Kedua kakinya melemas di
bawah tubuh sang pangeran, sesekali kedua kakinya bergetar secara tiba-tiba dan
ingin terangkat ke atas untuk menutupi rasa yang aneh di sekitar bagian tertutupnya.
Ia merasakan sesekali cairan yang terus mengalir keluar dari bawah sana, bahkan
ia tidak dapat menahan rasa kenikmatan yang masih pangeran berikan di sekitar
dua buah dadanya.
Justin
tak berhenti sampai di sana. Ia menurunkan tangannya sehingga tubuh Sherene
menyentuh kembali tempat tidur. Pakaian yang masih menggantung di pinggang
Sherene ditarik ke bawah bersamaan dengan tubuh Justin. Ia menarik pakaian itu
hingga benar-benar terlepas dari tubuh Sherene, hebatnya Justin juga menarik
lepas pakaian dalam Sherene. Oh, demi para dewa Yunani, Justin benar-benar
terangsang dengan pemandangan yang sedang ia nikmati sekarang. Rasanya ia ingin
segera memasuki Sherene. Ia turun dari tempat tidurnya –berdiri di samping
tempat tidurnya—sambil salah satu tangannya melepas celana yang ia pakai. Sedangkan
yang lain menjamah paha Sherene. Sherene membuka matanya sayu sambil mendesah
pelan. Sherene merapatkan kedua kakinya masih malu-malu terhadap Justin yang
matanya jelajatan menatapi bagian bawahnya yang ditumbuhi bulu-bulu halus. Ia
tersentak ke atas saat tiba-tiba saja jari telunjuk Justin membelah bagian
bawahnya meski ia telah merapatkan kakinya. Jari telunjuk itu naik-turun
menggoda bagian bawahnya.
“Urgh,
pangeran,” desahnya semakin merapatkan kedua kakinya.
“Kau
menyukainya, Sherene? Kau menyukainya?” tanya pangeran tersenyum kecut melihat
gadis yang sedang ia goda bergetar di bawah sentuhannya. Tangannya yang lain
telah menurunkan celana yang ia pakai. Terlihatlah senjata besar miliknya yang
mencuat keluar dengan gagahnya. Sherene tak menatapinya karena ia terlalu sibuk
menatapi wajah Justin yang tersenyum padanya. Ia tidak tahu harus melakukan apa
selain menggigit bibirnya. “Buka kakimu Sherene, buka,” suruh pangeran Justin
mulai naik ke atas tempat tidurnya. Sherene tidak melakukan apa yang pangeran
Justin katakan padanya, tapi tetap saja kakinya terbuka sekarang karena kedua
tangan sang pangeran sekarang telah membuka kakinya. Pipinya semakin merona.
Entah mengapa ia merasakan hal yang sangat aneh. Rasanya ia ingin jari itu
kembali ke bagian bawahnya dan menggesekannya karena rasanya sangat nikmat.
“Kau
suka ini, Sherene?” kembali jari telunjuk pangeran Justin menggesek-gesek
bagian bawahnya yang luar biasa basah. Justin dapat melihat betapa lengketnya
sekarang gadis ini. Ia menyukainya. Sangat merangsangnya dan bahkan sekarang ia
merasa akan segera keluar. Baru beberapa kali Justin menggesekan jarinya di
bagian bawah Sherene, tiba-tiba saja tangan Sherene yang kecil itu menarik
tangan Justin dan mendorongnya semakin dalam ke arah bagian wanitanya. Sherene
menarik ke atas lututnya berteriak.
“AAAHHH!
OUH DEMI PARA DEWA, PANGERAN!” Sherene berteriak, kali ini benar-benar
berteriak sangat merangsang pendengar Justin. Terlebih lagi Justin semakin
menggetar-getarkan tangannya di atas bagian bawah Sherene. Sherene memejamkan
matanya dengan mulut yang terus terbuka meski suaranya tak keluar. Kedua
alisnya saling bertautan ingin meresapi apa yang baru saja ia rasakan. Ia dapat
merasakan begitu banyak cairan yang keluar dari bawah sana, tubuhnya begitu
lemas dan bertanya-tanya, inikah yang Chista rasakan ketika ia bercinta dengan
sang Raja? Sherene mengatur nafasnya. Telinganya seperti tuli. Mulutnya seperti
bisu. Dan tubuhnya tak dapat merasakan apa pun. Justin benar-benar menikmati
pemandangan yang baru saja ia lihat. Gadis yang mendapatkan pelepasannya itu
tampak sangat menikmati permainannya. Justin benar-benar tahu bahwa gadis ini
adalah seorang gadis yang polos. Wajah polosnya sekaligus tingkahnya ketika
Justin membuka pakaiannya membuat Justin sempat heran mengapa gadis ini begitu
malu-malu. Bukankah Sherene adalah seorang harem baginya? Seharusnya Sherene
lebih terbuka. Tapi itulah yang menjadi daya tarik tersendiri bagi Justin dari
Sherene. Pipi Sherene memerah ketika ia membuka matanya dan langsung mendapati
sang pangeran tengah melayang di atas tubuhnya yang mungil. Jika sang pangeran
jatuh ke atas tubuhnya, ia tidak dapat bernafas.
“Apa
kau pernah bersetubuh sebelumnya, Sherene?” Justin bertanya, ingin meyakinkan
dirinya bahwa Sherene masih gadis perawan yang polos. Mata hijau Sherene yang
mengilau itu menatap Justin ragu-ragu. Apa Justin akan menyetubuhinya sekarang?
Tapi Sherene belum mempersiapkan segalanya untuk Justin. Bahkan rambutnya
sekarang sudah tak beraturan lagi. Mungkin bunga-bungaan yang menghias
kepalanya telah hancur bertebaran entah kemana. “Jawab aku.”
“Tidak,
pangeran,” gumam Sherene menelan ludahnya. Apa ini akan menjadi suatu
pernyataan yang memalukan? Ternyata tidak karena pangeran Justin tersenyum
manis padanya.
“Kau
gadis yang cantik. Rambutmu sangat panjang dan halus. Aku suka menciumi lehermu
karena wanginya tak dapat kuungkapkan dengan kata-kata. Harum dari rambutmu
memabukkan. Apa yang kurang dari kesempurnaanmu, Sherene?”
“Aku
tak sempurna, pangera—AH!” Sherene belum menyelesaikan apa yang akan ia katakan
namun sang pangeran telah memukul pinggangnya kembali sehingga mulut Sherene
yang terbuka itu tersumpal oleh mulut Justin yang segera melumatnya tanpa
ampun. Justin kembali mengangkat punggung Sherene dengan kedua tangannya yang
bertumpu pada siku-sikunya. Salah satu tangannya membimbing senjata besarnya
masuk ke dalam bagian bawah Sherene. Pelan-pelan ia memasukan kepala
senjatanya. Desah Sherene yang teredam di dalam mulutnya membuat Justin
mendengus. Tak terasa Justin merasakan aroma logam di dalam mulutnya ketika ia
dengan kasar memasukan senjatanya ke dalam tubuh Sherene. Oh, ia mati rasa.
Sherene baru saja menggigit bibir bagian bawah Justin sehingga darahnyapun
terasa di mulut Sherene. Tubuh mereka yang menyatu itu diam tak berkutik. Hanya
nafas mereka yang saling bersahut-sahutan. Keringat yang basah membanjiri tubuh
mereka serta darah mengalir dari bagian bawah Sherene. Darah keperawanannya.
Awal yang benar-benar tak diduga oleh Sherene. Baru beberapa menit yang lalu
Sherene membawakan sarapan bagi sang pangeran dan ia sedang menjalani
hukumannya. Hukuman atau hadiah? Hadiah.
Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya Justin yang berada di atas tubuh
Sherene mulai menggerak pinggangnya. Paha Sherene tertindih oleh paha bagian
dalam Justin. Sherene mendongakkan kepalanya ke belakang dengan mata yang
terpejam, rasanya sangat sakit. Pinggul Justin berputar-putar dengan pelan
namun terasa seperti naik-turun di atas tubuh Sherene. Sherene memeluk pundak
Justin yang kekar. Tangannya yang kecil serta halus itu mengelus pundak Justin,
kadang ia memukul Justin hingga Justin mendengus.
“Ngh,
kau sangat ..ngh!” Justin mendengus merasakan betapa nikmatnya remasan-remasan
yang ia dapat dari Sherene.
“Ouh,
sakit pangeran,” erang Sherene mulai memegang leher bagian belakang sang
pangeran. Tangannya memegang erat leher sang pangeran saat gerakan pinggul
pangeran yang memutar-mutar itu mengocok-kocok tubuhnya semakin liar. Perasaan
sakit itu berangsur-angsur hilang digantikan dengan rasa nikmat yang membuatnya
sekarang mendesah-desah. Keringat mereka menyatu. Rambut Sherene yang panjang
menempel di sekitar tubuhnya dan tubuh Justin yang berkeringat. Justin membuka
matanya, tak menutupnya agar ia dapat melihat wajah cantik Sherene yang tengah
menikmati gerakan tubuhnya. Kedua kaki Sherene mulai melingkar di sekitar
pinggang Justin tanpa menggerak-gerakan pinggulnya.
“Oh,
tidak pangeran!” erangnya mencakar pundak Justin dengan tangannya yang lain.
Dan seluruh jari-jari kakinya meremas secara bersamaan saat pinggul Justin yang
awalnya memutar-mutar, sekarang telah menyentak-sentak tubuhnya ke atas. Kali
ini Justin melepaskan tangannya dari pundak Sherene, ia memegang kedua sisi
pinggul Sherene sehingga ia berhenti menggerakan pinggulnya sejenak.
Mendapatkan posisi yang nyaman dengan Sherene yang terlentang, membuatnya dapat
melihat wajah Sherene lebih detail.
“Ah!
Pangeran! Tidak!” erang Sherene tersentak-sentak ketika Justin tiba-tiba saja
menggerak-gerakan pinggulnya. Kedua tangan Sherene ditempatkan oleh Justin ke
atas pundaknya sehingga sekarang tangan Sherene yang lembut itu meremas pundak
Justin. Kuku-kukunya mulai menancap ke dalam pundak Justin yang membuat Justin
merasakan perih sekaligus nikmat.
“Sherene!
Oh, demi dewa Matahari, Sherene! Kau sangat mengagumkan! SHERENE!” Justin
berteriak tak karuan dengan tangannya yang semakin meremas kencang pinggang
Sherene yang ramping itu. Mata Justin terpejam kali ini dan kepalanya mendongak
ke atas. Gerakan pinggulnya semakin lama semakin kencang. Tiba-tiba saja
Sherene merasakan sesuatu meledak di bawah sana yang membuat tubuhnya
melengkung ke atas. Tangannya yang awalnya meremas pundak Justin sekarang
segera memeluk leher Justin sehingga tubuhnya setengah terduduk.
“AH!
AH! Oh, pangeran, tidak! Auw!” Sherene menggigit telinga Justin ketika ia
mendapatkan pelepasannya. Justin menyusul Sherene yang mendapatkan
pelepasannya, selama pelepasan Sherene remasan yang Sherene berikan semakin
mengetat. Membuat senjata Justin tak dapat menahan kembali menahan pelurunya.
“SHERENE!”
dengus Justin menusukkan senjatanya untuk gerakan terakhir. Mereka berdua
ambruk bersamaan di atas tempat tidur yang empuk dengan matahari yang semakin
meninggi. Angin yang mengembus diabaikan oleh kedua insan itu. Mata mereka
terpejam.
Bersama
dengan kenikmatan mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar