Selasa, 27 Agustus 2013

Innocent Bab 2



***

            Sherene termenung sepanjang hari memikirkan Pangeran Justin yang terus melekat di otaknya. Pikirannya terbang kemana-mana serta ia berusaha untuk menyurutkan pikiran yang tidak mungkin akan terjadi sekarang atau selamanya. Ia memang tidak menatap mata Justin secara langsung namun saat ia melihat kepala Justin mendongak itu bisa saja membuat kakinya melemas. Dari samping terlihat bulu mata lentik dari sang pangeran, hidung mancung yang tak jauh berbeda dari dewa Yunani, serta mata cokelatnya yang mengilau karena sinar matahari yang memancar masuk dari kaca bening di kamarnya. Meski pertemuan pertama tidak sangat mengesankan bagi Sherene, tetap saja ia tidak dapat berhenti memikirkan pangeran Justin. Jadi seperti inilah rasanya memikirkan seorang lelaki. Setelah ia terus bertanya-tanya mengapa teman-teman haremnya terus membicarakan tentang Justin yang gagah serta tinggi itu dan tentu sangat tampan, akhirnya ia telah mendapatkan jawabannya.
            Pemikirannya untuk menjadi pasangan pangeran Justin itu impian yang sangat tinggi. Para teman gadisnya pasti akan menertawakannya jika ia menceritakan apa yang ia sedang pikirkan sekarang. Tidak mungkin Sherene memiliki hubungan dengan pangeran Justin nanti karena Sherene adalah satu-satunya calon harem yang berbeda dari yang lain. Ia diasingkan di harem karena kecantikannya. Dan kemungkinan Sherene tidak akan pernah diambil oleh Justin. Malam hari ini, Sherene lebih memilih menyendiri di taman yang gelap –lebih tepatnya di sisi tangga menuju harem. Dua obor menemani Sherene yang menempel di tiang-tiang kokoh serta tinggi di kedua belah sisi Sherene. Ia menatapi taman belakang harem yang sangat indah alami bersama dengan obor yang dilindungi oleh kaca. Tapi tentu ia tidak perlu sibuk-sibuk memikirkan keindahan taman itu karena sekarang yang ada dipikirannya hanyalah seorang lelaki yang bernama Justin Xerxes. Anak Raja yang tadi pagi ia temui.
            Gaun putih dengan selendang biru tua yang dikenakan Sherene membuat diri Sherene tampak lebih cantik. Rambutnya ia sengaja gerai karena ia tidak nyaman untuk diikat rambutnya saat ini. Bukan karena ia tidak menyukai ikatan dan hiasan rambut dari Patricia, hanya saja ia ingin rambutnya digerai. Rambutnya panjang hingga bokong itu sangat cantik ketika disisir. Bergelombang namun tak pernah kusut. Sebagian rambutnya berada di depan bahu Sherene sementara jari Sherene melilitkannya pada ujung rambut emas madunya. Saat tengah merenung di tengah malam yang sunyi tiba-tiba saja ia mendengar suara pintu harem terbuka. Sontak ia terperanjat berdiri dari tempatnya tanpa bersuara dan langsung membalikkan tubuhnya.
            “Patricia!” tegurnya terkejut. “Kau sangat membuatku terkejut,” serunya dengan suara yang kesal namun tentu saja suara lembut Sherene tidak dapat menyimpulkan bahwa Sherene sedang marah. Sherene marah jika pipinya benar-benar memerah serta air matanya akan mengalir. Karena satu-satunya kekuatan Sherene jika ia sedang marah hanyalah sebuah tangisan yang mewakili suara lembutnya. Patricia tersenyum lembut dengan mata yang sayu menatap Sherene. Ia tidak pernah melihat Sherene menyendiri malam seperti ini. Biasanya Sherene akan mendengar cerita-cerita dari para prajurit –pantas Deraux bertanya dimana Sherene pada Patricia—dan ia akan terlambat untuk tidur.
            “Mengapa kau menyendiri di malam seperti ini? Ada apa denganmu sayang? Ceritakanlah,” Patricia berjalan dengan gaun biru panjang serta selendang jingga yang melingkar di sekitar pundak serta pinggangnya bersama dengan selendang tipis lainnya yang menemani lehernya. Ia sangat cantik malam ini. Sherene segera terduduk di atas anak tangga kembali tak berani untuk melihat Patricia. Ia hanya bersedia bercerita apa yang sedang ia rasakan.
            “Aku rasa aku jatuh cinta Patricia!” seru Sherene menolehkan kepalanya ke samping kanan untuk melihat Patricia yang telah terduduk di sebelahnya. Patricia terkekeh pelan. Kepalanya tertunduk untuk menahan tawanya yang ia takut ia akan menjadi harem yang kegirangan. Raja tidak akan suka melihat gadis-gadis yang tertawa kegirangan. Pipi Sherene merah merona saat itu juga. Apa ada yang salah dengan pertanyaan itu? Karena seharian ini Sherene terus memikirkan pangeran Justin terus menerus dan itu tidak dapat menghilang dari pikirannya. Apa itu yang dinamakan jatuh cinta? Tapi Sherene hanyalah seorang gadis berumur 14 tahun yang tidak tahu menahu tentang cinta. Bahkan ia tidak pernah bergaul dengan lelaki yang sebayanya.
            “Kau jatuh cinta, Sherene? Mengapa?” Patricia telah mengendalikan tawanya.
            “Ya, kurasa begitu. Karena sedari tadi aku tidak bisa berhenti memikirkannya!” seru Sherene gemas pada dirinya sendiri. Ya, mengapa ia bisa memikirkan Justin terus menerus? Bukankah itu yang dinamakan jatuh cinta? Patricia memerhatikan Sherene dari samping sedang menundukkan kepalanya malu karena berkata jujur. Tangan kiri Patricia terangkat kemudian mendarat ke atas punggung Sherene yang ditutupi oleh rambut panjangnya yang menyentuh lantai belakang harem. Ia mengelus rambut Sherene lemah gemulai, memainkannya sambil berpikir untuk beberapa saat. Ia tahu ia akan menghadapi masa-masa dimana Sherene belum benar-benar mengetahui apa yang sedang terjadi pada dirinya. Sama seperti dirinya dulu.
            “Kau belum jatuh cinta pada pangeran Justin, Sherene. Kau hanya tertarik padanya. Aku yakin, pangeran Justin pasti juga sedang memikirkanmu. Jatuh cinta itu bagaikan matahari yang baru saja muncul di pagi hari dengan keindahan yang tak terkira lalu semakin lama matahari itu akan semakin tinggi ke langit, kau akan kepanasan namun kau akan terbiasa sama seperti cinta yang semakin hari semakin bertumbuh dan kau mulai terbiasa dengan perasaan itu. Dan cinta itu akan panas membara pada dirimu. Perbedaan cinta sejati dengan matahari adalah cinta sejati tak akan terbenam dari dirimu. Sedangkan matahari harus terbenam mengosongi dunia seperti malam ini. Sekarang, matahari itu belum terbit dari dirimu sayang,” jelas Patricia menyentuh telapak tangannya tepat di tengah-tengah dada Sherene. Penjelasan dari Patricia benar-benar membuat Sherene bingung. Otaknya berputar. Matahari? Terbit? Terbenam? Apa hubungannya jatuh cinta dengan itu semua? Sherene tidak mengerti sama sekali.
            “Aku tidak mengerti, Patricia. Tapi aku tahu kau memberitahu padaku sesuatu yang memang belum kurasakan. Oh, kuharap apa yang kaukatakan tadi padaku akan benar-benar terjadi padaku. Aku ingin mendapatkan cinta sejati, Patricia!” seru Sherene memejamkan mata dengan dua tangannya yang mengepal berada di depan dadanya lalu ia menarik nafas dalam-dalam. Seperti seorang anak kecil yang meminta sesobek roti yang enak, berharap.
            “Kau akan mendapatkannya,” Patricia menarik pundak Sherene ke arahnya lalu mengecup puncak kepala Sherene dengan lembut. Sherene bagaikan anak kandung bagi Patricia dan ia tidak mau Sherene jatuh cinta pada orang yang salah. Karena ia juga pernah jatuh cinta pada orang yang salah.             Seperti ia pernah jatuh cinta pada seorang Raja Persia.
            “Hanya belum saatnya saja, Sherene,” lanjut Patricia menyandarkan pipinya ke atas kepala Sherene.

***

            “Tuan Christopher, apa menurutmu sekarang aku tampil cantik?” Sherene bertanya saat ia telah berada di depan pintu kamar sang pangeran untuk membawakan pangeran sarapan pagi hari yang pangeran sukai. Tuan Christopher yang memegang sebuah senjata itu beranjak dari tempat berdiri –sisi pintu kamar pangeran—kemudian berjalan mengelilingi Sherene secara perlahan-lahan memerhatikan pakaian yang Sherene kenakan. Gaun jingga kemerah mudaan itu terlihat sangat pas dengan ukuran Sherene yang mungil serta perpaduan dengan kulitnya sangat pas. Selendang putih yang ditempatkan salah satu pundak Sherene semakin mendukung penampilan Sherene yang menarik. Serta yang semakin menarik karena rambut Sherene yang digerai. Hanya mahkota bunga-bunga yang melingkar di sekitar kepala Sherene sehingga rambutnya tidak akan pergi kemana-mana –tentu saja. Tuan Christopher yang sudah tua itu kembali pada tempatnya setelah ia mengelus-elus dagunya yang ditumbuhi janggut yang panjang sekali. Sherene takut-takut menatapi Tuan Christopher, kedua alisnya saling bertaut penuh kecemasan bersama dengan senyum bibir yang ragu-ragu. Tuan Christopher memberikan raut wajah yang serius lalu ia mendesah pelan dan menggeleng-gelengkan kepalanya menunduk.
            “Tuan Christopher?” Sherene memanggil dengan suara lembut. Saat itu juga Tuan Christopher mendongakkan kepalanya dan tersenyum sumringah.
            “Apa kau harus bertanya bagaimana penampilanmu yang cantik itu, Sherene? Kau selalu sempurna tiap hari!” seru Tuan Christopher yang membuat senyum Sherene semakin mengembang. Tuan Christopher sialan! Ia sungguh membuat Sherene gugup. Tiap hari Sherene harus membawakan sarapan bagi pangeran Justin karena setelah itu ia tidak akan bertemu dengan pangeran Justin lagi karena pangeran Justin biasanya sibuk untuk mempersiapkan diri menjadi Raja. Seperti berlatih bela diri di depan lapangan upacara. Jadi bagi Sherene, tiap paginya ia harus berpenampilan menarik karena ya Tuhan, Sherene ingin membuat pangeran Justin jatuh cinta padanya meski kemungkinannya sangat kecil!
            “Baiklah, kalau begitu tolong bukakan pintu besar itu Tuan Christopher,” pinta Sherene memohon. Ia menggigit pipi bagian dalamnya berusaha untuk tidak gugup masuk ke dalam kamar pangeran Justin.
            “Sebelum kau masuk ke dalam sana. Ada yang ingin kutanya padamu, Sherene,”
            “Tuan Christopher, apapun pertanyaan itu pasti akan kujawab tapi tidak sekarang. Aku takut pangeran Justin marah seperti kemarin,”
            “Tidak, ini hanyalah pertanyaan mudah,” Tuan Christopher masih menahannya di depan pintu kamar pangeran Justin. “Apa yang membuatmu lebih memikirkan penampilanmu sekarang, Sherene?” Tuan Christopher menggoda Sherene dengan pertanyaannya yang membuat pipi Sherene semakin bersemu merah. Apa itu perlu dipertanyakan lagi? Sudah jelas karena Sherene ingin bertemu dengan pangeran Justin.
            “Oh Tuan Christopher, aku sangat yakin jawabannya sudah jelas. Aku tidak ingin pangeran Justin kecewa karena penampilanku. Maksudku ..oh Tuhan Christopher, apa yang harus kulakukan agar kau dapat membuka pintu besar nan berat itu?” Sherene memohon dengan dua alis yang bertaut. Tapi Tuan Christopher adalah Tuan Christopher. Ia tidak tega melihat tangan Sherene yang mungil itu terbebani karena membawakan sarapan pagi bagi pangeran. Tuan Christopher membukakan pintu besar itu mempersilahkan Sherene untuk masuk ke dalam. Sherene melangkah malu-malu namun tak menundukkan kepalanya ke dalam kamar pangeran Justin. Namun sebelum ia masuk ke dalam kamarnya, Tuan Christopher menahan Sherene kembali. Berbisik sesuatu pada Sherene.
            “Kemarin pangeran Justin bertanya siapa namamu padaku,” bisik Tuan Christopher yang membuat Sherene kembali melangkah masuk. Seperti kemarin, pintu itu langsung tertutup ketika Sherene baru saja masuk  ke dalam kamar pangeran Justin. Tak sadar pipi Sherene telah memerah akibat perkataan Tuan Christopher tadi. Pangeran Justin bertanya siapa namanya? Saat masuk ke dalam kamar pangeran Justin, Sherene mendapati pangeran Justin sedang berada di atas tempat tidurnya setengah berbaring bersama dengan sebuah buku yang tak begitu tebal berada di tangannya. Pangeran Justin terlihat lebih tinggi lagi jika ia sedang berbaring seperti ini.
            “Pangeran Justin, sarapanmu telah datang,” ujar Sherene berusaha mengeluarkan suaranya yang lembut sekali. Justin yang tengah membaca buku itu mengangkat kepalanya dengan mata yang tertuju pada Sherene. Akhirnya ia bertemu dengan gadis ini lagi.
            “Kita berdua juga tahu, Sherene, sarapanku telah ada di tanganmu,” canda pangeran Justin yang tidak dimengerti oleh Sherene yang masih kecil itu. “Taruhlah di atas meja belajarku dan kemarilah sebentar,” suruh Justin. Bibir Sherene terkatup rapat, takut-takut ia mengucapkan kata-kata yang salah pada pangeran Justin. Ia berjalan menuju meja belajar pangeran Justin yang sangat bersih. Menaruh gelas yang berisikan susu perah alami kesukaan pangeran Justin bersama dengan roti terenak di negeri Persia. Siap menempatkan semua sarapan pagi pangeran Justin, Sherene berjalan mendekat pada tempat tidur Justin. Ia menundukkan kepalanya tidak berani melihat pangeran Justin. Justin yang memerhatikan Sherene berjalan ke arahnya menyunggingkan senyum kecil. Tingkah gadis kecil ini membuat Justin sangat gemas.
            “Apa yang sedang kausembunyikan?” Justin bertanya mengisyaratkan pada Sherene untuk mengangkat kepalanya dan memperlihatkan wajahnya yang sangat cantik itu. “Angkat kepalamu, Sherene,” suruh pangeran Justin dengan suara yang benar-benar lembut. Perbedaan perasaannya kemarin dan sekarang adalah Sherene tidak berkeringat sama sekali namun jantungnya masih berdetak kencang! Kali ini ia melihat pangeran Justin lebih dekat dan lebih intim.
            “Tidak ada pangeran,” gumam Sherene dengan suara yang kecil. Akhirnya Sherene mendongakkan kepalanya. Mata Justin yang berwarna cokelat menatap tepat dari atas ke arah mata hijau Sherene yang mengilau. Luar biasa cantik. Inikah haremku? Pikiran Justin terbang kemana-mana. Ia telah tahu tentang harem-harem itu meski ia tidak pernah memerhatikan harem-haremnya secara langsung tapi Sherene menghampirinya. Ia menginginkan Sherene saat ini juga tapi ia tahu, Sherene belum berumur 17 tahun sama sepertinya. Sherene belum matang benar.
            “Dari mana asalmu, Sherene?” pertanyaan yang Justin lontarkan sama seperti orang-orang yang baru pertama kali melihatnya sampai-sampai Sherene bosan menjawab pertanyaan itu.
            “Aku tidak tahu, pangeran,”
            “Mengapa kau tidak tahu?”
            “Aku bahkan tidak tahu mengapa aku masih bisa hidup sampai aku bertemu dengan sang Panglima, pangeran,” ucapan yang keluar dari mulut Sherene benar-benar tidak sopan karena itu memberikan kesan menantang pada sang pangeran. Meski pangeran Justin tersinggung ia masih memperlihatkan wibawanya sebagai pangeran. Pangeran Justin memakai jubah berwarna putih yang dikedua ujung lengan panjangnya berbentuk seperti terompet itu melambai-lambai. Mahkota daun-daun yang terbuat dari emas itu melingkar di sekitar kepalanya. Serta ikat pinggang selendang berwarna kuning keemasan telah melingkar di sekitar pinggangnya. Sangat tampan.
            “Kau bukan keturunan Persia?”
            “Kurasa begitu, pangeran,” gumam Sherene kembali. Ia yang memeluk nampannya semakin gugup, terbukti dari kuku-kukunya yang sekarang memutih karena ia meremas nampan logamnya karena kakinya seperti tak dapat menahan beban tubuhnya. Ia harus segera beranjak dari tempatnya.
            “Pergilah sekarang dari kamarku,” suruh pangeran Justin mengangkat dagunya tampak angkuh sekarang. Tak ingin dimarahi, Sherene segera beranjak dari tempatnya –lagi pula itulah yang Sherene inginkan sedari tadi, pergi dari hadapan pangeran.
            “Sherene!” Justin memanggil Sherene sebelum Sherene menyentuhkan tangannya pada pintu besar kamar pangeran. Pangeran Justin beranjak dari tempat tidurnya, tanpa beralas kaki ia berjalan menuju Sherene. Sherene melihat pangeran Justin yang tampak panik sebelum Sherene pergi. Oh, apa yang pangeran Justin inginkan sekarang padanya? Semoga bukan sesuatu yang buruk. Mereka telah berhadapan saling menatap mata satu sama lain. Keheningan menemani mereka dengan angin-angin yang masuk dari pintu balkon kamar pangeran Justin serta tirai-tirai putih yang tipis itu sekarang melambai-lambai di sisi seberang mereka.
            “Sherene,” panggil pangeran Justin kembali. Pangeran Justin menarik kepala bagian belakang Sherene ke atas sehingga sekarang kepala pangeran Justin terpaksa harus menunduk agar bibir mereka bertemu. Mata Sherene terbuka, terkejut setengah mati akan apa yang sedang pangeran Justin lakukan. Bibir mereka baru saja bertemu dan Sherene tidak merasakan getaran apapun selain perasaan keterkejutannya akibat perbuatan pangeran Justin yang tiba-tiba saja seperti ini. Tapi itu tidak berlangsung lama. Pangeran Justin segera menjauhkan kepalanya dari Sherene. Ini adalah kesalahan besar yang dibuat oleh pangeran Justin.
            “Pergilah,” suruh pangeran Justin kembali sambil menarik pintu kamarnya terbuka. Sherene tak berani menatap mata pangeran Justin yang sudah pasti sangat kecewa dengan balasan Sherene yang tak berpengalaman. “Sial,” gumam pangeran Justin menutup kembali pintunya setelah Sherene pergi dari hadapannya. Ia berpikir kembali apa yang baru saja ia lakukan tadi. Mengecup bibir gadis yang masih berumur 14 tahun? Seharusnya Justin menahan gejolak nafsu yang menyerangnya.
            Tapi mau bagaimana lagi? Hanya itu satu-satunya jalan agar Justin tidak akan merasa rindu pada Sherene yang hanyalah seorang pelayan di istana. Karena besok pagi, Justin tidak akan berada di istananya kembali.
            Ia harus pergi. Lagi.

***

            Kecupan bibir dari sang pangeran masih membekas di pikiran Sherene selama beberapa tahun. Mengetahui hari setelah kejadian itu pangeran Justin harus pergi dari istana membuat Sherene patah hati. Ia menangis tiap malamnya di belakang harem bersama dengan Patricia. Ia tidak tahu kapan pangeran Justin akan kembali. Ingatan Sherene terhadap wajah pangeran Justin sekarang telah samar-samar tak terlihat. Namun perasaannya pada pangeran Justin masih tetap saja sama. Apa benar yang dikatakan Patricia bahwa pangeran Justin sedang memikirkannya sekarang? Sherene memang telah bertumbuh menjadi gadis yang benar-benar cantik. Sekarang umurnya telah menginjak 22 tahun. Rambutnya harus selalu dipotong jika telah melewati batas bokongnya namun itu tidak mengurangi kecantikan Sherene. Sherene semakin cantik. Tubuhnya yang dulunya tak begitu berbentuk, sekarang ia memiliki tubuh yang sangat molek. Pastinya harem-harem yang lain sangat iri padanya. Tidak ada yang begitu berubah dari Sherene selain bentuk tubuh dan tingginya. Sudah lima tahun ini Sherene terperangkap di dalam harem bersama dengan teman-temannya. Mungkin hanya beberapa teman-temannya dipanggil keluar dari harem untuk melayani sang Raja.Tidak dengan Sherene, Sherene tidak pernah dipilih oleh sang Raja untuk berhubungan seks. Ya, sejak ia telah menginjak umur yang ke-17 tahun, seluruh harem ditahan tak boleh keluar dari istana kecil mereka. Namun beberapa tahun terakhir ini sang Raja tidak pernah memanggil harem-haremnya untuk keluar melayaninya. Patricia telah memberitahu pada Sherene apa penyebabnya. Sang Raja terserang penyakit mematikan yang sama seperti anak Patricia pernah derita.
            Banyak sekali tabib-tabib terkenal yang telah dipanggil untuk menyembuhkan penyakit Raja namun tidak ada penawarnya. Sekarang Raja harus terbaring lemah di atas tempat tidurnya. Ratu telah meninggal dua tahun sebelum Raja terserang penyakit. Tapi bagi Sherene sekarang tidak ada yang berarti. Harapannya telah pupus setelah pangeran pergi dari istana dan sampai sekarang tak pernah kembali. Sherene sekarang tidak begitu sering tersenyum seperti dulu. Terkadang Sherene mengelus bibirnya yang ranum itu berusaha mengingat bagaimana rasanya ketika bibirnya dikecup oleh sang pangeran. Waktu senja sangat cocok bagi Sherene yang tiap harinya hanya membuat kerajinan tangan yang tak dianggap –mungkin hanya Patricia yang menganggapnya karena Sherene tidak pernah memperlihatkan kerajinan tangannya pada orang lain selain Patricia. Tapi mungkin sore ini Sherene tidak ingin melakukan kebiasaannya di atas batu di depan kolam yang berhubungan langsung dengan air sungai. Ia hanya terduduk di batu yang sama seperti kemarin dan merenung.
            Baru saja ia ingin menenangkan diri dan mengingat kejadian 8 tahun yang lalu, tiba-tiba saja pintu belakang harem terbuka. “Sherry! Sherry! Pangeran Justin telah tiba-tiba untuk menggantikan Raja Xerxes yang telah meninggal satu bulan yang lalu!” Chista sahabatnya berteriak berlari sambil mengangkat gaunnya agar ia tidak tersandung oleh gaunnya sendiri. Sherene tentu tidak akan langsung percaya apa yang baru saja Chista katakan karena itu tidak masuk akal. Raja meninggal? Mengapa Sherene tidak mengetahuinya selama satu bulan ini? Oh, diberkatilah Raja Xerxes. Dan Patricia tidak memberitahu padanya selama satu bulan itu juga.
            “Raja Xerxes meninggal?” suara lembut Sherene akhirnya terdengar. Ia berjalan mendekati Chista sambil memegang rambutnya yang diikat kepang –sangat tebal. Chista menganggukan kepalanya.
            “Ya, saat itu juga Raja Xerxes dibawa ke Mesir! Dan sekarang pangeran Justin kembali dengan prajurit-prajurit!” Chista sangat girang. Chista pernah dipakai oleh sang Raja.
            “Kau berbohong,” gumam Sherene membalikkan kepalanya tak percaya. Entah perasaan apa yang Sherene rasakan sekarang tapi ada rasa bahagia sekaligus kecewa meski ia tak berhak merasakan itu terhadap sang pangeran yang akan segera menjadi Raja.
            “Untuk apa aku berbohong padamu, Sherry? Ia benar-benar ada sekarang. Dan besok adalah upacara penobatannya sebagai Raja. Malam ini ia menginginkan 4 harem di kamarnya! Kau bisa bayangkan itu? 4!” seru Chista yang sebenarnya melanggar peraturannya sebagai harem agar ia tidak begitu girang. Seorang harem tidak boleh terlalu girang. Sherene menganggukan kepalanya.
            “Apa menurutmu ia akan memilihku?” Sherene bertanya ragu-ragu tanpa membalikkan tubuhnya kembali pada Chista. Chista merenung.
            “Aku tidak tahu. Tapi kurasa kau tidak akan dipakai oleh pangeran Justin secara bersamaan dengan harem-harem lainnya. Melihat fisikmu yang terlihat sempurna seperti ini ..” Chista tidak melanjutkan perkataannya.
            “Sudahlah,” tukas Sherene tidak ingin dipuji terus menerus. “Apa kita dipersilahkan untuk keluar? Aku tidak pernah keluar dari harem ini jika aku tidak dipanggil keluar. Sedangkan kau, diizinkan. Apa kita boleh?” Sherene mulai mengangkat gaun bagian bawahnya untuk siap-siap beranjak dari tempatnya.
            “Tentu. Semuanya harus keluar untuk menyambut kedatangan pangeran Justin. Dan Patricia menyuruh kita untuk membantu mereka mempersiapkan penobatan Raja besok,” Chista menarik tangan Sherene cepat-cepat. Sherene benar-benar linglung. Pangeran Justin benar-benar ada di istana sekarang? Ia masih tak percaya.

***

*Sherene Madrigal POV*

            Aku masih tak percaya pangeran Justin sekarang benar-benar berada di hadapanku. Rasanya aku ingin sekali menangis mengingat terakhir kali ia bertemu denganku menciumku selama beberapa detik dan keesokan harinya ia pergi dari istana. Sekaran ia kelihatan lebih tinggi dan tubuhnya lebih besar dari yang sebelumnya. Ia bahkan seperti dewa Yunani yang tak rela mencampuri perkawinan mereka agar ketampanan mereka tetap terlihat murni. Di tengah-tengah pesta penyambutan kedatangannya, ia tidak menikmati penari erotis yang ada di hadapannya bersama dengan api di tengah-tengahnya. Lapangan istana yang sangat luas telah terisi oleh para bangsawan, prajurit, pelayan dan juga harem-harem yang lebih lama dibanding diriku yang masih baru. Pangeran Justin sepertinya tak menikmati hari penyambutannya mungkin dikarenakan kepergian Ayahnya. Cukup kesal karena aku tidak diberitahu oleh Patricia bahwa Raja Xerxes telah meninggal satu bulan yang lalu. Satu bulan adalah waktu yang sangat lama. Semua orang di lapangan menikmati pesta sambil meminum anggur dan daging. Aku tidak sama sekali menikmati pesta ini juga. Pangeran Justin menatap kosong api di atas tempat duduknya yang tinggi itu bersama dengan dua pelayan yang mengipasinya dari dua sisi. Ia hanya mengambil buah anggur dan memakannya dengan tenang.
            Pertanyaan yang memukul benakku sekarang, apa dia masih mengingatku? Seorang gadis yang ia kecup ketika gadis itu masih berumur 14 tahun? Kurasa tidak. Menyadari ia sungguh sibuk saat itu dan pastinya ia pergi keluar negeri bukan untuk bersantai-santai. Pasti banyak pekerjaan yang harus ia lakukan yang tentunya ia akan melupakan apa yang telah ia perbuat padaku. Bahkan mungkin sekarang ia telah melupakan bagaimana rupaku. Aku yang dikecupnya saja sudah samar-samar mengingat wajahnya namun sekarang ia datang dengan keadaan yang lebih tampan.
            Tiba-tiba saja pangeran Justin bangkit dan membisiki salah satu pelayan dan turun dari tempat duduknya melalui tangga. Aku memerhatikannya pergi dari lapangan, lenyap dari antara orang-orang yang menari diiringi musik kecapi. Chista yang berada di sebelahku ternyata memerhatikan pangeran Justin yang lenyap juga.
            “Siapa menurutmu yang akan diambil nanti?” tanya Chista berbisik di telingaku.
            “Eshter, Estatira, Sasanide, dan Nigan,” aku menebaknya.
            “Kau benar. Mereka memang yang paling sering dipakai oleh Raja. Siapa tahu saja pangeran juga menyukainya,”

            “Aku ingin tidur.” gumamku berusaha mengubur perasaan patah hati yang tiba-tiba muncul.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar