Sherene
termenung sepanjang hari memikirkan Pangeran Justin yang terus melekat di
otaknya. Pikirannya terbang kemana-mana serta ia berusaha untuk menyurutkan
pikiran yang tidak mungkin akan terjadi sekarang atau selamanya. Ia memang
tidak menatap mata Justin secara langsung namun saat ia melihat kepala Justin
mendongak itu bisa saja membuat kakinya melemas. Dari samping terlihat bulu
mata lentik dari sang pangeran, hidung mancung yang tak jauh berbeda dari dewa
Yunani, serta mata cokelatnya yang mengilau karena sinar matahari yang memancar
masuk dari kaca bening di kamarnya. Meski pertemuan pertama tidak sangat
mengesankan bagi Sherene, tetap saja ia tidak dapat berhenti memikirkan
pangeran Justin. Jadi seperti inilah rasanya memikirkan seorang lelaki. Setelah
ia terus bertanya-tanya mengapa teman-teman haremnya terus membicarakan tentang
Justin yang gagah serta tinggi itu dan tentu sangat tampan, akhirnya ia telah
mendapatkan jawabannya.
Pemikirannya
untuk menjadi pasangan pangeran Justin itu impian yang sangat tinggi. Para
teman gadisnya pasti akan menertawakannya jika ia menceritakan apa yang ia
sedang pikirkan sekarang. Tidak mungkin Sherene memiliki hubungan dengan
pangeran Justin nanti karena Sherene adalah satu-satunya calon harem yang
berbeda dari yang lain. Ia diasingkan di harem karena kecantikannya. Dan
kemungkinan Sherene tidak akan pernah diambil oleh Justin. Malam hari ini,
Sherene lebih memilih menyendiri di taman yang gelap –lebih tepatnya di sisi
tangga menuju harem. Dua obor menemani Sherene yang menempel di tiang-tiang
kokoh serta tinggi di kedua belah sisi Sherene. Ia menatapi taman belakang
harem yang sangat indah alami bersama dengan obor yang dilindungi oleh kaca.
Tapi tentu ia tidak perlu sibuk-sibuk memikirkan keindahan taman itu karena sekarang
yang ada dipikirannya hanyalah seorang lelaki yang bernama Justin Xerxes. Anak
Raja yang tadi pagi ia temui.
Gaun
putih dengan selendang biru tua yang dikenakan Sherene membuat diri Sherene
tampak lebih cantik. Rambutnya ia sengaja gerai karena ia tidak nyaman untuk
diikat rambutnya saat ini. Bukan karena ia tidak menyukai ikatan dan hiasan
rambut dari Patricia, hanya saja ia ingin rambutnya digerai. Rambutnya panjang
hingga bokong itu sangat cantik ketika disisir. Bergelombang namun tak pernah kusut.
Sebagian rambutnya berada di depan bahu Sherene sementara jari Sherene
melilitkannya pada ujung rambut emas madunya. Saat tengah merenung di tengah
malam yang sunyi tiba-tiba saja ia mendengar suara pintu harem terbuka. Sontak
ia terperanjat berdiri dari tempatnya tanpa bersuara dan langsung membalikkan
tubuhnya.
“Patricia!”
tegurnya terkejut. “Kau sangat membuatku terkejut,” serunya dengan suara yang
kesal namun tentu saja suara lembut Sherene tidak dapat menyimpulkan bahwa
Sherene sedang marah. Sherene marah jika pipinya benar-benar memerah serta air
matanya akan mengalir. Karena satu-satunya kekuatan Sherene jika ia sedang
marah hanyalah sebuah tangisan yang mewakili suara lembutnya. Patricia
tersenyum lembut dengan mata yang sayu menatap Sherene. Ia tidak pernah melihat
Sherene menyendiri malam seperti ini. Biasanya Sherene akan mendengar
cerita-cerita dari para prajurit –pantas Deraux bertanya dimana Sherene pada
Patricia—dan ia akan terlambat untuk tidur.
“Mengapa
kau menyendiri di malam seperti ini? Ada apa denganmu sayang? Ceritakanlah,”
Patricia berjalan dengan gaun biru panjang serta selendang jingga yang
melingkar di sekitar pundak serta pinggangnya bersama dengan selendang tipis
lainnya yang menemani lehernya. Ia sangat cantik malam ini. Sherene segera
terduduk di atas anak tangga kembali tak berani untuk melihat Patricia. Ia
hanya bersedia bercerita apa yang sedang ia rasakan.
“Aku
rasa aku jatuh cinta Patricia!” seru Sherene menolehkan kepalanya ke samping
kanan untuk melihat Patricia yang telah terduduk di sebelahnya. Patricia
terkekeh pelan. Kepalanya tertunduk untuk menahan tawanya yang ia takut ia akan
menjadi harem yang kegirangan. Raja tidak akan suka melihat gadis-gadis yang
tertawa kegirangan. Pipi Sherene merah merona saat itu juga. Apa ada yang salah
dengan pertanyaan itu? Karena seharian ini Sherene terus memikirkan pangeran
Justin terus menerus dan itu tidak dapat menghilang dari pikirannya. Apa itu
yang dinamakan jatuh cinta? Tapi Sherene hanyalah seorang gadis berumur 14 tahun
yang tidak tahu menahu tentang cinta. Bahkan ia tidak pernah bergaul dengan
lelaki yang sebayanya.
“Kau
jatuh cinta, Sherene? Mengapa?” Patricia telah mengendalikan tawanya.
“Ya,
kurasa begitu. Karena sedari tadi aku tidak bisa berhenti memikirkannya!” seru
Sherene gemas pada dirinya sendiri. Ya, mengapa ia bisa memikirkan Justin terus
menerus? Bukankah itu yang dinamakan jatuh cinta? Patricia memerhatikan Sherene
dari samping sedang menundukkan kepalanya malu karena berkata jujur. Tangan
kiri Patricia terangkat kemudian mendarat ke atas punggung Sherene yang
ditutupi oleh rambut panjangnya yang menyentuh lantai belakang harem. Ia
mengelus rambut Sherene lemah gemulai, memainkannya sambil berpikir untuk
beberapa saat. Ia tahu ia akan menghadapi masa-masa dimana Sherene belum
benar-benar mengetahui apa yang sedang terjadi pada dirinya. Sama seperti
dirinya dulu.
“Kau
belum jatuh cinta pada pangeran
Justin, Sherene. Kau hanya tertarik padanya. Aku yakin, pangeran Justin pasti
juga sedang memikirkanmu. Jatuh cinta itu bagaikan matahari yang baru saja
muncul di pagi hari dengan keindahan yang tak terkira lalu semakin lama
matahari itu akan semakin tinggi ke langit, kau akan kepanasan namun kau akan
terbiasa sama seperti cinta yang semakin hari semakin bertumbuh dan kau mulai
terbiasa dengan perasaan itu. Dan cinta itu akan panas membara pada dirimu.
Perbedaan cinta sejati dengan matahari adalah cinta sejati tak akan terbenam dari dirimu. Sedangkan
matahari harus terbenam mengosongi
dunia seperti malam ini. Sekarang, matahari itu belum terbit dari dirimu
sayang,” jelas Patricia menyentuh telapak tangannya tepat di tengah-tengah dada
Sherene. Penjelasan dari Patricia benar-benar membuat Sherene bingung. Otaknya
berputar. Matahari? Terbit? Terbenam? Apa hubungannya jatuh cinta dengan itu
semua? Sherene tidak mengerti sama sekali.
“Aku
tidak mengerti, Patricia. Tapi aku tahu kau memberitahu padaku sesuatu yang
memang belum kurasakan. Oh, kuharap apa yang kaukatakan tadi padaku akan
benar-benar terjadi padaku. Aku ingin mendapatkan cinta sejati, Patricia!” seru
Sherene memejamkan mata dengan dua tangannya yang mengepal berada di depan
dadanya lalu ia menarik nafas dalam-dalam. Seperti seorang anak kecil yang
meminta sesobek roti yang enak, berharap.
“Kau
akan mendapatkannya,” Patricia menarik pundak Sherene ke arahnya lalu mengecup
puncak kepala Sherene dengan lembut. Sherene bagaikan anak kandung bagi
Patricia dan ia tidak mau Sherene jatuh cinta pada orang yang salah. Karena ia
juga pernah jatuh cinta pada orang yang salah. Seperti
ia pernah jatuh cinta pada seorang Raja Persia.
“Hanya
belum saatnya saja, Sherene,” lanjut Patricia menyandarkan pipinya ke atas
kepala Sherene.
***
“Tuan
Christopher, apa menurutmu sekarang aku tampil cantik?” Sherene bertanya saat
ia telah berada di depan pintu kamar sang pangeran untuk membawakan pangeran
sarapan pagi hari yang pangeran sukai. Tuan Christopher yang memegang sebuah
senjata itu beranjak dari tempat berdiri –sisi pintu kamar pangeran—kemudian
berjalan mengelilingi Sherene secara perlahan-lahan memerhatikan pakaian yang
Sherene kenakan. Gaun jingga kemerah mudaan itu terlihat sangat pas dengan
ukuran Sherene yang mungil serta perpaduan dengan kulitnya sangat pas.
Selendang putih yang ditempatkan salah satu pundak Sherene semakin mendukung
penampilan Sherene yang menarik. Serta yang semakin menarik karena rambut
Sherene yang digerai. Hanya mahkota bunga-bunga yang melingkar di sekitar kepala
Sherene sehingga rambutnya tidak akan pergi kemana-mana –tentu saja. Tuan
Christopher yang sudah tua itu kembali pada tempatnya setelah ia mengelus-elus
dagunya yang ditumbuhi janggut yang panjang sekali. Sherene takut-takut
menatapi Tuan Christopher, kedua alisnya saling bertaut penuh kecemasan bersama
dengan senyum bibir yang ragu-ragu. Tuan Christopher memberikan raut wajah yang
serius lalu ia mendesah pelan dan menggeleng-gelengkan kepalanya menunduk.
“Tuan
Christopher?” Sherene memanggil dengan suara lembut. Saat itu juga Tuan
Christopher mendongakkan kepalanya dan tersenyum sumringah.
“Apa
kau harus bertanya bagaimana penampilanmu yang cantik itu, Sherene? Kau selalu
sempurna tiap hari!” seru Tuan Christopher yang membuat senyum Sherene semakin
mengembang. Tuan Christopher sialan! Ia sungguh membuat Sherene gugup. Tiap
hari Sherene harus membawakan sarapan bagi pangeran Justin karena setelah itu
ia tidak akan bertemu dengan pangeran Justin lagi karena pangeran Justin
biasanya sibuk untuk mempersiapkan diri menjadi Raja. Seperti berlatih bela
diri di depan lapangan upacara. Jadi bagi Sherene, tiap paginya ia harus
berpenampilan menarik karena ya Tuhan, Sherene ingin membuat pangeran Justin
jatuh cinta padanya meski kemungkinannya sangat kecil!
“Baiklah,
kalau begitu tolong bukakan pintu besar itu Tuan Christopher,” pinta Sherene
memohon. Ia menggigit pipi bagian dalamnya berusaha untuk tidak gugup masuk ke
dalam kamar pangeran Justin.
“Sebelum
kau masuk ke dalam sana. Ada yang ingin kutanya padamu, Sherene,”
“Tuan
Christopher, apapun pertanyaan itu pasti akan kujawab tapi tidak sekarang. Aku
takut pangeran Justin marah seperti kemarin,”
“Tidak,
ini hanyalah pertanyaan mudah,” Tuan Christopher masih menahannya di depan
pintu kamar pangeran Justin. “Apa yang membuatmu lebih memikirkan penampilanmu
sekarang, Sherene?” Tuan Christopher menggoda Sherene dengan pertanyaannya yang
membuat pipi Sherene semakin bersemu merah. Apa itu perlu dipertanyakan lagi?
Sudah jelas karena Sherene ingin bertemu dengan pangeran Justin.
“Oh
Tuan Christopher, aku sangat yakin jawabannya sudah jelas. Aku tidak ingin
pangeran Justin kecewa karena penampilanku. Maksudku ..oh Tuhan Christopher,
apa yang harus kulakukan agar kau dapat membuka pintu besar nan berat itu?”
Sherene memohon dengan dua alis yang bertaut. Tapi Tuan Christopher adalah Tuan
Christopher. Ia tidak tega melihat tangan Sherene yang mungil itu terbebani
karena membawakan sarapan pagi bagi pangeran. Tuan Christopher membukakan pintu
besar itu mempersilahkan Sherene untuk masuk ke dalam. Sherene melangkah
malu-malu namun tak menundukkan kepalanya ke dalam kamar pangeran Justin. Namun
sebelum ia masuk ke dalam kamarnya, Tuan Christopher menahan Sherene kembali.
Berbisik sesuatu pada Sherene.
“Kemarin
pangeran Justin bertanya siapa namamu padaku,” bisik Tuan Christopher yang
membuat Sherene kembali melangkah masuk. Seperti kemarin, pintu itu langsung
tertutup ketika Sherene baru saja masuk
ke dalam kamar pangeran Justin. Tak sadar pipi Sherene telah memerah akibat
perkataan Tuan Christopher tadi. Pangeran Justin bertanya siapa namanya? Saat
masuk ke dalam kamar pangeran Justin, Sherene mendapati pangeran Justin sedang
berada di atas tempat tidurnya setengah berbaring bersama dengan sebuah buku
yang tak begitu tebal berada di tangannya. Pangeran Justin terlihat lebih
tinggi lagi jika ia sedang berbaring seperti ini.
“Pangeran
Justin, sarapanmu telah datang,” ujar Sherene berusaha mengeluarkan suaranya
yang lembut sekali. Justin yang tengah membaca buku itu mengangkat kepalanya
dengan mata yang tertuju pada Sherene. Akhirnya ia bertemu dengan gadis ini
lagi.
“Kita
berdua juga tahu, Sherene, sarapanku telah ada di tanganmu,” canda pangeran
Justin yang tidak dimengerti oleh Sherene yang masih kecil itu. “Taruhlah di
atas meja belajarku dan kemarilah sebentar,” suruh Justin. Bibir Sherene
terkatup rapat, takut-takut ia mengucapkan kata-kata yang salah pada pangeran
Justin. Ia berjalan menuju meja belajar pangeran Justin yang sangat bersih.
Menaruh gelas yang berisikan susu perah alami kesukaan pangeran Justin bersama
dengan roti terenak di negeri Persia. Siap menempatkan semua sarapan pagi
pangeran Justin, Sherene berjalan mendekat pada tempat tidur Justin. Ia
menundukkan kepalanya tidak berani melihat pangeran Justin. Justin yang
memerhatikan Sherene berjalan ke arahnya menyunggingkan senyum kecil. Tingkah
gadis kecil ini membuat Justin sangat gemas.
“Apa
yang sedang kausembunyikan?” Justin bertanya mengisyaratkan pada Sherene untuk
mengangkat kepalanya dan memperlihatkan wajahnya yang sangat cantik itu.
“Angkat kepalamu, Sherene,” suruh pangeran Justin dengan suara yang benar-benar
lembut. Perbedaan perasaannya kemarin dan sekarang adalah Sherene tidak
berkeringat sama sekali namun jantungnya masih berdetak kencang! Kali ini ia
melihat pangeran Justin lebih dekat dan lebih intim.
“Tidak
ada pangeran,” gumam Sherene dengan suara yang kecil. Akhirnya Sherene
mendongakkan kepalanya. Mata Justin yang berwarna cokelat menatap tepat dari
atas ke arah mata hijau Sherene yang mengilau. Luar biasa cantik. Inikah
haremku? Pikiran Justin terbang kemana-mana. Ia telah tahu tentang harem-harem
itu meski ia tidak pernah memerhatikan harem-haremnya secara langsung tapi
Sherene menghampirinya. Ia menginginkan Sherene saat ini juga tapi ia tahu,
Sherene belum berumur 17 tahun sama sepertinya. Sherene belum matang benar.
“Dari
mana asalmu, Sherene?” pertanyaan yang Justin lontarkan sama seperti
orang-orang yang baru pertama kali melihatnya sampai-sampai Sherene bosan
menjawab pertanyaan itu.
“Aku
tidak tahu, pangeran,”
“Mengapa
kau tidak tahu?”
“Aku
bahkan tidak tahu mengapa aku masih bisa hidup sampai aku bertemu dengan sang
Panglima, pangeran,” ucapan yang keluar dari mulut Sherene benar-benar tidak
sopan karena itu memberikan kesan menantang pada sang pangeran. Meski pangeran
Justin tersinggung ia masih memperlihatkan wibawanya sebagai pangeran. Pangeran
Justin memakai jubah berwarna putih yang dikedua ujung lengan panjangnya
berbentuk seperti terompet itu melambai-lambai. Mahkota daun-daun yang terbuat
dari emas itu melingkar di sekitar kepalanya. Serta ikat pinggang selendang
berwarna kuning keemasan telah melingkar di sekitar pinggangnya. Sangat tampan.
“Kau
bukan keturunan Persia?”
“Kurasa
begitu, pangeran,” gumam Sherene kembali. Ia yang memeluk nampannya semakin
gugup, terbukti dari kuku-kukunya yang sekarang memutih karena ia meremas
nampan logamnya karena kakinya seperti tak dapat menahan beban tubuhnya. Ia
harus segera beranjak dari tempatnya.
“Pergilah
sekarang dari kamarku,” suruh pangeran Justin mengangkat dagunya tampak angkuh
sekarang. Tak ingin dimarahi, Sherene segera beranjak dari tempatnya –lagi pula
itulah yang Sherene inginkan sedari tadi, pergi dari hadapan pangeran.
“Sherene!”
Justin memanggil Sherene sebelum Sherene menyentuhkan tangannya pada pintu
besar kamar pangeran. Pangeran Justin beranjak dari tempat tidurnya, tanpa
beralas kaki ia berjalan menuju Sherene. Sherene melihat pangeran Justin yang
tampak panik sebelum Sherene pergi. Oh, apa yang pangeran Justin inginkan
sekarang padanya? Semoga bukan sesuatu yang buruk. Mereka telah berhadapan
saling menatap mata satu sama lain. Keheningan menemani mereka dengan
angin-angin yang masuk dari pintu balkon kamar pangeran Justin serta
tirai-tirai putih yang tipis itu sekarang melambai-lambai di sisi seberang
mereka.
“Sherene,”
panggil pangeran Justin kembali. Pangeran Justin menarik kepala bagian belakang
Sherene ke atas sehingga sekarang kepala pangeran Justin terpaksa harus
menunduk agar bibir mereka bertemu. Mata Sherene terbuka, terkejut setengah
mati akan apa yang sedang pangeran Justin lakukan. Bibir mereka baru saja
bertemu dan Sherene tidak merasakan getaran apapun selain perasaan
keterkejutannya akibat perbuatan pangeran Justin yang tiba-tiba saja seperti
ini. Tapi itu tidak berlangsung lama. Pangeran Justin segera menjauhkan
kepalanya dari Sherene. Ini adalah kesalahan besar yang dibuat oleh pangeran
Justin.
“Pergilah,”
suruh pangeran Justin kembali sambil menarik pintu kamarnya terbuka. Sherene
tak berani menatap mata pangeran Justin yang sudah pasti sangat kecewa dengan
balasan Sherene yang tak berpengalaman. “Sial,” gumam pangeran Justin menutup
kembali pintunya setelah Sherene pergi dari hadapannya. Ia berpikir kembali apa
yang baru saja ia lakukan tadi. Mengecup bibir gadis yang masih berumur 14
tahun? Seharusnya Justin menahan gejolak nafsu yang menyerangnya.
Tapi
mau bagaimana lagi? Hanya itu satu-satunya jalan agar Justin tidak akan merasa
rindu pada Sherene yang hanyalah seorang pelayan di istana. Karena besok pagi,
Justin tidak akan berada di istananya kembali.
Ia
harus pergi. Lagi.
***
Kecupan
bibir dari sang pangeran masih membekas di pikiran Sherene selama beberapa
tahun. Mengetahui hari setelah kejadian itu pangeran Justin harus pergi dari
istana membuat Sherene patah hati. Ia menangis tiap malamnya di belakang harem
bersama dengan Patricia. Ia tidak tahu kapan pangeran Justin akan kembali.
Ingatan Sherene terhadap wajah pangeran Justin sekarang telah samar-samar tak
terlihat. Namun perasaannya pada pangeran Justin masih tetap saja sama. Apa
benar yang dikatakan Patricia bahwa pangeran Justin sedang memikirkannya
sekarang? Sherene memang telah bertumbuh menjadi gadis yang benar-benar cantik.
Sekarang umurnya telah menginjak 22 tahun. Rambutnya harus selalu dipotong jika
telah melewati batas bokongnya namun itu tidak mengurangi kecantikan Sherene.
Sherene semakin cantik. Tubuhnya yang dulunya tak begitu berbentuk, sekarang ia
memiliki tubuh yang sangat molek. Pastinya harem-harem yang lain sangat iri
padanya. Tidak ada yang begitu berubah dari Sherene selain bentuk tubuh dan
tingginya. Sudah lima tahun ini Sherene terperangkap di dalam harem bersama
dengan teman-temannya. Mungkin hanya beberapa teman-temannya dipanggil keluar dari
harem untuk melayani sang Raja.Tidak dengan Sherene, Sherene tidak pernah
dipilih oleh sang Raja untuk berhubungan seks. Ya, sejak ia telah menginjak
umur yang ke-17 tahun, seluruh harem ditahan tak boleh keluar dari istana kecil
mereka. Namun beberapa tahun terakhir ini sang Raja tidak pernah memanggil
harem-haremnya untuk keluar melayaninya. Patricia telah memberitahu pada
Sherene apa penyebabnya. Sang Raja terserang penyakit mematikan yang sama
seperti anak Patricia pernah derita.
Banyak
sekali tabib-tabib terkenal yang telah dipanggil untuk menyembuhkan penyakit
Raja namun tidak ada penawarnya. Sekarang Raja harus terbaring lemah di atas
tempat tidurnya. Ratu telah meninggal dua tahun sebelum Raja terserang
penyakit. Tapi bagi Sherene sekarang tidak ada yang berarti. Harapannya telah
pupus setelah pangeran pergi dari istana dan sampai sekarang tak pernah
kembali. Sherene sekarang tidak begitu sering tersenyum seperti dulu. Terkadang
Sherene mengelus bibirnya yang ranum itu berusaha mengingat bagaimana rasanya
ketika bibirnya dikecup oleh sang pangeran. Waktu senja sangat cocok bagi
Sherene yang tiap harinya hanya membuat kerajinan tangan yang tak dianggap
–mungkin hanya Patricia yang menganggapnya karena Sherene tidak pernah
memperlihatkan kerajinan tangannya pada orang lain selain Patricia. Tapi
mungkin sore ini Sherene tidak ingin melakukan kebiasaannya di atas batu di
depan kolam yang berhubungan langsung dengan air sungai. Ia hanya terduduk di
batu yang sama seperti kemarin dan merenung.
Baru
saja ia ingin menenangkan diri dan mengingat kejadian 8 tahun yang lalu,
tiba-tiba saja pintu belakang harem terbuka. “Sherry! Sherry! Pangeran Justin
telah tiba-tiba untuk menggantikan Raja Xerxes yang telah meninggal satu bulan
yang lalu!” Chista sahabatnya berteriak berlari sambil mengangkat gaunnya agar
ia tidak tersandung oleh gaunnya sendiri. Sherene tentu tidak akan langsung
percaya apa yang baru saja Chista katakan karena itu tidak masuk akal. Raja
meninggal? Mengapa Sherene tidak mengetahuinya selama satu bulan ini? Oh,
diberkatilah Raja Xerxes. Dan Patricia tidak memberitahu padanya selama satu
bulan itu juga.
“Raja
Xerxes meninggal?” suara lembut Sherene akhirnya terdengar. Ia berjalan
mendekati Chista sambil memegang rambutnya yang diikat kepang –sangat tebal.
Chista menganggukan kepalanya.
“Ya,
saat itu juga Raja Xerxes dibawa ke Mesir! Dan sekarang pangeran Justin kembali
dengan prajurit-prajurit!” Chista sangat girang. Chista pernah dipakai oleh
sang Raja.
“Kau
berbohong,” gumam Sherene membalikkan kepalanya tak percaya. Entah perasaan apa
yang Sherene rasakan sekarang tapi ada rasa bahagia sekaligus kecewa meski ia
tak berhak merasakan itu terhadap sang pangeran yang akan segera menjadi Raja.
“Untuk
apa aku berbohong padamu, Sherry? Ia benar-benar ada sekarang. Dan besok adalah
upacara penobatannya sebagai Raja. Malam ini ia menginginkan 4 harem di
kamarnya! Kau bisa bayangkan itu? 4!” seru Chista yang sebenarnya melanggar
peraturannya sebagai harem agar ia tidak begitu girang. Seorang harem tidak
boleh terlalu girang. Sherene menganggukan kepalanya.
“Apa
menurutmu ia akan memilihku?” Sherene bertanya ragu-ragu tanpa membalikkan
tubuhnya kembali pada Chista. Chista merenung.
“Aku
tidak tahu. Tapi kurasa kau tidak akan dipakai oleh pangeran Justin secara
bersamaan dengan harem-harem lainnya. Melihat fisikmu yang terlihat sempurna
seperti ini ..” Chista tidak melanjutkan perkataannya.
“Sudahlah,”
tukas Sherene tidak ingin dipuji terus menerus. “Apa kita dipersilahkan untuk
keluar? Aku tidak pernah keluar dari harem ini jika aku tidak dipanggil keluar.
Sedangkan kau, diizinkan. Apa kita boleh?” Sherene mulai mengangkat gaun bagian
bawahnya untuk siap-siap beranjak dari tempatnya.
“Tentu.
Semuanya harus keluar untuk menyambut kedatangan pangeran Justin. Dan Patricia
menyuruh kita untuk membantu mereka mempersiapkan penobatan Raja besok,” Chista
menarik tangan Sherene cepat-cepat. Sherene benar-benar linglung. Pangeran
Justin benar-benar ada di istana sekarang? Ia masih tak percaya.
***
*Sherene Madrigal POV*
Aku
masih tak percaya pangeran Justin sekarang benar-benar berada di hadapanku.
Rasanya aku ingin sekali menangis mengingat terakhir kali ia bertemu denganku
menciumku selama beberapa detik dan keesokan harinya ia pergi dari istana.
Sekaran ia kelihatan lebih tinggi dan tubuhnya lebih besar dari yang
sebelumnya. Ia bahkan seperti dewa Yunani yang tak rela mencampuri perkawinan
mereka agar ketampanan mereka tetap terlihat murni. Di tengah-tengah pesta
penyambutan kedatangannya, ia tidak menikmati penari erotis yang ada di
hadapannya bersama dengan api di tengah-tengahnya. Lapangan istana yang sangat
luas telah terisi oleh para bangsawan, prajurit, pelayan dan juga harem-harem
yang lebih lama dibanding diriku yang masih baru. Pangeran Justin sepertinya
tak menikmati hari penyambutannya mungkin dikarenakan kepergian Ayahnya. Cukup
kesal karena aku tidak diberitahu oleh Patricia bahwa Raja Xerxes telah
meninggal satu bulan yang lalu. Satu bulan adalah waktu yang sangat lama. Semua
orang di lapangan menikmati pesta sambil meminum anggur dan daging. Aku tidak
sama sekali menikmati pesta ini juga. Pangeran Justin menatap kosong api di
atas tempat duduknya yang tinggi itu bersama dengan dua pelayan yang
mengipasinya dari dua sisi. Ia hanya mengambil buah anggur dan memakannya
dengan tenang.
Pertanyaan
yang memukul benakku sekarang, apa dia masih mengingatku? Seorang gadis yang ia
kecup ketika gadis itu masih berumur 14 tahun? Kurasa tidak. Menyadari ia
sungguh sibuk saat itu dan pastinya ia pergi keluar negeri bukan untuk
bersantai-santai. Pasti banyak pekerjaan yang harus ia lakukan yang tentunya ia
akan melupakan apa yang telah ia perbuat padaku. Bahkan mungkin sekarang ia
telah melupakan bagaimana rupaku. Aku yang dikecupnya saja sudah samar-samar mengingat
wajahnya namun sekarang ia datang dengan keadaan yang lebih tampan.
Tiba-tiba
saja pangeran Justin bangkit dan membisiki salah satu pelayan dan turun dari
tempat duduknya melalui tangga. Aku memerhatikannya pergi dari lapangan, lenyap
dari antara orang-orang yang menari diiringi musik kecapi. Chista yang berada
di sebelahku ternyata memerhatikan pangeran Justin yang lenyap juga.
“Siapa
menurutmu yang akan diambil nanti?” tanya Chista berbisik di telingaku.
“Eshter,
Estatira, Sasanide, dan Nigan,” aku menebaknya.
“Kau
benar. Mereka memang yang paling sering dipakai oleh Raja. Siapa tahu saja
pangeran juga menyukainya,”
“Aku
ingin tidur.” gumamku berusaha mengubur perasaan patah hati yang tiba-tiba
muncul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar