Sabtu, 31 Mei 2014

Pure Love Bab 9




            Alis Justin terangkat satu ketika ia melihat sebuah benda aneh di atas tempat tidur tergeletak begitu saja.  Plastik putih menutupi benda yang berbentuk persegi itu lalu sebuah perekat berwarna hijau muda agar isinya tidak keluar. Seperti anak kecil yang penasaran dengan sebuah benda, tidak berpikir panjang lagi, Justin mengambil benda itu. Benda apa ini? Mengapa ada di atas tempat tidurnya? Elanie sedang berada di kamar mandi, mungkin ini salah satu peralatan mandinya yang ketinggalan dari luar? Justin menelan ludah, bingung apa ia harus masuk ke dalam kamar mandi dan memberikan benda ini pada Elanie atau didiamkan saja di atas tempat tidur sementara benaknya tidak fokus karena rasa penasarannya yang membabi buta?  Suara pancuran air masih terdengar, berarti Elanie masih mandi.
            Setelah pulang dari acara ulang tahun pernikahan Angelo—dimana ia merasa senang karena kedua kakaknya tidak berani mengganggu Justin—Elanie dan Justin pulang dengan tubuh lesu. Elanie memutuskan untuk mandi agar tubuhnya tetap bersih, terlebih lagi ia sedang mengalami datang bulan, ia harus lebih ekstra bersih dari sebelumnya agar tidak ada bakteri yang membuat dirinya terserang penyakit berbahaya. Justin belum mandi, ia menyuruh Elanie lebih dulu membersihkan dirinya karena Justin memiliki urusan di kantor kerjanya. Seharusnya sekarang Justin mencaritahu tentang kehamilan, namun ia lupa membawa ponsel yang ia tinggalkan di kamarnya, berjaga-jaga apabila Robert dan Angelo membohonginya, Justin akan menghubungi ayahnya dan mengadukan bahwa kedua kakaknya bukan lagi kakak Justin. Pikiran Justin sudah tak fokus lagi, tanpa sadar ia membuka perekat plastik putih itu lalu membuka benda yang ternyata seperti kertas terlipat.
            Saat ia melihat benda yang terbentang di hadapannya itu, ia teringat akan sesuatu. Iklan. Namun ia lupa iklan apa, yang jelas di iklan itu terdapat seorang wanita yang ketika berjalan terus dilihati bokongnya oleh orang asing. Ternyata di celana yang wanita itu kenakan terdapat bercak merah setelah itu Justin tidak tahu lagi bagaimana iklan itu. Otaknya terus berputar, tetapi tadi Justin tidak melihat bercak merah di gaun Elanie? Jadi untuk apa Elanie memakai benda ini? Justin bangkit dari tempat tidur lalu berjalan menuju pintu kamar mandi. Sudah menjadi sebuah kebiasaan bagi Elanie, ia tidak mengunci pintu kamar mandi karena lagi pula, siapa yang berani masuk ke dalam kamar mandinya selain suaminya sendiri? Justin membuka pintu kamar mandi, sontak Elanie sedikit terkejut. Ia sedang menyabuni lehernya, tubuhnya telanjang bulat. Takut-takut Justin menundukkan kepalanya.
            “Elanie, kurasa kau ketinggalan sesuatu,” ucap Justin dengan suara pelan. Ia tidak ingin mengintip! Matanya melihat lantai-lantai di kamar mandinya, lalu ke daerah pancuran air—tempat Elanie mandi sekarang—seketika itu juga matanya terbelalak. Terdapat darah yang mengalir dengan anggunnya dari kaki Elanie menuju lubang saluran air, istrinya berdarah? Tubuhnya membeku.
            “Sesuatu yang kutinggalkan? Apa itu Justin?” Tanya Elanie masih memunggungi Justin, namun ia sudah tidak malu lagi seperti hari pertama mereka bertemu. Mata Justin masih menatap ngeri lantai yang berdarah tadi, tetapi sekarang darah itu sudah hilang masuk ke dalam lubang saluran air. Tiba-tiba darah itu kembali muncul dari betis Elanie melewati kakinya dan lantai.
            “Elanie, mengapa kau berdarah?” Tanya Justin ragu-ragu. Tubuh Elanie yang awalnya relaks di bawah pancuran air hangat tiba-tiba saja membeku. Bodoh, bodoh, bodoh! Mengapa suaminya harus melihat darahnya keluar? Sial, Elanie lupa kalau sekarang ia sedang datang bulan. Justin melangkah satu kali mendekati Elanie. Bahkan tubuh Elanie yang telanjang itu sekarang tidak menggairahkan lagi saat Justin melihat darah itu mengalir dari betis Elanie! Apa yang terjadi pada istrinya ya Tuhan? Mengapa Tuhan menyiksa istrinya seperti ini? Dan Elanie tidak mengatakan apa pun selama ia berdarah? Berarti sekarang anaknya meninggal di dalam perut Elanie? Justin berlutut di atas lantai kering, ia menundukkan kepalanya.
            “Aku ayah yang bodoh! Ayah yang tolol! Ayah brengsek! Mengapa aku membiarkan anakku meninggal? Ya Tuhan,” Justin terisak dengan kepala tertunduk. Elanie tidak tahu apa yang harus ia lakukan selain ia membersihkan tubuhnya lebih cepat sementara Justin semakin lama menangis semakin kencang dan terus menyalahkan dirinya sendiri akan sesuatu. Elanie sudah tahu pasti Justin tidak mengetahui tentang datang bulan yang selalu wanita dapati jika wanita itu tidak hamil. Dan sekarang terjadi. Dan mengapa Justin bisa mengatakan bahwa ia adalah ayah yang bodoh? Elanie bahkan belum hamil. Setelah mematikan pancuran air, Elanie mengeringkan tubuhnya dengan handuk. Ia membuka tirai plastic lalu keluar dari pancuran air. Mata Elanie melihat tampon yang Justin pegang di tangannya lalu dengan segera mengambilnya.
            “Anakku meninggal, Elanie! Anakku meninggal,” seru Justin tersedu-sedu dengan keadaan masih bersimpuh di tempatnya. Mengapa Justin bisa sebodoh ini ya Tuhan? Mengapa Tuhan memberikan cobaan tidak normal seperti ini pada Elanie? Sudah mempersiapkan celana dalam sebelum mandi, Elanie mengambilnya dari gantungan handuk. Setelahnya ia menempelkan tampon itu ke celana dalamnya lalu memakai celana dalamnya di hadapan Justin. Justin memerhatikan Elanie yang terlihat santai. Mengapa Elanie bisa berlagak begitu santai sementara anakku mati di dalam perutnya sekarang? Bagaimana mungkin Elanie melakukan itu padaku? Justin menjerit dalam hati sementara matanya memperlihatkan pada Elanie sebuah kesakitan. Kesakitan batin antara ayah dan bayinya—padahal Elanie belum hamil. Mata Justin memerhatikan Elanie yang mulai mengganti handuk menjadi sebuah jubah putih untuk menutupi tubuhnya dan mengikatnya. Mata Justin sudah memerah akibat tangisannya yang berlebihan itu. Untuk yang ketiga kalinya, Justin melihat kaki Elanie, kali ini tidak ada yang darah yang mengalir dari betis. Oh, apa anaknya sekarang sudah hidup kembali di perut Elanie? Justin terisak.
            “Mengapa anakmu bisa meninggal Justin?” Tanya Elanie dengan lembut, ia ikut bersimpuh di hadapan Justin. Justin melihat rambut Elanie yang basah terus meneteskan air dari ujung rambutnya.
            “Karena aku baru saja melihatmu berdarah. Ap-apa anakku memang sudah meninggal di dalam perutmu sekarang?” Justin bertanya polos. Bahkan kedengaran egois karena ia mengakui anak mereka menjadi anak-nya. Seolah-olah anak itu hanyalah anak Justin seorang, bukan milik Elanie. Elanie tergelak satu kali akan ucapan Justin. Tuhan memang sedang mengujinya sekarang. Kesabaran Elanie tiap hari diuji lebih berat lagi. Namun bagaimana pun juga, Justin adalah suaminya.
            “Aku belum hamil, Justin. Bagaimana mungkin anakmu bisa meninggal sementara di perutku belum diisi oleh janin sekalipun?” Suara Elanie terdengar sangat lembut, seperti ibu kedua bagi Justin.
            “Tetapi Angelo bilang jika kau berdarah berarti kau keguguran,”
            “Aku belum hamil, Justin. Ini hanyalah datang bulan. Aku akan mendapatkannya satu bulan satu kali jika sel telurku tidak dibuahi oleh spermamu. Mungkin dua hari lagi akan selesai,” ucap Elanie menjelaskan. Namun Justin sepertinya akan memutuskan untuk sekolah dua kali lagi agar ia bisa mengerti apa yang Elanie katakan.
            “Berarti alat kelaminmu terluka setiap satu bulan satu kali?” Tanya Justin, takut.
            “Tidak, bukan seperti itu,”
            “Tetapi kau berdarah, Elanie! Bagaimana bisa itu tidak dikatakan terluka? Sudah pasti alat kelaminmu terluka—atau jangan-jangan aku penyebab kau terluka sekarang karena aku telah memasuki tubuhmu dengan alat kelaminku? Ya Tuhan, ya Tuhan, ya Tuhan,” Justin berucap ngeri sekaligus merasa kesal pada dirinya sampai ia menangis lagi.
            “Justin, aku tidak terluka. Ini hanya pendarahan dari dalam tubuh. Mungkin yeah, memang terasa sedikit nyeri di perut. Tetapi itu hal yang wajar Justin. Jika aku tidak mengalami hal seperti ini, berarti aku tidak normal. Kita tidak akan mendapat kesempatan untuk memiliki anak,” jelas Elanie. Justin menelan ludah, ia menghentikan tangisannya. Padahal Justin sudah berjanji pada dirinya sendiri agar tidak menangis di hadapan Elanie karena ia malu. Tetapi, ayah mana yang tidak menangis jika anaknya meninggal—sekalipun hanya kesalahpahaman? Justin menyeka air matanya dengan punggung tangan lalu kepalanya terangguk, mengerti. Berarti Elanie tidak hamil.
            “Jadi ini normal? Kau tidak terluka atau apa pun?”
            “Yeah, ini normal. Tidak ada yang perlu kautakutkan. Anakmu tidak meninggal karena aku belum hamil—dan jangan sampai anak kita meninggal di dalam perutku—aku hanya datang bulan, sayang. Kau mengerti sekarang?”
            Justin mengangguk. “Lalu benda apa tadi yang kau tempelkan ke celana dalammu? Kau memang suka pipis di celana?” tanya Justin, polos. Elanie tertawa sampai ia harus menundukkan kepala akan kelucuan Justin. Astaga, mengapa suaminya masih bisa berpikir sampai sana? Tidak mungkin Elaine pipis di celana dan memakai tampon. Apa Elanie terlihat seperti anak bayi sekarang?
            “Bukan pipis di celana, sayang. Karena kau berdarah, aku membutuhkan ini agar kau tidak perlu melihat darahku yang keluar kemana-mana. Lagi pula, aku yakin kau tidak senang melihat darah bukan?” Tanya Elanie mengelus tengkuk Justin dengan penuh perhatian. Justin menganggukkan kepala, seperti anak kecil yang manja pada ibunya, bibirnya cemberut.
            “Aku benci darah yang keluar dari tubuhmu. Tapi, memang bukan karena kau terluka kan? Apa itu tandanya aku tidak boleh berhubungan badan lagi denganmu?” Tanya Justin malu-malu, pipi Justin memerah, kali ini. Ya ampun, Justin terlihat seperti anak kecil yang ingin menyatakan cinta pada teman sebangkunya meski orangtua anak kecil ini menganggapnya hanya cinta yang main-main. Elanie menggigit bibir bawahnya. Ya ampun, jika ia tidak datang bulan sekarang, sudah pasti dari tadi Elanie berhubungan badan dengan Justin. Hanya saja mungkin 1 atau 2 hari lagi pendarahannya akan selesai.
            “Setelah aku berhenti berdarah, kita bisa melakukannya lagi, Justin,”
            “Janji akan memberitahuku kapan kau berhenti berdarah? Uh, sangat aneh. Ternyata menjadi wanita sangat tidak menyenangkan, tetapi dalam waktu yang bersamaan mereka bisa sangat keren. Bagaimana bisa berhenti dengan sendirinya?”
            “Tanya Tuhan,” ucap Elanie singkat. “Aku ingin ganti baju. Jika kau ingin mandi, mandilah dengan damai.”
            “Aku ingin dimandikan olehmu,” ucap Justin manja, ia menyentuh tangan Elanie agar Elanie tidak beranjak dari hadapannya. Namun kaki Elanie sudah kesemutan karena lamanya ia bersimpuh untuk menenangkan Justin yang menangis seperti anak kecil.
            “Aku akan memandikanmu jika aku sudah berhenti berdarah. Kau mengerti, Justin-ku?” Tanya Elanie menyentuh dagu Justin. Bibir Justin semakin cemberut, ia seperti anak kecil yang kecewa, lalu akhirnya menganggukkan kepalanya dengan lesu. Padahal Justin ingin sekali dimandikan oleh Elanie, tetapi apa boleh buat? Istrinya sedang berdarah, meski Justin juga tidak tahu apa hubungannya dengan masih dengan memandikan Justin.
            “Baiklah, Elanie. Omong-omong, tampon yang kau bilang itu bentuknya sangat lucu. Apa aku bisa memakainya juga?”
            “Apa? Memangnya kau juga suka pipis di celana?” tanya Elanie, menahan tawa. Justin berpikir sebentar, ia melihat ke kanan dan kiri lalu tubuhnya condong ke depan.
            “Kadang-kadang, di pagi hari, aku pipis di celana. Tapi banyak yang bilang itu bukan pipis, mungkin aku bisa memakai tampon untuk menahannya,” bisik Justin malu-malu. Elanie tertawa terbahak-bahak sampai kepalanya terdongak ke belakang. Justin memerhatikan istrinya yang tertawa begitu bahagia, seperti orang yang bebannya dihilangkan selama beberapa saat. Justin ikut tertawa meski ia tidak mengerti mengapa istrinya tertawa karena apa yang ia ucapkan tadi memang kenyataan. Apalagi saat umurnya 16 tahun, satu minggu dua kali biasanya Justin pipis di celana saat tidur, dan banyak yang bilang kalau itu bukan air seninya. Katanya itu sperma.
            “Ya, kau bisa memakainya kapan-kapan, sayang. Jika kau masih normal.” Ucap Elanie mengecup pipi Justin lalu ia bangkit dari lantai, meninggalkan Justin di tempatnya.


***


            “Dia selalu berbohong padaku! Mereka selalu berbohong padaku! Apa pun yang mereka katakan, mereka berbohong!” Justin menunjuk-nunjuk ke arah dua kakaknya dengan raut wajah kesal. Wajahnya memerah dan hampir menangis, namun ia menahan tangisannya karena ia tidak ingin terlihat pengecut di hadapan kakaknya maupun Elanie yang berada di ruangan yang sama dengannya. Jusin mengadukan tentang kebohongan-kebohongan kedua kakaknya pada ayahnya pagi ini. Saat Justin datang ke rumah ayahnya, Justin sudah kehilangan kendali karena ia selalu dibohongi oleh kedua kakaknya terus menerus. Ia sudah bosan dan lelah akan kebohongan kakak-kakaknya. Mungkin bagi mereka itu hanyalah lelucon belaka, namun Justin merasa terlihat konyol di depan istrinya hanya karena karangan-karangan dari kedua kakaknya! Bagaimana pun juga Justin tidak ingin Elanie malu akan kehadirannya dalam kehidupan Elanie. Angelo dan Robert berdiri dengan raut wajah masam sekaligus merasa kasihan pada adiknya.
            Ayah Justin menggelengkan kepalanya. Mengapa kedua kakak Justin juga tidak bisa berhenti mengganggui adiknya? Mr.Bieber sudah tua sekarang, jika setiap hari Justin mengadukan masalah-masalah seperti ini padanya, Mr.Bieber lebih memilih mati dimakan hiu dibanding harus menghadapi masalah ini. Ia mengusap wajahnya berkali-kali sambil menarik nafas panjang.
            “Kalian berdua, ikut aku,” perintah ayah Justin kepada kedua kakak Justin. Ayah Justin berjalan menuju halaman belakang rumah mereka dari ruang keluarga. Saat sudah berdiri di sana, ayah Justin menampar pipi kedua kakaknya itu dengan kencang. “Sudah kubilang berkali-kali, jangan ganggui adikmu! Kau tahu dia memiliki masalah otak. Dia tidak bisa bertemu dengan hal-hal yang seperti itu di masa remajanya karena ibumu takut ia menjadi anak berandalan karena ia anak yang terbuka! Dan kalian membodoh-bodohinya seperti ini? Kau pikir dengan melakukan hal itu, adikmu bisa berkembang seperti pria sejati lainnya? Aku tidak ingin menjadi ayah yang pilih kasih, tetapi kalian berdua memang sudah keterlaluan. Justin membutuhkan kalian berdua karena hanya kalian yang memiliki pengalaman lebih banyak darinya. Jika ibumu tahu Justin akan berakhir seperti orang idiot seperti ini, sudah pasti ia akan setuju Justin disekolahkan di London tentang seks agar ia bisa menjadi dokter. Tetapi mengetahui keadaannya yang terbuka dan ceroboh, kau ingin ia menghamili anak orang sebelum menikah?”
            “Dia terlalu bodoh, ayah! Bagaimana bisa kita menahan diri?”
            “Dia tidak bodoh, dia hanya kurang pelajaran. Jika Lucinda menjawab tiap pertanyaan Justin tentang seks sesuai fakta dan tidak mengarang-ngarang jawabannya pada Justin, sudah pasti dia tidak perlu bertanya hal-hal yang berhubungan dengan seks padamu lagi. Dia hanya anak kesayangan ibumu dan ibumu ingin melihatnya sukses seperti kalian,”
            “Ya, ya, ya. Terserah apa kata ayah, kita tidak berjanji untuk tidak menggangguinya,”
            “Mengapa kau bisa setega ini pada ayahmu sendiri, Angelo? Kau ingin aku mati keesokan harinya hanya karena Justin datang padaku malam-malam atas perbuatan kalian? Kalian ingin aku cepat mati, begitu?” Ayah Justin bertanya, kali ini dengan urat yang sudah tercetak di kulitnya. Angelo dan Robert mendesah karena merasa bersalah. Lalu kepala mereka terangguk.
            “Baiklah, kita tidak akan mengganggunya. Aku terlambat, aku harus pergi bekerja sekarang,” ucap Angelo melirik jam tangannya lalu berjalan meninggalkan ayahnya ditempat, begitu juga dengan Robert. Saat mereka berjalan melewati Justin yang berdiri sambil menggigit-gigit jarinya di tengah-tengah ruang keluarga itu, Justin menatap mereka dengan tatapan tidak suka.
            “Cium bokongku!” Seru Justin gemas.
            “Ya, ya, ya, terserah kau, homo. Aku tidak ingin berdebat denganmu, anak kecil. Kita hanya akan menjauhimu untuk sementara,” Angelo berucap sambil lalu pergi dari hadapan Justin dan Elanie, begitu juga dengan Robert yang menyusul Angelo dari belakang. Setelah kedua orang itu hilang dari pandangan Justin, Elanie bangkit dari sofa.
            “A-aku ingin pergi ke taman tengah kota, kau ingin kita pergi ke sana hari ini?”
            “Apa pun yang kau mau, Elanie.” Justin berucap dengan penuh semangat. Namun Elanie tidak bersemangat.


***


            Mereka berakhir lari pagi bersama di taman kota dengan bersemangat. Justin senang lari pagi jika tiap hari ia berlari bersama dengan Elanie. Bukan karena bokong Elanie yang bergoyang-goyang sekarang—dan terlihat sangat seksi—atau karena Elanie berkeringat. Tetapi karena ikatan rambut Elanie yang membuat Elanie terlihat sangat manis. Well, keringat Elanie juga menjadi salah satu pendukung mengapa Justin menjadi lebih senang berlari jika bersama dengan Elanie. Istrinya sungguh teramat sangat seksi sekarang. Sampai kaki kanan Justin tidak sengaja tersandung oleh kakinya sendiri sampai-sampai ia terjatuh—yang untungnya bukan kepala lebih dulu yang mendarat—dengan indahnya. Elanie yang berlari di depan Justin langsung berhenti mengayunkan kakinya, ia membalikkan seluruh tubuhnya.
            “Lututku terluka,” ringis Justin berusaha untuk bangkit sendiri. Elanie langsung membantu Justin berdiri, ia menarik Justin menuju pinggir taman. Justin dan Elanie terduduk di sana, kaki kanan Justin ditekuk agar Elanie bisa melihat luka lutut Justin. “Berdarah,” bisik Justin.
            “Harus dibersihkan oleh sesuatu,” ucap Elanie berusaha tenang. Elanie merogoh kantung jaket abu-abu yang ia pakai, handuk kecilnya yang tidak terpakai berada di sana. Tanpa berpikir, Elanie langsung mendekatkan handuk kecilnya pada lutut Justin yang terluka. Memang lutut Justin berdarah dan itu harus segera dibersihkan. Bahkan jika membutuhkan ludah sekalipun. Sebelum benar-benar tersentuh oleh handuk kecil Elanie, Justin menghentikan tangan istrinya.
            “Tidak, jangan! Kupikir nanti akan perih dan aku tidak ingin itu terjadi. Ap-apa kau membawa tampon? Aku berdarah, siapa tahu tampon itu bisa berguna untuk membersihkan darah ini,” ucap Justin lebih polos dari anak umur 5 tahun. Elanie menyembunyikan wajahnya di balik kedua tangannya yang terlipat di atas ujung kedua lututnya. Ya Tuhan, Elanie ingin sekali menangis. Jika cobaan ini tidak diizinkan oleh Tuhan, sudah dari tadi Elanie memaki iblis yang memberikan cobaan ini. Tetapi ternyata Tuhan mengizinkan iblis memberi cobaan seperti ini pada Elanie. Bunuh saja Elanie lama-lama. Mereka baru menikah selama dua bulan dan Elanie tidak boleh goyah seperti ini. Ia harus mencoba lagi, membuat Justin lebih dewasa. Elanie pasti bisa. Justin meringis satu kali, membuat Elanie mendongak kepala.
            “Tidak bisa. Benda itu tidak bisa dipakai untuk luka, Justin. Lebih baik pakai handukku saja, setelah itu kita akan kembali pulang, mengerti?” Elanie bertanya tanpa menunggu persetujuan dari Justin. Langsung saja ia mengelap darah Justin yang melumer di sekitar lututnya. Justin meringis, tetapi ia tidak menangis. Sesekali Justin mengutuk, tetapi tidak mengatakan kata kotor. Setelah Elanie merasa lutut Justin sudah cukup bersih, Elanie meniup-niup lutut itu hingga Justin merasa damai. Justin memerhatikan istrinya yang meniup lututnya dengan penuh perhatian. Ia terpana. Sungguh, ia sangat terpana akan perbuatan Elanie yang sangat mulia. Dan Justin bersyukur karena ia mendapatkan Elanie. Bukan Eline yang berteriak-teriak padanya di hari pertama mereka bertemu—well, Justin sedikit memaklumi mengapa Eline berteriak-teriak.
            “El? Elanie bukan?” Suara seorang pria terdengar dari arah sebelah Justin. Justin mendongak, ia melihat seorang pria bertubuh jangkung dengan bahu lebar baru saja memanggil nama istrinya. Siapa pria ini? Justin tidak pernah melihatnya. Elanie mendongak beberapa detik kemudian untuk melihat siapa yang memanggilnya, ternyata Denver.
            “Hai, Denver! Astaga, aku tidak percaya kita bertemu di sini. Sedang lari pagi juga?” Tanya Elanie dengan ramah. Denver mengangguk.
            “Yeah, biasanya kalau sedang bosan aku datang ke sini. Sekaligus melihat pemandangan,” ucap Denver yang matanya dengan liar melihat ke daerah buah dada Elanie yang sialnya tidak kelihatan karena Elanie memakai jaket. “Jadi, ini suamimu?”
            “Ya, aku suami Elanie. Justin Bieber, umurku 27 tahun dan aku suka bermain dengan istriku. Siapa kau?” Tanya Justin dengan angkuh namun terdengar seperti anak kecil yang memperkenalkan diri. Denver mengerjap-kerjapkan matanya beberapa kali untuk menyadarkan dirinya kalau ini bukanlah mimpi. Jadi ini suami Elanie yang namanya Justin Bieber itu? Demi Tuhan, Denver ingin tertawa terpingkal-pingkal di hadapan Elanie.
            “Denver, senang bertemu denganmu, Mr.Bieber. Aku bertemu dengan istrimu tempo hari di kelab. Ia sangat cantik. Kalian pasangan serasi,” kalimat terakhir yang Denver ucapkan sungguh kebohongan mati! Mereka bukanlah pasangan serasi, bagaimana bisa mereka bisa dikatakan pasangan serasi? Well, yeah memang pasangan serasi jika Justin tidak berbicara, tetapi saat Justin berbicara …sungguh, mereka seperti ibu dan anak, dimana ibunya teramat sangat hemat wajah.
            “Kita bertemu saat Eline mengajakku ke kelab waktu itu, Justin. Tetapi kita hanya berteman, jangan berpikir negatif. Denver adalah teman baruku sekarang, ia orang yang sangat ramah,” ucap Elanie mengangguk-anggukkan kepalanya untuk meyakinkan Justin bahwa ia tidak berselingkuh dari Justin. Justin mengangguk satu kali, ia lalu mendongak melihat Denver yang masih berdiri di hadapannya. Mata Justin menyipit karena silaunya matahari pagi lalu ia mendesah.
            “Denver, senang sekali bertemu denganmu. Tetapi istriku adalah milikku. Jika kau ingin mengambilnya dariku, cium bokongku dulu lalu berciuman dengan seorang pria, bercintalah dengan seorang pria setelah itu—“
            “Justin, Justin, sudah cukup, sayang,” Elanie menghentikan ceracau Justin. Sesungguhnya Elanie ingin sekali tertawa akan ucapan Justin yang konyol itu. Tidak mungkin Denver akan mengambilnya dari Justin. Dan Elanie juga tahu bahwa dirinya tidak mungkin meninggalkan Justin. “Senang bertemu denganmu, Denver, tetapi kita harus pergi sekarang. Justin terluka,”
            “Yeah tentu saja, tidak ada yang melarang kalian. Kalau begitu aku pergi,” ucap Denver berlari kembali. Saat tubuh Denver semakin lama semakin mengecil dari pandangan mereka, Justin langsung berseru kesal.
            “Bagaimana bisa kau bertemu dengannya dan kau tidak memberitahu padaku? Kau adalah milik kepunyaanku, Elanie! Tidak boleh ada yang mengambilmu dariku. Aku hanya merasa aneh jika kau berjalan dengan pria lain. Hatiku merasa tak nyaman,”
            “Justin, tenang. Aku dan Denver tidak memiliki hubungan apa-apa selain berteman,”
            “Ya, aku tahu! Tetapi kau tahu apa? Sepertinya …sepertinya aku jatuh cinta padamu.” Saat itu juga tubuh Elanie membeku. Dunia seperti berhenti berputar, waktu berhenti untuk sesaat. Saluran pernafasannya seolah-olah tersumbat, Elanie membutuhkan udara sekarang.
            Dan apa? Justin jatuh cinta padanya?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar