Tatapan-tatapan
ganas itu memerhatikan kepala rakyat yang tertunduk ketakutan. Tiga orang
lelaki perkasa yang salah satu diantaranya berjalan di depan dua yang lain.
Beberapa prajurit yang dikirim untuk mengambil gadis-gadis cantik dari desa
telah masuk ke dalam rumah kumuh rakyat mereka yang beberapa di antaranya
adalah budak di istana. Kaki mereka terus melangkah melewati desa itu, telinga
mereka terus menerus mendengar suara tangisan dari anak-anak gadis cantik yang
terpaksa harus diambil dari keluarganya. Gadis-gadis cantik itu seharusnya
beruntung karena mereka akan dikirimkan ke sebuah istana yang megah, namun
mereka takut jika sesuatu yang buruk terjadi pada mereka. Kemudian, lelaki
perkasa yang memimpin –Panglima—perjalanan ini memerhatikan salah dua
prajuritnya yang menarik seorang gadis berambut cokelat yang sangat cantik dari
sebuah rumah kumuh yang bahkan mungkin hanya satu petak. Ibu gadis itu memegang
tangan anaknya, berusaha untuk menahan dua prajurit yang mengambil anaknya. Air
mata membasahi pipi anak dan Ibu itu, tak ingin dipisahkan namun gadis cantik itu memang harus pergi. Seharusnya mereka beruntung karena anak
mereka akan dijaga di istana! Bodoh sekali!, Panglima itu menggerutu dalam
hati dengan dua alis yang saling bertaut. Ia kesal melihat orangtua gadis-gadis
yang mereka ambil terus menangis dan berharap anaknya tidak akan diambil oleh
pihak kerajaan atau bahkan prajurit-prajurit itu juga mengambil gadis-gadis
yang cantik sedang berjalan di sekitar desa dengan paksa tanpa sepengetahuan
orangtuanya. Tapi itu sudah menjadi keharusan bagi para orangtua yang memiliki
gadis cantik dengan tubuh yang molek. Akhirnya, tangan ibu gadis itu terlepas
dari tangan anaknya yang menjerit dengan jeritan yang sangat melengking,
memekakan telinga dua prajurit yang sedang menariknya untuk dimasukan ke dalam
sebuah kereta kuda. Ibu gadis itu kemudian ditarik oleh seorang lelaki yang
dapat disimpulkan bahwa itu adalah suaminya. Tapi, sang Panglima itu hanya
mendecak kesal melihat tingkah mereka yang dramatis.
Kembali
mereka melanjutkan perjalanan mereka. Sungguh bosan Panglima melihat
tangisan-tangisan yang mengiringi perjalanan. Terakhir kali ia menangis mungkin
saat ia kehilangan Ibunya dan sudah, itu tidak berlangsung lama. Ia benci
dengan yang namanya tangisan, kecuali saat matanya melihat pada seorang gadis
kecil yang meringkuk di sebuah mulut lorong ketakutan serta menangis dalam
diam. Kakinya berhenti melangkah, membuat dua orang yang mengikutinya dari
belakang ikut berhenti melangkah. Sementara para prajurit memperlakukan
gadis-gadis dari rumah kumuh dengan kasar, ia malah memerhatikan gadis kecil
dengan kulitnya yang putih namun terlihat sangat kotor akibat tanah dan
cairan-cairan lain yang mengotori tubuhnya dengan hatinya yang melunak begitu
saja. Gadis itu sepertinya tidak memiliki orangtua atau kerabat terdekat.
“Hei,
sedang apa kau di sini? Dimana orangtuamu?” suara berat dari Panglima itu
terdengar. Gadis yang menundukkan kepalanya itu mendongak, mata hijaunya yang
berkaca-kaca sekarang terlihat. Apa-apaan yang menyerang Panglima itu sekarang
saat melihat mata hijau gadis ini? Ia seperti melihat mata Ibunya kembali yang
memiliki warna mata hijau. Tapi gadis mata hijau itu terdiam dalam tangisnya,
ia tidak tahu apa yang harus ia katakan karena ia memang pendiam sejak lama.
Yah, ia bahkan tidak mengerti mengapa ia masih dapat bertahan hidup sekarang.
“Berapa
umurmu?” tanya pemimpin itu kembali. Gadis mata hijau ini bahkan tidak tahu
berapa umurnya sekarang! “Ambil gadis itu sekarang, bawa dia ke istana. Dia
cantik,” si pemimpin memerintah dua orang di belakangnya. Tak perlu diperintah
dua kali, mereka berjalan dari belakang dan mengangkat kedua tangan gadis itu
untuk berdiri dari tempatnya. Rasanya gadis itu ingin berteriak minta tolong,
tapi ia berpikir kembali, memang siapa yang akan menolongnya? Setelah beberapa
detik ia melihat situasi desanya yang sekarang seperti dijajah itu, ia sadar
bahwa tidak akan ada yang peduli padanya. Ia hanya panik, terlihat dari tatapan
matanya yang bingung serta ketakutan. Namun ia tetap dibawa oleh dua orang
pembantu si pemimpin menuju kereta kuda yang berada tidak jauh dari tempat
mereka berdiri. Hari mulai senja, mereka harus segera pulang dan menyimpan
gadis-gadis muda ini ke istana. Membersihkan mereka.
Satu
hal yang tidak disadari Panglima itu: dari tadi ia memerhatikan gadis kecil itu
yang pasrah masuk ke dalam kereta kuda. Lalu ia tersadar pada akhirnya. Ia
kembali ke dalam dunia nyata dengan pemikiran yang konyol. Tidak mungkin ia
menyukai gadis sepertinya. Tapi kenyataannya, yang membuatnya terus memandangi
gadis kecil itu adalah rambutnya. Rambutnya yang terlihat kotor itu sangat
jelek, namun panjang. Warnanya, bukan warna rambut gadis-gadis pada umumnya dari
Persia. Ya, Persia, negerinya.
Dari
manakah gadis itu berasal? Ia melanjutkan kembali langkahannya, mempercepat
pekerjaan mereka.
***
Rata-rata
gadis yang diambil dari para rakyat desa itu berumur 12 tahun. Mereka baru saja
dibersihkan di sebuah ruang kamar mandi yang sangat luas dengan kolam yang
mendapatkan air langsung dari sungainya. Baru beberapa jam ditinggalkan oleh
kedua orangtuanya, mereka sekarang terlihat begitu bahagia karena mereka baru
sadar, mereka berada di dalam istana. Dimana hanya orang-orang tertentu yang
boleh masu ke dalam istana. Pakaian yang mereka kenakan sekarang bukanlah
pakaian kumuh seperti dulu, justru sekarang mereka sedang memuji pakaian mereka
satu sama lain. Ya, mereka sudah saling berteman sekarang. Kecuali dengan si
mata hijau yang berbeda dari antara yang lain.
Harem
yang besar itu berisikan banyak tempat tidur mewah, tapi bagi gadis desa itu,
tempat tidur ini terlihat sangat mewah. Si mata hijau terduduk di salah satu
tempat tidurnya yang luas bagi tubuhnya yang mungil. Ia memerhatikan
teman-temannya yang masih muda juga tertawa-tawa bahagia dengan suara mereka
yang cempreng. Ia tidak punya siapa-siapa dan tidak akan ada yang ingin
menemaninya. Justru beberapa diantara mereka yang menatapi si mata hijau itu
menatapnya dengan tatapan sinis. Tentu saja! Mereka begitu iri karena mereka
tidak memiliki rambut berwarna emas madu seperti si mata hijau miliki! Beberapa
di antara mereka juga berbisik-bisik saat menatapi si mata hijau. Sampai pada
akhirnya, di tengah-tengah keributan gadis-gadis itu, pintu besar terbuka.
Deritan suara pintu besar itu membuat gadis-gadis itu berhenti berteriak,
tertawa, dan berbicara. Mereka langsung menghadapkan kepala mereka ke arah
pintu besar itu. Si mata hijau mengangkat kepalanya untuk melihat siapa yang
datang lalu ia mengingat lelaki yang bertanya padanya beberapa waktu yang lalu.
Lelaki yang bertanya dimana orangtuanya.
“Kalian
akan dipersiapkan untuk menjadi harem bagi Raja sampai umur kalian berumur 17
tahun dan setelah itu kalian tidak akan pernah bertemu dengan siapa pun lagi
selain teman-teman harem di sini. Kalian akan diperlakukan sebaik mungkin di
istana ini. Tidak ada salah satu di antara kalian akan pergi dari tempat ini.
Para pelayan akan mengurusi kalian satu per satu agar tetap cantik serta kalian
akan diberikan jadwal untuk membawakan makanan bagi para prajurit di istana.
Kepala pelayan kalian, Patricia, akan memberitahu apa saja yang akan kalian
lakukan di istana ini,” suara tegas dari Panglima itu membuat gadis-gadis itu
menegakkan tubuhnya. Tidak berkata apapun lagi, Panglima keluar dari harem yang
besar itu dengan kedua tangan berada di balik punggungnya. Harem itu tampak
seperti istana kecil di dalam istana, semacam puri-puri khusus bagi para
gadis-gadis itu. Setelah ia keluar, beberapa pelayan masuk ke dalam ruangan
besar itu lalu menutup pintunya. Mereka berjalan, menghampiri gadis-gadis yang
terdiam memerhatikan mereka lalu akhirnya semuanya kembali berbicara. Ruangan
itu hanya diberi pencahayaan dari lilin yang tertempel di dinding batu ruangan
itu. Gadis-gadis itu sangat banyak –yang kebanyakan di antara mereka adalah
gadis-gadis yang sudah lama tinggal sebagai harem di istana, bahkan susah
dihitung untuk para pelayan yang masuk tadi.
Mata
hijau gadis itu memerhatikan salah satu pelayan yang belum bercengkrama dengan
gadis-gadis seperti pelayan lain lakukan. Sepertinya ia adalah kepala pelayan.
Berada di tempat tidur paling ujung, mata hijau menyandarkan tubuhnya pada
tembok dan berpikir, untuk apa ia hidup. Ia bahkan tidak tahu siapa Ayah dan
Ibunya yang sebenarnya. Ia tidak tahu asal-usulnya dari mana. Dan ia tidak
mengerti mengapa ia masih dapat hidup.
“Siapa
namamu?” suara lembut dari seorang pelayan menyeruak masuk ke dalam telinganya.
Ia yang melamun itu langsung memalingkan kepalanya pada kepala pelayan yang
sangat cantik itu. Bibirnya terkatup rapat, ketakutan. Tapi saat ia melihat
tatapan lembut dari kepala pelayan itu ia membuka mulutnya.
“Sherene.
Sherene Madrigal,” ujarnya. Suara Sherene sangat halus dan lembut, bahkan
kepala pelayan itu langsung menyimpulkan bahwa Sherene tidak dapat berteriak
kencang. Kemudian, kepala pelayan terduduk di atas tempat tidur Sherene dan
memegang tangan Sherene yang berwarna putih susu serta lembut. Dari mana
Sherene berasal?
“Kau
tidak seperti gadis-gadis Persia pada umumnya. Dari mana asalmu, Sherene?”
kepala pelayan itu penasaran. Ia mengelus lembut tangan Sherene dan tersenyum.
Tatapan hangat dari mata cokelat kepala pelayan itu membuat hati Sherene
melunak. Ia rasa kepala pelayan ini tidak akan berbuat yang jahat padanya.
“Aku
tidak tahu. Tapi orang-orang selalu menatapiku dengan tatapan bingung. Apa ada
yang salah denganku?” Sherene bertanya penuh dengan ekspresi polos yang membuat
tangan kepala pelayan itu terangkat dan mengelus rambut Sherene yang sangat lembut.
“Tidak
ada yang salah darimu, Sherene,” kepala pelayan menekan nada suaranya saat
menyebut nama Sherene. “Hanya rambutmu yang membuat orang bertanya-tanya, dari
mana asalmu. Kau memiliki rambut yang sangat cantik. Emas madu yang mengilau.
Apa kau mau jika aku mengurus rambutmu ini hingga benar-benar panjang? Kau akan
menjadi gadis tercantik di negeri ini,”
“Apa
jika aku adalah gadis tercantik maka semua orang akan datang dan berteman
denganku?”
“Bahkan
kau akan menaklukan hati Raja kelak hanya dengan mengibaskan rambut emas
gelombangmu itu,” rayu kepala pelayan itu mengelus rambut Sherene kembali. Tapi
Sherene sangat senang karena akhirnya ia bertemu dengan seseorang yang
benar-benar berbicara dengannya. Berbicara tentang dirinya. Sherene hanya mengangguk dan itu sudah dapat membuat senyum
kepala pelayan melebar.
“Berapa
umurmu?”
“Dua
belas tahun? Aku tidak yakin,”
“Kau
boleh memanggilku, Patricia,” Patricia –kepala pelayan—mengelus pipi Sherene
dengan punggung tangannya. Patricia sebelumnya tidak pernah bertemu dengan
gadis secantik Sherene. Mata hijau dan rambut emas madu yang jika terus dirawat
akan menghasilkan rambut yang sangat mengilau. Patrcia sudah bekerja di istana
selama dua belas tahun dan baru kali ini ia bersikap sangat lembut pada seorang
gadis. Tentu saja. Gadis ini mengingatkan anak pertamanya yang lahir dengan
warna kulit seputih susu dan kepolosannya, namun ia tidak dapat melihat anaknya
dalam jangka waktu yang lama akibat penyakit yang mematikan yang menyerang
anaknya. Dan anak pertamanya adalah hasil percintaannya dengan sang Raja yang
sekarang masih menjadi Raja. Tentu, ia adalah harem di istana ini. Ia adalah
harem yang sering dipakai oleh sang Raja.
Dan,
itu juga akan terjadi Sherene.
Sherene
akan menjadi harem suatu saat nanti. Hanya waktu yang akan mendatangkannya.
“Kurasa
aku berumur dua belas tahun, Patricia,”
***
Kehidupan
Sherene lebih baik dibanding kehidupannya yang dulu. Sekarang ia memiliki
banyak teman di istana. Meski teman-temannya hanyalah sekumpulan prajurit. Tapi
sangat menyenangkan jika tiap hari ia mendengarkan cerita-cerita dari para
prajurit yang baru saja bertugas dengan cerita lucu mereka. Tak jarang Sherene
tidak ingin masuk ke dalam ruang tidurnya hanya untuk mendengarkan kelanjutan
cerita dari para prajurit. Rambutnya yang awalnya tidak begitu bersinar,
sekarang tampak mengilau setelah selama dua tahun telah dirawat oleh Patricia.
Sekarang ia telah bertumbuh menjadi seorang gadis remaja yang luar biasa cantik
dengan bibir yang ranum, bulu yang lentik dan warna mata hijau menghias
matanya. Tak lupa rambutnya yang luar biasa indah.
Sherene
tidak peduli jika ia tidak memiliki teman sebayanya karena ia lebih menyukai
mendengar pengalaman-pengalaman dari orang-orang yang lebih tua darinya. Karena
dari cerita orang-orang yang lebih tua darinya dapat membuatnya lebih
berhati-hati dan banyak belajar. Dibanding harus berbicara tentang pangeran,
anak Raja yang katanya sangat tampan itu. Ia tidak pernah melihat pangeran Raja
sebelumnya dan ia juga tidak berniat untuk melihatnya. Menjadi pelayan mungkin
adalah bakatnya, tidak ada lagi yang ia perlukan lagi di dunia ini selain
pekerjaan menjadi pelayan.
Gaun
putih dengan lengan panjang yang bagaikan terompet itu melambai-lambai
sepanjang Sherene berjalan cepat masuk ke dalam ruang tidurnya agar ia tidak
terkena hukuman dari pelayan lain karena terlambat tidur. Ia mendorong pintu
besar ruangnya dan masuk ke dalam. Semua gadis di dalamnya menatapi Sherene
yang rambutnya dikepang panjang namun menyisakan rambut depannya. Keributan
para gadis yang sama bertumbuh dengan Sherene itu mengalami jeda beberapa saat
lalu kembali mereka berbicara kembali. Sherene menundukkan kepalanya, melewati
tempat tidur gadis lain. Tempat tidurnya sangat jauh, berada di ujung. Sepanjang
ia berjalan, ia mendengar tawaan-tawaan dari gadis-gadis yang saling bercerita
tentang pangeran tampan. Sebenarnya, pangeran itu tampan seperti apa? Mengapa
pangeran itu selalu dipuja-puja? Ah, ya, Sherene baru saja ingat. Besok pagi ia
harus membawakan sarapan pagi bagi pangeran untuk yang pertama kalinya. Setelah
dua tahun ia melayani prajurit, sekarang ia melayani bangsawan-bangsawan di
atas prajurit. Tapi besok ia harus membawakan sarapan bagi pangeran.
“Sherene,
kudengar kau akan melayani pangeran. Kau sangat beruntung,” Chista, teman
sebelah tempat tidurnya membuat Sherene tersentak. Ia telah sampai di tempat
tidurnya.
“Mengapa
aku bisa beruntung? Aku bukan satu-satunya,” Sherene tidak ingin terlihat
sombong. Dan memang tidak ada niatan untuk bersikap sombong pada temannya. Ia
hanya tidak ingin membahas tentang pangeran istana.
“Kau
bertemu dengannya. Gadis-gadis di ruangan ini sedang membicarakannya! Ia baru
saja datang dari luar negeri dan tinggal di sini untuk beberapa tahun ke depan
karena suatu saat ia akan menjadi Raja di sini. Dia memang sangat tampan! Kau
harus melihat mata cokelat madunya yang menawan, aku seperti melihat bunga
mawar mekar diantara mawar busuk!” seru Chista sangat bersemangat.
“Yah,
aku sangat bangga akan melayani pangeran nanti. Tapi aku tidak yakin dengan
ketampanannya, lagipula, aku bekerja di sini bukan untuk membuat pangeran
tertarik padaku,”
“Terkadang
kau harus memikirkan masa depanmu, Sherry. Siapa tahu dewa Cinta memutuskan
bahwa kau adalah kekasih sejati bagi pangeran,”
“Aku
tidak mengerti apa yang sedang kaubicarakan,” Sherene yang dari tadi terduduk
sekarang membaringkan tubuhnya ke atas tempat tidur dan menelentangkan
tubuhnya. Ia memejamkan mata berusaha untuk terlelap.
“Semoga
kau beruntung besok!” seru Chista, akhirnya selesai.
***
Pagi
itu tampaknya gadis-gadis itu baru saja dimandikan oleh pelayan-pelayan itu
dengan bersih. Rambut mereka disisir sangat rapi dan dibentuk sedemikian rupa
agar menjadi gadis yang sangat menarik. Satu per satu gadis itu keluar dari
harem dengan pakaian mereka yang cantik. Sedangkan Sherene sedang tersenyum
senang menatapi kaca yang ada di hadapannya. Patricia dengan tangannya yang
terampil mengikat kepang rambut Sherene yang mengilau. Rambut Sherene sangat
halus dan lembut, ia memiliki warna rambut yang sangat cerah. Dimana Sherene
akan melangkah saat itu mata-mata lelaki dan perempuan akan terus tertuju
padanya. Sherene telah mengendalikan dirinya agar tidak merasa risih dengan
mata yang terus mengikutinya. Prajurit-prajurit di istana pun selalu memujinya
dengan rambutnya yang memukau. Sherene menundukkan kepalanya menahan senyum
yang tak kunjung berhenti menerpa wajahnya untuk tak tersenyum. Tapi mau
bagaimana lagi? Ia ignin sekali tersenyum di pagi yang cerah ini. Bahkan dari
taman harem terlihat burung-burung yang bertengger di salah satu tangkai pohon
di taman itu dan berkicau, bernyanyi menemani pagi Sherene yang penuh dengan
sukacita.
Patricia
ikut tersenyum dengan tangan yang masih bergerak mengikat rambut Sherene yang
lembut itu. Kemudian ia membuka mulutnya ingin bertanya mengapa gadis
kesayangannya tersenyum-senyum tak jelas.
“Baiklah,
aku penasaran apa yang terjadi denganmu. Apa yang membuatmu tersenyum pagi ini,
Sherene?” Patricia tidak pernah memanggil Sherene dengan panggilan Sherry,
mungkin hanya kalangan teman-temannya saja yang memanggilnya Sherry. Tapi tidak
dengan Patricia karena menurutnya, nama Sherene adalah nama yang sangat cantik.
Sherene menggigit bibir bawahnya yang berwarna merah muda itu dan melirik
Patricia yang tidak menatapnya, melainkan rambutnya.
“Aku
hanya berpikir, mengapa harus aku yang dipilih untuk melayani pangeran? Aku
membayangkan wajah pangeran, anak Raja itu adalah lelaki yang sangat tampan.
Apa dia tampan, Patricia?” Sherene tidak boleh berbohong, ia tidak bisa
berbohong karena ia tidak ingin ketahuan. Tidak seperti teman-temannya yang
mungkin hanya beberapa saja tidak berbohong. Tapi rata-rata mereka adalah
gadis-gadis yang cabul! Sherene tidak suka dengan mereka kecuali mereka-mereka
yang masih polos. Dan soal tadi malam ia tidak begitu peduli dengan pangeran
ternyata salah. Ia sangat penasaran dengan pangeran yang katanya tampan itu!
Patricia tertawa seperti Ratu yang tidak boleh terlalu girang.
“Tentu
saja pangeran sangat tampan. Ia memiliki mata cokelat yang hangat dan serta ia
sangat ramah pada gadis-gadis sepertimu. Apa kau akan menyukainya?”
“Apa
menurutmu aku akan menyukainya?” Sherene melirik kembali Patricia yang baru
saja melepaskan tangannya dari rambut Sherene yang telah terhias indah bersama
dengan bunga-bunga di sana. Patricia mundur beberapa langkah untuk melihatnya
dari jarak jauh kemudian senyumnya semakin mengembang dan tersenyum lalu
melihat Sherene dari kaca.
“Kurasa
pangeran yang akan menyukaimu nanti,” goda Patricia yang semakin membuat
Sherene tersipu malu. “Ayo, cepat-cepat! Kau harus tampil cantik di hadapannya
nanti dengan sarapan pagi kesukaannya. Kau tidak ingin melihat seorang pangeran
marah bukan?”
“Bagaimana
penampilanku, Patricia? Aku takut dia tidak menyukai penampilanku!” seru
Sherene antara girang dan ketakutan. Ia berdiri dari tempat duduknya dan
membalikkan tubuhnya, ia memperlihatkan tubuhnya pada Patricia agar Patricia
menilai penampilannya.
“Kau
lebih dari sempurna, Sherene! Ayo cepat, masih ada teman-temanmu yang harus
dihias rambutnya. Kau tidak ingin teman-temanmu terlambat juga bukan?” Patricia
bagaikan Ibu kandung Sherene yang tidak dapat Sherene bantah. Ia segera
berjalan cepat keluar dari puri untuk pergi ke dapur dan mengambil sarapan bagi
Raja.
“Tunggu
dulu, Patricia!” teriak Sherene yang hampir saja keluar dari ruangan itu.
“Ada
apa Sherene?” Patricia yang baru saja ingin menarik salah satu gadis yang
selesai berpakaian itu langsung membalikkan tubuhnya saat Sherene berteriak
memanggilnya.
“Siapa
nama pangeran?”
“Justin.
Justin Cyrus Xerxes, Sherene. Cepatlah!”
***
“Halo,
Tuan Christopher. Aku ingin membawakan sarapan untuk pangeran,” sapa Sherene
yang kedua tangannya sedang memegang nampan logam serta sarapan pagi bagi
pangeran. Christopher, penjaga kamar Justin melirik Sherene kemudian ia
tersenyum. Ya, mereka berdua juga sangat dekat sejak Sherene datang ke istana
ini.
“Halo,
Sherene. Kau tampak sangat sempurna pagi ini. Sempurna untuk pangeran?”
“Tuan
Christopher!” seru Sherene tersipu malu. Pipinya bersemu merah saat Christopher
menggodanya. Tapi Christopher tidak ingin tangan Sherene pegal hanya karena
mereka bersenda gurau di depan kamar pangeran. Lebih lagi, ia tidak ingin
mendapat murka dari pangeran yang masih terbilang muda. Langsung saja tangan
besarnya itu membukakan pintu kamar pangeran yang megah serta luas itu. Sherene
mengumpulkan seluruh tenaganya untuk tidak terlihat gugup. Setelah menghitung
satu sampai sepuluh untuk menenangkan diri, Sherene menegakkan kepalanya lalu
melangkah masuk ke dalam kamar pangeran. Baru saja Sherene berada di dalam
kamar pangeran, pintu kamarnya tertutup. Dasar Tuan Christopher! Sherene
menggerutu dalam hati. Ia tidak melihat pangeran tertidur di atas tempat tidur
besarnya dengan empat tiang kokoh yang menemani tempat tidur itu. Melainkan
matanya langsung melihat pada seorang lelaki yang pastinya lebih tua darinya
sedang terduduk di sebuah kursi di belakang meja sedang membaca sebuah buku.
“Sarapan
pagi, Tuan Justin,” Ah, ya ampun! Apa yang baru saja Sherene katakan tadi? Tuan
Justin? Itu sangat memalukan. Seharusnya ia memanggil Pangeran Justin atau
semacamnya. Tapi, Tuan Justin? Justin yang sibuk belajar itu mendongakkan
kepalanya lalu mendesah pelan.
“Taruh
saja di atas meja belajarku, mengapa kau lama sekali datang? Aku sudah
kelaparan di sini,” gerutu pangeran Justin marah. Saat Sherene melihat pangeran
Justin mendongakkan kepalanya, kakinya melemas tak terkendali. Jantungnya terus
berdetak kencang dengan keringat yang mulai keluar dari permukaan kulitnya.
“Tapi, sudahlah. Taruh saja di atas meja belajar,” lanjut Justin tak peduli
lalu ia menatap Sherene. Tapi sama, seperti sang Panglima yang bertemu dengan
Sherene dua tahun yang lalu, Justin tidak dapat memalingkan kepalanya dari
gadis yang sedang menaruh sarapan paginya ke atas meja belajarnya.
“Saya
permisi, Pangeran,” Sherene membungkukkan tubuhnya setelah ia memeluk nampannya
yang kosong.
“Ya,
terima kasih,” Justin harus tetap terlihat maskulin. Di umurnya yang ke tujuh
belas ini, ia harus berlatih menjadi Raja yang baik. Karena tentu saja Ayahnya
tidak akan menjadi Raja selamanya. Namun mata Justin tak kunjung lepas pandang
dari Sherene yang membuka pintu kamarnya. Tangan mungil itu menarik pintu
kamarnya yang besar dan berat. Harus Justin akui, selama ini ia tidak pernah
melihat gadis secantik gadis itu. Bahkan ia tidak bertanya siapa nama gadis
itu!
Terlebih
lagi yang membuatnya tak berhenti menatapi gadis itu karena rambutnya yang
dihias sedemikian rupa namun tetap memperlihatkan kecantikan dari rambutnya
yang Justin tahu, pasti gadis itu bukan gadis keturunan Persia. Lalu gadis itu
berasal dari mana?
Justin
tersentak dan pandangannya langsung kabur. Pintu sialan! Gadis itu telah
lenyap.
Namun
senyum Justin tak lenyap setelah gadis itu pergi, bayang-bayang wajah gadis
tadi masih menemani Justin. Mata hijau, bulu mata lentik, kulit yang terlihat
sangat halus serta rambut yang menawan. Dari mana Panglima mendapatkan gadis
cantik itu? Justin termenung.
besok lagi baru dipost:)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar