Sabtu, 31 Mei 2014

Pure Love Bab 8


            “Ternyata seperti itu,” gumam Justin saat ia membaca artikel-artikel tentang seks melalui internet, di ruang kerjanya. Setelah ia diyakinkan oleh Elanie bahwa ia tidak hamil, Justin memutuskan untuk mencaritahu tentang seks dan organ-organ seks pada wanita dan pria di ruang kerja. Elanie sudah terlelap satu jam yang lalu sedangkan Justin masih sibuk membaca berbagai artikel. Rasa penasarannya membunuh segala pikiran-pikiran apa ia jatuh cinta pada Elanie atau tidak. Justin menggigit bibir bawahnya tiap kali ia melihat gambar-gambar yang terdapat di artikel itu. Yang rata-rata adalah gambar wanita telanjang sedang menghadap pada kamera. Berkali-kali Justin menelan ludahnya saat melihat gambar itu. Keinginan untuk berhubungan badan dengan Elanie harus ia tahan sebisa mungkin sebelum ia benar-benar mengerti apa itu hubungan badan. Kepalanya terangguk-angguk ketika ia memperlihatkan begitu banyak gaya saat berhubungan badan.
            Jari-jarinya yang panjang mengelus dagu yang sudah berkumis itu. Justin merasa ia harus cepat-cepat mencuku sebelum ia benar-benar menjilat alat kelamin Elanie karena di artikel-artikel sebelumnya ia melihat seorang pria sedang menenggelamkan kepalanya di antara paha seorang wanita. Katanya dengan menjilat alat kelamin wanita, wanita itu akan mendapatkan pelepasan yang lebih luar biasa dibanding hanya mendapatkan satu kali pelepasan ketika tubuh mereka bersatu. Justin sudah tahu dasar-dasar berhubungan badan. Ia sekarang sudah tahu apa yang terjadi pada dirinya ketika ia berteriak di atas tubuh Elanie kemarin malam, menurut artikel yang ia baca, apa yang terjadi pada Justin adalah pelepasan yang normal. Justin menelan ludahnya kembali saat sebuah foto seorang wanita terpampang di hadapannya memiliki buah dada yang besar terekspos dengan jelas. Mengapa Elanie tidak mempunyai buah dada sebesar itu? Apa wanita itu memiliki air susu di dalam buah dadanya sehingga buah dadanya sebesar itu? Justin hanya mengedik bahu. Sekarang bukan air susu yang ia inginkan saat berhubungan badan nanti. Ia ingin merasakan perasaan yang sama seperti malam itu. Pelepasan, pikir Justin setelah ia membaca artikel. Bukan pipis.
            Rasanya sial sekali tiap kali Justin merasa bodoh di hadapan kakak-kakaknya terlebih lagi pada Elanie. Pasti Elanie malu memiliki Justin yang memiliki otak dangkal. Selama ini Justin tidak begitu peduli dengan pelajaran biologi sialan ini. Ia diajarkan oleh orangtuanya hanya sekedar wanita tidak memiliki jakun sedangkan pria memiliki jakun. Setelahnya, Justin diajarkan bagaimana caranya berbisnis dengan baik. Meski teman-teman di kantornya sering mengajak Justin untuk ke kelab, Justin selalu menolak sehingga sampai sekarang ia tidak tahu bagaimana caranya berhubungan badan. Justin belum sepenuhnya menjadi seorang pria saat ini. Mungkin, sebentar lagi. Justin tidak tahu kapan, ia hanya ingin tidak terlihat bodoh. Kepolosannya menjadi kebodohannya sekarang. Setidaknya sekarang, Justin sudah sedikit pintar. Ia hanya tidak perlu bersikap kekanak-kanakan lagi.
            Pintu ruang kerja Justin terbuka begitu saja. Cepat-cepat Justin mengeluarkan aplikasi yang ia buka di komputer tipisnya. Dilihatnya Elanie dengan rambut rapi, gaun tidur tipis selutut, tersenyum pada Justin sekarang. Istrinya melangkah mendekati Justin dengan langkahan yang lambat, membuat Justin bangkit dari kursinya lalu keluar dari belakang meja kerja.
            “Sedang apa Justin?” Tanya Elanie dengan lembut. Ia menyentuh pinggang Justin dengan kedua tangan, mengelus pinggang Justin yang ramping itu. Suaminya sungguh tinggi dibanding dirinya sehingga Justin harus sibuk-sibuk menundukkan kepala agar bisa melihat Elanie.
            “Hanya mencaritahu tentang seks. Aku tidak ingin kelihatan bodoh di depan kakak-kakakku. Apalagi di hadapanmu. Jaid aku menceritahunya agar kau tahulah …kita bisa melakukannya lagi tanpa aku harus banyak bertanya padamu,” ucap Justin, terlalu jujur. Elanie membenturkan keningnya pada dada Justin sambil terkekeh pelan. Suaminya sungguh manis sampai-sampai mencaritahu tentang seks.
            “Kau tidak bodoh, Justin. Mungkin hanya kurang belajar biologi. Tidak mungkin kau bisa menjadi pengusaha jika kau bodoh. Pasti kau memakai otak untuk bekerja. Bagiku, kau tidak bodoh sama sekali. Jadi, jangan pikirkan itu. Kau mau tidur atau melakukan sesuatu?” Tanya Elanie memberi kode untuk melakukan hubungan badan pada Justin. Namun pria kadang memang tidak peka. Justin malah menguap, membuat Elanie menahan tawanya. Mungkin malam ini memang bukan waktu yang beruntung.
            “Kita tidur. Memang kau ingin melakukan apa malam-malam? Besok aku harus bekerja jadi aku harus bangun pagi. Kata ibu, aku sebagai pemimpin tidak boleh terlambat bekerja,”
            “Apa itu masalahmu? Maksudku, selama ini kau hanya mempelajari bagaimana menjadi pengusaha sampai-sampai kau tidak tahu bagaimana berhubungan dengan seorang wanita?” Tanya Elanie pelan-pelan menjauhkan tangannya dari pinggang Justin. Tangan Justin yang awalnya diam di samping tubuhnya mulai menyentuh pinggul Elanie, menarik Elanie ke arah tubuhnya. Mata Justin menatap mata biru Elanie yang memancarkan kekecewaan. Justin belum mengerti tanda-tanda dari seorang wanita, apa wanita itu senang, bahagia, sedih, atau kecewa. Dan Justin juga belum tahu menahu biasanya wanita kecewa atau sedih karena apa karena keseringannya adalah bekerja dan bermain dinosaurus. Mata Elanie berkaca-kaca lalu istrinya menundukkan kepala.
            “Ya,” bisik Justin. “Aku hanya tidak memiliki waktu untuk wanita di luar sana atau pun pelajaran yang tidak akan kugunakan untuk pekerjaan sejak umur 18 tahun. Ayo kita tidur,”
            “A-aku akan mengambil air minum dulu. Kau ke kamar saja lebih dulu, aku menyusul.” Elanie melepaskan pelukan Justin. Ia membalikkan tubuh tanpa menatap suaminya sama sekali.
            “Elanie apa yang terjadi padamu?” Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Justin ketika Elanie menyentuh gagang pintu ruang kerja Justin.
            “Aku hanya haus, sayang.” Elanie membalikkan tubuh pada Justin, ia tersenyum. Senyuman itu hanya untuk menutupi segala sakit hatinya. Bukan pada Justin. Tapi pada orangtua Justin.


***


             Wanita itu tidak mengatakan apa pun pada suaminya sepanjang ia bernafas pagi ini. Justin juga sedikit bingung, biasanya istrinya akan bertanya-tanya tentang jadwal yang ia miliki hari ini. Namun, Elanie tidak mengatakan apa pun. Ia terlalu sibuk berpikir betapa orangtua Justin membuat Justin menjadi seorang yang kurang pergaulan sehingga membuatnya menjadi seperti ini. Mengapa hanya Justin? Mengapa Justin yang diperlakukan seperti ini sedangkan kakak-kakaknya diperlakukan seperti anak-anak Amerika lainnya? Elanie menelan ludah. Sebisa mungkin ia tidak menatap mata Justin agar ia tidak membayangkan seorang remaja umur 18 tahun diajarkan bagaimana caranya berbisnis dengan baik. Bukan malah bersenang-senang dengan teman-temannya di kelab atau di café. Sewaktu Elanie berumur 18 tahun pun ia langsung masuk kuliah dan bermalas-malasan dengan teman-temannya. Bukan belajar untuk berbisnis seperti Justin.
            Dari tadi tangan Justin memegang pinggang Elanie begitu posesif. Elanie tak tega melepaskan tangan itu dari pinggangnya yang membuat Elanie merasa sedikit risih. Dengan disentuh pinggangnya yang ramping itu, Elanie tak kuasa untuk tidak menatap kedua mata Justin yang berwarna cokelat menatap pada Elanie dengan pandangan polos, seperti hari-hari sebelumnya. Tangan Elanie dengan mahir memasangkan dasi lalu merapikan kerah kemeja putih Justin. Setelah selesai, kedua tangan Elanie mengelus-elus kedua bahu Justin dengan lembut. Akhirnya mata biru Elanie bertemu dengan mata Justin.  Tatapannya itu sungguh polos, tidak berdosa, dan terlihat seperti anak kecil yang suci belum tersentuh apa pun. Elanie merasa bersalah karena telah memperlakukan Justin seperti tadi malam.
            “Jadi, kau akan meninggalkanku hari ini lagi?” Tanya Elanie dengan suara yang serak—semalam ia menangis dalam keheningan tanpa sepengetahuan Justin. Elanie berdeham untuk menghilangkan suaranya yang serak, lalu tersenyum agar Justin tidak bertanya mengapa suaranya seserak itu.
            “Ya,” bisik Justin dengan tangan kiri mengelus rambut Elanie, ia menyelipkan rambut bagian depan Elanie ke belakang telinga. “Memangnya kau tidak ingin kutinggalkan hari ini?”
            “Sebenarnya, ya. Aku ingin kau berada di rumah atau kita bisa berjalan-jalan hari ini untuk meninggalkan rasa penat. Kau terlalu banyak bekerja, sayang,” dan terlalu banyak bermain dinosaurus. Namun sebagian kalimat yang Elanie ingin katakan menghilang di dalam hatinya, kalimat terakhir itu tidak bisa mencapai mulutnya yang lembut. Justin mengecup pipi istrinya lalu memeluk tubuh Elanie dengan erat. Perasaan aneh ini terjadi kembali. Mengapa? Justin merasa sangat menyesal karena hari ini ia akan meninggalkan Elanie lagi. Terlebih lagi Elanie ingin ia berada di sampingnya hari ini, namun Justin tidak bisa melakukannya. Begitu banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan hari ini.
            Justin menggigit bibir lalu menjauhkan tubuhnya dari Elanie. “Kau ingin aku bawakan apa malam ini?” Tanya Justin.
            “Kejutkan aku jika kau bisa.” Ucap Elanie membuat Justin merasa tertantang.
            “Aku tahu apa,” Justin berujar dengan penuh percaya diri. “Tunggu saja nanti malam, kau akan terkejut.” Lanjut Justin mengecup bibir Elanie kilat lalu ia mengambil jas berwarna hitam di atas kasurnya.
            “Aku mencintaimu, Justin.” Ucap Elanie ketika Justin berjalan menuju pintu kamar. Justin berhenti sejenak di tempat lalu ia membalikkan tubuhnya, seketika ia membeku. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan. Apa ia harus mengatakan ‘aku cinta kau, Elanie’ atau hanya tersenyum kembali? Namun Elanie menyelamatkannya. “Cepatlah berangkat, nanti kau terlambat.”

***



            Aku ingin pergi bersama dengan Eline sore ini, aku akan pulang kurang dari jam 10, aku akan menghubungimu jika aku akan pulang nanti. Elanie mengirim pesan pada Justin. Kedua sudut bibir Justin tertarik ke atas, membuat sebuah senyuman yang manis. Okay, hati-hati. Justin membalas secepat yang ia bisa lalu kepalanya mendongak melihat pada orang yang sedang mempresentasikan proyek mereka.  Berbeda dengan Elanie yang sedang menyanggul rambut di depan meja rias kamarnya sementara Eline duduk di atas tempat tidurnya. Dari tadi Eline bertanya tentang Justin. Elanie bersyukur karena suaminya tidak dihina lagi oleh Eline. Elanie mengambil ponselnya ketika ponsel itu bergetar satu kali, lalu ia menyalakan ponsel itu. Balasan dari suaminya yang super cepat menyetujui Elanie pergi ke kelab bersama Eline.
            “Kata aku boleh pergi sore ini,” ucap Elanie menatap Eline dari cermin. Eline menganggukkan kepala satu kali, mengerti apa yang adiknya katakan. Ya, memang Eline akan membawa Elanie pergi ke kelab agar Elanie mengetahui bagaimana kehidupan sebenarnya di Amerika. Pakaian yang Eline kenakan pun cukup mengundang para lelaki ingin menghempaskan tubuh Eline ke atas tempat tidur. Perbedaan Elanie dan Eline dapat dilihat dengan jelas saat Elanie berdiri dari kursi meja riasnya. Elanie hanya mengenakan celana jins panjang berwarna hitam yang mencetak kaki rampingnya serta kemeja berwarna putih. Mengapa ia mengenakan pakaian itu? Apa dia ingin pergi ke gereja? Eline menggeleng-gelengkan kepala ketika Elanie berdiri di hadapannya.
            “Tidak, tidak, tidak. Tidak dengan pakaian seperti ini,” ucap Eline memejamkan mata selama beberapa saat. Ia seperti seorang pelatih vokal yang kesabarannya hampir hilang saat anak didiknya terus bermain-main saat latihan padahal konser anak didiknya akan datang besok. Alis kanan Elanie terangkat, ia bingung dengan apa yang saudara kembarnya katakan. Tidak dengan pakaian seperti ini? Lalu dia akan memakai apa? Gaun pernikahannya lagi? Gaun tidurnya? Mata biru Elanie mengikuti Eline yang berjalan menuju lemari pakaiannya. Kakaknya menggeser-geser gantungan pakaian lemari itu, mencari-cari pakaian apa yang cocok dengan adiknya. Sesekali Eline mendecak saat melihat pakaian Elanie yang rata-rata di bawah lutut. Tetapi ternyata Eline masih memiliki harapan untuk adiknya berpakaian dengan baik.
            Ia menarik salah satu gantungan pakaian dari lemari itu. Seketika itu juga mata Elanie terbelalak dengan pakaian yang Eline keluarkan dari lemarinya. Tidak! Elanie tidak akan memakai gaun di atas lutut itu! Pakaian itu bisa benar-benar membentuk bokong, pinggang dan buah dada Elanie ketika gaun itu melapisi tubuh Elanie. Eline menyodorkan gaun itu pada Elanie.
            “Pakai, sekarang. Atau malam ini kita akan benar-benar hancur,”
            “Justin pasti tidak akan setuju dengan pakaian ini,”
            “Kita pergi bukan bersama dengan Justin, bukan? Tidak ada yang perlu kautakutkan, Elanie. Aku yakin kau akan baik-baik saja. Kita berdua akan baik-baik saja, maksudku. Aku akan melindungimu jika ada seseorang yang berusaha menggodamu,”
            “Kau yakin? Tapi kita harus pulang tidak lebih dari jam 10. Justin pasti sudah pulang ke rumah dan ia akan mencariku. Aku tidak ingin ia marah padaku hanya karena aku terlambat pulang,”
            “Aku berjanji kita akan pulang ke rumah tidak lebih dari jam 10.” ujar Eline dengan tegas. Ludah Elanie sepertinya tidak berhasil membuat tenggorokan keringnya menjadi licin. Wanita itu berjalan meninggalkan saudara kembarnya untuk memakai gaun ketat berpotongan rok pendek berwarna hitam berkelap-kelip itu di kamar mandi.

***


            Banyak orang yang meliuk-liukan tubuhnya seperti cacing kepanasan di atas lantai dansa. Kelab itu sangat gelap bagi Elanie yang terduduk di atas kursi bar. Kedua lututnya saling berciuman untuk menutupi bagian terlarangnya. Eline meninggalkannya sebentar karena saudara kembarnya ingin pergi ke toilet. Kepala Elanie terangguk-angguk, ia berusaha untuk menikmati musik elektronik yang diputar oleh DJ untuk kelab ini. Lampu warna-warni menyinari lantai dansa sementara lautan manusia itu tidak mempedulikan dengan siapa mereka berdansa, siapa yang mereka cium, dan siapa yang bokongnya mereka pegang. Elanie sedikit ragu akan tempat ini saat matanya secara tidak sengaja melihat seorang pria bertubuh jangkung dari jarak jauh menatapinya dengan tatapan yang pastinya tidak bersahabat. Elanie berusaha untuk mengabaikan orang itu dengan cara meminum air putihnya. Mungkin dia satu-satunya orang yang memesang segelas air putih di kelab ini. Cukup memalukan, namun lebih baik malu daripada harus mengambil resiko yang lebih buruk dari malu.
            Saat matanya sedang menatapi orang-orang yang menari-nari di atas lantai dansa, tiba-tiba saja Elanie dikejutkan oleh pria yang dari tadi menatapnya. Pria itu mungkin secara tak sengaja menyenggol lengan Elanie yang telanjang itu. Pria bertubuh jangkung itu memanggil bartender untuk memesan minum selama kurang dari satu menit lalu ia membalikkan tubuhnya hingga pria itu dapat melihat apa yang Elanie juga lihat. Kedua siku-sikunya bersandar di meja bar dengan santai. Sungguh, pria itu berotot dan berbulu sampai-sampai Elanie terpaksa menggeliat di tempatnya.
            “Pertama kali datang ke sini?” Tanya pria itu tiba-tiba pada Elanie. Elanie menoleh pada pria itu lalu ia hanya memberikan seulas senyum manis tanpa menjawab apa pun. “Kau sangat pemalu,”
            “Well, itulah yang orang-orang katakan,” ucap Elanie dengan suara normal sampai-sampai pria itu terpaksa harus menajamkan pendengarannya. Leher Elanie memanjang, matanya melihat ke segala arah agar ia bisa menemukan Eline. Namun ia tidak mendapati saudara kembarnya. Pria itu mulai duduk di kursi sebelah Elanie ketika minuman yang ia pesan sudah datang.
            “Tidak sering memakai gaun pendek seperti itu, huh?” Tanya pria itu memerhatikan paha Elanie yang putih itu berusaha untuk ditutupi oleh wanita ini. Sudut-sudut bibir pria itu berkedut untuk menahan tawa. Lama kelamaan Elanie jengkel. Untuk apa pria itu bertanya-tanya? Apa itu penting bagi pria ini? Elanie bersikap begitu keras pada pria itu, sampai-sampai Elanie tidak percaya ia melakukan itu pada Denver. Untungnya, Elanie adalah orang yang sabar. Elanie tidak mengatakan apa pun pada pria di sampingnya yang sedang minum itu lalu akhirnya pria itu berucap kembali.
            “Omong-omong, namaku Denver. Senang bertemu denganmu,” ucap pria itu memperkenalkan diri. Denver mengenakan kaos putih yang dilapisi oleh kemeja kotak hitam-putih yang tidak dikancing. Sebenarnya, pria ini cukup tampan dengan perawakannya yang tinggi dan berotot ini. Apalagi rambutnya benar-benar membuat para wanita di kelab ini ingin mengelusnya atau meremasnya.
            “Aku Elanie, ya senang juga bertemu denganmu,” ucap Elanie berusaha ramah. Matanya terus mencari-cari dimana Eline, saudara kembarnya.
            “Kau sendiri ke sini?” Tanya Denver membuat Elanie lengah. Lebih baik berbicara dengan Denver daripada mengharapkan kedatangan Eline yang sungguh lama muncul. Mengapa saudara kembarnya bisa selama ini? Elanie memutar kursi bar sehingga tubuhnya terbalik pada meja bar. Elanie meneguk air putihnya kembali yang sekarang sisa setengah. “Air putih? Kau serius?”
            Elanie terkekeh. “Ya, aku ke sini datang sendiri. Dan ya, aku serius, ini air putih,” ucap Elanie yang mulai melunak. Mulai dari sana mereka mulai bercakap-cakap seperti sahabat lama yang kembali bertemu. Sesekali Elanie memesan air putih lagi untuk menemaninya bercerita dengan Denver. Ternyata Denver bukan dari Atlanta, ia dari California. Namun dari gaya Denver, ia tidak terlihat seperti orang California. Denver seorang pekerja di sebuah bengkel mobil, atau mungkin bisa dikatakan dia orang yang bisa memodifikasi mobil. Ternyata itulah alasan mengapa otot-otot itu ada. Elanie terkejut setengah mati ketika Denver bercerita padanya kalau Denver memiliki saudara kembar, sama seperti Elanie. Bahkan sekarang karena terlalu larut bercerita dengan Denver, Elanie melupakan Eline.
            “Jadi, dimana saudara kembarmu?” Tanya Denver membuat Elanie membalikkan seluruh tubuhnya ke arah lantai dansa. Hati Elanie melega saat ia melihat Eline yang sekarang sudah menari-nari di atas lantai dansa.
            “Di sana. Yang berambut pirang. Ia memiliki rambut itu dari ibu, sedangkan rambut cokelatku dari ayah. Jadi sangat mudah untuk membedakan aku dan Eline. Eline …Eline tidak malu sama sepertiku, kau tahu,” ucap Elanie dengan suara yang ia pikir Denver bisa mendengarnya. Denver mengangguk satu kali dengan mata terus menatap Eline. Lalu akhirnya pria itu membalikkan tubuhnya kembali—yang diikuti oleh Elanie—ke meja bar. Sudah 6 gelas Denver meminum pesanan minumnya.
            “Ia berbeda darimu. Aku bisa melihat dari gayanya. Boleh aku meminta nomor teleponmu? Well, itu jika kau tidak keberatan,” ucap Denver mengeluarkan secarik kertas dari kantong kemejanya. Pasti pria itu sudah bersiap-siap meminta nomor telepon pada wanita di kelab ini sampai-sampai ia memiliki kertas di kantong kemejanya, bahkan juga ia mengeluarkan sebuah bolpoin. Elanie mengambil bolpoin yang Denver beri lalu menulis nomor teleponnya. Namun tiba-tiba mata Denver melihat cincin yang melingkar di jari manis Elanie. “Ap-apa kau sudah menikah?”
            “Well, yeah. Aku sudah menikah. Tapi kurasa suamiku tidak akan keberatan jika kau dan aku berteman,” ucap Elanie dengan tenang. Tetapi Denver tidak pernah mengencani seorang wanita yang telah bersuami. Persetan! Jika Elanie tidak ingin berkencan dengan Denver juga tidak apa-apa, asalkan Denver bisa berteman saja, Denver sudah sangat bersyukur. Elanie menyodorkan kertas itu pada Denver lalu tersenyum manis. Mata Denver melihat gaun yang Elanie kenakana lalu pandangannya terjatuh pada potongan leher Elanie yang rendah, namun Denver tidak melihat belahan apa pun. Ternyata wanita ini tidak memiliki buah dada yang besar. Sangat disayangkan.
            “Siapa nama suamimu?”
            “Justin. Justin Bieber,” ucap Elanie dengan percaya diri. Ia cukup bangga memiliki suami seperti Justin, meski Justin seperti memiliki keterbelakangan mental, setidaknya—bagi Elanie—Justin sekarang sudah tertarik pada Elanie. Tiba-tiba saja seseorang menepuk bahu Elanie hingga Elanie terlonjak.
            “Maafkan aku meninggalkanmu lama seperti ini. Sudah jam berapa?” tanya Eline dengan kulit yang seperti dibasuh oleh minyak. “Hei, apa kabar?” Tanya Eline menganggukkan kepala pada Denver.
            “Baik, aku Denver,”
            “Yeah, aku Eline. Saudara kembar Elanie. Senang bertemu denganmu,” ucap Eline seramah mungkin. Mata Denver dialihkan oleh Elanie yang mengeluarkan ponselnya dari tas kecil yang Elanie bawa. Lalu dengan raut wajah terkejut, Elanie langsung turun dari kursinya.
            “Sial!” Elanie mengutuk. Roknya tertarik ke atas hingga hanya menutupi bokongnya saja, dengan cepat Elanie menurunkannya. “Sudah jam 11 malam! Ya Tuhan, Justin pasti akan sangat marah padaku,” Elanie berucap dengan perasaan takut. Denver mengamat-amati wajah Elanie, apakah suami Elanie pria yang kejam sampai Elanie ketakutan seperti ini?
            “Baiklah, kita pulang. Sampai jumpa, Denver.” Ucap Eline dengan cepat menarik tangan Elanie untuk pergi dari meja bar. Denver mengangkat satu tangannya lalu mengangguk satu kali. Denver berharap Elanie mengatakan ucapan selamat tinggal padanya, namun wanita itu terlalu sibuk untuk pergi keluar dari kelab ini.
            “Hati-hati di jalan.” Namun ucapan selamat tinggal dari Elanie tak kunjung berucap.


***


            “Kau bilang kau akan pulang kurang dari jam 10. Tapi sekarang jam berapa?” Tanya Justin dengan suara yang merajuk. Ia memunggungi Elanie yang sudah berdiri di depan tempat tidurnya. Justin sepertinya memang marah pada Elanie. Justin menundukkan kepalanya dengan mulut cemberut seperti anak kecil. Teganya Elanie berbohong pada Elanie. Justin teringat apa yang orangtuanya lakukan sewaktu ia berumur 10 tahun, saat ia menunggu kedua orangtuanya menjemput dia ke sekolah. Namun sampai teman-teman di sekolahnya sudah pulang, ia belum juga dijemput sebelum guru pendampingnya menghubungi orangtua Justin untuk menjemput Justin. Ingin Justin menangis akan perbuatan Elanie, namun ia menahannya. Sekarang ia adalah pria dewasa. Ia tidak boleh menangis seperti anak kecil lagi. Elanie melepaskan sepatu tinggi yang ia pakai lalu menaruhnnya ke kolong meja riasnya.
            “Jam setengah 12? Justin, aku minta maaf,”
            Justin tergelak. “Aku ingin sekali mengejutkanmu saat aku pulang ke rumah. Maka dari itu aku pulang ke rumah jam 10 lewat sedikit agar bisa melihatmu tertidur atau apalah, asalkan bisa membuatmu terkejut. Tapi kau malah terlambat pulang. A-aku hanya menunggu untuk memastikan kau sudah pulang. Dan kau sudah ada di sini, jadi aku akan langsung tidur,” ucap Justin berdiri di atas tempat tidur lalu dengan cepat ia melompat satu kali dan jatuh di atas tempat tidur dengan posisi telentang, ia menarik selimutnya agar ia dia tidak melihat Elanie.
            “Justin, maafkan aku,”
            “Aku tidak ingin berbicara denganmu,” ucap Justin dengan ketus seperti anak kecil. Elanie melipat bibirnya ke dalam. Tanpa mengatakan apa pun, Elanie berjalan menuju tempat tidurnya, ia merangkak naik lalu tertidur di sebelah Justin. Ia tidak ikut masuk ke dalam selimut bersama dengan Justin yang memunggunginya. Matanya terpejam, mungkin mereka akan bertengkar hebat besok.
            “Kita akan membicarakannya besok,”
            “Tidak perlu, aku sudah kesal padamu,”
            “Mengapa kau bisa sekesal ini? Aku tahu aku salah, tetapi kita bisa membicarakan ini baik-baik, Justin. Memangnya kejutan apa yang ingin kauberikan padaku?” Elanie menggoda Justin. Namun Justin adalah Justin, pria polos.
            “Anjingmu,” bisik Justin. Elanie menahan tawa. “Kau menjebakku. Astaga, Elanie! Kau sudah membuatku kesal dan menambahinya dengan ini? Sungguh, kau sungguh lucu,” ucap Justin emosi. Pria itu beranjak dari atas ranjangnya, meninggalkan Elanie.
            “Justin kau mau kemana?” Tanya Elanie ikut bangkit dari ranjangnya. Suaminya tidak menatap Elanie sama sekali, ia membuka pintu kamarnya lalu sebelum keluar Justin berhenti di mulut pintu.
            “Aku tidur di bawah saja.” Justin berucap dengan suara dingin. Lalu pintu terhentak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar