Minggu, 25 Agustus 2013

Innocent Bab 1








            Tatapan-tatapan ganas itu memerhatikan kepala rakyat yang tertunduk ketakutan. Tiga orang lelaki perkasa yang salah satu diantaranya berjalan di depan dua yang lain. Beberapa prajurit yang dikirim untuk mengambil gadis-gadis cantik dari desa telah masuk ke dalam rumah kumuh rakyat mereka yang beberapa di antaranya adalah budak di istana. Kaki mereka terus melangkah melewati desa itu, telinga mereka terus menerus mendengar suara tangisan dari anak-anak gadis cantik yang terpaksa harus diambil dari keluarganya. Gadis-gadis cantik itu seharusnya beruntung karena mereka akan dikirimkan ke sebuah istana yang megah, namun mereka takut jika sesuatu yang buruk terjadi pada mereka. Kemudian, lelaki perkasa yang memimpin –Panglima—perjalanan ini memerhatikan salah dua prajuritnya yang menarik seorang gadis berambut cokelat yang sangat cantik dari sebuah rumah kumuh yang bahkan mungkin hanya satu petak. Ibu gadis itu memegang tangan anaknya, berusaha untuk menahan dua prajurit yang mengambil anaknya. Air mata membasahi pipi anak dan Ibu itu, tak ingin dipisahkan namun gadis  cantik itu memang harus pergi. Seharusnya mereka beruntung karena anak mereka akan dijaga di istana! Bodoh sekali!, Panglima itu menggerutu dalam hati dengan dua alis yang saling bertaut. Ia kesal melihat orangtua gadis-gadis yang mereka ambil terus menangis dan berharap anaknya tidak akan diambil oleh pihak kerajaan atau bahkan prajurit-prajurit itu juga mengambil gadis-gadis yang cantik sedang berjalan di sekitar desa dengan paksa tanpa sepengetahuan orangtuanya. Tapi itu sudah menjadi keharusan bagi para orangtua yang memiliki gadis cantik dengan tubuh yang molek. Akhirnya, tangan ibu gadis itu terlepas dari tangan anaknya yang menjerit dengan jeritan yang sangat melengking, memekakan telinga dua prajurit yang sedang menariknya untuk dimasukan ke dalam sebuah kereta kuda. Ibu gadis itu kemudian ditarik oleh seorang lelaki yang dapat disimpulkan bahwa itu adalah suaminya. Tapi, sang Panglima itu hanya mendecak kesal melihat tingkah mereka yang dramatis.
            Kembali mereka melanjutkan perjalanan mereka. Sungguh bosan Panglima melihat tangisan-tangisan yang mengiringi perjalanan. Terakhir kali ia menangis mungkin saat ia kehilangan Ibunya dan sudah, itu tidak berlangsung lama. Ia benci dengan yang namanya tangisan, kecuali saat matanya melihat pada seorang gadis kecil yang meringkuk di sebuah mulut lorong ketakutan serta menangis dalam diam. Kakinya berhenti melangkah, membuat dua orang yang mengikutinya dari belakang ikut berhenti melangkah. Sementara para prajurit memperlakukan gadis-gadis dari rumah kumuh dengan kasar, ia malah memerhatikan gadis kecil dengan kulitnya yang putih namun terlihat sangat kotor akibat tanah dan cairan-cairan lain yang mengotori tubuhnya dengan hatinya yang melunak begitu saja. Gadis itu sepertinya tidak memiliki orangtua atau kerabat terdekat.
            “Hei, sedang apa kau di sini? Dimana orangtuamu?” suara berat dari Panglima itu terdengar. Gadis yang menundukkan kepalanya itu mendongak, mata hijaunya yang berkaca-kaca sekarang terlihat. Apa-apaan yang menyerang Panglima itu sekarang saat melihat mata hijau gadis ini? Ia seperti melihat mata Ibunya kembali yang memiliki warna mata hijau. Tapi gadis mata hijau itu terdiam dalam tangisnya, ia tidak tahu apa yang harus ia katakan karena ia memang pendiam sejak lama. Yah, ia bahkan tidak mengerti mengapa ia masih dapat bertahan hidup sekarang.
            “Berapa umurmu?” tanya pemimpin itu kembali. Gadis mata hijau ini bahkan tidak tahu berapa umurnya sekarang! “Ambil gadis itu sekarang, bawa dia ke istana. Dia cantik,” si pemimpin memerintah dua orang di belakangnya. Tak perlu diperintah dua kali, mereka berjalan dari belakang dan mengangkat kedua tangan gadis itu untuk berdiri dari tempatnya. Rasanya gadis itu ingin berteriak minta tolong, tapi ia berpikir kembali, memang siapa yang akan menolongnya? Setelah beberapa detik ia melihat situasi desanya yang sekarang seperti dijajah itu, ia sadar bahwa tidak akan ada yang peduli padanya. Ia hanya panik, terlihat dari tatapan matanya yang bingung serta ketakutan. Namun ia tetap dibawa oleh dua orang pembantu si pemimpin menuju kereta kuda yang berada tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Hari mulai senja, mereka harus segera pulang dan menyimpan gadis-gadis muda ini ke istana. Membersihkan mereka.
            Satu hal yang tidak disadari Panglima itu: dari tadi ia memerhatikan gadis kecil itu yang pasrah masuk ke dalam kereta kuda. Lalu ia tersadar pada akhirnya. Ia kembali ke dalam dunia nyata dengan pemikiran yang konyol. Tidak mungkin ia menyukai gadis sepertinya. Tapi kenyataannya, yang membuatnya terus memandangi gadis kecil itu adalah rambutnya. Rambutnya yang terlihat kotor itu sangat jelek, namun panjang. Warnanya, bukan warna rambut gadis-gadis pada umumnya dari Persia. Ya, Persia, negerinya.
            Dari manakah gadis itu berasal? Ia melanjutkan kembali langkahannya, mempercepat pekerjaan mereka.

***

            Rata-rata gadis yang diambil dari para rakyat desa itu berumur 12 tahun. Mereka baru saja dibersihkan di sebuah ruang kamar mandi yang sangat luas dengan kolam yang mendapatkan air langsung dari sungainya. Baru beberapa jam ditinggalkan oleh kedua orangtuanya, mereka sekarang terlihat begitu bahagia karena mereka baru sadar, mereka berada di dalam istana. Dimana hanya orang-orang tertentu yang boleh masu ke dalam istana. Pakaian yang mereka kenakan sekarang bukanlah pakaian kumuh seperti dulu, justru sekarang mereka sedang memuji pakaian mereka satu sama lain. Ya, mereka sudah saling berteman sekarang. Kecuali dengan si mata hijau yang berbeda dari antara yang lain.
            Harem yang besar itu berisikan banyak tempat tidur mewah, tapi bagi gadis desa itu, tempat tidur ini terlihat sangat mewah. Si mata hijau terduduk di salah satu tempat tidurnya yang luas bagi tubuhnya yang mungil. Ia memerhatikan teman-temannya yang masih muda juga tertawa-tawa bahagia dengan suara mereka yang cempreng. Ia tidak punya siapa-siapa dan tidak akan ada yang ingin menemaninya. Justru beberapa diantara mereka yang menatapi si mata hijau itu menatapnya dengan tatapan sinis. Tentu saja! Mereka begitu iri karena mereka tidak memiliki rambut berwarna emas madu seperti si mata hijau miliki! Beberapa di antara mereka juga berbisik-bisik saat menatapi si mata hijau. Sampai pada akhirnya, di tengah-tengah keributan gadis-gadis itu, pintu besar terbuka. Deritan suara pintu besar itu membuat gadis-gadis itu berhenti berteriak, tertawa, dan berbicara. Mereka langsung menghadapkan kepala mereka ke arah pintu besar itu. Si mata hijau mengangkat kepalanya untuk melihat siapa yang datang lalu ia mengingat lelaki yang bertanya padanya beberapa waktu yang lalu. Lelaki yang bertanya dimana orangtuanya.
            “Kalian akan dipersiapkan untuk menjadi harem bagi Raja sampai umur kalian berumur 17 tahun dan setelah itu kalian tidak akan pernah bertemu dengan siapa pun lagi selain teman-teman harem di sini. Kalian akan diperlakukan sebaik mungkin di istana ini. Tidak ada salah satu di antara kalian akan pergi dari tempat ini. Para pelayan akan mengurusi kalian satu per satu agar tetap cantik serta kalian akan diberikan jadwal untuk membawakan makanan bagi para prajurit di istana. Kepala pelayan kalian, Patricia, akan memberitahu apa saja yang akan kalian lakukan di istana ini,” suara tegas dari Panglima itu membuat gadis-gadis itu menegakkan tubuhnya. Tidak berkata apapun lagi, Panglima keluar dari harem yang besar itu dengan kedua tangan berada di balik punggungnya. Harem itu tampak seperti istana kecil di dalam istana, semacam puri-puri khusus bagi para gadis-gadis itu. Setelah ia keluar, beberapa pelayan masuk ke dalam ruangan besar itu lalu menutup pintunya. Mereka berjalan, menghampiri gadis-gadis yang terdiam memerhatikan mereka lalu akhirnya semuanya kembali berbicara. Ruangan itu hanya diberi pencahayaan dari lilin yang tertempel di dinding batu ruangan itu. Gadis-gadis itu sangat banyak –yang kebanyakan di antara mereka adalah gadis-gadis yang sudah lama tinggal sebagai harem di istana, bahkan susah dihitung untuk para pelayan yang masuk tadi.
            Mata hijau gadis itu memerhatikan salah satu pelayan yang belum bercengkrama dengan gadis-gadis seperti pelayan lain lakukan. Sepertinya ia adalah kepala pelayan. Berada di tempat tidur paling ujung, mata hijau menyandarkan tubuhnya pada tembok dan berpikir, untuk apa ia hidup. Ia bahkan tidak tahu siapa Ayah dan Ibunya yang sebenarnya. Ia tidak tahu asal-usulnya dari mana. Dan ia tidak mengerti mengapa ia masih dapat hidup.
            “Siapa namamu?” suara lembut dari seorang pelayan menyeruak masuk ke dalam telinganya. Ia yang melamun itu langsung memalingkan kepalanya pada kepala pelayan yang sangat cantik itu. Bibirnya terkatup rapat, ketakutan. Tapi saat ia melihat tatapan lembut dari kepala pelayan itu ia membuka mulutnya.
            “Sherene. Sherene Madrigal,” ujarnya. Suara Sherene sangat halus dan lembut, bahkan kepala pelayan itu langsung menyimpulkan bahwa Sherene tidak dapat berteriak kencang. Kemudian, kepala pelayan terduduk di atas tempat tidur Sherene dan memegang tangan Sherene yang berwarna putih susu serta lembut. Dari mana Sherene berasal?
            “Kau tidak seperti gadis-gadis Persia pada umumnya. Dari mana asalmu, Sherene?” kepala pelayan itu penasaran. Ia mengelus lembut tangan Sherene dan tersenyum. Tatapan hangat dari mata cokelat kepala pelayan itu membuat hati Sherene melunak. Ia rasa kepala pelayan ini tidak akan berbuat yang jahat padanya.
            “Aku tidak tahu. Tapi orang-orang selalu menatapiku dengan tatapan bingung. Apa ada yang salah denganku?” Sherene bertanya penuh dengan ekspresi polos yang membuat tangan kepala pelayan itu terangkat dan mengelus rambut Sherene yang sangat lembut.
            “Tidak ada yang salah darimu, Sherene,” kepala pelayan menekan nada suaranya saat menyebut nama Sherene. “Hanya rambutmu yang membuat orang bertanya-tanya, dari mana asalmu. Kau memiliki rambut yang sangat cantik. Emas madu yang mengilau. Apa kau mau jika aku mengurus rambutmu ini hingga benar-benar panjang? Kau akan menjadi gadis tercantik di negeri ini,”
            “Apa jika aku adalah gadis tercantik maka semua orang akan datang dan berteman denganku?”
            “Bahkan kau akan menaklukan hati Raja kelak hanya dengan mengibaskan rambut emas gelombangmu itu,” rayu kepala pelayan itu mengelus rambut Sherene kembali. Tapi Sherene sangat senang karena akhirnya ia bertemu dengan seseorang yang benar-benar berbicara dengannya. Berbicara tentang dirinya. Sherene hanya mengangguk dan itu sudah dapat membuat senyum kepala pelayan melebar.
            “Berapa umurmu?”
            “Dua belas tahun? Aku tidak yakin,”
            “Kau boleh memanggilku, Patricia,” Patricia –kepala pelayan—mengelus pipi Sherene dengan punggung tangannya. Patricia sebelumnya tidak pernah bertemu dengan gadis secantik Sherene. Mata hijau dan rambut emas madu yang jika terus dirawat akan menghasilkan rambut yang sangat mengilau. Patrcia sudah bekerja di istana selama dua belas tahun dan baru kali ini ia bersikap sangat lembut pada seorang gadis. Tentu saja. Gadis ini mengingatkan anak pertamanya yang lahir dengan warna kulit seputih susu dan kepolosannya, namun ia tidak dapat melihat anaknya dalam jangka waktu yang lama akibat penyakit yang mematikan yang menyerang anaknya. Dan anak pertamanya adalah hasil percintaannya dengan sang Raja yang sekarang masih menjadi Raja. Tentu, ia adalah harem di istana ini. Ia adalah harem yang sering dipakai oleh sang Raja.
            Dan, itu juga akan terjadi Sherene.
            Sherene akan menjadi harem suatu saat nanti. Hanya waktu yang akan mendatangkannya.
            “Kurasa aku berumur dua belas tahun, Patricia,”

***

            Kehidupan Sherene lebih baik dibanding kehidupannya yang dulu. Sekarang ia memiliki banyak teman di istana. Meski teman-temannya hanyalah sekumpulan prajurit. Tapi sangat menyenangkan jika tiap hari ia mendengarkan cerita-cerita dari para prajurit yang baru saja bertugas dengan cerita lucu mereka. Tak jarang Sherene tidak ingin masuk ke dalam ruang tidurnya hanya untuk mendengarkan kelanjutan cerita dari para prajurit. Rambutnya yang awalnya tidak begitu bersinar, sekarang tampak mengilau setelah selama dua tahun telah dirawat oleh Patricia. Sekarang ia telah bertumbuh menjadi seorang gadis remaja yang luar biasa cantik dengan bibir yang ranum, bulu yang lentik dan warna mata hijau menghias matanya. Tak lupa rambutnya yang luar biasa indah.
            Sherene tidak peduli jika ia tidak memiliki teman sebayanya karena ia lebih menyukai mendengar pengalaman-pengalaman dari orang-orang yang lebih tua darinya. Karena dari cerita orang-orang yang lebih tua darinya dapat membuatnya lebih berhati-hati dan banyak belajar. Dibanding harus berbicara tentang pangeran, anak Raja yang katanya sangat tampan itu. Ia tidak pernah melihat pangeran Raja sebelumnya dan ia juga tidak berniat untuk melihatnya. Menjadi pelayan mungkin adalah bakatnya, tidak ada lagi yang ia perlukan lagi di dunia ini selain pekerjaan menjadi pelayan.
            Gaun putih dengan lengan panjang yang bagaikan terompet itu melambai-lambai sepanjang Sherene berjalan cepat masuk ke dalam ruang tidurnya agar ia tidak terkena hukuman dari pelayan lain karena terlambat tidur. Ia mendorong pintu besar ruangnya dan masuk ke dalam. Semua gadis di dalamnya menatapi Sherene yang rambutnya dikepang panjang namun menyisakan rambut depannya. Keributan para gadis yang sama bertumbuh dengan Sherene itu mengalami jeda beberapa saat lalu kembali mereka berbicara kembali. Sherene menundukkan kepalanya, melewati tempat tidur gadis lain. Tempat tidurnya sangat jauh, berada di ujung. Sepanjang ia berjalan, ia mendengar tawaan-tawaan dari gadis-gadis yang saling bercerita tentang pangeran tampan. Sebenarnya, pangeran itu tampan seperti apa? Mengapa pangeran itu selalu dipuja-puja? Ah, ya, Sherene baru saja ingat. Besok pagi ia harus membawakan sarapan pagi bagi pangeran untuk yang pertama kalinya. Setelah dua tahun ia melayani prajurit, sekarang ia melayani bangsawan-bangsawan di atas prajurit. Tapi besok ia harus membawakan sarapan bagi pangeran.
            “Sherene, kudengar kau akan melayani pangeran. Kau sangat beruntung,” Chista, teman sebelah tempat tidurnya membuat Sherene tersentak. Ia telah sampai di tempat tidurnya.
            “Mengapa aku bisa beruntung? Aku bukan satu-satunya,” Sherene tidak ingin terlihat sombong. Dan memang tidak ada niatan untuk bersikap sombong pada temannya. Ia hanya tidak ingin membahas tentang pangeran istana.
            “Kau bertemu dengannya. Gadis-gadis di ruangan ini sedang membicarakannya! Ia baru saja datang dari luar negeri dan tinggal di sini untuk beberapa tahun ke depan karena suatu saat ia akan menjadi Raja di sini. Dia memang sangat tampan! Kau harus melihat mata cokelat madunya yang menawan, aku seperti melihat bunga mawar mekar diantara mawar busuk!” seru Chista sangat bersemangat.
            “Yah, aku sangat bangga akan melayani pangeran nanti. Tapi aku tidak yakin dengan ketampanannya, lagipula, aku bekerja di sini bukan untuk membuat pangeran tertarik padaku,”
            “Terkadang kau harus memikirkan masa depanmu, Sherry. Siapa tahu dewa Cinta memutuskan bahwa kau adalah kekasih sejati bagi pangeran,”
            “Aku tidak mengerti apa yang sedang kaubicarakan,” Sherene yang dari tadi terduduk sekarang membaringkan tubuhnya ke atas tempat tidur dan menelentangkan tubuhnya. Ia memejamkan mata berusaha untuk terlelap.
            “Semoga kau beruntung besok!” seru Chista, akhirnya selesai.

***

            Pagi itu tampaknya gadis-gadis itu baru saja dimandikan oleh pelayan-pelayan itu dengan bersih. Rambut mereka disisir sangat rapi dan dibentuk sedemikian rupa agar menjadi gadis yang sangat menarik. Satu per satu gadis itu keluar dari harem dengan pakaian mereka yang cantik. Sedangkan Sherene sedang tersenyum senang menatapi kaca yang ada di hadapannya. Patricia dengan tangannya yang terampil mengikat kepang rambut Sherene yang mengilau. Rambut Sherene sangat halus dan lembut, ia memiliki warna rambut yang sangat cerah. Dimana Sherene akan melangkah saat itu mata-mata lelaki dan perempuan akan terus tertuju padanya. Sherene telah mengendalikan dirinya agar tidak merasa risih dengan mata yang terus mengikutinya. Prajurit-prajurit di istana pun selalu memujinya dengan rambutnya yang memukau. Sherene menundukkan kepalanya menahan senyum yang tak kunjung berhenti menerpa wajahnya untuk tak tersenyum. Tapi mau bagaimana lagi? Ia ignin sekali tersenyum di pagi yang cerah ini. Bahkan dari taman harem terlihat burung-burung yang bertengger di salah satu tangkai pohon di taman itu dan berkicau, bernyanyi menemani pagi Sherene yang penuh dengan sukacita.
            Patricia ikut tersenyum dengan tangan yang masih bergerak mengikat rambut Sherene yang lembut itu. Kemudian ia membuka mulutnya ingin bertanya mengapa gadis kesayangannya tersenyum-senyum tak jelas.
            “Baiklah, aku penasaran apa yang terjadi denganmu. Apa yang membuatmu tersenyum pagi ini, Sherene?” Patricia tidak pernah memanggil Sherene dengan panggilan Sherry, mungkin hanya kalangan teman-temannya saja yang memanggilnya Sherry. Tapi tidak dengan Patricia karena menurutnya, nama Sherene adalah nama yang sangat cantik. Sherene menggigit bibir bawahnya yang berwarna merah muda itu dan melirik Patricia yang tidak menatapnya, melainkan rambutnya.
            “Aku hanya berpikir, mengapa harus aku yang dipilih untuk melayani pangeran? Aku membayangkan wajah pangeran, anak Raja itu adalah lelaki yang sangat tampan. Apa dia tampan, Patricia?” Sherene tidak boleh berbohong, ia tidak bisa berbohong karena ia tidak ingin ketahuan. Tidak seperti teman-temannya yang mungkin hanya beberapa saja tidak berbohong. Tapi rata-rata mereka adalah gadis-gadis yang cabul! Sherene tidak suka dengan mereka kecuali mereka-mereka yang masih polos. Dan soal tadi malam ia tidak begitu peduli dengan pangeran ternyata salah. Ia sangat penasaran dengan pangeran yang katanya tampan itu! Patricia tertawa seperti Ratu yang tidak boleh terlalu girang.
            “Tentu saja pangeran sangat tampan. Ia memiliki mata cokelat yang hangat dan serta ia sangat ramah pada gadis-gadis sepertimu. Apa kau akan menyukainya?”
            “Apa menurutmu aku akan menyukainya?” Sherene melirik kembali Patricia yang baru saja melepaskan tangannya dari rambut Sherene yang telah terhias indah bersama dengan bunga-bunga di sana. Patricia mundur beberapa langkah untuk melihatnya dari jarak jauh kemudian senyumnya semakin mengembang dan tersenyum lalu melihat Sherene dari kaca.
            “Kurasa pangeran yang akan menyukaimu nanti,” goda Patricia yang semakin membuat Sherene tersipu malu. “Ayo, cepat-cepat! Kau harus tampil cantik di hadapannya nanti dengan sarapan pagi kesukaannya. Kau tidak ingin melihat seorang pangeran marah bukan?”
            “Bagaimana penampilanku, Patricia? Aku takut dia tidak menyukai penampilanku!” seru Sherene antara girang dan ketakutan. Ia berdiri dari tempat duduknya dan membalikkan tubuhnya, ia memperlihatkan tubuhnya pada Patricia agar Patricia menilai penampilannya.
            “Kau lebih dari sempurna, Sherene! Ayo cepat, masih ada teman-temanmu yang harus dihias rambutnya. Kau tidak ingin teman-temanmu terlambat juga bukan?” Patricia bagaikan Ibu kandung Sherene yang tidak dapat Sherene bantah. Ia segera berjalan cepat keluar dari puri untuk pergi ke dapur dan mengambil sarapan bagi Raja.
            “Tunggu dulu, Patricia!” teriak Sherene yang hampir saja keluar dari ruangan itu.
            “Ada apa Sherene?” Patricia yang baru saja ingin menarik salah satu gadis yang selesai berpakaian itu langsung membalikkan tubuhnya saat Sherene berteriak memanggilnya.
            “Siapa nama pangeran?”
            “Justin. Justin Cyrus Xerxes, Sherene. Cepatlah!”

***

            “Halo, Tuan Christopher. Aku ingin membawakan sarapan untuk pangeran,” sapa Sherene yang kedua tangannya sedang memegang nampan logam serta sarapan pagi bagi pangeran. Christopher, penjaga kamar Justin melirik Sherene kemudian ia tersenyum. Ya, mereka berdua juga sangat dekat sejak Sherene datang ke istana ini.
            “Halo, Sherene. Kau tampak sangat sempurna pagi ini. Sempurna untuk pangeran?”
            “Tuan Christopher!” seru Sherene tersipu malu. Pipinya bersemu merah saat Christopher menggodanya. Tapi Christopher tidak ingin tangan Sherene pegal hanya karena mereka bersenda gurau di depan kamar pangeran. Lebih lagi, ia tidak ingin mendapat murka dari pangeran yang masih terbilang muda. Langsung saja tangan besarnya itu membukakan pintu kamar pangeran yang megah serta luas itu. Sherene mengumpulkan seluruh tenaganya untuk tidak terlihat gugup. Setelah menghitung satu sampai sepuluh untuk menenangkan diri, Sherene menegakkan kepalanya lalu melangkah masuk ke dalam kamar pangeran. Baru saja Sherene berada di dalam kamar pangeran, pintu kamarnya tertutup. Dasar Tuan Christopher! Sherene menggerutu dalam hati. Ia tidak melihat pangeran tertidur di atas tempat tidur besarnya dengan empat tiang kokoh yang menemani tempat tidur itu. Melainkan matanya langsung melihat pada seorang lelaki yang pastinya lebih tua darinya sedang terduduk di sebuah kursi di belakang meja sedang membaca sebuah buku.
            “Sarapan pagi, Tuan Justin,” Ah, ya ampun! Apa yang baru saja Sherene katakan tadi? Tuan Justin? Itu sangat memalukan. Seharusnya ia memanggil Pangeran Justin atau semacamnya. Tapi, Tuan Justin? Justin yang sibuk belajar itu mendongakkan kepalanya lalu mendesah pelan.
            “Taruh saja di atas meja belajarku, mengapa kau lama sekali datang? Aku sudah kelaparan di sini,” gerutu pangeran Justin marah. Saat Sherene melihat pangeran Justin mendongakkan kepalanya, kakinya melemas tak terkendali. Jantungnya terus berdetak kencang dengan keringat yang mulai keluar dari permukaan kulitnya. “Tapi, sudahlah. Taruh saja di atas meja belajar,” lanjut Justin tak peduli lalu ia menatap Sherene. Tapi sama, seperti sang Panglima yang bertemu dengan Sherene dua tahun yang lalu, Justin tidak dapat memalingkan kepalanya dari gadis yang sedang menaruh sarapan paginya ke atas meja belajarnya.
            “Saya permisi, Pangeran,” Sherene membungkukkan tubuhnya setelah ia memeluk nampannya yang kosong.
            “Ya, terima kasih,” Justin harus tetap terlihat maskulin. Di umurnya yang ke tujuh belas ini, ia harus berlatih menjadi Raja yang baik. Karena tentu saja Ayahnya tidak akan menjadi Raja selamanya. Namun mata Justin tak kunjung lepas pandang dari Sherene yang membuka pintu kamarnya. Tangan mungil itu menarik pintu kamarnya yang besar dan berat. Harus Justin akui, selama ini ia tidak pernah melihat gadis secantik gadis itu. Bahkan ia tidak bertanya siapa nama gadis itu!
            Terlebih lagi yang membuatnya tak berhenti menatapi gadis itu karena rambutnya yang dihias sedemikian rupa namun tetap memperlihatkan kecantikan dari rambutnya yang Justin tahu, pasti gadis itu bukan gadis keturunan Persia. Lalu gadis itu berasal dari mana?
            Justin tersentak dan pandangannya langsung kabur. Pintu sialan! Gadis itu telah lenyap.
            Namun senyum Justin tak lenyap setelah gadis itu pergi, bayang-bayang wajah gadis tadi masih menemani Justin. Mata hijau, bulu mata lentik, kulit yang terlihat sangat halus serta rambut yang menawan. Dari mana Panglima mendapatkan gadis cantik itu? Justin termenung.






besok lagi baru dipost:)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar