“Kau
yakin?”
Elanie
menundukkan kepalanya, takut-takut dengan apa yang ia tanya tadi membuat ibunya
marah. Elanie hanya keberatan, ia tidak yakin dengan rencana ayah dan ibunya
sekarang. Bukan Elanie tak mau, tapi ia
juga ingin bebas seperti Eline, saudara kembarnya. Ibu Elanie yang berada di
depannya meneguk teh hangat yang baru saja dibuat. Ayah Elanie memegang tangan
Elanie lalu ia mengelus punggung tangan yang bergetar, berharap kegugupan
putrinya menghilang. Ayah Elanie mengangguk kepala, ia yakin dengan apa yang akan
ia lakukan pada putrinya. Putrinya sudah menginjak umur 24 namun ia masih belum
memiliki suami. Jangankan suami, kekasih pun, ia tak punya. Masa kesuburan
Elanie sebentar lagi akan habis. Masih ada 6 tahun untuk Elanie agar ia bisa
membuat orangtuanya menimang cucu. Well, mungkin Elanie masih bisa memiliki
anak diumur 30-an, tetapi itu bukanlah ide yang bagus. Elanie harus cepat-cepat
menikah seperti saudara kembarnya, Eline.
Eline
sudah tidak lagi tinggal di rumah orangtuanya. Ia sudah memiliki suami lebih
dulu dari Elanie. Sulit untuk Elanie untuk bergaul dengan teman-teman saudara
kembarnya, Eline. Mereka hidup mudah, instan, dan bersenang-senang. Tidak
dengan Elanie. Ia lebih senang berdiam di rumah, bermain dengan anjing
kesayangannya, Timo, dan menulis cerita. Ia senang dengan ruangan tertutup. Ia
bisa dibilang orang yang kurang pergaulan. Ia juga tidak bekerja, ia kuliah
namun sudah lulus sejak dua tahun yang lalu. Sekarang ia tidak tahu harus
bekerja menjadi apa. Ia menganggur. Tinggal di rumah orangtuanya dan kadang
juga menyelip tidur di antara tubuh orangtuanya jika hujan. Ia anak yang manja.
Yang mungkin akan dibenci oleh orang-orang sekumpulan yang mudah bergaul serta
tak manja.
Elanie
mendesah, lalu ia mengangguk. “Baiklah, asalkan jangan seperti suami Eline. Aku
tidak mau. Charlos selalu menggodaku, kau tahu,”
“Dia
memang penggoda, sayang. Charlos sudah menganggapmu sebagai adiknya. Dan calon
suamimu ini tidak sama sekali mirip dengan Charlos. Ia menarik, tidak ada yang
perlu kautakutkan, sayang,” ucap ibu Elanie yang berambut pirang dari samping
tubuh Elanie. Tangannya yang sudah
keriput itu mulai mengelus rambut Elanie. “Kau akan menyukainya,”
“Tapi
aku tidak pernah bersama seorang laki-laki sebelumnya, Bu. Aku hanya takut jika
ia tidak menyukaiku. Aku kaku. Aku mudah kikuk,”
“Kita
berdua tahu, tapi kau sudah berumur 24 tahun. Kau ingin menjadi perawan tua?”
“Tidak!”
Elanie langsung menyergah ucapan ayahnya itu.
“Baik.
Jika begitu, dua hari ke depan kau akan bertemu dengan calon suamimu. Bagus
sayang,” ucap ibunya dengan lembut. Ia mengecup pipi Elanie lalu bangkit dari
kursi bar dapurnya lalu berjalan menuju tempat cuci piring kotor. “Kau pasti
akan menyukainya.”
“Bagaimana
jika ia tidak menyukaiku? Aku hanya takut jika ia tidak menyukaiku,” ucap
Elanie takut-takut, ia menggigit bibir bawahnya, kepalanya tertunduk. Keraguannya semakin terlihat jelas sekarang.
Ternyata hal itu menular pada ayahnya yang sekarang mulai ragu akan keselamatan
anaknya. Bagaimana jika anaknya tidak baik-baik saja bersama dengan pria
ini? Meski teman baiknya sudah
meyakinkan ayah Elanie bahwa anaknya akan baik-baik saja jika tinggal bersama
dengan anaknya –anak teman baik ayah Elanie. Ibu Elanie menghampiri Elanie dari
belakang lalu memegang kedua pundak anaknya, ia berusaha membuat Elanie tenang.
Jangan sampai anaknya menjadi perawan tua yang hanya mengelus anjingnya di atas
kursi goyang. Ibu Elanie bahkan tidak pernah berniat untuk membayangkan hal
itu, namun ternyata kejadian. Fakta bahwa Elanie tidak pernah berpacaran memang
benar. Ia tidak mempunyai pengalaman dengan seorang lelaki. Dan ibu Elanie
berharap calon suami Elanie dapat membuat Elanie nyaman dan terbiasa hidup
bersama dengan seorang pria.
Ibu
Elanie bahkan tidak pernah bertemu dengan anak teman suaminya. Mengapa Elanie
membuat segalanya menjadi sulit? Mereka hanya ingin melihat Elanie bahagia
bersama dengan pasangan hidupnya. Jika ia tidak bisa menemukan belahan jiwanya,
mungkin mereka –orang tua Elanie—bisa menemukannya. Keputusan ini adalah
keputusan putus asa mereka. Jika berhasil, mereka akan pesta di atas ranjang.
Jika tidak, mereka akan membakar ranjang.
“Dia
akan menyukaimu sayang,” ucap ibunya mengelus kepala Elanie. “Mata birumu akan
membuatnya terpikat padamu. Rambutmu yang panjang ini akan ia elus seperti ibu
mengelus rambutmu jika kau menangis. Kau hanya …kau sempurna, baby girl,”
“Kau
yakin? Apa kalian sudah pernah bertemu dengan pria ini?” Tanya Elanie
mendongak, menatap ayahnya dengan kedua alis bertaut. Elanie memang sangat
cantik. Matanya besar berwarna biru bening seperti mata air, ia memiliki bibir
yang menggiurkan untuk dilumat, serta rambutnya yang mendukung kecantikan wajah
Elanie. Mungkin kekurangannya keningnya yang cukup lebar serta buah dadanya
yang tidak begitu besar. Ia selalu diejek oleh Eline karena buah dadanya tidak
sebesar Eline. Eline lebih baik daripada Elanie. Ia masih memiliki buah dada
dan keningnya biasa-biasa saja. Maka dari itu Elanie memiliki poni untuk
menutupi keningnya. Eline memiliki mata yang sama seperti ayahnya, cokelat.
Namun rambutnya sama dengan ibunya yang berwarna pirang. Ayah Elanie menurunkan
rambut cokelatnya pada Elanie.
Ayah
Elanie menggeleng kepala. “Belum. Namanya Justin Bieber. Tetapi dia adalah anak
dari teman ayah. Ayah yakin ia adalah pria baik-baik dan dia akan menyukaimu,”
“Tapi
yang kudengar dari Eline, biasanya orang-orang kaya seperti teman ayah itu suka
bermain-main dengan wanita-wanita di luar sana. Minum bir. Ciuman. Uh, astaga,
aku tidak bisa membayangkan betapa buruknya pria itu,”
“Hey,
jangan berprasangka buruk, nak. Belum tentu apa yang kaubilang adalah benar,
sayang. Yang perlu kaulakukan hanyalah diam di kamar, menulislah, dan urus
dirimu agar tetap hidup,”
Elanie
menatap ayahnya dengan raut wajah pasrah. Ia tidak tahu apa yang harus ia
lakukan selain mengikuti apa yang ayahnya katakan. Mungkin memang jodohnya ada
di rumah pria itu. Setelah Elanie
berpikir lama-lama, akhirnya ia baru sadar. Ia sekarang bersyukur karena
orangtuanya melakukan perjodohan ini. Elanie gadis yang kaku, sampai dia mati
pun, jika ia tetap kaku, ia tidak akan mendapatkan seorang pria. Beberapa detik
kemudian ia mengangguk. Ia benar-benar seperti anak kecil yang disuruh pergi ke
dokter gigi tapi jangan sampai ia menangis atau bertingkah gila selama
diperiksa setelah itu orangtuanya akan membelikannya boneka.
Dan
ia berharap, ia memang mendapatkan bonekanya. Boneka hidupnya. Mungkin ia tidak
akan mainkan boneka itu.
***
Keinginan
terbesar Elanie sekarang hanyalah ia bisa secepatnya keluar dari pertemuan ini.
Ia tidak suka dilihati oleh banyak orang seperti ini. Ia merasa sebentar lagi,
ia akan dimakan oleh manusia-manusia yang ada di hadapannya. Tangannya meremas
tangan ibunya yang ia pegang, ia selalu ketakutan saat ia harus diperhadapkan
oleh banyak orang. Well, sebenarnya, ia bersikap tertutup karena ia selalu
ditindas oleh teman-temannya sewaktu SMA. Saudara kembarnya, Eline, selalu
membelanya saat SMP atau SMA. Tetapi, dari semua tindasan yang ia terima, zaman
SMA-nya adalah yang paling buruk dari semua. Ia beruntung memiliki Eline yang
pemberani dan selalu membelanya. Elanie kadang cemburu karena ia tidak memiliki
sifat pemberani seperti Eline. Dan sekarang, ia tidak memiliki Eline di
sisinya. Yang ia punya hanyalah ayah dan ibu yang mengapit tubuhnya di
tengah-tengah mereka. Elanie menundukkan kepalanya malu-malu. Rambut cokelat
Elanie yang ia dapat dari ayahnya itu berhasil menutupi wajahnya yang cantik.
Sebenarnya,
apa yang akan ia lakukan di rumah besar seperti istana ini? Ayah dan ibunya
sepertinya sudah sering bertemu dengan orang-orang ini. Elanie tidak pernah
mengingat atau bahkan tahu teman-teman dari orangtuanya. Namun Eline. Eline
adalah wanita yang mudah berbaur. Ia ramah kepada semua orang. Elanie sempat
berpikir, apakah hidup sempurna adalah hidup yang dimiliki oleh Eline? Karena
jika ya, Elanie bersedia mengikuti apa yang Eline lakukan. Satu orang pria
berwajah 4 kepala itu mulai berbicara dengan suara yang lantang. Ia membuat
kedua ujung lutut Elanie berciuman, kepalanya semakin menunduk. Pria itu
berucap, mempersilahkan beberapa orang untuk masuk ke dalam ruangan besar ini. Elanie
mulai mendongak dan melihat siapa yang muncul. Pertama adalah seorang pria
bertubuh tegap, memakai setelan rapi dengan dasi berwarna biru. Pria itu
memiliki mata biru yang sama seperti pria yang mempersilahkannya masuk ke
ruangan. Lalu disusul dengan pria yang lebih muda, memiliki tahi lalat kecil di
atas sudut bibirnya, rambutnya lebih panjang dan terlihat sangat mudah bergaul
karena senyumnya yang menawan. Mata biru yang dimiliki pria kedua itu menatap
pada Elanie lalu tersenyum ramah pada Elanie. Inikah pria yang akan dijodohkan
dengan Elanie? Elanie menunduk kepala, tersipu malu atas senyum menawan pria
itu, pipinya memerah.
“Ini
anak pertamaku, Angelo. Dan ini adalah anak keduaku, Robert. Mereka berdua
telah memiliki istri. Mereka berdua adalah aset berharga di keluargaku. Aku
bangga dengan mereka berdua karena telah membangun perusahaan yang kubangun
menjadi lebih maju—dan berkat kau juga, Clinton,” ucap pria itu mengangguk
dengan senyum penuh arti pada ayah Elanie yang membuat ayah Elanie balas
mengangguk. Pria itu mempersilahkan kedua anaknya untuk duduk di samping istri
mereka yang sedang menggendong anak. Ruangan ini terasa sesak bagi Elanie. Ia
butuh udara. Dan sial sekali, mengapa pria yang kedua itu harus sudah memiliki
istri? Padahal Elanie ingin bersama dengan pria itu.
“Tetapi,
mereka berdua bukan bintang utamanya malam ini—selain Elanie,” ucap pria itu
membuat Elanie mendongak, pipinya tambah memerah. “Ayo, Justin. Masuklah, tidak
apa-apa,” pria itu memanggil seseorang—hampir berteriak. Pintu kayu tua yang
kokoh itu tidak memunculkan seorang pria sama sekali. Elanie jadi penasaran.
Siapa anak ketiganya? Apa lebih tampan dari anak keduanya? Ada suara
berisik-berisik dari luar ruangan ini. Seperti suara rengekan, lalu tiba-tiba
bunyi dorongan ke pintu terdengar. Itu membuat pria yang memanggil Justin itu melangkah
satu kali. Sebelum benar-benar melangkah pada pintu itu, akhirnya muncul
seorang pria yang masuk dengan keadaan tak rapi. Ia mengancing satu kancing jas
hitamnya berjalan sempoyongan ke arah ayahnya. Kepala Justin masih tertunduk
saat ia melangkah, sampai akhirnya ia tak sengaja hampir menabrak tubuh pria
yang memanggilnya tadi, sebelum pria yang memanggilnya itu menahan pundaknya.
“Oh,
sial! Ayah, kancingkan!” Perintah pria yang bernama Justin itu pada ayahnya.
Dengan penuh kesabaran, ayah Justin mengancingkan jas hitam anaknya. Lalu ia
merapikan sebentar pakaian anaknya dan rambut yang menutupi kening anaknya.
“Terima kasih ayah, kau memang yang terbaik.” Ucap Justin mengecup pipi
ayahnya.
“Ya,
ya, ayah tahu,” ucap ayah Justin dengan nada suara berusaha untuk menghargai
anaknya. “Dan ini dia, bintang utama ki—“
“Siapa?”
Tanya Justin memotong ucapan ayahnya. Justin tidak sama sekali menoleh pada
sekumpulan orang yang duduk di lima sofa di hadapannya. Ia hanya menatap
ayahnya. Justin mulai melihat ke sekelilingnya, tetapi tidak pada bagian sofa.
“Tidak ada Nicki Minaj.”
“Bukan
Nicki Minaj, Justin. Bintang utamanya adalah kau,” ujar ayahnya menepuk pundak
Justin, berusaha untuk bersabar atas sikap anaknya yang seperti sosiopat –dan
tepukan pundak ayah Justin semakin lama semakin mengencang, membuat Justin
meringis sehingga ayahnya berhenti menepuk pundak Justin. Justin tersenyum
lebar, ia senang menjadi bintang utama.Pusat perhatian. Tapi ia tidak senang
ditindas. Akhirnya, Justin menoleh pada orang-orang yang terduduk di sofa.
Orang-orang itu menatap Justin dengan raut wajah tegang, canggung, dan tidak
percaya dengan apa yang baru saja mereka lihat. Satu detik kemudian terdengar
suara tangisan bayi dari salah seorang wanita yang sedang menggendong bayi.
“Permisi,”
ucap wanita yang memakai gaun hitam itu dari sofa—istri dari Robert—untuk
meninggalkan ruangan ini. Justin memasukkan kedua tangannya ke dalam kantong
celana lalu berjinjit satu kali dan mengembuskan nafas. Canggung. Benar-benar
canggung. Elanie melihat Justin dari sofanya. Inikah pria yang akan ia nikahi?
Ia kelihatan berandalan! Elanie tidak mau bersama dengan Justin. Ia seperti
pemakai narkoba! Elanie menelan ludah.
“Hai,
semuanya,” sapa Justin mengangkat satu tangannya lalu menyembunyikannya kembali
ke dalam kantong celananya. “Namaku Justin Bieber. Aku 27 tahun. Aku pengurus
salah satu perusahaan ayahku. Dan aku tahu, aku tampan, terima kasih,” Justin
mengangkat kedua tangannya seolah-olah ia menahan para penggemarnya untuk tidak
berteriak-teriak padanya tanpa menatap para penggemarnya. Pria ini memang
sangat percaya diri.
“Paman
Justin!” Seorang anak laki-laki bertepuk tangan di atas pangkuan ayahnya,
Angelo.
“LeBron,
aku tidak percaya kau akan datang ke sini, dude! Wooh, aku bahkan tidak tahu
apa yang sedang terjadi sekarang,” seru Justin berusaha untuk tidak bersikap begitu
kasar, ia menyisir rambutnya dengan jari-jari tangannya, ia menatap apa pun
yang ia bisa lihat kecuali daerah keluarganya yang berkumpul dan orang asing.
Justin memang tidak tahu apa yang terjadi sekarang. Orangtuanya belum
memberitahu Justin tentang perjodohan Justin dengan Elanie. “Dan sekarang aku
ingin buang air kecil,” bisik Justin menundukkan kepalanya lalu menjijitkan
kakinya satu kali lagi.
Hening
di tempat itu. Tidak ada yang berucap. Terutama Elanie. Ia sekarang telah
diperhadapkan dengan jodohnya. Jodohnya.
Tidak ingin suasana canggung menghancurkan acara sore ini, ayah Justin langsung
menepuk tangannya satu kali.
“Well,
Justin. Kau di sini karena kau akan dijodohkan bersama seorang gadis cantik
jelita –yang sepertinya tidak pernah disentuh oleh pria mana pun,” canda ayah
Justin. “Elanie. Elanie Clinton. Silahkan maju ke depan sayang,” pinta ayah
Justin selembut mungkin. Elanie menegang. Tubuhnya menjadi tegap lalu ayahnya
berbisik pada Elanie untuk mengikuti apa yang ayah Justin katakan. Segera saja
Elanie bangkit dari sofa lalu ragu-ragu maju ke depan untuk mendekati Justin.
Ia berdiri di sebelah ayah Justin, bukan Justin. Mata Justin memerhatikan
Elanie, lalu ia menelan ludahnya. Entah ada getaran apa saat ia menatap Elanie.
Getaran ini tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Well, pernah, satu kali saat
seorang wanita berusaha menggodanya. Pipi Justin memerah melihat Elanie lalu ia
menundukkan kepala malu-malu.
“Justin
dan Elanie akan kami jodohkan. Dengan senang hati, kami keluarga Bieber
menyambut kedatangan Elanie untuk masuk ke dalam bagian dari keluarga Bieber.
Seperti yang kita ketahui, Justin belum mendekati wanita mana pun, itu cukup
membuatku dan Lisa putus asa karena diumurnya yang ke-27 sekarang ia belum
memiliki pasangan hidup. Dan sisi lain, Elanie pun belum pernah
berpacaran—seperti apa yang kau katakan Clinton—sehingga kita berdua bersepakat
untuk menyatukan dua insan yang tidak berpasangan ini menjadi satu pasangan
yang serasi. Apa kalian bisa melihat betapa serasinya mereka berdua?” Tanya
ayah Justin yang benar-benar pintar berbicara. Ia meraup bahu Justin dan
Elanie—ia berada di tengah-tengah. Justin mengangkat kepala, begitu juga dengan
Elanie lalu mereka berdua sama-sama tersenyum. Orang-orang yang ada di hadapan
mereka ikut tersenyum lalu menganggukkan kepala mereka pelan-pelan secara tak
sadar. Bagaimana tidak? Mereka memang terlihat sangat serasi dengan senyum
menawan. Justin orang yang percaya diri sekaligus malu-malu tetapi Elanie orang
yang kaku dan malu-malu. Ia seorang penurut. Dari fisik, mereka terlihat
serasi. Hanya saja, Elanie atau Justin harus meninjau hubungan mereka lebih
jauh lagi.
Justin
tidak mendengar apa yang ayahnya katakan selanjutnya. Ia dari tadi hanya
memerhatikan Elanie yang berdiri di samping ayahnya dengan balutan gaun panjang
selutut berwarna putih yang tidak begitu ketat serta ikat pinggang kecil
berwarna emas yang melingkar di pinggangnya yang ramping. Poni Elanie membuat
wajah Elanie semakin manis. Elanie menggigit bibir bawahnya yang membuat Justin
terkesiap. Mengapa gadis itu melakukan hal itu
pada Justin? Sekujur tubuh Justin seketika berkeringat. Justin ingin menikah
dengan gadis ini sekarang juga, jika bisa. Tapi ia juga tidak percaya diri
karena ini kali pertama ia akan berbicara hal-hal yang mungkin tidak pernah ia
kira sebelumnya. Sebentar lagi ia akan menjadi seorang suami. Justin menelan
ludahnya bersamaan ketika ayahnya selesai berbicara.
“Sekarang,
biarkan mereka berdua saling mengenal satu sama lain sementara kita meminum
teh. Ayo, ikut aku.” Ajak ayah Justin meninggalkan mereka berdua di tempat.
Orang-orang yang duduk di sofa itu mulai berdiri dan meninggalkan ruangan itu.
Ibu Elanie menatap Elanie dengan tatapan penuh arti. Sedangkan ayah Elanie
terlihat cukup khawatir. Justin
melakukan tos dengan anak Angelo yang ia panggil LeBron itu lalu ditinggalkan
begitu saja. Pintu kayu yang berat itu tertutup begitu saja.
Hening.
Hanya
satu meter jarak mereka berdiri. Namun tidak ada satu pun di antara mereka
berusaha untuk berbicara. Justin tentu tidak akan menyentuh tangan Elanie!
Gila, ia tidak pernah ingin menyentuh tangan wanita sebelum ia menikah.
Memikirkan untuk menyentuh tangan Elanie saja sudah menakutkan, bagaimana bisa
perjodohan ini bisa berhasil? Justin mendesah. Demi mendapatkan gadis ini,
Justin rela melakukan apa pun agar ia cepat menikah. Justin mulai berpikir, hal
apa yang akan ia bicarakan dengan Elanie? Ia menjijit satu kali lagi sambil
menggerakan kedua tangannya ke depan ke belakang.
“Ap-apa
kau ingin pergi ke kamarku?” Tanya Justin berhati-hati. Elanie menoleh. Bibir
atasnya menutup bibir bawahnya lalu ia menekan bibir atasnya hingga membuat
tubuh Justin bereaksi tidak seperti biasanya. Apa-apaan yang Elanie lakukan
pada Justin? Lalu Elanie mengangguk kepala satu kali. Ia berpikir, Justin tidak
mungkin akan menidurinya karena ia bisa berteriak dan orang-orang di rumah ini
akan mendengarnya. “Sempurna.”
***
Justin
memegang tangan Elanie dengan jantung yang berdetak kencang. Astaga, tangannya benar-benar lembut!,
seru Justin dalam hati. Ia berusaha untuk tidak terlihat gugup. Ia bisa
melakukan ini dengan baik. Ia bisa menaklukan Elanie. Elanie memegang sebuah
gelas berisi air putih, ia memang membutuhkannya. Mereka telah berdiri di depan
pintu kamar Justin, lalu Justin menghela nafas. Ini pertama kalinya ia membawa
seorang gadis ke dalam kamarnya. Kau bisa
melakukannya Bieber!, Justin menyemangati dirinya. Pintu kamar Justin
terbuka. Mereka mulai masuk lalu pintu tertutup.
Elanie
terdiam. Tangannya berusaha mencengkeram gelas yang ia pegang dengan erat agar
tidak lepas. Matanya tidak berkedip. Ia melihat begitu banyak susunan koleksi
mainan dinosaurus yang dipajang di tembok yang berbaris tiga. Tidak ada poster
wanita seksi? Tidak ada gitar listrik? Tidak ada baju hitam yang berserakan di
atas tempat tidurnya? Justin memerhatikan reaksi Elanie sambil menjijitkan
kedua kakinya berkali-kali sehingga ia terlihat melompat-lompat di tempatnya.
“Kau
memiliki mainan ini? Ini sangat brilliant!” Puji Elanie tersenyum. Senyum
Justin melebar. Ternyata responnya benar-benar bagus.
“Ayo,
ada lagi mainan—oh, ya Tuhan! Maafkan aku! Maafkan aku!” Justin berteriak panik
ketika ia tak sengaja menarik siku-siku Elanie yang membuat gelas yang berisi
air putih itu secara tak sengaja tertumpah di atas pakaian bagian dada Elanie.
Sekarang bra biru yang Elanie pakai terlihat dari luar. “Ya Tuhan maafkan aku!”
Tangan Justin menyentuh-nyentuh gaun bagian atas Elanie, menyentuh dada Elanie
yang kecil itu.
“Ya
Tuhan! Justin …jangan sentuh…”
“Ya
Tuhan, aku bisa membersihkannya, kumohon maafkanku. Jangan adukan pada
orangtuaku! Tolong, tolong, tolong?!” Mohon Justin bersungut-sungut pada
Elanie. Ia mulai bersimpuh di hadapan Elanie dengan kedua tangan seperti orang
yang berdoa. Wajah Elanie memucat. Dia baru saja disentuh di daerah
terlarangnya oleh orang asing, orang yang baru ia temui setengah jam yang lalu.
“Kau pucat! Kau pasti akan mengadukan hal ini pada orangtuaku. A-aku akan
mengurung diri di kamar mandi sekarang!”
“Tidak!”
Elanie menahan tangan lengan Justin saat Justin mulai berdiri dan ingin pergi.
“A-aku hanya butuh pakaian kering sekarang. Dan handuk,” ucap Elanie menelan
ludahnya. Justin menoleh, membalikkan tubuhnya pada Elanie lalu mengangguk
seketika.
“Asalkan
tidak memberitahu pada orangtuaku?” Tanya Justin memberikan jari kelingkingnya
pada Elanie. Elanie langsung mengaitkan jari kelingkingnya pada Justin lalu
mengangguk. “Masuklah ke dalam kamar mandiku. Aku akan datang sebentar lagi,”
ucap Justin. Elanie mengangguk. Justin keluar dari kamarnya sementara Elanie
berjalan untuk mencari dimana kamar mandi. Di kamar Justin ada tiga pintu yang
entah apa itu kamar mandi atau lemari pakaian. Ia membuka pintu pertama, lemari
pakaian yang cukup luas. Lalu pintu kedua. Elanie mundur beberapa langkah
karena ketakutan. Ia melihat patung dinosaurus yang lebih tingg darinya sedang
tersenyum lebar, memamerkan giginya yang putih serta tajam itu. Pantas pintunya
sangat besar. Berarti yang terakhir adalah kamar mandi.
Ia
masuk ke dalam kamar mandi yang luar biasa besar. Terdapat bak mandi, shower di
tempat lain, dan ruang sauna. Apa-apaan ini? Elanie menutup pintu kamar mandi
lalu berjalan lebih dalam. Ia menyimpan gelas yang sudah tidak berisi air itu
ke atas tempat peralatan mandi. Ia melihat cermin lalu melihat seberapa buruk
penampilannya. Bagian atasnya memang sangat basah dari dada hingga pinggangnya.
Elanie mulai membuka gaunnya hingga menyisakan bra dan celana dalamnya yang
memiliki warna senada. Pintu terbuka begitu saja.
“Holy shit! Apa-apaan yang baru saja
kulihat? Demi Tuhan, apa-apaan yang baru saja kulihat?!” Teriak Justin histeris
hingga wajahnya memerah. Justin menelan ludahnya, matanya terpejam, ia
terengah-engah. Astaga, apa-apaan yang baru saja ia lihat? Wajah Elanie
memucat, ia terdiam di tempatnya. Ia kaku, benar-benar kaku. “A-aku tidak akan
mengintip. Ini pakaian kering untukmu, ambillah,” ucap Justin masih memejamkan
matanya. Namun Elanie tidak ingin beranjak dari tempatnya. Ia ketakutan. Gaun
yang sudah ia lepas sekarang sudah seperti handuk baginya. Ia menutup tubuh
bagian depan.
“O-oke,
aku yang akan datang padamu. Aku bersumpah demi Tuhan tidak akan mengintip!”
Seru Justin mengangkat tangan kiri untuk menutup matanya. Ia mulai berjalan
masuk ke dalam kamar mandi dengan langkah hati-hati. Tangan kanannya menjulur
pada Elanie. Segera saja Elanie meraih baju itu dari tangan Justin. “Ini adalah
kejadian terhoror dalam hidupku, ya Tuhan.” Justin menarik ingus.
:)
Hahahaha. Baru baca prolognya aku uda ngakak.. gmna sampe kelar..
BalasHapusOh my God.. aothor emang bner2 keren