Selasa, 27 Agustus 2013

Innocent Bab 3



***

*Author POV*

            Pagi ini tidak ada yang spesial bagi Sherene. Tidak bagi dirinya atau Patricia yang tengah menyisir rambut Sherene yang lembut itu.  Pandangan Sherene kosong pada lantai batu yang ia pijak begitu juga dengan pikirannya yang dari tadi tidak dapat berkompromi. Bagaimana mungkin lelaki itu melupakannya? Apa di luar negeri sana ia telah memiliki wanita yang lebih menarik dibanding dirinya? Mungkin. Sherene tidak berhak memiliki perasaan cemburu ini, ia tahu ia hanyalah seorang harem yang akan segera menemani malam pangeran Justin. Ia tidak dipilih tadi malam. Patricia melarangnya untuk tidur dengan pangeran Justin. Lagi pula pangeran Justin hanya butuh beberapa wanita murahan yang harus menemaninya malam itu. Sherene bukan termasuk dari gadis-gadis murahan yang sering dipakai Raja maka dari itu Patricia tidak mengizinkan Sherene untuk menemani pangeran saat ini. Semuanya akan datang pada waktunya. Tidak ada yang dipikirkan Sherene selain empat wanita yang dipilih untuk menemani pangeran malam tadi yang sekarang tengah mandi bersama untuk membersihkan diri. Sebenarnya, sejak dari tengah malam mereka telah kembali. Suara cekikikan mereka membuat Sherene yang tengah terlelap tiba-tiba saja terjaga. Ya, Sherene memiliki indra pendengaran yang sangat peka. Suara sekecil apapun dapat membangunkannya.
            Ia mendengar betapa hebatnya sang pangeran di ranjang dan dapat bermain dengan empat wanita sekaligus. Mungkin karena di umur pangeran yang masih muda dapat membuatnya lebih berstamina. Sherene yang mendengar bisikan-bisikan itu rasanya ingin sekali melempari obor pada empat wanita itu. Tidak seperti Raja, pangeran Justin mengembalikan harem-haremnya di malam hari. Raja selalu mengembalikan harem-harem yang telah menemaninya tadi malam di pagi hari atau bahkan siang hari. Mata Sherene mengedip perlahan-lahan membuat bulu matanya mengibas dan memperlihatkan warna mata hijaunya yang berkilau seperti laut yang terpancar oleh sinar matahari. Tak terasa air mata mulai membendung menitik melalui bulu mata bawahnya yang pendek dan tak mengenai pipinya. Patricia yang sedang mengambil sebagian rambut Sherene yang panjang menatapi Sherene dari pantulan cermin. Gadis kecil yang malang yang tak mengerti cinta itu keadaannya tampak buruk pagi ini. Patricia tidak suka melihat Sherene yang selalu murung tak seperti Sherene yang selalu ceria dengan bibir mungilnya terbuka mengeluarkan suara tawa yang kecil bahkan hampir tak terdengar.
            “Pagi ini kau yang akan membawakan sarapan pagi sang pangeran. Kau sudah tahu itu?” Patricia akhirnya membuka percakapan yang memecahkan keheningan yang telah melingkupi mereka selama beberapa menit. Sherene tidak bersuara atau menganggukan kepalanya tapi ia tidak mendengar suara apapun dari luar pikirannya. Ia berpikir bahwa sekarang ia sedang gila.
            “Sherene, kau dengar aku?” suara yang Patricia keluarkan kali ini lebih besar. Suaranya yang besar itu akhirnya membuat Sherene mengangkat kepalanya lebih tegak untuk melihat Patricia dari pantulan cermin lalu ia mengangguk.
            “Maafkan aku, Patricia. Aku hanya sedang memikirkan sesuatu,” ucap Sherene dengan suaranya yang kecil serta lembut. Siku-sikunya bertumpu pada ujung lututnya sambil menopang dagunya di atas telapak tangannya.  “Bagaimana bisa dia melupakanku?”
            “Sherene,” Patricia mendesah sambil mulai menyisir rambut Sherene yang ia genggam dengan tangannya yang lain. “Kemungkinannya banyak sekali, sayang. Pangeran Justin selama hidupnya bukan untuk bersantai-santai. Ia keluar negeri untuk belajar bagaimana menjadi seorang Raja kelak dan bersekolah di sana. Begitu banyak pelajaran yang ia dapatkan yang kemungkinan besar dapat menutupi masa lalunya yang telah ia lewati. Tidak selamanya masa lalu akan melekat di otaknya,” jelas Patricia. Sherene hanya mendesah, kepalanya terangguk pelan.
            “Pagi ini aku akan membawakan sarapan untuk pangeran Justin? Dan merapikan tempat tidurnya yang kotor akibat perbuatannya tadi malam bersama dengan harem-harem yang kotor serta najis merayu-rayunya. Lalu bibir mereka bertemu membuat bara api terpecik di antara mereka, tangannya mengelus-elus tubuh pangeran Justin yang gagah lalu yang lain tengah sibuk membuka celana pangeran Justin dan yang satunya hanya menonton menunggu gilirannya. Demi para dewa Yunani, aku sangat benci istana ini!” sembur Sherene meremas tangannya sendiri dengan gemas. Hampir saja ia berdiri dari tempat duduknya saat Patricia sedang menyelip-selipkan sebagian rambutnya ke dalam rambut yang tak terikat namun masih tergerai dengan sempurna. Sherene memejamkan matanya untuk menenangkan dirinya agar ia tidak merasakan amarah yang sebelumnya belum pernah ia rasakan. Baru kali ini ia berbicara banyak kata kotor yang seharusnya harem-harem tak katakan. Patricia tidak melarang Sherene untuk mengatakan kata-kata kotor itu sekarang karena Patricia tahu bagaimana perasaan Sherene yang kesal sekarang. Ia tahu, putri yang telah ia anggap sebagai anaknya itu sedang marah. Cintanya yang dulu tak terbalaskan hingga sekarang bahkan pergi sangat jauh kemudian saat ia sedang berusaha untuk melupakan lelaki itu, tiba-tiba saja sang pujaan hati kembali dengan keadaan yang lebih tampan dibanding sebelumnya serta terlihat lebih menggoda dibanding sebelumnya. Bagaimana mungkin Sherene tidak akan marah jika di hari pertama sang pangeran baru saja berada di istana langsung mengambil beberapa harem yang Sherene sendiri tak dipilih! Ia masih perawan. Tak pernah disentuh oleh siapapun di istana.
            Ia juga ingin merasakan hal yang sama dengan Chista, sahabatnya, yang sekarang terlihat lebih berpengalaman dibanding dirinya. Bahkan, harem-harem yang baru saja menginjak umur 17 tahun pernah dipakai oleh sang Raja. Sedangkan Sherene harus menanggung nasibnya di dalam harem sambil menatapi taman yang sama. Tidak ada spesial dalam kehidupannya setelah sang pangeran pergi meninggalkannya dengan sebuah kecupan terakhir sebagai tanda selamat tinggal yang menyakitkan.
            “Sherene, kurasa pangeran telah menunggu untuk sarapannya,” suara Patricia menyeruak masuk kembali ke dalam telinganya. Ia segera bangkit dari tempatnya sambil menatapi dirinya ke depan cermin. Tiba-tiba saja ia seperti melihat dirinya sewaktu ia masih berumur 14 tahun dengan rambut yang digerai –meski sekarang hanya diikat sebagian kecil rambutnya—tengah bersiap-siap untuk membawakan sarapan bagi sang pangeran untuk yang kedua kalinya. Tapi perbedaannya hanyalah satu, ia tak tersenyum seperti kala itu. Ia tampak sangat cantik. Mahkota bunga yang berada di sekitar kepalanya yang dimana dedaunan di sekitarnya membuat bunga-bunga itu tampak tumbuh dari kepala Sherene sungguh perpaduan yang sangat pas dengan mata Sherene yang berwarna hijau. Gaun putih tipis yang jika gaun itu ditarik dengan satu tangan ke bawah akan memperlihatkan tubuh Sherene yang molek telah menutupi tubuhnya. Ikat pinggang emas membuat bentuk tubuh Sherene semakin terlihat meski pakaian yang ia kenakan tak ketat.
            “Kau hanya perlu bersikap biasa-biasa saja, Sherene. Tidak ada yang berubah darinya selain fisiknya yang semakin lama semakin terlihat sempurna,” ujar Patricia menempatkan tangannya di pundak Sherene. Ia mendorong tubuh Sherene untuk keluar dari harem sekarang juga dan pergi ke dapur untuk membawakan sarapan bagi sang pangeran yang akan segera menjadi seorang Raja dalam waktu beberapa jam lagi. Sherene menganggukkan kepalanya, kakinya melangkah tanpa meluarkan suara dari sandalnya yang menghias kakinya.  Setelah bertahun-tahun lamanya ia tak bertemu, akhirnya, ia dapat bertemu kembali dengan sang pangeran. Anugerah terindah sekaligus menyakitkan bagi Sherene. Keluar dari harem, ia mulai mengeluarkan senyum manisnya untuk menutupi segala perasaannya.

***

            Sherene berdiri di depan pintu kamar pangeran Justin tanpa berbicara apapun pada penjaga kamar pangeran Justin. Tuan Christopher sekarang sudah tidak bekerja lagi di istana. Sherene melipat bibirnya ke dalam tanpa melirik siapapun, entah mengapa perasaannya sekarang benar-benar hancur. Mengapa harus dia yang membawakan sarapan pagi bagi sang pangeran? Mengapa tidak orang lain saja? Sherene menundukkan kepalanya selama beberapa detik sambil menghitung agar ia tidak menangis. Ia harus menenangkan dirinya. Angin menerpanya membuat rambutnya yang tergerai itu terkibas-kibas indah lembut bahkan penjaga yang baru saja berniat untuk membukapintu kamar sang pangeran terhipnotis selama beberapa detik saat melihat keindahan rambut gadis ini. Ya, penjaga baru itu tidak tahu keberadaan Sherene yang telah berada di istana selama 10 tahun.
            “Bisakah kau cepat-cepat membukakan pintu besar dan berat ini untukku? Kurasa pangeran akan sangat marah jika aku terlambat membawakan sarapan untuknya,” Sherene akhirnya membuka mulutnya. Acara melihat rambut Sherene tiba-tiba saja rusak di mata penjaga itu. Dengan gerakannya yang kaku ia membukakan pintu kamar yang sangat besar itu. Kamar yang sama seperti dulu tak ada bedanya. Sherene menarik nafasnya dengan kepalanya yang kembali menegak sempurna menatap lurus ke depan. Kaki jenjangnya melangkah masuk ke dalam dengan sarapan yang kali ini lebih banyak namun tetap dengan menu yang sama. Penjaga baru itu tidak ada bedanya dengan Tuan Christopher yang langsung menutup pintu kamar sang pangeran. Aroma kamar pangerannya berbeda. Ia tidak penah mencium aroma yang beda ini. Dari pintu kamar pangeran, Sherene melihat sang pangeran yang tengah terbaring nyaman dibalik selimut putihnya yang tebal. Apa pangeran masih memakai pakaiannya? Ia hanya melihat baju atasan sang pangeran yang terdampar di atas kursi. Serta ia dapat melihat tubuh bagian atas sang pangeran terlanjang bersama dengan otot-ototnya yang terpahat indah. Pangeran tidur membalikkan tubuhnya ke arah pintu kamarnya sehingga sekarang ia dapat melihat betapa menyenangkannya menonton sang pangeran yang tengah tidur tenang tanpa ada masalah. Ia menaruh nampan yang ia pegang ke atas meja kamar pangeran. Ia tak ingin sarapan pagi sang pangeran tidak enak karena pangeran terlambat bangun untuk memakannya.
            Kakinya melangkah mendekati sang pangeran. Jantungnya berdegup kencang. Ia melipat bibirnya ke dalam takut-takut berteriak karena sesuatu yang mengejutkan. Tangannya yang kecil itu terangkat berniat untuk menyentuh kulit pangeran Justin yang putih. Demi para dewa, Sherene tidak pernah melihat tubuh seorang lelaki yang kencang seperti pangeran Justin. Jadi inilah hasil yang ia terima setelah pangeran Justin pergi ke luar negeri. Sherene tersentak saat ia menyentuhkan kulitnya dengan kulit sang pangeran. Nafasnya begitu teratur sambil sesekali sang pangeran menelan ludahnya, bagaimana mungkin pangeran Justin bisa begitu tampan seperti dewa Yunani sekarang? Sherene tidak tahu apa yang harus ia lakukan selain harus membangunkan sang pangeran sambil berusaha menyingkirkan perasaan sakit hatinya. Setelah melihat wajah tenang dari sang pangeran ia merasa lebih lega karena ia tahu satu hal, ia tidak akan pernah mendapatkan sang pangeran. Ia hanya sekedar harem yang tinggal di istana dan entah kapan ia akan menemani malam sang pangeran suatu hari nanti. Sherene membuka mulutnya.
            “Pangeran Justin, sarapanmu telah siap,” ujar Sherene sangat lembut. Bahkan itu tak cukup untuk membangunkan sangat pangeran. “Pangeran Justin, sarapanmu telah siap,” kali ini suara Sherene terdengar lebih kencang. Telapak tangannya masih mengelus lengan pangeran Justin yang berotot bersamaan dengan tenggorokannya tiba-tiba saja terasa kering sehingga ia harus menelan ludahnya untuk melicinkan tenggorokannya. Tepat setelah Sherene mengangkat tangannya salah satu mata pangeran Justin terbuka secara tiba-tiba. Itu membuat Sherene terperanjat dari tempatnya, terkejut setengah mati akan gerakan Justin yang tiba-tiba.
            “Pangeran Justin! Kau sungguh mengejutkanku!” serunya sungguh lembut. Justin memejamkan matanya beberapa saat lalu kembali terbuka kali ini dengan dua mata yang terbuka. “Sarapanmu telah siap,” lanjut Sherene tersenyum manis. Dari bawah, Justin melihat bidadari yang tengah tersenyum manis padanya. Ia menyipitkan matanya mengamati Sherene. Apa dia benar-benar sedang melihat seorang gadis dengan tubuh yang sangat menggiurkan dibalik pakainnya yang sangat tipis serta rambut emas madu yang tergerai dengan indahnya berada di depan dua pundaknya sedang berterbangan di hadapannya? Bayangan tubuh dari balik pakaian yang gadis ini kenakan membuat gairah Justin tiba-tiba saja naik kembali setelah tadi malam ia bermain dengan empat wanita. Tapi empat wanita itu sama sekali tak dapat memuaskannya. Oh, betapa kuatnya sang pangeran Justin di atas ranjang. Pasti istrinya kelak akan sangat beruntung mendapatkannya!
            “Hei, kemarilah,” suara pangeran Justin yang serak-serak basah membuat sekujur tubuh Sherene merinding. Bibirnya tiba-tiba saja bergetar saat ia semakin mendekati Justin. Berada di depan tempat tidur Justin, Sherene teringat dengan kejadian 8 tahun yang lalu dimana Justin mengajaknya berbicara. Justin tak mengatakan apapun namun tangannya yang besar berada di luar selimut itu terangkat dan menarik tangan Sherene agar terduduk di atas tempat tidurnya. “Apa sarapanku pagi ini?” Justin bertanya mengangkat tubuhnya agar ia dapat setengah duduk. Tidak, ia tidak ingin langsung meniduri gadis di hadapannya. Ia ingin menikmati pemandangan menarik yang disuguhkan pagi ini.
            “Susu sapi perah dengan roti kesukaanmu, pangeran Justin,”
            “Roti kesukaanku? Kau tahu roti kesukaanku? Bagaimana bisa kau tahu?” Justin bertanya, penasaran. Tidak ada pikiran yang melintas di otak Justin bahwa ia pernah bertemu dengan gadis ini. Sherene terdiam tak menjawab pertanyaan Justin. Bibir yang ranum itu terlipat ke dalam tertutup rapat-rapat untuk tak mengatakan hal yang tak ingin ia katakan. Karena rasanya ia ingin meneriaki –meski ia tahu ia tidak bisa melakukan itu—sang pangeran bahwa sang pangeran pernah mencium bibirnya.
            “Kau cantik sekali. Siapa namamu?” Justin bertanya dengan dua tangannya yang tiba-tiba saja menarik pinggang Sherene ke arahnya –bahkan Sherene seperti boneka mainan yang ia angkat tanpa beban! Sherene menelan ludahnya, jarak wajahnya dengan pangeran Justin sungguh dekat. Hembusan nafas Justin yang hangat menerpa wajahnya, anggur. Ia mencium wangi anggur dari mulut Justin.
            “S-sherene,” gumam Sherene pelan.
            “Sherene,” gumam Justin. “Nama yang cantik seperti orangnya. Kau sangat cantik Sherene,” puji Justin. “Nah, Sherene. Mengapa kau datang ke kamarku dan membangunkanku hanya untuk memberitahu padaku bahwa sarapan telah siap? Apa kau tidak tahu aku sedang begitu kelelahan tadi malam?” kali ini suara nada dari sang pangeran tiba-tiba saja marah sekaligus protes akibat perbuatan Sherene. Sherene tidak tahu apa-apa selain harus membangunkan sang pangeran karena jika tidak, mungkin saja ia akan dimarahi juga
            “Aku tidak ingin sarapanmu menjadi tidak enak jika lama didiamkan, pangeran Justin,” Sherene menunduk kepala, takut akan tatapan Justin. Kedua alis Justin menyatu melihat Sherene yang malu-malu menundukkan kepalanya. Sebenarnya, Justin tidak benar-benar marah hanya karena alasan ia dibangunkan tapi ini bisa menjadi sebuah alasan hukuman karena telah membuat Justin marah di pagi hari. Alasan hukuman dimana gadis ini bahkan akan bingung, apa yang nanti ia rasakan adalah hukuman atau hadiah?
            “Kau harus dihukum, Sherene,” gumam Justin penuh dengan nada ancaman yang memicu kepala Sherene terangkat. Sherene menatap Justin seperti anak kecil yang ingin sekali mengatakan pada orangtuanya bahwa bukanlah dia yang mencuri kue di dapur. Tidak perlu waktu yang banyak untuk membuat Justin mencium Sherene, ia menarik leher Sherene cepat-cepat. Bibirnya bersentuhan dengan bibir ranum dari Sherene yang tiba-tiba saja kaku. Ciuman ini terasa sangat berbeda. Dan tapi balasan Sherene masih tetap sama seperti dulu. Ia menutup rapat bibirnya saat bibir sang pangeran menyentuh. Namun Justin tak ingin kalah dengan gadis lemah seperti Sherene. Sherene mendorong tubuh Justin untuk menjauh darinya. Ia tidak ingin dicium oleh Justin, ini sangat salah. Mengapa harus sekarang?
            “Pangeran Justin, tidak,” Sherene mendorong Justin sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Ouh, tidak pangeran Justin. Ah!” desah Sherene ketika tangan Justin yang besar memukul pinggangnya yang membuatnya lemas seketika. Perasaan aneh menyerang tubuhnya. Darah di bawah kulitnya tiba-tiba saja mendidih ketika pangeran Justin mulai mengecupi lehernya. Jika tangan pangeran Justin tidak melingkar di sekitar pinggangnya, Sherene akan terjatuh ke atas tempat tidur. Tapi itulah tujuan Justin memukul Sherene dengan pelan agar Sherene lemas.
            “Pangeran Justin, berhenti,” Sherene berusaha menarik rambut sang pangeran dengan kencang namun pangeran bahkan seperti tak merasakan remasan tangan Sherene terhadap rambutnya. Ia masih sibuk mengisap-isap leher bagian dalam Sherene. Menyingkirkan rambut berkilaunya dari depan bahunya yang menutupi lehernya. Tangan pangeran Justin yang melingkar di sekitar pinggang Sherene dengan mudahnya mengangkat tubuh Sherene semakin naik ke atas tempat tidur membuat Sherene segera terbaring di atas tempat tidurnya yang telah hancur tadi malam.
            “Pangeran Just—“ tolakan Sherene tertahan saat mulut Justin mendarat ke atas mulutnya yang langsung terkatup rapat. Bibirnya tak terbuka membuat Justin gemas kembali memukul Sherene kali ini di bokongnya. “Ah!” desah Sherene memejamkan matanya. Ia tersedak ketika lidah Justin masuk ke dalam mulutnya. Melilitkan lidahnya dengan lidah Sherene. Justin mendengus ketika kedua tangannya mengangkat pinggang Sherene agar posisi Sherene di atas tempat tidurnya sempurna. Berada di tengah-tengah tempat tidur dalam keadaan ditindih oleh sang pangeran membuat Sherene kehilangan nafasnya. Oh, demi para dewa Yunani, apa yang menyerang tubuhnya? Ia sungguh terlena ketika lidah Justin kembali mengecupi lehernya yang jenjang itu.
            “Kau sangat cantik, Sherene,” puji Justin terus mengecup leher Sherene dari atas dengan lidah yang terjulur menjilati bagian dadanya. Sherene merinding di bawah tubuh Justin dengan tangan yang teremas sendiri. “Bahkan aku tak ingin ada sehelai benangpun melekat di tubuhmu,” ujar Justin yang mengangkat tubuhnya dari tubuh Sherene namun masih tetap menduduki Sherene. Ia merobek gaun putih tipis Sherene dengan kasar tepat di bagian tengahnya. Menarik ke bawah kedua lengan pakaian Sherene ke bawah hingga bagian atas tubuh itu terlihat sangat menggiurkan. Buah dada yang kencang terpampang di depan mata Justin tanpa ragu-ragu. Putingnya yang berwarna merah muda terpaksa harus membuat Justin menelan ludah.
            “Kau adalah ciptaan terindah yang tak pernah kulihat sebelumnya, Sherene,” puji Justin. Namun Sherene begitu malu. Ia memang benar-benar menginginkan tidur bersama dengan sang pangeran namun di satu sisi ia sangat malu ketika mata Justin yang terbuka melihat buah dadanya yang terbuka. Kedua telapak tangan Sherene menutupi buah dadanya yang bahkan telapak tangannya sendiri tak cukup untuk menutupi buah dadanya. “Tidak perlu malu-malu, sayang,” Justin menarik kedua tangan Sherene dari buah dadanya. Sherene tidak dapat melakukan apapun ketika dari bawah ia melihat dada pangeran Justin yang bidang beserta dengan otot-ototnya yang kencang. Terlihat dari kondisi tubuh Sherene, ia tidak dapat melawan pangeran Justin yang tentunya kekuatan pangeran Justin lebih kencang darinya. Ia bahkan tidak dapat menggeser tubuhnya dari dudukan sang pangeran di atas perutnya meski ia tidak begitu merasa keberatan karena sang pangeran tak benar-benar mendudukinya. Kedua tangan Justin terselip ke bagian bawah punggung Sherene sehingga tubuh Sherene terangkat sedikit. Namun dengan posisi seperti itu semakin mempermudah Justin untuk memainkan kedua buah dada Sherene. Mulut Justin mulai menjilati buah dada sebelah kiri Sherene, ia mengisap puting Sherene sambil sesekali ia menggigitnya. Sherene mendongakkan kepalanya ke belakang, memejamkan matanya, menikmati apa yang Justin perbuat padanya. Ia mendesah lembut tak dapat berteriak. Kedua tangannya yang melayang di udara terangkat untuk memeluk tubuh sang pangeran. Ia memeluk sang pangeran, meremas punggung sang pangeran dengan tubuh yang bergetar. Kedua kakinya melemas di bawah tubuh sang pangeran, sesekali kedua kakinya bergetar secara tiba-tiba dan ingin terangkat ke atas untuk menutupi rasa yang aneh di sekitar bagian tertutupnya. Ia merasakan sesekali cairan yang terus mengalir keluar dari bawah sana, bahkan ia tidak dapat menahan rasa kenikmatan yang masih pangeran berikan di sekitar dua buah dadanya.
            Justin tak berhenti sampai di sana. Ia menurunkan tangannya sehingga tubuh Sherene menyentuh kembali tempat tidur. Pakaian yang masih menggantung di pinggang Sherene ditarik ke bawah bersamaan dengan tubuh Justin. Ia menarik pakaian itu hingga benar-benar terlepas dari tubuh Sherene, hebatnya Justin juga menarik lepas pakaian dalam Sherene. Oh, demi para dewa Yunani, Justin benar-benar terangsang dengan pemandangan yang sedang ia nikmati sekarang. Rasanya ia ingin segera memasuki Sherene. Ia turun dari tempat tidurnya –berdiri di samping tempat tidurnya—sambil salah satu tangannya melepas celana yang ia pakai. Sedangkan yang lain menjamah paha Sherene. Sherene membuka matanya sayu sambil mendesah pelan. Sherene merapatkan kedua kakinya masih malu-malu terhadap Justin yang matanya jelajatan menatapi bagian bawahnya yang ditumbuhi bulu-bulu halus. Ia tersentak ke atas saat tiba-tiba saja jari telunjuk Justin membelah bagian bawahnya meski ia telah merapatkan kakinya. Jari telunjuk itu naik-turun menggoda bagian bawahnya.
            “Urgh, pangeran,” desahnya semakin merapatkan kedua kakinya.
            “Kau menyukainya, Sherene? Kau menyukainya?” tanya pangeran tersenyum kecut melihat gadis yang sedang ia goda bergetar di bawah sentuhannya. Tangannya yang lain telah menurunkan celana yang ia pakai. Terlihatlah senjata besar miliknya yang mencuat keluar dengan gagahnya. Sherene tak menatapinya karena ia terlalu sibuk menatapi wajah Justin yang tersenyum padanya. Ia tidak tahu harus melakukan apa selain menggigit bibirnya. “Buka kakimu Sherene, buka,” suruh pangeran Justin mulai naik ke atas tempat tidurnya. Sherene tidak melakukan apa yang pangeran Justin katakan padanya, tapi tetap saja kakinya terbuka sekarang karena kedua tangan sang pangeran sekarang telah membuka kakinya. Pipinya semakin merona. Entah mengapa ia merasakan hal yang sangat aneh. Rasanya ia ingin jari itu kembali ke bagian bawahnya dan menggesekannya karena rasanya sangat nikmat.
            “Kau suka ini, Sherene?” kembali jari telunjuk pangeran Justin menggesek-gesek bagian bawahnya yang luar biasa basah. Justin dapat melihat betapa lengketnya sekarang gadis ini. Ia menyukainya. Sangat merangsangnya dan bahkan sekarang ia merasa akan segera keluar. Baru beberapa kali Justin menggesekan jarinya di bagian bawah Sherene, tiba-tiba saja tangan Sherene yang kecil itu menarik tangan Justin dan mendorongnya semakin dalam ke arah bagian wanitanya. Sherene menarik ke atas lututnya berteriak.
            “AAAHHH! OUH DEMI PARA DEWA, PANGERAN!” Sherene berteriak, kali ini benar-benar berteriak sangat merangsang pendengar Justin. Terlebih lagi Justin semakin menggetar-getarkan tangannya di atas bagian bawah Sherene. Sherene memejamkan matanya dengan mulut yang terus terbuka meski suaranya tak keluar. Kedua alisnya saling bertautan ingin meresapi apa yang baru saja ia rasakan. Ia dapat merasakan begitu banyak cairan yang keluar dari bawah sana, tubuhnya begitu lemas dan bertanya-tanya, inikah yang Chista rasakan ketika ia bercinta dengan sang Raja? Sherene mengatur nafasnya. Telinganya seperti tuli. Mulutnya seperti bisu. Dan tubuhnya tak dapat merasakan apa pun. Justin benar-benar menikmati pemandangan yang baru saja ia lihat. Gadis yang mendapatkan pelepasannya itu tampak sangat menikmati permainannya. Justin benar-benar tahu bahwa gadis ini adalah seorang gadis yang polos. Wajah polosnya sekaligus tingkahnya ketika Justin membuka pakaiannya membuat Justin sempat heran mengapa gadis ini begitu malu-malu. Bukankah Sherene adalah seorang harem baginya? Seharusnya Sherene lebih terbuka. Tapi itulah yang menjadi daya tarik tersendiri bagi Justin dari Sherene. Pipi Sherene memerah ketika ia membuka matanya dan langsung mendapati sang pangeran tengah melayang di atas tubuhnya yang mungil. Jika sang pangeran jatuh ke atas tubuhnya, ia tidak dapat bernafas.
            “Apa kau pernah bersetubuh sebelumnya, Sherene?” Justin bertanya, ingin meyakinkan dirinya bahwa Sherene masih gadis perawan yang polos. Mata hijau Sherene yang mengilau itu menatap Justin ragu-ragu. Apa Justin akan menyetubuhinya sekarang? Tapi Sherene belum mempersiapkan segalanya untuk Justin. Bahkan rambutnya sekarang sudah tak beraturan lagi. Mungkin bunga-bungaan yang menghias kepalanya telah hancur bertebaran entah kemana. “Jawab aku.”
            “Tidak, pangeran,” gumam Sherene menelan ludahnya. Apa ini akan menjadi suatu pernyataan yang memalukan? Ternyata tidak karena pangeran Justin tersenyum manis padanya.
            “Kau gadis yang cantik. Rambutmu sangat panjang dan halus. Aku suka menciumi lehermu karena wanginya tak dapat kuungkapkan dengan kata-kata. Harum dari rambutmu memabukkan. Apa yang kurang dari kesempurnaanmu, Sherene?”
            “Aku tak sempurna, pangera—AH!” Sherene belum menyelesaikan apa yang akan ia katakan namun sang pangeran telah memukul pinggangnya kembali sehingga mulut Sherene yang terbuka itu tersumpal oleh mulut Justin yang segera melumatnya tanpa ampun. Justin kembali mengangkat punggung Sherene dengan kedua tangannya yang bertumpu pada siku-sikunya. Salah satu tangannya membimbing senjata besarnya masuk ke dalam bagian bawah Sherene. Pelan-pelan ia memasukan kepala senjatanya. Desah Sherene yang teredam di dalam mulutnya membuat Justin mendengus. Tak terasa Justin merasakan aroma logam di dalam mulutnya ketika ia dengan kasar memasukan senjatanya ke dalam tubuh Sherene. Oh, ia mati rasa. Sherene baru saja menggigit bibir bagian bawah Justin sehingga darahnyapun terasa di mulut Sherene. Tubuh mereka yang menyatu itu diam tak berkutik. Hanya nafas mereka yang saling bersahut-sahutan. Keringat yang basah membanjiri tubuh mereka serta darah mengalir dari bagian bawah Sherene. Darah keperawanannya. Awal yang benar-benar tak diduga oleh Sherene. Baru beberapa menit yang lalu Sherene membawakan sarapan bagi sang pangeran dan ia sedang menjalani hukumannya. Hukuman atau hadiah? Hadiah. Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya Justin yang berada di atas tubuh Sherene mulai menggerak pinggangnya. Paha Sherene tertindih oleh paha bagian dalam Justin. Sherene mendongakkan kepalanya ke belakang dengan mata yang terpejam, rasanya sangat sakit. Pinggul Justin berputar-putar dengan pelan namun terasa seperti naik-turun di atas tubuh Sherene. Sherene memeluk pundak Justin yang kekar. Tangannya yang kecil serta halus itu mengelus pundak Justin, kadang ia memukul Justin hingga Justin mendengus.
            “Ngh, kau sangat ..ngh!” Justin mendengus merasakan betapa nikmatnya remasan-remasan yang ia dapat dari Sherene.
            “Ouh, sakit pangeran,” erang Sherene mulai memegang leher bagian belakang sang pangeran. Tangannya memegang erat leher sang pangeran saat gerakan pinggul pangeran yang memutar-mutar itu mengocok-kocok tubuhnya semakin liar. Perasaan sakit itu berangsur-angsur hilang digantikan dengan rasa nikmat yang membuatnya sekarang mendesah-desah. Keringat mereka menyatu. Rambut Sherene yang panjang menempel di sekitar tubuhnya dan tubuh Justin yang berkeringat. Justin membuka matanya, tak menutupnya agar ia dapat melihat wajah cantik Sherene yang tengah menikmati gerakan tubuhnya. Kedua kaki Sherene mulai melingkar di sekitar pinggang Justin tanpa menggerak-gerakan pinggulnya.
            “Oh, tidak pangeran!” erangnya mencakar pundak Justin dengan tangannya yang lain. Dan seluruh jari-jari kakinya meremas secara bersamaan saat pinggul Justin yang awalnya memutar-mutar, sekarang telah menyentak-sentak tubuhnya ke atas. Kali ini Justin melepaskan tangannya dari pundak Sherene, ia memegang kedua sisi pinggul Sherene sehingga ia berhenti menggerakan pinggulnya sejenak. Mendapatkan posisi yang nyaman dengan Sherene yang terlentang, membuatnya dapat melihat wajah Sherene lebih detail.
            “Ah! Pangeran! Tidak!” erang Sherene tersentak-sentak ketika Justin tiba-tiba saja menggerak-gerakan pinggulnya. Kedua tangan Sherene ditempatkan oleh Justin ke atas pundaknya sehingga sekarang tangan Sherene yang lembut itu meremas pundak Justin. Kuku-kukunya mulai menancap ke dalam pundak Justin yang membuat Justin merasakan perih sekaligus nikmat.
            “Sherene! Oh, demi dewa Matahari, Sherene! Kau sangat mengagumkan! SHERENE!” Justin berteriak tak karuan dengan tangannya yang semakin meremas kencang pinggang Sherene yang ramping itu. Mata Justin terpejam kali ini dan kepalanya mendongak ke atas. Gerakan pinggulnya semakin lama semakin kencang. Tiba-tiba saja Sherene merasakan sesuatu meledak di bawah sana yang membuat tubuhnya melengkung ke atas. Tangannya yang awalnya meremas pundak Justin sekarang segera memeluk leher Justin sehingga tubuhnya setengah terduduk.
            “AH! AH! Oh, pangeran, tidak! Auw!” Sherene menggigit telinga Justin ketika ia mendapatkan pelepasannya. Justin menyusul Sherene yang mendapatkan pelepasannya, selama pelepasan Sherene remasan yang Sherene berikan semakin mengetat. Membuat senjata Justin tak dapat menahan kembali menahan pelurunya.
            “SHERENE!” dengus Justin menusukkan senjatanya untuk gerakan terakhir. Mereka berdua ambruk bersamaan di atas tempat tidur yang empuk dengan matahari yang semakin meninggi. Angin yang mengembus diabaikan oleh kedua insan itu. Mata mereka terpejam.

            Bersama dengan kenikmatan mereka. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar