Justin bersandar di atas sofa ruang
santainya. Menonton acara televisi kesukaannya sambil memakan sarapan yang
Elanie buatkan untuknya. Kata ayah Justin, Justin tidak perlu bekerja selama 1 bulan
ini. Well, Justin menganggapnya itu sebagai liburan. Meski Justin selalu
bingung mengapa orang-orang di sekitarnya bertanya dimana ia akan berbulan
madu. Maksudnya, untuk apa berbulan madu? Ia tahu apa itu bulan madu. Baginya,
bulan madu hanyalah waktu luang bagi suami-istri untuk berjalan-jalan. Justin
tidak tahu menahu apa-apa soal hubungan badan. Untuk berpikir sampai sana saja
Justin tidak bisa. Padahal sudah berkali-kali ia disuguhkan pemandangan ciuman
antara Angelo dan istrinya atau Robert dan istrinya. Kadang ucapan-ucapan
bersirat untuk bercinta juga sering Angelo utarakan pada istrinya, Ivy. Justin
hanya tidak peduli saja dengan masalah hubungan badan. Dan Justin berpikir,
Elanie tidak akan keberatan jika mereka tidak saling bersentuhan di atas tempat
tidur. Maksudnya tidak melebihi ciuman. Karena terus terang, Justin tidak tahu
bagaimana cara berhubungan badan.
Bel pintu rumah baru Justin
terdengar. Justin segera bangkit dari sofanya dan menaruh mangkuk yang ia
pegang itu ke atas meja. Justin masih memakai boxer berwarna merah kesukaannya
tanpa atasan apa pun. Ia juga biasa seperti ini jika ada tamu yang datang—yang
membuat tamu wanita membeku di tempat sebelum ibu Justin datang. Siapa yang
akan protes jika Justin hanya mengenakan boxer? Mungkin hanya ibunya saja.
Tangan Justin mulai menyentuh gagang dua pintu yang besar itu lalu menariknya.
Saat ia melihat orang pertama, ia langsung menutup pintunya kembali namun
ditahan oleh orang pertama itu. Kakaknya, Robert, yang datang ke rumahnya sepagi
ini bersama dengan Angelo di belakang tubuhnya. Justin masih menahan pintunya
agar tidak terbuka lalu akhirnya ia menyerah ketika mendengar suara langkahan
kaki dari belakang.
“Siapa Justin?” Tanya Elanie dengan
suara yang lembut. Robert masuk ke dalam rumah Justin dengan senyum maut yang
ia miliki. Mata birunya menatap Elanie dengan ramah—hanya Justin yang memiliki
mata cokelat dari antara saudara-saudaranya.
“Oh, Robert. Silahkan masuk. Angelo,”
“Elanie, kau tampak manis pagi ini.
Apa Justin berhasil membuatmu lelah malam ini?” Tanya Angelo tak ingin
berbasa-basi. Pipi Elanie memerah. Ia tidak melakukan apa pun dengan Justin
tadi malam karena mereka berdua memang sangat lelah. Hanya pelukan dan ciuman
pengantar tidur. Justin memutar bola matanya. Ia tidak ingin kedua kakaknya
datang. Justin tidak akan menagih mainan dinosaurusnya jika Angelo tak datang
ke rumahnya hari ini. Sialan sekali kedua kakaknya ini! Ia benci mendapati
mereka berdua yang sekarang duduk di atas sofa ruang tamu. Bukankah seharusnya
mereka berdua bekerja? Elanie meninggalkan ruang tamu untuk menyuguhkan teh
hangat pagi hari.
Dengan malas, Justin menutup pintu
rumahnya lalu berjalan menuju sofa yang kosong.
“Untuk apa kalian berdua ke sini?
Tidak cukup menyiksaku kemarin?” Tanya Justin dengan ketus. Kekanak-kanakan
Justin menghilang begitu saja. Setidaknya, Justin bisa mengontrol sifat
kekanak-kanakannya kepada siapa pun di luar rumah. Tapi sekarang ia sedang
tidak berada di luar rumah, berarti dia memang sedang tidak ingin diganggu.
Angelo melompat-lompat di atas sofa Justin, bokongnya naik turun lalu akhirnya
bersandar di sofa.
“Sofa yang empuk. Apa kalian
bercinta di sini?” Tanya Angelo berusaha untuk tidak terdengar geli. Justin
menatap kakaknya dengan mata sayu, tidak suka.
“Apa kau gila? Elanie kelelahan
kemarin. Tidak mungkin aku berhubungan badan dengannya. Lagi pula, untuk apa
berhubungan badan? Tidak ada gunanya,” ucap Justin acuh tak acuh. Tetapi bukan
itu alasan sebenarnya Justin tidak ingin berhubungan badan dengan Elanie. Ia
hanya tidak mau. Bukan belum. Tapi
tidak mau. Tidak mau mencoba atau apa pun. Robert dan Angelo menahan tangannya
dengan cara menutup mulutnya dengan jemari mereka lalu meledak begitu saja
hingga mereka memukul-mukul sofa. “Tidak lucu,”
“Bagaimana tidak lucu? Kau
seharusnya berhubungan badan dengannya bodoh! Sini, kuberitahu kau apa. Kau
adalah Justin Bieber. Seorang pemilik perusahaan keluarga Bieber yang terkenal
di Amerika. Tubuhmu tegap, berotot dan …well, tidak setinggi aku. Tapi demi Tuhan!
Semua wanita di luar sana berpikir kau hebat di ranjang. Dan inilah yang
kenyataann yang aku dan Robert dapat. Kau. Tidak. Menyentuh. Elanie. Dasar
banci,”
“Aku bukan banci!” Tukas Justin
tidak suka dengan hinaan itu. Justin bukan banci. Ia tidak siap dengan segala
apa pun yang akan terjadi ke depannya. Robert menelan ludahnya setelah ia
selesai tertawa. Justin adalah satu-satunya bahan lelucon terlucu di dunia bagi
mereka berdua. Untungnya Justin tidak terserang gangguan mental hanya karena
kedua kakaknya selalu mengintimidasinya.
“Apa kau punya alat kelamin?” Tanya
Robert. “Sebesar apa? Kelingking?”
“Punyaku besar! Dan jangan bicarakan
soal alat kelamin denganku!”
“Kenapa? Kau terangsang, homo?” Ejek
Angelo hingga Robert berseru mendukung ejekan dari Angelo. Mereka berdua saling
melakukan tos rahasia mereka berdua. Justin hanya membuang wajah. Ia tidak
pernah tertarik dengan seorang pria. Mengapa kedua kakaknya selalu mengejeknya
gay? Ia bukan gay. Ia menyukai seorang gadis, tapi ia lebih menyukai dinosaurus
sampai akhirnya Elanie masuk ke dalam kehidupannya. Bahkan ia rela memberikan
mainan sialan itu pada Elanie meski malamnya Justin merasa kesepian karena
dinosaurus yang ia berikan pada Elanie adalah salah satu mainan yang paling sering
Justin mainkan. Kedua kakaknya telah berhenti tertawa hingga akhirnya Justin
menatap kembali kedua kakaknya.
“Apa kalian sudah selesai? Mana
mainanku? Kau bilang kau ingin memberikannya padaku, omong kosong. Cium saja
bokongku,” ucap Justin ketus. Angelo baru saja ingin menjawab pertanyaan
Justin, namun Elanie sudah muncul begitu saja di hadapan mereka membawa sebuah
nampan yang berisi tiga gelas teh.
“Apa yang kalian bicarakan?” Tanya
Elanie penasaran sambil menaruh gelas-gelas di atas meja ruang tamu. Kaos warna
kuning yang memiliki potongan leher yang rendah membuat buah dada Elanie
terlihat ketika gadis itu membungkukan tubuhnya. Angelo dan Robert bisa melihat
buah dada yang tidak begitu besar itu. Sayang sekali tertutup bra. Namun
pemandangan itu menghilang begitu saja ketika Elanie langsung berdiri tegak dan
memeluk nampan yang ia pegang sehingga buah dadanya yang kecil itu tidak
terlihat lagi. Elanie duduk di sebelah Justin, berhadapan dengan kedua kakak
Justin. Justin meminum teh yang Elanie buat lalu menatap istrinya. Pipi Elanie
memerah, tangan Justin merangkul bahu Elanie hingga Elanie merasakan hangat
karena sentuhan tangan Justin yang telanjang, terlebih lagi Justin tidak
mengenakan atasan apa pun.
“Kami hanya ingin mengunjungi adik
tercinta kami, El. Dia kelihatan baik-baik saja denganmu. Kau memang hebat
menjaga Justin, biasanya ia rewel. Jadi, bagaimana di atas ranjang?”
“Oh, tidak. Kami belum melakukan
itu. Tadi malam kita berdua benar-benar lelah. Kurasa Justin tidak keberatan
jika aku belum mau melakukannya,” ucap Elanie dengan santai, kepalanya
bersandar pada dada Justin yang telanjang itu. Sontak tubuh Justin menegang.
Otot-ototnya segera terbentuk kembali hingga kedua kakaknya bisa melihat reaksi
Justin yang berlebihan. Adik mereka panik. Mereka terpaksa harus menahan
tawanya lagi. Angelo menganggukkan kepalanya.
“Begini, Elanie, apa nanti malam
kami berdua boleh meminjam Justin untuk pergi keluar? Kau tidak keberatan?”
Tanya Angelo. Kedua alis Justin terangkat, begitu juga dengan Elanie. Justin
langsung terkekeh dan kepalanya tergeleng. Ia tidak ingin pergi lagi dengan
kedua kakaknya. Akhir-akhir ini ia tidak pernah pergi keluar bersama
kakak-kakaknya. Sudah cukup tersiksa batin karena hinaan-hinaan dari
kakak-kakaknya. Elanie mengelus-elus paha Justin dengan lembut untuk
menenangkan Justin yang tiba-tiba saja panik tadi. Bukan tenang, Justin malah
semakin panik.
“Oh lihat itu. Ternyata tidak
sebesar kelingking bayi yang kukira. Dia ternyata punya Angelo. Kita pikir dia
selama ini adalah wanita, Elanie,” ucap Robert mulai menyalakan kompor. Mata
Angelo dan Robert dari tadi memerhatikan boxer milik Justin untuk melihat
reaksi adiknya akan sentuhan dari Elanie. Ternyata Elanie berhasil membuat
Justin terangsang secepat itu. Mata Elanie ikut terjatuh ke tengah-tengah boxer
yang Justin kenakan. Alat kelamin Justin menonjol di balik boxer itu.
“Aku bukan wanita! Tadi malam aku
mencium bibirnya, apa kalian bisa keluar? Aku sudah tidak kuat lagi kau berada
di sini,” ucap Justin bangkit dari sofanya, membuat Elanie terjatuh ke sofa
daerah Justin duduki hingga Elanie mendesah. “Maafkan aku. Aku tidak sengaja,”
tukas Justin sesegera mungkin membalikkan tubuhnya dan membantu Elanie untuk
bangkit dari sofa.
“Aku tidak apa-apa,” ucap Elanie
dengan pipi yang memerah. Gadis itu mudah sekali malu.
“Kau mengusir kedua kakakmu yang
selalu mencintaimu ini Justin? Bagaimana bisa? Aku tidak percaya adik kita
mengusir kita, Robert,” ucap Angelo menggeleng-gelengkan kepala tak percaya.
Justin sudah tidak percaya omong kosong yang kedua kakaknya ucapkan. Sekarang
Justin sudah memiliki seseorang yang akan selalu ada di sisinya, yang
membutuhkan Justin setiap saat, dan kedua kakaknya harus segera pergi dari
rumahnya agar Justin bisa melanjutkan kehidupannya yang baru saja damai.
“Keluar,” perintah Justin.
“Baiklah. Kita hanya ingin
mengajakmu pergi keluar sebentar malam ini karena kami yakin kau tidak akan
melakukan apa pun bersama Elanie—“
“Keluar, aku mau kalian keluar,”
Justin mulai merajuk. Ia naik ke atas sofa, lalu meringkuk di atas sana dan
memeluk kepalanya. “Keluar! Keluar! Keluar!” Teriak Justin seperti anak kecil
yang tidak ingin bertemu dengan ibunya karena telah berbohong. Elanie mulai
terintimidasi. Tidak, jangan di depan kakak-kakaknya Justin bertingkah seperti
ini. Robert dan Angelo segera bangkit dari sofa.
“Oke, oke, banci. Jangan menangis
seperti itu. Jika berubah pikiran, hubungi aku saja,” ucap Angelo khawatir.
Angelo bukan khawatir Justin menangis sampai adiknya akan memutuskan urat nadi
di depannya nanti, tapi Justin akan melaporkan pada ayahnya kalau Angelo datang
di hari pertama Justin menikah. Kata orangtuanya, Angelo dan Robert tidak boleh
datang ke rumah Justin selama satu bulan. Jika Angelo dan Robert ketahuan
mendatangi adiknya, mereka akan dihukum. Bukan apa-apa, tapi hanya orangtua
Justin yang menjadi teman Justin selama Justin bertumbuh. Bahkan di masa
remajanya karena Angelo dan Robert selalu memojoki Justin sejak kecil sampai
sekarang sehingga Justin sering dimanja dan dibela oleh orangtuanya. Dan ia
menjadi seperti anak kecil sekarang.
“Keluar,” isak Justin dengan suara
pelan.
“Angelo, Robert kurasa kalian memang
harus keluar,” ucap Elanie seramah mungkin. Angelo dan adiknya mengangguk satu
kali.
“Semoga kau baik-baik saja tinggal
di sini bersamanya,” ucap Angelo.
“Keluar Angelo,” perintah Justin.
“Dan jangan lupa janjimu itu padaku. Atau cium bokongku. Kali ini serius,” ucap
Justin terisak. Wajah Justin tidak kelihatan karena tangan yang menutupi wajah
tampannya itu.
“Tidak akan kulupakan janjiku jika
kau menerima tawaranku.”
***
Justin menggaruk-garuk lehernya yang
tidak terasa gatal. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan di sebuah tempat
yang berisi dengan para penari bugil yang menari-nari di atas meja yang begitu
banyak—yang dimasing-masing panggung berbentuk meja itu memiliki tiang. Mereka
duduk di salah satu sofa yang bentuk bulan sabit berkulit hitam. Justin dari
tadi meminum air putih yang ia pesan. Sudah tiga gelas ia minum namun ia masih
tidak tahu apa yang harus ia lakukan di sini. Sebelumnya, ia tidak pernah
datang ke dalam sini karena kakak-kakaknaya tidak pernah mengajak Justin.
Alasan utama Justin datang ke sini karena ancaman Angelo yang katanya ia tidak
akan melupakan janji Beli-Dinosaurus-Justin. Ternyata tempat seperti inilah
yang mereka datangi. Justin menyesal betul. Ia merindukan Elanie, pasti
istrinya kesepian di rumah.
Kedua kakaknya sedang menikmati
pemandangan bokong dimana-mana. Sesekali mereka menyelipkan uang di sisi celana
dalam penari bugil. Tidakkah geli
disentuh oleh orang asing? Justin berpikir keras. Berbeda dengan Justin,
kedua kakaknya sudah meminum bir sebanyak dua botol setelah itu berhenti karena
Angelo akan menyetir mobil. Justin merasa sangat bosan berada di tempat ini, tidak
ada mainan apa pun yang bisa dimainkan. Tidak ada Elanie yang bisa ia peluk
atau ia cium. Dia merindukan Elanie. Perasaan ini tidak pernah ia rasakan
sebelumnya. Maksudnya, pada orang asing yang sekarang menjadi istrinya. Ia
sering merindukan ibu dan ayahnya—dan tidak pernah pada kedua kakaknya—jika ia
sedang berada di luar negeri. Justin mungkin memang memiliki mental anak-anak,
namun kedua orangtuanya sudah mengajar Justin bagaimana menjadi seorang
pemimpin perusahaan dan bagaimana harus bersikap jika mereka—orangtua
Justin—tidak berada di sisi Justin.
Akhirnya Angelo mengalihkan
pandangannya dari para penari bugil itu. “Jadi, tidak bercinta di hari
pertama?”
“Untuk apa? Tidak ada gunanya,” ucap
Justin acuh. Justin bahkan tidak terangsang atas pemandangan yang sedang
disuguhkan! Angelo harus mengacungi jempol pada adiknya yang tahan godaan itu.
Robert menyunggingkan senyum miring lalu menghela nafas panjang.
“Kupikir kau lesbian,”
“Bicara pada tanganku,” ucap Justin
memberikan telapak tangannya pada Robert. “Dan aku seorang pria,” lanjut Justin
menurunkan tangannya ke atas paha. Angelo menahan tawanya. Robert sering
menghina Justin dari segi kelaminnya. Sedangkan Angelo lebih mengarah pada
hal-hal yang berbau seks dan taruhan. Justin menghela nafas.
“Kita membawamu untuk melihat
bagaimana reaksimu. Ternyata kau positif gay,” ucap Angelo kali ini. Robert
tertawa lepas, ia terbahak-bahak akan hinaan Angelo. Justin hanya meniru tawa
dari Robert sampai memukul-mukul meja lalu sedetik kemudian ia berhenti.
“Aku salut, Justin. Kau ternyata
memiliki iman yang kuat. Tapi sebelum itu, kau harus menonton ini bersama
Elanie,” ujar Robert mengambil sesuatu dari kantong jas bagian dalamnya lalu
mengeluarkan sebuah kaset yang tidak memiliki sampul pada Justin. Tidak ada
judul. Hanya tempat kaset yang transparan yang berisi kaset tidak bersampul.
Robert melemparnya ke arah Justin. Dengan sigap Justin mengambilnya seperti
pemain basket. Justin hebat dalam bermain basket dengan anak Angelo yang ia
panggil LeBron itu.
“Baiklah. Ayo kita pulang,” ucap
Justin menerima kaset itu tanpa bertanya apa pun.
“Pulang saja sendiri, aku ingin
menonton dulu,”
“Kau mau aku adukan pada Ivy?
Baiklah, aku akan menghubunginya sekarang,” ancam Justin mengeluarkan
ponselnya. Sontak Angelo langsung berdiri dan merebut ponsel itu dari tangan
Justin. Kali ini Justin yang tertawa jahat, ia segera mencium dua jarinya lalu
menepuk bokongnya dengan kedua jari itu. “Cium bokongku!”
“Brengsek kau Justin,”
“Kata kotor apa pun itu, aku tidak peduli.
Ayo pulang.” Memang, Justin tidak pernah berkata kotor. Dia anak alim.
Awalnya.
***
Elanie menggigiti kuku tangan
kirinya. Tangan kanannya sedang menahan ponsel yang ia tempelkan pada telinga.
Ia sedang berbicara dengan Eline. Eline baru akan datang dua bulan ke depan.
Teganya Eline melakukan itu pada Elanie. Padahal Elanie ingin sekali
memperkenalkan Justin pada Eline, tetapi saudara kembarnya pasti memiliki
alasan untuk tidak datang ke Amerika. Pekerjaan. Pekerjaan. Dan pekerjaan.
Elanie menggigit bibir atasnya untuk menahan tangisnya. Dia sangat merindukan
Eline dan membutuhkan Eline untuk meminta saran bagaimana caranya membangun
rumah tangga yang baik. Justin tidak menyentuh seharian ini. Mengecup bibir
Elanie saja tidak. Pria itu selalu sibuk sendiri, terlebih lagi Justin sekarang
pergi keluar bersama kedua kakaknya.
“Tapi dia tidak pernah mau
menyentuhku. Malam pertama yang kudapat adalah tangisan darinya,” ucap Elanie
terduduk di atas sofa.
“Itu bukan masalah, El. Masih banyak
waktu yang kalian punya untuk melakukan hal itu.
Kau tidak perlu cemas. Ia pasti akan menyentuhmu,” Eline berusaha memberi
dukungan.
“Ap-apa kau sudah hamil? Aku takut
hamil, entah kenapa. Mungkin karena Justin juga belum siap memiliki anak. Apa
terlalu cepat jika satu atau dua bulan ke depan aku hamil?” Tanya Elanie
menggigit-gigiti kuku kembali. Eline tertawa. Adiknya tidak pernah tidak polos.
Pasti ada saja pertanyaan yang sebenarnya jawabannya sudah ada di hadapan
adiknya. Hanya saja, Elanie masih buta.
“Aku belum hamil, El. Aku tidak tahu
kapan aku hamil. Tuhan belum mengizinkannya. Mungkin bulan ini atau bulan
depan. Kita tidak pernah tahu, El. Yang perlu kau lakukan adalah buat Justin
nyaman bersama denganku. Lama-lama aku jadi penasaran dengan suamimu yang satu
itu,”
“Dia—“
“Halo, Elanie. Aku pulang!” Seru
Justin ketika pintu rumah terbuka. Elanie langsung melepaskan tangan kirinya
dari mulut lalu mengelapnya di gaun tidurnya yang kali ini tidak tipis. Elanie
melihat suaminya yang pulang dengan keadaan utuh namun tangannya memegang
sebuah tempat kaset. Apa itu? Tanpa
mengatakan apa pun pada Eline, Elanie mematikan ponselnya dan bangkit dari
sofa. Justin menutup pintu, ia memerhatikan Elanie yang menatapnya dengan
tatapan yang berbeda. Entahlah, seperti kagum? Justin menghampiri Elanie lalu
menyentuh tangan istrinya itu. Tangan kiri Elanie. Sontak Elanie langsung
menarik tangan kirinya dan sadar kalau suaminya sudah benar-benar pulang ke
rumah.
“Hai, Justin. Kau sudah pulang.
Dengan keadaan utuh. Kau pergi kemana dengan mereka?” Tanya Elanie dengan
lembut. Tidak ada perintah dari siapa pun, Justin melingkarkan tangannya di
sekitar pinggang Elanie. Mereka berdua berjalan bersama-sama menuju kamar
mereka yang berada di lantai dua.
“Aku tidak tahu nama tempatnya apa,
tapi yang jelas aku melihat wanita-wanita yang tidak tahu malu menari-nari di
atas panggung hanya mengenakan celana dalam dan bra. Ish, mereka tidak tahu
malu. Yang jelas aku geli melihat mereka seperti itu. Jika ada toko pakaian,
sudah jelas aku akan membelikan mereka pakaian agar mereka tidak melakukan hal
itu,” cerita Justin tanpa menatap Elanie. Elanie hanya tertawa. Ia tahu tempat itu,
itu adalah tempat penari bugil. Sekarang Elanie merasa sangat beruntung karena
memiliki suami seperti Justin. Pria yang jujur dan tidak mengada-ngada. Elanie
hanya tersenyum, lalu menyandarkan kepalanya pada bahu Justin.
Setelah berada di dalam kamar.
Justin segera mengambil pakaian tidurnya. Elanie memegang tempat kaset yang
Justin bawa tadi—yang Justin lempar ke atas tempat tidur—lalu melihat-lihat,
kaset apa yang Justin terima? Pasti diberi oleh salah satu dari kakaknya.
Tetapi Elanie tidak tahu kaset apa ini karena tidak ada sampul, judul atau
tanda-tanda agar ia tahu kaset apa yang Justin terima. Elanie memunggungi
Justin karena Justin yang memintanya untuk tidak mengintip. Elanie hanya
memaklumi tingkah Justin yang satu itu, lama kelamaan juga Justin akan
terbiasa. Setelah mengganti pakaian dan menaruh pakaiannya ke tempat kotor di
sudut kamar, Justin berjalan menuju Elanie yang memunggunginya.
“Ayo kita tonton kaset ini, aku
penasaran,” ucap Justin mengambil kaset itu dari tangan Elanie.
“Memangnya kau tahu itu kaset apa?”
Tanya Elanie. Justin yang sedang berjalan menuju LCD itu langsung menghentikan
langkah. “Siapa tahu film horror atau film yang lebih parah dari film horror,”
“Ah ya, kau benar sekali. Aku akan
menghubungi Robert dulu sebelum kita menonton ini,” ucap Justin berjalan menuju
meja yang berada di dalam kamarnya. Meja Elanie untuk mengetik ceritanya.
Justin meraih ponsel yang ia taruh di sana lalu menghubungi Robert. Elanie
menundukkan kepalanya malu-malu saat Justin mengedipkan sebelah matanya pada
Elanie. Justin merasa sangat nakal sekarang. Bahkan dia sendiri merasa geli
telah melakukan itu pada Elanie.
“Film apa yang kauberikan padaku?”
Tanya Justin saat Robert mengangkat telepon itu.
“Tonton saja bersama Elanie. Bukan
film horror. Itu kaset film dinosaurus,” ujar Robert. Tidak mengatakan terima
kasih atau selamat malam, Justin langsung mematikan ponselnya dan menaruh
ponsel itu kembali pada tempatnya.
“Bukan film horror katanya,” ucap
Justin dengan santai. Segera saja Justin memasang kaset itu pada dvd dan
menyalakan LCD-nya. Ia mengambil remote dvd yang berada di atasnya lalu berlari
dengan cepat ke atas tempat tidur. Elanie menggigit bibirnya karena tingkah
Justin yang sangat lucu. Justin mengambil sebuah remote lain yang berada di
atas ranjang. Ia mengatur pencahayaan di kamarnya hingga berubah menjadi
remang-remang. Oh, film ini pasti seru. Ibu jari Justin menekan tombol ‘putar’
di remotenya. Justin berteriak saat film itu mulai terputar. Astaga film apa
ini? Sebuah pemandangan yang belum pernah ia lihat sebelumnya sekarang terlihat
dengan jelas. Diam-diam ia panik. Dua orang berbeda jenis kelamin sedang berada
di atas ranjang, mengerang, mendesah, dan telanjang. “Fi-film apa ini?” Tanya Justin tanpa
mengalihkan pandangannya.
“Matikan Justin.” Perintah Elanie
ikut panik, namun Elanie berhasil menyembunyikannya.
“Iya, tapi ini film apa?” Tanya
Justin kembali.
“Matikan saja, Justin!” Teriak
Elanie. Segera saja Justin mematikan film itu lalu menelan ludahnya hingga
terdengar Elanie. “Tadi adalah …film terburuk sepanjang masa.” Justin
berkomentar.
:)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar