“Ternyata seperti itu,” gumam Justin
saat ia membaca artikel-artikel tentang seks melalui internet, di ruang
kerjanya. Setelah ia diyakinkan oleh Elanie bahwa ia tidak hamil, Justin
memutuskan untuk mencaritahu tentang seks dan organ-organ seks pada wanita dan
pria di ruang kerja. Elanie sudah terlelap satu jam yang lalu sedangkan Justin
masih sibuk membaca berbagai artikel. Rasa penasarannya membunuh segala
pikiran-pikiran apa ia jatuh cinta pada Elanie atau tidak. Justin menggigit
bibir bawahnya tiap kali ia melihat gambar-gambar yang terdapat di artikel itu.
Yang rata-rata adalah gambar wanita telanjang sedang menghadap pada kamera.
Berkali-kali Justin menelan ludahnya saat melihat gambar itu. Keinginan untuk
berhubungan badan dengan Elanie harus ia tahan sebisa mungkin sebelum ia
benar-benar mengerti apa itu hubungan badan. Kepalanya terangguk-angguk ketika
ia memperlihatkan begitu banyak gaya saat berhubungan badan.
Jari-jarinya yang panjang mengelus
dagu yang sudah berkumis itu. Justin merasa ia harus cepat-cepat mencuku
sebelum ia benar-benar menjilat alat kelamin Elanie karena di artikel-artikel
sebelumnya ia melihat seorang pria sedang menenggelamkan kepalanya di antara
paha seorang wanita. Katanya dengan menjilat alat kelamin wanita, wanita itu
akan mendapatkan pelepasan yang lebih luar biasa dibanding hanya mendapatkan
satu kali pelepasan ketika tubuh mereka bersatu. Justin sudah tahu dasar-dasar
berhubungan badan. Ia sekarang sudah tahu apa yang terjadi pada dirinya ketika
ia berteriak di atas tubuh Elanie kemarin malam, menurut artikel yang ia baca,
apa yang terjadi pada Justin adalah pelepasan yang normal. Justin menelan
ludahnya kembali saat sebuah foto seorang wanita terpampang di hadapannya
memiliki buah dada yang besar terekspos dengan jelas. Mengapa Elanie tidak
mempunyai buah dada sebesar itu? Apa wanita itu memiliki air susu di dalam buah
dadanya sehingga buah dadanya sebesar itu? Justin hanya mengedik bahu. Sekarang
bukan air susu yang ia inginkan saat berhubungan badan nanti. Ia ingin
merasakan perasaan yang sama seperti malam itu.
Pelepasan, pikir Justin setelah ia membaca artikel. Bukan pipis.
Rasanya sial sekali tiap kali Justin
merasa bodoh di hadapan kakak-kakaknya terlebih lagi pada Elanie. Pasti Elanie
malu memiliki Justin yang memiliki otak dangkal. Selama ini Justin tidak begitu
peduli dengan pelajaran biologi sialan ini. Ia diajarkan oleh orangtuanya hanya
sekedar wanita tidak memiliki jakun sedangkan pria memiliki jakun. Setelahnya,
Justin diajarkan bagaimana caranya berbisnis dengan baik. Meski teman-teman di
kantornya sering mengajak Justin untuk ke kelab, Justin selalu menolak sehingga
sampai sekarang ia tidak tahu bagaimana caranya berhubungan badan. Justin belum
sepenuhnya menjadi seorang pria saat ini. Mungkin, sebentar lagi. Justin tidak
tahu kapan, ia hanya ingin tidak terlihat bodoh. Kepolosannya menjadi
kebodohannya sekarang. Setidaknya sekarang, Justin sudah sedikit pintar. Ia
hanya tidak perlu bersikap kekanak-kanakan lagi.
Pintu ruang kerja Justin terbuka
begitu saja. Cepat-cepat Justin mengeluarkan aplikasi yang ia buka di komputer
tipisnya. Dilihatnya Elanie dengan rambut rapi, gaun tidur tipis selutut,
tersenyum pada Justin sekarang. Istrinya melangkah mendekati Justin dengan
langkahan yang lambat, membuat Justin bangkit dari kursinya lalu keluar dari
belakang meja kerja.
“Sedang apa Justin?” Tanya Elanie
dengan lembut. Ia menyentuh pinggang Justin dengan kedua tangan, mengelus
pinggang Justin yang ramping itu. Suaminya sungguh tinggi dibanding dirinya
sehingga Justin harus sibuk-sibuk menundukkan kepala agar bisa melihat Elanie.
“Hanya mencaritahu tentang seks. Aku
tidak ingin kelihatan bodoh di depan kakak-kakakku. Apalagi di hadapanmu. Jaid
aku menceritahunya agar kau tahulah …kita bisa melakukannya lagi tanpa aku
harus banyak bertanya padamu,” ucap Justin, terlalu jujur. Elanie membenturkan
keningnya pada dada Justin sambil terkekeh pelan. Suaminya sungguh manis
sampai-sampai mencaritahu tentang seks.
“Kau tidak bodoh, Justin. Mungkin
hanya kurang belajar biologi. Tidak mungkin kau bisa menjadi pengusaha jika kau
bodoh. Pasti kau memakai otak untuk bekerja. Bagiku, kau tidak bodoh sama
sekali. Jadi, jangan pikirkan itu. Kau mau tidur atau melakukan sesuatu?” Tanya
Elanie memberi kode untuk melakukan hubungan badan pada Justin. Namun pria
kadang memang tidak peka. Justin malah menguap, membuat Elanie menahan tawanya.
Mungkin malam ini memang bukan waktu yang beruntung.
“Kita tidur. Memang kau ingin
melakukan apa malam-malam? Besok aku harus bekerja jadi aku harus bangun pagi.
Kata ibu, aku sebagai pemimpin tidak boleh terlambat bekerja,”
“Apa itu masalahmu? Maksudku, selama
ini kau hanya mempelajari bagaimana menjadi pengusaha sampai-sampai kau tidak
tahu bagaimana berhubungan dengan seorang wanita?” Tanya Elanie pelan-pelan
menjauhkan tangannya dari pinggang Justin. Tangan Justin yang awalnya diam di
samping tubuhnya mulai menyentuh pinggul Elanie, menarik Elanie ke arah
tubuhnya. Mata Justin menatap mata biru Elanie yang memancarkan kekecewaan.
Justin belum mengerti tanda-tanda dari seorang wanita, apa wanita itu senang,
bahagia, sedih, atau kecewa. Dan Justin juga belum tahu menahu biasanya wanita
kecewa atau sedih karena apa karena keseringannya adalah bekerja dan bermain
dinosaurus. Mata Elanie berkaca-kaca lalu istrinya menundukkan kepala.
“Ya,” bisik Justin. “Aku hanya tidak
memiliki waktu untuk wanita di luar sana atau pun pelajaran yang tidak akan
kugunakan untuk pekerjaan sejak umur 18 tahun. Ayo kita tidur,”
“A-aku akan mengambil air minum
dulu. Kau ke kamar saja lebih dulu, aku menyusul.” Elanie melepaskan pelukan
Justin. Ia membalikkan tubuh tanpa menatap suaminya sama sekali.
“Elanie apa yang terjadi padamu?”
Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Justin ketika Elanie menyentuh
gagang pintu ruang kerja Justin.
“Aku hanya haus, sayang.” Elanie
membalikkan tubuh pada Justin, ia tersenyum. Senyuman itu hanya untuk menutupi
segala sakit hatinya. Bukan pada Justin. Tapi pada orangtua Justin.
***
Wanita itu tidak mengatakan apa pun pada
suaminya sepanjang ia bernafas pagi ini. Justin juga sedikit bingung, biasanya
istrinya akan bertanya-tanya tentang jadwal yang ia miliki hari ini. Namun,
Elanie tidak mengatakan apa pun. Ia terlalu sibuk berpikir betapa orangtua
Justin membuat Justin menjadi seorang yang kurang pergaulan sehingga membuatnya
menjadi seperti ini. Mengapa hanya Justin? Mengapa Justin yang diperlakukan
seperti ini sedangkan kakak-kakaknya diperlakukan seperti anak-anak Amerika
lainnya? Elanie menelan ludah. Sebisa mungkin ia tidak menatap mata Justin agar
ia tidak membayangkan seorang remaja umur 18 tahun diajarkan bagaimana caranya
berbisnis dengan baik. Bukan malah bersenang-senang dengan teman-temannya di
kelab atau di café. Sewaktu Elanie berumur 18 tahun pun ia langsung masuk
kuliah dan bermalas-malasan dengan teman-temannya. Bukan belajar untuk
berbisnis seperti Justin.
Dari tadi tangan Justin memegang
pinggang Elanie begitu posesif. Elanie tak tega melepaskan tangan itu dari
pinggangnya yang membuat Elanie merasa sedikit risih. Dengan disentuh
pinggangnya yang ramping itu, Elanie tak kuasa untuk tidak menatap kedua mata
Justin yang berwarna cokelat menatap pada Elanie dengan pandangan polos,
seperti hari-hari sebelumnya. Tangan Elanie dengan mahir memasangkan dasi lalu
merapikan kerah kemeja putih Justin. Setelah selesai, kedua tangan Elanie
mengelus-elus kedua bahu Justin dengan lembut. Akhirnya mata biru Elanie
bertemu dengan mata Justin. Tatapannya
itu sungguh polos, tidak berdosa, dan terlihat seperti anak kecil yang suci
belum tersentuh apa pun. Elanie merasa bersalah karena telah memperlakukan
Justin seperti tadi malam.
“Jadi, kau akan meninggalkanku hari
ini lagi?” Tanya Elanie dengan suara yang serak—semalam ia menangis dalam
keheningan tanpa sepengetahuan Justin. Elanie berdeham untuk menghilangkan suaranya
yang serak, lalu tersenyum agar Justin tidak bertanya mengapa suaranya seserak
itu.
“Ya,” bisik Justin dengan tangan
kiri mengelus rambut Elanie, ia menyelipkan rambut bagian depan Elanie ke
belakang telinga. “Memangnya kau tidak ingin kutinggalkan hari ini?”
“Sebenarnya, ya. Aku ingin kau
berada di rumah atau kita bisa berjalan-jalan hari ini untuk meninggalkan rasa
penat. Kau terlalu banyak bekerja, sayang,” dan
terlalu banyak bermain dinosaurus. Namun sebagian kalimat yang Elanie ingin
katakan menghilang di dalam hatinya, kalimat terakhir itu tidak bisa mencapai
mulutnya yang lembut. Justin mengecup pipi istrinya lalu memeluk tubuh Elanie
dengan erat. Perasaan aneh ini
terjadi kembali. Mengapa? Justin merasa sangat menyesal karena hari ini ia akan
meninggalkan Elanie lagi. Terlebih lagi Elanie ingin ia berada di sampingnya
hari ini, namun Justin tidak bisa melakukannya. Begitu banyak pekerjaan yang
harus ia selesaikan hari ini.
Justin menggigit bibir lalu
menjauhkan tubuhnya dari Elanie. “Kau ingin aku bawakan apa malam ini?” Tanya
Justin.
“Kejutkan aku jika kau bisa.” Ucap
Elanie membuat Justin merasa tertantang.
“Aku tahu apa,” Justin berujar
dengan penuh percaya diri. “Tunggu saja nanti malam, kau akan terkejut.” Lanjut
Justin mengecup bibir Elanie kilat lalu ia mengambil jas berwarna hitam di atas
kasurnya.
“Aku mencintaimu, Justin.” Ucap
Elanie ketika Justin berjalan menuju pintu kamar. Justin berhenti sejenak di
tempat lalu ia membalikkan tubuhnya, seketika ia membeku. Ia tidak tahu apa
yang harus ia katakan. Apa ia harus mengatakan ‘aku cinta kau, Elanie’ atau
hanya tersenyum kembali? Namun Elanie menyelamatkannya. “Cepatlah berangkat,
nanti kau terlambat.”
***
Aku
ingin pergi bersama dengan Eline sore ini, aku akan pulang kurang dari jam 10,
aku akan menghubungimu jika aku akan pulang nanti. Elanie mengirim pesan
pada Justin. Kedua sudut bibir Justin tertarik ke atas, membuat sebuah senyuman
yang manis. Okay, hati-hati. Justin
membalas secepat yang ia bisa lalu kepalanya mendongak melihat pada orang yang
sedang mempresentasikan proyek mereka.
Berbeda dengan Elanie yang sedang menyanggul rambut di depan meja rias
kamarnya sementara Eline duduk di atas tempat tidurnya. Dari tadi Eline
bertanya tentang Justin. Elanie bersyukur karena suaminya tidak dihina lagi
oleh Eline. Elanie mengambil ponselnya ketika ponsel itu bergetar satu kali,
lalu ia menyalakan ponsel itu. Balasan dari suaminya yang super cepat
menyetujui Elanie pergi ke kelab bersama Eline.
“Kata aku boleh pergi sore ini,”
ucap Elanie menatap Eline dari cermin. Eline menganggukkan kepala satu kali,
mengerti apa yang adiknya katakan. Ya, memang Eline akan membawa Elanie pergi
ke kelab agar Elanie mengetahui bagaimana kehidupan sebenarnya di Amerika.
Pakaian yang Eline kenakan pun cukup mengundang para lelaki ingin menghempaskan
tubuh Eline ke atas tempat tidur. Perbedaan Elanie dan Eline dapat dilihat
dengan jelas saat Elanie berdiri dari kursi meja riasnya. Elanie hanya
mengenakan celana jins panjang berwarna hitam yang mencetak kaki rampingnya
serta kemeja berwarna putih. Mengapa ia mengenakan pakaian itu? Apa dia ingin
pergi ke gereja? Eline menggeleng-gelengkan kepala ketika Elanie berdiri di
hadapannya.
“Tidak, tidak, tidak. Tidak dengan
pakaian seperti ini,” ucap Eline memejamkan mata selama beberapa saat. Ia
seperti seorang pelatih vokal yang kesabarannya hampir hilang saat anak
didiknya terus bermain-main saat latihan padahal konser anak didiknya akan
datang besok. Alis kanan Elanie terangkat, ia bingung dengan apa yang saudara
kembarnya katakan. Tidak dengan pakaian seperti ini? Lalu dia akan memakai apa?
Gaun pernikahannya lagi? Gaun tidurnya? Mata biru Elanie mengikuti Eline yang
berjalan menuju lemari pakaiannya. Kakaknya menggeser-geser gantungan pakaian
lemari itu, mencari-cari pakaian apa yang cocok dengan adiknya. Sesekali Eline
mendecak saat melihat pakaian Elanie yang rata-rata di bawah lutut. Tetapi
ternyata Eline masih memiliki harapan untuk adiknya berpakaian dengan baik.
Ia menarik salah satu gantungan pakaian
dari lemari itu. Seketika itu juga mata Elanie terbelalak dengan pakaian yang
Eline keluarkan dari lemarinya. Tidak! Elanie tidak akan memakai gaun di atas
lutut itu! Pakaian itu bisa benar-benar membentuk bokong, pinggang dan buah
dada Elanie ketika gaun itu melapisi tubuh Elanie. Eline menyodorkan gaun itu
pada Elanie.
“Pakai, sekarang. Atau malam ini
kita akan benar-benar hancur,”
“Justin pasti tidak akan setuju
dengan pakaian ini,”
“Kita pergi bukan bersama dengan
Justin, bukan? Tidak ada yang perlu kautakutkan, Elanie. Aku yakin kau akan
baik-baik saja. Kita berdua akan baik-baik saja, maksudku. Aku akan
melindungimu jika ada seseorang yang berusaha menggodamu,”
“Kau yakin? Tapi kita harus pulang
tidak lebih dari jam 10. Justin pasti sudah pulang ke rumah dan ia akan
mencariku. Aku tidak ingin ia marah padaku hanya karena aku terlambat pulang,”
“Aku berjanji kita akan pulang ke
rumah tidak lebih dari jam 10.” ujar Eline dengan tegas. Ludah Elanie
sepertinya tidak berhasil membuat tenggorokan keringnya menjadi licin. Wanita
itu berjalan meninggalkan saudara kembarnya untuk memakai gaun ketat
berpotongan rok pendek berwarna hitam berkelap-kelip itu di kamar mandi.
***
Banyak orang yang meliuk-liukan
tubuhnya seperti cacing kepanasan di atas lantai dansa. Kelab itu sangat gelap
bagi Elanie yang terduduk di atas kursi bar. Kedua lututnya saling berciuman
untuk menutupi bagian terlarangnya. Eline meninggalkannya sebentar karena
saudara kembarnya ingin pergi ke toilet. Kepala Elanie terangguk-angguk, ia
berusaha untuk menikmati musik elektronik yang diputar oleh DJ untuk kelab ini.
Lampu warna-warni menyinari lantai dansa sementara lautan manusia itu tidak
mempedulikan dengan siapa mereka berdansa, siapa yang mereka cium, dan siapa
yang bokongnya mereka pegang. Elanie sedikit ragu akan tempat ini saat matanya
secara tidak sengaja melihat seorang pria bertubuh jangkung dari jarak jauh
menatapinya dengan tatapan yang pastinya tidak bersahabat. Elanie berusaha
untuk mengabaikan orang itu dengan cara meminum air putihnya. Mungkin dia
satu-satunya orang yang memesang segelas air putih di kelab ini. Cukup
memalukan, namun lebih baik malu daripada harus mengambil resiko yang lebih buruk
dari malu.
Saat matanya sedang menatapi
orang-orang yang menari-nari di atas lantai dansa, tiba-tiba saja Elanie
dikejutkan oleh pria yang dari tadi menatapnya. Pria itu mungkin secara tak
sengaja menyenggol lengan Elanie yang telanjang itu. Pria bertubuh jangkung itu
memanggil bartender untuk memesan minum selama kurang dari satu menit lalu ia
membalikkan tubuhnya hingga pria itu dapat melihat apa yang Elanie juga lihat.
Kedua siku-sikunya bersandar di meja bar dengan santai. Sungguh, pria itu berotot
dan berbulu sampai-sampai Elanie terpaksa menggeliat di tempatnya.
“Pertama kali datang ke sini?” Tanya
pria itu tiba-tiba pada Elanie. Elanie menoleh pada pria itu lalu ia hanya
memberikan seulas senyum manis tanpa menjawab apa pun. “Kau sangat pemalu,”
“Well, itulah yang orang-orang
katakan,” ucap Elanie dengan suara normal sampai-sampai pria itu terpaksa harus
menajamkan pendengarannya. Leher Elanie memanjang, matanya melihat ke segala
arah agar ia bisa menemukan Eline. Namun ia tidak mendapati saudara kembarnya.
Pria itu mulai duduk di kursi sebelah Elanie ketika minuman yang ia pesan sudah
datang.
“Tidak sering memakai gaun pendek
seperti itu, huh?” Tanya pria itu memerhatikan paha Elanie yang putih itu
berusaha untuk ditutupi oleh wanita ini. Sudut-sudut bibir pria itu berkedut
untuk menahan tawa. Lama kelamaan Elanie jengkel. Untuk apa pria itu
bertanya-tanya? Apa itu penting bagi pria ini? Elanie bersikap begitu keras
pada pria itu, sampai-sampai Elanie tidak percaya ia melakukan itu pada Denver.
Untungnya, Elanie adalah orang yang sabar. Elanie tidak mengatakan apa pun pada
pria di sampingnya yang sedang minum itu lalu akhirnya pria itu berucap
kembali.
“Omong-omong, namaku Denver. Senang
bertemu denganmu,” ucap pria itu memperkenalkan diri. Denver mengenakan kaos
putih yang dilapisi oleh kemeja kotak hitam-putih yang tidak dikancing.
Sebenarnya, pria ini cukup tampan dengan perawakannya yang tinggi dan berotot
ini. Apalagi rambutnya benar-benar membuat para wanita di kelab ini ingin
mengelusnya atau meremasnya.
“Aku Elanie, ya senang juga bertemu
denganmu,” ucap Elanie berusaha ramah. Matanya terus mencari-cari dimana Eline,
saudara kembarnya.
“Kau sendiri ke sini?” Tanya Denver
membuat Elanie lengah. Lebih baik berbicara dengan Denver daripada mengharapkan
kedatangan Eline yang sungguh lama muncul. Mengapa saudara kembarnya bisa
selama ini? Elanie memutar kursi bar sehingga tubuhnya terbalik pada meja bar. Elanie
meneguk air putihnya kembali yang sekarang sisa setengah. “Air putih? Kau
serius?”
Elanie terkekeh. “Ya, aku ke sini
datang sendiri. Dan ya, aku serius, ini air putih,” ucap Elanie yang mulai
melunak. Mulai dari sana mereka mulai bercakap-cakap seperti sahabat lama yang
kembali bertemu. Sesekali Elanie memesan air putih lagi untuk menemaninya
bercerita dengan Denver. Ternyata Denver bukan dari Atlanta, ia dari
California. Namun dari gaya Denver, ia tidak terlihat seperti orang California.
Denver seorang pekerja di sebuah bengkel mobil, atau mungkin bisa dikatakan dia
orang yang bisa memodifikasi mobil. Ternyata itulah alasan mengapa otot-otot
itu ada. Elanie terkejut setengah mati ketika Denver bercerita padanya kalau
Denver memiliki saudara kembar, sama seperti Elanie. Bahkan sekarang karena
terlalu larut bercerita dengan Denver, Elanie melupakan Eline.
“Jadi, dimana saudara kembarmu?”
Tanya Denver membuat Elanie membalikkan seluruh tubuhnya ke arah lantai dansa.
Hati Elanie melega saat ia melihat Eline yang sekarang sudah menari-nari di
atas lantai dansa.
“Di sana. Yang berambut pirang. Ia
memiliki rambut itu dari ibu, sedangkan rambut cokelatku dari ayah. Jadi sangat
mudah untuk membedakan aku dan Eline. Eline …Eline tidak malu sama sepertiku,
kau tahu,” ucap Elanie dengan suara yang ia pikir Denver bisa mendengarnya.
Denver mengangguk satu kali dengan mata terus menatap Eline. Lalu akhirnya pria
itu membalikkan tubuhnya kembali—yang diikuti oleh Elanie—ke meja bar. Sudah 6
gelas Denver meminum pesanan minumnya.
“Ia berbeda darimu. Aku bisa melihat
dari gayanya. Boleh aku meminta nomor teleponmu? Well, itu jika kau tidak
keberatan,” ucap Denver mengeluarkan secarik kertas dari kantong kemejanya.
Pasti pria itu sudah bersiap-siap meminta nomor telepon pada wanita di kelab
ini sampai-sampai ia memiliki kertas di kantong kemejanya, bahkan juga ia
mengeluarkan sebuah bolpoin. Elanie mengambil bolpoin yang Denver beri lalu
menulis nomor teleponnya. Namun tiba-tiba mata Denver melihat cincin yang
melingkar di jari manis Elanie. “Ap-apa kau sudah menikah?”
“Well, yeah. Aku sudah menikah. Tapi
kurasa suamiku tidak akan keberatan jika kau dan aku berteman,” ucap Elanie
dengan tenang. Tetapi Denver tidak pernah mengencani seorang wanita yang telah
bersuami. Persetan! Jika Elanie tidak ingin berkencan dengan Denver juga tidak
apa-apa, asalkan Denver bisa berteman saja, Denver sudah sangat bersyukur.
Elanie menyodorkan kertas itu pada Denver lalu tersenyum manis. Mata Denver
melihat gaun yang Elanie kenakana lalu pandangannya terjatuh pada potongan
leher Elanie yang rendah, namun Denver tidak melihat belahan apa pun. Ternyata
wanita ini tidak memiliki buah dada yang besar. Sangat disayangkan.
“Siapa nama suamimu?”
“Justin. Justin Bieber,” ucap Elanie
dengan percaya diri. Ia cukup bangga memiliki suami seperti Justin, meski
Justin seperti memiliki keterbelakangan mental, setidaknya—bagi Elanie—Justin
sekarang sudah tertarik pada Elanie. Tiba-tiba saja seseorang menepuk bahu
Elanie hingga Elanie terlonjak.
“Maafkan aku meninggalkanmu lama
seperti ini. Sudah jam berapa?” tanya Eline dengan kulit yang seperti dibasuh
oleh minyak. “Hei, apa kabar?” Tanya Eline menganggukkan kepala pada Denver.
“Baik, aku Denver,”
“Yeah, aku Eline. Saudara kembar
Elanie. Senang bertemu denganmu,” ucap Eline seramah mungkin. Mata Denver
dialihkan oleh Elanie yang mengeluarkan ponselnya dari tas kecil yang Elanie
bawa. Lalu dengan raut wajah terkejut, Elanie langsung turun dari kursinya.
“Sial!” Elanie mengutuk. Roknya
tertarik ke atas hingga hanya menutupi bokongnya saja, dengan cepat Elanie
menurunkannya. “Sudah jam 11 malam! Ya Tuhan, Justin pasti akan sangat marah
padaku,” Elanie berucap dengan perasaan takut. Denver mengamat-amati wajah
Elanie, apakah suami Elanie pria yang kejam sampai Elanie ketakutan seperti
ini?
“Baiklah, kita pulang. Sampai jumpa,
Denver.” Ucap Eline dengan cepat menarik tangan Elanie untuk pergi dari meja
bar. Denver mengangkat satu tangannya lalu mengangguk satu kali. Denver
berharap Elanie mengatakan ucapan selamat tinggal padanya, namun wanita itu
terlalu sibuk untuk pergi keluar dari kelab ini.
“Hati-hati di jalan.” Namun ucapan
selamat tinggal dari Elanie tak kunjung berucap.
***
“Kau bilang kau akan pulang kurang
dari jam 10. Tapi sekarang jam berapa?” Tanya Justin dengan suara yang merajuk.
Ia memunggungi Elanie yang sudah berdiri di depan tempat tidurnya. Justin
sepertinya memang marah pada Elanie. Justin menundukkan kepalanya dengan mulut
cemberut seperti anak kecil. Teganya Elanie berbohong pada Elanie. Justin
teringat apa yang orangtuanya lakukan sewaktu ia berumur 10 tahun, saat ia
menunggu kedua orangtuanya menjemput dia ke sekolah. Namun sampai teman-teman
di sekolahnya sudah pulang, ia belum juga dijemput sebelum guru pendampingnya
menghubungi orangtua Justin untuk menjemput Justin. Ingin Justin menangis akan
perbuatan Elanie, namun ia menahannya. Sekarang ia adalah pria dewasa. Ia tidak
boleh menangis seperti anak kecil lagi. Elanie melepaskan sepatu tinggi yang ia
pakai lalu menaruhnnya ke kolong meja riasnya.
“Jam setengah 12? Justin, aku minta
maaf,”
Justin tergelak. “Aku ingin sekali
mengejutkanmu saat aku pulang ke rumah. Maka dari itu aku pulang ke rumah jam
10 lewat sedikit agar bisa melihatmu tertidur atau apalah, asalkan bisa
membuatmu terkejut. Tapi kau malah terlambat pulang. A-aku hanya menunggu untuk
memastikan kau sudah pulang. Dan kau sudah ada di sini, jadi aku akan langsung
tidur,” ucap Justin berdiri di atas tempat tidur lalu dengan cepat ia melompat
satu kali dan jatuh di atas tempat tidur dengan posisi telentang, ia menarik
selimutnya agar ia dia tidak melihat Elanie.
“Justin, maafkan aku,”
“Aku tidak ingin berbicara
denganmu,” ucap Justin dengan ketus seperti anak kecil. Elanie melipat bibirnya
ke dalam. Tanpa mengatakan apa pun, Elanie berjalan menuju tempat tidurnya, ia
merangkak naik lalu tertidur di sebelah Justin. Ia tidak ikut masuk ke dalam
selimut bersama dengan Justin yang memunggunginya. Matanya terpejam, mungkin
mereka akan bertengkar hebat besok.
“Kita akan membicarakannya besok,”
“Tidak perlu, aku sudah kesal
padamu,”
“Mengapa kau bisa sekesal ini? Aku
tahu aku salah, tetapi kita bisa membicarakan ini baik-baik, Justin. Memangnya
kejutan apa yang ingin kauberikan padaku?” Elanie menggoda Justin. Namun Justin
adalah Justin, pria polos.
“Anjingmu,” bisik Justin. Elanie
menahan tawa. “Kau menjebakku. Astaga, Elanie! Kau sudah membuatku kesal dan
menambahinya dengan ini? Sungguh, kau sungguh lucu,” ucap Justin emosi. Pria
itu beranjak dari atas ranjangnya, meninggalkan Elanie.
“Justin kau mau kemana?” Tanya
Elanie ikut bangkit dari ranjangnya. Suaminya tidak menatap Elanie sama sekali,
ia membuka pintu kamarnya lalu sebelum keluar Justin berhenti di mulut pintu.
“Aku tidur di bawah saja.” Justin
berucap dengan suara dingin. Lalu pintu terhentak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar